BAB 4 MUSIK KONTEMPORER
A. Pengertian Musik Kontemporer Sebenarnya istilah kontemporer sudah punya konvensi yang khusus, yaitu yang timbul dari musik yang serius. Ciri musik ini tidak ada pada zaman-zaman sebelumnya. Selain itu, setiap musik yang pada zamannya juga dapat disebut kontemporer. Artinya, musik kontemporer adalah musik yang belum pernah ada sebelumnya. Oleh karena itulah, alat musik yang dipakai biasanya lain daripada yang lain atau menggunakan alat musik dari peralatan seadanya. Sebagai contoh, seorang pemusik menuangkan air dari kendi ke sebuah tembikar dari tanah liat untuk menghasilkan efek bunyi yang khas. Ada lagi yang menggunakan dua bilah bambu sebagai pengganti bunyi kendang. Mungkin terasa aneh atau asing di telinga orang yang biasa mengikuti dan mendengarkan musik populer. Musik yang dibawakan sebenarnya mengajak pendengar untuk tidak terkungkung pada satu kriteria musik, yaitu musik yang dianggap laku di pasaran. Istilah kontemporer memang telah lama hadir dan menjadi perdebatan serius dan terkesan merupakan lawan dari tradisi. Padahal sebenarnya tidak ada musik yang tibatiba menjadi tradisi. Pada awalnya, semua musik adalah kontemporer. Ia menjadi tradisi setelah bertahan dan disebarkan selama beberapa generasi. Sedangkan musik kontemporer adalah musik baru yang baru saja diciptakan. Hadirnya musik kontemporer yang beberapa tahun ini semakin tumbuh subur tampaknya tetap tidak akan menyaingi musik konvensional atau musik industri. Hal ini terjadi karena dunia hiburan musik kontemporer berikut musisinya masih dianggap berseberangan dengan pola musik industri atau pop. Kondisi ini sangat berbeda dengan di luar negeri. Di sejumlah negara maju, musik kontemporer justru memiliki daya jual luar biasa. Sejumlah pemusik atau grup musik Indonesia berhaluan kontemporer seperti Krakatau Band, Sawung Jabo, Dewa Budjana, Sapto Raharjo, Djaduk Ferianto, dan Slamet Abdul Syukur, sangat dikenal di mancanegara. Mereka menjadi penampil langganan pada festival-festival musik kontemporer internasional.
B. Tokoh-tokoh Musik Kontemporer Indonesia 1. Harry Roesli Pria bernama lengkap Djauhar Zahrsyah Fachrudin Roesli ini lahir di Bandung pada 10 September 1951 dan wafat di Jakarta pada 11 Desember 2004 yang silam. Tak menyelesaikan kuliahnya di jurusan Teknik Sipil ITB, ia malah meraih gelar sarjana dari jurusan Komposisi dari IKJ dan meneruskannya di jurusan musik elektronik di Rotterdam Conservatorium, Belanda. Nama Harry Roesli sudah tak awam lagi di dunia seni Indonesia. Terutama seni musik. Selain sebagai pemain musik dan pencipta lagu, ia merupakan pendiri dan pemain grup musik ‘Gang of Harry Roesli’ bersama Albert Warnerin, Indra Rivai, dan Iwan A. Rachman. Pendiri grup teater Ken Arok (1973)-1977) dan pimpinan Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB) ini juga menjadi guru besar psikologi musik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan Universitas Pasundan, keduanya di kota tempat tinggalnya, Bandung. Beberapa karya musiknya yang terkenal diantaranya : “Musik Rumah Sakit” (1979 di Bandung dan 1980 di Jakarta), “Parenthese”, “Musik Sikat Gigi” (1982 di Jakarta), Opera Ikan Asin, dan Opera Kecoa. Profesor psikologi musik ini bukanlah musisi biasa. Dia melahirkan fenomena budaya musik kontemporer yang berbeda, komunikatif dan konsisten memancarkan kritik sosial. Pemusik bertubuh tambun ini melahirkan fenomena budaya musik populer yang tumbuh berbeda dengan sejumlah penggiat musik kontemporer lainnya. Dia mampu secara kreatif melahirkan dan menyajikan kesenian secara komunikatif. Karya-karyanya konsisten memunculkan kritik sosial secara lugas dalam watak musik teater lenong. Harry Roesli bukan musisi biasa. Kehidupan yang sesungguhnya baginya adalah seni musik. Kehidupannya adalah kegiatan musik. Alat yang digunakan untuk musik kontemporernya yakni perkusi, band, rekaman musik, dan lain-lain. Dalam bermain musik, dia pun memakai peralatan yang unik seperti gitar, drum, gong, botol, kaleng rombeng, pecahan beling, dan kliningan kecil. Banyak karya yang sudah dihasilkan oleh almarhum Harry Roesli. Diantaranya, menggarap musik untuk hampir semua produksi Teater Mandiri dan Teater Koma sejak produksinya bertajuk Opera Ikan Asin.
2. Slamet Abdul Syukur Slamet berpendapat kalau ada penonton yang bingung mendengarkan musik kontemporer, ya lumrah saja. Hal ini disebabkan oleh jarak tafsir antara pemusik dengan penonton yang ada. Namun, bagaimanapun juga pemusik tetap wajib mendekati penonton. Seringkali penonton memang tidak mendapatkan kesempatan yang cukup untuk mendengarkan musik yang serba baru. Slamet mengaitkan karya musik kontemporernya dengan zaman sekarang. Salah satu ciri khasnya adalah adanya sifat mendobrak. Tetapi, saat berbicara mengenai perlunya suatu pembaruan, Slamet tidak terbatas pada pada permasalahan sosial atau politik. Di dalam musik itu sendiri banyak hal-hal yang perlu dukembangkan. Misalnya musik yang memakai suara uwek-uwek, yang belum pernah ada sebelumnya dalam dunia musik. Hal seperti ini tentu merupakan tanda kreativitas yang bisa mengembangkan seni musik itu sendiri. Dalam pertunjukannya, ada pula tari yang ditampilkan sendirian dan musik yang ditampilkan sendirian. 3. Djaduk Ferianto Djaduk Ferianto memadukan antara elemen musik tradisional dan modern. Dalam karya musiknya, alat musik yang digunakan sudah sering kita lihat, hanya saja perpaduannya yang belum pernah ada sebelumnya. Misalnya kendang dipadu dengan flute. Djaduk banyak bereksperimen bersama grup musiknya yang berbasis di Yogya, Sinten Remen. 4. I Nyoman Winda Musik tradisional Bali selama ini didominasi alat-alat pukul (perkusi) sehingga karakter musiknya cenderung keras, bersemangat, dan lincah. Inilah yang sering dianggap sebagai ciri khas musik Bali. Jika kita melihat musik garapan I Nyoman Winda, belum tentu kita berpendapat demikian. Bertolak dari gamelan gambuh, yang menonjolkan suling, I Nyoman Winda menggarap musik kontemporer dengan komposisi baru, yaitu simfoni bambu yang dipadu dengan musik vokal. 5. Al Suwardi Gamelan genta sudah lama dianggap ‘mati’ di Keraton Solo. Suara yang indah itu, tampaknya terus terngiang di telinga dan menggugat pikiran dan perasaan Al Suwardi yang akhirnya bersusah payah membuat peralatan gamelan genta baru, dengan orientasi baru dan tangga nada baru pula. Swara Genta, begitulah judul yang akan menggema dari musik kontemporer Al-Suwardi. 6. Royke (Media Perkusi) Royke merupakan seorang musisi yang secara khusus mengeksplorasi musik-musik kontemporer dengan media perkusi dan alat musik akustik. Warna musik kontemporer Royke jauh dari nuansa futuristik. Dia menampilkan komposisi dengan kendang, kemudian drum akustik serta petikan gitar dengan komposisi yang terkesan klasikal. Royke yang memiliki basis pendidikan akademis ini, membuat beberapa komposisi klasik dalam lagu-lagunya. Mungkin terdengar sedikit ‘suram’ tapi sebenarnya karya ini memiliki kedalaman rasa yang berbeda. Rasa yang coba digambarkan lebih menyerupai bentuk karya etnik. Tentu saja hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari kondisi budaya manusia Indonesia yang dekat dengan nuansa tradisional. Menurut Royke, musik itu sebenarnya tidak ada yang jelek. Semua musik lahir dari pengolahan ide atau gagasan, apabila dieksplorasi tidak akan habis, khususnya untuk mendapatkan bentuk baru dan taste yang lain. Musik adalah sesuatu yang universal khususnya untuk menyampaikan pesan dari pembuat musik kepada masyarakat. Yang penting, bermusik haruslah kreatif, karena kreativitas adalah suatu awal yang tidak akan pernah terputus. Selain untuk kemajuan, lewat kreativitas kita juga akan memperoleh banyak hal baru. Hal baru itu tentunya sesuatu yang segar. Sesuatu yang baru bisa muncul ketika ada sesuatu yang lain yang memotivasi munculnya hal baru. Lebih jauh Royke mengungkapkan, kehadiran musik kontemporer bukan untuk menyaingi musik konvensional saat ini, melainkan lebih ditujukan pada balancing position. Untuk itu, sudah selayaknya musik kontemporer diperkenalkan kepada masyarakat. Royke juga berharap masyarakat segera belajar untuk memahami kesenian dan batasan-batasannya yang memang terkesan abstrak. Memang, karya-karya musik kontemporer mungkin tak akrab di telinga awam, tapi bukan tidak mungkin dengan kreativitas yang baik dapat menjadi karya yang sangat menarik dan disukai masyarakat.
7. Paul Gutama Kepiawaiannya dalam musik lama seperti pop, jazz, klasik, dan sebagainya, membuat paul bisa saja disambut meriah di Indonesia karena jalur musik yang disebutkan tadi menjanjikan banyak hal di luar musik seperti harta benda, popularitas, dan kekuasaan untuk mendikte penggemar musik. Paul mengorbankan semua itu untuk mencapai musik yang mampu memberi makna baru pada musik tradisional. Singkat kata, Paul berupaya memainkan dan menghayati musik sebagai suatu ideologi. Yakni suatu upaya bahwa inovasi bukan semata monopoli orang Barat tetapi juga orang Timur, termasuk Indonesia. Persoalan paling mendasar bagi seseorang yang menonton musik kontemporer adalah tidak merasa nyaman saat menyaksikan musik kontemporer. Hal ini terjadi karena mentalitasnya masih terpengaruh musik lama yang serba romantik dan menghibur. Mengulangi berbagai pernyataannya di media massa bahwa musik kontemporer adalah hasil pemikiran individualistis, Paul mengatakan, musik kontemporer yang mulai dikembangkan awal abad ini bergerak di luar kebiasaan mendengar pada umumnya. Singkat kata, musik kontemporer adalah produksi dari seorang komponis yang sangat menekankan pentingnya norma individualistik. Akibatnya, penikmat musik kontemporer pun harus meninggalkan prinsip mendengar musik lama yang sangat menekankan pentingnya fungsi musik sebagai penghibur, sebagai devosi, dan sebagainya. Musik kontemporer tidak mengenal fungsi seperti itu. Musik ini barangkali bisa menjadi salah satu konsumsi rohaniah bagi manusia di milenium mendatang yang berkat dukungan teknologi akan mengubah gaya hidup manusia, menjadikan manusia di masa nanti sangat mandiri dan individualistis. Jadi, konsep kolektivisme sangat berkurang. Menghibur secara kolektif pun menjadi outgoing business karena masing-masing orang sibuk dengan dirinya sendiri dan perangkat teknologi yang mengelilinginya. Apa yang dikatakan Paul memang terasa ketika dia bersama kelompoknya Banjar Gruppe, memainkan sejumlah nomor. Ada sesuatu yang aneh, misterius, dan sejumlah kejanggalan musikal yang kalau didengar berulang-ulang justru akan terasa enak didengar. 8. Jomped Musik kontemporer Jomped, secara khusus menampilkan komposisi musik dari proses kreatifnya dan proses pencariannya dalam mengeksplorisasi media komputer. Musik yang terkesan tidak lazim ini, lebih mengarah pada bentukan musik elektronis dengan perpaduan efek cahaya yang menimbulkan suasana futuristik. Untuk menghidupkan musiknya, Jomped menambahkan beberapa perangkat software yang memang secara khusus dibuat dengan menggabungkan berbagai elemen yang dianggapnya bisa menciptakan bunyi yang sesuai dengan keinginannya. Misalnya, bunyi tembakan laser seperti dalam film-film berbau futuristis dan suara drum elektrik sebagai pengatur tempo ataupun ritme yang diinginkan. Menurutnya, musik kontemporer memang terkesan susah dicerna, tetapi sebenarnya di dalam musik ini terkandung sebuah nilai rasa bunyi yang bisa dikatakan sedikit berbeda. Musik ini memang terkesan nyeleneh, tapi kalau mau dirasakan, terdapat muatan rasa yang lain.