POTENSI DAN MASALAH ASPEK GEOGRAFI, DAN SUMBER DAYA ALAM Permasalahan Permasal ahan terkait sumber daya alam dan lingkungan lainnya adalah adanya resiko bencana banjir, angin kencang, kekeringan, dan kebakaran hutan. Peentuan masalah bencana alam tersebut berdasarkan jumlah desa yang terkena rawan bencana. Setiap desa yang wilayahnya memiliki kerawanan bencana masuk kedalam hitungan desa rawan bencana walaupun desa tersebut hanya memiliki sebagia kecill wilayahnya yang terkena rawan bencana. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam pengaturan kebijakan dan strategi untuk mengatasi masalah tersebut. Selain itu, dalam menenentukan permasalahn pada aspek bencana alam, patokan yang dipilih adalah dengan best practice yaitu 0% tidak terkena rawan bencana alam. Hal tersebut dipilih karena, ketika semua desa tidak terkena rawan bencana maka aktivitas dari penduduk yang mendiami desa tersebut tidak terganggu dari ancaman bencana alam tersebut. Sedangkan ketika ada desa yang terkena rawan bencana alam maka harus ada mitigasi bencana agar ada persiapan dalam menghadapi bencana alam tersebut. (Tabel Analisis GAP Aspek SDA terlampir)
ASPEK KEPENDUDUKAN Ketimpangan dalam kependudukan adalah ketidaksesuaian antara kondisi wilayah studi dengan suatu standar atau wilayah sekitarnya. Metode yang digunakan untuk melihat ketimpangan adalah pengukuran kondisi eksisting yang dibandingkan dengan standar, komparasi wilayah, teori, atau asumsi. Pada aspek kependudukan standar yang digunakan adalah komparasi wilayah yang lebih luas. Aspek kependudukan kependudukan yang diukur dalam ketimpangan ketimpangan dapat disebut sebagai indikator ekonomi. Indikator kependudukan sebagai subjek utama yang dapat berpengaruh terhadap perkembangan kondisi kependudukan suatu wilayah dan akan menimbulkan dampak sebuah potensi atau permasalahan. Indikator ekonomi yang digunakan adalah Tingkat Ketergantungan, Angka Fertilitas, Mortalitas dan Mobilitas,
Studio Proses Perencanaan E |
B
A
B
I
II
Pertumbuhan penduduk.
penduduk,
distribusi
penduduk
dan
kepadatan
(Tabel Analisis GAP Aspek Kependudukan terlampir)
Tingkat Ketergant Ketergantungan ungan Dependency ratio adalah angka yang menunjukkan perbandingan antara penduduk usia produktif dengan non produktif. Semakin tinggi angka Dependency ratio, akan menjadi masalah untuk sebuah wilayah, karena penduduk usia produktif akan menanggung beban hidup dari penduduk dengan usia non produktif. Pada wilayah studi meso, dan mikro nilai Dependency ratio adalah 55.60 dan , lebih tinggi dibanding Dependency ratio Kabupaten Boyolali yaitu 51,32. Hal inilah yang kemudian menjadi masalah. Akan membutuhkan program atau kebijakan khusus untuk menyelesaikan masalah tersebut, karena Dependency ratio wilayah meso dan mikro lebih tinggi dibanding Kabupaten Boyolali.Adapun hal ini disebabkan oleh banyaknya penduduk usia produktif yang memilih untuk bekerja ke luar daerah, yang kemudian menyebabkan sedikitnya jumlah penduduk usia produktif di wilayah studi.
Mobilitas Penduduk Mobilitas netto adalah perbandingan atau pengurangan antara jumlah penduduk masuk dengan jumlah penduduk penduduk keluar. Perbedaan ekstrim antara jumlah penduduk yang melakukan mobilitas masuk dengan keluar akan mengidentifikasi sebuah masalah di suatu wilayah. Jika jumlah penduduk masuk secara ekstrim lebih banyak dibanding penduduk akan berimplikasi pada kepadatan penduduk serta pertumbuhan penduduk yang akan meningkat. Jika jumlah penduduk keluar secara ekstrim, dapat terindikasi bahwa terjadi suatu masalah di wilayah tersebut, sebagai contoh adalah bencana alam. Hal inii berlaku untuk wilayah meso hingga perkotaan, diakibatkan oleh banyaknya penduduk usia produktif yang melakukan migrasi keluar untuk mencari kerja
Studio Proses Perencanaan E |
B
A
B
I
II
Kepadatan Penduduk Kepadatan penduduk adalah perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah yang ditinggali. Pada wilayah meso, kepadatan penduduk berada dibawah kepadatan penduduk
II
Kabupaten Boyolali, dengan perbandingan 505 Jiwa/ dan 545
I
Jiwa/ . Hal ini mengindikasikan kemudahan penerapan aturan untuk mengontrol perkembangan kepadatan penduduk di wilayah terkait. Permukiman-permukiman baru juga dapat dibangun, melihat kondisi kepadatan saat ini.
Pertumbuhan Penduduk Pertumbuhan penduduk adalah pertambahan jumlah penduduk dalam 1 tahun. Pertumbuhan penduduk yang cepat tinggi mengidentifikasikan adanya kerawanan untuk sebuah wilayah. Sebaliknya, pertumbuhan penduduk yang rendah mengidentifikasikan bahwa wilayah tersebut dapat di stimulasi untuk menambah tingkat pertumbuhan. Pertumbuhan penduduk di wilayah meso, mikro, dan perkotaan lebih rendah dari Kabupaten Boyolali dengan nilai 0.11%, 0.12% dan 0.11% lebih rendah dibanding Kabupaten Boyolali. Hal ini disebabkan oleh banyaknya migrasi kelluar yang dilakukan, baik migrasi temporal maupun migrasi tetap.
ASPEK EKONOMI Ketimpangan dalam ekonomi adalah ketidakmerataan aspek ekonomi antara wilayah studi dengan suatu standar atau wilayah sekitarnya. Metode yang digunakan untuk melihat ketimpangan adalah pengukuran kondisi eksisting yang dibandingkan dengan standar, komparasi wilayah, teori, atau asumsi. Pada aspek ekonomi standar yang digunakan adalah rencana program pemerintah seperti RKPD dan RPJMD atau menggunakan komparasi wilayah yang lebih luas. Aspek ekonomi yang diukur dalam ketimpangan ketimpangan dapat disebut sebagai indikator ekonomi. Indikator ekonomi sebagai subjek utama yang dapat berpengaruh terhadap perkembangan perekonomian wilayah dan akan menimbulkan dampak sebuah potensi atau permasalahan. Indikator ekonomi merupakan turunan dari sub aspek , sub aspek
Studio Proses Perencanaan E |
B
A
B
tersebut adalah Inflasi, Kesejahteraan Masyarakat, Pertumbuhan Ekonomi, Struktur Ekonomi dan Spesialisasi Sektor. (Tabel Analisis GAP Aspek Ekonomi terlampir)
Inflasi Inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terusmenerus dan saling pengaruh-memengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga. Pada wilayah makro terjadi inflasi sebesar 3,3% di tahun 2015. Jika dibandingkan dengan tingkat inflasi Provinsi Jawa Tengah saat itu terjadi selisih sebesar 0,57% , artinya tingkat inflasi wilayah makro lebih besar dibandingkan inflasi pada Provinsi Jawa Tengah. Walaupun nilai inflasi masih dibawah 10% (inflasi ringan) tetapi secara umum akan memberikan dampak terhadap produksi komoditas, pendapatan masyarakat, minat masyarakat untuk menabung serta investasi.
Kesejahteraan Masyarakat Kesejahteraan masyarakat dapat diukur dari Upah Minimum Regional. Pada konteks ini dilakukan dengan cara membandingkan wilayah studi makro (perhitungan dari nilai PDRB) dengan rata-rata UMR Kabupaten Boyolali, Semarang, Grobogan, Klaten, Salatiga, Karanganyar, Sragen, Sukoharjo, Magelang, Surakarta, Sleman 2015 (UMR eksisting wilayah makro) dan wilayah studi meso dan mikro terhadap UMR Kabupaten Boyolali 2011. Pada konteks ini terjadi selisih yang cukup beragam. Jika nilai UMR dihitung menggunakan nilai PDRB Per Kapita dibagi dengan 12 bulan dapat ditarik kesimpulan UMR wilayah makro (PDRB ADHK) masih dibawah standar sehingga kesejahteraan masyarakat masih rendah. Hal yang sama terjadi pada wilayah meso dan mikro terjadi selisih kisaran 2-75% dari nilai UMR Kabupaten Boyolali 2011.
Studio Proses Perencanaan E |
B
A
B
I
II
Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran untuk melihat seberapa besar perekonomian itu berkembang be rkembang dalam sebuah wilayah. Pertumbuhan ekonomi didapatkan dari nilai PDRB ADHK. Nilai pertumbuhan ekonomi dapat diukur secara time series dari tahun ke tahun menggunakan rumus :
A
B
I
II B
Dari rumus tersebut akan menghasilkan nilai pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya. Pada konteks ini yang di tampilkan adalah pertumbuhan ekonomi tahun 2014-2015 (wilayah makro) dan tahun 2010-2011 (wilayah meso dan mikro). Dari hasil perhitungan GAP dapat disimpulkan bahwa perkembangan ekonomi wilayah perkotaan masih tertinggal sebesar 2,6%. Berbeda halnya dengan wilayah perkotaan yang tidak memiliki selisih pada standar pertumbuhan ekonomi Kabupaten Boyolali. Disisi lain, pertumbuhan ekonomi wilayah makro dan meso melebihi standarnya standar nya yaitu sebesar 1,18% dan 0,5%. Hal ini dapat menjadi potensi bagi wilayah makro dan meso dimana wilayah tersebut dapat berkembang lebih cepat dibandingkan standar yang ditetapkan.
Struktur Ekonomi Struktur ekonomi merupakan komposisi dari sektor-sektor ekonomi. Struktur ekonomi dibagi dengan cara mengelompokan sektor-sektor ekonomi menjadi sektor primer, sektor sekunder, dan sektor tersier. Pada wilayah makro memiliki sektor primer yang tertinggal sejauh 1,12%. Berbeda halnya dengan wilayah meso dan mikro, kontribusi sektor primernya melebihi standar sebesar 5,3% (meso), 40,10% (perkotaan mikro), dan 9,1% (perdesaan mikro).
Studio Proses Perencanaan E |
Struktur Ekonomi Primer 80.00% r 70.00% u t k 60.00% u r t 50.00% S i 40.00% s i s o 30.00% p m20.00% o K 10.00%
0.00%
II I B A Makro
Meso
Perkotaan
Perdesaan
Eksisting
9.10%
3 7.30%
74.10%
43.10%
Standar
10.22 %
3 2%
34%
34%
Diagram 3. 1 Komposisi Struktur Ekonomi Primer Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E, 2017
Bergeser ke komposisi sektor sekunder, didapatkan bahwa sektor sekunder wilayah makro dan mikro masih tertinggal sebesar 10,4%, 13,15% (perkotaan mikro), dan 8,9% (perdesaan mikro).
Struktur Ekonomi Sekunder 40.00% r 35.00% u t k 30.00% u r t 25.00% S i 20.00% s i s o 15.00% p m10.00% o K 5.00%
0.00%
Makro
Meso
Perkotaan
Perdesaan
Eksisting
24.90%
18%
3.10%
9.10%
Standar
35.30%
15.50%
16.25%
15.52%
Diagram 3. 2 Komposisis Struktur Ekonomi Sekunder Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E, 2017
Bergeser lagi ke komposisi dengan hirarki paling tinggi yaitu sektor tersier disimpulkan bahwa wilayah meso dan mikro (perkotaan) komposisi sektor tersier masih dibawah standar sebesar 7,8% dan
Studio Proses Perencanaan E |
B
3,25%. Sedangkan, wilayah makro dan mikro melebihi standar sebesar 52,61% dan 8,9% (perdesaan mikro).
Struktur Ekonomi Tersier II
70% r u t k u r t S i s i s o p m o K
I
60%
B A
50%
B
40% 30% 20% 10% 0%
Makro
Meso
Perkotaan
Perdesaan
Eksisting
66%
44.70%
22.75%
4 7 .8 0 %
Standar
1 3 .3 9 %
52.50%
26%
25 %
Diagram 3. 3 Komposisi Struktur Ekonomi Tersier Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E, 2017
Hal ini dapat disimpulkan bahwa permasalahan di wilayah makro terjadi pada sektor primer dan sekunder, wilayah meso terjadi pada sektor tersier, dan wilayah mikro terjadi pada sektor sekunder dan tersier untuk perkotaan dan sektor sekunder untuk wilayah perdesaan mikro. Disisi lain, potensi ada pada wilayah makro didominasi oleh sektor tersier, dengan komposisinya di atas standar. Hal yang berbeda terjadi pada wilayah meso dimana sektor nya didominasi oleh sektor primer dan sekunder. Pada wilayah perkotaan mikro didominasi oleh sektor primer dan wilayah perdesaan mikro didominasi oleh sektor primer dan tersier
Spesialisasi Sektor Spesialisasi sektor didapatkan dari perhitungan nilai LQ dengan klasifikasi, jika : LQ >= 1 , sektor terspesialisasi LQ < 1 , sektor kurang terspesialisasi.
Studio Proses Perencanaan E |
Pada sektor pertanian, kehutanan dan perikanan permasalahan ada pada wilayah mikro perkotaan dimana sektor tersebut kurang terspesialisasi dibandingkan dengan Kabupaten Boyolali. Berbeda halnya dengan wilayah makro, meso, dan perdesaan mikro dimana secara keseluruhan sektor pertanian, kehutanan dan perikanan merupakan sektor yang terspesialisasi. Pada sektor pertambangan dan penggalian sama-sama memiliki status sektor terspesialisasi yang dapat menjadi sebuah potensi wilayah tersebut. Pada sektor industri pengolahan terdapat permasalahan pada wilayah makro dimana dimana sektor tersebut kurang terspesialisasi dibandingkan dengan Provinsi Jawa Tengah. Tetapi wilayah meso memiliki status yang lebih terspesialisasi dibandingkan sektor industri pengolahan pengolahan di Kabupaten Boyolali yang masih berstatus kurang terspesialisasi. Sektor pengadaan listrik, gas, dan air bersih; sektor konst ruksi; sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor; dan sektor transportasi, angkutan dan komunikasi wilayah makro masih memiliki status sektor kurang terspesialisasi sama halnya dengan status sektor pada Provinsi Jawa Tengah. Namun, potensi ada di wilayah meso dimana sektor menjadi lebih terspesialisasi tetapi status terspesialisasi pada sektor ini tidak terdapat di Kabupaten Boyolali. Sektor keuangan, real estate, dan asuransi pada wilayah makro dan mesomemiliki status sektor yang sama dengan Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Boyolali yaitu kuranh terspesialisasi. Sektor Jasa dan Sosial pada wilayah makro,meso dan mikro memiliki status sektor yang sama dengan Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Boyolali. Terkhusus wilayah perdesaan mikro, sektor jasa dan sosial menjadi lebih terspesialisasi dan dapat menghasilkan potensi wilayah.
Studio Proses Perencanaan E |
B
A
B
I
II
Komoditas Unggulan Produksi Ubi Kayu Kabupaten Boyolali 2015 40%
II
35%
I
30%
B
25%
A
20%
B
15% 10% 5% 0% Selo, Ampel, Musuk, Boyolali, Sambi, Karanggede, Cepogo Mojosongo, Ngemplak, Andong, Klego Teras, Sawit Nogosari, Simo
Juwangi, Kemusu, Wonosegoro
Diagram 3. 4 Hasil Produksi Ubi Kayu Kabupaten Boyolali Tahun 2015 Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E, 2017
Komoditas unggulan adalah komoditi yang diunggulan pada suatu wilayah yang berkembang dengan baik sesuai dengan kondisi fisik wilayah yang bersangkutan. Komoditas unggulan didapatkan dari hasil produksi sektor pertanian terbesar khususnya pada wilayah mikro. Pada tahun 2015, komoditas unggulan pada kasus kali ini berasal dari sektor pertanian dan perkebunan yaitu komoditas ubi kayu. Jika dikomparasikan dengan 41 desa wilayah JKW, Presentase Ubi Kayu pada wilayah perkotaan Eksisting lebih kecil dibandingkan Ubi Kayu di 41 desa JKW. Berbeda halnya dengan wilayah perdesaan yaitu wilayah JKW menjadi kntributor terbesar dari 4 wilayah studi lainnya dalam produksi komoditas ubi kayu.
Studio Proses Perencanaan E |
ASPEK INFRASTRUKTUR (Tabel Analisis GAP Aspek Ekonomi terlampir)
Sarana Kesehatan Pada sarana kesehatan masih terdapat kesenjangan pada beberapa indikator seperti ketersediaan Rumah Sakit, BKIA, Polindes, Posyandu dan apotek. Dimana kesenjangan tersebut dinilai signifikan dan terjadi pad asemua lingkup wilayah yakni makro, meso dan mikro. Kesenjangan tersebut dapat terlihat dengan membandingkan kondisi eksisting dengan patokan atau jumlah yang seharusnya terpenuhi. Perbandingan tersebut menggunakan standar SNI 03-1733-2004. Sehingga didapatkan suatu kesenjangan pada beberapa indikator, adanya kesenjangan tersebut sangat dirasakan oleh masyarakat terkait dengan pemenuhan kebutuhan sarana masyarakatnya dan harus berpikir ulang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan jika harus pergi ke daerah tetangga. Selain itu, terdapat 2 sarana kesehatan yang telah mampu memenuhi kebutuhan masyarakatnya yaitu Puskesmas dan Praktek Dokter. Secara garis besar, ketersediaan puskesmas dan Praktek dokter telah mampu melayani kebutuhan kesehatan masyarakat sekitar dan terjadi kesenjangan yang kecil dalam artian kesenjangan yang ditimbulkan tidak terlalu signifikan seperti yang di timbulkan oleh Rumah Sakit, BKIA, Polindes, Posyandu dan Apotek.
Sarana Perdagangan dan Jasa Secara keseluruhan ketersediaan jumlah pasar telah melebihi patokan atau standar jumlah pasar yang harus di penuhi. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak adanya GAP atau kesenjangan yang terjadi pada lingkup makro, meso maupun mikro pedesaan dan perkotaan. Ketersediaan pasar tersebut akan sangat membantu masayarakat dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Sedangkan untuk ketersediaan Warung/Toko masih terdapat kesenjangan pada lingkup wilayah makro. Namun, untuk wilayah meso maupun mikro telah terpenuhi sesuai kebutuhan. Adanya kesejangan tersebut dapat terlihat dengan cara membandingkan ketersediaan pada kondisi eksisting dengan kebutuhan yang seharusnya dipenuhi. Studio Proses Perencanaan E |
B
A
B
I
II
Namun dengan adanya kesenjangan tersebut mebuat masyarakat sekitar dalam memenuhi kebutuhannya harus ke daerah tetangga terlebih dahulu.
Sarana Peribadatan Secara keseluruhan, ketersediaan sarana peribadatan musholla dan masjid telah mampu memenuhi kebutuhan sarana peribadatan masyarakat. Kesenjangan yang terjadi pada musholla terdapat pada lingkup wilayah meso dimana ketersediaan eksisting tidak mampu melebuhi jumlah yang seharusnya terpenuhi. Namun, kesenjangan tersebut tidak lantas membuat kebutuhan masyarakat tidak terpenuhi sama sekali, dengan adanya kesenjangan tersebut membuat masyarakat lebih bersosial kepada daerah sekitar karena untuk memenuhi kebutuhannya harus pergi ke daerah sekita. Begitu pula pada ketersediaan masjid yang memiliki kesenjangan pada lingkup makro yang membuat masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sarana peribadatan masih bergantung pada daerah sekitar.
Jaringan listrik Secara keseluruhan, pada wilayah mikro yang terdiri dari seluruh desa yang ada di Kecamatan Juwangi, Kemusu, dan Wonosegoro sudah teraliri listrik secara keseluruhan dari PLN untuk kebutuhan sehari-hari dalam rumah tangga. Namun masih ada sebagian kecil dari beberapa desa yang masih belum teraliri listri k PLN, selain itu juga terdapat desa yang sebagian kecilnya masih belum menggunakan aliran listrik PLN secara individu, dalam artian masyarakat menggunakan listrik dengan cara mempararelkan dengan tetangganya. Maka, dapat dikatakan bahwa kesenjangan dalam pengaliran listrik dari PLN masih ada sedikit kesenjangan, yang mungkin hal ini berkaitan dengan ekonomi masyarakat itu sendiri, dimana mayoritas penduduk yang ada bermata pencaharian sebagai petani dan mungkin untuk membayar listrik masih kesusahan. Sebagian besar rumah tangga sudah teraliri listrik dari PLN, namun masih ada beberapa masyarakat atau rumah tangga yang belum teraliri listrik secara individu ataupun sama sekali, hal ini akan menimbulkan masalah berupa kesenjangan dalam masyarakat. Selain Studio Proses Perencanaan E |
B
A
B
I
II
itu, aktivitas masyarakat sehari-hari pun akan terhambat dan teknologi akan sangat lambat untuk masuk.
Sanitasi Pada Sanitasi di lingkup wilayah mikro, tidak terdapat kesenjangan. Dimana menurut patokan yakni 80-90% penduduk dengan kepadatan lebih dari 300 Jiwa sudah memiliki MCK pribadi dengan sistem sanitasi yang baik. Pada wilayah mikro dan perkotaan dengan kepadatan lebih dari 300 Jiwa, penduduknya sudah menggunakan MCK lebih daro 90%. Maka dapat dikatakan bahwa tidak terjadi kesenjangan terhadap fasilitas sanitasi. Potensi yang dimiliki oleh wilayah mikro dan perkotaan pada sistem sanitasi yang ada yakni berupa semakin sedikitnya indikasi penyakit menular akibat bakteri dari sanitasi yang digunakan secara massal atau di tempat terbuka seperti sungai dan lain sebagainya, begitu halnya pada sistem pembuangan limbah air rumah tangga.
Sarana Pendidikan Pada sarana pendidikan, tingkat kesenjangan yang paling menonjol adalah pada ketersediaan saranan pendidikan tingkat TK. Kesenjangan yang terjadi pada saarana pendidikan tingkat TK ini terjadi pada lingku makro, meso serta mikro. Sedangkan untuk sarana pendidikan setingkat SD, SMP tidak terdapat kesenjangan sama sekali baik dari lingkup makro hingga mikro. Kesenjangan lainnya yang terjadi ialah pada lingkup sarana pendidikan tingkat SMA dan Perguruan Tinggi, dimana kesenjangan yang terjadi di tingka SMA hanya terdapat pada kawasan pedesaan dengna lingkup mikro, sedangkan untuk Perguruan Tinggi terjadi di makro dengan kekurangan sarana hingga 13 unit dan di kawasan pedesaan lingkup mikro dengan kekurangan 1 unit.
Sarana persampahan Dapat dilihat untuk sarnaa persampahan kekurangna banyak terjadi pada keterseidaan TPS, kesenjangan yang terjadi cuup tinggi yaitu sebesar 8 buah untuk lingkup makro. Sedangkan untuk ketersediaan TPA sendiri, apabila didasari standar kurang dapat Studio Proses Perencanaan E |
B
A
B
I
II
diketahui apakah terjadi kesenjangan atau tidak dikarenakan tidak adanya standar terkait, namun apabila dilihat dair kondisi lapangan, dapat dikatakan bahwa kesenjangan kesenjangan dari ketersediaan TPA terjadi.
ASPEK TATA GUNA LAHAN Ketimpangan dalam aspek tata guna lahan adalah adanya ketidakmerataan atau ketidak idealan dalam penggunaan lahan pada suatu wilayah apabila ditinjau dari standar atau acuan yang ada. Metode yang digunakan untuk mengukur ketimpangan yang ada pada aspek tata guna lahan adalah dengan cara perbandingan atau melakukan komparasi antara penggunaan yang ada pada suatu wilayah dengan aturan, teori, atau asumsi yang ada. Pada aspek tata guna lahan ini standar yag digunakan adalah SNI terkait tata cara perencanaan lingkungan permukiman dan perumahan perkotaan serta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Boyolali tahun 2011 – 2031. Aspek tata guna laha laha yang diukur dalam dalam ketimpangan disebut disebut dengan dengan indikator tata guna lahan yang juga merupakan subyek utama dan berpengaruh terhadap penggunaan lahan pada suatu wilayah yang nantinya juga bisa diturunkan mejadi potensi atau permaslahan yang ada pada wilayah tersebut apabila ditinjau dari aspek tata guna lahan. Indikator dari tata guna lahan yang digunakan adalah lahan permukiman, lahan non terbangun tidak dapat dikonversi, lahan terbangun dapat dikonversi, lahan industri, penggunaan lahan dominan, kesalahan dalam penggunaan kawasan lindung, lahan tidak sesuai peruntukan. (Tabel Analisis GAP Aspek Tata Guna Lahan terlampir)
Studio Proses Perencanaan E |
B
A
B
I
II
II I B A B
Gambar 3. 1 Peta Penggunaan Lahan Kecamatan JKW Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E, 2017
Penggunaan Lahan Permukiman Penggunaan Lahan pada wilayah mikro memang didominasi oleh lahan non terbangun sehingga presentase lahan terbangun khususnya untuk permukiman pada Kecamatan Juwangi, Wonosegoro, dan Kemusu tergolong kecil yaitu hanya 16,81 % dari keseluruhan luas wilayah mikro atau 4.208 Ha. Adapun A dapun permasalahan permasalahan yang ada pada indikator ini adalah presentase yang tergolong kecil dan pola dari permukiman yang ada cenderung linier mengikuti jalan besar sehingga menimbulkan permasalahan dimana pusat – pusat pertumbuhan hanya ada di pinggir jalan besar dan pemerataan pembangunan pembangunan sulit tercapai khususnya pada lahan yang jauh dari jalan raya. Oleh karena itu sesuai dengan proyeksi penduduk serta kebutuhan ruang minimum per individu yang ada pada SNI 03-17332004 ditargetkan pada tahun 2035 jumlah lahan untuk permukiman menjadi 17,70 % dimana naik sebesar 0,89 atau terdapat terdap at penambahan lahan bagi permukiman sebesar 224 Ha. Penambahan lahan untuk Studio Proses Perencanaan E |
permukiman ini juga memanfaatkan potensi – potensi yang ada yaitu masih tersedianya lahan untuk konversi sehingga sehingga lahan – lahan akan dimaksimalkan bagi pembangunan fisik dan pemerataan pembangunan pembangunan pun cepat tercapai. Serupa dengan penggunaan lahan pada wilayah mikro, Penggunaan Lahan pada kawasan perkotaan juga didominasi oleh lahan non terbangun sehingga persentase lahan terbangun tergolong kecil, yaitu hanya 16,6 % dari keseluruhan luas kawasan perkotaan Juwangi dan Wonosegoro dengan lahan permukiman sebesar 15,26 %. Adapun permasalahan yang ada pada indikator ini adalah masih adanya permukiman-permukiman yang tidak layak huni. Selain itu, pola permukman yang ada cenderung menyebar sehingga pemerataan pembangunan sulit tercapai khususnya pada lahan yang jauh dari pusat pelayanan. pelayanan. Oleh karena itu sesuai dengan proyeksi penduduk serta kebutuhan ruang minimum per individu yang ada pada SNI 03-17332004 ditargetkan pada tahun 2035 jumlah lahan untuk permukiman menjadi 16,57% dengan seluruhnya merupakan permukiman layak huni, dimana naik sebesar 5,1% atau terdapat penambahan penambahan lahan bagi permukiman sebesar 21,8 Ha. Penambahan lahan untuk permukiman ini juga memanfaatkan potensi – potensi yang ada yaitu masih tersedianya lahan untuk konversi khususnya lahan yang masih kosong, sehingga lahan – lahan akan dimaksimalkan bagi pembangunan fisik dan pemerataan pembangunan pun cepat tercapai.
Penggunaan Lahan untuk Fasilitas Penunjang dan Pelayanan Berdasarkan kondisi eksisting, penggunaan lahan yang digunakan untuk fasilitas fasili tas penunjang dan pelayanan hanya seluas 1,3% atau 215 Ha. Apabila dihitung berdasarkan standar SNI 03-1733-2004 ditargetkan pada tahun 2035 jumlah lahan untuk fasilitas penunjang dan pelayanan menjadi 1,88% atau seluas 31,44 Ha. Artinya, ditargetkan 20 tahun mendatang fasilitas-fasilitas yang ada paling tidak luasnya sudah memenuhi standar.
Studio Proses Perencanaan E |
B
A
B
I
II
Penggunaan Lahan Non Terbangun dapat Dikonversi Penggunaan lahan non terbangun yag dapat dikonversi hanya terdiri dari tegalan yang pada kondisi eksisting tahun 2015 memiliki luas 6.799 Ha atau 27,16 %. Dari penggunaan lahan yang tergolong luas ini tidak terdapat permasalahan didalamnya justru menyimpang potensi dalam aspek tata guna lahan di wilayah mikro. Pada tahun 2035, lahan non terbangun yang dapat dikonversi yaitu tegalan ditargetkan manjadi seluas 19,89 % dimana turun sebesar 7,26 % atau terjadi konversi lahan pada tegalan seluas 1.818 Ha. Hal ini dapat dikatakan memanfaatkan potensi yang ada pada tegalan yaitu masih terdapat lahan yang luas serta dapat dikonversi yang dialokasikan bagi pembangunan fisik khususnya khususnya permukiman di Kecamatan Juwangi, Wonosegoro, dan Kemusu. Sedangkan pada kawasan perkotaan, penggunaan lahan non terbangun yang dapat dikonversi hanya terdiri dari tegalan dan lahan kosong yang pada kondisi eksisting, yaitu seluas 153,51 Ha atau 9,29 %. Dari penggunaan lahan ini tidak terdapat permasalahan didalamnya, namun justru menyimpan potensi. Pada tahun tahun 2035, lahan non terbangun yang dapat dikonversi ditargetkan manjadi seluas 4,3 %, artinya lahan non terbangun yang tidak produktif menjadi lebih bermanfaat karena dikonverskan ke lahan untuk permukiman, fasilitas penunjang dan elayanan serta industri.
Penggunaan Lahan Non Terbangun Tidak dapat Dikonversi Penggunaan lahan non terbangun yang tidak dapat dikonversi pada wilayah mikro maupun perkotaan baik bagi pembangunan fisik yaitu berupa hutan negara, ruang terbuka hijau serta persawahan khususnya khususnya sawah berkelanjutan di Kecamatan Juwangi, Wonosegoro, dan Kemusu. Pada tahun 2015, presentase dari penggunaan laha ini adalah 56,04 % dari keseluruhan luas wilayah yang terdiri dari hutan negara seluas 11.114 Ha, persawahan seluas 2.916 Ha. Permasalahan yang muncul dari indikator ini adalah belum tersedianya lahan untuk ruang terbuka hijau yang sangat dibutukan masyarakat apalagi hasil proyeksi menunjukkan peningkatan. Sedangkan pada perkotaan presentase dari penggunaan lahan ini adalah 74,11% dari Studio Proses Perencanaan E |
B
A
B
I
II
keseluruhan keseluruha n luas wilayah yang terdiri dari hutan negara seluas 843,781 Ha, persawahan seluas 380,539 Ha serta 0,165 Ha. Permasalahan yang muncul dari indikator ini adalah lahan untuk ruang terbuka hijau yang masih sedikit sehingga tidak ada sarana untuk rekreasi bagi warga. Pada tahun 2035 direncanakan lahan non terbangun yang tidak dapat dikonversi menjadi seluas 59,31 % atau meningkat sebesar 3,27 %, hal ini dikarenakan penambahan bagi Ruang Terbuka Hijau sesuai proyeksi penduduk serta adanya perluasan bagi sawah berkelanjutan berdasarkan RTRW Kabupaten Boyolali tahun 2011 – 2031 dimana sawah seluas 2.916 Ha menjadi 3.721 Ha pada tahun 2035 juga untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Sedangkan pada kawasan perkotaan pada tahun 2035 lahan non terbangun yang tidak dapat dikonversi direncanakan menjadi seluas 73,25% atau turun sebesar 0,86%, hal ini dikarenakan adanya penambahan bagi Ruang Terbuka Hijau dan pengurangan lahan pertanian yang yang tidak termasuk dalam lahan pertanian berkelanjutan. berkelanjutan.
Penggunaan Lahan bagi Industri Penggunaan lahan bagi industri di Kecamatan Juwangi, Wonosegoro, dan Kemusu tahun 2015 memang tidak ada khususnya bagi industri menengah – berat. Namun berdasarkan RTRW Kabupaten Boyolali tahun 2011 – 2031 pada tahun 2031 terdapat industri yang menempati lahan di Kecamatan Juwangi , Wonosegoro dan Kemusu sebesar 3 % dari luas keseluruhan atau 774 Ha. Hal ini bukan menjadi suatu permasalahan karena jumlah lahan yang bisa dikonversi masih luas serta menimbulkan potensi baru dimana terdapat variasi yang bertambah dari dar i penggunaan lahan serta masuknya industri tentu akan mempercepat pembangunan pada lahan – lahan di sekitar industri tersebut sehingga tidak hanya terfokus pada pembangunan fisik pada lahan di dekat jalan besar di Kecamatan Juwangi, Wonosegoro, dan Kemusu. Lalu, Penggunaan lahan bagi industri di kawasan perkotaan Juwangi dan Wonosegoro memang sangat sedikit. Namun berdasarkan RTRW Kabupaten Boyolali tahun 2011 – 2031 pada tahun 2031 seharusnya terdapat lahan industri sebesar 3 % dari luas keseluruhan atau 49,5 Ha. Hal ini bukan menjadi suatu permasalahan permasalahan Studio Proses Perencanaan E |
B
A
B
I
II
karena jumlah lahan yang bisa dikonversi masih luas serta menimbulkan potensi baru dimana terdapat variasi yang bertambah dari penggunaan lahan serta masuknya industri tentu akan mempercepat pembangunan pada lahan – lahan di sekitar industri tersebut.
Daya Dukung dan Kesesuaian Lahan
I
II
Tujuan utama dari melakukan analisis terkait daya dukung lahan dan kesesuaian lahan adalah untuk mencari presentase kesalahan penggunaan kawasan lindung serta presentase lahan tidak sesuai yang nantinya berpengaruh besar terhadap permasalahan serta gagasan perencanaan di wilayah studi. Pada wilayah studi mikro dan perkotaan sudah menunjukkan hasil positif dimana pada hutan lindung sama sekali tidak ada lahan yang ditujukan untuk pembangunan (0%) serta berdasarkan analisis kesesuaian lahan tidak ditemukan kesalahan dalam pembangunan pada lahan yang seharusnya tidak diperuntukkan untuk pembangunan (0%). Hal ini sama sekali tidak menjadi permasalahan namun menunjukkan suatu potensi yang besar dimana kesadaran masyarakat dalam melakukan pembangunan pada lahan – lahan yang ada sudah tinggi. Tentunya hal ini menunjukkan kondisi ideal dan harus tetap dipertahankan sampai target perencanaan perencanaan di tahun 2035.
ASPEK SISTEM AKTIVITAS Sistem aktivitas yang meliputi system aktivitas ekonomi dan non ekonomi terdiri dari mobilitas penduduk,
Mobilitas Penduduk Mobilitas penduduk yaitu perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain. Mobilitas dibedakan 2 yaitu mobilitas non permanen (tidak tetap) dan mobilitas permanen (tetap). Apabila perpindahan bertujuan untuk menetapkan di daerah tujuan maka disebut migrasi. Jadi migrasi artinya perpindahan pendudukdari satu daerah ke daerah lain untuk menetap. menetap. Dapat dilihat dilihat dari peta mobilitas penduduk bahwa kebanyakan penduduk JKW pergi ke luar wilayah untuk merantau mencari pekerjaan. Hal ini i ni dikarenakan adanya faktor penarik dari kota kota tersebut berupaketersediaan lapangan Studio Proses Perencanaan E |
B
A
B
pekerjaan yang yang lebih banyak banyak dan UMR yng tinggi, wajar saja jika ji ka penduduk di Kecamatan JKW ini kebanyakan adalah penduduk usia lanjut karena banyak usia usia produktif yang yang keluar. Wilayah yang paling paling sering dijadikan tempat untuk merantau adalah Jakarta. Adapun seperti Kabupaten Sragen penduduk nya banyak yang masuk ke Kecamatan JKW dikarenakan jarak yang lumayan dekat. Mobilitas penduduk secara internal sulit karena akses jalan yang masih terbatas dan banyak yang rusak.
Gambar 3. 2 Peta Mobilitas Penduduk Kecamatan JKW Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E, 2017
Pada mobilitas penduduk di wilayah JKW terdapat beberapa masalah seperti lebih banyaknya usia produktif daripada usia non produktif yang bermigrasi keluar sehingga mengakibatkan berkurangnya berkurangnya jumlah penduduk usia produktif yang berada di desa dan menyisakan lebih banyak orang tua dan anak anak di wilayah JKW sehingga tingkat produktivitas pun rendah. Selain itu, masalah ini juga mengakibatkan terjadinya perubahan sosial yang dibawa oleh para perantau ke desa atau wilayah JKW. Akan tetapi, hal ini juga Studio Proses Perencanaan E |
B
A
B
I
II
berdampak positif terhadap wilayah JKW yaitu terjadinya remitan atau aliran uang ke wilayah JKW sehingga meningkatkan perekonomian wilayah dengan perputaran uang yang semakin meningkat. meningkat. Hal ini juga mengakibatkan daya beli masyarakat semakin tinggi dan meningkatnya tingkat pendidikan karena terdorongnya pikiran untuk bekerja di luar kota dan sukses untuk memiliki pendapatan yang lebih tinggi. Status sosial pun ikut meningkat karena tingkat pendapatan yang lebih tinggi. Tidak jauh berbeda dengan wilayah JKW, pembangunan desa dan laju pertumbuhan penduduk kawasan perkotaan Juwangi dan Wonosegoro juga menjadi terhambat karena kurangnya tenaga penggerak pembangunan yang pergi merantau ke luar daerah. Masalah ini juga berdampak pada kurangnya tenaga penggarap untuk lahan pertanian dan kurangnya stabilitas keamanan di wilayah JKW. Adanya perubahan sosial sosial dan budaya akibat migrasi dari daerah kota yang biasanya identik dengan sikap individualistik dan sangat berbeda dengan penduduk desa yang menjunjung tinggi gotong royong juga ikut menjadi masalah dalam mobilitas kawasan perkotaan Juwangi dan Wonosegoro. Akan tetapi, lebih banyaknya jumlah migrasi keluar daripada migrasi masuk juga berpotensi menghasilkan remitan yang didapat oleh para emigran. Adanya remitan sangat berpengaruh terhadap pembangunan di desa tersebut, Mengalirnya kiriman uang ke daerah asal dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan rumah tangga migran maupun rumah tangga migran kembali. Hal ini tentunya akan dapat mempengaruhi proses perputaran uang di dalam masyarakat, sehingga pada gilirannya akan meningkatkan perekonomian perekonomian di daerah asal. Selain itu, i tu, Peningkatan keterampilan penduduk desa dikarenakan banyaknya usia produktif yang bermigrasi keluar sehingga saat pulang ke desa asal keterampilan, pengetahuan yang didapat disalurkan ke masyarakat lokal dan dapat membantu pembangunan di desa tersebut juga menjadi dampak positif dari migrasi.hal ini juga mempengaruhi mempengaruhi beralihnya sektor primer menuju sektor sekunder dari yang awalnya agraris menuju industri bahkan beralih ke sektor perdangan dan jasa (sektor teriser).
Studio Proses Perencanaan E |
B
A
B
I
II
Aksesibilitas
II I B A B
Gambar 3. 3 Peta Jaringan Jalan Kecamatan JKW Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E, 2017
Gambar 3. 4 Peta Jaringan Jalan Kawasan Kaw asan Perkotaan Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E, 2017
Studio Proses Perencanaan E |
Aksesibilitas adalah alat untuk mengukur potensial dalam melakukan perjalanan selain untuk menghitung jumlah perjalanan itu sendiri. Ukuran ini menggabungkan sebaran geografis tata guna lahan dengan kualitas sistem jaringan transportasi yang menghubungkannya. menghubungkannya. Untuk melakukan kegiatan atau aktivitas seharihari, penduduk JKW ini harus melewati beberapa akses utama yang bisa dikatakan buruk. Seperti persimpangan jalan antara Wonosegoro, Juwangi dan Kemusu. Maka kebanyakan warganya lebih memilih untuk berinteraksi dengan kecamatan di sebelahnya. Seperti Kecamatan Wonosegoro lebih sering berinteraksi dan beraktivitas ke Kecamatan Karangged K aranggede. e. Aksesibilitas ini terdapat beberapa beberapa masalah seperti banyaknyai banyaknyai kondisi jalan yang mayoritas berstatus rusak. Hal tersebut terjadi karena banyak dilalui oleh kendaraan berat seperti truk yang mengangkut material maupun kayu hasil dari hutan., sehingga mengganggu sistem aksesibilitas yang ada. Lalu, Kurangnya penerangan jalan pada malam hari yang disebabkan oleh ketidaktersediaan ketidaktersediaan lampu penerangan penerangan jalan juga mengakibatkan tingkat aksesibilitas menjadi rendah dikarenakan faktor keamanan dan keselamatan yang diperparah lagi dengan kondisi jalan yang buruk.akan tetapi, dengan adanya jalan kolektor primer dan kolektor sekunder baik dalam wilayah juwangi maupun di wilayah wonosegoro membuat tingkat aksesibilitas menjadi tinggi karena banyak dilalui oleh kendaraan pribadi maupun truk-truk besar. Sehingga dapat meningkatkan pendapatan penduduknya jika terdapatnya suatu daya tarik yang dijual oleh warga penduduk sekitar tentang wilayah JKW. Sama halnya seperti wilayah JKW, kondisi jalan pada kawasan perkotaan Juwangi dan Wonosegoro juga mayoritas berstatus rusak. Hal tersebut terjadi karena banyak dilalui oleh kendaraan berat seperti truk yang mengangkut material maupun kayu hasil dari hutan dan bus antar kecamatan yang mengangkut penumpang. Akan tetapi, Pada wilayah studi perkotaan Juwangi dan Wonosegoro keduanya dilalui oleh jalan Kolektor Primer dan Kolektor Sekunder, sehingga kedua jalan tersebut dapat menghubungkan menghubungkan antar kecamatan maupun kabupaten sekitar. Dengan adanya jalan tersebut maka aksesibilitasnya akan semakin mudah. Studio Proses Perencanaan E |
B
A
B
I
II
Konektivitas Konektivitas yang dimaksud disini adalah hubungan atau interaksi yang terjadi antar wilayah JKW dengan sekitarnya maupun dengan internalnya. Pada kali ini akan dibahas interaksi JKW dalam hal aktivitas produksi dan distribusi pertanian. Karena penggerak utama aktivitas di JKW adalah sektor pertanian. Interaksi antar wilayah yang terjadi contohnya adalah sumber bahan baku atau sumber bibit yang didapat di JKW sendiri bervariasi, diantaranya ada yang berasal dari Kota Boyolali, Kabupaten Grobogan, Sragen dan yang lainnya. Namun terjadinya kesenjangan yaitu interaksi yang tejadi lebih banyak ke luar Kabupaten Boyolali dibandingkan dengan Kabupaten Boyolali itu sendiri. Dalam hasil wawancara didapat kesimpulan bahwa nilai jual dari bibit tani sendiri lebih murah jika didapat dari luar Boyolali. Dan penjualan hasil produksi produksi juga lebih memiliki nilai jual yang tinggi bila di ekspor ke luar Kabupaten Boyolali, contohnya Salatiga. Karena nilai jual di Salatiga ini lebih tinggi, maka hubungan yang yang terjadi antar JKW lebih sering ke Kabupaten di sekitarnya dibandingkan dengan kabupatennya sendiri. diKarenakan banyaknya penduduk produktif yang merantau ke luar daerah JKW, masalah wilayah JKW sendiri ada pada penduduk produktif yang seharusnya bisa mengembangkan skill untuk meningkatkan hasil pertaniannya. Tetapi, Interaksi ekonomi khususnya produksi pertanian yang terjadi antara beberapa kabupaten di sekitar JKW ini membuat pendapatan daerah daerah meningkat karena nilai ekspor lebih tinggi dibandingkan penjualan komoditas pertanian di dalam wilayah sendiri. Sedangkan pada kawasan perkotaan dengan banyaknya interaksi ke arah luar daripada dalam wilayah sendiri bisa menyebabkan suatu ketergantungan terhadap wilayah lain, akan tetapi, memperluas pertumbuhan melalui konektivitas konektivitas wilayah-wilayah melalui inter-moda supply chain system dapat menghubungkan hinterland dan yang tertinggal dengan pusat-pusat pertumbuhan. Selain itu, juga dapatmencapai pertumbuhan inklusif dengan menghubungkan daerah terpencil dengan infrastruktur dan pelayanan dasar dalam mendapatkan manfaat pembangunan dan mempermudah desa desa di wilayah JKW dalam hal mendapatkan bahan bahan baku seperti bibit pertanian. Studio Proses Perencanaan E |
B
A
B
I
II
ASPEK SISTEM SOSIAL Ketimpangan sosial adalah buah dari pembangunan yang hanya berfokus pada aspek ekonomi dan melupakan aspek sosial . Pada sistem sosial budaya standar yag digunakan adalah Millenium Development Goals atau MDGs yang mencanangkan komitmen global untuk menangani isu perdamaian, keamanan, pembangunan, hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam satu paket kebijakan atau menggunakan komparasi wilayah yang lebih luas. Beberapa indikator sistem sosial yang digunakan dalam melihat ketimpangan tersebut yaitu kemiskinan, kesehatan maupun pendidikan yang akan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat dan akan menghasilkan potensi dan permasalahan. permasalahan. (Tabel Analisis GAP Aspek Sistem Sosial terlampir)
Kemiskinan Kemiskinan adalah suatu kondisi ketidakmampuan secara ekonomi untuk memenuhi standar hidup rata-rata rata -rata masyarakat di suatu daerah. Kondisi ketidakmampuan ini ditandai dengan rendahnya kemampuan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pokok baik berupa pangan, sandang, maupun papan. Kemampuan pendapatan yang rendah ini juga akan berdampak berkurangnya kemampuan untuk memenuhi standar hidup rata-rata seperti standar kesehatan masyarakat dan standar pendidikan. Kondisi masyarakat yang disebut miskin dapat diketahui berdasarkan kemampuan pendapatan dalam memenuhi standar hidup (Nugroho, 1995). Kemiskinan di Kabupaten Boyolali mengalami peningkatan sebesar 26% dibandingkan dengan tahun sebelumnya sehingga pada tahun 2016 tingkat kemiskinan di Kabupaten Boyolali lebih besar dibandingkan dengan tingkat kemiskinan di Jawa Tengah dan semakin jauhnya target standar MDGs yang ingin dicapai Kabupaten Boyolali mengenai kemiskinan dimana target MDGs Kabupaten Boyolali memiliki target pengurangan tingkat kemiskinan hingga 8,75% tiap tahunnya. Begitu juga dengan tingginya tingkat kemiskinan di wilayah meso dengan prosentase kemiskinannya kemiskin annya masih lebih dari 50% sehingga dapat menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan tingginya kesenjangan sosial ekonomi di wilayah JKW. Studio Proses Perencanaan E |
B
A
B
I
II
Namun Jika dilihat pada skala makro, dibandingkan dengan wilayah kabupaten/ kota disekitarnya, Kabupaten Boyolali memiliki jumlah pengangguran pengangguran yang relatif rendah. Hal tersebut dapat dimanfaatkan guna meningkatkan tingkat kemakmuran dengan memberi perhatian terhadap kualitas SDM-nya dan meningkatkan kualitas pendidikan hal tersebut sedikit demi sedikit akan mengurangi mengurangi tingkat kemiskinan masyarakat di Kabupaten Boyolali.
A
B
I
II
Kesehatan B
Angka kematian dari waktu kewaktu menggambarkan menggambarkan status kesehatan masyarakat secara kasar, kondisi atau tingkat permasalahan kesehatan, kesehatan, kondisi lingkungan fisik dan biologik secara tidak langsung. Angka tersebut dapat di gunakan sebagai indikator dalam penilaian keberhasilan pelayanan kesehatan dan program pembangunan kesehatan (Dinkes Jateng, 2011). Berdasarkan RPJP Nasional pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya. Tujuan keempat dari MDGs Kabupaten adalah target untuk penurunan angka kematian bayi hingga dua per tiga pada periode waktu 1995 –2015. Namun di Kabupaten Boyolali . Meskipun demikian angka kematian balita masih berjumlah 139/1000 penduduk. Sedangkan pada target MDGS untuk Indonesia sendiri adalah 32/1000 penduduk. Angka kematian bayi dan balita cukup tinggi dan masih jauh dari target yang ingin dicapai seperti MDGs, angka kematian dari waktu ke waktu menggambarkan status kesehatan masyarakat secara kasar sehingga dapat ditarik kesimpulah bahwa kesehatan di Kabupaten Boyolali masih membutuhkan perhatian khusus. Namun sesuai dengan RPJP di Kabupaten Boyolali, tingkat kesehatan di Kbupaten Boyolali diprediksikan akan terus mengalami peningkatan hingga tahun 2025, di mana tingkat kesehatan ini akan bergantung pada pola hidup masyarakat, faktor lingkungan, geografis dan pelayanan kesehatan yang diberikan. Peningkatan kesehatan ini dapat dicerminkan dari tingkat Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Balita(AKBa) dan kondisi gizi masyarakat yang diprediksikan akan semakin menurun di tahun 2025. Untuk mencapai hal tersebut perlu ada perhatian dalam Studio Proses Perencanaan E |
sistem pelayan kesehatan seperti rumah sakit maupun puskesmas demi menunjang tercapainya prediksi tersebut. Selain itu tenaga kesehatan seperti dokter spesialis, dokter umum dll diharapkan akan terus ditambah jumlah dan kualitasnya
Pendidikan
II
Gambaran kondisi pendidikan Kabupten Boyolali dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pemerataan akses memperoleh pendidikan; mutu, daya saing dan relevansi pendidikan; serta tata kelola dan pencitraan publik penyelenggaraan pendidikan. Rendahnya kualitas SDM di Kabupaten Boyolali dengan melihat prosentase lulusan sarjana hanya sebesar 3%. Hal ini mengakibatkan rendahnya kualitas tenaga kerja dan berdampak pada tingat kemiskinan yang lebih tinggi Aspek pemerataan dan perluasan kesempatan kesempatan memperoleh pendidikan diukur melalui pencapaian indikator pembangunan pendidikan sebagai berikut: Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM) dan lain-lain. Angka Partisipasi Murni (APM) adalah partisipasi penduduk usia sekolah pada jenjang pendidikan yang sesuai. Artinya APM adalah persentase penduduk usia sekolah SD yang bersekolah di SD, penduduk usia SMP sekolah di SMP dan penduduk usia sekolah SMA bersekolah di SMA. Angka partisipati SD pada tahun 2015 cukup tinggi yaitu sebesar 96,97% , hanya 3% penduduk usia 7-12 wilayah makro makro tidak beersekolah beersekolah di SD, sedangan pada kategori SMP masih perlu diperhatikan karena hanya 75% penduduk usia 13-15 di wilayah makro merasakan pendidikan di jenjang SMP. Pada Pada jenjang jenjang pendidikan SMA dan sederajad APM relatif rendah, yaitu sebesar 59,46%. Kondisi ini menunjukkan menunjukkan bahwa secara kualitas patisipasi anak usia sekolah untuk bersekolah pada jenjang pendidikan masing-masing relatif masih rendah dibandingkan dengan rata-rata APM Jawa Tengah.
B
Kelembagaan dan Kebudayaan Kelembagaan di Kabupaten Boyolali cukup memiliki peran di masyarakat Boyolali, hal ini dilihat dari kegiatan PKK yang beragam mulai dari peningkatan kesehatan, pendidikan maupun perekonomian. Banyaknya desa yang memiliki lembaga PKK yang aktif di bidang Studio Proses Perencanaan E |
B
A
I
kesehatan seperti pemeriksaan kesehatan bayi dan lansia dengan rutin yang menyebabkan meningkatnya angka harapan hidup masyarakat, di bidang ekonomi seperti menambah kreatifitas dengan kegiatan menambah nilai barang bekas seperti pelastik bekas menjadi tas yang dapat diperjualbelikan sehingga dapat meningkatkan pereonomian dan di bidang pendidikan seperti mengadakan sosialisasi pentingnya pendidikan bagi masyarakat dapat menambah angka partisipatif sekolah maupun perguruan tinggi. Kegiatan-kegiatan tersebut dari waktu ke waktu dapat menambah kesejahteraan masyarakat. Adanya kebudayaan kebudayaan yang beragam pada wilayah studi merupakan sebuah potensi yang dapat memberikan keuntungan tersendiri, seperti pagelaran wayang dan juga musik gamelan yang sukar untuk ditemukan di wilayah lain, selain berfungsi sebagai media hiburan juga dapat melestarikan budaya jawa yang hampir punah di wilayah tersebut dan dapat dijadikan kearifan local dan potensi wisata. Budaya seperti sadran dan juga sedekah bumi selain untuk media rohani, juga dapat mempererat tali persaudaraan antar masyarakat seperti yang sudah disebutkan bahwa pada kegiatan sadran merupakan kegiatan membersihkan makam dan juga selamatan yang dilakukan oleh masyarakat. Kegiatan rutin pengajian dapat membentuk kepribadian dan karakter anak menjadi lebih baik. Selain itu kegiatan pengejian yang rutin dilakukan dapat meningkatkan sosialitas antara masyarakatnya. masyarakatnya.
STRUKTUR MASALAH (Tabel Matriks Permasalahan terlampir) Permasalahan yang di prioritas dalam wilayah studi terdiri dari 7 (tujuh) masalah pokok, diantaranya: (1 ) Tingginya Tingginya migrasi penduduk usia produktif, kasus ini terjadi pada lingkup mikro dengan dampak berkurangnya tenaga ahli yang mempuni pada wilayah studi dikarenakan terjadinya kebocoran sumber daya lingkup mikro. (2 ) Pendapatan perkapita yang rendah, pendapatan per kapita yang rendah ini terjadi pada lingkup mikro dan juga meso, masalah ini menyebabkan aktivitas ekonomi terhambat yang juga berdampak pertumbuhan ekonomi yang lambat dan juga mengindikasikan wilaya Studio Proses Perencanaan E |
B
A
B
I
II
mikro dan meso menjadi kawasan dengan karakteristik tertinggal (DR.Ir.suprayoga. Msp, 2015.). Dimana kasus ini juga berdampak pada permasalahan-permasalahan lain, kasus ini juga yang melatarbelakangi terjadinya migrasi penduduk dengan usia produktif dikarenakan untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik maka dari itu terjadi fenomena migrasi khususnya khususnya wilayah mikro. Dari sisi lain permasalahan juga yang menjadi masalah yang di prioritaskan dalam analisis ini yaitu dari segi infrastruktur, infrastruktur menyumbangkan menyumbangkan tiga buah permasalahan utama yaitu diantaranya (3 ) Ruas jalan yang rusak masalah ini terjadi pada wilayah mikro dan juga perkotaan, dengan kondisi yang terbilang cukup parah menyebabkan dampak yang cukup besar diman salah satu dampak yang bisa di lihat seperti, terhambatnya mobilitas serta mempengaruhi intensitas aktivitas ekonomi pada wilayah mikro dan perkotaan. Tidak hanya sampai pada titik itu pengembangan wilayah perbatasan juga sangat terhambat karena sarana jalan yang rusak, (4 ) Jumlah sarana pendidikan TK, SMA, dan perguruan tinggi yang belum memenuhi standar, kondisi ini menyebakan perkembangan wilayah semakin melambat dikarenak kualitas sumber daya yang kurang, kurang, di mana dilihat pada kecendrungan banyak penduduk yang melakukan migrasi, tapi kemampuan ekonomi yang rendah pada masyarakat lokal, maka membuat akses masyarakat lokal semakin minim untuk mengakses pendidikan ke wilayah lain karena biaya yang di keluarkan semakin tinggi. (5 ) TPS dan TPA belum tersedia pada wilayah mikro, ketersedian tempat pembuangan sampah yang terbilang tidak ada, membuat kecenderungan masyarakat melakukan pembuangan sampah langsung pada alam terbuka (sungai, semak dsb.) dan juga membakar sampah, perilaku ini memungkinkan meningkatnya permasalahan lain. Dilihat dari SDAL permalsahan yang sering terjadi yaitu (6 ) Adanya risiko banjir, kebakaran hutan, angin kencang, kekeringan. Kebakaran hutan dan risiko banjir juga merupakan salah satu dampak dari kecenderungan masyarakat yang melakukan pembuangan sampah sembarangan dan biasanya membakar sampah tanpa mempertimbangkan kondisi dan karakteristik lingkungan sekitar. Hal ini juga di dasari oleh kurangnya pengetahuan masyarakat lokal
Studio Proses Perencanaan E |
B
A
B
I
II
terkait dengan pemahaman terhadap lingkungan, cara pengolahan sampah. (7 ) Permukiman yang cenderung linear dan pemerataan penggunaan lahan yang belum tercapai kasus ini terjadi pada wilayah meso, mikro dan juga perkotaan, pola permukiman yang cenderung mengikuti pola jaringan jalan juga berdampak pada tidak meratanya penggunaan lahan dan persebaran infrastruktur dimana, aktivitas ekonomi juga cenderung terpusat di mana terpusatnya aktivitas ekonomi dan infrastruktur membuat terciptanya ketimpangan antar wilayah sehingga kecenderungan untuk berkembang secara bersamaan sulit untuk dicapai.
Studio Proses Perencanaan E |
B
A
B
I
II
II I B A B
Studio Proses Perencanaan E |