FIBRILASI ATRIAL PADA HIPERTIROID
PENDAHULUAN
Hipertiroid merupakan gangguan kelenjar tiroid yang memiliki manifestasi kardiovaskular, salah satu di antaranya adalah fibrilasi atrium (FA). Hal ini disebabkan karena secara fisiologis, hormon tiroid memil iki efek langsung terhadap jantung, terhadap sistem saraf simpatis, dan efek sekunder terhadap perubahan hemodinamik. Fibrilasi atrium merupakan suatu kondisi gangguan irama jantung yang paling sering ditemui di dalam praktik sehari-hari dan menyebabkan mortalitas yang dihubungkan dengan tingginya frekuensi emboli. FA terjadi pada lebih dari 15% pasien hipertiroid, dibandingkan hanya 4% pada populasi umum, terutama pada laki-laki dan orang tua. Efek hormon tiroid pada jantung dan pembuluh darah perifer meliputi penurunan resistensi vaskular sistemik, peningkatan laju jantung, dan peningkatan kontraktilitas ventrikel kiri. Jika hal ini dideteksi oleh ginjal, maka sistem renin-angiotensin-aldosteron akan teraktivasi dan absorpsi natrium akan meningkat. T3 juga berperan memproduksi eritropoetin yang akan meningkatkan eritrosit dan menaikkan volume darah dan preload. Kondisi hipertiroid menyebabkan kenaikan cardiac output 50% – 300% 300% dibanding keadaan normal. Patogenesis AF pada hipertiroid belum diketahui pasti dan bersifat multifaktorial. Pengaruh hormon tiroid terhadap waktu aksi potensial otot jantung diduga berpeluang mencetuskan aritmia jantung. Peningkatan kadar T3 menyebabkan durasi potensial aksi miosit lebih pendek pada pasien hipertiroid; mempermudah reentry (masuknya reentry (masuknya kembali gelombang eksitasi yang mengelilingi atrium) dan meningkatkan risiko AF. Beberapa manifestasi klinik pasien AF dengan hipertiroid, yaitu: palpitasi, angina saat latihan, dispneu, cepat lelah, sinkop, atau gejala tromboemboli. Manifestasi lanjut adalah kondisi gagal jantung kongestif karena turunnya curah jantung.
DEFINISI FIBRILASI ATRIAL
Fibrilasi Atrial (FA) didefinisikan sebagai aritmia jantung yang memiliki karakteristik:
1
1.
RR interval yang ireguler dan tidak repetitive pada gambaran EKG
2.
Tidak terdapatnya gelombang P yang jelas pada gambaran EKG
3.
Siklus atrial (interval di antara dua aktivasi atrial) bila dapat dilihat, bervariasi dengan kecepatan >300 x/menit (<200 ms) FA merupakan suatu kondisi aritmia yang berbahaya oleh karena : (1)
ventrikel rate yang cepat dapat mengganggu cardiac output dan berefek terhadap hipotensi dan kongesti `paru khususnya pada pasien dengan hipertiroid dan kekakuan ventrikel kiri di mana kontraksi atrial yang normal dapat secar a signifikan menurunkan pengisian ventrikel kiri dan stroke volume, (2) Hilangnya kontraksi atrial yang menyebabkan stasis darah pada atrium dan dapat meningkatkan resiko trombus, khususnya pada atrium kiri. Emboli pada atrium kiri merupakan penyebab stroke.
DEFINISI HIPERTIROID
Hipertiroid merupakan bentuk tirotoksikosis yang paling sering dijumpai, terjadi akibat kelebihan sekresi tiroksin (T4) atau triiodotironin (T3). Penyakit Graves merupakan penyebab paling umum; sekitar 60% dari hipertiroid disebabkan oleh penyakit Graves. Hipertiroid pada penyakit Graves biasanya disebabkan karena adanya antibodi reseptor TSH yang merangsang aktivitas tiroid secara berlebihan.
PENYEBAB FIBRILASI ATRIAL
Fibrilasi atrial (FA) disebabkan oleh hal yang berhubungan dengan jantung ataupun di luar jantung: 1.
Penyakit jantung yang berhubungan dengan FA -
Penyakit jantung koroner
-
Kardiomiopati dilatasi
-
Kardiomiopati hipertrofik
-
Penyakit katup jantung: reumatik maupun nonreumatik
-
Aritmia jantung: takikardia atrial, fluter atrial, AVNRT, sindrom WPW, sick sinus syndrome
-
Perikarditis
2
2.
Penyakit di luar jantung yang berhubungan dengan FA -
Hipertensi sistemik
-
Diabetes mellitus
-
Hipertiroidisme
-
Penyakit paru: PPOK, hipertensi pulmonal primer, emboli paru akut
- Neurogenik: sistem saraf otonom dapat mencetuskan AF pada pasien yang sensitif melalui peninggian tonus vagal atau adrenergik
KLASIFIKASI ATRIAL FIBRILASI
Secara klinis AF dibedakan menjadi 5 tipe berdasarkan bentuk dan lama aritmia berlangsung. 1.
Setiap pasien yang menunjukkan irama AF yang pertama kali dikategorikan sebagai diagnosis AF pertama kali, terlepas dari durasi aritmia atau bentuk dan keparahan gejala yang ebrhubungan dengan irama AF tersebut.
2.
Paroksismal AF, akan kembali sendiri ke irama normal, biasanya dalam 48
jam. Walaupun AF paroksismal dapat berlangsung hingga 7 hari, patokan 48 jam penting, setelah melewati patokan ini kemungkinan konversi spontan rendah dan antikoagulasi harus dipertimbangkan. 3.
AF persisten , muncul ketika episode AF berlangsung lebih dari 7 hari atau
membutuhkan kardioversi, baik dengan obat atau dengan kardioversi arus searah (DCC). 4.
Long-standing persisten AF, ketika berlangsung AF berlangsung ≥1 tahun
dan ketika telah diputuskan suatu strategi pengendalian ritme. 5.
AF permanen merupakan munculnya aritmia yang sudah dapat diterima
pasien (dan dokter). Intervensi pengendalian irama tidak diterapkan pada pasien dengan AF yang permanen. Selain dari 5 kategori yang disebutkan diatas, yang terutama ditentukan oleh awitan dan durasi episodenya, terdapat beberapa kategori FA tambahan menurut ciri-ciri dari pasien: -
FA sorangan (lone) : FA tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular
lainnya, termasuk hipertensi, penyakit paru terkait atau abnormalitas anatomi jantung seperti pembesaran atrium kiri, dan usia di bawah 60 tahun.
3
-
FA non-valvular: FA yang tidak terkait dengan penyakit rematikm mitral,
katup jantung protese atau operasi perbaikan katup mitral. -
FA sekunder: FA yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi pemicu FA,
seperti infark miokard akut, bedah jantung, perikarditis, miokarditis, hipertiroidisme, emboli paru, pneumonia atau penyakit paru akut lainnya. Sedangkan FA sekunder yang berkaitan dengan penyakit katup disebut FA valvular.
PATOFISIOLOGI FIBRILASI ATRIAL
Sampai saat ini patofisiologi terjadinya FA masih belum sepenuhnya dipahami dan dipercaya bersifat multifaktorial. Dua konsep yang banyak dianut tentang mekanisme FA adalah 1) adanya faktor pemicu (trigger ); dan 2) faktorfaktor yang melanggengkan. Pada pasien dengan FA yang sering kambuh tetapi masih dapat konversi secara spontan, mekanisme utama yang mendasari biasanya karena adanya faktor pemicu (trigger ) FA, sedangkan pada pasien FA yang tidak dapat konversi secara spontan biasanya didominasi adanya faktor-faktor yang melanggengkan. Fibrilasi atrial terjadi jika didapati abnormalitas struktur dan atau elektrofisiologiyang merubah jaringan atrial untuk membentuk impuls abnormal dan atau penyebaran yang abnormal. Kelainan ini disebabkan oleh patofisiologi yang berbeda.
4
Gambar 1. Mekanisme Fibrilasi atrial
Sumber: American Heart Association, 2014
Mekanisme Elektrofisiologi F ibrilasi Atri um
Awitan dan keberlangsungan takiaritmia membutuhkan adanya pemicu (trigger ) dan substrat. Atas dasar itu, mekanisme elektrofisiologis FA dapat dibedakan menjadi mekanisme fokal karena adanya pemicu dan mekanisme reentri mikro (multiple wavelet hypothesis) karena adanya substrat (gambar 2). Meskipun demikian, keberadaan kedua hal ini dapat berdiri sendiri atau muncul bers amaan.
5
Mekanisme fokal Mekanisme fokal adalah mekanisme FA dengan pemicu dari daerah-daerah tertentu, yakni 72% di VP dan sisanya (28%) bervariasi dari vena kava superior (37%), dinding posterior atrium kiri (38,3%), krista terminalis (3,7%), sinus koronarius (1,4%), ligamentum Marshall (8,2%), dan septum interatrium. Mekanisme seluler dari aktivitas fokal mungkin melibatkan mekanisme triggered activity dan reentri. Vena pulmoner memiliki potensi yang kuat untuk memulai dan melanggengkan takiaritmia atrium, karena VP memiliki periode refrakter yang lebih pendek serta adanya perubahan drastis orientasi serat miosit. Pada pasien dengan FA paroksismal, intervensi ablasi di daerah pemicu yang memiliki frekuensi tinggi dan dominan (umumnya berada pada atau dekat dengan batas antara VP dan atrium kiri) akan menghasilkan pelambatan frekuensi FA secara progresif dan selanjutnya terjadi konversi menjadi irama sinus. Sedangkan pada pasien dengan FA persisten, daerah yang memiliki frekuensi tinggi dan dominan tersebar di seluruh atrium, sehingga lebih sulit untuk melakukan tindakan ablasi atau konversi ke irama sinus.
Mekanisme reentri mikro (multiple wavelet hypothesis) Dalam mekanisme reentri mikro, FA dilanggengkan oleh adanya konduksi beberapa wavelet independen secara kontinu yang menyebar melalui otot-otot atrium dengan cara yang kacau. Hipotesis ini pertama kali dikemukakan oleh Moe yang menyatakan bahwa FA dilanggengkan oleh banyaknya wavelet yang tersebar secara acak dan saling bertabrakan satu sama lain dan kemudian padam, atau terbagi menjadi banyak wavelet lain yang terus-menerus merangsang atrium. Oleh karenanya, sirkuit reentri ini tidak stabil, beberapa menghilang, sedangkan yang lain tumbuh lagi. Sirkuit-sirkuit ini memiliki panjang siklus yang bervariasi tapi pendek. Diperlukan setidaknya 4-6 wavelet mandiri untuk melanggengkan FA.
6
Gambar 7. Mekanisme elektrofisiologis fibrilasi atrial. (A) Mekanisme fokal: focus/pemicu (tanda
bintang) sering ditemukan di vena pulmoner. (B) Mekanisme reentri mikro: banyak wavelet independen yang secara kontinyu menyebar melalui otot-otot atrium dengan cara yang kacau. Sumber: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2014
F ibrilasi atrium menyulut F A (AF begets AF ) Konsep FA menyulut FA dikemukakan pertama kali ole h Alessie dkk. dalam sebuah eksperimen pada kambing. Observasi mereka menunjukkan bahwa pemacuan atrium dengan teknik pacurentet (burst pacing) akan menyebabkan FA, yang akan kembali ke irama sinus. Kemudian bila dilakukan pacu-rentet lagi akan muncul FA kembali. Apabila proses ini dilakukan terus menerus, maka durasi FA akan bertambah lama sampai lebih dari 24 jam. Oleh karena itu pada pasien yang mengalami FA paroksismal dapat berkembang menjadi FA persisten atau permanen.
PATOFISIOLOGI FA PADA HIPERTIROID Mekanisme Seluler Hormon Tiroid
Kelenjar tiroid memproduksi hormon triiodotironin (T3) dan levotiroksin (T4) dalam merespon TSH (Thyroid Stimulating Hormone). Kelenjar tiroid awalnya mensekresikan T4 kemudian akan dikonversikan menjadi T3 oleh 5 monodeiodination di hati, ginjal, muskuloskeletal. T3 berperan penting pada jantung karena pada jantung tidak terdapat aktivitas miosin intraseluler yang teriodinisasi secara signifikan. T3 berikatan dengan thyroid hormone nuclear receptors (TRs). Ikatan ini menginduksi thyroid hormone response elements (TREs). TRs berikatan denga TREs sebagai homodimer atau heterodimer.
7
Hormon tiroid berefek pada miosit jantung dan hal ini berhubungan erat dengan fungsi jantung dalam meregulasi struktur dan regulasi gen. Efek T3 ini dapat muncul dengan segera dan tidak berpengaruh terhadap transkripsi TRE. T3 dapat mengubah ion channel pada membran yaitu natrium, kalium, dan kalsium serta adenin nukleotida translokator 1 pada membran mitokondrial dan berbagai pathway sinyal intraseluler jantung.
Efek Hormon Tiroid pada Sistem Kardiovaskuler
Hormon tiroid berefek pada jantung dan pembuluh darah perifer yaitu meliputi penurunan SVR (Systemic Vascular Resistance) dan peningkatan pada heart rate dan kontraktilitas ventrikel kiri serta volume darah. Hormon tiroid menyebabkan penurunan resistensi arteriol perifer melalui efek langsung pada sel VSM (Vascular Smooth Muscle) dan penurunan mean atrial pressure dan ketika hal ini dideteksi oleh ginjal maka sistem renin-angiotensin-aldosteron akan teraktivasi dan absorbsi natrium akan meningkat. T3 juga berperan dalam memproduksi eritropoetin dimana hal ini akan menyebabkan peningkatan eritrosit dan menyebabkan kenaikan blood volume dan preload . Pada kondisi hipertiroid, hal ini menyebabkan kenaikan cardiac output 50% – 300% lebih tinggi dibanding keadaan normal. Pada sel VSM, efek mediasi hormon tiroid merupakan hasil aksi genomik dan nongenomik. Target aksi nongenomik yaitu membran ion channel dan sintesis nitric oxide endotel yang berperan dalam menurunkan SVR. Relaksasi VSM bertujuan untuk menurunkan resistensi dan tekanan arterial yang berakibat terhadap peningkatan cardiac output .
Patogenesis Atrial Fibrilasi pada Hipertiroid
Mekanisme elektrofisiologis fibrilasi atrial diduga karena reentri (masuknya kembali) berbagai gelombang eksitasi yang mengelilingi atrium, sebagai akibat penyebaran (dispersion) yang nonuniform dari kerefraktorian atrium. Secara pasti mekanisme ini belum dapat diketahui, namun kejadiannya mungkin diinisiasi oleh beberapa faktor pencetus seperti kontraksi prematur atrium, terutama pada
8
penderita yang memiliki substrat pokok yang rentan pada atrium. Ada kalanya fibrilasi atrium dapat disebabkan olah peletusan fokus atrium secara rnendadak. Secara normal bagian atrium yang saling berbatasan mempunyai periode refrakter yang sama (waktu setelah depolarisasi ketika miokardium tidak dapat direstimulisasi) dan menyebabkan penyebaran gelombang yang terdepolarisasi secara teratur diseluruh atrium. Reentri dan fibrilasi atrial dipermudah jika bagian atrium yang saling berbatasan memiliki periode refrakter yang berbeda, sehingga sebuah gelombang yang terdepolarisasi menjadi terpecah karena menghadapi baik refrakter maupun miokardium yang mudah terangsang, Hal ini membuat gelombang yang terdahulu membalik dan menstimulasi miokardium yang sebelumnya refrakter, tapi sekarang terepolarisasi, sehingga menyebabkan perambatan yang tak henti-hentinya dari gelombang terdahulu dan reentri. Hormon tiroid memberikan efek multipel pada jantung. Sebagian disebabkan oleh kerja langsung T3 pada miosit, tetapi interaksi antara hormon-hormon tiroid, katekolamin, dan sistem saraf simpatis juga dapat mempengaruhi fungsi jantung, dan juga perubahan hemodinamika dan peningkatan curah jantung yang disebabkan oleh peningkatan umum metabolisme. Konduksi atrium yang lambat juga mempermudah reentri, dan hal ini menjelaskan hubungan yang ada antara potensial aksi yang memendek dan meningkatnya risiko terjadinya fibrilasi atrial pada hipertiroidisme. Iskemia pada atrium serta penyakit jantung yang terkait tidak hanya memberikan sumbangan pada konduksi dan kerefraktorian abnormal atrium tetapi juga meningkatkan frekuensi munculnya faktor pencetus (triggering events). Hipotesis, bahwa fibrilasi atrial akibat hipertiroid berkaitan dengan perubahan ekspresi gen (mRNA) merupakan suatu penjelasan di mana efek hormon tiroid pada ekspresi mRNA meningkat sebesar 1,5Kv dan menurunkan channel kalsium pada ekspresi mRNA. Hormon tiroid berpotensi memberikan efek adrenergik pada jantung. Konsentrasi katekolamin dapat normal atau berkurang pada penderita hipertiroidisme. Mekanisme kerja katekolamin yaitu meningkatkan kepekaan jaringan melalui peningkatan reseptor adrenergik. Hipertiroidisme berhubungan dengan aktivitas vagal dan mengurangi variabilitas denyut jantung. Pada fibrilasi atrial terjadi pelepasan beberapa sitokin. Sitokin tersebut berpengaruh pada pembentukan T3,
9
sehingga pada beberapa pasien fibrilasi atrial akan diikuti dengan penurunan kadar hormon T3. Penurunan hormon tersebut berpengaruh pada transkripsi myosin a dan ß yang merupakan pembentuk utama otot jantung kontraktil, protein retikulum sarkoplasmik, Ca2+ ATP-ASE dan fosfolamban. Masing-masing protein tersebut tergantung pada transkripsi genetik yang diregulasi oleh T3. Di lain pihak penurunan T3 juga dapat menyebabkan peningkatan Ca2+ intraseluler, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kinerja otot jantung maupun kemungkinan timbulnya penyulit fibrilasi atrial melalui terjadinya stunned myocardium dan hybernating cardiac. Pengaruh hormon tiroid terhadap waktu aksi potensial otot jantung juga berpeluang terhadap timbulnya aritmia jantung. Durasi potensial aksi miosit lebih pendek pada hipertiroid dibandingkan dengan eutiroid. Pertukaran ion kalium terlambat dan hal tersebut meningkat pada hipertiroid, dan pertukaran Ltype kalsium berkurang pada hipertiroid sehingga jumlah T3 meningkat yang akhirnya menghasilkan durasi potensial yang memendek. Pada penyakit berat karena sebab apapun, down-regulation hormon tiroid dapat terjadi. Masih belum diketahui bagaimana hal ini akan memengaruhi pasien dengan fibrilasi atrial. Pasien dengan kerusakan fungsi jantung atau mengalami reaksi inflamasi yang berat menunjukkan down-regulation sistem tiroid yang lebih nyata. Tidak ditemukan hubungan dengan enzim-enzim jantung. Pasien dengan riwayat atrial fibrilasi sebelumnya memiliki kadar T3 yang lebih rendah, infark yang lebih kecil, dan kadar protein reaktif C yang lebih tinggi. Selain itu juga terdapat sitokin proinflamasi interleukin-6.
Dapat disimpulkan bahwa sistem hormon tiroid secara cepat
mengalami down-regulation saat terjadi fibrilasi atrial. Kejadian ini bisa bermanfaat saat terjadinya iskemia akut. Pasien dengan angina memiliki kadar interleukin-6 dan protein reaktif C yang lebih tinggi serta sistem hormon tiroid yang lebih tertekan. Penekanan kadar tiroid pada pasien dengan angina mungkin telah terjadi sebelum proses infark dimulai.
PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan AF dengan hipertiroid adalah mengendalikan kondisi hipertiroid ke status eutiroid, lalu mengatasi masalah AF-nya. Beberapa terapi AF dengan hipertiroid:
10
1.
Obat Antitiroid Obat antitiroid yang lazim digunakan adalah PTU yang dimulai dengan dosis 3x100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol yang dimulai dengan dosis 20- 40 mg/hari dalam dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis.
2.
Penghambat Beta Penghambat beta, khususnya propranolol, karena sifatnya nonselektif sehingga dapat diberikan untuk mengendalikan laju jantung dan mengurangi gejala tirotoksikosis. Dosis propranolol yang diberikan adalah 20-80 mg per oral t iap 6 jam. Obat golongan ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan riwayat asma atau PPOK. Sebagai alternatif, dapat diberikan golongan antagonis kalsium non-dihidropiridin (diltiazem dan verapamil).
3.
Digitalis Digitalis (digoksin) dapat memperlambat laju ventrikel, tetapi dibutuhkan dosis yang lebih tinggi (0,25 – 0,5 mg). Resistensi relatif terhadap digitalis disebabkan oleh bertambahnya klirens renal dan peningkatan jumlah Na +K +ATPase pada otot jantung menurunkan sensitivitas otot jantung terhadap digitalis; toksisitas bisa timbul pada dosis terapeutik.
4.
Kardioversi Kardioversi elektrik diindikasikan pada pasien FA dengan gangguan hemodinamik yang disertai tanda iskemik, hipotensi, atau sinkop. Kardioversi elektrik dilakukan dengan dosis 200 J, jika tidak berhasil dapat dinaikkan menjadi 300 J.
5.
Antikoagulan Penggunaan antikoagulan masih diperdebatkan. Meskipun bukti masih kurang, bila ada faktor risiko stroke, terapi antiokagulan oral dianjurkan untuk mencegah
emboli
sistemik.
American
Heart
Association
(AHA)
merekomendasikan aspirin 325 mg/hari untuk pasien FA risiko rendah dan warfarin bagi pasien risiko tinggi yang dapat menerima antikoagulan dengan aman.
11
6.
Ablasi Radioiodine Pada semua pasien dengan komplikasi kardiak, hipertiroid harus ditangani dengan pemberian obat antitiroid, dilanjutkan dengan ablasi radioiodine. Ablasi diindikasikan karena risiko rekurensi kelainan kardiak bila gejala tirotoksikosis kambuh, dapat memperbaiki gejala kardiovaskular termasuk FA pada lebih dari 90% pasien tirotoksikosis dengan keterlibatan kardiak. Pada pasien tertentu dengan struma noduler toksik besar, mungkin diperlukan tiroidektomi.
SIMPULAN
Hipertiroid merupakan suatu kondisi gangguan kelenjar tiroid dengan manifestasi pada beberapa sistem organ, salah satunya sistem kardiovaskular. Fibrilasi atrium (FA) adalah aritmia yang tersering pada hipertiroid, melalui beberapa
patofisiologi
yang
belum
sepenuhnya
diketahui.
Aritmia
ini
meningkatkan mortalitas dan morbiditas, khususnya terkait dengan kejadian str oke. Beberapa gejala klinis dirangkum dalam indeks Wayne untuk penegakan diagnosis secara objektif. Beberapa pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis hipertiroid antara lain pemeriksaan TSH, fT4, dan T3; interval RR ireguler dan hilangnya gelombang P pada EKG merupakan ciri utama AF. Prinsip penatalaksanaan hipertiroid adalah terlebih dahulu mengendalikan kondisi hipertiroid ke status eutiroid, lalu mengatasi masalah fibrilasi atrium.
12
DAFTAR PUSTAKA
Hasan.
R
dan
Fiblia.
2013.
Atrial
Fibrilasi
pada
Hipertiroid.
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/63385/036%20.pdf ?sequence=1, diakses 7 Desember 2017) Nasution, SA, Ranitya, R, dan Ginanjar, E. 2014. Fibrilasi Atrial. Dalam: Setiati, S, Alwi, I, Sudoyo, AW, Simadribata, M, Setiyohadi, B, dan Syam, AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi 6. Interna Publishing. Hal. 1365 – 79. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2014. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium. Putra, BFK. 2017. Fibrilasi Atrium pada Hipertiroid. Cermin Dunia Kedokteran, 44(9): 619 – 21.
13