1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Latar Belakan Belakang g
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Uraian pertama epidemi penyakit ini ditulis pada tahun 1578 di Paris. Kuman penyebab baru diketahui pada tahun 1908 oleh Bodet dan Gengou. 1 Pertusis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Bordetella pertussis , merupakan penyakit infeksi saluran napas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun. 1-3 Orang yang tinggal di rumah yang sama dengan penderita pertusis lebih mungkin terjangkit. 2 Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kematian dan kesakitan pada anak anak teru teruta tama ma di nega negara ra berk berkem emba bang ng.. World World Health Health Organizat Organization ion) WHO memperkirakan + 600.000 kematian disebabkan pertusis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun. 1 Imunisasi amat mengurangi risiko terinfeksi, tetapi infeksi ulang dapat terjadi. Jika diderita bayi penyakit penyakit ini merupakan merupakan penyakit yang gawat dengan dengan kematian kematian 15% sampai 30%. Pada anak-anak penyakit ini jarang menyebabkan kematian, teta tetapi pi peng pengob obat atan an terh terhad adap ap peny penyak akit it ini ini suli sulitt dan dan mema memaka kan n wakt waktu u lama lama (8 minggu) sehingga pengobatan terhadap pertusis memerlukan biaya yang cukup tinggi.2 Di Amerika Serikat, sebanyak 71% kasus pertusis diderita oleh anak usia kurang dari 5 tahun dan 38% pada usia kurang dari 6 bulan. Sebanyak 1,3% kasus fatal pada bayi usia kurang dari 1 bulan dan 0,3% fatal pada bayi yang berumur 2 sampai 11 bulan. 2 Data yang diambil dari profil kesehatan Jawa Barat 1993, jumlah kasus pertusis tahun 1990 adalah 4.970 kasus dengan CFR ( case fatality rate ) 0,2%, menurun menjadi 2.752 kasus pada tahun 4.970 kasus dengan CFR 0%, kemudian menurun lagi menjadi 1.379 kasus dengan CFR 0% pada tahun 1992. 1
1
2
1.2 Tuj Tujuan uan 1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan Tujuan umum umum dari dari makala makalah h ini adalah adalah untuk untuk melaku melakukan kan penyul penyuluha uhan n kepada kepada masy masyar arak akat at meng mengen enai ai peny penyak akit it pert pertus usis is pada pada anak anak.. Diha Dihara rapk pkan an mela melalu luii penyuluhan dan makalah ini, orang tua dapat mengerti dan memahami hal-hal mengenai penyakit pertusis dan pencegahanya pada anak masing-masing.
1.2.2 Tujuan Khusus
Tujuan Tujuan khusus khusus dari dari makala makalah h ini adalah adalah untuk untuk melaku melakukan kan penyul penyuluha uhan n ini agar agar masyarakat : 1. Mengetahui penyebab penyakit pertusis. 2. Mengerti dan memahami cara penularan penyakit pertusis. 3. Mengerti dan memahami tanda tanda dan gejala penyakit penyakit pertusis. pertusis. 4. Mengerti dan memahami pencegahan pencegahan penularan penyakit pertusis.
3
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Definisi Pertusis
Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif. Disebut juga whooping cough karena penyakit ini ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodik dan paroksismal disertai nada yang meninggi, karena pasien berupaya keras untuk menarik napas sehingga pada akhir batuk sering disertai bunyi yang khas. Nama pertusis lebih disukai daripada whooping
cough karena tidak semua pasien pertusis disertai bunyi yang khas. Pertusis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Bordetella pertussis. 1
2.2 Etiologi Penyakit Pertusis
Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu B.pertusis, B.parapertusis,
B.bronkiseptika, dan B.avium . Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis dan perlu dibedakan denga
sindrom pertusis yang disebabkan oleh Bordetella
parapertusis dan adenovirus (tipe 1,2,3, dan 5). Bordetella pertussis termasuk kokobasilus, gram negatif, kecil, ovoid, ukuran panjang 0,5 µm sampai 1 µm dan dimeter 0,2 µm sampai 0,3 µm, tidak bergerak, tidak berspora, tumbuh pada suhu kamar, aerob obligat, segera mati di luar saluran nafas. Dengan pewarnaan toluidin biru, dapat terlihat granula bipoler metakromatikdan mempunyai kapsul. Untuk melakukan biakan B.pertusis, diperlukan suatu media pembenihan yang disebut bordet gengou ( potato-blood) yang ditambah Penisilin G 0,5 µg/ml untuk menghambat glycerol agar pertumbuhan organisme lain. 1,4
3
4
Gambar 1. Bordetella pertussis
Spesies Bordetella memiliki tingkat homologi DNA ( Deoxynucleic acid ) yang tinggi pada gen virulen. Hanya B.pertussis
yang mengeluarkan toksin
pertusis (TP), protein virulen utama. Penggolongan serologis tergantung pada aglutinogen K labil panas. Dari 14 aglutinogen, 6 spesifik untuk B.pertussis .
B.pertussis mengahasilkan beberapa bahan aktif secara biologis yang berperan dalam penyakit dan imunitas. Sitotoksin trakea, adenilat siklase, dan TP (toksin pertusis) tampak menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakea, faktor dermonekrotik, dan adenilat siklase menyebabkan cedera epitel lokal yang menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP. Toksin pertusis terbukti mempunyai banyak aktivitas biologis, misalnya sensitivitas histamin, sekresi insulin, disfungsi leukosit. Toksin pertusis menyebabkan limfositosis segera pada hewan coba. Toksin pertusis tampak memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam patogenesis. Batuk paroksismal yang mirip pertusis, namun lebih ringan, dari Pertusis disebabkan B. parapertussis, Chlamydia trachomatis , enterovirus, virus sinsitial respiratori, dan beberapa jenis Adenovirus . 5
2.3 Faktor Risiko Penyakit Pertusis
Siapa saja berisiko terkena pertusis. Orang yang tinggal serumah dengan penderita pertusis lebih mungkin terjangkit. Bayi prematur, pasien yang menderita penyakit jantung, paru-paru, otot atau neuromuscular berisiko tinggi menderita pertusis dan komplikasinya.2
5
2.4 Epidemiologi
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat menimbulkan attack rate 80% sampai 100% pada penduduk yang rentan. Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya host . Pertusis dapat ditularkan melalui udara secara kontak langsung yang berasal dari droplet penderita selama batuk. Pertusis adalah penyakit endemik. Di Amerika Serikat antara tahun 1932 sampai tahun 1989 telah terjadi 1.188 kali puncak epidemi pertusis. Penyebaran penyakit ini terdapat di seluruh udara, dapat menyerang semua golongan umur, yang terbanyak adalah anak umur di bawah 1 tahun. Makin muda usianya makin berbahaya penyakitnya, lebih sering menyerang anak perempuan daripada lakilaki. Di Amerika Serikat + 35% penyakit terjadi pada usia kurang dari 6 bulan, termasuk bayi yang berumur 3 bulan. Sekitar 45% penyakit terjadi pada usia kurang dari 1 tahun dan 66% pada usia kurang dari 5 tahun. Kematian dan jumlah kasus yang dirawat tertinggi terjadi pada usia 6 bulan pertama kehidupan. Antibodi dari ibu (transplansenta) selama kehamilan tidak cukup untuk mencegah pertusis pada bayi baru lahir. Pertusis yang berat pada neonatus dapat ditularkan dari ibu dengan gejala pertusis ringan. Kematian sangat menurun setelah diketahui bahwa dengan pengobatan Eritromisin dapat menurunkan tingkat penularan pertusis, karena biakan nasofaring akan negatif setelah 5 hari pengobatan.1
2.5 Patogenesis
Masa inkubasi 6 sampai 20 hari (rata-rata 7 sampai 10 hari). Pertusis paling mudah menular pada stadium kataral, bisa menular selama 3 minggu, atau sebelm 5 hari pengobatan dengan Eritromisin. 1,2
Bordetella pertussis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul penyakit sistemik.
6
Filamentous hemaglutinin (FHA), lymphositosis promoting factor (LPF)/ pertusis toxin (PT) dan protein 69 Kd berperan dalam perlekatan B.pertussis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, B.pertusis kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran pernapasan. Proses ini tidak invasif, oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi bakterimia. Selama pertumbuhan B.pertussis akan dihasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang dikenal
dengan
whooping cough.
Toksin
terpenting yang
dapat
menyebabkan penyakit adalah pertussis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 subunit, yaitu A dan B. Toksin subunit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target, kemudian menghasilkan sel unit A yang aktif pada daerah aktivasi membran sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi.
Toxin mediated adenosine diphosphate mempunyai efek mengatur sintesis protein di dalam membran sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamin dan serotonin, efek memblokir beta adrenergik dan meningkatkan aktivitas insulin, sehingga akan menurunkan konsentrasi gula darah. Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hiperplasia jaringan limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah mukus pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumoniae, H.influenzae, dan Staphylococcus
aureus ). Penumpukan mukus akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigen saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin atau sekunder sebagai akibat anoksia. Terjadi perubahan fungsi sel yang reversibel, pemulihan tampak bila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik terhadap proses penyakit.
7
Dermonecrotic toxin adalah heat labile cytoplasmic toxin menyebabkan kontraksi otot polos pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebabkan iskemia dan nekrosis trakea. Sitotoksin bersifat menghambat sintesis DNA, menyebabkan
siliostasis,
dan
diakhiri
dengan
kematian
sel. Pertussis
lipopolysaccharide (endotoksin) tidak terlalu penting dalam hal patogenesis penyakit ini. Kadang-kadang B.pertussis hanya menyebabkan infeksi yang ringan karena tidak menghasilkan toksin pertusis. 1
2.6 Gambaran Klinis Penyakit Pertusis
Perjalanan klinis pertusis dapat berlangsung dalam 3 stadium, yaitu stadium kataralis (prodromal, preparoksismal), stadium akut paroksismal (paroksismal, spasmodik), dan stadium konvalesens. Manivestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik, umur, dan status imunisasi. Gejala pada anak usia kurang dari 2 tahun terdapat pada tabel 1.
Tabel 1. Gejala pertusis pada anak usia kurang dari 2 tahun
Batuk paroksismal Whoops Emesis Dispnea Kejang
100% 60-70% 66-80% 70-80% 20-25%
Pada anak yang lebih besar, manivestasi klinis tersebut lebih ringan dan lama sakit lebih pendek, kejang jarang pada anak kurang dari 2 tahun. Suhu jarang lebih dari 38,4oC pada semua golongan umur. Penyakit yang disebabkan
B.parapertussis atau B.bronkiseptika lebih ringan daripada B.pertussis dan juga lama sakit lebih pendek. Ketiga stadium pertusis diuraikan di bawah ini. 1
2.6.1. Stadium Kataral (1-2 minggu)
8
Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu timbulnya rinore ringan (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditetapkan karena sukar dibedakan dengan
common cold . Selama stadium ini sejumlah besar organisme tersebar dalam inti droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman paling mudah diisolasi. 1
2.6.2. Stadium Paroksismal (2 sampai 4 minggu)
Frekuensi dan derajat batuk bertambah, khas terdapat pengulangan 5 sampai 10 kali batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak dan menimbulkan bunyi melengking ( whoop) akibat udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada anak yang lebih tua dan bayi yang lebih muda, serangan batuk hebat dengan bunyi whoop sering tidak terdengar. Selama serangan, muka merah dan sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher bahkan sampai terjadi ptekie di wajah (terutama konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai
mucous plug pada saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas, sehingga sering kali menjadi tanda kecurigaan apakah anak menderita pertusis walaupun tidak disertai bunyi whoop. Anak menjadi apatis dan berat badan menurun. Batuk mudah dibangkitkan dengan stres emosional (menangis, sedih, gembira) dan aktivitas fisik. Pada bayi kurang dari 3 bulan, whoop-nya biasanya tidak ada, namun bayi tersebut sering apnea lama dan meninggal. Sebanyak 80% kasus fatal terjadi pada pasien kurang dari 2 tahun. Remaja dan dewasa sering tidak bersuara whoop, hanya ada batuk ngikil yang bertahan lama. Anak yang sudah divaksinasi lengkap masih dapat terinfeksi Pertusis dengan gejala yang lebih ringan, tetapi bisa menular.1
9
Gambar 2. Batuk paroksismal pada pertusis
2.6.3. Stadium Konvalesen / Penyembuhan (1 sampai 2 minggu)
Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2 sampai 3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk paroksismal kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang. 1
2.7 Diagnosis Penyakit Pertusis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
2.7.1 Anamnesis
Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi whoop yang jelas. Perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi.
2.7.2 Pemeriksaan Fisik
Gejala klinis yang didapat dari pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien diperiksa.
10
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000 sampai 50.000/ UI dengan limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis karena respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain.
Gambar 3.Limfositosis pada pertusis
Isolasi B.pertussis dari sekret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis pertusis. Biakan positif pada stadium kataral 95% sampai 100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya. Tes serologi terhadap antibodi toksin pertusis berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada individu dengan biakan negatif. ELISA ( Enzime Linked Immuno Assay) dapat dipakai untuk menentukan serum IgM ( Immuno globulin M ), IgG ( Immuno globulin G), dan IgA ( Immuno
globulin A) terhadap FHA dan PT. Nilai serum IgM FHA dan PT menggambarkan respons imun primer baik disebabkan oleh penyakit maupun vaksinasi. Immuno
globulin G toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik untuk mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setelah imunisasi pertusis. Pemeriksaa lain yaitu foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelektasis, atau emfisema.1
11
2.8 Diagnosis Banding Penyakit Pertusis
1. Batuk spasmodik pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis (disebabkan oleh
Respiratory Syncitial Virus, pada bayi kurang dari 6 bulan), pneumonia bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis, dan penyakit lain yang menyebabkan limfadenopati dengan penekanan di luar trakea dan bronkus. 2. Asma. 3. Obstruksi benda asing di trakea (biasanya gejalanya mendadak dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologik dan endoskopi). 4. Infeksi
B.parapertussis,
B.bronkiseptika, dan
adenovirus
dapat
menyerupai sindrom klinis B.pertussis. Dapat dibedakan dengan isolasi kuman penyebab. 5. Lukemia akut (reaksi lukomoid).
2.9 Komplikasi Penyakit Pertusis
Komplikasi pertusis utama adalah apnea, infeksi sekunder (otitis media dan pneumonia), dan sekuele fisik batuk kuat. Kebutuhan untuk perawatan intensif dan ventilasi artifisial biasanya terbatas pada bayi kurang dari 36 bulan. Apnea, sianosis, dan pneumonia bakteri sekunder mempercepat kebutuhan intubasi dan ventilasi.5 Pneumonia merupakan penyulit yang paling sering dijumpai, menyebabkan 90% kematian pada anak kurang dari 3 tahun. Pneumonia dapat diakibatkan oleh B.pertussis , tetapi lebih sering diakibatkan oleh infeksi sekunder ( H.influenzae, S.pneumoniae, S.aureus, S.pyogenes). Tuberkulosis laten dapat juga menjadi aktif. Atelektasis terjadi sekunder terhadap sumbatan mukus yang kental. Aspirasi mukus atau muntah dapat menyebabkan pneumonia. Panas tinggi merupakan tanda infeksi sekunder oleh bakteri. 1 Kenaikan tekanan intratoraks dan intraabdomen selama batuk dapat menyebabkan perdarahan konjungtiva dan sklera, ptekie pada bagian tubuh atas, epistaksis, perdarahan pada sistem saraf sentral dan retina, pneumotoraks dan emfisema subkutan, dan hernia umbilikaslis serta inguinalis. Luka robek frenulum lidah tidak jarang.5
12
Gambar 4. Perdarahan konjungtiva dan prolaps rektum
Penyulit pada susunan saraf pusat yaitu kejang, koma, ensefalitis, hiponatremia sekunder terhadap SIADH ( syndrome of
inapproriate diuretic
hormon) juga dapat terjadi. Kejang tetanik mungkin dihubungan dengan alkalosis yang disebabkan oleh muntah persisten. Peneliti Inggris melaporkan di antara 2.295 kasus didapatkan penyulit pada tabel 2. 1
Tabel 2. Penyulit pertusis1
Berat badan menurun Bronkitis akut Atelektasis Bronkopneumonia Apnea Kejang Otitis media
16,8% 9,8% 0,3% 0,88% 1,1% 0,6% 7,5%
2.10 Pengobatan Penyakit Pertusis
Pemberian antibiotik tidak memperpendek stadium paroksismal. Eritromisin (50 mg/kgBB/hari) atau Ampisilin (100 mg/kgBB/hari) dapat mengeliminasi organisme dari nasofaring dalam 3 sampai 4 hari. Terapi suportif terutama untuk menghindari faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi, dan nutrisi. Oksigen hendaknya diberikan pada distress pernapasan yang akut dan kronik. Perlu penghisapan lendir terutama pada bayi
dengan pneumonia dan
distress pernapasan. Efek betametasol dan salbutamol tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan plasebo. Eritromisin dapat mengeliminasi pertusis bila diberikan pada pasien stadium kataral sehingga memperpendek periode penularan.1
13
Penelitian menunjukkan bahwa pemberian imunoglobulin pertusis telah pada anak kurang dari 2 tahun (1,25 ml/24 jam dalam 3 sampai 5 dosis) tidak bermakna, oleh karena itu tidak direkomendasikan. 1
2.11 Pencegahan
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Banyak laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian pertusis dengan adanya program imunisasi. Pada tahun 1926 sampai tahun 1930 (era sebelum imunisasi) di Amerika Serikat dan Inggris terdapat sebanyak 36.013 kematian yang disebabkan pertusis dan setelah era imunisasi berjalan terdapat 26 kematian yang disebabkan pertusis (tahun 1986 sampai tahun 1988). Melalui PPI (Program Pengembangan Imunisasi), Indonesia telah melaksanakan imunisasi pertusis dengan vaksin DPT (Difteri Pertusis Tetanus). Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi pasif dan aktif. 1
2.11.1.
Imunisasi Pasif
Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin. Namun berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif sehingga akhirakhir ini human hyperimmune globulin tidak lagi diberikan untuk pencegahan. 1
2.11.2. Imunisasi Aktif
Diberikan vaksin pertusis dari kuman B.pertussis yang telah dimatikan untuk mendapatkan kekebalan aktif. Imunisasi pertusis diberikan bersama-sama dengan vaksin difteria dan tetanus. Dosis imunisasi dasar dianjurkan 12 IU ( International
Unit ) dan diberikan 3x sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu. Jika prevalensi pertusis di dalam masyarakat tinggi, imunisasi dapat dimulai pada umur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak umur lebih dari 7 tahun tidak lagi memerlukan imunisasi rutin. Hasil imunisasi pertusis tidak permanen oleh karena proteksi menurun selama adolesens , walaupun demikian infeksi pada pasien yang lebih besar biasanya ringan, tetapi dapat menjadi sumber penularan infeksi
14
pertusis pada bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0,25 ml/ im) telah dipakai untuk mengontrol epidemi di antara orang dewasa yang terpapar. 1 Untuk
mengurangi
terjadinya
kejang
demam
dapat
diberikan
antikonvulsan setiap 4 sampai 6 jam selama 48 sampai 72 jam. Anak dengan kelainan neurologik dengan riwayat kejang 7,2x lebih mudah terjadi kejang setelah imunisasi DTP dan 4,5x lebih tinggi bila hanya mempunyai iwayat kejang dalam keluarga. Maka pada keadaan anak yang demikian hanya diberikan imunisasi DT (Difteri Tetanus).1 Kontraindikasi pemberian vaksin pertusis yaitu anak yang mengalami ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis lebih dari 3 jam, high pitch cry dalam 2 hari, kolaps atau hipotensif hiporesponsif dalam 2 hari, demam lebih dari 40,5oC selama 2 hari yang tidak dapat diterangkan penyebabnya. 1 Eritromisin efektif untuk pencegahan pertusis pada bayi baru lahir dari ibu dengan pertusis. Kontak erat pada anak usia kurang dari 7 tahun yang sebelumnya telah
diberikan
imunisasi
hendaknya
diberi
booster
dan
Eritromisin
50 mg/kgBB/hari dalam 2 sampai 4 dosis selama 14 hari. Booster tidak perlu diberikan bila telah diberi imunisasi dalam 6 bulan terakhir. Kontak erat pada usia lebih dari 7 tahun juga perlu diberikan eritromisin sebagai profilaksis. 1 Pengobatan eritromisin awal berguna untuk mengurangi penyebaran infeksi dan mengurangi gejala penyakit. Seseorang yang kontak dengan pasien pertusis tetapi belum pernah diimunisasi hendaknya diberi eritromisin selama 14 hari setelah kontak diputuskan. Jika kontak tidak dapat diputuskan hendaknya eritromisin diberikan sampai pasien berhenti batuk atau setelah pasien mendapat eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertusis monovalen dan eritromisin diberikan waktu terjadi epidemi.1
a. Vaksin Seluruh Sel
15
Vaksin yang sekarang digunakan untuk seri imunisasi primer di AS (Amerika Serikat) dan dianjurkan oleh WHO untuk penggunaan seluruh bagian terbesar dunia adalah vaksin seluruh sel mati yang membentuk suspensi B.pertusis yang diinaktifkan, digabung dengan toksoid difteri dan tetanus (DT) dan tambahan berisi aluminium (vaksin DPT). Kekuatan vaksin pertusis di-assay dalam tikus dengan uji proteksi-tantangn intraserebral, suatu standard yang terbukti berkorelasi dengan kemajuan protektif vaksin pada manusia. Kekuatan vaksin diwujudkan pada unit kekeruhan (juga standard keamanan) atau unit protektif preparat AS berisi 4 sampai 12 unit protektif dan tidak lebih dari 16 unti kekeruhan per 0,5 ml dosis. Kemanjuran vaksin sel utuh bervariasi menurut definisi kasus dari 64% untuk batuk ringan, sampai 81% untuk batuk paroksismal, dan sampai 95% untuk penyakit klinis berat. Komposisi preparat yang digunakan, tingkat kecocokan antara tipe-tipe aglutinogen dalam vaksin dan strain tantangan, tipe pajanan, waktu sesudah imunisasi dan kebutuhan untuk konfirmasi biakan kasus semua berdampak pada perkiraan kemajuan vaksin. Individu lebih dari 7 tahun tidak secara rutin diberi vaksin berisi pertusis. Bila digunakan pada orang dewasa untuk mengendalikan ledakan serangan rumah sakit, vaksin seluruh sel ternyata kurang reaktogenik daripada yang dilaporkan pada anak. 5 Keterbatasan utama penggunaan vaksin seluruh sel adalah reaktogenisitas terkaitnya, yang dilaporkan 1 dekade yang lalu terjadi pada 75% vaksin. Dibanding dengan vaksin DT, DTP mempunyai reaksi lokal yang lebih bermakna seperti nyeri, pembengkakan, eritema, dan reaksi sitemik seperti demam, rewel, menangis, mengantuk, dan muntah. Manivestasi ini terjadi dalam beberapa jam setelah imunisasi dan berkurang secara spontan tanpa sekuele. Penelitian baru baru ini melaporkan frekuensi reaksi lokal da sistemik yang lazim menurun, memberi kesan bahwa modifikasi vaksin seluruh sel telah terjadi. Anafilaksis berat atau abses steril sangat jarang paska vaksin DTP. Urtikaria sementara jarang, mungkin terkait dengan kompleks antigen-anti bodi dalam sirkulasi, dan jika reaksi tidak terjadi dalam beberapa menit imunisasi adalah tidak mungkin menjadi reaksi serius yang diperantarai IgE ( Immunoglobulin E ), atau kumat pada imunisasi berikutnya. 5
16
Kejang-kejang terjadi dalam 48 jam dari sekitar 1:1.750 dosis yang diberikan, singkat, menyeluruh dan sembuh sendiri, terjadi pada anak demam pada hampir semua keadaan. Terjadi lebih lazim pada mereka dengan riwayat pribadi atau keluarga konvulsi dan tidak berakibat epilepsi atau sekuele neurologis permanen. Menangis terus-menerus yang tidak dapat dihibur atau berteriak selama 3 jam/lebih dilaporkan sesudah diberikan 1% dosis, biasanya pada bayi muda yang menderita reaksi lokal, tidak aneh pada imunisasi pertusis dan tampak merupakan manivestasi nyeri pada banyak keadaan. Keadaan kolaps (episode hipotonik-hipertonik) biasanya tidak terkait dengan demam atau reaksi lokal, telah diamati sesudah 1:1.750 vaksinasi pertusis, biasanya pada bayi muda. Reaksi ini tampak terkait secara unik dengan vaksin pertusis dan tidak mempunyai sekuele neurologis permanen. Sebanyak 60 anak dievaluasi secara teliti segera pasca kejadian-kejadian yang merugikan akibat vaksin pertusis termasuk kejang-kejang, menangis terus-menerus yang tidak dapat dihibur, demam sangat tinggi, dan hipotonik-hiporesponsif. Sebanyak 90% kejang adalah khas kejang demam. Tidak ada kekacauan metabolik atau toksin pertusis yang dapat diukur ditemukan dalam darah. Bayi umur kurang dari 1 tahun cenderung mempunyai kadar insulin lebih tinggi daripada yang diharapkan memberi kesan kemungkinan kerentanan terkait umur individu atau perubahan akibat vaksin dalam pengaturan insulin. 5 Amat jarang (dengan dosis 1:140.000) vaksin pertusis dapat dihubungkan dengan penyakit neurologis akut yang sebelumnya normal. Kejadian berat yang merugikan seperti kematian, ensefalopati, mulai gangguan kejang, perkembangan lambat, atau masalah belajar atau perilaku telah terjadi pada individu yang berkaitan secara temporal dengan imunisasi pertusis atau diduga keras ada hubungan sebab akibat. Lima penelitian epidemiologi utama telah memeriksa risiko neurologis akibat imunisasi pertusis. Kematian bayi mendadak ( sudden
infant death ) dan spasme infantil ditemukan tidak terkait sementara atau tidak terkait sebab akibat. Analisis dan reanalisis oleh 7 komisi besar tidak mendapatkan informasi yang cukup untuk mendapatkan hubungan sebab akibat antara DTP dan gangguan neurologis kronik. Pertimbangan manfaat lawan risiko vaksin seluruh sel telah berulang-ulang menyimpulkan setuju penggunaannya. 5
17
b. Vaksin Aseluler
Komponen vaksin pertusis aseluler yang dimurnikan (AP), pada mulanya berkembang di Jepang adalah imunogenik dan disertai dengan kejadian kurang merugikan bila dibandingkan dengan DTP. Vaksin yang disediakan oleh 6 pabrik telah digunakan secara luas di Jepang sejak tahun 1981, dan penggunaannya telah mengendalikan pertusis. Trial kemanjuran kendali-plasebo, acak (tetapi bukan kendali DTP) 2 vaksin pertusis aseluler (dikembangkan oleh institut kesehatan Jepang dan dilakukan di Swedia selama tahun 1986-1987 di bawah sponsor AS) menunjukkan kemanjuran vaksin aseluler ini sedikit kurang dibandingkan secara historis dengan vaksin pertusis seluruh sel yang digunakan di AS. Reaktogenisitas vaksin aseluler yang lebih rendah dan imunogenisitas yang baik pada anak AS yang baru belajar jalan, digabung dengan bukti kemanjuran pada pemajananrumah tangga dan penelitian berdasar populasi dari Jepang, menyebabkan keluarnya lisensi AS (tahun 1991 sampai 1992) pada DTAP untuk penggunaan pada anak umur lebih dari/ sama dengan15 bulan sebagai dosis ke-4 dan/ atau ke-5 seri DTP yang dianjurkan. Vaksin ini ditoleransi dengan baik, dan penggunaannya disertai dengan sedikit reaksi lokal yang lazim dan gejala-gejala sistemik, demam dan kejang demam. 5
2.12 Prognosis
Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis lebih baik. Pada bayi risiko kematian 0,5-1% disebabkan ensefalopati. Pada observasi jangka panjang, apnea atau kejang akan menyebabkan gangguan intelektual di kemudian hari.1
BAB 3 KESIMPULAN DAN SARAN
18
3.1. Kesimpulan
Pertusis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri B.pertussis. Pertusis disebut juga batuk rejan atau whooping cough karena pasien batuk 5 sampai 10x batuk tanpa berhenti dan berupaya keras untuk menarik napas sehingga pada akhir batuk sering disertai bunyi yang khas ( whoop). Pertusis ditularkan melalui aerosol batuk atau bersin dari penderita pertusis. Tanpa pengobatan, penderita pertusis dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain mulai awal batuk sampai berminggu-minggu kemudian hingga batuk berhenti, namun dapat menjadi tidak infeksius setelah 5 hari pengobatan dengan eritromisin. Masa inkubasi 6 sampai 20 hari (rata-rata 7 sampai 10 hari). Stadium klinis pertusis terdiri dari stadium katar yang ditandai dengan gejala seperti infeksi saluran pernapasan, stadium paroksismal yang ditandai dengan batuk berat 5 sampai 10x batuk tanpa henti dan diakhiri dengan suara khas (whoop) dan/ atau muntah, dan stadium konvalesens ditandai dengan batuk berkurang dan tidak muntah lagi. Penegakan diagnosis berdasarkan klinis dan pemeriksaan penunjang (limfositosis dan biakan bakteri B.pertussis ). Eritromisin 50 mg/kgBB/hari dalam 2 sampai 4 dosis dapat membasmi basil dalam 3 sampai 4 hari, namun tidak meringankan stadium paroksismal penyakit. Terapi suportif diberikan terutama untuk menghindari faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi, bila perlu beri oksigen dan pengisapan lendir pada bayi. Komplikasi pertusis terutama pada sistem pernapasan (apnea dan pneumonia) dan saraf pusat (ensefalopati dan kejang). Prognosisnya lebih baik pada anak usia lebih tua. Siapa saja dapat terkena pertusis, terutama bayi muda dan anak yang lebih tua. Infeksi pada bayi lebih serius dan dapat menimbulkan kematian. Imunisasi yang diberikan pada usia 2, 4, dan 6 bulan efektif untuk mencegah infeksi yang berat, namun tidak memberikan kekebalan yang permanen. Oleh karena itu, perlu diberikan booster dan profilaksis eritromisin pada anak usia kurang dari 7 tahun yang kontak erat dengan penderita pertusis. Efek samping vaksinasi pertusis adalah demam tinggi, nyeri lokal, dan rewel. Kontraindikasi pemberian vaksin 18
19
pertusis yaitu anak yang mengalami ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis lebih dari 3 jam, high pitch cry dalam 2 hari, kolaps atau hipotensif hiporesponsif ndalam 2 hari, demam lebih dari 40,5 oC selama 2 hari yang tidak dapat diterangkan penyebabnya. Pemberian vaksin pertusis aseluler memberi efek samping lebih ringan, namun efek protektifnya lebih rendah dibandingkan dengan vaksin pertusis sel penuh.
3.2. Saran
Bayi sangat rentan terhadap infeksi pertusis, oleh karena itu dianjurkan pemberian vaksin DTP pada usia 2, 4, dan 6 bulan sesuai dengan Program Pengembangan Imunisasi untuk mencegah infeksi yang berat. Vaksin booster dianjurkan pada usia 4 tahun dan 15 tahun karena imunisasi dasar pertusis tidak memberi kekebalan permanen. Selain itu bila ada kontak erat dengan penderita pertusis perlu diberikan profilaksis eritromisin dan isolirkan penderita, jika tidak mungkin memutus kontak, maka perlu diberi eritromisin profilaksis hingga batuk berhenti.
DAFTAR PUSTAKA
20
1.
Soedarmo, SSP., Garna, H., Hadinegoro SRS., Satari HI. 2010. Pertusis. Dalam: Buku Ajar Infeksi dan Peiatri Tropis Edisi 2. Jakarta: Balai penerbit IDAI. hal.331-336.
2.
News Health. 2008. Pertusis (Batuk Rejan). Diunduh dari: http:www.mhcs.heatlh.nws.gov.au.pdf. [diakses tanggal 20 Agustus 2010]
3. Pertusis (Batuk Rejan). Diunduh dari: http://digilib.unnes.ac.id.pdf . [diakses tanggal 20 Agustus 2010] 4.
Brooks, GF., Butel, JS., Ornston, LN. 1996. Bordetella. Dalam: Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. hal 268-270.
5.
Long, SS. 2000. Pertusis. Dalam: Wahab AS (Editor). Ilmun Kesehatan Anak Nelson Volume 2 Edisi 15. Jakarta: EGC. hal.960-965.
20