BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Acute Coronary Syndrome (ACS) (ACS) atau yang lebih dikenal dengan sindrom koroner akut (SKA) merupakan manifestasi klinis dari fase kritis pada penyakit arteri koroner. Mekanisme yang mendasari penyakit ini adalah rupturnya plak atau erosi
karena
penyumbatan
serangkaian parsial
pembentukan
ataupun
total
pada
trombus
sehingga
pembuluh
darah.
menyebabkan Berdasarkan
pemeriksaan. Elektrokardiografi (EKG) dan marker biokimia jantung, maka Acute Coronary Syndrome (ACS) (ACS) dibedakan menjadi ST-segment elevation myocardial infarction (STEMI), Non ST-segment elevation my ocardial infarction (NSTEMI), serta unstable angina pectoris. 1
2.2. Etiologi Etiologi dari sindrom koroner akut adalah 90% akibat adanya trombus yang menyumbat pada arteri koroner yang aterosklerosis.Diyakini faktor utama pemicu terjadinya trombosis koroner adalah plak yang ruptur dan erosi. Derajat sumbatan arteri koroner akan mempengaruhi gejala klinis yang timbul. Etiologi lain dari sindrom koroner akut akut adalah emboli arteri koronaria, anomali arteri kongenital seperti aneurisma arteri koroner, spasme koronaria terisolasi, arteritis trauma, gangguan hematologik, diseksi aorta, oklusi arteri koroner akibat vaskulitis, ventrikel hipertrofi, dan berbagai penyakit inflamasi sistemik. 2-3 Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien dengan karakteristik sebagai berikut4 : a. Pria b. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri perifer / karotis) c. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard, bedah pintas koroner, atau IKP d.
Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol Education Program)
2.3. Patofisiologi Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah.Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white ( white thrombus). thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara sec ara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah
koroner.
Berkurangnya
miokardium.Pasokan
oksigen
aliran yang
darah
berhenti
koroner selama
menyebabkan kurang-lebih
20
iskemia menit
menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard). Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.
Gambar 1 Tahap perkembangan atherosclerosis
Gambar 2 Perbandingan lumen arteri normal dan abnormal
2.4. Diagnosis a. Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular,
bahu,
atau
epigastrium.
Keluhan
ini
dapat
berlangsung
intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop. 4 Selain itu anamnesis mengenai faktor risiko terjadinya SKA juga penting untuk memperkuat kemungkinan diagnosis. Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda(25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas.3 Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia miokard (nyeri dada nonkardiak) : 1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi ataubatuk) 2. Nyeri abdomen tengah atau bawah 3. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerahapeks ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral. 4. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi 5. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik 6. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah b. Pemeriksaan fisik
Tujuan dilakukannya pemeriksaan fisik adalah untuk menegakkan diagnosis banding dan mengidentifikasi
pencetus. Selain
itu,
pemeriksaan
fisik
jika
digabungkan dengan keluhan angina (anamnesis), dapat menunjukkan tingkat kemungkinan keluhan nyeri dada sebagai representasi SKA. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis,
ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA.4 c. Pemeriksaan Electrokardiogram
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB ( Left Bundle Branch Block ) baru/ persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T. EKG yang mungkin dijumpai pada pasien NSTEMI dan UAP antara lain: 1. Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T, dapat disertai dengan elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20 menit) 2. Gelombang Q yang menetap 3. Nondiagnostik 4. Normal Hasil EKG 12 sadapan yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan diagnosis SKA tanpa elevasi segmen ST, misalnya akibat iskemia tersembunyi di daerah sirkumfleks atau keterlibatan ventrikel kanan, oleh karena itu pada hasil EKG normal perlu dipertimbangkan pemasangan sadapan tambahan.
Depresi segmen ST ≥0,5 mm di dua atau lebih sadapan berdekatan sugestif untuk diagnosis UAP atau NSTEMI. Jika pemeriksaan EKG awal menunjukkan kelainan nondiagnostik, sementara angina masih berlangsung, pemeriksaan diulang 10 – 20
menit kemudian (rekam juga V7-V9). Pada keadaan di mana EKG ulang tetap menunjukkan kelainan yang nondiagnostik dan marka jantung negatif sementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam untuk dilakukan EKG ulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang. Bila dalam masa pemantauan terjadi perubahan EKG, misalnya depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T yang signifikan, maka diagnosis UAP atau NSTEMI dapat dipastikan.
LOKASI IMA
LOKASI ELEVASI SEGMEN ST
Anterior
V1 – V4
Anteroseptal
V1, V2, V3, V4
Anterolateral
V4 – V6, I, aVL
Inferior
Inferior: II, III, and aVF
Lateral
I and aVL
Inferolateral
II, III, aVF, and V5 and V6
d. Pemeriksaan Marka Jantung
Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam diagnosis NSTEMI, di mana peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam. Penggunaan troponin I/T untuk diagnosis NSTEMI harus digabungkan dengan kriteria lain yaitu keluhan angina dan perubahan EKG. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika marka jantung meningkat sedikit melampaui nilai normal atas (upper limit of normal , ULN). Tes yang negatif pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis infark miokard akut. Kadar troponin pada pasien infark miokard akut meningkat di dalam darah perifer 3 – 4 jam setelah awitan infark dan menetap sampai 2 minggu bila terjadi nekrosis luas. Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan CKMB dapat digunakan. CKMB akan meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai puncaknya saat 12 jam, dan menetap sampai 2 hari.4
Gambar 3. Waktu timbulnya berbagai jenis marka jantung
2.5. Penatalaksanaan 1. Anti Iskemia a. Penyekat Beta (B eta blocker ).
Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan, asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan kasus, preparat oral cukup memadai dibandingkan injeksi. Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI, terutama jika terdapat hipertensi dan/atau takikardia, dan selama tidak terdapat indikasi kontra. Penyekat beta oral hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama. Penyekat beta juga diindikasikan untuk semua pasien dengan disfungsi ventrikel kiri selama tidak ada indikasi kontra. Tabel 1. Jenis dan dosis penyekat beta untuk terapi IMA Penyekat beta
Selektivitas
Atenolol
B1
Aktivitas parsial -
agonis
Dosis untuk angina 50-200 mg/hari
Bisoprolol
B1
-
10 mg/hari
Carvedilol
a dan b
+
2x6,25 mg/hari, titrasi sampai maksimum 2x25 mg/hari
Metoprolol
B1
-
50-200 mg/hari
Propanolol
Nonselektif
-
2x20-80 mg/hari
b. Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolic ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal maupun yang mengalami at erosklerosis . 1. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut dari episode angina. 2. Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali pemberian, setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena jika tidak ada indikasi kontra. 3. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal jantung, atau hipertensi dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI. Keputusan menggunakan nitrat
intravena
tidak
boleh
menghalangi
pengobatan
yang
terbukti
menurunkan mortalitas seperti penyekat beta atau angiotensin converting enzymes inhibitor (ACE-I). 4. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50 kali permenit), takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark ventrikel kanan. 5. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang tepat untuk terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat ditentukan. Tabel 2. Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA
Nitrat
Dosis
Isosorbid dinitrate (ISDN)
Sublingual 2,5 – 15 mg (onset 5 menit) Oral 15-80 mg/hari dibagi 2-3 dosis Intravena 1,25-5 mg/jam
Isosorbid 5 mononitrate
Oral 2x20 mg/hari Oral (slow release) 120-240 mg/hari
Nitroglicerin
Sublingual tablet 0,3-0,6 mg – 1,5 mg
(trinitrin, TNT, glyceryl trinitrate)
Intravena 5-200 mcg/menit
c. Calcium channel blockers (CCBs) .
Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri. Semua CCB tersebut di atas mempunyai efek dilatasi koroner yang seimbang. Oleh karena itu CCB, terutama golongan dihidropiridin, merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina vasospastik. Studi menggunakan CCB pada UAP dan NSTEMI umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang dengan penyekat beta dalam mengatasi keluhan angina. 1.
CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi pasien yang telah mendapatkan nitrat dan penyekat beta.
2.
CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI dengan indikasi kontra terhadap penyekat beta.
3.
CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai pengganti terapi penyekat beta.
4.
CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik.
5.
Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release) tidak direkomendasikan kecuali bila dikombinasi dengan penyekat beta.
Tabel 3. Jenis dan dosis penghambat kanal kalsium untuk terapi IMA
Penghambat kanal kalsium
Dosis
Verapamil
180-240 mg/hari dibagi 2-3 dosis
Diltiazem
120-360 mg/hari dibagi 3-4 dosis
Nifedipine GITS (long acting
30-90 mg/hari
Amlodipine
5-10
g/hari
2. Antiplatelet
Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan. Penghambat reseptor
ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra seperti risiko perdarahan berlebih. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan bersama DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat reseptor ADP) direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan beragam faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia 65 tahun, serta konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12 bulan sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian dilakukan tanpa memandang strategi pengobatan awal.Pemberian ini juga dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan clopidogrel (pemberian clopidogrel kemudian dihentikan). Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg setiap hari. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300 mg diikuti dosis tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk pasien yang dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan ticagrelor. Dosis pemeliharaan
clopidogrel
yang
lebih
tinggi
(150
mg
setiap
hari)
perlu
dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan IKP tanpa risiko perdarahan yang meningkat. Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP yang perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk CABG), perlu dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari setelah penghentian pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara klinis memungkinkan, kecuali bila terdapat risiko kejadian iskemik yang tinggi. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX2 selektif dan NSAID non-selektif). Keterangan: DAPT perlu tetap diberikan selama 12 bulan tanpa memperdulikan jenis stent. Tabel 4. Jenis dan dosis antiplatelet untuk terapi IMA
Antiplatelet
Dosis
Aspirin
Dosis
loading
150-300
mg,
dosis
pemeliharaan 75-100 mg Ticagrelor
Dosis
loading
180
mg,
dosis
mg,
dosis
pemeliharaan 2x90 mg/hari Clopidogrel
Dosis
loading
300
pemeliharaan 75 mg/hari
3. Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/III
Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian iskemik dan perdarahan. Penggunaan penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan pada pasien IKP yang telah mendapatkan DAPT dengan risiko tinggi (misalnya peningkatan troponin, trombus yang terlihat) apabila risiko perdarahan rendah. Agen ini tidak disarankan diberikan secara rutin sebelum angiografi atau pada pasien yang mendapatkan DAPT yang diterapi secara konservatif. 4. Antikogulan.
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat mungkin. 1. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan terapi antiplatelet. 2. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia, dan berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut. 3. Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara subkutan. 4. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang mendapatkan penghambat reseptor GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP. 5. Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia. 6. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau heparin berat molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang direkomendasikan) diindaksikan apabila fondaparinuks atau enoksaparin tidak tersedia. 7. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit.
8. Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan.
Tabel 5. Jenis dan dosis antikoagulan untuk IMA
Antikoagulan
Dosis
Fondaparinuks
2,5 mg subkutan
Enoksaparin
1mg/kg, dua kali sehari
Heparin tidak terfraksi
Bolus i.v. 60 U/g, dosis maksimal 4000 U. Infus i.v. 12 U/kg selama 24-48 jam dengan dosis maksimal 1000 U/jam target aPTT 11/2-2x control
5. Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan
1. Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel meningkatkan risiko perdarahan dan oleh karena itu harus dipantau ketat. 2. Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat indikasi dapat diberikan bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin dan dipilih targen INR terendah yang masih efektif. 3. Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama pada penderita tua atau yang risiko tinggi perdarahan, target INR 2- 2,5 lebih terpilih. 6. Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin
Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis.Penggunaannya terbatas pada pasien dengan karakteristik tersebut, walaupun pada penderita dengan faktor risiko PJK atau yang telah terbukti menderita PJK, beberapa penelitian memperkirakan adanya efek antiaterogenik. 1. Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang, kecuali ada indikasi kontra, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40% dan pasien dengan diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal kronik (PGK) 2. Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita selain seperti di atas. Pilih jenis dan dosis inhibitor ACE yang telah direkomendasikan berdasarkan penelitian yang ada.
3. Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark mikoard yang intoleran terhadap inhibitor ACE dan mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri 40%, dengan atau tanpa gejala klinis gagal jantung. Tabel 6. Jenis dan dosis inhibitor ACE untuk IMA
Inhibitor ACE
Dosis
Captopril
2-3 x 6,25-50 mg
Ramipril
2,5-10 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis
Lisinopril
2,5-20 mg/hari dalam 1 dosis
Enalapril
5-20 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis
7.
Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin) harus diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra. Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/dL. Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL mungkin untuk dicapai.
2.6. Komplikasi 1. Gagal jantung dari separuh pasien dengan infark miokard. Tanda klinis yang paling umum adalah ronki paru dan irama derap S3 dan S4. Kongesti paru juga sering terlibat pada foto thoraks dada. Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri dan tekanan arteri pulmonalis merupakan temuan hemodinamik karakteristik, namun sebaiknya
diketahui
bahwa
temua
ini
dapat
disebabkan
oleh
penurunan
pemenuhan diastolik ventrikel dan atau penurunan isi sekuncup dengan dilatasi jantung sekunder. Diuretik sangat efektif karena mengurangi kongesti paru-paru dengan adanya gagal jantung sistolik dan diastolik.Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard akutberdasarkan suara ronkhi dan S3 gallop:5
Derajat I : tidak ada rhonki dan S3 gallop
Derajat II : Gagal jantung dengan ronkhi di basal paru (setengah lapangan paru bawah), S3 galop dan peningkatan tekanan vena pulmonalis.
Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema pa ru di seluruh lapangan paru.
Derajat IV :Gagal jantung berat dengan edema paru di seluruh lapangan paru disertai dengan syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik ≤ 90mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis).
2. Stroke iskemik Pasien STEMI bisa mengalama stroke iskemi sebagain efek kompolikasi iskemik akut dan AF Peresisten..Pasien STEMI yang mengalami stroke dengan AF persisten harus mendapat terapi warfarin seumur hidup (INR 2-3) (level of evidence A).Pasien STEMI dengan atau tanpa stroke iskemik akut yang memiliki sumber AF d jantung, trombus mural/ akinetik segmen h arus mendapat terapi warfarin intensitas sedang.Durasinya tergantung kondisi klinis (minimal 3bulan untuk pasien dengan thrombus mural/akinetik segmen dan tidak terbatas
pada
pasien AF persisten).Pasien harus mendapat LMWH/UFH sampaiantikoagulasi dengan warfarin adekuat (level of evidence B).Cukup beralasan untuk menilai risiko stroke iskemik pasien STEMI (level of evidence A).Cukup beralasan untuk pasien STEMI dengan risiko stroke iskemik akut nonfatalmenerima terapi suportif untuk menuunkan komplikasi dan meningkatkan outcome fungsional (level of evidence C).Angioplasty karotis 4-6 minggu setelah stroke iskemik dapat dipertimbangkan pada pasien STEMI yang mengalami stroke iskemik akut karena stenosis pada a.carotis inferior min 50% dengan risiko tinggi morbiditas/mortalitas setelah STEMI.5 3. Syok kardiogenik Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90% terjadi selama perawatan.Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.5 4. Infark ventrikel kanan Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi. 5
5. Aritmia paska STEMI Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di zona iskemi miokard. Aritmia yang biasanya timbul dapat berupa Fibrilasi atrium,
Aritmia
supraventricular, Asistol ventrikel, bradiaritmia dan Blok. 5 6. Komplikasi Mekanik Komplikasi mekanik adanya infark pada jantung adalah ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventrikel.
5
2.7. Prognosis Prognosis dapat diperkirakan dengan menggunakan klasifikasi Killip dan TIMI score (Thrombolysis in Myocardial Infarction). Klasifikasi Killip adalah alat klinis sederhana untuk penentuan keadaan klinis pasien dengan ST-elevasi miokard infark (STEMI).Menurut Killip dan Kimball kriteria pasien dikelompokkan ke dalam 4 kelas selama pemeriksaan fisik.Pasien di Killip I menunjukkan tidak ada bukti gagal jantung (HF).Pasien di Killip II memiliki temuan klinis konsisten ringan sampai sedang HF, Kelas III menunjukkan edema paru yang jelas dan pasien kelas IV berada di kardiogenik syok.Risiko pasca-MI stratifikasi yang telah diturunkan dari beberapa uji klinis penting untuk mengatur pengobatan dan prognosis yang tepat.Pasien dengan kelas Killip tinggi memiliki gambaran angiografi yang lebih berat penyakit arteri koroner serta insiden yang lebih tinggi adanya disfungsi ventrikel, dan infark miokard yang luas.6 TIMI risk score berfungsi risiko untuk mengidentifikasiSTEMI
signifikan
gradien dari risiko kematian dengan menggunakan variabel yang menangkap sebagian
besar
informasi
prognostik
yang
tersedia
di multivariabel model.
Kapasitas prediksi risiko ini skor stabil selama beberapa titik waktu, pada pria dan wanita, dan pada perokok dan bukan perokok. Selain itu,TIMI skor risiko dilakukan STEMI. 7
baik
dalam
data
eksternal
yang besar
ditetapkan pasien dengan
Gambar 2.TIMI Risk Score
3.1. Definisi Diabetes Melitus Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu sindrom gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia sebagai akibat defisiensi sekresi insulin atau berkurangnya aktivitas biologis insulin atau keduanya.8 Diabetes Mellitus adalah keadaan hiperglikemi kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, disertai lesi pada membrane balasis dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektron.9 Jadi, kesimpulan Diabetes Mellitus yaitu suatu kelainan pada seseorang yang ditandai naiknya kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia) yang diakibatkan karena kekurangan insulin.
3.2. Etiologi Berdasarkan penyebabnya, menurut American Diabetes Association/ World Health Organization (ADA/WHO), diklasifikasikan menjadi empat macam, yaitu : 1. Diabetes Mellitus Tipe I Sebelumnya disebut IDDM atau onset remaja diabetes mellitus, ditandai dengan kerusakan sel beta pankreas, yang menyebabkan kekurangan insulin secara absolut. Diabetes mellitus tipe 1 diwariskan secara heterogen, yang bersifat multigenic. Dari sebuah asosiasi juga ada perantara antara diabetes mellitus tipe 1 dengan beberapa antigen leukosit manusia (HLAs). Faktor lingkungan seperti virus muncul untuk memicu
proses autoimun yang menghancurkan sel beta. Antibodi sel islet (ICAS) kemudian muncul, peningkatan dalam jumlah selama beberapa bulan sampai ke tahun sel beta dapat dihancurkan. Puasa hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) terjadi saat 80% sampai 90% dari sel-beta massa telah dihancurkan. Identifikasi ICAS telah memungkinkan mendeteksi diabetes mellitus tipe 1 dalam tahap praklinis nya. Kecukupan insulin untuk mempertahankan hidup. Klien kemudian menjadi tergantung pada insulin eksogen (diproduksi di luar tubuh) sebagai administrasi untuk bertahan hidup. 10 Diabetes yang tergantung insulin ditandai dengan
penghancuran sel-sel beta
pankreas yang disebabkan oleh : a.
Faktor genetik penderita tidak mewarisi diabetes itu sendiri, tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik kearah terjadinya diabetes tipe I
b.
Faktor imunologi (autoimun).
c.
Faktor lingkungan : virus atau toksin tertentu dapat memicu
proses autoimun
yang menimbulkan astruksi sibeta. 11 2. Diabetes Mellitus Tipe II Patogenesis diabetes mellitus tipe 2 berbeda secara signifikan dari yang tipe 1. sebuah respon sel-beta yang terbatas untuk hiperglikemia tampaknya menjadi faktor utama dalam pembangunan. Sel-sel beta kronis terkena tingkat tingginya kadar glukosa darah menjadi semakin kurang efisien ketika menanggapi peningkatan glukosa lebih lanjut. Fenomena ini, disebut desensitisasi, reversibel dengan menormalkan kadar glukosa. Rasio proinsulin (prekursor terhadap insulin) untuk insulin yang disekresikan juga meningkat. Sebuah proses patofisiologis kedua pada diabetes mellitus tipe 2 adalah perlawanan terhadap aktivitas biologis insulin di kedua hati dan jaringan perifer. Tempat ini dikenal sebagai resistensi insulin. Orang dengan diabetes mellitus tipe II mengalami sensitivitas penurunan kadar glukosa, yang mana menghasilkan produksi glukosa hepatic secara terus menerus, bahkan dengan kadar glukosa darah tinggi. Hal ini ditambah dengan ketidakmampuan jaringan otot dan lemak untuk meningkatkan penyerapan glukosa. Mekanisme ini yang menyebabkan resistensi insulin perifer tidak jelas, bagaimanapun, tampaknya terjadi setelah insulin berikatan dengan reseptor pada permukaan sel. Insulin adalah bangunan (anabolik) hormon. Tanpa insulin, tiga masalah metabolik besar terjadi: a.
Menurun pemanfaatan glukosa
b.
Peningkatan mobilisasi lemak
c.
Pemanfaatan protein meningkat. 10 Diabetes Mellitus tipe II Disebabkan oleh kegagalan relative sel beta dan
resistensi
insulin. Faktor resiko yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes
tipe II : usia, obesitas, riwayat dan keluarga.11 3. DM tipe spesifik disebabkan kelainan genetic spesifik, penyakit pancreas, gangguan endokrin lain, efek obat-obatan, bahan kimia, infeksi virus dan lain-lain 4. DM gestational merupakan Diabetes yang berkembang selama masa kehamilan 1
3.3. Patofisiologi Sebagian besar patologi diabetes mellitus dapat dihubungkan dengan efek utama kekurangan insulin yaitu: 1. Pengurangan penggunaan glukosa oleh
sel-sel tubuh, yang
mengakibatkan
peningkatan konsentrasi glukosa darah sampai setinggi 300 sampai 1200 mg per 100 ml. 2. Peningkatan
mobilisasi
lemak
dan
daerah
penyimpanan
lemak
sehingga
menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada dinding vaskuler. 3. Pengurangan protein dalam jaringan tubuh. Keadaan patologi tersebut akan berdampak : 1. Hiperglikemia Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa darah yang tinggi pada rentang non puasa sekitar 140 – 160 mg /100 ml darah. Dalam keadaan insulin normal asupan glukosa atau produksi glukosa dalam tubuh akan difasilitasi (oleh insulin) untuk masuk ke dalam sel tubuh. Glukosa itu kemudian diolah untuk menjadi bahan energi. Apabila bahan energi yang dibutuhkan masih ada sisa akan disimpan sebagai glukogen dalam selsel hati dan sel-sel otot ( sebagai massa sel otot). Proses glikogenesis (pembentukan glikogen dari unsure glukosa ini dapat mencegah hiperglikemia. Pada penderita diabetes melitus proses ini tidak dapat berlangsung dengan baik sehingga glukosa banyak menumpuk di darah (hiperglikemia). Secara rinci proses terjadinya hiperglikemia karena defisit insulin tergambar pada perubahan metabolik sebagai berikut: 1)
Transport glukosa yang melintasi membran sel-sel berkurang.
2)
Glukogenesis (pembentukan glikogen dari glukosa) berkurang dan tetap terdapat kelebihan glukosa dalam darah.
3)
Glikolisis (pemecahan glukosa) meningkat, sehingga cadangan glikogen berkurang, dan glukosa “hati” dicurahkan ke dalam darah secara terus menerus melebihi kebutuhan.
4)
Glukonegenesis (pembentukan glukosa dari usure non karbohidrat) meningkat dan lebih banyak lagi glukosa
“hati” yang tercurah kedalam darah hasil pemecahan
asam amino dan lemak. Hiperglikemia akan mengakibatkan pertumbuhan berbagai mikroorganisme dengan cepat seperti jamur dan bakteri. Karena mikroorganisme tersebut sangat cocok dengan daerah yang kaya glukosa. Setiap kali timbul peradangan maka akan terjadi mekanisme peningkatan darah pada jaringan yang cidera. Kondisi itulah yang membuat mikroorganisme mendapat peningkatan pasokan nutrisi. Kondisi ini akan mengakibatkan penderita Diabetes Mellitus mudah mengalami infeksi oleh bakteri dan jamur. 2. Hiperosmolaritas Hiperosmolariras adalah adanya kelebihan tekanan osmotik pada plasma sel karena adanya peningkatan konsentrasi zat. Sedangkan tekanan osmosis merupakan tekanan yang di hasilkan karena adanya peningkatan konsentrasi larutan padat zat cair. Pada penderita Diabetes Mellitus terjadinya hiperosmolaritas karena peningkat konsentrasi glukosa dalam darah (yang notabene komposisi terbanyaknya adalah zat cair). Peningkatan glukosa dalam darah akan berakibat terjadinya kelebihan ambang pada ginjal untuk memfiltrasi dan reabsorbsi glukosa (meningkat kurang lebih 225 mg/menit). Kelebihan ini kemudian menimbulkan efek pembuangan glukosa melalui urine (glukosuria). Ekskresi molekul glukosa yang aktif secara osmosis menyebabkan kehilangan sejumlah besar air (diuresis asmotik) dan berakibat peningkatan volume air (poliuria). Proses seperti ini mengakibatkan dehidrasi dengan ekstraseluler dan juga diruangan intraseluler. Glukosuria dapat mencapai 5-10 % dan osmolaritas serum lebih dan 370-380 mosmols/dl dalam keadaan tidak terdapatnya keton darah. Kondisi ini dapat berakibat koma hiperglikemik hiperosmolar nonketotik (K.HNH). 3. Starvasi Selluler Starvasi seluler merupakan kondid kelaparan yang dialami oleh sel karena glukosa sulit masuk padahal di sekeliling sel banyak sekali glukosa. Kalau kita meminjam istilah
peribahasa “kelaparan di tengah lumbung padi”. Ada banyak bhan makanan tetapi tidak bisa di bawa untuk diolah. Sulitnya glukosa masuk karena tidak ada yang memfasilitasi untuk masuk sel yaitu insulin. Dampak dari starvasi selluler akan terjadi proses kompensasi selluler untuk tetap mempertahankan fungsi sel. Proses itu antara lain : 1)
Defesiensi insulin gagal untuk melakukan asupan glukosa bagi jaringan-
jaringan peripheral yang tergantung pada insulin (otot rangka dan jaringan lemak). Jika tidak terdapat glukosa, sel-sel otot memetabolisme cadangan glikogen yang mereka miliki untuk dibongkar menjadi glukosa dan energy mungkin juga akan menggunakan asam lemak bebas (keton). Kondisi ini berdampak pada penurunan massa otot, kelemahan otot dan rasa mudah lelah. 2)
Starvasi selluler juga akan mengakibatkan peningkatan metabolisme protein
dan asam amino yang digunakan sebagai substrat yang diperlukan untuk glukogenesis dalam hati. Hasil dari glukoneogenesis akan dijadikan untuk proses aktivitas sel tubuh. Protein dan asam amino yang melalui proses glukoneogesis akan di ubah menjadi CO2 dan H2O serta glukosa. Perubahan ini berdampak juga pada penurunan sintesis protein. Proses glukoneogenesis yang menggunakan asam amino menyebabkan penipisan simpanan protein tubuh karena unsure nitrogen (sebagai unsure pemecah protein) tidak digunakan kembali untuk semua bagian tetapi di ubah menjadi urea dalam hepar dan di ekskresikan dalam urine. Ekskresi nitrogen yang banyak akan berakibat pada keseimbangan negative nitrogen. Depresi protein akan berakibat tubuh menjadi kurus, penururnan resistensi terhadap infeksi dan sulitnya pengembalian jaringan yang rusak (sulit sembuh kalau ada cidera). 3)
Starvasi sel juga berdampak peningkatan mobilisasi dan metabolism lemak
(lipolisis) asam lemak bebas, trigliserida dan gliserol yang meningkat bersirkulasi dan menyediakan substrat bagi hati untuk proses ketogenesis yang digunakan sel untuk melakukan aktivitas sel. Ketogenesis mengakibatkan peningkatan kadar asam organik (keton), sementara keton menggunakan cadangan alkali tubuh untuk buffer PH darah menurun. Pernafasan kusmaull dirangsang untuk mengkompensasi keadaan asidosis metabolik. Diuresis osmotik menjadi bertambah buruk dengan adanya ketoanemis dan dari katabolisme protein yang meningkatkan asupan protein ke ginjal sehingga tubuh banyak kehilangan protein.
Adanya starvasi selluler akan meningkatkan mekanisme penyesuaian tubuh untuk meningkatkan pemasukan dengan munculnya rasa ingin makan terus (polifagi). Starvasi selluler juga akan memunculkan gejala klinis kelemahan tubuh karena terjadi penurunan produksi energi. Dan kerusakan berbagai organ reproduksi yang salah satunya dapat timbul impotensi dan organ tubuh yang lain seperti persarafan perifer dan mata muncul rasa baal mata kabur.12
3.4. Manifestasi Klinis 1. DM Tipe I
Serangan cepat karena tidak ada insulin yang diproduksi. Nafsu makan meningkat (polyphagia) karena sel-sel kekurangan energy, sinyal bahwa perlu makan banyak.
Haus meningkat (polydipsia) karena tubuh berusaha membuang glukosa.
Urinasi meningkat (polyuria) karena tubuh berusaha membuang glukosa.
Berat badan turun karena glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel.
Sering infeksi karena bakteri hidup dari kelebihan glukosa.
Penyembuhan tertunda/lama karena naiknya kadar glukosa di dalam darah menghalangi proses kesembuhan.
2. Tipe II
Serangan lambat karena sedikit insulin diproduksi.
Haus meningkat (polydipsia) karena tubuh berusaha membuang glukosa.
Urinasi meningkat (polyuria) karena tubuh berusaha membuang glukosa.
Infeksi kandida karena bakteri hidup dari kelebihan glukosa.
Penyembuhan tertunda/lama karena naiknya kadar glukosa di dalam darah menghalangi proses kesembuhan.
3. Gestational
Asimtomatik.
Beberapa pasien mungkin mengalami haus yang meningkat (polidipsia) karena tubuh berusaha membuang glukosa. 13
3.5. Komplikasi Berbagai komplikasi yang dapat berkembang pada diabetes baik yang bersifat akut maupun kronik. 1. Komplikasi akut
a)
Hipoglikemia adalah suatu kondisi yang menunjukan kadar glukosa dalam darah rendah. Kadar glukosa darah turun dibawah 50mg/dl. Pada penyandang diabetes, keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral yang berlebihan.
b)
Diabetes Ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak cukup jumlah insulin yang nyata. Keadaan ini mengakibatkan gangguan metabolisme, karbohidrat, protein dan lemak. Ada tiga gambaran klinik yang penting pada ketoasidosis yaitu terjadinya dehidrasi, kehilangan elektrolit dan asidosis.
c)
Syndrome
Hiperglikemia
Merupakan
Hiperosmolar
Non
Ketotik
(SHHNK)
keadaan yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan hiperglikemia
yang disertai perubahan tingkat kesadaran (Sense of Awareness) keadaan hiperglikemia
persisten
menyebabkan
diuresis
osmotic
sehinggga
terjadi
kehilangan cairan dan elektrolit. Untuk mempertahankan keseimbangan osmotik, cairan akan berpindah dari intrasel ke ruang ekstrasel. Dengan adanya glukosuria dan dehidrasi, maka akan dijumpai keadaan hipernatremia dan peningkatan osmolaritas cairan. 2. Komplikasi Kronik a. Komplikasi aterosklerotik
Makrovaskuler perubahan menimbulkan
masalah
pembuluh yang
darah besar
serius
pada
akibat
diabetes.
Aterosklerotik yang terjadi pada pembuluh darah arteri koroner, maka akan menyebabkan penyakit jantung koroner. Sedangkan aterosklerotik yang terjadi pada pembuluh darah serebral, akan menyebabkan stroke infark dengan jenis TI (Transiennt Ischemic Attack). Selain itu aterosklerotik yang terjadi pada pembuluh darah besar ekstremitas bawah, akan menyebabkan penyakit oklusif arteri perifer atau penyakit vaskuler perifer. b. Komplikasi Mikrovaskuler 1)
Retinopati Diabetikum disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh pembuluh darah kecil pada retina mata, retina mengandung banyak sekali pembulu darah kecil seperti arteriol,venula dan kapiler. Retinopati diabetic dapat menyebabkan kebutaan.
2)
Nefropati Diabetikum adalah bila kadar glukosa darah meninggi maka mekanisme filtrasi ginjal akan mengalami stress yang mengakibatkan
kerusakan pada membrane filtrasi sehingga terjadi kebocoran protein darah ke dalam urin. Kondisi ini mengakibatkan tekanan dalam pembuluh darah
ginjal meningkat. kenaikan
tekanan tersebut
diperkirakan berperan sebagai stimulus dalam terjadinya nefropati. Nefropati diabetik dapat menyebabkan gagal ginjal. Neuropati Diabetikum Hiperglikemia merupakan faktor utama terjadinya neuropati diabetikum. Terdapat 2 tipe neuropati diabetik yang paling sering dijumpai yaitu polineuropati sensorik dan neuropati otonom. Polineuropati
sensorik
disebut
juga
neuropati
perifer.
Gejala
permulaanya adalah parastesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan dan peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya pada malam hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati ini kaki akan terasa baal. Penurunan sensibilitas terhadap sentuhan ringan dan penurunan sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita neuropati beresiko untuk mengalami cedera dan infeksi pada kaki tanpa diketahui. 8
3.6
Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan gula darah pada pasien Diabetes Mellit us antara lain : a) Gula darah puasa (GDO) 70-110 mg/dl Kriteria diagnostic untuk DM > 140 mg/dl paling sesikit dalam dua kali pemeriksaan. Atau > 140 mg/dl disertai gejala klasik hiperglikemia, atau IGT 115140 mg/dl. b) Gula darah 2 jam post prondial < 140 mg/dl Digunakan untuk skrining atau evaluasi pengobatan bukan di dia gnostic. c) Gula darah sewaktu < 140 mg/dl Digunakan untuk skrining bukan diagnostik. d) Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) GD< 115 mg/dl ½ jam, 1 jam, 1 ½ jam < 200 mg/dl, 2 jam < 140 mg/dl. TTGO dilakukan hanya pada pasien yang telah bebas dan diet dan beraktivitas fisik 3 hari sebelum tes tidak dianjurkan pada : 1. Hiperglikemi yang sedang puasa 2. Orang yang mendapat thiazide, dilantin, propanolol, lasik, thyroid, estrogen, pil KB, steroid.Pasien yang dirawat atau sakit akut atau pasien inaktif. e) Tes Toleransi Glukosa Intravena (TTGI)
Dilakukan
jika
TTGO
merupakan
kontraindikasi
atau
terdapat
kelainan
gastrointestinal yang mempengaruhi absorbsi glukosa. f) Tes Toleransi Kortison Glukosa Digunakan jika TTGO tidak bermakna, kortison menyebabkan peningkatan kadar gula darah abnormal dan menurunkan penggunaan gula darah perifer pada orang yang berpredisposisi menjadi DM kadar glukosa darah 140 mg/dl pada akhir 2 jam dianggap sebagai hasil positif. g) Glycosatet Hemoglobin Berguna dalam memantau kadar glukosa dengan rata-rata selam lebih dari 3 bulan. h) C-Peptide 1-2 mg/dl (puasa) 5-6 kali meningkat setelah pemberian glukosa Untuk mengukur proinsulin (produks samping yang tak aktif secara biologis) dari pembentukan insulin dapat membantu mengetahui sekresi insulin. Insulin serum puasa : 2-20 mu/ml post glukosa sampai 120 mu/ml, tidak digunakan secara luas dalam klinik, dapat digunakan dalam diagnosa hipoglikemia atau dalam penelitian Diabetes 12
3.7
Penatalaksanaan Menurut Perkeni (2006), tujuan penatalaksanaan menurut umum adalah
meningkatnya kualitas hidup penyandang diabetes yang ditandai oleh kemampuan penyandang prediabetes melaksanakan kegiatan sehari-hari secara mandiri dan produktif.14 Dalam jangka pendek, penatalaksaan diabetes ditujukan untuk menghilangkan keluhan dan tanda diabetes, mempiabetes, mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glungendalian glukosa darah. Penatalaksaan jangka panjang diarahkan untuk mencegah dan mengurangi progresitas komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler dan neuropati. Penatalaksaan diabetes dikelompokkan atas 4 pilar, yaitu : 1. Edukasi Edukasi penyandang diabetes dimaksudkan untuk member informasi tentang gaya hidup yang perlu diperbaiki secara khusus memperbaiki pola makan dan pola latihan fisi. Informasi yang cukup akan memperbaiki keterampilan dan sikap penyandang diabetes. Melalui edukasi yang tepat diharapkan penyandang diabetes akan memiliki keyakinan diri dalam bertindak sehingga terbentuk motivasi dalam bertindak. Dalam melaksanakan edukasi, media dan metoda serta pendekatan yang digunakan menjadi factor penentu
keberhasilan edukasi. Menggunakan tehnik komunikasi yang terapeutik seperti empati akan sangat membantu oleh karena perubahan gaya hidup bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan sehingga dibutuhkan educator yang dapat memahami kesulitan pasien. Edukasi pemantauan kadar glukosa darah juga diperlukan penyandang diabetes karena dengan melakukan pemantauan kadar glukosa secara mandiri ( self-monitoring of blood glucose), penyandang diabetes dapat mengatur terapinya untuk mengendalikan kadar glukosa darah secara optimal. Cara ini memungkinkan deteksi dan pencegahan hipoglikemia serta hiperglikemia dan mencegah komplikasi diabetes mellitus 2. Terapi gizi Memformulasi paket gizi yang berguna dalam menyeimbangkan intake kalori yang masuk dan yang dibutuhkan tubuh merupakan salah satu upaya dalam membantu menyeimbangkan kadar glukosa dalam darah. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari : a.
Karbohidrat
1)
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% dari total asupan kalori
2)
Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari tidak dianjurkan
3)
Makanan mengandung karbohidart terutama yang mengandung serat tinggi
4)
Sukrosa tidak boleh lebih dari 5 dari total asupan kalori
5)
Pemanis alternative dapat digunakan sebagai pengganti gula asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian
6)
Makan 3 kali sehari atau lebih, namun kalorinya tidak melebihi kenutuhan tubuh.
Kalau
perlu
ada
selingan
makanan
yang
kalorinya
telah
diperhitungkan dari kalori harian b. Lemak 1)
Asupan lemak yang dianjurkan sekitar 20-25% dari total kebutuhan kalori
2)
Lemak jenuh < 7% dari total kebutuhan kalori
3)
Lemak tidak jenuh ganda < 10%, selebihnya dari lemak tidak jenuh tinggal
4) Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain daging berlemak dan susu penuh (whole milk ) 5)
Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari
c. Protein 1) Dibutuhkan sebesar 10-20% total asupan kalori
2) Sumber protein antara lain sea food, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan seperti juga tahu dan tempe 3)
Bila ada nefropati, perlu dilakukan pembatasan protein seperti anjuran medis
d. Natrium 1) Anjuran asupan natrium ≤ 3000 mg atau sama dengan 6-7 g (1 sendok teh) garam dapur 2) Bagi yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam dapur e. Serat Dianjurkan asupan makanan dengan serat yang tinggi. Dalam 1000 kkal/hari dianjurkan serat mencapai 25 g. 3. Latihan Fisik Latihan fisik sangat penting dalam penatalaksaan diabetes karena efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi factor resiko kardiovaskuler. Latihan juga akanmengubah kadar lemak darah yaitu meningkatkan kadar HDL kolesterol dan menurunkan kadar kolesterol total serta trigliserida. Pemelihin jenih dan intensitas latihan fisik memerlukan advis tenaga kesehatan. 4. Farmakoterapi (jika diperlukan) Penggunaan obat golongan hipoglikemik merupakan upaya terakhir setelah upaya-upaya lain tidak berhasil membantu menyeimbangkan kadar glukosa darah penyandang diabetes. Obat hipoglikemik dapat diberika dalam bentuk tablet atau injeksi. Obat hipoglikemik oral (OHO) tersedia dalam bentuk tablet. Berdasarkan cara kerjanya OHO dibagi atas 4 golongan yaitu : a.
Pemicu sekresi insulin seperti sulfonil urea dan glinid
b.
Penambah sensitivitas terhadap insulin seperti metformin dan tiazolindion
c.
Penghambat glukoneogenesis (metformin)
d.
Penghambat absorbsi glukosa seperti penghambat glukosidase alfa. Obat hipoglikemik injeksi yang lazim disebut insulin, dibagi berdasarkan cara
dan lama kerja seperti insulin cepat kerja (rapid acting insulin), insulin kerja pendek ( short acting insulin), insulin kerja menengah (intermediate acting insulin), insulin kerja panjang (long acting insulin) dan insulin campuran. Beberapa informasi penting bagi penyandang diabetes yang mendapat obat hipoglikemik :
1)
Pemakaian obat sesuai dosis dan waktu. Tidak diperkenankan menambah atau mengurangi dosis obat tanpa seijin medis. Obat hipoglikemik oral maupun injeksi, umumnya digunakan ½ jam sebelum makan, oleh karenanya waktu penggunaan obat terkait dengan jadwal makan yang harus dilakukan secara teratur
2)
Oleh karena kalori harian telah diselaraskan dengan kadar glukosa darah, aktivitas harian dan dosis obat maka porsi makan harus selalu dihabiskan sesuai anjuran
3)
Demikian halnya dengan aktivitas dan latihan fisik tidak boleh dilakukan secara berlebihan.
4)
Bila terdapat keluhan dalam penggunaan otot, secepatnya meminta nasehat ke petugas kesehatan.
5)
Penyakit penyerta selama penggunaan obat harus dalam pengawasan tim medis.8
DAFTAR PUSTAKA 1. Amsterdam E, K.Wegner N, G. Brindis W, E.Casey D, R.Holmes D. 2014 AHA/ACC
Guidelines for Management of Patient with Non ST-Elevation Acute Coronary Syndrome; A Report of the American College of Cardiology/ American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. Circulation J ournal of The American Heart Association. 2014 September. 2. Meidiza A, Afriwardi, Masrul S. Gambaran Tekanan Darah pada Pasien Sindrom Koroner Akut di RS Khusus Jantung Sumatera Barat Tahun 2011-2012 . Artikel penelitian dalam Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(2) Available from : http://jurnal.fk.unand.ac.id 3. Alwi I. Infark Miokard Akut tanpa Elevasi ST. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2010: 1741-56. 4. Perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular Indonesia 2015. Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut. PERKI; 2015 5. Elliott MA, A.Morrow D. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction : Management. In Braunwald's Heart Disease: a Texbook of Cardiovascular Medicine. Philadelphia: Elsevier; 2012. 6. Ayman EM, Mohammad Z, Wael A, Rajvir S. Killip classification in patients with acute coronary syndrome: insight from a multicenter registry. American Journal of Emergency Medicine. 2010 October; 30. 7. Cohen M, Catalin B, Mateen A. Therapy for ST-Segment Elevation Myocardial Infarction Patients Who Present Late or Are Ineligible for Reperfusion Therapy. Journal of the American College of Cardiology. 2010; MV. 8. Rutmahorbo.H. 2014. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Metabolik . Jakarta: Salemba Medika. 9. Mansjoer et al. (2013). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Jilid I, Fakultas Kedokteran UI: Media Aesculapius
10. Black, A.J.Kimberly. 2011. Kapita Selekta Penyakit dengan Implikasi Keperawatan. Edisi 2.Jakarta: EGC. 11. Nurarif. Amin. Huda dan Kusuma Hardhi. 2015 Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC, Jilid 2 Yogyakarta. Mediaction. 12. Riyadi & Sukarmin. 2011. Proses Keperawatan dan Pemeriksaan Fisik diabetes Mellitus. Jakarta: Salemba Medika. 13. Digiulio,M, et al 2007 diabetic syndrom, Proses penyakit Diabetes Mellius. Jakarta, Gramedia 14. Perkeni B, 2006, Penatalaksanaan dan penanggulangan Diabetes Mellitus. Jakarta, Salemba Medika