BAB I
AKHLAK DAN MU'AMALAH
1. Akhlak
1. Pendahuluan
Salah satu aspek ajaran dalam Islam adalah ajaran tentang akhlak.
Dalam ajaran Islam persoalan akhlak menempati posisi yang sangat penting,
bahkan merupakan inti dari ajaran Islam secara keseluruhan (Al-Taftanzani,
1991:8). Hal ini disebabkan karena setiap aspek yang diajarkan oleh Islam
baik itu aspek aqidah, ibadah, maupun muamalah pada akhirnya dimaksudkan
untuk merealisasikan akhlak yang mulia. Akidah tidak dianggap benar jika
tidak disertai dengan ibadah dan perwujudan akhlak yang mulia. Ibadah
tidak memiliki makna apa-apa jika tidak dilandasi oleh akidah yang benar
dan tidak melahirkan akhlak yang mulia. Muamalah yang dilakukan manusia
apapun bentuknya apakah itu dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan,
budaya, dll. hanya akan melahirkan malapetaka dan bencana kehidupan jika
tidak dibarengi dengan akhlak yang mulia. Akhlak dalam Islam merupakan
ujung tombak untuk mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil 'alamin. Oleh
sebab itu perhatian Islam terhadap persoalan akhlak melebihi perhatiannya
terhadap aspek ajaran Islam yang lain. Perhatian Islam yang demikian besar
tersebut dapat dilihat dari pernyataan Rasulullah Saw. yang mengaitkan
akhlak dengan missi kerasulannya. Beliau bersabda:
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق (رواه مالك)
Artinya:"Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk meyempurnakan akhlak yang
mulia" (H.R. Malik)
Hadis ini menunjukkan dengan jelas bahwa missi utama diutusnya Nabi
Muhammad Saw. ke dunia ini tiada lain hanyalah untuk membangun,
mengembangkan, dan menyempurnakan kehidupan yang berlandaskan pada nilai-
nilai akhlak yang mulia.
Hadis ini diperkuat dengan hadis-hadis lain ketika Rasulullah Saw.
menunjukkan posisi akhlak mulia dalam Islam. Beliau menyatakan:
"Sesuatu yang paling berat timbangannya pada hari kiamat adalah taqwa
kepada Allah dan akhlak yang mulia" (H.R. Abu Dawud dan al-Tirmidzi)
"Sesungguhnya diantara kalian yang paling aku cintai dan paling dekat
kedudukannya denganku pada hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya"
(H.R. al-Thabrani)
Ketika ditanyakan kepada Rasulullah: "Wahai Rasulullah, siapakah orang
mukmin yang paling utama imannya?" Beliau menjawab: "Yang paling baik
akhlaknya" (H.R. Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa`I, dan al-Hakim).
Dan salah satu doa yang banyak dibaca oleh Rasulullah adalah:"Ya Allah,
sesungguhnya aku mohon kepadamu sehat dan afiat serta akhlak yang baik"
(H.R. al-Kharaithi)
Dari hadis-hadis di atas dapatlah difahami bahwa Islam memiliki
obsesi yang tinggi untuk mewujudkan manusia yang memiliki akhlak yang mulia
yang dari situ akan lahir masyarakat yang mulia yang mampu mengemban amanah
untuk memakmurkan dunia di atas landasan norma dan akhlak yang mulia.
Sebab hanya dengan akhlak yang mulia manusia akan dapat mewujudkan
kehidupan yang penuh kedamaian, kesejehteraan, kebahagiaan, dan terhindar
dari bencana dan malapetaka.
Dan perlu diketahui bahwa akhlak dalam Islam tidak hanya berkaitan
dengan pengetahuan dan kesadaran tentang baik dan buruk, terpuji dan
tercela. Atau dengan kata lain untuk sekedar mengetahui bahwa jujur itu
baik dan terpuji, bohong itu buruk dan tercela, dst. Akan tetapi ia
memiliki jangkauan yang lebih jauh dari itu semua. Akhlak berkaitan dengan
kesadaran dan keterkesanan jiwa tentang sesuatu yang seharusnya diwujudkan
atau dilakukan kemudian ia melakukannya dengan suka rela, serta kesadaran
dan keterkesanan jiwa tentang sesuatu yang seharusnya tidak diwujudkan dan
tidak dilakukan kemudian ia meninggalkannya dengan suka rela (Syaltut,
1966: 473). Dengan demikian akhlak dalam Islam merupakan ikatan yang harus
menjadi pegangan umat Islam dalam rangka mewujudkan diri sebagai manusia
muslim yang sejati yakni manusia yang dalam segala aspek kehidupannya
selalu menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak yang mulia.
2. Pengertian akhlak
Secara etimologis, kata akhlak merupakan bentuk jamak dari kata
khuluq yang dalam kamus al-Munjid diartikan dengan harga diri, kebiasaan,
perangai, dan tabiat (Ma`luf, 1984: 194), dan dalam al-Mu`jam al-Asasi
diartikan dengan sekumpulan sifat jiwa dan amal perbuatan manusia yang
dianggap baik atau buruk (Tim, 1988: 419), sedangkan dalam Dairah al-
Ma`arif diartikan dengan sifat-sifat manusia yang berbau moral (Yunus,t.t.:
436). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan dengan budi
pekerti, kelakuan (Tim, 1993: 15).
Dalam bahasa Arab kata khuluq memiliki akar kata yang sama dengan
kata khalq (ciptaan,makhluk,perangai) yang keduanya sama-sama digunakan.
Misalnya dikatakan:
فلان حسن الخُلُق والخَلْق
artinya: Si Fulan baik perangai batin dan lahirnya. Khuluq merupakan
perangai batin, sementara khalq merupakan perangai lahir (Al-Ghazali,
1989: 58).
Sedangkan akhlak secara terminologis adalah sebagai berikut:
1. Menurut Ibnu Maskawaih (wafat 421 H/1030 M) dalam bukunya Tahdzib al-
Akhlaq, bahwa yang dimaksud dengan akhlak adalah:
حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر ولا روية
Artinya: "Satu kondisi (sifat) yang ada dalam jiwa yang mendorong untuk
melakukan sesuatu tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan"
(Maskawaih, )
2. Menurut al-Ghazali (wafat 505 H/1111 M) dalam bukunya Ihya` Ulumuddin,
bahwa akhlak adalah:
عبارة عن هيئة في النفس راسخة عنها تصدر الأفعال بسهولة ويسر من غير حاجة
إلى فكر وروية
Artinya:"Kondisi (sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya amal
perbuatan lahir dengan mudah tanpa membutuhkan pemikiran dan
pertimbangan" (Al-Ghazali,1989: 57)
Dari definisi di atas dapatlah disimpulkan:
Pertama, bahwa akhlak merupakan sifat batiniah yang sudah menginternal dan
mendarah daging dalam diri seseorang dan sudah menjadi watak dan tabiatnya.
Ia merupakan sifat yang murni dalam diri seseorang yang melahirkan
perbuatan tanpa ada unsur lain yang mempengaruhinya. Orang yang memiliki
akhlak dermawan misalnya, maka kedermawanan itu memang sudah merupakan
watak dan tabiatnya. Apabila ia berbuat derma, maka perbuatan itu
dilakukannya tanpa ada unsur lain yang mempengaruhinya selain sifat
kedermawanan yang sudah menjadi akhlaknya tersebut.
Kedua, perbuatan akhlak muncul dari diri seseorang secara mudah dan spontan
tanpa pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu. Maksudnya bahwa perbuatan
tersebut dilakukan secara suka rela, tanpa paksaan, atau susah payah, atau
karena pengaruh faktor di luar dirinya. Oleh karena itu apabila orang
melakukan kejujuran karena terpaksa, atau agar dilihat sebagai orang yang
baik, atau karena pertimbangan faktor politik, ekonomi, atau yang lain
misalnya, maka perbuatan tersebut tidaklah dapat disebut sebagai perbuatan
akhlak kejujuran dan orang yang melakukannaya tidak dapat dikatakan
memiliki akhlak kejujuran.
Dengan demikian akhlak terkait dengan sesuatu yang ada dalam diri
manusia yang sifatnya sudah mendarah-daging dan menginternal serta
merupakan motivator berbuat secara suka rela. Akhlak bukanlah gambaran
tentang perbuatan, sebab kadangkala ada orang yang akhlaknya dermawan akan
tetapi tidak dapat memberi karena tidak punya uang atau karena halangan.
Begitu pula ada orang yang akhlaknya bakhil akan tetapi ia memberi karena
ada faktor luar yang mendorongnya atau karena riya` (Al-Jurjani, 1993:
136).
3. Perbedaan Akhlak, Etika dan Moral
Etika
Biasanya kata akhlak disamakan dengan kata etika dan moral. Meskipun
ada titik kesamaan antara ketiga kata tersebut akan tetapi ada pula titik
perbedaannya.
Secara etimologis kata etika berasal dari bahasaYunanai ethos yang berarti
adat kebiasaan (Bertens, 1997:4). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia etika
diartikan dengan:
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak)
2. Kumpulan asas atau nilai yang berhubungan dengan akhlak
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat (Tim, 1993: 237)
Sedangkan secara terminologis ada beberapa pengertian yang
disampaikan oleh para pakar, di antaranya:
1. Menurut Ahmad Amin dalam bukunya Etika (Ilmu Akhlak) bahwa Etika adalah
ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang
seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju
oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk
melakukan apa yang seharusnya diperbuat (Amin, 1983: 3)
2. Menurut Lewis Mulford Adams dalam New Masters Pictorial Encyclopaedia
sebagaimana dikutip oleh Asmaran As, bahwa Etika adalah ilmu tentang
filsafat moral, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-nilai, tidak
mengenai sifat tindakan manusia, tetapi tentang idenya (Asmaran 1992: 6)
3. Menurut Hamzah Ya'qub dalam buku Etika Islam bahwa Etika adalah ilmu
yang menyelidiki mana yang bak dan mana yang buruk dengan memperhatikan
amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran
(Ya'qub, 1983: 13)
Dari definisi di atas dapatlah disimpulkan:
Pertama, etika merupakan disiplin ilmu pengetahuan yang objek kajiannya
adalah tingkah laku manusia untuk menentukan baik dan buruknya
Kedua, dalam etika ukuran untuk menentukan baik-buruk tingkah laku manusia
tersebut adalah akal pikiran
Ketiga, etika bersifat teoritis dan memandang tingkah laku manusia secara
universal.
Moral
Sedangkan moral secara etimologis berasal dari bahasa Latin mores
yaitu jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan (Asmaran As, 1992: 8).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia moral diartikan dengan ajaran tentang
baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb.
Secara terminologis kata moral didefinisikan sebagai berikut:
1. Menurut Carter V Good dalam Dictionary of Education sebagaimana dikutip
oleh Asmaran As: Moral adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau
perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, buruk
(Loc cit)
2. Menurut Soegarda Poerbakatja dalam Ensiklopde Pendidikan: Moral adalah
nilai dasar dalam masyarakat untuk memilih antara nilai hidup (moral).
Juga adat istiadat yang menjadi dasar untuk menentukan baik dan buruk
(Poerbakatja, 1976: 186).
Dari pengertian di atas dapatlah disimpulkan:
Pertama, dari sisi objek kajiannya, moral sama dengan etika yang
membicarakan tingkah laku manusia dari sisi baik dan buruknya.
Kedua, tolok ukur moral untuk menentukan baik dan buruk dari perbuatan
manusia adalah adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat.
Ketiga, moral memandang tingkah laku manusia secara lokal (terbatas) dan
lebih bersifat praktis.
Dari pengertian dan definisi di atas dapat diketahui bahwa titik
persamaan antara akhlak, etika, dan moral adalah ketiganya sama-sama
membicarakan persoalan baik dan buruk dari perbuatan manusia. Sedangkan
titik perbedaannya adalah dari sisi tolok ukur untuk menentukan baik dan
buruk dari perbuatan manusia. Dalam akhlak, tolok ukurnya adalah wahyu (al-
Quran dan al-Sunnah), dan dalam etika tolok ukurnya adalah akal pikiran
manusia, sementara dalam moral tolok ukurnya adalah adat istiadat
masyarakat sekitar.
Dengan demikian, akhlak sifatnya mutlak, absolut dan tidak dapat
diubah. Sementara etika dan moral sifatnya terbatas dan dapat diubah (Nata,
1997: 95). Apa yang ditentukan sebagai akhlak yang baik, dimana saja dan
kapan saja akan tetap merupakan akhlak yang baik. Akan tetapi apa yang
disebut dengan etika atau moral yang baik tidak selamanya merupakan etika
atau moral yang baik untuk segala tempat dan masa.
1.4. Hubungan Moral, Akhlak, dan Etika
Etika (ilmu akhlak) bersifat teoritis sementara moral dan akhlak
lebih bersifat praktis. Artinya moral berbicara mana yang baik dan mana
yang buruk, akhlak berbicara soal baik buruk, benar salah, layak atau tidak
layak. Sementara etika lebih berbicara kenapa perbuatan itu dikatakan baik
atau kenapa perbuatan itu buruk. Etika menyelidiki, memikirkan, dan
mempertimbangkan tentang yang baik dan buruk, moral menyatakan ukuran yang
baik tentang tindakan itu dalam kesatuan sosial tertentu. Moral itu hasil
dari penelitian etika.
Islam sangat menghargai etika dan moral karena Islam mempunyai
penghormatan yang tinggi terhadap penggunaan akal dalam mengkaji/memahami
ajaran-ajaran-Nya, dan Islam sangat menghargai budaya suatu masyarakat.
Kalaupun adat lokal menyimpang dari tuntunan Islam, maka Islam mengajarkan
kepada umatnya agar mengubahnya tidak sekaligus melainkan secara bertahap
melalui dakwah kultural.
1.5 Sumber Akhlak Dalam Islam
Persoalan akhlak di dalam Islam banyak dijelaskan melalui
Al Qur'an dan Al hadits. Sumber tersebut merupakan landasan dalam setiap
aktifitas manusia sehari-hari. Di dalamnya juga menjelaskan arti baik dan
buruk. Memberi informasi kepada umat apa yang semestinya harus diperbuat
dan dilaksanakan sehingga dengan mudah dapat diketahui apakah perbuiatan
itu terpuji atau tercela benar atau salah.
Kita telah mengetahui bahwa akhlak Islam merupakan sistem moral
atau akhlak yang berdasarkan Islam, yakni bertolak pada aqidah yang
diwahyukan Allah Swt pada Rosul-Nya yang kemudian disampaikan kepada
umatnya. Akhlak Islam karena merupakan sistem akhlak yang berdasarkan
kepercayaan kepada Rabb Yang Maha Esa, maka tentunya sesuai dengan dasar
agama itu sendiri. Oleh karena itu sumber pokok Akhlak Islam adalah Al
Quran dan hadits yang merupakan sumber utama di dalam agama Islam.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits:
Artinya :
Dari Anas bin Malik berkata: Bersabda Nabi Saw.: "Telah kutinggalkan atas
kamu sekalian dua perkara, yang apabila kamu berpegang kepada keduanya,
maka tidak akan tersesat, yaitu Kitab Allah dan sunah Rasul-Nya."
Nabi Muhammad Saw diutus ke dunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak.
Hal ini telah dijelaskan Allah Swt dalam firman-Nya:
Artinya :
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik
bagi mu (yaitu) bagi orang yang mengharapkan rahmat Allah dan kedatangan
hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. Al Ahzab:21)
Dari ayat diatas dijelaskan bahwa tugas utama Nabi Muhammad Saw. diutus ke
dunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Untuk itulah Al
Qur'an dan As Sunah dijadikan dasar atau sumber utama dalam akhlak Islam.
Pengertian akhlak telah dipaparkan dengan jelas diatas dan dapat
disimpulkan bahwa akhlak bersifat mutlak, absolute dan tidak dapat diubah,
karena akhlak bersumber kepada Al-Qur'an dan Al-Hadits yang maqbullah.
Sementara etika dan moral sifatnya terbatas dan dapat diubah karena
bersumber pada akal atau budaya.
Karena Akhlak bersumber pada Al-Qur'an tentunya perilaku/perbuatan
/aktivitas manusia harus berpedoman pada dua hal diatas sehingga secara
garis besar akhlak dibagi menjadi dua macam:
1. Akhlaq Hasanah (akhlak yang baik) atau akhlaq karimah (akhlak yang
mulia)
Yaitu akhlak yang dari padanya lahir perbuatan-perbuatan yang baik dan
terpuji yang sesuai dengan akal dan Al Qur'an.
2. Akhlaq Sayyi`ah (akhlak yang buruk) atau akhlaq madzmumah (akhlak yang
tercela)
Yaitu akhlak yang dari padanya lahir perbuatan-perbuatan buruk dan
tercela yang bertentangan dengan akal dan Al-Qur'an.
Contoh-contoh akhlak yang mulia dan akhlak yang tercela dapat dilihat
dalam paparan singkat berikut ini. Di antara akhlak mulia yang ditekankan
oleh Islam adalah:
a. Malu
Sifat malu merupakan salah satu karakteristik orang Islam yang
ditekankan oleh Rasulullah Saw. Dan diteladankan dalam kehidupan beliau.
Abu Sa'id al-Khudri meriwayatkan: "Rasulullah Saw. Lebih malu daripada
seorang gadis pingitan. Jika beliau melihat sesuatu yang tidak beliau
sukai, kami hanya bisa menyimpulkan dari ekspresi wajahnya" (H.R. al-
Bukhari dan Muslim).
Sebagaimana didefinisikan oleh para ulama, Malu merupakan sikap mulia
yang senantiasa mendorong seseorang untuk menghindari perbuatan buruk dan
mencegahnya dari kegagalan melaksanakan kewajibannya terhadap orang-orang
yang menjadi tanggungjawabnya (Al-Hasyimi, 1999:260). Sifat malu merupakan
salah satu cabang iman dan akan selalu membawa kebaikan. Rasulullah Saw.
Bersabda:
"Malu tidak membawa apa-apa selain kebaikan" (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
"Iman memiliki lebih 70 cabang. Cabang yang tertinggi adalah mengucapkan
lailahaillallah, dan yang terendah adalah menyingkirkan sesuatu yang
berbahaya dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang dari iman" (H.R. al-
Bukhari dan Muslim).
Orang yang memiliki sifat malu selalu peka terhadap dirinya dan diri
orang lain. Ia akan selalu memikirkan dan mengontrol apa yang akan ia
perbuat dan mengukurnya dengan nilai-nilai Islam. Jika yang akan diperbuat
melanggar nilai-nilai agama ia enggan untuk melakukan karena malu terhadap
Allah dan merasa takut akan bercampurnya keimanan dengan kesalahan. Ia
merasa malu untuk melakukan penghianatan terhadap nikmat yang diberikan
oleh Allah. Apabila ia diberikan keindahan tubuh, ia tidak menggunakannya
untuk hal-hal yang akan membawa fitnah bagi orang lain, ia tidak
mempertontonkan keindahan tubuhnya di hadapan orang lain atau untuk
dinikmati oleh orang lain. Apabila ia diberi kekayaan, ia tidak akan
menggunakannya untuk hal-hal yang akan menjauhkan dirinya dari Allah, ia
tidak menggunakannya untuk berhura-hura demi kepuasan nafsunya. Apabila ia
dikarunia ilmu pengetahuan, iapun tidak akan menggunakannya untuk hal-hal
yang tidak membawa kebaikan, ia tidak akan memanfaatkan ilmu pengetahuannya
untuk sekedar mencari popularitas atau uang namun melanggar aturan-aturan
Allah. Dengan demikian, sifat malu selalu melindunginya dari segala
kesalahan dan membimbingnya menuju kebenaran.
Dalam masyarakat modern saat ini, sifat malu sudah mulai pudar.
Banyak orang tidak lagi merasa malu melakukan hal-hal yang bertentangan
dengan nilai-nilai agama. Mereka tidak merasa risih apalagi merasa berdosa
dengan pelanggaran-pelanggaran yang mereka lakukan secara sembunyi maupun
terang-terangan, dilihat orang maupun tidak dilihat orang. Mata mereka
sudah mulai buta, telinga mereka sudah mulai tuli untuk melihat dan
mendengar kebenaran, sementara hati mereka karena seringkali melakukan
dosa, mulai sakit sehingga sulit menerima kebenaran.
Nikmat yang diberikan oleh Allah tidak lagi dipergunakan untuk
mendekatkan diri kepada Allah, akan tetapi dimanfaatkan untuk komoditi dan
kepuasaan nafsunya. Mereka kehilangan kesadaran bahwa Allah selalu
mengontrol dan akan meminta pertanggungjawaban dari semua nikmat yang
mereka terima. Hilangnya kesadaran yang demikian akan mendorong mereka
melakukan segala hal semau mereka. Rasulullah Saw. Menyatakan:
"Apabila kamu tidak lagi merasa malu, maka berbuatlah sekehendakmu"
b. Sabar dan Pemaaf
Sifat sabar merupakan salah satu sifat yang ditekankan dalam al-
Quran. Sifat ini merupakan salah satu karakteristik orang Islam. Dengan
sifat ini orang akan mampu mengendalikan emosi dan amarahnya dan selalu
mengontrolnya untuk tetap berada pada keseimbangan diri dalam menjalankan
perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya. Orang yang sabar
akan dicintai oleh Allah dan bersama-sama dengan Nya sebagaimana disebutkan
dalam firmannya:
Artinya:"
(yaitu) …… orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan)
orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan" (Q.S. Ali Imran
[3]:134)
ان الله مع الصابرين
Artinya:" ……Sesungguhnya Allah bersama orang yang sabar ". (Q.S. Al Baqarah
{2} : 153)
Orang yang memiliki sifat sabar ini menyadari bahwa ukuran kejantanan
seseorang bukan terletak pada kemampuannya mengalahkan orang secara fisik,
akan tetapi adalah kemampuannya dalam menjaga keseimbangan, kesabaran, dan
kontrol diri. Rasulullah Saw. mengatakan:
Artinya:"Orang kuat itu bukanlah orang yang bisa menjatuhkan seseorang ke
tanah, akan tetapi orang yang bisa mengendalikan diri ketika sedang marah"
(H.R. al-Bukhari dan Muslim).
Kemampuan untuk mengendalikan diri ini akan muncul manakala orang
menyadari bahwa setiap orang memiliki kelemahan dan kekurangan, dan tidak
merasa bahwa apa yang menjadi konsepnya, apa yang sedang dilakukan adalah
yang paling baik di antara yang lain. Orang yang sabar akan melihat orang
secara porposional dan objektif. Apabila ia marah, kemarahan itu bukan demi
kepentingan dirinya, akan tetapi demi Allah ketika sebagian hukum-hukum
Allah dilanggar atau dikesampingkan atau salah satu ritusnya dihina. Hal
seperti ini biasa ditunjukkan oleh Rasulullah Saw.. Beliau pernah marah
ketika ada seorang yang melaporkan bahwa ia enggan mengikuti shalat
berjamaah karena yang menjadi imam selalu memanjangkan bacaan shalatnya,
beliau bersabda:"Wahai manusia, ada beberapa orang yang mencegah orang lain
dari berbuat kebaikan. Jika seseorang mengimami shalat, hendaknya
memendekkan shalatnya karena di belakangnya ada orang yang sudah tua, anak
kecil, dan orang yang terdesak kebutuhan" (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
Beliau juga marah ketika Usamah bin Zaid salah satu sahabat yang dicintai
oleh Rasulullah meminta kebebasan perempuan dari hukum potong tangan akibat
mencuri. Ketika itu beliau langsung bangkit dan berceramah:"Orang-orang
sebelum kalian rusak ketika orang yang terhormat melakukan pencurian,
mereka tidak menghukumnya, namun ketika orang lemah yang mencuri, mereka
menerapkan hukumannya. Demi Allah seandainya Fatimah putri Muhammad
mencuri, pasti akan aku potong tangannya" Inilah alasan kemarahan yang
dibenarkan oleh Islam. Kemarahan hanya boleh dilakukan karena Allah bukan
karena manusia (Ibid, 288)
Dalam kehidupan saat ini, seringkali kita menemukan banyak orang
tidak mampu lagi mengendalikan dirinya. Mereka tidak sabar menghadapi
kesalahan orang lain terhadap dirinya atau kelompoknya atau masyarakatnya.
Akibatnya, yang dikedepankan adalah kesalahan, kebencian dan dendam yang
dari padanya muncul konflik, pertikaian, permusuhan yang banyak merugikan.
Dalam masyarakat Islam, hubungan antar individu tidak didasarkan atas
kesalahan, kebencian, dan dendam, akan tetapi didasarkan atas toleransi,
mengabaikan kesalahan, memaafkan dan kesabaran. Allah berfirman:
خذ العفووأمربالعرف واعرض عن الجاهلين
Artinya:" Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf,
dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh" (Q.S. al-A'raf [7]:199)
........ادفع بالتى هي احسن
Artinya:"Balaslah (kejahatan) dengan sesuatu yang lebih baik" (Q.S.
Fussilat [41]: 34). Demikianlah dua contoh akhlak yang mulia (al-Akhlaq al-
Karimah).
Adapun contoh akhlak yang tercela (al-Akhlaq al-Madzmumah) adalah:
a. Sombong
Sifat sombong adalah sifat memandang rendah orang lain dan merasa
dirinya lebih baik dari orang lain. Sifat seperti ini sangat dicela oleh
Allah dan tidak disukai Nya. Dalam al-Quran dan al-Hadis dinyatakan bahwa
orang yang melakukan kesombongan tidak disukai oleh Allah dan akan mendapat
kerugian di akherat. Allah berfirman:
ولاتصعرخدك لناس ولاتمش فى الارض مرحا ان الله لايحب كل مختال فخور
Artinya:"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena
sombong) dan janganlah kamu berjalan di atas bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri" (Q.S. Luqman [31]:18)
تلك الدارالاخرة نجعلها للذين لايريدون علوافى الارض ولافسادا ........
Artinya:"Negeri akherat Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak
menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di bumi" (Q.S. al-Qashash [28]:
83).
Dan Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya:"Tidak akan masuk sorga orang yang dalam hatinya terdapat
kesombongan meski hanya seberat atom …" (H.R. Muslim)
Artinya:"Maukah kamu saya beritahukan mengenai penghuni neraka? (Yakni)
setiap orang yang kasar, membanggakan diri, penuh kehinaan dan sombong"
(H.R. al-Bukhari dan Muslim).
Dalam kehidupan bermasyarakat orang yang sombong juga tidak disukai
oleh masyarakat, sebab orang yang sombong sealu merasa dirinya lebih baik
dari yang lain, konsep dan idenya lebih hebat dari yang lain, kekayaannya
lebih banyak dari yang lain, marganya lebih tinggi dari yang lain, nasab
(keturunan) nya lebih terhormat dari yang lain. Dari sikap semacam itu akan
lahir perilaku-perilaku yang meremehkan pendapat, kedudukan, dan sikap
orang lain. Orang yang sombong tidak sadar bahwa dibalik kelebihan yang dia
miliki apapun bentuknya apakah itu harta, ilmu, kedudukan, atau yang
lainnya ada kelemahan-kelemahan. Di dunia ini tidak ada manusia yang
sempurna. Kesempurnaan hanya milik Allah. Oleh sebab itu dalam menjalani
kehidupan ini tidak ada manusia yang paling hebat dan paling baik dalam
segala hal. Disinilah diperlukan adanya kerjasama dan saling menghargai
antara satu dengan yang lain.
Dalam ajaran Islam orang-orang yang sombong berarti melampaui batas
wilayah Tuhan sebab hanya Allahlah yang pantas melakukan kesombongan karena
Dia Maha Sempurna dalam segala hal. Oleh sebab itu Rasulullah Saw. banyak
mengingatkan agar orang yang beriman tidak tergoda oleh sifat sombong
karena manusia diciptakan sebagai makhluk yang lemah dan tidak sempurna,
dan kesombongan akan membawa kerugian baik dalam kehidupan di dunia maupun
kehidupan di akherat.
b. Iri Hati (hasad)
Iri Hati (hasad) adalah sifat tidak senang terhadap pemberian Allah
kepada orang lain dan menginginkan agar nikmat tersebut hilang darinya (Al-
Ghazali,t.t.: 76-77). Sifat ini termasuk akhlak yang sangat tercela bahkan
Al-Ghazali menyebutnya sebagai salah satu dari tiga sifat yang menjadi
induk penyakit hati bersama dengan riya' dan ujub (merasa dirinya paling
hebat). Islam melarang manusia memiliki sifat ini sebab ia akan memberikan
bahaya dalam kehidupannya di dunia maupun kehidupannya di akherat. Orang
dilanda sifat iri hati pada hakekatnya akan selalu menderita di dunia sebab
manakala ia melihat orang lain memperoleh nimat dari Allah hatinya selalu
merasa tidak senang, sementara di dunia ini tidak pernah terputus Allah
memberikan nikmat kepada orang lain apakah berupa harta kekayaan,
keturunan, ilmu pengetahuan, dicintai orang lain, pangkat, atau yang lain.
Sedangkan di akherat iapun akan memperoleh kerugian karena kebaikan yang
dilakukan hilang begitu saja karena sifat iri hatinya itu. Rasulullah
bersabda:
إياكم والحسد فإن الحسد يأكل الحسنات كما يأكل النار الحطب
Artinya:"Jauhilah sifat iri hati sebab iri hati itu memakan (menghilangkan)
kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar" (H.R.)
Dalam Islam sifat yang dikembangkan adalah sikap saling mencintai
satu sama lain. Karena itu apabila ada orang Islam menerima nikmat dari
Allah, hendaknya orang Islam yang lain turut merasa seanng dan bersyukur
atas nikmat tersebut meskipun ia sendiri belum memperoleh nikmat itu sebab
hal demikian ini merupakan karakteristik iman seseorang. Dikatakan dalam
hadis bahwa orang itu belum dapat mencapai derajat iman ketika belum mampu
mencintai orang lain sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Orang yang
selalu iri hati kehilangan sifat ini karena ia selalu benci jika ada orang
lain memperoleh nikmat dan mendoakan agar nikmat itu hilang darinya.
Hatinya selalu tidak senang kalau ada orang lain mendapatkan kesenangan
apalagi jika yang didapat itu belum ia peroleh atau mengungguli yang ia
peroleh.
Dalam fenomena sehari-hari kita dapatkan orang yang terkena sifat
tidak terpuji ini tidak sekedar merasa tidak senang terhadap karunia Allah
yang diberikan kepada orang lain, akan tetapi kadangkala menggunakan cara-
cara yang tidak benar agar supaya nikmat atau karunia Allah itu terlepas
darinya, misalnya dengan cara menyebarkan fitnah, isu-isu negatif, menutup
atau memperkecil peluangnya, dan cara-cara lain yang tidak benar. Agar kita
terhindar dari kejahatan orang yang iri hati ini, Allah mengajarkan kepada
kita agar kita selalu berlindung kepada Nya sebagaimana disebutkan dalam
surat al-Nas:
ومن شر حاسد إذا حسد
Artinya:"(dan aku berlindung) dari kejahatan orang yang iri hati ketika ia
iri hatinya". Inilah dua contoh akhlak yang tercela yang harus dihindari
oleh manusia.
Dengan memperhatikan contoh-contoh akhlak di atas, kita dapatkan
bahwa ada akhlak yang berkaitan dengan kehidupan individu seseorang secara
pribadi, dan ada pula akhlak-akhlak yang berkaitan dengan kehidupan
seseorang dalam hubungannya dengan yang lain. Dari sisi ini, maka akhlak
dapat dibagi menjadi dua macam pula, yaitu:
1. Akhlak Individual
Yakni akhlak yang lebih banyak berkaitan dengan pembentukan sifat dan
sikap individu secara pribadi. Akhlak ini lebih berkaitan dengan hubungan
manusia secara vertikal. Pembinaan akhlak mulia secara individual ini akan
melahirkan kesalehan individual. Contoh akhlak individual adalah syukur,
tawakkal, ikhlas, ridla, tawadhu', dsb.
2. Akhlak Sosial
Yakni akhlak yang lebih banyak berkaitan dengan pembentukan sifat dan
sikap sosial. Akhlak ini lebih banyak berhubungan dengan interaksi manusia
dengan yang lain. Pembentukan akhlak mulia dalam hal ini akan melahirkan
kesalehan sosial. Contoh akhlak sosial adalah amanah, dermawan, syaja`ah
(berani) membela kebenaran, tidak sombong, tidak iri hati, dsb.
Kedua macam akhlak ini harus sama-sama menjadi fokus perhatian
manusia agar ada keseimbangan hidup secara invidual maupun secara sosial.
Islam menginginkan agar orang tidak menjadi shaleh untuk dirinya sendiri
akan tetapi juga mengharapkan agar orang membangun kehidupan yang shaleh
secara sosial.
4. Ruang Lingkup Akhlak
Akhlak dalam Islam mencakup banyak dimensi kehidupan manusia. Ia
memiliki ruang lingkup yang luas seluas dimensi perilaku manusia itu
sendiri. Akhlak dalam Islam tidak sama dengan etika yang ruang lingkupnya
hanya terbatas pada sopan santun antar manusia dan hanya berkaitan dengan
tingkah laku lahiriah manusia saja. M. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan
al-Quran membagi ruang lingkup akhlak menjadi tiga:
1. Akhlak terhadap Allah
2. Akhlak terhadap sesama manusia
3. Akhlak terhadap lingkungan (Lihat Shihab, 1998:261-273)
Berikut ini penjelasan sekilas tentang ketiga ruang lingkup akhlak
tersebut:
1. Akhlak terhadap Allah
Akhlak ini mencakup persoalan tata hubungan manusia dengan Allah,
yakni bagaimana seharusnya manusia berperilaku dan bersikap terhadap Allah.
Titik tolak Akhlak kepada Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada
Tuhan selain Allah Yang Maha Sempurna dalam sifat, nama, dan perbuatan-Nya.
Pengakuan dan kesadaran semacam ini membawa konsekwensi agar dalam
melakukan hubungan dengan Allah manusia selalu menyadari bahwa dirinya
adalah makhluk yang lemah, terbatas, dan tidak sempurna, serta selalu
membutuhkan pertolongan Allah, sementara Allah adalah Tuhan Yang Maha
Sempurna dan Absolut, semua yang diperbuat oleh Allah terhadap manusia
selalu mengandung hikmah dan kebaikan sehingga harus diterima dengan
sepenuh hati dan penuh keikhlasan meskipun kadangkala manusia tidak dapat
mengetahui hikmah tersebut. Dengan pengakuan dan kesadaran tersebut kita
temukan dalam ajaran Islam ada perintah kepada manusia untuk memuji Allah
dan selalu mengingat Nya, bersyukur kepada Nya atas segala nikmat dan
pemberian Nya yang tak terhitung, menyerahkan dan mengembalikan persoalan
kepada Allah yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu, bertawakkal
(menyerahkan diri sepenuhnya) kepada Nya, berprasangka baik terhadap Nya,
dan beberapa perintah yang lain. Selain itu dalam ajaran Islam kita temukan
pula sikap-sikap yang tidak diperkenankan untuk dilakukan oleh manusia
terhadap Allah, misalnya syirik (menyekutukan Allah), kufur (tidak
menyukuri) terhadap nikmat Allah, berprasangka buruk terhadap Allah, dll.
Allah berfirman:
ألم يأن للذين آمنوا أن تخشع قلوبهم لذكر الله وما نزل من الحق ولا يكونوا
كالذين أوتوا الكتاب من قبل فطال عليهم الأمد فقست قلوبهم وكثير منهم فاسقون
Artinya:" Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk
tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun
(kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya
telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang
atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka
adalah orang-orang yang fasik ( Q.S Al Hadiid [57] : 16)
.واعبدوا الله ولا تشركوا به شيئا
Artinya:"Dan sembahlah Allah dan jangan menyekutukan Nya dengan sesuatu"
وإذا عزمت فتوكل على الله
Artinya:"Apabila kamu telah bertekad, maka bertawakkallah kepada Allah"
Apabila manusia telah mampu menanamkan sikap yang benar terhadap
Allah, ia akan selalu mengingat Allah, memuji Nya, mencintainya, mentaati
perintah Nya, menjauhi larangan Nya secara ikhlas, dan selalu bergantung
kepada Nya. Ia akan menyadari betul bahwa kehidupan yang ada ini tidak bisa
dilepaskan dari peran besar Allah sebagai Penciptanya sehingga jalan menuju
kebahagiaanpun hanya akan diperoleh dengan mengikuti aturan dan ajaran
agama yang diridlai Nya.
2. Akhlak kepada sesama manusia
Akhlak ini mencakup banyak segi dalam hubungan sosial manusia dengan
sesamanya baik dalam persoalan keluarga, bertetangga, bergaul dan
berinteraksi dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, budaya, hukum, dll.
Akhlak ini tidak hanya menyangkut sikap-sikap yang berkaitan dengan fisik
orang lain, akan tetapi juga termasuk hal-hal yang berkaitan dengan hati
dan perasaan orang lain, dan tidak pula hanya mencakup hubungan sesama
muslim, akan tetapi hubungan dengan sesama manusia apapun agama dan
keyakinannya.
Ajaran mendasar tentang akhlak terhadap sesama manusia adalah
kesadaran tentang harkat dan martabat manusia yang merupakan makhluk yang
dimulyakan oleh Allah yang harus dihargai, dan kesadaran bahwa setiap
manusia memiliki kelebihan dan kekurangan, kebaikan dan keburukan yang
harus dimaklumi. Oleh sebab itu Islam mengajarkan agar memandang sesama
manusia sebagai makhluk Allah yang sama posisinya yang kadangkala benar dan
kadangkala salah. Dengan titik pandang seperti ini maka manusia akan
terhindar dari sifat-sifat sombong, riya', menghina orang lain; dan akan
menumbuhkan sifat toleran, pemaaf, dan menghargai orang lain. Selain itu
Islam juga mengajarkan agar menempatkan manusia secara wajar sesuai dengan
derajat dan keistimewaan yang dimilikinya. Orang yang lebih muda menghargai
orang yang lebih tua, orang yang lebih tua mengasihi orang yang lebih muda,
orang yang tidak berilmu menghormati orang yang berilmu, anak menghormati
orang tuanya, murid menghormati gurunya, dst.. Di sini Islam mengakui
adanya perbedaan derajat antar manusia. Perbedaan tersebut dapat berupa
usia, ilmu, dan kualitas iman. Allah menyatakan:
ووصينا الإنسان بوالديه حسنا (العنكبوت 8)
Artinya:"Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada
orang tuanya" (Q.S. Al-Ankabut [29]: 8)
يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات
Artinya: "…. maka Allah mengangkat orang-orang yang beriman dan orang-orang
yang berilmu di antara kamu dengan beberapa derajat" (Q.S. )
قل هل يستوي الذين يعلمون والذين لا يعلمون
Artinya:"Katakan, apakah sama antara orang yang berilmu dengan yang tidak
berilmu"
إن أكرمكم عند الله أتقاكم
Artinya:"Sesungguhnya yang paling mulya dintara kamu di sisi Allah adalah
yang paling bertakwa"
Dan dalam hadis Rasulullah Saw. Menyatakan:
ليس منا من لا يرحم صغيرمن ولا يوقر كيرنا
Artinya:"Tidaklah termasuk umatku orang yang tiak menunjukkan kasih sayang
kepada yang lebih muda dan tidak menghormati kepada yang lebih tua" (H.R.
Ahmad dan al-Hakim)
Dalam akhlak Islam juga ada ajaran agar manusia menjaga privacy dan
perasaan orang lain sehingga ada larangan untuk memasuki rumah tanpa izin
tuan rumahnya, ada larangan mengungkap aib orang lain, menggunjing,
mencemooh, memfitnah, berkhianat, menipu dan sebangsanya. Islam melarang
perilaku untuk mencapai kemenangan atau kebahagiaan namun membuat orang
lain menderita, atau dengan kata lain mencapai kebahagiaan dan kesuksesan
di atas penderitaan orang lain. Akhlak Islam mengajarkan untuk lebih
mengutamakan orang lain dari pada diri sendiri. Kalau di negara Barat
sering dikatakan "Anda boleh melakukan perbuatan apapun selama tidak
bertentangan atau mengganggu hak orang lain", maka Islam mengajarkan
"Mereka (orang-orang yang beriman) mengutamakan orang lain dari pada diri
mereka sendiri, walaupun mereka amat membutuhkan" (Q.S. al-Hasyr [59]: 9).
Dengan demikian, maka dalam persoalan akhlak terhadap sesama, Islam
menginginkan agar manusia menjadi orang yang shaleh (baik secara
individual) sekaligus orang yang mushlih atau muhsin (baik secara sosial).
3. Akhlak terhadap lingkungan
Yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segala yang ada di
sekitar manusia baik benda-benda yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa.
Ajaran tentang akhlak terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia
sebagai khalifah yang mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, dan
pembimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya. Dalam Islam
diajarkan agar manusia mengahargai proses yang sedang terjadi pada alam
sehingga orang dilarang mengambil buah sebelum matang, memetik bunga
sebelum mekar, dan memisahkan anak binatang dari induknya. Kesadaran
terhadap ajaran seperti ini akan mengantarkan manusia bertanggung jawab
terhadap pelestarian alam sehingga tidak melakukan perusakan alam sebab
perusakan apapun yang dilakukan terhadap alam sebenarnya adalah perusakan
terhadap diri manusia sendiri. Tumbuhan, binatang, dan benda-benda tak
bernyawa adalah ciptaan Allah dan menjadi milik Nya. Dari sisi ini ciptaan
Allah tersebut tidak berbeda dengan manusia. Oleh karena itu manusia harus
memperlakukannya dengan baik dan sewajarnya serta tidak boleh merusak,
menyakiti, atau menganiayanya. Perlakuan yang baik terhadap binatang
misalnya telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. Sebelum Eropa mendirikan
organisasi pecinta binatang, Rasulullah Saw. telah mengajarkan:
اتقوا الله في هذه البهائم المعجمة فاركبوها صالحة وكلوها صالحة
Artinya: "Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap binatang.
Kendarailah dan berilah makan dengan baik"
Dalam akhlak Islam juga diajarkan bahwa apa yang ada dalam genggaman
manusia berupa binatang, tumbuhan, dan benda-benda lain sebenarnya adalah
amanat yang harus dipertanggungjwabkan kepada Allah. Rasulullah dalam
menafsirkan ayat 8 surat al-Takatsur "Kamu sekalian pasti akan diminta
untuk mempertanggungjawabkan nikmat (yang kamu peroleh)" mengatakan:
"Setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap angin sepoi yang
berhembus di udara, dan setiap tetes hujan yang tercurah dari langit akan
dimintakan pertanggungjawaban manusia menyangkut pemeliharaan dan
pemanfaatannya".
Dari sini dapat difahami bahwa meskipun manusia diciptakan sebagi
makhluk yang paling utama dan diberi kekuasaan di bumi, akan tetapi ia
tidak diperkenankan untuk berbuat semena-mena terhadap makhluk lain.
Manusia harus bersahabat dengan makhluk lain sebab manifestasi fungsi
kekhilafahan manusia menuntut adanya interaksi dengan makhluk lain. Dalam
melakukan interaksi tersebut bukanlah mencari kemenangan terhadap makhluk
lain (alam) yang menjadi tujuan akan tetapi membuat keselarasan dengan
alam. Manusia dan alam adalah sama-sama makhluk Allah yang tunduk dan
mengabdi kepada Nya.
1.4. Sumber Akhlak Dalam Islam
Persoalan akhlak di dalam Islam banyak dijelaskan melalui Al
Qur'an dan Al hadits. Sumber tersebut merupakan landasan dalam setiap
aktifitas manusia sehari-hari. Di dalamnya juga menjelaskan arti baik dan
buruk. Memberi informasi kepada umat apa yang semestinya harus diperbuat
dan dilaksanakan sehingga dengan mudah dapat diketahui apakah perbuiatan
itu terpuji atau tercela benar atau salah.
Kita telah mengetahui bahwa akhlak Islam merupakan sistem moral
atau akhlak yang berdasarkan Islam, yakni bertolak pada aqidah yang
diwahyukan Allah Swt pada Rosul-Nya yang kemudian disampaikan kepada
umatnya. Akhlak Islam karena merupakan sistem akhlak yang berdasarkan
kepercayaan kepada Rabb Yang Maha Esa, maka tentunya sesuai dengan dasar
agama itu sendiri. Oleh karena itu sumber pokok Akhlak Islam adalah Al
Quran dan hadits yang merupakan sumber utama di dalam agama Islam.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits:
Artinya :
Dari Anas bin Malik berkata: Bersabda Nabi Saw.: "Telah kutinggalkan atas
kamu sekalian dua perkara, yang apabila kamu berpegang kepada keduanya,
maka tidak akan tersesat, yaitu Kitab Allah dan sunah Rasul-Nya."
Nabi Muhammad Saw diutus ke dunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak.
Hal ini telah dijelaskan Allah Swt dalam firman-Nya:
Artinya :
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik
bagi mu (yaitu) bagi orang yang mengharapkan rahmat Allah dan kedatangan
hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. Al Ahzab:21)
Dari ayat diatas dijelaskan bahwa tugas utama Nabi Muhammad Saw. diutus ke
dunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Untuk itulah Al
Qur'an dan As Sunah dijadikan dasar atau sumber utama dalam akhlak Islam.
Posted in: Akhlak islam
1.6. Urgensi Akhlak Karimah dalam kehidupan manusia
Akhlak Karimah bukan sekedar kebutuhan sampingan bagi kehidupan
manusia akan tetapi merupakan keharusan yang harus diwujudkan dalam
kehidupan manusia baik secara individual maupun secara sosial (Al-Syarqawi,
1990:20). Hal ini karena manusia yang diciptakan oleh Allah sebagai makhluk
yang memiliki dua potensi yang paradok, di satu sisi memiliki potensi untuk
menjadi baik dan di sisi lain memiliki potensi menjadi buruk dapat saja
mengalami kehidupan yang memilukan dan lebih hina dari binatang sebagaimana
dapat pula mencapai kehidupan yang mulia bahkan melebihi kemulyakan para
malaikat memerlukan pembinaan akhlak yang benar, yang mengarahkannya
menuju kehidupan yang benar yang akan mengantarkannya mencapai kebahagiaan
di dunia dan di akherat. Akhlak karimah (mulia) merupakan pilar utama
terciptanya kehidupan yang sejahtera dalam masyarakat apapun. Hilangnya
akhlak mulia dalam kehidupan masyarakat akan mengantarkan masyarakat itu
mengalami kemerosotan dan bahkan kehancuran. Ahmad Syauqi seorang penyair
dari Mesir pernah menggambarkan urgensi akhlak karimah dalam kehidupan
masyarakat dalam satu bait syairnya sebagi berikut:
إنما الأمم الأخلاق ما بقيت فإن هم ذهبت أخلاقهم ذهبوا
Artinya: "Sesungguhnya eksistensi umat itu akan ada selagi akhlaknya (yang
mulia) masih ada. Akan tetapi jika akhlaknya telah rusak maka hancurlah
mereka"
Bukti-bukti sejarah telah menunjukkan tentang fakta tersebut, bahwa
ketika masyarakat masih memegangi akhlak mulia sebagai pilar utamanya
kehidupan mereka akan mengalami kemakmuran, akan tetapi manakala mereka
sudah tidak lagi memperhatikan akhlak yang mulia maka kehidupan mereka
mengalami kehancuran. Hancurnya sebuah masyarakat (komunitas) atau negara
bila kita telusuri dari sisi ini akan kita dapatkan bahwa salah satu faktor
utamanya adalah berkembangnya praktek-praktek kehidupan yang tidak lagi
menjunjung akhlak yang mulia. Para penguasa dan pemimpinnya tidak lagi
memiliki amanah, kejujuran, cinta terhadap rakyat, keadilan, prinsip
menegakkan kebenaran, dan sebagainya; akan tetapi yang dikembangkan adalah
sifat-sifat rakus terhadap kekuasaan, membohongi rakyat, cinta harta dan
pangkat, korupsi, khianat, dan sebangsanya. Dalam kondisi seperti itu tidak
ada lagi yang dapat menjadi panutan, tidak ada penegakan hukum yang jujur
dan kebenaran, akibatnya adalah yang benar disalahkan dan yang salah
dibenarkan. Ketika kondisi sudah semakin parah maka hancurlah komunitas
atau negara tersebut. Al-Quran telah memberikan contoh-contoh kongrit dalam
masalah ini ketika mengisahkan tentang kehidupan para nabi dan umat-umat
terdahulu seperti Tsamud, Ad, Fir'aun, dll. Sebagaimana sejarah juga
mencatat tentang hal ini baik yang klasik maupun yang modern seperti yang
kita alami saat ini di negri tercinta ini.
Oleh sebab itu obsesi utama dari ajaran Islam adalah mewujudkan
kehidupan yang menjunjung tinggi akhlak yang mulia dalam rangka mencapai
kebahagiaan hidup individual maupun sosial, di dunia maupun di akherat.
Dalam Islam beragama tidak sekedar memegangi ajaran Islam secara formalitas
dan meninggalkan esensinya atau sekedar memperoleh kesenangan pribadi, akan
tetapi adalah pemahaman yang penuh kesadaran tentang ajaran agama itu dan
melaksanakannya dalam kehidupan bersama dengan meletakkan akhlak sebagai
intinya (al-Taftanzani, 1991:6). Rasulullah bersabda:
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
Artinya:"Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia" (H.R. Malik)
Untuk mewujudkan obsesi ini, maka setiap aspek dalam ajaran Islam
selalu dikaitkan dengan pembinaan akhlak yang mulia. Berikut ini akan
diuraikan sekilas tentang hubungan aspek-aspek ajaran Islam dengan
pembinaan akhlak yang mulia:
Akidah dan pembinaan akhlak yang mulia
Akidah yang merupakan fondasi utama dalam berislam selalu mengajak
kepada kebaikan dan keluhuran akhlak. Apabila ia telah meresap dan menjadi
kuat dalam diri manusia akan lahirlah sifat-sifat yang mulia. Oleh sebab
itu di dalam al-Quran maupun Hadis kita selalu menemukan hubungan yang
sangat erat antara akidah dengan pembinaan akhlak yang mulia. Hal ini dapat
kita lihat misalnya dalam ayat dan hadis-hadis berikut. Allah berfirman:
إنما المؤمنون الذين إذا ذكر الله وجلت قلوبهم وإذا تليت عليهم آياته زادتهم
إيمانا وعلى ربهم يتوكلون. الذين يقيمون الصلاة ومما رزقناهم ينفقون. أولئك هم
المؤمنون حقا (الأنفال 2-4)
Artinya:"Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila
disebut (nama) Allah hatinya bergetar, dan apabila dibacakan kepada mereka
ayat-ayat Allah bertambahlah imannya, dan mereka bertawakkal keapda Allah.
Dan mereka yang menegakkan shalat dan mengeluarkan sebagian rizki yang Kami
berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman"
(Q.S. al-Anfal []: 2-4)
Dalam ayat tersebut Allah menunjukkan bahwa di antara ciri utama
orang-orang yang beriman adalah terwujudnya sikap-sikap mulia berikut:
1) Perasaan takut (khauf) bercampur cinta (hubb) kepada Allah. Hal ini
sebagaimana digambarkan dalam ayat "apabila disebut (nama) Allah
bergetarlah hatinya". Getaran hati yang ada dalam diri orang yang
beriman dapat berasal dari rasa cintanya kepada Allah setelah mampu
mengenali Allah dengan segala kesempurnaan Nya, atau karena rasa takut
kepada Allah karena menyadari kekurangannya dalam mentaati Allah. Rasa
cinta yang menggetarkan hati dapat diibaratkan dengan seorang perjaka
yang mencintai seorang gadis, baru disebutkan namanya saja hatinya sudah
deg-degan, sementara rasa takut dapat diibaratkan dengan seorang murid
yang tidak mengerjakan tugas yang diberikan oleh seorang guru yang
sangat disiplin, baru dikabarkan kedatangannya saja ia sudah merasa
takut dengan hukuman yang akan diperoleh.
2) Mudah menerima kebenaran. Hal ini digambarkan dalam ayat "apabila
dibacakan ayat-ayat Allah, bertambahlah imannya". Ayat-ayat Allah yang
dimaksud dapat berupa ayat-ayat qauliyah (firman Allah dalam al-Quran)
atau ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda kebesaran Allah dalam alam
semesta). Orang yang beriman dengan memperhatikan ayat-ayat Allah
tersebut akan semakin yakin terhadap Allah dan kebenaran ajarannya.
3) Bertawakkal kepada Allah. Hal ini dapat difahami dari ayat "dan mereka
bertawaakkal keapda Allah" yakni menyerahkan sepenuhnya urusan
kehidupannya keapda Allah setelah menempuh sebab-sebab yang harus
dilalui guna mencapai keberhasilan urusan tersebut. Sikap seperti ini
lahir dari rasa yakin yang mendalam terhadap ketentuan-ketentuan dan
jaminan-jaminan Allah dalam kehidupan ini.
4) Mudah melakukan kebaikan dan ketaatan baik secara individual maupun
sosial. Hal ini dapat difahami dari ayat "mereka yang mendirikan shalat
dan mengeluarkan sebagian rizki yang Kami berikan kepadanya". Orang-
orang yang beriman tidak merasa berat untuk melakukan hal-hal yang akan
membawa kebaikan baik dalam hubungan dengan Allah (vertikal) maupun
dalam hubungannya dengan sesama makhluk (horizontal).
Dari sini tampak jelas ada hubungan antara akidah dan pembinaan
akhlak yang mulia. Akidah yang benar harus membuahkan sikap dan perilaku
atau akhlak yang mulia. Penegasan tentang hal ini lebih lanjut dapat
disimak dari beberapa hadis Rasulullah Saw.:
"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya
menghormati tamunya, dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari
akhir hendaknya tidak menyakiti tetangganya, barang siapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir hendaknya berkata yang baik atau diam"
"Tidaklah beriman salah satu dari kamu sekalian sebelum ia mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri"
"Dua hal yang tidak dapat berkumpul dalam diri orang yang beriman: kikir
(bakhil) dan akhlak yang buruk"
"Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya"
Hadis-hadis di atas memberikan penguatan lebih lanjut tentang arti
pentingnya perwujudan akhlak yang mulia sebagai implementasi akidah (iman)
yang benar. Bahkan dalam satu hadis di atas dinyatakan bahwa tidaklah
dianggap beriman kalau manusia belum mampu melahirkan sikap-sikap yang
terpuji dan menghilangkan sikap-sikap yang tidak terpuji. Gambaran tentang
iman yang paling sempurna sebagaimana ditunjukkan dalam salah satu hadis di
atas adalah manakala pemilik iman itu mampu menjelmakan diri sebagai orang
yang paling baik akhlaknya.
Ibadah dan pembinaan akhlak
Ibadah yang diwajibkan di dalam ajaran Islam bukan sekedar praktek-
praktek ritual tanpa makna yang akan menyambungkan hubungan dengan Allah
dan membangun hubungan yang baik dengan sesama manusia dan makhluk lain,
akan tetapi merupakan latihan-latihan rutin untuk membiasakan manusia hidup
dengan tatanan akhlak yang benar dan senantiasa berpegang teguh dengan
tatanan akhlak tersebut meskipun situasi dan kondisi kehidupan mengalami
perubahan (Ibid, 117). Hal ini dapat dilihat dari pernyataan-pernyataan al-
Quran dan al-Hadis yang senantiasa menghubungkan antara ibadah dengan
realisasi akhlak yang mulia.
Shalat yang merupakan ibadah harian pertama dalam kehidupan muslim
memiliki fungsi yang agung untuk membangun kepribadian beragama (Al-
Qardlawi, 1996:78). Allah berfirman:
وأقم الصلاة، إن الصلاة تنهى عن الفخشاء والمنكر (العنكبوت 45)
Artinya:"Dan tegakkanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari
perbuatan keji dan munkar" (Q.S. al-Ankabut []: 45)
Inilah sebenarnya hakekat shalat, yakni menjauhkan manusia dari sifat
dan sikap yang tercela dan membersihkan diri dari perbuatan dan perkataan
yang tidak terpuji.
Zakat yang diwajibkan bagi orang muslim yang mampu bukan sekedar
pungutan pajak yang diambil dari orang yang kaya lalu diberikan kepada
orang yang fakir dan miskin, akan tetapi di dalamnya ada makna pembinaan
akhlak yang tinggi yakni untuk menanamkan perasaan kasih dan sayang antar
manusia, membangun tali persaudaraan, dan merupakan sarana pembersihan diri
dari sifat-sifat yang tidak terpuji. Allah berfirman:
خذ من أموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها (التوبة 103)
Artinya:"Ambillah dari harta-harta mereka sedekah yang mensucikan dan
membersihkan diri mereka" (Q.S. al-Taubah []:103)
Dalam zakat ada latihan untuk rela berkorban demi kepentingan orang
lain, dan penyadaran bahwa hidup ini tidak bisa dilalui tanpa bantuan dan
pertolongan orang lain. Saat ini orang mungkin tidak membutuhkan bantuan
orang lain karena kekayaan yang dimiliki, tapi pada saat lain mungkin ia
akan membutuhkan pertolongan orang lain. Karena itu di saat ia mampu
memberikan sesuatu kepada orang lain, Islam mewajibkan agar ia rela
mengorbankan sebagian miliknya kepada orang lain. Dari sinilah kemudian
solidaritas sosial akan tercipta dan kesenjangan sosial akan dapat
dihindari.
Puasa yang merupakan kewajiban tahunan juga tidak alpa dari pembinaan
akhlak. Hakekat puasa bukan sekedar mencegah diri dari makan, minum, dan
berhubungan seksual dengan suami atau istri sebagaimana difahami oleh
banyak orang, akan tetapi hakekat puasa adalah menahan diri dari hal-hal
yang dapat menghilangkan iman dan keutamaan takwa (Saltut, 1960: ). Ayat
berikut menunjukkan hal ini:
ياأيها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون
(البقرة 183)
Artinya:"Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa"
(Q.S. al-baqarah [2]:183)
Ayat di atas dimulai dengan menyebut iman dan diakhiri dengan
menyebut taqwa, baru ditengah-tengahnya ada perintah berpuasa. Susunan
redaksi yang demikian menunjukkan dengan jelas bahwa antara puasa
diwajibkan tidak sekedar mencegah orang untuk tidak melakukan hal-hal yang
dilarang dalam puasa, akan tetapi ada maksud utamanya yakni mempersiapkan
diri untuk bertakwa yang merupakan kumpulan dari akhlak yang mulia.
Oleh sebab itu ibadah-ibadah dalam Islam yang tidak memiliki makna-
makna di atas dan tidak mampu mewujudkan tujuan-tujuan tersebut, sebenarnya
telah kehilangan fungsi utamanya dan hany menjadi badan dan jiwa (Ibid.
89). Karena itu Rasulullah menyatakan:
"Barang siapa yang shalatnya tidak mencegahnya dari berbuat mungkar, maka
sama saja dengan tidak shalat"
"Banyak orang yang shalat malam, akan tetapi yang didapat hanyalah
begadang"
"Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan buruk dan perbuatan buruk,
maka tidak ada kebutuhan Allah dalam hal ia meninggalkan makanan dan
minumannya" (H.R. al-Bukhari)
"Bukanlah puasa itu (menahan diri) dari makan dan minum, akan tetapi puasa
adalah (menahan diri) dari perbuatan yang tidak berguna dan keji. Apabila
ada seseorang menghinamu atau berbuat jahil kepadamu, maka katakan:
sesungguhnya saya berpuasa" (H.R. Ibnu Huzaimah)
Dan dalam hadis lain disebutkan bahwa seorang laki-laki berkata kepada
Rasulullah: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya seorang wanita disebutkan
shalatnya banyak, puasanya banyak, sedekahnya banyak, hanya saja ia
menyakiti tetangganya dengan lesannya", maka Rasulullah Saw. bersabda: "Ia
di neraka", kemudian laki-laki tadi menanyakan: Wahai Rasulullah seorang
wanita disebutkan sedikit shalatnya, sedikit puasanya, dan ia bersedekah
hanya dengan sepotong keju tetapi ia tidak menyakiti teangganya", maka
Rasulullah bersabda: "Ia di sorga" (H.R. Ahmad)
Hadis yang terakhir ini memberikan petunjuk secara jelas bahwa ibadah
yang tidak melahirkan akhlak yang mulia tidak memiliki manfaat apaun
meskipun secara kuantitas banyak dilakukan. Akan tetapi sedikit ibadah yang
penuh dengan penghayatan dan melahirkan akhlak yang mulia akan banyak
memberikan manfaat bagi pelakunya. Dari sini maka Islam tidak sekedar
melihat sisi kuantitas ibadah, akan tetapi yang lebih penting adalah sisi
kualitas ibadah itu. Ibadah yang baik adalah yang memperhatikan sisi
kuantitas namun disertai dengan kualitas, menggabungkan antara formalitas
ibadah dengan esensi yang menajdi tujuan ibadah itu.
Dengan memperhatikan urgensi akhlak dalam kehidupan manusia, maka
Islam menetapkan profil manusia yang harus diteladani didasarkan pada
keluhuran akhlak. Hal ini tampak dengan jelas ketika Allah menyatakan
Rasulullah Saw. sebagai teladan bagi orang yang beriman dalam satu ayat,
dan di ayat yang lain menyebut Rasulullah sebagai manusia yang berakhlak
yang tinggi. Allah berfirman:
لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الآخر وذكر الله
كثيرا
Artinya:"Sungguh ada dalam diri Rasulullah teladan yang baik bagi kamu
sekalian, (yakni) bagi mereka yang mengharapkan (balasan) Allah dan hari
Kiamat dan banyak ingat keapda Allah" (Q.S. )
وإنك لعلى خلق عظيم
Artinya:"Sesungguhnya kamu benar-benar pada akhlak yang agung"
Hal serupa juga dinyatakan oleh Rasulullah Saw. dalam hadisnya:
أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا
Artinya:"Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya".
Inilah mengapa kalau kita memperhatikan ciri-ciri kepribadian orang
yang beriman dan utama di dalam al-Quran selalu disebutkan akhlak-akhlak
yang mulia. Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya' Ulumuddin menyebutkan
tanda-tanda akhlak yang mulia terangkum dalam beberapa ayat berikut:
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang
yang khusu' dalam shalatnya. Dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan
dan perkataan) yang tidak berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat.
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri
mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal
ini tiada tercela. Barang siapa yang mencari di balik itu maka mereka
itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara
amanat (yang dipikulnya) dan janji-janjinya. Dan orang-orang yang
memelihara shalatnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi. (Yakni)
yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya" (Q.S. al-
Mukminun [23]:1-10)
"Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yuang beribadat, yang memuji
(Allah), yang melawat, yang ruku', yang sujud, dan menyuruh berbuat makruf
dan mencegah berbuat munkar, dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan
gembirakanlah orang-orang mukmin itu" (Q.S. al-taubat [9]:112)
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila
disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan keapda
mereka ayat-ayat Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan keapda Tuhan
mereka bertawakkal. (Yaitu) otang-orang yang mendirikan shalat dan
menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah
orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya" (Q.S. al-Anfal [8]:2-4)
"Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Penyayang itu (adalah)
orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati, dan apabila
orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang
mengandung) keselamatan. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud
dan berdiri untuk Tuhan mereka. Dan orang-orang yang berkata:'Ya Tuhan
kami, jauhkanlah dari kami azab jahannam, sesungguhnya azabnya itu
kebinasaan yang kekal. Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat
menetap dan tempat kediaman. Dan orang-orang yang apabiula membelanjakan
(harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir akan tetapi di
tengah-tengah antara yang demikian. Dan orang-orang yang tidak menyembah
tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barang
siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa
(nya). (Yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia
akan kekal dalam azab itu dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang
bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shaleh, maka kejahatan diganti
Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal shaleh, maka
sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-
benarnya. Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan
apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan yang
tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya. Dan
orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka,
mereka tidaklah mengahadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. Dan
orang-orang yang berkata:'Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-
istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah
kami imam (pemimpin) bagi orang-orang yang bertakwa'. Mereka itulah orang
yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran
mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di
dalamnya" (Q.S. al-Furqan [25]: 63-75).
Ayat-ayat di atas secara singkat dapat disimpulkan bahwa akhlak yang
mulia itu tercermin dalam sikap-sikap baik yang dilakukan dalam interaksi
dengan Allah dan dalam interaksi dengan sesama manusia. Ia menyangkut
persoalan individual manusia dan persoalan sosialnya.
Dari uraian-uraian di atas dapatlah kita menarik kesimpulan bahwa
akhlak memiliki posisi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Akhlak
dalam Islam merupakan inti ajaran yang harus diwujudkan dalam segala
aktifitas kehidupan muslim baik dalam akidah, ibadah, maupun muamalah.
Pembinaan akhlak yang mulia dapat dilakukan dengan cara melatih dan
membiasakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan akhlak mulia kehidupan
manusia akan mencapai kemakmuran dan kebahagiaan, begitu pula sebaliknya
tanpa akhlak yang mulia kehidupan manusia akan mencapai kehancuran dan
malapetaka. Oleh sebab itu setiap muslim harus selalu berusaha untuk
menjadikan dirinya sebagai pribadi-pribadi yang selalu menjunjung tinggi
akhlak yang mulia dalam seluruh aktifitas kehidupannya.
Mu'amalah
Muamalah dalam Islam dapat dilihat dari dua segi, pertama dari
segi bahasa dan kedua dari segi istilah. Menurut segi bahasa, muamalah
berasal dari kata 'Aamala yang artinya bertindak, saling berbuat, dan
saling mengamalkan.
Menurut istilah, pengertian muamalah adalah aturan-aturan Allah yang wajib
ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam urusan duniawi
dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda.
Gambaran umum tentang muamalah, misalnya : sang pedagang dengan
lapaknya, sang karyawan dengan berkasnya, mahasiswa dengan makalahnya,
pengangguran dengan harapannya, tukang rumput dengan guntingnya, nelayan
dengan lautnya, petani dengan musim tanamnya, polantas dengan peluitnya,
pengacara dengan kasusnya, dan lain-lain.
Interaksi manusia dengan segala tujuannya untuk memenuhi
kebutuhan keduniaan diatur Islam dalam Fiqh Muamalat. Berbeda halnya
dengan Fiqh Ibadah, Fiqh Muamalat bersifat lebih fleksibel dan eksploratif.
Hukum semua aktifitas itu pada awalnya adalah boleh selama tidak ada dalil
yang melarangnya, inilah kaidah ushul fiqhnya. Fiqh Muamalat pada awalnya
mencakup semua aspek permasalahan yang melibatkan interaksi manusia,
seperti pendapat Wahbah Zuhaili, hukum muamalah itu terdiri dari hukum
keluarga, hukum kebendaan, hukum acara, perundang-undangan, hukum
internasional, hukum ekonomi dan keuangan. Tapi, sekarang Fiqh Muamalat
dikenal secara khusus atau lebih sempit mengerucut hanya pada hukum yang
terkait dengan harta benda.
Ruang Lingkup Muamalah dalam Islam
Muamalah dalam Islam mempunyai beberapa pembagian, menurut Ibn
'Abidin, fiqh muamalah terbagi menjadi lima bagian, yaitu:
1. Mu'awadlah Maliyah (Hukum Kebendaan)
2. Munakahat (Hukum Perkawinan)
3. Muhasanat (Hukum Acara)
4. Amanat dan 'Aryah (Pinjaman)
5. Tirkah (Harta peninggalan)
Ibn 'Abidin adalah seorang yang mendefinisikan muamalah secara luas
sehingga munakhat termasuk salah satu bagian dari fiqh muamalah, padahal
munakhat diatur dalam disiplin ilmu tersendiri, yaitu fiqh munakhat.Dan
begitu pula dengan tirkah yang sudah ada dalam fiqh mawaris.
Al-Fikri dalam kitabnya, "Al-Muamalah Al-Madiyah wa Al-Adabiyah",
menyatakan bahwa muamalah dibagi menjadi dua bagian sebagai berikut:
1. Al-Muamalah al-madiyah adalah muamalah yang mengkaji objeknya
sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa muamalah al-madiyah adalah
muamalah yang bersifat kebendaan karena objek fiqh mauamalah adalah
benda halal, haram dan syubhat untuk diperjualbelikan, benda-benda
yang mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, serta masalah jual beli
(al-bai'al-tijarah), gadai (al-rahn), jaminan dan tanggungan (kafalan
dan dlaman), pemindahan utang (hiwalah), sewa-menyewa (al-ijarah) dan
lain sebagainya.
2. Al-Muamalah al-adabiyah adalah muamalah yang ditinjau dari segi cara
tukar-menukar benda yang bersumber dari panca indera manusia, yang
unsur penegaknya adalah hak -hak dan kewajiban-kewajiban, ijab dan
kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak.
Pembagian diatas dilakukan atas dasar kepentingan teoritis semata-
mata sebab dalam praktiknya, kedua bagian muamalah tersebut tidak dapat
dipisah-pisahkan.
Begitu pentingnya mengetahui Fiqh ini karena setiap muslim tidak
pernah terlepas dari kegiatan kebendaan yang terkait dengan pemenuhan
kebutuhannya. Maka dikenallah objek yang dikaji dalam fiqh muamalah, walau
para fuqaha (ahli fiqih) klasik maupun kontemporer berbeda-beda, namun
secara umum fiqh muamalah membahas hal berikut : (1) teori hak-kewajiban,
konsep harta, konsep kepemilikan, (2) teori akad, bentuk-bentuk akad yang
terdiri dari jual-beli, sewa-menyewa, sayembara, akad kerjasama
perdagangan, kerjasama bidang pertanian, pemberian, titipan, pinjam-
meminjam, perwakilan, hutang-piutang, garansi, pengalihan hutang-piutang,
jaminan, perdamaian, akad-akad yang terkait dengan kepemilikan: menggarap
tanah tak bertuan, ghasab (meminjam barang tanpa izin – edt), merusak,
barang temuan, dan syuf'ah (memindahkan hak kepada rekan sekongsi dengan
mendapat ganti yang jelas).
Setelah mengenal secara umum apa saja yang dibahas dalam fiqh
muamalah, ada prinsip dasar yang harus dipahami dalam berinteraksi. Ada 5
hal yang perlu diingat sebagai landasan tiap kali seorang muslim akan
berinteraksi. Kelima hal ini menjadi batasan secara umum bahwa transaksi
yang dilakukan sah atau tidak, lebih dikenal dengan singkatan MAGHRIB,
yaitu Maisir, Gharar, Haram, Riba, dan Bathil.
1. Maisir
Menurut bahasa maisir berarti gampang/mudah. Menurut istilah
maisir berarti memperoleh keuntungan tanpa harus bekerja keras. Maisir
sering dikenal dengan perjudian karena dalam praktik perjudian seseorang
dapat memperoleh keuntungan dengan cara mudah. Dalam perjudian, seseorang
dalam kondisi bisa untung atau bisa rugi. Padahal islam mengajarkan tentang
usaha dan kerja keras. Larangan terhadap maisir / judi sendiri sudah jelas
ada dalam AlQur'an Surat Al-Baqarah (2): 219 dan Surat An-Nisa' (5): 90.
2. Gharar
Menurut bahasa gharar berarti pertaruhan. Terdapat juga mereka
yang menyatakan bahawa gharar bermaksud syak atau keraguan. Setiap
transaksi yang masih belum jelas barangnya atau tidak berada dalam kuasanya
alias di luar jangkauan termasuk jual beli gharar. Boleh dikatakan bahwa
konsep gharar berkisar kepada makna ketidaktentuan dan ketidakjelasan
sesuatu transaksi yang dilaksanakan, secara umum dapat dipahami sebagai
berikut :
- Sesuatu barangan yang ditransaksikan itu wujud atau tidak;
- Sesuatu barangan yang ditransaksikan itu mampu diserahkan atau tidak;
- Transaksi itu dilaksanakan secara yang tidak jelas atau akad dan
kontraknya tidak jelas, baik dari waktu bayarnya, cara bayarnya, dan lain-
lain.
Misalnya , membeli burung di udara atau ikan dalam air atau membeli ternak
yang masih dalam kandungan induknya termasuk dalam transaksi yang bersifat
gharar. Atau kegiatan para spekulan jual beli valas.
3. Haram
Ketika objek yang diperjualbelikan ini adalah haram, maka transaksi nya
menjadi tidak sah. Misalnya jual beli khamr, dan lain-lain.
4. Riba
Pelarangan riba telah dinyatakan dalam beberapa ayat Al Quran. Ayat-ayat
mengenai pelarangan riba diturunkan secara bertahap. Tahapan-tahapan
turunnya ayat dimulai dari peringatan secara halus hingga peringatan secara
keras.
Tahapan turunnya ayat mengenai riba dijelaskan sebagai berikut :
Pertama, menolak anggapan bahwa riba tidak menambah harta justru mengurangi
harta. Sesungguhnya zakatlah yang menambah harta. Seperti yang dijelaskan
dalam QS. Ar Rum : 39 .
"Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan
Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat
gandakan (pahalanya)"
Kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk dan balasan yang keras
kepada orang Yahudi yang memakan riba. Allah berfiman dalam QS. An Nisa :
160-161 .
"Maka disebabkan kelaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka,
dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan
disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil.
Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih."
Ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang
berlipat ganda. Allah menunjukkan karakter dari riba dan keuntungan
menjauhi riba seperti yang tertuang dalam QS. Ali Imran : 130.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan."
Keempat, merupakan tahapan yang menunjukkan betapa kerasnya Allah
mengharamkan riba. QS. Al Baqarah : 278-279 berikut ini menjelaskan konsep
final tentang riba dan konsekuensi bagi siapa yang memakan riba.
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika
kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya."
5. Bathil
Dalam melakukan transaksi, prinsip yang harus dijunjung adalah tidak ada
kedzhaliman yang dirasa pihak-pihak yang terlibat. Semuanya harus sama-sama
rela dan adil sesuai takarannya. Maka, dari sisi ini transaksi yang terjadi
akan merekatkan ukhuwah pihak-pihak yang terlibat dan diharap agar bisa
tercipta hubungan yang selalu baik. Kecurangan, ketidakjujuran, menutupi
cacat barang, mengurangi timbangan tidak dibenarkan. Atau hal-hal kecil
seperti menggunakan barang tanpa izin, meminjam dan tidak bertanggungjawab
atas kerusakan harus sangat diperhatikan dalam bermuamalat.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ahmad, al-Akhlaq, Dar al-Kutub al-Mishriyah, Kairo, t.t.
Asmaran As., Pengantar Studi Akhlak, cet. I, Rajawali Pers, Jakarta, 1992
Bertens,K., Etika, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997
Al- Ghazali, Abu Ahmad, Ihya` Ulumuddin, juz III, cet. II, Dar al-Fikr,
Bairut, 1989
----------------------, Bidayah al-Hidayah, Maktabah Ahmad bin Said bin
Nabhan, Surabaya, t.t.
Al-Hasyimi, Muhammad Ali, Menjadi Muslim Ideal,(terj.), Mitra Pustaka,
Yogyakarta, 1999
Ibnu Maskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A'raq, al-Maktabah al-
Mishriyah, Kairo, 1934
Al-Jurjani, Ali bin Mahmud bin Ali, al-Ta'rifat, Dar al-Bayan li al-Turats,
Kairo, 1993
Makluf, Lois, al-Munjid,al-Maktabah al-katulikiyah, Bairut, 1984
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, cet. III, Rajawali Pers, Jakarta, 1997
Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, Gunung Agung, Jakarta, 1976
Al-Qardlawi. Yusuf, Madkhal li Ma'rifah al-Islam, Maktabah Wahbah, Kairo,
1996
Shihab, M.Quraisy, Wawasan al-Quran, cet. VIII, Mizan, Bandung, 1998
Syaltut, Mahmud, al-Islam Aqidah wa Syariah, Dar al-Qalam, Kairo, 1966
Al-Syarqawi, Muhammad Abdullah, al-Fikr al-Akhlaqi, Dar al-jail, Bairut,
1990
Al-Taftanzani, Abu al-Wafa, Muhadharah fi al-tasawwuf al-Islami, Ma'had al-
Dirasat al-Islamiyah, Kairo, 1991
Tim, al-Mu'jam al-Arabi al-Asasi, al-Munadhdhamah al-Arabiyah li al-
tarbiyah wa al-tsaqafah wa al-Ulum, Tunis, 1988
Tim, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1993
Ya'kub, Hamzah, Etika Islam, CV. Diponegoro, Bandung, 1983
Yunus, Abdul hamid, Dairah al-Ma'arif, cet. II, al-Sya'b, Kairo, t.t.
Azharudin Lathif, Fiqh Muamalat, (ciputat : UIN jakarta Press, 2005),
cet.1, h. 5
http://khairilmuslim.wordpress.com/2011/04/04/208
http://mahir-al-hujjah.blogspot.com/2009/08/gharar-riba-dan-maisir-di-
dalam.html