B A B
11
Kerangka Etik Islam
dalam Dunia Politik
A. PENDAHULUAN
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu menjawab
tentang:
1. Prinsip-prinsip Islam dalam bernegara
2. Hubungan pemimpin dengan yang dipimpin
3. Hak dan kewajiban pemimpin dan yang dipimpin
4. Etika berpolitik
B. PEMBAHASAN
Prof. Miriam Budiardjo mengartikan politik adalah aneka aktivitas
dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses menentukan
dan melaksanakan tujuan dari sistem tersebut.[i] Ada juga yang
mengartikan politik sebagai suatu seni dan ilmu untuk meraih dan mencapai
kekuasaan, baik secara konstitusional maupun inkonstitusional.[ii]
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang
berbeda, antara lain:[iii]
1. Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan
kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles).
2. Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan
dan negara.
3. Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan di masyarakat.
4. Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan
kebijakan publik.
Seperti dikatakan oleh Miriam Budiardjo bahwa untuk melaksanakan
tujuan yang ingin dicapai tersebut, maka perlu adanya kebijaksanaan umum
(public policy) yang berkenaan dengan pengaturan dan pembagian
(distribution) atau alokasi dari sumber-sumber yang ada. Sedangkan untuk
melaksanakan kebijaksanaan tersebut diperlukan kekuasaan (power) dan
kewenangan (authority). Cara yang digunakan dapat berupa persuasif maupun
paksaan.
Prinsip-prinsip kehidupan bernegara menurut Islam
1 Di dalam kehidupan bernegara, Rasulullah Saw. sudah meletakkan dasar dan
prinsip-prinsip umum yang dapat diteladani.
Menurut Muhammad Arkoun -seperti dijelaskan Nur Cholis Majid- bahwa
"eksperimen Madinah itu telah menyajikan kepada umat manusia contoh
tatanan sosial-politik yang mengenal pendelegasian wewenang (artinya,
wewenang atau kekuasan tidak memusat pada tangan satu orang seperti pada
sistem diktatorial, melainkan kepada orang banyak melalui musyawarah) dan
kehidupan berkonstitusi (artinya, sumber wewenang dan kekuasaan tidak
pada keinginan dan keputusan lisan pribadi, tetapi pada suatu dokumen
tertulis yang prinsip-prinsipnya disepakati bersama). Karena wujud
historis terpenting dari sistem sosial-politik eksperimen Madinah itu ialah
dokumen yang termasyhur, yaitu Mitsāq al-Madīnah (Piagam Madinah),
yang di kalangan para sarjana modern juga menjadi amat terkenal sebagai
"Konstitusi Madinah". Piagam Madinah itu selengkapnya telah
didokumentasikan oleh para ahli sejarah Islam seperti ibn Ishaq (wafat 152
H) dan Muhammad ibn Hisyam (wafat 218 H)".[iv]
Kemudian Abu Bakar r.a. ketika dilantik menjadi khalifah, menyampaikan
pidato politiknya yang sangat mengagumkan, antara lain:[v]
أيهاالناس إنّى ولّيت عليكم ولست بخيركم – وأن رإيتمونى على حقّ فأعينونى - وأن
رإيتمونى على باطل فسدّدونى – أطيعونى ما أطعت الله فيكم – فإن عصيته فلا
طاعة لى علكم
"Wahai manusia, sesungguhnya saya diangkap menjadi pemimpin atas kamu
sekalian bukan berarti saya adalah orang yang terbaik di antara kamu
sekalian – Kalau kamu sekalian mendapatkan saya dalam kebenaran, maka
bantulah saya untuk melaksanakannya –Kalau kamu sekalian melihat saya dalam
kebatilan, maka koreksi saya –Taatilah saya selama saya mentaati Allah–
Kalau saya bermaksiat (menentang)-Nya, maka kamu sekalian boleh tidak
mentaati saya".
Menurut Amin Sa'id, pidato itu memuat prinsip-prinsip, (1) pengakuan
Abu Bakr sendiri bahwa dia adalah "orang kebanyakan", dan mengharap
agar rakyat membantunya jika ia bertindak benar, dan meluruskannya jika
ia berbuat keliru; (2) seruan agar semua pihak menyepakati etika atau
akhlaq kejujuran sebagai amanat, dan jangan melakukan kecurangan yang
disebutnya sebagai khianat; (3) penegasan atas persamaan prinsip persamaan
manusia (egalitarianisme) dan keadilan sosial, dimana terdapat kewajiban
yang pasti atas kelompok yang kuat untuk kelompok yang lemah yang harus
diwujudkan oleh pimpinan masyarakat; (4) seruan untuk tetap memelihara
jiwa perjuangan, yaitu sikap hidup penuh cita-cita luhur dan melihat jauh
ke masa depan; (5) penegasan bahwa kewenangan kekuasaan yang
diperolehnya menuntut ketaatan rakyat tidak karena pertimbangan
partikularistik pribadi pimpinan, tetapi karena nilai universal prinsip-
prinsip yang dianut dan dilaksanakannya. Dalam istilah modern, kekuasaan
Abu Bakr adalah kekuasaan konstitusional, bukan kekuasaan mutlak
perorangan.[vi]
2 Memilih pemimpin yang baik.
Islam sangat memperhatikan masalah leadership (kepemimpinan). Bahkan
Rasulullah Saw. menyuruh beberapa orang yang akan berpergian untuk
mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpinnya.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي
سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
"Dari Abi Said al-Khudri: Bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: "Kalau tiga
orang sedang bepergian, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari
mereka menjadi pemimpinnya". (Hadis Riwayat Abu Daud).[vii]
Setiap orang pasti mendampakan seorang pemimpin yang baik dan cakap.
Berikut ini merupakan beberapa karakateristik pemimpin yang baik menurut
Islam untuk dijadikan pedoman ketika akan memilih seorang pemimpin:[viii]
1. Akidah (iman) yang kuat
Dalam Islam akidah atau iman (faith) yang kuat merupakan
karakateristik yang paling pokok yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin,
sebab akidah yang kuat ini akan memberikan pengaruh yang sangat besar dalam
kepemimpinannya. Dari akidah yang kuat inilah akan muncul sifat amanah,
jujur, bertanggung jawab, adil, berakhlak mulia, suka memaafkan, tawadhu'
(low profile), suka bermusyawarah, tidak gampang berputus asa, berdisiplin
dan lain sebagainya.[ix]
Rasulullah Saw., di dalam hadisnya, menjelaskan apa hakikat iman itu:
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِيمَانُ مَعْرِفَةٌ
بِالْقَلْبِ وَقَوْلٌ بِاللِّسَانِ وَعَمَلٌ بِالْأَرْكَانِ
Dari Ali bin Abi Thalib berkata: Bersabda Rasulullah Saw.: "Iman adalah
pengakuan (pembenaran) dengan hati, pengucapan dengan lisan (lidah) dan
(dibuktikan dengan) tindakan anggota tubuh". (Hadis Riwayat Ibnu Majah).[x]
Dr. Yusuf al-Qardhawi mengatakan bahwa hakikat iman adalah kepercayaan
yang tertanam dalam lubuk hati dengan penuh keyakinan, tanpa bercampur
dengan keraguan, dan memberikan pengaruh terhadap pandangan hidup, perilaku
dan amal perbuatan sehari-hari. Dengan begitu, iman itu bukan sekedar
pernyataan lidah, bukan sekedar tingkah laku dan bukan pula sekedar
pengetahuan tentang rukun Iman.[xi]
2. Amanah
Amanah (trust) berarti kepercayaan. Kalau seseorang diberi amanah
berupa jabatan, maka berarti dia dipercaya untuk menduduki jabatan
tersebut. Apa akibatnya apabila amanah ini diabaikan? Jawabannya ada dalam
sabda Rasulullah Saw.:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ضُيِّعَتْ
الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِذَا أُسْنِدَ الْأَمْرُ إِلَى
غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
Dari Abi Hurairah r.a. berkata: Bersabda Rasulullah Saw.: "Apabila amanah
sudah diabaikan, maka tunggulah masa kehancurannya". (Abu Hurairah r.a.)
bertanya: "Apa yang dimaksud dengan pengabaiannya wahai Rasulullah?" Beliau
menjawab:"Apabila urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka
tunggulah masa kehancurannya". [xii]
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ مَا خَطَبَنَا نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا قَالَ لَا إِيمَانَ
لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ
Dari Anas bin Malik berkata Nabi Saw. tidak berbicara kepada kami melainkan
"Tidak beriman bagi siapa yang tidak (memegang) amanah dan tidak beragama
bagi siapa yang tidak menepati janjinya".[xiii]
Allah Swt. juga berfirman:
(((( (((( (((((((((((( ((( ((((((((( (((((((((((( (((((( (((((((((
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya.[xiv]
Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat di atas, antara lain mengatakan
bahwa "amanah" dalam ayat di atas mempunyai arti umum, meliputi semua
kewajiban dan tugas yang dipercayakan kepada manusia, baik itu berupa
ibadah seperti shalat, puasa, zakat, nadzar, dan lain sebagainya, maupun
tugas-tugas kemanusiaan lainnya yang dipercayakan untuk dilaksanakan
seperti kepemimpinan.[xv]
Karena sifatnya yang amanah inilah yang menyebabkan Rasulullah Saw.
mendapat julukan al-Amīn. Al-Amīn, yang berarti yang dipercaya, merupakan
gelar yang diberikan oleh para pembesar Quraisy kepada Rasulullah Saw.
Ketika itu terjadi pertikaian antara para pembesar Quraisy tentang siapa
yang akan meletakkan hajar aswad ke Ka'bah. Atas usulan salah seorang tua
di antara mereka diputuskanlah bahwa siapa yang lebih dahulu masuk Masjid
al-Haram pada pagi harinya, maka dialah yang berhak meletakkannya. Ternyata
yang masuk pertama adalah beliau. Kemudian beliau mengambil sehelai kain
dan dibentangkan untuk diletakkan hajar aswad di atasnya. Setelah itu, para
pembesar Quraisy tadi diminta beliau untuk memegang masing-masing sudut
kain dan mengangkatnya bersama-sama ke dekat Ka'bah. Kemudian beliau
mengambil hajar aswad itu dan meletakkannya di Ka'bah. Selesailah
pertikaian itu disebabkan karena beliau dapat menyelesaikannya dengan cara
yang bijaksana. Mulai saat itulah beliau mendapat gelar al-Amīn (yang
dipercaya).[xvi]
3. Tanggung jawab
Antara tanggung jawab dengan amanah mempunyai kaitan yang sangat
erat. Di mana ada amanah, di sana ada pertanggungjawaban. Prof. Dr. Widi
Agoes Pratikto, M.Sc, Ph.D -pada saat Kolokium kajian spiritual tentang
Proses Pengambilan Keputusan yang diselenggarakan di Universitas Negeri
Malang pada tanggal 5 Februari 2005, antara lain mengatakan:
"Amanah sangat bertalian dengan mekanisme pertanggungjawaban
kepemimpinan. Artinya, kepemimpinan bukan semata-mata dilihat dari
pencapaian prestasi terukur seorang pemimpin, tetapi juga berkelit-
kelitan dengan tata cara bagaimana prestasi itu dapat diraih.
Kemudian akan ditimbang kadar kejujuran pencapaiannya dalam
pertanggungjawaban vertikal yang melibatkan "mata" Tuhan yang tembus
pandang dan "intervensi" Tuhan yang tak mungkin diajak
kompromi".[xvii]
Dalam hadisnya yang sangat populer, Rasulullah Saw. bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ فِي
أَهْلِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْ
رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ فِي مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Dari ibnu Umar r.a. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: "Setiap kamu
sekalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang
dipimpinnya, Imam adalah pemimpin dan akan mintai pertangungjawaban
terhadap yang dipimpinnya, suami adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan
mintai pertangungjawaban terhadap yang dipimpinnya, istri adalah pemimpin
dalam rumah suaminya dan akan mintai pertangungjawaban terhadap yang
dipimpinnya dan pembantu terhadap harta majikannya adalah pemimpin dan akan
mintai pertangungjawaban terhadap yang dipimpinnya (Hadis Riwayat
Bukhari).[xviii]
Di dalam al-Qur'an Allah berfirman:
(((( (((((((((((( (((((((((( (((( (((((((((( (((
"Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu (hari Qiamat) tentang
kenikmatan (yang kamu bangga-banggakan di dunia itu)".[xix]
Di dalam Islam, profesi (pekerjaan) dianggap sebagai amanah yang
nantinya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Semakin besar dan
tinggi profesinya, akan semakin besar pertanggungjawabannya.
Karena itulah bagi seseorang yang memiliki iman yang kuat -di dalam
melaksanakan tugas dan pekerjaannya- tidak perlu ada pengawasan dari
pimpinan atau orang lain, sebab ia pasti sadar bahwa apa yang dilakukannya
pasti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak.
4. Adil
Dr. M. Quraish Shihab mencatat ada beberapa makna adil dalam al-
Qur'an, antara lain: adil dapat berarti sama, seimbang, perhatian terhadap
hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya.[xx]
Dengan demikian jelaslah bahwa makna adil dalam Islam tidak sama
dengan arti adil menurut paham Komunis "sama rata, sama rasa". Pengertian
adil seperti ini sangat keliru. Apakah adil seseorang kerjanya malas diberi
insentif yang lebih besar dari yang kerjanya rajin? Apakah adil seorang
pimpinan yang tanggung jawabnya lebih besar diberi gaji yang sama dengan
staf yang tanggung jawab lebih kecil?
Allah berfirman di dalam al-Qur'an:
( (((( (((( (((((((((((( ((( ((((((((( (((((((((((( (((((( (((((((((
((((((( ((((((((( (((((( (((((((( ((( ((((((((((( (((((((((((( ( (((( ((((
((((((( ((((((((( (((((( ( (((( (((( ((((( (((((((( (((((((( ((((
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat".[xxi]
Dr. M. Quraish Shihab mengatakan:
"Amanah dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, di antaranya adalah
perlakuan adil. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap
kelompok, golongan, atau kaum Muslimin saja, tetapi mencakup seluruh
manusia bahkan seluruh makhluk".[xxii]
Dengan demikian masalah keadilan ini termasuk amanah yang wajib
dilaksanakan oleh setiap orang, lebih-lebih seorang pemimpin. Perlakuan
seorang pemimpin terhadap orang lain, terutama bawahannya, harus berprinsip
pada keadilan, bukan atas dasar like or dislike (suka atau tidak suka).
Allah dengan sangat tegas menyatakan:
((((((((((( ((((((((( (((((((((( (((((((( (((((((((( (( ((((((((((
(((((((((((( ( (((( (((((((((((((( ((((((((( (((((( (((((( (((( (((((((((((
( ((((((((((( (((( (((((((( ((((((((((( ( ((((((((((( (((( ( (((( ((((
((((((( ((((( ((((((((((( (((
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan".[xxiii]
(( (((( ((((( (((((((((((((((( ((((((((
…"dan janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena
(membela) orang-orang yang khianat".[xxiv]
5. Istiqamah (strightness)
Istiqamah berarti pendirian yang teguh. Seorang pemimpin harus
mempunyai pendirian yang teguh. Tidak gampang dibisiki atau dipengaruhi
oleh isu-isu yang akan mempengaruhi pendiriannya.
(((((((((((( (((((( (((((((( ( (((( (((((((( (((((((((((((( (
…dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti
hawa nafsu mereka.[xxv]
Karena isu-isu yang dia terima mungkin saja benar atau mungkin saja
menyesatkan, lebih-lebih kalau isu-isu itu berasal dari para provokator
atau orang-orang yang tidak bisa dipercaya, maka, sebagai pimpinan, dia
harus menelitinya dengan cermat (check and recheck), sehingga dia tidak
menetapkan atau memutuskan sesuatu berdasarkan isu-isu sepihak yang akan
merugikan orang lain.
((((((((((( ((((((((( ((((((((((( ((( (((((((((( ((((((( ((((((((
(((((((((((((( ((( (((((((((( ((((((( ((((((((((( ((((((((((((( (((((( (((
(((((((((( (((((((((( (((
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu".[xxvi]
Kendati demikian, bukan berarti dia harus mempertahankan pendiriannya
yang salah jika memang terbukti salah atau menolak pendapat yang benar yang
datang dari orang lain, termasuk dari para stafnya.Orang yang baik itu
bukan orang yang tidak pernah berbuat salah, melainkan orang yang pernah
berbuat salah dan mau memperbaiki kesalahannya itu.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
"Rasulullah Saw. bersabda: "Setiap anak Adam (manusia) mempunyai dosa
(kesalahan) dan sebaik-baik orang-orang yang bersalah (berdosa) adalah
bertaubat". (Hadis Riwayat Ibnu Majah, At-Tirmidzi, Ahmad dan Ad-Darimi).
6. Akhlak Mulia
Berakhlak mulia (behave ethically) merupakan keharusan bagi seorang
pemimpin, sebab hal ini bukan saja akan menaikkan martabat, kewibawaan dan
prestisenya, tetapi juga akan ikut mewarnai cara dia bersikap dan
memperlakukan stafnya dan orang lain. Tidaklah berlebihan apa yang
dikatakan oleh Jack Calareso, yang sekaligus merupakan judul tulisannya:
"Good leaders put morality above all else".(Para pemimpin yang baik itu
akan meletakkan moral di atas segalanya).[xxvii] Karena sangat pentingnya
akhlak mulia ini bagi kehidupan manusia, sampai-sampai Rasulullah Saw.
bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ
الْأَخْلَاقِ
Dari Abi Hurairah r.a. berkata: Bersabda Rasulullah Saw.: Saya diutus
hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang baik (mulia). (Hadis Riwayat Imam
Ahmad)[xxviii]
Allah berfirman:
(((((((( (((((((( (((((( ((((((( (((
"Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung".[xxix]
Sehubungan dengan hal ini, Aisyah r.a. pernah ditanya tentang akhlak
Rasulullah Saw.:
عَنْ سَعْدِ بْنِ هِشَامٍ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ أَخْبِرِينِي عَنْ خُلُقِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
Dari Sa'd bin Hisyam berkata: Saya pernah bertanya kepada Aisyah: "Kataku
beritahu aku tentang akhlak Rasulullah Saw.?" (Aisyah) menjawab: "Akhlak
beliau adalah Al-Qur'an". (Hadis Riwayat Imam Ahmad)[xxx]
Sebagai orang yang beriman, maka panutan kita dalam masalah akhlak
mulia ini adalah Rasulullah Saw. yang merupakan uswatun hasanah bagi
umatnya.
Rasulullah Saw. juga menyatakan:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَكْمَلِ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا
أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَأَلْطَفُهُمْ بِأَهْلِهِ
Dari Aisyah r.a. berkata: Bersabda Rasulullah Saw.: Sesungguhnya di antara
orang-orang beriman yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling
baik akhlaknya (Hadis Riwayat Tirmidzi).[xxxi]
Dengan demikian betapa eratnya kaitan iman seseorang dengan akhlaknya.
Keindahan akhlak dan budinya sebagai pertanda imannya yang kuat.
7. Pemaaf dan lemah lembut.
(((((( ((((( ((((( ((((((( (((((((((( (((((((((( (((( (((((((( ( ((((((((
(((((((( (((((((((((((( (((((( ((((((((((((( ((( (((((((( ( (((((((
(((((((( (((((((((( ((((( (((( ( (((( (((( (((((( (((((((((((((((((( (((((
َ"Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah.Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya".[xxxii]
Sebagai pemimpin, seseorang harus berhati lapang dan mudah memberikan
maaf serta rendah hati (low profile/tawadhu') terhadap bawahannya.
Sebaliknya, kalau posisinya sebagai bawahan (staf), maka dia harus tahu
diri ketika pemimpinnnya bermurah hati dan lemah lembut padanya, jangan
lantas hal itu dimaknai bahwa dia boleh berbuat semau gue, melainkan
perlakuan pimpinan yang semacam itu semestinya akan membuat dirinya
bertambah sungkan dan hormat.
"Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah
penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang
setimpal)".[xxxiii]
Bersikap lemah lembut bukan berarti tidak boleh marah. Marah itu
boleh bahkan harus dalam situasi tertentu. Misalnya, marah kepada staf yang
sudah sering diingatkan yang tidak segera mengerjakan tugas yang diberikan
tanpa alasan yang logis atau juga marah karena harga dirinya dilecehkan.
8. Musyawarah (consultation)
Salah satu hal yang sering dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan kemudian
diteruskan oleh para sahabat beliau adalah musyawarah untuk membicarakan
bermacam-macam masalah. Misalnya, Rasulullah Saw. pernah melakukan
musyawarah untuk memecahkan masalah tentang tawanan perang Badar dengan
para sahabat. Beliau meminta pendapat kepada Abu bakar dan Umar bin
Khaththab tentang masalah tersebut.[xxxiv]
Musyawarah merupakan sesuatu yang perlu dilakukan oleh seorang
pemimpin, terutama apabila ada masalah-masalah yang pelik yang harus
dipecahkan. Pendapat orang banyak jauh lebih baik dari pendapat individu.
Karena musyawarah ini sangat penting artinya untuk memecahkan permasalahan,
maka Allah memerintahkan untuk melakukannya. Allah Swt. berfirman:
((((((((((((( ((( ((((((((
"…dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu…"[xxxv]
(((((((((((( ((((((( ((((((((((
"…sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara
mereka…"[xxxvi]
Seperti dikatakan Alfian -di dalam bukunya Politik, Kebudayaan dan
Manusia Indonesia -antara lain, bahwa konsep musyawarah-mufakat sebagai
esensi dari mekanisme politik demokrasi yang mempertemukan berbagai
pendapat dan aspirasi yang berbeda ke dalam suatu konsensus bersama. Konsep
musyawarah-mufakat ini kadang-kadang memang tampak indah di atas kertas,
tetapi tidak dipraktekkan di dalam kehidupan berpolitik sehari-hari. Salah
satu penyebabnya adalah masing-masing kekuatan politik merasa
pendapatnyalah yang paling benar dan berupaya sekuat tenaga
mempertahankannya. Sehingga sulit mencapai konsensus.[xxxvii]
Yang lebih parah lagi kalau suatu konsensus diambil dan diputuskan
bersama yang semestinya harus dilaksanakan oleh semua pihak, tetapi ada
pihak yang tidak mau melaksanakan apa yang sudah diputuskan tersebut karena
mereka merasa tidak sependapat.
9. Pengetahuan (knowlodge).
Charles C. Krulak -di dalam tulisannya yang berjudul The Fourteen
Basic Traits of Effective Leadership- antara lain mengatakan:
"To lead others, you must know your business. …a leader must have
a degree of resident knowledge in his or her respective field. …We
accomplish this through continual self-improvement. We read. We
attend seminars and take courses. We listen".
(Untuk memimpin orang-orang lain, maka anda harus mengetahui urusan
anda…seorang pemimpin harus mempunyai suatu tingkatan pengetahuan tentang
bidangnya masing-masing…Kita menyempurnakan ini dengan melalui peningkatan
diri yang terus-menerus. Kita membaca, menghadiri seminar and mengambil
kursus-kursus serta mendengarkan (dari orang lain).[xxxviii]
Islam memerintahkan pemeluknya untuk senantiasa belajar
(((((((((((( (((((( (((((((((( ((( ((((((( (( ((((((((((( ((((
"…maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui"[xxxix]
(((( (((( ((((((((( ((((((((( ((((((((((( ((((((((((( (( (((((((((((
"Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui?"[xl]
Kemudian di dalam shalat berjamaah, tidak semua orang boleh menjadi
imam (pemimpin shalat). Dalam hal ini Rasulullah Saw. menjelaskan:
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ
أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي
السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا
Dari Abi Mas'ud al-Anshari berkata: Bersabda Rasulullah Saw. :"Hendaklah
yang mengimami kelompok itu adalah orang yang paling baik bacaan (paham) al-
Qur'annya di antara mereka. Kalau mereka sama baik dalam bacaan (pemahaman)
al-Qur'annya, maka yang paling mengetahui Sunnah. Kalau mereka sama
pandainya dalam Sunnah, maka yang lebih dahulu hijrah di antara mereka.
Kalau mereka sama dalam hal hijrah, maka yang lebih dahulu masuk Islam di
antara mereka".[xli]
Atas dasar hadis tersebut dapatlah dipahami bahwa seorang pemimpin
memiliki pengetahuan dan skill dalam bidang pekerjaannya. Tanpa itu, tidak
mungkin dia akan dapat melakukan pekerjaannya atau mengarahkan para stafnya
untuk melakukan pekerjaannya dengan baik. Untuk itulah seorang pemimpin
perlu selalu belajar dan belajar pengetahuan tentang bidang pekerjaannya
dengan cara membaca, bertanya, mengikuti pelatihan-pelatihan dan
sebagainya.
Demikian beberapa di antara sekian banyak karakteristik kepemimpinan
menurut Islam. Menurut Islam pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang
mempunyai karakateristik seperti di atas.
1. Etika berpolitik
Islam merupakan way of life bagi seorang Muslim. Karena itulah Islam
haruslah dijadikan sebagai pedoman dan penuntun dalam semua aktivitas
kehidupannya, termasuk dalam kehidupan berpolitik. Dengan demikian Islam
tidak mungkin dipisahkan dengan kehidupan dunia politik. Pemisahan antara
agama dengan dunia politik hanya mungkin dilakukan apabila yang berpolitik
itu bukan lagi manusia. Agama itu diturunkan memang untuk membimbing dan
mengarahkan kehidupan manusia. Kalau di dalam kehidupan manusia, termasuk
dalam kehidupan berpolitik, sudah sudah tidak berpedoman kepada Agama, maka
akan banyak mengalami kekacauan.
Prof. Dr. Din Syamsuddin -di dalam makalah yang dipresentasikannya di
World Conference of Islamic Scholars pada tanggal 11 Juli 2003- dengan
tegas mengatakan, antara lain, bahwa prinsip tauhid Islam menekankan
hubungan erat antara agama dengan negara, yaitu tidak ada pemisahan antara
agama dengan negara (al-dīn wa al-dawlah) kerana tiada pemisahan antara
agama dengan dunia (al-dīn wa al-dunyā) serta agama dan politik (al-dīn wa
al-siyasah). Berdasarkan prinsip tauhid, ajaran-ajaran Islam meliputi
seluruh aspek kehidupan sama ada sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan,
teknologi, kesenian mahupun politik. [xlii]
Dalam kaitannya dengan masalah ini, tepat apa yang dikatakan oleh
Bachtiar Effendi bahwa apabila ada orang yang mengatakan bahwa Islam dan
politik merupakan hal yang tak bisa dipisahkan, hendaknya tidak lantas
disimpulkan bahwa ia tengah mempromosikan gagasan mengenai teokrasi atau
keharusan kehidupan kenegaraan yang didasarkan pada dua sumber utama Islam,
Qur'an dan Sunnah. Sebab, secara substansial bukan legal-formal, antara
yang spiritual dan non-spiritual saling mempengaruhi. Richard Falk, salah
seorang pelopor studi dan penelitian perdamaian, pernah berujar bahwa
spiritually engaged politics merupakan suatu keniscayaan. Bahkan, secara
tidak langsung ia sendiri turut mempromosikan gagasan tersebut karena
melihat potensi fungsi dan peran spiritualitas dalam menghadirkan
kehidupan dunia yang ramah, damai, dan terbebaskan dari hal-hal yang
bersifat destruktif. [xliii]
Dalam Musyawarah Nasional Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran
Islam P.P. Muhammadiyah di Padang pada tanggal 2 Oktober 2003, Ahmad
Syafi'i Maarif menyampaikan pidato dengan judul "Politik Dalam Masyarakat
Kontemporer Indonesia", antara lain, mengatakan:[xliv]
"Jika al-Qur'an dijadikan rujukan utama dalam membentuk prilaku
seorang Muslim, maka di mana sebenarnya posisi Kitab Suci ini dalam
hubungannya dengan realitas masyarakat kontemporer kita yang gaduh
secara moral dan etika? Juga bagaimana keterkaitan antara konsep
kesalehan pribadi dan kesalehan sosial dalam upaya menciptakan
suatu keseimbangan dalam kehdupan kolektif kita?
Muhammad Asad dalam tafsirnya the Message of the Qur'an menyimpulkan
fungsi al-Qur'an sebagai acuan utama kelakuan seorang Muslim dalam bentuk
pertanyaan: Bagaimana semestinya saya berprilaku untuk meraih kehidupan
baik di dunia ini dan kebahagiaan dalam kehidupan yang akan datang? Menurut
Asad, kecuali al-Qur'an, tidak satu pun Kitab Suci lain yang telah
memberikan jawaban komprehensif terhadap pertanyaan itu. Namun Asad juga
sadar bahwa sebagian besar Muslim telah menyimpang dari ruh pesan al-
Qur'an, sekalipun mereka tetap percaya bahwa "al-Qur'an adalah menifestasi
tertinggi dari rahmat Allah, kearifan tertinggi, dan ekspresi keindahan
yang tertinggi pula: singkatnya, Kalam Allah yang sebenarnya." Bila kita
gumulkan pesan al-Qur'an ini dengan realitas umat, maka terbentanglah
sebuah jurang pemisah yang sangat lebar antara kepercayaan dan prilaku
seorang Muslim dalam kehidupan kolektifnya bila diukur dengan kriteria dan
standar al-Qur'an. Kitab Suci ini dalam bahasanya sendiri juga sekaligus
berfungsi sebagai al-furqan. Ungkapan al-furqan dalam beberapa tafsir
kelasik diartikan sebagai "pembeda antara mana yang halal dan mana yang
haram, antara yang benar dan yang batil."
Fenomena dalam masyarakat kita yang cukup merisaukan adalah kesalehan
pribadi seperti tak ada hubungannya dengan kesalehan sosial. Al-furqan yang
seharusnya berfungsi sebagai penerang dalam suasana kegalauan sistem moral,
seperti telah lama menghilang. Dalam kalimat lain, kesalehan pribadi secara
simbolik yang dipertunjukkan banyak orang dalam berbagai upacara ritual
belum tentu dengan sendirinya terkait dengan kesalehan sosial sebagai salah
satu manifestasi taqwa dalam kehidupan bermasyarakat Juga belum tentu dalam
kesehariannya, orang yang tampaknya saleh secara pribadi itu punya mata
batin yang tajam untuk membedakan antara yang hak dan yang batil, antara
yang pantas dan tidak pantas, dan antara politik yang bermoral dan politik
yang kotor. Kesukaan para elit, eksekutif, dan selibritis melakukan umrah
sebenarnya bukanlah sesuatu yang tidak baik, tetapi pertanyaannya adalah:
dengan melakukan umrah berkali-kali itu, apakah dapat memupuk suburnya
kesalehan sosial berupa perhatian yang lebih meningkat terhadap nasib
sektor masyarakat lemah dan para penganggur yang jumlahnya dari hari ke
hari semakin membengkak? Kriminalitas dan narkoba yang semakin marak
sesungguhnya merupakan indikator lain tentang betapa rapuhnya bangunan
sosial masyarakat Indonesia yang dikatakan religius itu. Semakin tajam kita
membaca realitas masyarakat kita, seharusnya akan semakin besar pula rasa
tanggungjawab kolektif kita untuk terjun ke lapangan bagi usaha pencerahan
lahir-batin masyarakat kita yang kelihatannya semakin terombang-ambing
tanpa pegangan dalam iklim serba ketidakpastian politik, ekonomi, sosial
dan moral.
Kalau demikian penjelasan Asad di atas tentang fungsi al-Qur'an dalam
kaitannya dengan realitas sosial kita yang rancu dan rentan terhadap
keburukan, akan memaksa kita untuk tidak saja sekadar mengoreksi diri
secara biasa, tetapi melakukannya secara total dan berani, jika memang kita
beriman kepada Kitab Suci ini. Pertanyaan kita adalah: siapa di antara
kita, ulama, pemimpin organisasi, politisi, birokrat, cendekiawan, dan para
mubaligh yang bersedia secara tulus untuk berunding dengan al-Qur'an dalam
kehidupan sehari-harinya? Jawaban masing-masing kita terhadap pertanyaan
ini akan menentukan corak prilaku kita, apakah masih berada dalam koridor
moral-etika al-Qur'an atau kelakuan kita sudah menyimpang sama sekali dari
pesan kitab suci yang kita imani itu.
Sebagai al-Furqan, patokan moral al-Qur'an itu teramat gamblang,
"bersuluh matahari, bukan bersuluh batang pisang", kata orang Minang. Kita
ambil prinsip musyawarah misalnya sebagai dasar etika kita dalam hidup
bersama, suatu prinsip yang jelas-jelas diperintahkan al-Qur'an, tetapi
yang sering benar dilanggar karena kepentingan politik sesaat. Perpecahan
yang sedang terjadi di kalangan partai-partai yang berlabel atau yang
berbasiskan kaum santri adalah contoh yang paling dekat dengan situasi kita
sekarang yang sekaligus memperlihatkan betapa jauhnya kelakuan kita dari
sistem etika al-Qur'an. Orang dengan mudah memecat atau menyingkirkan orang
lain yang dinilai tidak loyal kepadanya, tanpa alasan yang jelas dan
obyektif. Yang lebih ironis lagi adalah perpecahan, nyata atau terselubung,
yang berlaku dalam partai yang secara formal berasaskan Islam. Membaca
fenomena ini, pertanyaan yang muncul adalah: apakah dalam politik orang
tidak merasa malu mempertunjukkan sikap hipokrit yang nyata-nyata
mengkhianati etika al-Qur'an dalam hidup berorganisasi dan berpartai?
Apakah kita ini memang orang yang beriman sungguhan atau hanya berpura-pura
beriman? Syahwat berkuasa sering benar melumpuhkan hati nurani manusia,
hingga persaudaraan kita menjadi berantakan.
Berdasarkan pengalaman empirik kita di Indonesia, beliau ragu apakah
mereka yang rajin salat dan puasa atau telah menunaihan ibadah haji berkali-
kali sudah pasti menjadi orang beriman dan bertaqwa yang sebenarnya
sebagaimana yang dikehendaki al-Qur'an. Apa boleh buat, pertanyaan terpaksa
saya kemukakan dalam tulisan ini, karena realitas sehari-hari yang kita
hadapi sungguh menyesakkan nafas. Premanisme dalam politik dan politik uang
yang semakin marak dari waktu ke waktu misalnya adalah contoh tentang
betapa rusaknya sendi-sendi moral bangsa kita. Sesuai dengan perbandingan
komposisi penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim, maka tidak akan salah
bila kita menyimpulkan bahwa yang terbanyak melakukan perbuatan yang
merusak itu adalah juga umat Islam.
Bagi beliau, kemelut yang sering diderita oleh berbagai organisasi
kaum santri, penyebabnya tunggal: tidak mau berunding secara tulus dengan
al-Qur'an dalam mengatur prilaku kolektif mereka. Egoisme dan kepentingan
pragmatis dalam politik jauh lebih dominan daripada etika al-Qur'an yang
seharusnya dijadikan acuan utama. Dalam ungkapan lain, al-Qur'an tidak lagi
berfungsi sebagai hudan dalam cara mereka berpolitik. Dengan demikian
sebenarnya yang berlaku adalah bahwa kita sudah tidak sungguh-sungguh lagi
beragama, sekalipun sebagian kita menuntut simbol-simbol agama secara
formal dalam politik kenegaraan. Dengan begitu, mayoritas Muslim di
Indonesia adalah mayoritas kuantitatif, tetapi sangat rendah dan rentan
dalam kualitas moral. Mayoritas yang telah menjadi beban sejarah.
Dalam prinsip musyawarah terkandung juga prinsip etika yang lain
berupa sikap lapang dada dan rendah hati, siapa pun kita, pemimpin atau
orang biasa. Orang yang dadanya sempit dan sikapnya sombong jelas sudah
menyimpang jauh dari etika al-Qur'an. Kita kutip terjemahan ayat berikut
ini: "Dan janganlah engkau berjalan di muka dengan sikap sombong, karena
sesungguhnya engkau tidak akan bisa menembus bumi, dan engkau tidak mungkin
bertanding tinggi dengan gunung-gunung". Ayat ini menyuruh kita untuk
berkaca diri dengan menghubungkannya dengan fenomena alam, yaitu janganlah
mengukur diri sendiri dengan kehebatan bumi dan tingginya gunung, hingga
kita menjadi congkak dan besar kepala, lupa daratan dan lupa lautan.
Kelakuan sebagian para pejabat kita, sipil dan militer, di saat berada pada
posisi pengambil keputusan, sering benar menjadi manusia penaka dewa-raja
yang suka disembah dan dipuja. Budaya neo-feodalisme ternyata masih kuat
mempengaruhi prilaku para pejabat dan elit kita.
Ayat lain dengan muatan perintah yang mirip juga kita jumpai. Kita
baca terjemahannya: "Dan janganlah engkau palingkan pipimu buat manusia
(ketika berbicara), dan janganlah engkau berjalan di muka bumi dengan sikap
sombong. Sesungguhnya Allah tidak menyukai si penyombong, congkak".
Penyakit sebagian pemimpin kita yang lagi naik daun sekarang, seperti telah
disinggung di atas, adalah sikap angkuh, seperti dia adalah segala-galanya,
orang lain boleh dilecehkan. Padahal prinsip musyawarah yang betul bila
diikuti dengan baik pasti mendidik orang agar merasa berada dalam posisi
yang sama dengan orang lain. Kalaulah ia dipilih menjadi pemimpin, itu
semata-mata karena ia dianggap punya nilai sedikit lebih di antara yang
setaraf.
Dalam politik, sistem demokrasi menurut pandangan saya lebih dekat
kepada prinsip musyawarah dibandingkan dengan sistem kerajaan atau sistem
otoritarian yang lain. Tetapi sebuah bangunan demokrasi yang kuat dan sehat
hanyalah mungkin tegak jika pendukung sistem itu adalah para demokrat dalam
teori dan praktik. Sayang dalam budaya politik yang berkembang di Indonesia
sekarang, yang banyak muncul adalah para politisi yang bersikap demokrat
dalam teori, otoritarian dalam perilaku praksis. Fenomena semacam ini
semakin menyulitkan kita untuk mencari pemimpin yang layak bagi negara kita
yang menginginkan tegaknya sebuah perumahan demokrasi yang sehat.
Kemudian di kalangan negeri-negeri Muslim sendiri, belum ada
kesepakatan untuk memilih dan menetapkan sistem politik yang mana dan
bagaimana kira-kira yang lebih mendekati prinsip musyawarah dalam al-Qur'an
yang selama berabad-abad telah terkubur dalam debu sejarah. Akibatnya akan
sangat sulitlah, misalnya, menemukan sistem demokrasi di negeri-negeri Arab
sekarang ini lantaran mereka telah kehilangan jejak sejak berakhirnya
sistem al-khulafa al-rasyidun yang jauh dari sistem dinasti.
Sebagai perbandingan yang cukup relevan dengan kondisi kita di
Indonesia, mari kita tengok negeri-negeri Arab yang juga berpenduduk
mayoritas Muslim itu dalam kaitannya dengan krisis yang mereka alami sampai
hari ini. Seorang penulis Yordania, Mohammad Abu-Kazleh, yang bermukin di
Kuala Lumpur menyoroti dunia Arab yang tampaknya tak putus-putusnya
dirundung malang. Dalam artikelnya yang berjudul: "Crisis in the Arab
World", Kazleh menyimpulkan mengapa dunia Arab gagal untuk mencapai
persatuan, integrasi, dan kerjasama yang kuat antara mereka. Faktor-faktor
apa pula yang menghalangi mereka bergerak bersama atau setidak-tidaknya
mengkordinasikan kebijakan mereka untuk menghadapi tantangan yang semakin
besar yang dapat membahayakan identitas dan eksistensi mereka sebagai
bangsa.
Menurut Kazleh, terdapat tiga faktor yang saling terkait yang menjadi
sebab utama mengapa dunia Arab susah sekali bersatu dan bekerjasama.
Pertama, absennya efisiensi dalam institusi regional. Kerjasama regional
atau pun internasional akan tergantung kepada terwujudnya realisasi
kerjasama untuk kepentingan bersama. Dunia Arab sebegitu jauh telah gagal
meraih tipe integrasi atau persatuan sekalipun didukung oleh faktor-faktor
kondusif seperti agama, bahasa, persamaan pengalaman sejarah, lingkungan
geografis, sumber-sumber alam yang kaya, kepentingan bersama, dan lain-
lain. Liga Arab yang didirikan pada 1945 bahkan gagal mencapai tujuan-
tujuan minimal dari eksistensinya, sekalipun telah dipukul dan dipermalukan
berkali-kali oleh berbagai peperangan sejak meraih kemerdekaan. Ini adalah
sebuah keanehan yang nyata yang dialami oleh negeri-negeri Arab sampai hari
ini. Kedua, terbentangnya rintangan mengapa dunia Arab sulit sekali bersatu
atau mewujudkan solidaritas antara mereka adalah karena bercokolnya rejim-
rejim otokratik yang tidak sah. Penguasa-penguasa di dunia Arab mendapatkan
kekuasaan melalui dua saluran: (1) kudeta militer (mungkin berdarah), dan
(2) sebagai warisan. Lantaran kebijakan mereka yang otokratik dan
menindas, rejim-rejim ini tidak saja kekurangan legitimasi, tetapi juga
kurang mendapat dukungan rakyat banyak. Itulah sebabnya, untuk
mempertahankan kekuasaannya, mereka bergantung kepada dukungan militer,
politik, dan finasial dari negara-negara asing, khususnya Amerika Serikat
yang telah "merampas" sebagian kedaulatan negara mereka.
Dalam pertemuan puncak terakhir sebelum invasi Amerika-Inggris ke
Iraq, terjadilah sesuatu peristiwa yang memalukan. Sekalipun adanya
tantangan kuat terhadap perang di kalangan negari-negari Barat sendiri,
pemimpin-pemimpin Arab telah gagal mencapai persetujuan agar tidak
memberikan fasilitas kepada pasukan Amerika. Sebagian pemimpin Arab bahkan
secara diam-diam membantu invasi itu dan membiarkan Iraq memikul segala
risikonya. Ketiga, kuatnya pengaruh asing dan tidak adanya kemauan politik
bebas. Adanya pengaruh asing dan ketidakmampuan para pemimpin melaksanakan
kemauan politik mereka adalah di antara rintangan bagi terwujudnya
kerjasama Arab.
Ketergantungan kepada Amerika yang menjadi pelindung rejim-rejim
otokratik Arab telah membatasi kemampuan mereka untuk bergerak atau membuat
keputusan-keputusan politik bebas mengenai isu-isu regional. Keadaan
semacam ini akan berlangsung terus selama kebijakan internal dan eksternal
dirumuskan dalam suasana otokratik tanpa partisipasi rakyat banyak yang
dilibatkan dalam pengambilan keputusan-keputusan penting. Ringkasnya,
krsisis dunia Arab yang berlarut-larut ini berkaitan dengan tidak adanya
organisasi yang efektif, tidak adanya demokrasi sungguhan, regim yang
tergantung pada pihak asing, serta pengaruh dan intervensi asing. Regim-
regim yang berkuasa sekarang merupakan bagian dari masalah; mereka bukan
solusi. Jalan keluar yang ditawarkan Kazleh adalah langkah-langkah berikut:
tampilnya kepemimpinan yang capable yang (a) wajib memiliki visi sejarah
yang komprehensif tentang masa depan; (b) memiliki kemampuan untuk
mempersatukan seluruh kepentingan dan agenda negara-negara Arab; dan (c)
mampu merumuskan tujuan-tujuan dan instrumen-instrumen bersama guna
mencapai tujuan-tujuan di atas. Di mata Kazleh, kepemimpinan yang dimaksud
di atas hanyalah mungkin menjadi kenyataan dalam sistem politik demokrasi
sungguhan yang dapat memaksa kelompok elit agar siap dan mau menjadi
pelayan publik. Hanya dengan cara ini saja, kata Kazleh, Arab dapat
mencegah opresi brutal Isreal terhadap Palestina, dan mengalahkan
pendudukan Amerika atas Iraq atau atas negeri Arab yang mana pun.
Apa yang dirasakan Kazleh, juga kita rasakan di tanah air kita. Karena
lemahnya keterikatan kita dengan etika al-Qur'an dalam berpolitik hingga
kaum santri berpecah-belah, tidak jarang dengan membawa nama Tuhan, maka
tidak mengherankan panggung politik Indonesia sekarang lebih banyak
dikuasai oleh para preman, dan yang tidak kurang buruknya adalah fakta
bahwa mereka yang mengaku santri masuk dalam barisan itu. Inilah yang
menjadi sebab utama mengapa kondisi perpolitikan Indonesia dari hari ke
hari semakin ruwet dan rentan, sementara kedaulatan kita sudah agak lama
dipermainkan pihak luar. Tidak banyak bedanya dengan negeri-negeri Arab
yang juga "tak putus dirundung malang" itu. Selama etika politik yang kita
pedomani adalah etika kepentingan sesaat yang pragmatis, maka cita-cita
untuk mengawinkan kesalehan pribadi dengan kesalehan sosial hanyalah akan
menjadi gumpalan asap tanpa substansi.
Al-Qur'an sebagai Kitab Suci kita tetap tidak mengalami perubahan
sejak zaman nabi, tetapi mengapa kita belum terpanggil juga untuk berimam
dan berpedoman kepadanya dalam cara kita berpolitik? Tidakkah batin kita
tersentuh oleh keluhan seorang rasul tentang nasib al-Qur'an dalam bentuk
ungkapan: "Dan berkatalah rasul: Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah
menelantarkan al-Qur'an ini?" Kurang lebih tiga puluh tujuh tahun yang
lalu, Mohammad Hatta -dalam pidatonya pada hari alumni I Universitas
Indonesia tanggal 11 Juni 1957- pernah mengatakan, antara lain:
"Krisis kepercayaan terhadap pimpinan negara yang dihadapi oleh bangsa
kita sekarang ini tidak dapat diatasi dengan mengganti demokrasi
dengan diktator. Malahan pergantian itu akan menimbulkan keadaan yang
lebih buruk, akan menghilangkan kepercayaan sama sekali. Obatnya hanya
satu: memberikan kepada negara pimpinan yang dipercayai oleh rakyat!
Oleh karena krisis ini merupakan pula krisis demokrasi, maka perlulah
hidup berpolitik diperbaiki, partai-partai mengindahkan dasar-dasar
moral dalam segala tindakannya. Korupsi harus diberantas sampai pada
akar-akarnya, dengan tiada memandang bulu. Jika tiba di mata tidak
dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan. Demoralisasi yang mulai
menjadi penyakit masyarakat diusahakan hilangnya berangsur-angsur
dengan tindakan yang positif, yang memberi harapan pada perbaikan
nasib" [xlv]
Berbicara tentang etika politik pada dasarnya membicarakan tentang
bagaimana seharusnya para pelaku politik tersebut bertindak dan berbuat
dalam aktivitas politik mereka sesuai dengan etika dan moral.
Di dalam Islam ada beberapa etika politik, antara lain: saling
menghormati, saling menghargai hak orang lain, saling menerima dan tidak
memaksakan pendapat sendiri, [xlvi]tidak boleh berdusta dan obral janji,
tidak boleh saling olok, tidak boleh mengadu domba, memilih orang yang
tepat untuk menduduki suatu jabatan, meraih kekuasaan dengan cara yang
baik, suka bermusyawarah, adil dan amanah dalam melaksanakan tugas, dan
lain sebagainya.
Berikut ini di antara ayat dan hadis yang terkait dengan masalah di
atas:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ مَا خَطَبَنَا نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا قَالَ لَا إِيمَانَ
لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ
Dari Anas bin Malik berkata Nabi Saw. tidak berbicara kepada kami melainkan
"Tidak beriman bagi siapa yang tidak (memegang) amanah dan tidak beragama
bagi siapa yang tidak menepati janjinya".[xlvii]
Allah Swt. juga berfirman:
( (((( (((( (((((((((((( ((( ((((((((( (((((((((((( (((((( ((((((((( (
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya".[xlviii]
Dalam hadisnya yang sangat populer, Rasulullah Saw. bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ فِي
أَهْلِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْ
رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ فِي مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
"Dari ibnu Umar r.a. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: "Setiap kamu
sekalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang
dipimpinnya, Imam adalah pemimpin dan akan mintai pertangungjawaban
terhadap yang dipimpinnya, suami adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan
mintai pertangungjawaban terhadap yang dipimpinnya, isteri adalah pemimpin
dalam rumah suaminya dan akan mintai pertangungjawaban terhadap yang
dipimpinnya dan pembantu terhadap harta majikannya adalah pemimpin dan akan
mintai pertangungjawaban terhadap yang dipimpinnya (Hadis Riwayat
Bukhari)".[xlix]
Di dalam al-Qur'an Allah berfirman:
(((( (((((((((((( (((((((((( (((( (((((((((( (((
"Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu (hari Qiamat) tentang
kenikmatan (yang kamu bangga-banggakan di dunia itu)".[l]
((((((((((( ((((((((( (((((((((( (((((((( (((((((((( (( ((((((((((
(((((((((((( ( (((( (((((((((((((( ((((((((( (((((( (((((( (((( (((((((((((
( ((((((((((( (((( (((((((( ((((((((((( ( ((((((((((( (((( ( (((( ((((
((((((( ((((( ((((((((((( (((
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan".[li]
(((((( ((((((((((( (((((((( ((((((((((( ((((((((((( (((((((((( ((((((
(((((((( (((((( ((((((( (((( ( (((( ((((( (((((((((((((((( (((((((( (((((
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak
bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. [lii]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ
الْأَخْلَاقِ
Dari Abi Hurairah r.a. berkata: Bersabda Rasulullah Saw.: Saya diutus
hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang baik (mulia) (Hadis Riwayat Imam
Ahmad).[liii]
(((( (((( (((((( (((((((((((((((((( (((((
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya".[liv]
Islam melarang seseorang atau suatu kelompok mengolok dan mengejek
orang atau kelompok lain. Hal ini dengan tegas dinyatakan dalam al-Qur'an:
((((((((((( ((((((((( (((((((((( (( (((((((( (((((( (((( (((((( (((((( (((
(((((((((( ((((((( ((((((((( (((( (((((((( (((( ((((((((( (((((( ((( ((((((
((((((( ((((((((( ( (((( (((((((((((( ((((((((((( (((( ((((((((((((
((((((((((((( ( (((((( (((((((( ((((((((((( (((((( (((((((((( ( ((((( ((((
(((((( (((((((((((((( (((( ((((((((((((( ((((
"Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang
lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka
(yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-
wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan)
lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela
dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang
buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman
dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim." (QS. Al-Hujurat: 11).
C. RANGKUMAN
Politik adalah aneka aktivitas dalam suatu sistem politik atau negara
yang menyangkut proses menentukan dan melaksanakan tujuan dari sistem
tersebut. Ada juga yang mengartikan politik sebagai suatu seni dan ilmu
untuk meraih dan mencapai kekuasaan, baik secara konstitusional maupun
inkonstitusional. Untuk melaksanakan tujuan yang ingin dicapai tersebut,
maka perlu adanya kebijaksanaan umum (public policy) yang berkenaan dengan
pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi dari sumber-sumber
yang ada. Sedangkan untuk melaksanakan kebijaksanaan tersebut diperlukan
kekuasaan (power) dan kewenangan (authority). Cara yang digunakan dapat
berupa persuasif maupun paksaan.
Prinsip tauhid Islam menekankan hubungan erat antara agama dengan
negara, yaitu tidak ada pemisahan antara agama dengan negara (al-dīn wa al-
dawlah) kerana tiada pemisahan antara agama dengan dunia (al-dīn wa al-
dunyā) serta agama dan politik (al-dīn wa al-siyasah). Berdasarkan prinsip
tauhid, ajaran-ajaran Islam meliputi seluruh aspek kehidupan sama ada
sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian mahupun politik.
D. LATIHAN
1. Jelaskan prinsip Islam dalam bernegara!
2. Bagaimana pola hubungan pemimpin dan rakyat yang Islami?
3. Bagaimana etika berpolitik secara benar?
E. REFERENSI (END NOTE)
-----------------------
[i] Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT.
Gramedia, 1982), hal. 8.
[ii] http://wikipedia.org.
[iii] Ibid.
[iv] Lihat: Nur Cholis Majid, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam
Sejarah, (Jakarta: Yayasan Paramadina).
[v] Lihat: Syamsurizal Yazid, catatan pelajaran Mahfuzhat kelas III
Kulliyatul Mu'allimin al-Islamiah, Pondok Modern Gontor Ponorogo tahun
1972.
[vi] Nur Cholis Majid, Op .Cit.
[vii] Abu Daud Sulaiman bin al-Asya'ats al-Sajastani al-Azd, Sunan Abu
Daud, (Beirut: Maktabah al-Ashriah), kitab al-Jihd, hadis nomor
2241.
[viii] Lihat Syamsurizal Yazid dalam makalah yang berjudul Karaktersitik
Leadership Menurut Islam, disampaikan dalam Pelatihan Leadership bagi
Jabatan Kepala Bagian di Lingkungan UMM yang diād, hadis nomor 2241.
[ix] Lihat Syamsurizal Yazid dalam makalah yang berjudul Karaktersitik
Leadership Menurut Islam, disampaikan dalam Pelatihan Leadership bagi
Jabatan Kepala Bagian di Lingkungan UMM yang diselenggarkan oleh Badan
Pengembangan Sumberdaya Manusia UMM pada tanggal 12 Pebruari 2005 di aula
masjid AR Fakhruddin dan lihat juga Syamsurizal Yazid dalam tulisan yang
berjudul: "The Caharactersitics of The Muslim Leader Based on the Holy
Quran and Sunnah dalam Reform No.28 tahun 2005.
[x] Lihat: Syamsurizal Yazid, Memahami Makna Musibah dan Bencana. Teks
khutbah Iedul Adha yang disampaikan di stadion Sengkaling Mulyoagung pada
hari Jum'at, 21 Januari 2005.
[xi] Ibnu Majah(t.th.): Sunan Ibu Majah (Beirut: Dāru Ihya'u al-turats al-
Arabi).
[xii] Dr. Yusuf al-Qardhawi, Iman, Revolusi dan Reformasi Kehidupan, alih
bahasa Anwar Wahdi Hasi dan H.M. Mochtar Zoerni, (Surabaya: Bina Ilmu,
1986), hal. 9.
[xiii] Ibid., kitab al-Riqaq, hadis nomor 6015.
[xiv] Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad مسند
الإمام أحمد, (Mesir: Dāru al-Ma'arif, 1949), kitab Bāqi Musnad al-
Muktsirin, hadis nomor 1193.
[xv] Al-Qur'an, surat al-Nisa' [3]: ayat 58.
[xvi] Al-Hafidz Imaduddin Abu al-Fida' Ismail bin Katsir al-Qursyi al-
Dimasyqi, Tafsir al-Qur'ān al-Karīm, Maktabah, (Damaskus: Dār al-Faiha',
1994), juz 5, hal. 685.
[xvii] Lihat: Umar Abdul Jabbar (t.th.): خلاصة نور اليقين فى سيرة سيد
المرسلين, (Surabaya: Maktabah Salim Nabhan), juz l, hal. 12.
[xviii] Prof. Dr. Widi Agoes Pratikto, M.Sc, Ph.D, Pemimpin dan
Kepemimpinan, Makalah yang dipresentasikan dalam kolokium kajian spiritual
tentang Proses Pengambilan Keputusan yang diselenggarakan di Universitas
Negeri Malang pada tanggal 5 Februari 2005.
[xix] Shahih Bukhari: Op .Cit., kitab Al-Istiqradh wa ada'i ad-duyūn wa al-
hijr wa al-taflis, hadis nomor 2232.
[xx] Al-Qur'an, surat At-Takātsur, ayat 8.
[xxi] Dr. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 2003),
hal. 114-117.
[xxii] Al-Qur'an, surat al-Nisa', ayat 58.
[xxiii] Dr. M. Quraish Shihab, Op .Cit., hal. 426.
[xxiv] Al-Qur'an, surat al-Maidah, ayat 8.
[xxv] Al-Qur'an, surat al-Nisa', ayat 105.
[xxvi] Al-Qur'an, surat al-Syura, ayat 15.
[xxvii] Al-Qur'an, surat al-Hujurat, ayat 6.
[xxviii] Jack Calareso, Good Leaders Put Morality Above All Else,
Published: Saturday, April 17,2004. Editorial & Comment 08A, The Columbus
Dispatch Editorial. http://www.ohiodominican.edu/ president/Morality.shtml
[xxix] مسند الإمام أحمد : Op .Cit., kitab Bāqi Musnad al-Muktsirīn, hadis
nomor 8595.
[xxx] Al-Qur'an, surat al-Qalam, ayat 4.
[xxxi] مسند الإمام أحمد: Op. Cit., kitab Bāqi Musnad al-Anshar, hadis
nomor 24139.
[xxxii] Abu Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, ( al-Amiriyah: 1292 H),
kitab al-Īmān 'an Rasulillah, hadis nomor 2537.
[xxxiii] Al-Qur'an, surat Ali Imran, ayat 159.
[xxxiv] Al-Qur'an, surat al-Nisa', ayat 86.
[xxxv] Ibnu Katsir: Op. Cit., juz 10, hal. 429.
[xxxvi] Al-Qur'an, surat Ali Imran, ayat 159.
[xxxvii] Al-Qur'an, surat al-Syura, ayat 38.
[xxxviii] Alfian, Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia, (Jakarta:
LP3ES,1980), hal. 177.
[xxxix] http://students.salisbury.edu/~greek/leader.htm.
[xl]Al-Qur'an, surat al-Nahl, ayat 43 dan surat al-Anbiya', ayat 7.
[xli] Al-Qur'an, surat al-Zumar, ayat 9.
[xlii] Sahih Muslim, Op. Cit., Kitab al-Masājid wa Maudhi'u al-Shalat,
hadis nomor 1078.
[xliii] http://www.bernama.com.
[xliv] http://www.dilibrary.net.
[xlv] http://www.muhammadiyah.or.id.
[xlvi] Aswab Mahasin dan Ismed Natsir (penyunting), Cendekiawan dan
Politik, (Jakarta: LP3ES, 1983)
[xlvii] www.republika.co.id.
[xlviii] Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad,
Musnad Imam Ahmad, (Mesir: Dāru al-Ma'arif, kitab Bāqi Musnad al-Muktsirīn,
1949), hadis nomor 1193.
[xlix] Al-Qur'an, surat al-Nisa', ayat 58.
[l] Shahih Bukhari, Op .Cit., kitab al-Istiqradh wa ada'i al-duyūn wa al-
hijr wa at-taflīs, hadis nomor 2232.
[li] Al-Qur'an, surat al-Takātsur, ayat 8.
[lii] Al-Qur'an, surat al-Maidah, ayat 8.
[liii] Al-Qur'an, surat al-Nisa', ayat 105.
[liv] Musnad Imam Ahmad, Op.Cit., kitab Bāqi Musnad al-Muktsirīn, hadis
nomor 8595.
[lv] Al-Qur'an, surat Ali Imran, ayat 159.