BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Definisi Suhu Rendah
Penyimpanan pada suhu rendah dapat menghambat kerusakan makanan, antara lain kerusakan fisiologis, kerusakan enzimatis maupun kerusakan mikrobiologis. Pada pengawetan dengan suhu rendah dibedakan antara pendinginan dan pembekuan. Pendinginan dan pembekuan merupakan salah satu cara pengawetan yang tertua. Pendinginan atau refrigerasi ialah penyimpanan dengan suhu rata-rata yang digunakan masih di atas titik beku bahan. Kisaran suhu yang digunakan biasanya antara - 1oC sampai + 4oC. Pada suhu tersebut, pertumbuhan bakteri dan proses biokimia akan terhambat. Pendinginan biasanya akan mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari atau beberapa minggu, tergantung kepada jenis bahan pangannya. Pendinginan yang biasa dilakukan di rumah-rumah tangga adalah dalam lemari es yang mempunyai suhu – suhu –2oC 2oC sampai + 16oC.
( Rusendi, 2010)
Pembekuan atau freezing ialah penyimpanan di bawah titik beku bahan, jadi bahan disimpan dalam keadaan beku. Pembekuan yang baik dapat dilakukan pada suhu kira-kira – –17 17 oC atau lebih rendah lagi. Pada suhu ini pertumbuhan bakteri sama sekali berhenti. Pembekuan yang baik biasanya dilakukan pada suhu antara - 12 oC sampai – sampai – 24 24 oC. Dengan pembekuan, bahan akan tahan sampai bebarapa bulan, bahkan kadang-kadang beberapa tahun. Perbedaan antara pendinginan dan pembekuan juga ada hubungannya dengan aktivitas mikroba. 1. Sebagian besar organisme perusak tumbuh cepat pada suhu di atas 10 oC 2. Beberapa jenis organisme pembentuk racun masih dapat hidup pada suhu ki ra-kira 3,3oC 3. Organisme psikrofilik tumbuh lambat pada suhu 4,4 oC sampai – sampai – 9,4 9,4 oC Organisme ini tidak menyebabkan keracunan atau menimbulkan penyakit pada suhu tersebut, tetapi
pada
suhu
lebih
rendah
dari – – 4,0
oC
akan
menyebabkan
kerusakan
pada
makanan. (Tranggono, 1990) Jumlah mikroba yang terdapat pada produk yang didinginkan atau yang dibekukan sangat tergantung kepada penanganan atau perlakuan-perlakuan yang diberikan sebelum produk itu didinginkan atau dibekukan, karena pada kenyataannya mikroba banyak berasal dari bahan mentah/ bahan baku. Setiap bahan pangan yang akan didinginkan atau dibekukan perlu mendapat perlakuan-perlakuan pendahuluan seperti pembersihan, blansing, atau sterilisasi, sehingga mikroba yang terdapat dalam bahan dapat sedikit berkurang atau terganggu keseimbangan metabolismenya. Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan makanan tidak dapat mematikan bakteri, sehingga pada waktu bahan beku dikeluarkan dan dibiarkan hingga mencair kembali (“thawing“), maka
pertumbuhan
dan
perkembangbiakan
mikroba
dapat berlangsung
dengan
cepat.
Penyimpanan dingin dapat menyebabkan kehilangan bau dan rasa beberapa bahan bila disimpan berdekatan. Misalnya : •
Mentega dan susu akan menyerap bau ikan dan bau buah-buahan
•
Telur akan menyerap bau bawang Bila memungkinkan sebaiknya penyimpanan bahan yang mempunyai bau tajam terpisah dari bahan lainnya, tetapi hal ini tidak selalu ekonomis. Untuk mengatasinya, mengatasinya, bahan yang mempunyai bau tajam disimpan dalam kedaan terbungkus. ( winarno, 2004) Faktor-faktor yang mempengaruhi pendinginan yaitu : •
Suhu
•
Kualitas bahan mentah Sebaiknya bahan yang akan disimpan mempunyai kualitas yang baik
Perlakuan pendahuluan yang tepat Misalnya pembersihan/ pencucian atau blanching
Kelembaban
Umumnya RH dalam pendinginan sekitar 80 – 95 %. Sayur-sayuran disimpan dalam pendinginan dengan RH 90 – 95 %
Aliran udara yang optimum
Distribusi udara yang baik menghasilkan suhu yang merata di seluruh tempat pendinginan, sehingga dapat mencegah pengumpulan uap air setempat (lokal). Keuntungan penyimpanan dingin :
Dapat menahan kecepatan reaksi kimia dan enzimatis, juga pertumbuhan dan metabolisme mikroba yang diinginkan. Misalnya pada pematangan keju.
Mengurangi perubahan flavor jeruk selama proses ekstraksi dan penyaringan
Mempermudah pengupasan dan pembuangan biji buah yang akan dikalengkan.
Mempermudah pemotongan daging dan pengirisan roti
Menaikkan kelarutan CO2 yang digunakan untuk “ soft drink “ Air yang digunakan didinginkan lebih dahulu sebelum dikarbonatasi untuk menaikkan kelarutan CO2 Kerugian penyimpanan dingin : • Terjadinya penurunan kandungan vitamin, antara lain vitamin C • Berkurangnya kerenyahan dan kekerasan pada buah-buahan dan sayur-sayuran • Perubahan warna merah daging • Oksidasi lemak • Pelunakan jaringan ikan • Hilangnya flavor
2.3
Kerusakan-kerusakan yang terjadi pada pendinginan
Pemakaian suhu rendah untuk mengawetkan bahan pangan tanpa mngindahkan syaratsyarat yang diperlukan oleh masing- masing bahan, dapat mngakibatkan kerusakan-kerusakan sebagai berikut : 1. Chilling injury Chilling injury terjadi karena :
Kepekaan bahan terhadap suhu rendah
Daya tahan dinding sel
Burik-burik bopeng (pitting)
Jaringan bahan menjadi cekung dan transparan
Pertukaran bau / aroma Di dalam ruang pendingin dimana disimpan lebih dari satu macam komoditi atau produk, kemungkinan terjadi pertukaran bau/aroma. Contoh: apel tidak dapat didinginkan bersama-sama dengan seledri, kubis, ataupun bawang merah. 2.
Kerusakan oleh bahan pendingin / refrigerant
Bila lemari es menggunakan amonia sebagai refrigeran, misalnya terjadi kebocoran pada pipa dan ammonia masuk ke dalam ruang pendinginan, akan mengakibatkan perubahan warna pada bagian luar bahan yang didinginkan berupa warna coklat atau hitam kehijauan. Kalau proses ini berlangsung terus, maka akan diikuti proses pelunakan jaringan-jaringan buah. Sebagai contoh : suatu ruangan pendingin yang mengandung amonia sebanyak 1 % selama kurang dari 1 jam, akan dapat merusak apel, pisang, atau bawang merah yang disimpan di dalamnya.( Sudaryanto, 2005) 3.
Kehilangan air dari bahan yang didinginkan akibat pengeringan
Kerusakan ini terjadi pada bahan yang dibekukan tanpa dibungkus atau yang dibungkus dengan pembungkus yang kedap uap air serta waktu membungkusnya masih banyak ruang-ruang
yang tidak terisi bahan. Pengeringan setempat dapat menimbulkan gejala yang dikenal dengan nama “ freeze burn “ , yang terutama terjadi pada daging sapi dan daging unggas yang dibekukan. Pada daging unggas, hal ini tampak sebagai bercak-bercak yang transparan atau bercak-bercak yang berwarna putih atau kuning kotor. Freeze burn disebabkan oleh sublimasi setempat kristal-kristal es melalui janganjaringan permukaan atau kulit. Maka terjadilah ruangan-ruangan kecil yang berisi udara, yang menimbulkan refleksi cahaya dan menampakkan warna-warna tersebut. Akibat terjadinya freeze burn, maka akan terjadi perubahan rasa pada bahan , selanjutnya diikuti dengan proses denaturasi protein. 4.
Denaturasi protein
Denaturasi protein berarti putusnya sejumlah ikatan air dan berkurangnya kadar protein yang dapat diekstrasi dengan larutan garam. Gejala denaturasi protein terjadi pada daging, ikan, dan produk-produk air susu. Proses denaturasi menimbulkan perubahan-perubahan rasa dan bau, serta perubahan konsistensi (daging menjadi liat atau kasap). Semua bahan yang dibekukan, kecuali es krim, sebelum dikonsumsi dilakukan “thawing“, maka untuk bahan yang telah mengalami denaturasi protein pada waktu pencairan kembali, air tidak dapat diabsorpsi (diserap) kembali. Tekstur liat yang terjadi disebabkan oleh membesarnya molekul-molekul.
DAFTAR PUSTAKA
Hari, S. 2003. Efek Suhu pada Penyimpanan Produk Pangan. Bogor: ITB Pestariati, Wasito, Eddy Bagus, Handijatno, Didik. 2003. Pengaruh lama penyimpanan daging ayam pada suhu refrigerator
terhadap
jumlah
total
kuman,
salmonella
sp.
Kadar
protein
dan
derajat
keasaman. Jurnal biosains pascasarjana. Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
Rukmana, Rahmat. 1994. Bawang Merah, Budidaya dan Pengolahan Pascapanen . Yogyakarta : Kanisius Rusendi, Dadi. Sudaryanto. Nurjannah, Sarifah. W idyasanti, Asri. Rosalinda, S.2010.Penuntun Praktikum MK . Teknik Penanganan Hasil Pertanian. Unpad Setiadi dan Surya F.N,2000. Kentang, Varietas dan Pembudidayaan. Penebar Swadaya. Jakarta Soeparno, 1992. Ilmu dan Teknologi Daging, Edisi I . Penerbit Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sudaryanto, T. Dan A. Munif. 2005. Pelaksanaan Revitalisasi Pertanian. Agrimedia, Volume 10 No. 2, Desember 2005. Tjitrosoepomo, G.. 2000. Morfologi Tumbuhan . Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Tranggono dan Sutardi, 1990. Biokimia, Teknologi Pasca Panen dan Gizi . PAU Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta Winarno F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi . PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.