1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Para pemangku kepentingan atau yang sering disebut dengan istil ah stakeholder sudah sangat populer. Kata ini telah dipakai oleh banyak pihak dan hubungannnya dengan berbagaiilmu atau konteks, misalnya manajemen bisnis, Ilmu komunikasi, pengelolaan sumberdaya alam, sosiologi, dan lainlain. Lembaga-lembaga publik telah menggunakan secara luas istilah stakeholder ini ke dalam proses-proses pengambilan dan implementasi keputusan. Secara sederhana,stakeholder sering dinyatakan sebagai para pihak, lintas pelaku, atau pihak-pihak yang terkait ter kait dengan suatu isu atau suatu rencana. Pengenalan terhadap konsep lingkungan organisasi perusahaan yang berkembang sejalan dengan berkembangnya pendekatan sistem dalam manajemen, telah mengubah cara pandang manajer dan para ahli teori manajemen terhadap organisasi, terutama mengenai bagaimana suatu organisasi perusahaan dapat mencapai tujuannya secara efektif . Perusahaan dapat mempertahankan keberadaannya selama ini karena kemampuan yang mereka miliki untuk menciptakan nilai (value) dan berbagai hasil usaha perusahaan yang dapat diterima oleh berbagai kelmpok pemangku kepentingan. Kemudian dalam melakukan aktivitas perusahaan dan dalam rangka
mengimplementasikan
kebijakan
Good
Corporate
Governance(GCG), perlu didukung pengaturan Etika Bisnis di setiap perusahaan yang dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta Pemimpin dalam rangka membangun hubungan yang fair dan sehat dengan pelanggan, mitra kerja, pemegang saham, masyarakat dan karyawan. Bahwa sejalan dengan perkembangan bisnis perusahaan serta menjamin praktek bisnis yang beretika, maka dipandang perlu untuk mengimplementasikan Etika Bisnis pada seluruh pihak terkait dalam memberikan layanan stakeholders di lingkungan perusahaan
2
Peran pemangku kepentingan korporasi dihadapkan pada persaingan yang kompetitif, keterbatasan sumberdaya dan perolehan laba untuk meningkatkan kemaksmuran pemegang saham. Oleh sebab itu korporasi melakukan berbagai upaya yang tidak jarang memiliki dampak negative kepada pihak lain, termaksud lingkungan. Tidak sedikit aktivitas korporasi menimbulkan kerusakan terhadap alam.Kerusakan alam pada hakikatnya akan berpengaruh buruk terhadap lingkungan dan mahluk hidup didalamnya, termaksud manusia. Tindakan korporasi seperti ini pada akhirnya akan mengancam kelangsungan hidup alam, manusia dan perusahaan itu sendri. Oleh karena itu diperlukan prinsip dan upaya yang mendorong peran korporasi dalam mencegah hal tersebut. Korporasi justru harus berperan aktif dalam melestarikan lingkungan. Dalam prinsip OECD ke 4 tentang peran pemangku kepentingan dalam tatakelola perusahaan yang menyatakan bahwa kerangka CG harus mengakui dan menghormati hak-hak pemangku kepentingan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan atau melalui kesepakatan bersama dan emndorong kerjasama aktif antara perusahaan dan pemangku kepentingan dalam menciptakan kemakmuran, lapangan kerja, serta kelangsungan hidup perusahaan. Peran aktif korporasi dalam melestarikan lingkungan secara tersirat terkandung dalam prinsip OECD ke 4 sub prinsip A. Lingkungan dan Komunitas masyarakat dimana korporasi berada merupakan salah pemangku kepentingan, dan menurut menurut sub prinsip A, seluruh hak pemangku kepentingan yang ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan atau melalui kesepakatan bersama harus dipenuhi. Oleh sebab ini, sesuai dengan sub prinsip A, korporasi harus berperan aktif dalam melestaraikan dan memberdayakan masyarakat. Peran aktif korporasi dalam melestarikan lingkungan salah satunya diwujudkan dalam tanggungjawab social perusahaan dengan anatara lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai.
2
Peran pemangku kepentingan korporasi dihadapkan pada persaingan yang kompetitif, keterbatasan sumberdaya dan perolehan laba untuk meningkatkan kemaksmuran pemegang saham. Oleh sebab itu korporasi melakukan berbagai upaya yang tidak jarang memiliki dampak negative kepada pihak lain, termaksud lingkungan. Tidak sedikit aktivitas korporasi menimbulkan kerusakan terhadap alam.Kerusakan alam pada hakikatnya akan berpengaruh buruk terhadap lingkungan dan mahluk hidup didalamnya, termaksud manusia. Tindakan korporasi seperti ini pada akhirnya akan mengancam kelangsungan hidup alam, manusia dan perusahaan itu sendri. Oleh karena itu diperlukan prinsip dan upaya yang mendorong peran korporasi dalam mencegah hal tersebut. Korporasi justru harus berperan aktif dalam melestarikan lingkungan. Dalam prinsip OECD ke 4 tentang peran pemangku kepentingan dalam tatakelola perusahaan yang menyatakan bahwa kerangka CG harus mengakui dan menghormati hak-hak pemangku kepentingan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan atau melalui kesepakatan bersama dan emndorong kerjasama aktif antara perusahaan dan pemangku kepentingan dalam menciptakan kemakmuran, lapangan kerja, serta kelangsungan hidup perusahaan. Peran aktif korporasi dalam melestarikan lingkungan secara tersirat terkandung dalam prinsip OECD ke 4 sub prinsip A. Lingkungan dan Komunitas masyarakat dimana korporasi berada merupakan salah pemangku kepentingan, dan menurut menurut sub prinsip A, seluruh hak pemangku kepentingan yang ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan atau melalui kesepakatan bersama harus dipenuhi. Oleh sebab ini, sesuai dengan sub prinsip A, korporasi harus berperan aktif dalam melestaraikan dan memberdayakan masyarakat. Peran aktif korporasi dalam melestarikan lingkungan salah satunya diwujudkan dalam tanggungjawab social perusahaan dengan anatara lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai.
3
Dalam hal ini para pemangku kepentingan “ Organ perusahaan” harus berperan aktif dalam mengawal pelaksanaan prinsip OECD ke 4. B. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana Prinsip dan tanggung jawab korporat 2. Untuk mengetahui dan menganalsis Pengakuan dan respect terhadap kepentingan
para
pemangku
kepentingan
(karyawan,
kreditur,
konsumen, pemasok, masyarakat, pemerintah) a. Kebijakan dan program sistematik terhadap para pemangku kepentingan b. Fasilitasi terhadap keluhan pemangku kepentingan 3. Untuk mengetahui dan menganalisis Peran aktif korporat dalam memberantas korupsi 4. Untuk mengetahui dan menganalisis Peran aktif korporat dalam melestarikan lingkungan 5. Untuk mengetahui dan menganalisis Penyaluran pengaduan oleh pemangku kepentingan terhadap kemungkinan kemungkinan pelanggaran aturan/etika oleh orang dalam korporat 6. Untuk mengetahui dan menganalsis Peran akuntan profesional dalam memfasilitasi peran pemangku kepentingan
.
4
BAB II PEMBAHASAN
A. Tanggung Jawab Korporat, Akuntabilitas, dan Pelaporan Korporat
Perusahaan/korporat memiliki tanggung jawab yang lebih luas, yaitu bukan hanya kepada para pemegang sahamnya saja, melainkan kepada seluruh pemangku kepentingan. Tanggung jawab korporat tidak hanya meningkatkan kekayaan pemegang saham, melainkan juga menjamin hak-hak pemangku kepentingan lainnya tidak dilanggar, yaitu diantaranya diwujudkan dalam bentuk tanggung jawab berikut ini: 1. Menghasilkan produk yang berkualitas dan aman. 2. Menggunakan sistem produksi yang ramah lingkungan dan menggunakan sumber daya secara efisien 3. Memperlakukan tenaga kerja sesuai peraturan perundang-undangan dan azas kemanusiaan, termasuk misalnya tidak mempekerjakan anak di bawah umur. 4. Menggunakan bahan baku yang berkualitas, aman dan tidak merusak lingkungan. 5. Memenuhi kewajiban kepada kreditor atas dana yang ditanamkan di perusahaan. 6. Menghindari praktik persaingan usaha yang tidak sehat yang dapat merugikan masyarakat. 7. Mentaati
seluruh
peraturan
perundang-undangan,
seperti
peraturan
perpajakan, serta menghindari praktik yang melanggar ketentuan yang berlaku, seperti transaksi penyelundupan, pelanggaran hak cipta, dan lainnya. 8. Menaati seluruh perjanjian dan atau komitmen dengan berbagai pihak 9. Mengarahkan pembangunan yang bersifat berkelanjutan Utama
(2011)
menyebutkan
bahwa
upaya
manajemen
sangat
mempengaruhi pemenuhan tanggungjawab korporat .Keterbatasan akses
5
informasi menyebabkan pemangku kepentingan tidak dapat mengevaluasi penuh tanggung jawab korporat. Pemangku kepentingan
tidak dapat
memberikan apresiasi atas perusahaan yang telah menjalankan tanggung jawab korporat dengan baik, dan memberikan hukuman atas perusahaan yang tak memenuhinya. Kondisi ini akan menurunkan motivasi perusahaan memenuhi tanggung jawab korporat. Selain itu, keterbatasan akses informasi juga menyebabkan perusahaan dapat melakukan tindakan yang menciderai hak pemangku kepentingan. Oleh sebab itu diperlukan pengungkapan informasi upaya
manajemen/perusahaan
dalam
melaksanakan
tanggung
jawab
korporatnya (Utama. 2011). Utama (2011) menyebutkan terdapat beberapa infrastruktur yang perlu dimiliki untuk mendukung terciptanya pelaporan tanggung jawab korporat yang transparan dan akuntabel, yaitu sebagai berikut: 1. Standar pelaporan tanggung jawab korporat yang berterima umum sebagai acuan pelaporan; 2. Struktur dan mekanisme tata kelola yang mendorong pelaporan tanggung jawab korporat yang akuntabel dan transparan; 3. Pihak eksternal dan independen yang memberikan asersi atas pelaporan tanggung jawab korporat; 4. Peratumn perundang-undangan yang mengatur kewajiban pelaporan tanggung jawab korporat; dan 5. Tekanan publik akan praktik dan pelaporan tanggung jawab korporat
B. Pengakuan dan Penghormatan terhadap kepentingan para pemangku kepentingan
Sebagian kepentingan atau hak pemangku kepentingan diatur dalam ketentuan peraturan perundang undangan. Sebagian Iainnya hanya diatur dalam kesepakatan bersama antara perusahaan dan pemangku kepentingan. Pemenuhan atas kepentingan atau hak pemangku kepentingan tersebut akan menghindarkan perusahaan dari permasalahan hukum dan pelanggaran
6
terhadap kesepakatan. Oleh sebab itu perusahaan harus mengakui dan menghormati kepentingan para pemangku kepentingan tersebut. Hal tersebut ditegaskan dalam beberapa sub-prinsip OECD ke-4 Sub prinsip A menyatakan bahwa hak-hak pemangku kepentingan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau melalui kesepakatan bersama harus dihormati. Sub prinsip B menyebutkan bahwa pengakuan dan penghormatan atas hak-hak pemangku kepentingan tersebut harus disertai dengan kepastian hukum bagi pemangku kepentingan jika hak-haknya tersebut dilanggar. Secara khusus, sub prinsip C menggarisbawahi penghormatan dan pengakuan peran karyawan sebagai salah satu pemangku kepentingan perusahaan melalui pengembangan mekanisme peningkatan kinerja melalui partisipasi karyawan. Demikian juga dengan sub-prinsip F yang secara khusus mengatur tentang pengakuan dan penghormatan
hak
kreditur
melalui
keberadaan
kerangka
penyelesaian kebangkrutan yang efektif dan efisien serta penegakan hokum yang efektif atas hak-hak kreditur Pengakuan dan penghormatan hak pemangku kepentingan untuk ikut serta dalam tata kelola perusahaan di sub—prinsip D, yaitu melalui jaminan akses informasi yang relevan. memadai, andal, tep at waktu,reguler. Di sisi lain, sub-prinsip E, bentuk pengakuan dan penghormatan hak pemangku kepentingan juga ditunjukkan oleh kebebasan pemangku kepentingan, khusunya orang dalam perusahaan untuk mengkomunikasikan dugaan tindakan pelanggaran aturan/etika kepada plhak berwenang. Berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia telah mengatur hak-hak pemangku kepentingan perusahaan, yaitu diantaranya sebagai berikut (World Bank, 2010): 1. UU PT: Kewajiban perusahaan melaksanakan tanggung jawab korporat (Pasal 74) a. Hak pemangku kepentingan untuk mengajukan tuntutan atas kerugian yang disebabkan oleh tindakan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris (Раsal 61, 97, dan 114) serta mengajukan pemeriksaan terhadap Perseroan (Pasal 138)
7
b. Pengungkapan informasl kepada kreditur atas keputusan RUPS terkait penurunan modal dan hak kreditur untuk menolak keputusan RUPS tersebut (Pasal 44 dan 45) 2. UU PM: a. Hak pemangku kepentingan untuk mengajukan tuntutan atas kerugian yang disebabkan kesalahan informasi yang disampaikan perusahaan (Pasal 80) b. Hak pemangku kepentingan untuk mengajukan tuntutan atas kerugian yang disebabkan oleh pelanggaran undang-undang pasar modal (Pasal 111) c. Kewajiban Akuntan yang terdaftar pada OJK yang memeriksa laporan keuangan pihak-pihak yang melakukan kegiatan di bidang pasar modal, untuk menyampaikan pemberitahuan yang bersifat rahasia kepada OJk jika ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
terkait
pasar
modal
atau
hal-hal
yang
membahayakan keadaan keuangan plhak yang dimaksud atau kepentingan para nasabahnya. 3. Peraturan Bapepam-LK X.K.1 tentang keterbukaan informasi yang harus segera diumumkan kepada publik. 4. UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur hak-hak tenaga kerja dan hubungannya pemberi kerja (pengusaha/perusahaan). 5. No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menjadi dasar hukum penyelesaian sengketa pemangku kepentingan selain melalui penuntutan dan mekanisme pengadilan 6. UU no 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban 7. UU no 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun dan Peraturan Pemerintah terkait: a. Keterwakilan pekerja dalam Dewan Pengawas (Pasal 12 dan 13). b. Tanggung jawab manajemen atas kerugian dana pensiun yang disebabkan Karena kelalaian manajemen ( PP no. 76 tauin 1992 tentang
8
Dana Pensiun Pemberi Kerja dan PP N0. 77 tahun 1992 tentang dana pensiun Lembaga Keuangan) 8. UU. No.37 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utan g a. Kewajiban emiten atau perusahaan public menyampaikan laporan keuangan kepada OJK serta memuatnya dalam website perusahaan yang dapat diakses setiap saat b. Kewajiban laporan tahunan perusahaan memuat tanggung jawab social perusahaan . informasi tentang tanggung jawab korporat tersebut mencakup kebijakan, jenis program, dan biaya yang dikeluarkan c. Pengembangan sosial dan kemasyarakatan, seperti penggunaan tenaga kerja local pemerdayaan masyarakat sekitar perusahaan, perbaikan sarana dan prasarana sosial, bentuk donasi lainnya dan lain-lain d. Tanggung jawab produk, seperti kesehatan dan keselamatan konsumen, informasi produk, sarana,jumlah dan penanggulangan atas pengaduan konsumen,
dan
lain-lain.
Emiten atau Perusahaan Publik dapat mengungkapkan informasi tersebut di atas pada laporan tahunan atau laporan tersendiri yang disampaikan bersamaan dengan laporan tahunan kepada OJK, seperti laporan berkelanjutan (sustainability report) atau laporan tanggung jawab social perusahaan (corporate social responsibility report ). Selain berbagai ketentuan di atas, terdapat beberapa peraturan perundangan-undangan lainnya yang juga terkait dengan perlindungan hak-hak pemangku kepentingan, yaitu: 1. UU N0. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 2. UU N0. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Pratik Usaha Tidak Sehat. 3. UU N0. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 20 tahun 2001 yang mengubah UU No. 31 tahun 1999. 4. UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
9
Pengakuan dan penghormatan atas hak pemangku kepentingan tersebut telah diakomodasi dalam Pedoman Umum GCG Indonesia. Pemangku kepentingan mendapatkan perhatian serius dan disebutkan pada hampir seluruh bab dalam Pedoman Umum GCG Indonesia. Namun secara khusus peran pemangku kepentingan diuraikan di Bab VI. Empat kelompok pemangku kepentingan menjadi fokus perhatian Pedoman Umum GCG Indonesia, yaitu karyawan, mitra bisnis, pengguna produk dan jasa, serta masyarakat. Mitra bisnis yang dimaksud dalam pedoman ini adalah pemasok, distributor, kreditur, debitur, dan pihaklainnya yang melakukan transaksi usaha dengan perusahaan. Uraian pedoman pokok pelaksanaan atas peran-peran masing-masing kelompok раda Pedoman Umum ini telah mengakomodasi substansi prinsip OECD ke-4. Pada bagian lain Pedoman Umum GCG Indonesia juga mengatur tentang hal berikut ini (World Bank, 2010): 1. Pada Bab III tentang Etika Bisnis dan Pedoman Perilaku, diuraikan tentang panduan bagi perusahaan dalam menjalankan usaha, termasuk interaksinya dengan para pemangku kepentingan. 2. Mengamhkan perusahaan mengembangkan sistem dapat melindungi pihak yang menjalankan peran sebagai whistleblowerc 3. Mengarahkan pengungkapan informasi yang diperlukan oleh pemangku kepentingan. C. Peran aktif korporat dalam memberantas Korupsi
Korupsi merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak-hak pemangku kepentingan, khususnya masyarakat/publik karena dana yang dikorupsi merupakan sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat/publik dan dikelola negara. Dunia usaha (korporat) sering kali menjadi pendorong tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik. Oleh sebab itu upaya pemberantasan korupsi harus mengikutsertakan peran aktif korporat. Upaya korporat dalam menghindari penyuapan akan menekan peluang pejabat publik melakukan korupsi. Korporasi juga dapat berperan aktif mel aporkan tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik.
10
Prinsip OECD tidak secara eksplisit mengatur tentang peran aktif korporat dalam memberantas korupsi. Namun demikian, Sub Prinsip А dan E mengandung Semangat anti korupsi yang harus dilaksanakan perusahaan. Upaya korporat dalam menghindari tindakan korupsi merupakan penghormah korporat terhadap hak pemangku kepentingan, yaitu negara dan masyarakat (society). Sementara itu, peran aktif korporat menjadi whistleblower atas dugaan tindakan korupsi merupakan salah satu bentuk implementasi sub prinsip Е. Peran korporat dalam memberantas korupsi juga dinyatakan dalam Pedoman Umum GCG Indonesia. Рada Ваb 1 tentang Penciptaan Situasi Kondusif untuk Melaksanakan Good Corporate Governance, bagian Pedoman Pokok Pelaksanaan untuk Peranan Dunia Usaha, disebutkan bahwa dunia usaha berperan dalam mencegah terjadinya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Peraturan perundang-undangan di Indonesia belum ada yang secara khusus mengatur peranan korporasi atau dunia usaha dalam memberantasi korupsi. Namun UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 20_tahun 2001 yang mengubah UU N0. 31 tahun 1999, Pasal 20, menyebutkan bahwa korporasi dapat te rlibat dalam tindakan korupsi. D. Peran Aktif Korporasi dalam melestarikan lingkungan
Peran aktif korporasi dalam melestarikan lingkungan secara tersirat terkandung dalam prinsip OECD ke-4, sub-prinsip A. Lingkungan dan komunitas masyarakat dimana korporasi berada merupakan salah satu pemangku kepentingan dan menurut sub-prinsip А, seluruh hak pemangku kepentingan yang ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan atau melalui kesepakan bersama harus dipenuhi. Oleh sebab sesuai dengan sub prinsip A korporasi harus berperan aktif dalam melestarikan lingkungan dan memerdayakan komunikasi masyarakat disekitarnya. Peran aktif korporasi dalam melestarikan lingkungan juga rertuang dalam pedoman umum GCG indonesia. Pedoman pokok pelaksanaan asas responsibilitas menyatakan bahwa perusahaan harus melaksanakan tanggung
11
jawab sosial dengan antara lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama disekitar рeruusahaan dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai. Selain itu, pada bab tentang organ perusahaan, bagian Pedoman Pokok Pelaksanaan untuk organ Direksi, sub-bagian tanggung jawab social, salah satu fungsi pengelolaan perusahaan yang diemban Direksi adalah terkait dengan tanggung jawab sosial, yaitu: 1. Dalam rangka mempertahankan kesinambungan usaha perusahaan, Direksi harus dapat memastikan dipenuhinya tanggung jawab sosial pemisahaan; 2. Direksi harus mempunyai perencanaan tertulis yang jelas dan fokus dalam melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Dalam UU PT juga terdapat beberapa pengaturan terkait peran aktif perusahaan dalam melestarikan lingkungan dan melaksanakan tanggung jawab sosial, yaitu sebagai berikut: 1. Pasal 66 ayat 2 menegaskan bahwa laporan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan informasi minimum yang harus disaji kan perusahaan dalam laporan tahunannya. 2. ВАВ V secara khusus membahas tentang kewajiban perusahaan melaksanakan tanggung jawab social dan lingkungan bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. Selain mematuhi UU PT, peran aktif perusahaan dalam melestarikan lingkungan juga dilakukan dengan memenuhi UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Perusahaan juga harus mentaati peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan lingkungan. Peran aktif perusahaan dalam melestarikan lingkungan dapat diwujudkan melalui beberapa aktivitas sebagai berikut: 1. Penciptaan produk yang ramah lingkungan (misalnya produk yang mudah untuk didaur ulang). 2. Penggunaan sistem produksi yang efisien dalam mengkonsumsi sumber daya (misalnya hemat bakar bakar, hemat listrik, air, dan lainnya)
12
3. Penggunaan sistem pengelolaan рolusi yang aman dan efektif. 4. Penggunaan bahan baku secara efisien dan bahan baku ramah lingkungan. 5. Pelaksanaan program restorasi sumber daya alam yang dikonsumsi dalam proses produksi (misalnya restorasi hutan atau restorasi kawasan tambang). 6. Pemberdayaan ekonomi komunikasi dan masyarakat berbasis kemandirian dan pembangunan berkelanjutan.
E. Penyaluran
pengaduan
oleh
pemangku
kepentingan
terhadap
kemungkinan pelanggaran aturan/etika oleh orang dalam korporat
Prinsip OECD ke-4, sub-prinsip Е, menegaskan bahwa untuk mewujudkan tata kelola perusahaan yang baik, maka perlu dilakukan upaya yang memungkinkan para pemangku kepentingan, termasuk karyawan,secara individu
dan
lembaga
yang
mewakilinya,
dapat
secara
bebas
mengkomunikasikan kemungkinan tindakan pelanggaran aturan/etika kepada Board (Dewan Komisaris atau lembaga yang diberi kewenangan ini, misalnya Komite Audit) dan mendapatkan perlindungan atas pelaksanaan haknya tersebut. Pelanggaran aturan/etika oleh pimpinan perusahaan memiliki dampak negatif yang sangat besar, baik bagi perusahaan maupun pemegang saham. Oleh sebab itu perusahaan dan pemegang saham seharusnya memiliki kepentingan yang sama atas penerapan prinsip ini. Menurut OECD, di beberapa negara, peraturan perundang-undangan mendorong Dewan Komisaris untuk memberikan perlindungan kepada pihak pelapor atau whistleblower, dan memberikan akses langsung yang bersifat rahasia kepada anggota komisaris yang independen, anggota komite audit, atau komite etika. Beberapa perusahaan juga dapat mengembangkan unit yang berperan sebagai ombudsman atas keluhan-keluhan yang disampaikan. Beberapa regulator juga membuat jalur telepon dan email pengaduan yang bersifat rahasia. OECD menegaskan perlindungan yang sama harus diberikan baik kepada whistleblower yang merupakan institusi maupun individu. Jika mekanisme di dalam perusahaan tidak dapat memfasilitasi mekanisme whistleblowing atau penangangan tidak dilakukan dengan memadai, maka
13
whistleblower dapat melaporkannya kepada pejabat publik yang berwenang. Perusahaan tidak boleh melakukan tindakan hukuman atau tindakan diskriminatif terhadap whistleblower. Pedoman Umum GCG Indonesia telah mengatur tentang whistleblower pada beberapa bagian, yaitu sebagai berikut: 1. Bab 1 tentang Pedoman Pokok Pelaksanaan Peranan Negara, disebutkan bahwa Negara didorong memberlakukan peraturan perundang-undangan untuk melindungi saksi dan pelapor (whistleblower) yang memberikan informasi mengenai suatu kasus yang terjadi pada perusahaan. Pemberi informasi dapat berasal dari manajemen, karyawan perusahaan atau pihak lain. 2. ВаЬ 3 tentang Pedoman Pokok Pelaksanaan, Pedoman Perilaku, Fungsi Pedoman Perilaku, disebutkan bahwa pedoman perila ku mencakup panduan tentang benturan kepentingan, pemberian dan penerimaan hadiah dan donasi, kepatuhan terhadap peraturan, kerahasiaan informasi, dan pelaporan terhadap perilaku yang tidak etis. 3. Ваb 3 tentang Pedoman Pokok Pelaksanaan, Pedoman Perilaku, pelaporan atas pelanggaran dan perlindungan bagi pelapor, disebutkan bahwa: a. Dewan Komisaris berkewajiban untuk menerima dan memastikan bahwa pengaduan tentang pelanggaran terhadap etika bisnis, pedoman perilaku, peraturan perusahaan dan peraturan perundang-undangan, diproses secara wajar dan tepat waktu; b. Setiap perusahaan harus menyusun peraturan yang menjamin perlindungan
terhadap
individu
yang
melaporkan
terjadinya
pelanggaran terhadap etika bisnis, pedoman perilaku, peraturan perusahaan dan peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanannya, Dewan Komisaris dapat memberikan tugas kepada komite yang membidangi pengawasan implementasi GCG. Pedoman Umum GCG Indonesia mendorong keberadaan mekanisme whistleblowing dan perlindungan terhadap whistleblower secara sukarela (voluntary) dan tidak ada kewajiban bagi perusahaan untuk menerapkannya.
14
Namun demikian, dalam Peraturan Bapepam-LK X.K.6 disebutkan bahwa jika emiten atau perusahaan publik memiliki sistem whistleblowing, maka perusahaan wajib mengungkapkannya dalam laporan tahunan sebagai komponen dari informasi tentang tata kelola perusahaan. Informasi tentang sistem whisleblowing yang wajib diungkapkan antara lain meliputi: (a) cara penyampaian laporan pelanggaran (b) perlindungan bagi pelapor (c) penanganan pelaporan (d) pihak yang mengelola pengaduan (e) hasil dari penanganan pengaduan. Saat ini belum terdapat UU yang secara khusus mengatur tentang perlindungan hukum whisleblower. UU yang ada saat ini baru mengatur tentang perlindungan saksi dan korban secara umum, yaitu UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Lebih lanjut, pada tahun 2011 terdapat beberapa aturan kesepakatan yang diterbitkan untuk memberikan perlindungan kepada whisleblower, namun hanya untuk tindak pidana tertentu, yaitu: 1. Peraturan Bersama : (1) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia; (2) Jaksa Agung Republik Indonesia; (3) Кepala Polisi Negara Republik Indonesia; (4) Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia dan (5) Кеtua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik indonesia) 2. Surat Edaran Кеtua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whisleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama ( Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu F. Peran Akuntan Profesional
Akuntan profesional dapat berperan aktif dalam mewujudkan prinsip peran pemangku kepentingan diantaranya, namun tidak terbatas pada: 1. Mendorong pengungkapan tentang pemenuhan tanggung jawab korporat.
15
2. Membangun sistem pengendalian internal perusahaan yang menjamin ketaatan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan, kontrak perjanjian, serta norma-norma yang berlaku. 3. Membangun sistem yang menghubungkan remunerasi karyawan dengan kinerja jangka panjang perusahaan sehingga dapat meningkatkan partisipasi karyawan dalam tata kelola perusahaan. 4. Membangun sistem informasi yang menjamin pengungkapan informasi yang tepat waktu dan andal kepada seluruh pemangku kepentingan. 5. Membangun sistem whistleblowing yang andal dan aman bagi para pihak yang menjalankan peran sebagai whistleblower dan informatif bagi pihak berwenang untuk menindaklanjuti informasi yang diperoleh. 6. Mendorong pengungkapan informasi yang relevan dan andal dalam kerangka penyelesaian kebangkrutan perusahaan, untuk melindungi para pemangku kepentingan, khususnya kreditur.
G. Pelaksanaan prinsip peran pemangku kepentingan di Indonesia 1. Profil Kasus Kusno duaji
Komjen Pol (Purn.) Drs. Susno Duadji, S.H, M.Sc.(lahir di Pagar Alam, Sumatera Selatan, 1 Juli 1954; umur 59 tahun) adalah mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri (Kabareskrim Polri) yang menjabat sejak 24 Oktober 2008 hingga 24 November 2009. Sebelumnya, ia menjabat seb agai Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kapolda Jawa Barat.Lulus dari Akabri Kepolisian 1977, Susno yang menghabiskan sebagian kariernya sebagai perwira polisi lalu lintas, dan telah mengunjungi 90 negara untuk belajar menguak kasus korupsi. Kariernya mulai meningkat ketika ia dipercaya menjadi Wakapolres Yogyakarta, dan berturut-turut setelah itu Kapolres di Maluku Utara, Madiun, dan Malang. Susno mulai ditarik ke Jakarta, ketika ditugaskan menjadi kepala pelaksana hukum di Mabes Polri dan mewakili institusinya membentuk KPK pada tahun 2003. Tahun 2004 ia ditugaskan di Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Sekitar tiga tahun di
16
PPATK, Susno kemudian dilantik sebagai Kapolda Jabar dan sejak 24 Oktober 2008 menggantikan Irjen Pol Soenarko Danu Ardanto. Ia menjadi Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri menggantikan Bambang Hendarso Danuri.Susno Duadji sempat menyatakan mundur dari jabatannya pada tanggal 5 November 2009, akan tetapi pada 9 November 2009 ia aktif kembali sebagai Kabareskrim Polri. Namun demikian, pada 24 November 2009 Kapolri secara resmi mengumumkan pemberhentiannya dari jabatan tersebut. Kode sebutan (call sign) Susno sebagai "Truno 3" atau orang nomor tiga paling berpengaruh di Polri setelah Kapolri dan Wakapolri, menjadi populer di masyarakat umum setelah sering disebut-sebut terutama dalam pembahasan kasus kriminalisasi KPK. Meskipun demikian, kode resmi untuk Kabareskrimsesungguhnya adalah "Tribrata 5", sedangkan Truno 3 adalah kode untuk Direktur III Tipikor (Tindak Pidana Korupsi). Riwayat karir Susno Duadji sebelum menjabat sebagai Kabareskrim Polri, sbb: a. Pama Polres Wonogiri tahun 1978 b. Kabag Serse Polwil Banyumas tahun 1988 c. Waka Polres Pemalang tahun 1989 d. Waka Polresta Yogyakarta tahun 1990 e. Kapolres Maluku Utara tahun 1995 f. Kapolres Madiun tahun 1997 g. Kapolres Malang tahun 1998 h. Waka Polwitabes Surabaya tahun 1999 i.
Wakasubdit Gaptid Dit Sabhara Polri tahun 2001
j.
Kabid Kordilum Babinkum tahun 2001
k. Kabid Rabkum Div Binkum Polri tahun 2001 l.
Kapolda Jawa Barat tahun 2008
2. Kronologi Kasus Whistle-blowing Susno Duadji
17
Secara keseluruhan, ada setidaknya empat kasus yang membuat Susno Duadji disorot oleh media. Kasus-kasus tersebut adalah: kasus korupsi pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan, kasus pembunuhan yang melibatkan mantan Ketua KPK Antasari Azhar, kasus kriminalisasi petinggi KPK, kasus dana Bail-out Bank Century, dankasus penggelapan pajak Gayus Tambunan. Setelah banyak berbicara di depan umum, terutama setelah beliau mundur dari Bareskrim, ia justru dijerat kasus atas suap dan dana pengamanan Pilkada Jawa Barat (saat ia masih menjabat Kapolda Jabar). Berikut kronologi lengkapkasus yang melibatkan Susno Duadji baik beliau sebagai saksi, sebagai Kepala Bareskrim ataupun sebagai tersangka. 16 Juli 2008
: Yusuf Erwin Faisal, mantan ketua Komisi IV DPR, ditahan KPK karena diduga menerima uang suap alih fungsi lahan untuk dijadikan Pelabuhan Tanjung Api-api, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
29 Juli 2008
: KPK menggeledah ruang kerja Yusuf di gedung PT Masaro Radiokom di Jalan Talang Betutu 11A, Jakarta Pusat. Sebanyak sembilan dus dokumen disita.
30 Juli 2008
: Setelah penggeledahan tersebut, KPK menemukan kasus baru, yakni dugaan korupsi pengadaan alat Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan yang melibatkan Yusuf dan Direktur PT Masaro Anggoro Widjojo.\
15 Agustus 2008: KPK menggeledah kantor Departemen Kehutanan, termasuk ruang Setjen Dephut. 10 Oktober 2008: Ketua KPK Antasari Azhar bertemu dengan Anggoro di Singapura. 13 Oktober 2008: Wakil Ketua Komisi IV DPR Suswono, setelah diperiksa oleh KPK, mengatakan proyek SKRT senilai Rp 730 miliar dengan Motorola harus dinegosiasikan ulang. 14 Oktober 2008: Anggota Komisi Kehutanan DPR Tamsil Linrung,
18
menyerahkan dokumen ke KPK berisi dugaan korupsi kasus SKRT pada 2007 senilai Rp 180 miliar dan laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2007 tentang pembelian alat komunikasi fiktif Rp 13 miliar. 20 Oktober 2008: Menteri Kehutanan M.S. Kaban diperiksa KPK terkait dengan kasus suap yang melibatkan anggota Komisi Kehutanan DPR Periode 1999-2004. 7 April 2009
: Kabareskrim Polri, Komjen Pol Drs Susno Duadji SH Msc mengirim surat ke Direksi Bank Century tentang hasil klarifikasi uang milik PT Lancar Sampoerna Bestari (perusahaan milik Boedi Sampoerna) di bank tersebut.\
4 Mei 2009
: Antasari Azhar ditahan di Polda Metro Jaya sebagai tersangka kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.
16 Mei 2009
: Antasari membuat testimoni tentang penerimaan uang sebesar Rp6,7 miliar oleh sejumlah pimpinan KPK dari balik penjara. Dia juga mengaku pernah menemui Anggoro di Singapura.
24 Juni 2009
: Anggoro ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pengadaan alat Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan yang melibatkan Yusuf dan Direktur PT Masaro Anggoro Widjojo. Dia diduga menyuap Yusuf senilai 60.000 dollar Singapura dan Rp 75 juta untuk mendapatkan proyek pengadaaan alat SKRT tahun 2006-2007 di Departemen Kehutanan sebesar Rp 180 miliar.
30 Juni 2009
: Susno
merasa
teleponnya
disadap
terkait
kasus
penggelapan dana bank Century yang ditangani Mabes Polri. Saat itulah meluncur pakem Cicak Lawan Buaya. “Masak cicak kok berani lawan buaya,” katanya merespon adanya penyadapan tersebut. 2 Juli 2009
: Bibit Samad Rianto memastikan KPK hanya menyadap
19
pihak yang terindikasi korupsi. 6 Juli 2009
: Antasari secara resmi melaporkan dugaan suap terhadap pimpinan KPK terkait kasus yang melibatkan PT Masaro ke Polda Metro Jaya.
9 Juli 2009
: KPK memasukkan Anggoro ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan mengumumkannya ke seluruh jajaran kepolisian dan kejaksaan di Indonesia. Anggoro masih berada di Singapura.
10 Juli 2009
; Kabareskrim Susno Duadji menemui Anggoro di Singapura untuk mengklarifikasi kebenaran laporan mantan Ketua KPK Antasari Azhar terkait dugaan pemerasan/penyuapan yang dilakukan Chandra dan Bibit.
15 Juli 2009
: Anggodo Widjojo (adik Anggoro) dan Ary Mulyadi membuat pengakuan dirinya menyerahkan uang suap sebesar Rp. 5,1 miliar ke pimpinan KPK Bibit dan Chandra.
21 Juli 2009
: KPK temukan surat pencabutan pencekalan palsu terhadap Anggoro.
7 Agustus 2009 : Polisi
memperoleh
fakta
adanya
tindak
pidana
penyalahgunaan wewenang oleh Bibit dan Chandra terkait pencekalan dan pencabutan cekal yang tidak dilakukan secara kolektif. Chandra cekal Anggoro, Bibit cekal Joko Tjandra, lalu Chandra cabut pencekalan terhadap Joko. 20 Agustus 2009: Ary Mulyadi mencabut pengakuannya dan menyatakan tidak pernah memberikan uang ke pimpinan KPK, tapi menyerahkannya ke pengusaha bernama Yulianto yang mengaku
kenal
dengan
orang
KPK.
Pengakuan
sebelumnya dibuat karena adanya pesanan dengan jaminan dirinya tidak akan ditahan. 3 Sept 2009
: Polri memanggil keempat pimpinan KPK KPK (Chandra M Hamzah, Bibit Samad Rianto, M Jasin dan Haryono
20
Umar) dan empat pejabat lainnya terkait testimoni Antasari. KPK tidak penuhi panggilan Polri. 9 Sept 2009
: Bibit mengaku KPK sedang menyelidiki keterlibatan seorang petinggi Polri berinisial SD dalam kasus bank Century.
11 Sept 2009
: Polisi mulai memeriksa keempat pimpinan KPK terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pencekalan Anggoro Widjojo dan Joko Tjandra.
15 Sept 2009
: Bibit dan Chandra ditingkatkan statusnya dari saksi menjadi
tersangka
dalam
kasus
penyalahgunaan
Keppres
pemberhentian
wewenang. 21 Sept 2009
: Presiden
mengeluarkan
sementara Bibit dan Chandra. Presiden juga meneken Perppu yang memungkinkan penunjukan langsung Plt Pimpinan KPK. 25 Sept 2009
: Kuasa hukum KPK Bambang Widjajanto mengaku tidak menerima salinan BAP Bibit Chandra dan curiga ada rekayasa dalam kasus ini.
2 Oktober 2009 : Pengacara Bibit melaporkan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Kabareskrim Mabes Polri Susno Duadji ke Presiden SBY dan Kapolri Bambang Hendarso Danuri. 3 Oktober 2009 : Berkas Bibit dan Chandra diserahkan ke Kejaksaan Agung. 5 Oktober 2009 : Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Mabes Polri yang memeriksa Susno mengumumkan tidak ada penyalahgunaan wewenang terkait penanganan kasus Bibit-Chandra. Saat itu, tambahan delik pertemuan SusnoAnggoro
di
Singapura
tidak
disertakan
dalam
pemeriksaan. 9 Oktober 2009 : Kejagung mengembalikan berkas Chandra ke Mabes Polri karena belum lengkap.
21
15 Oktober 2009: Pengacara Bibit-Chandra mengaku punya bukti kuat yang menunjukkan adanya rekayasa kriminalisasi terhadap kliennya. 20 Oktober 2009: Kejagung mengembalikan berkas Bibit dan Chandra ke Mabes Polri karena belum lengkAP 20 Oktober 2009: Polri menjelaskan pertemuan antara Susno dan Anggoro di Singapura tidak melanggar hukum. Pasalnya, status Anggoro di Kepolisian bukanlah tersangka, melainkan hanya
sebagai
saksi
dalam
kasus
dugaan
pemerasan/penyuapan yang dilakukan Bibit dan Chandra. 21 Oktober 2009: Bibit mengatakan bukti rekaman percakapan pejabat Polri dan Kejagung ada di tangan Ketua Sementara KPK. 22 Oktober 2009: Kapolri tolak berkomentar soal rekaman percakapan. 23 Oktober 2009: Transkrip rekaman rekayasa kriminalisasi KPK beredar di media massa. Isinya percakapan antara Anggodo (adik Anggoro) dengan mantan Jamintel Wisnu Subroto dan Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga. Percakapan pada Juli-Agustus 2009 itu disebut-sebut merancang kriminalisasi KPK. Nama petinggi kepolisian dan RI 1 juga disebut. 29 Oktober 2009: Dalam putusan selanya, MK menunda pemberhentian pimpinan KPK yang menjadi terdakwa sampai ada putusan akhir MK. Selain itu, MK juga meminta KPK menyerahkan semua dokumen berupa transkrip dan rekaman. 29 Oktober 2009: Bibit dan Chandra ditahan di Markas Komando Brimob Kelapa Dua Depok. Polisi menilai kedua tersangka melakukan tindakan mempersulit jalannya pemeriksaan dengan
menggiring
opini
publik
melalui
pernyataan=pernyataan di media serta forum diskusi. 2 Nov 2009
: Presiden SBY bentuk Tim Delapan (Tim Independen
22
Klarifikasi Fakta dan Proses Hukum Kasus Bbibt dan Chandra) yang diketuai oleh Adnan Buyung Nasution. Anggota
tim:
mantan
anggota
Komnas
HAM
Koesparmono Irsan, staf khusus Presiden bidang hukum Denny Indrayana, mantan Dekan FHUI Hikmahanto Juwana, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, Rektor
UniversitasIslam
Negeri
(UIN)
Jakarta
Komaruddin Hidayat dan Ketua Departemen Hukum Partai Demokrat Amir Syamsudin. 2 Nov 2009
: Kapolri meminta maaf atas munculnya istilah Cicak dan Buaya yang menurutnya dilontarkan oleh oknum polisi. Kapolri akan mengambil tindakan tegas atas munculnya istilah yang telah menyudutkan institusi kepolisian tersebut. Masyarakat diminta tidak lagi menggunakan istilah “Cicak dan Buaya”.
3 Nov 2009
: Penahanan
Bibit-Chandra
ditangguhkan.
Keduanya
keluar dari penjara pada dini hari. Beberapa jam kemudian, Mahkamah Konstitusi memperdengarkan rekaman sepanjang 4,5 jam dalam persidangan uji yang berisi percakapan antara Anggodo dengan sejumlah petinggi di Kejaksaan Agung dan Mabes Polri. 3 Nov 2009
: Pada hari yang sama, Presiden SBY mengaku terganggu dengan maraknya penggunaan istilah cicak versus buaya. Sementara itu, Polri periksa Anggodo Widjojo terkait rekaman pembicaraannya dengan sejumlah petinggi Polri dan Kejagung.
4 Nov 2009
: Tim Delapan bertemu dengan Kapolri di kantor Wantimpres dan merekomendasikan tiga hal, yaitu penangguhan
penahanan
pembebastugasan
Susno,
Bibit dan
dan
Chandra,
penahanan Anggodo
Widjojo. Sementara itu, Ary Muladi mendatangi kantor
23
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK); dan Anggodo Widjojo ternyata tidak ditahan dan diam-diam meninggalkan Bareskrim Polri pukul 21.25. 5 Nov 2009
: Kabareskrim Polri Susno Duadji dan Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga mengundurkan diri dari jabatan.
24 Maret 2010 ; Susno ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik dan penghinaan Brigadir Jenderal Edmon Ilyas dan Brigadir Jenderal Raja Erizman. Sebelumnya, Susno memaparkan keterlibatan dua jenderal bintang satu itu dalam kasus misteri dana pajak Rp 25 miliar yang dimiliki mafia pajak Gayus Tambunan. 12 April 2010
: Susno ditangkap Propam Mabes Polri di Bandara Terminal II D SoekarnoHatta saat hendak berangkat ke Singapura untuk berobat. Dia dinilai bersalah kar ena pergi ke luar negeri tanpa izin pimpinan. Proses penangkapan disiarkan secara eksklusif oleh Metro TV.
10 Mei 2010
: Susno jadi tersangka kasus penanganan perkara PT Salmah Arowana Lestari (SAL) senilai Rp 500 miliar, dan kasus dana pengamanan Pilkada Jabar 2008 senilai Rp 8 miliar.
29 Sept 2010
: Susno menjalani sidang pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan dakwaan menerima suap untuk memperlancar kasus PT SAL, dan pemotongan serta pengamanan Pilgub Jabar.
24 Maret 2011 : Pengadilan Negeri memvonis Susno dengan hukuman 3 tahun 6 bulan penjara, denda Rp 200 juta dan membayar kerugian negara sebesar Rp 4 miliar atau penjara 1 tahun. Susno mengajukan banding. 9 Nove 2011
: Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan keputusan PN Jakarta Selatan dalam kasus korupsi dana pengamanan Pilkada Jawa Barat, dengan menambahkan jumlah
24
kerugian negara yang harus dibayar menjadi Rp 4,2 miliar. Putusan
ini
tertuang
dalam
PT
DKI
No.35/PID/TPK/2011/PT.DKI a.n. Drs Susno Duadji SH MH MSc. 8 Des 2011
: Tim Kuasa Hukum Susno mendaftarkan kasasi kasus penggelapan dana pengamanan Pemilihan Umum Kepala Daerah Jawa Barat.
22 Nov 2012
: Agung menolak kasasi Susno lewat putusan nomor 899K/Pid.Sus/2012.
6 Des 2012
: Susno mengatakan sangat menghormati putusan kasasi dan akan taat hukum. “Tidak usah khawatir saya akan lari. Pengacara saya sudah beri jaminan. Kami sudah hubungi eksekutor, Kejari Jaksel. Bahwa Susno Duadji siap setiap saat dan kalau bisa secepat mungkin dieksekusi, asal surat resminya sudah ada. Malam ini pun siap,” tandasnya.
11 Feb 2013
: Putusan kasasi diterima Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat yang langsung melayangkan surat panggilan eksekusi pertama ke terpidana Susno Duadji. Pada saat yang sama,Susno mengirimkan surat ke kejaksaan yang isinya: meminta petikan putusan kasasi dan siap dieksekusi
5 Maret 2013
: Pengacara Susno, Fredrich Yunadi, menolak memenuhi panggilan eksekusi karena dalam putusan MA tidak ada perintah penahanan badan seperti diatur dalam pasal 197 ayat 1 huruf k KUHAP.
13 Maret 2013 : Kejaksaan melayangkan surat panggilan kedua. 19 Maret 2013 : Kejaksaan, untuk terakhir kalinya, melayangkan surat panggilan ketiga. Susno bergeming. Dia tetap menolak dipenjara. 10 April 2013
; Video pernyataan Susno ditayangkan di YouTube. Dia mengawali testimoninya dengan menceritakan kasuskasus besar yang dihadapi saat menjabat Kabareskrim
25
(Bank Century, Gayus Tambunan, Antasari Azhar), dan memaparkan alasannya menolak dieksekusi kejaksaan. 24 April2013
; Tim kejaksaan mendatangi kediaman Susno di Bandung (Jalan Dago Pakar Nomor 6, Ciburial, Cimenyan) sekitar pukul 10.20 WIB. Susno dan jaksa sempat bersitegang karena Susno menolak dieksekusi. Kuasa hukum Susno, Fredrich Yunadi, dan Ketua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra pun mendatangi kediaman Susno. Massa dari organisasi masyarakat juga memenuhi kediaman mantan Kapolda Jabar itu. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, Susno akhirnya dibawa ke Mapolda Jabar pada sore harinya.
29 April 2013
: Kejaksaan Agung menetapkan Susno sebagai buronan, setelah sehari sebelumnya tidak menemukan Susno di dua rumahnya di Wijaya dan Cilandak (Jalan Wijaya X No 1, Jakarta Selatan; Jalan Abuserin No 2b Cilandak, Fatmawati, Jakarta Selatan).
30 April 2013
: Pengacara Yusril Ihza Mahendra menayangkan artikel di Kompasiana Konsisten?“.
berjudul Dia
“Mengapa mengkritik
Kejaksaan
Tidak
kejaksaan
yang
membatalkan putusan PK Mahkamah Afung karena tidakkarena tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat 1 huruf d KUHAP. “Kalau Putusan Tommy Suharto tidak mememuhi ketentuan Pasal 197 ayat (2) huruf d, sementara Putusan Susno tidak memenuhi ketentuan yang sama huruf k KUHAP, yang menurut PS 197 ayat 2 samasama batal demi hukum,” tulisnya. 1 Mei 2013
: Kabiro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Ridwan Mansyur menerangkan, penolakan kasasi oleh MA dapat dimaknai bahwa Kejaksaan harus melaksanakan Putusan Pengadilan Tinggi. Sementara mantan Ketua Mahkamah
26
Agung
Harifin
Andi
Tumpa
menandaskan,
tidak
dicantumkannya Pasal 197 ayat 1 huruf (k) tidak membuat putusan cacat hukum karena pasal itu bersifat alternatif, artinya tidak mutlak dan sifatnya pesistis. 2 Mei 2013
: Susno menyerahkan diri dan dijemput oleh tim kejaksaan yang ditunjuk Jaksa Agung Basrief Arief secara diamdiam (karena waktu itu Kejagung dan Polri masih memburunya sebagai buronan). Dia lalu dijebloskan ke LP Cibinong Klas II B, persis seperti permintaan yang disampaikan kuasa hukum keluarganya kepada Jaksa Agung, beberapa jam sebelumnya. Kuasa Hukum Susno mengatakan akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
3 Mei 2013
: Presiden SBY angkat bicara. Dia meminta kasus Susno ditangani secara profesional dan proporsional sesuai dengan asas hukum yang berlaku. Sementara itu, Yusril Ihza Mahendra menilai langkah Susno menyerahkan diri untuk dieksekusi tidak menunjukkan dirinya bersalah. Dia menyerahkan diri karena berhadapan dengan kekuasaan dan pembentukan opini luar biasa yang menyalahkannya. Pada hari yang sama, KPU memastikan akan mencoret caleg dari Partai BulanBintang ini dari daftar caleg 2014. Menurut Susno, kasus yang menjeratnya merupakan hasil rekayasa Polri sebagai pembalasan atas pengakuannya terkait kasus mafia hukum. Pada Maret 2010, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menjatuhkan vonis kepada Susno penjara 3,5 tahun dan denda Rp 200 juta dalam kasus penyuapan PT SAL. Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa yaitu penjara 7 tahun karena Susno dianggap sebagai justice collaborator. Dalam kasus korupsi dana pengamanan Pemilihan Pilgub Jawa Barat, pengadilan menjatuhkan vonis kepada Susno yang
27
terbukti melanggar Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara. Susno pun mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Banding Susno ditolak PT DKI Jakarta dan kasasinya juga ditolak oleh Mahkamah Agung. Selanjutnya surat panggilan eksekusi dikirimkan kepada Susno, namun Susno menolak memenuhinya walaupun panggilan telah dikirimkan sebanyak tiga kali dan ditetapkan sebagai buronan. Pada Mei 2013, Susno menyerahkan diri dan dijemput oleh tim kejaksaan secara diam-diam karena statusnya yang masih menjadi buronan 3. Kaitan kasus Susno Duadji dengan teori whistle Blowing (Peraturan Perundang-undangan di Indonesia)
“Perlindungan saksi dan korban pada umumnya diatur dalam UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban”. Menurut Pasal 1 Ayat 1 UU No 13 Tahun 2006, Susno Duadji dapat dikatakan sebagai saksi karena beliau dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan atasperkara pidana kasus pajak PT Arwana, penyelewengan dana pengamanan Pilgub Jabar dan mafia hukum.Keterangan yang Susnoyang memainkan peran kunci bagi keberhasilan suatu tuntutan peradilan, sehingga menyebabkan intimidasi langsung berupa penuduhan kasus penerimaan gratifikasi, guna mencegah Susno memberikan kesaksian lebih "Surat keputusan LPSK tanggal 24 Mei 2010
menyatakan
bahwa
Susno
Duadji
adalah
seorang
whistle
blower"Menurut SK LPSK, Susno berhak dilindungi dari intimidasi, ancaman atau lainnya meski beliaudi dalam penjara. Tidak melindungi secara fisik, namunperlindungan prosedural, termasuk permohonan kepada hakim untuk meringankan hukuman. Bukti nyata yaitu hukuman7 tahunpenjara kepada Susno atas kasus penerimaan gratifikasi menjadi 3,5 tahun
28
4. OECD Principles IV “The Role of Stakeholdersin Corporate Governance
“Jika kepentingan stakeholders dilindungi oleh Undang-undang, maka stakeholdersharus memiliki kesempatan untuk menuntut secara efektif hak-hak yang dilanggar” Berdasarkan kasus diatas dapat dilihat bahwa Susno Duadji telah menuntut haknya sebagai pengungkap kasus untuk dilindungi termasuk dari tuduhan kasus penerimaan gratifikasi. Namun menurut kuasa hukumnya, bantuan dari komisi HAM dan LPSK tidak optimal dan cenderung terlambat. Bahkan bantuan LPSK pun tidak dapat membebaskan Susno Duadji dari jeratan vonis penjara.
BAB IV SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan kajian yang sudah diuraikan di pembahasan seblumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: Kasus Susno Duadjimenunjukan potret buram perlindungan negara terhadap seorang whistle blower. Vonis yang dijatuhkan atas Susno lebih rendah
29
dari tuntutan jaksa yaitu penjara 7 tahun karena Susno dianggap sebagai justice collaborator. Tuntutan tersebut adalah hasil dari keterlibatan Susno dalam kasus lain. Namun peraturan belum memberikan gambaran jelas mengenai apakah boleh seorang whistle blower menerima keringanan hukuman atas tindak pidana yang dilakukan terlepas dari kasus yang ia ungkap.Berdasarkan hal ini, LPSK sudah cukup tanggap menyikapi kasus ini hanya berdasarkan peraturan dan undangundang yang sudah ada, namun UU tentang perlindungan saksi dan korban ini tetap perlu di amandemen agar lebih rinci terkait jika terjadi kasus khusus seperti yang dialam Susno Duadji dimana ia merupakan whistleblower namun terbukti menjadi tersangka korupsi juga. Adanya pengurangan hukuman penjara Susno pun diputuskan belum berdasarkan peraturan yangjelas, sehingga perlu dibuat ketentuan terhadap sanksi dan penyikapan padakasus seperti ini.Kebijakan lembaga yurisdiksi sebagai penegak hukum sangat diperlukan pada kasus-kasus whisteblowing seperti kasus Susno Duadji ini agar tidak menimbulkan moral hazard pada para pelapor atau informan
DAFTAR 29PUSTAKA
http://justisiamaabuat.blogspot.co.id/2016/04/prinsip-tanggung-jawab-dewanetika.html diakses tanggal 10 Agustus 2017 Pukul 14.50 WITA http://nyarimakalah.blogspot.co.id/2015/06/makalah-good-corporate-governancedan.html diakses tanggal 10 Agustus 2017 Pukul 14.20 WITA