BAB I PENDAHULUAN
A. Lata Latarr Bela Belaka kang ng
Konsep negara hukum ini tidak terlepas dari falsafah dan sosiopolitik yang melat melatar ar belak belakang anginy inya, a, terut terutam amaa peng pengaru aruh h falsaf falsafah ah indiv individ idul ulism isme, e, yang yang menemp menempatka atkan n individ individu u atau warga warga negara negara sebaga sebagaii primus primus interpares interpares dalam kehidupan bernegara. Unsur pembatasan kekuasaan negara untuk melindungi hak-hak hak-hak indivi individu du menem menempati pati posisi posisi yang yang signifik signifikan. an. Semang Semangat at membata membatasi si kekuasa kekuasaan an negara negara ini semaki semakin n kental kental setelah setelah lahirny lahirnyaa adagiu adagium m yang yang begitu begitu populer populer dari Lord dari Lord Action, Action, yaitu: “Power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely absolutely1 (Manusia (Manusia yang mempunyai mempunyai kekuasaan kekuasaan cenderung cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas (absolut) pasti akan akan disalahgunak disalahgunakan) an)” ”. Salah satu perangkat hukum yang dimaksud adalah hukum pidana yang berfungsi berfungsi sebagai sarana atau alat untuk menjaga menjaga ketertiban dan ketentraman ketentraman di dalam dalam masyara masyarakat kat.. Penerap Penerapan an dari hukum hukum pidana pidana mempun mempunyai yai sifat sifat ultimum remidium artinya artinya hukum hukum pidana pidana baru baru diperg dipergunak unakan an atau diterap diterapkan kan setelah setelah aturan-aturan hukum yang lain tidak mampu menyelesaikan suatu permasalahan yang terjadi di masyarakat.
1
Politik dan Kekuasaan Kekuasaan, (Jakarta: Kompas, 2003), hal. 124-125. Haryatmoko, Etika Politik
1
Sifat dari hukum pidana yang sedemikian tersebut, maka dalam beroperasinya hukum pidana tidak boleh sembarangan, dalam arti harus sesuai dan tunduk pada asas-asas pokok dalam hukum pidana itu sendiri. Pelaku di dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya untuk dapat dikenai sanksi sesuai hukum yang ada harus selalu dalam koridor asas-asas yang telah disepakati. Salah seorang pakar hukum pidana Indonesia Moeljatno, merumuskan hukum pidana meliputi hukum pidana formil dan hukum acara materil (seperti yang dimaksud oleh Enschede-Heijder), yang menurutnya bahwa hukum pidana adalah sebagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara. 2 Di Indonesia, hukum pidana material terbagi atas hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Hukum pidana umum adalah yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan hukum pidana khusus adalah semua peraturan perundang-undangan di luar KUHP beserta peraturan perundang-undangan
pelengkapnya.
Baik peraturan
perundang-undangan
pidana maupun yang bukan pidana tetapi bersanksi pidana. Sedangkan mengenai hukum pidana formalnya tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Eksistensi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai suatu instrumen umum (lex generalis) yang berfungsi untuk mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materil memiliki peran yang penting dan determinan dalam proses penegakan hukum yang didasarkan pada kerangka due process of law. Dirumuskannya KUHAP sebagaimana yang 2
Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Cetakan Ke-7, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 1.
2
diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 merupakan realisasi konkrit dari konsep negara hukum (rechtstaat ). Keberadaan perangkat perundangundangan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta adanya jaminan persamaan kedudukan baik dalam hukum (equality before the law) maupun dalam pemerintahan bagi setiap warga negara, termasuk adanya kewajiban untuk menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tersebut, merupakan karakteristik utama yang melekat pada konsep negara hukum. 3 KUHAP sebagai kaidah hukum publik, maka KUHAP memiliki asas keseimbangan.4 Hal tersebut diartikan bahwa KUHAP selain mengatur mengenai kepentingan masyarakat ( public interest ) yang dilanggar juga mengatur secara seimbang kepentingan pihak yang berstatus sebagai pelaku.5 Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHAP sangat diperlukan institusi-institusi publik mulai dari tahap awal sampai dengan tingkat akhir, yang berupa tahap eksekusi termasuk pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan. Dalam melaksanakan tugas dan peran dari masing-masing institusi publik tersebut tentunya harus berpedoman pada prinsip diferensiasi fungsional dan prinsip saling koordinasi. Kedua prinsip tersebut bertujuan untuk dapat terwujudnya suatu sistem peradilan pidana terpadu atau yang lebih dikenal dengan istilah integrated criminal justice system.6
3
Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, Pembaruan Hukum Acara Pidana (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hal.1. 4 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. (Jakarta: Sinar Grafika, 2003). hal. 38. 5 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana: Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi Dan Putusan Peradilan. (Bandung: Citra Aditya Bakti. 2002), hal. 6 - 7. 6 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 47.
3
Lahirnya KUHAP didasarkan pada dua alasan, yaitu alasan untuk menciptakan suatu ketentuan yang dapat mendukung terselenggaranya suatu peradilan pidana yang adil ( fair trial ) dan alasan adanya urgensi untuk menggantikan produk hukum acara yang bersifat kolonialistik sebagaimana yang tercantum dalam Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Dalam pedoman pelaksanaan KUHAP dijelaskan bahwa sebagai produk dari badan legislatif kolonial maka HIR belum memberikan jaminan dan perlindungan yang cukup terhadap hak asasi manusia. Dengan pertimbangan tersebut maka KUHAP sebagai produk hukum nasional telah merumuskan ketentuan yang lebih baik dari HIR .7 Ketentuan tentang praperadilan dalam KUHAP merupakan suatu lembaga yang memiliki beberapa kewenangan tertentu serta merupakan hal yang menambah perbedaan prinsipil antara KUHAP dengan HIR. Sebagai suatu lembaga baru yang diintrodusir oleh KUHAP maka praperadilan bukan merupakan suatu lembaga yang berdiri sendiri. M. Yahya Harahap, menjelaskan bahwa praperadilan sebagai suatu lembaga baru memiliki karakteristik sebagai berikut :8 1. Eksistensinya merupakan satu kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri; 2. Praperadilan merupakan suatu divisi dari Pengadilan Negeri ;
7
Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Jakarta: 1982), hal.1-2. 8 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan Kembali (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hal.1.
4
3. Konsekuensinya sebagai divisi maka perihal administratif yustisial, personil, peralatan dan finansial menjadi satu dengan Pengadilan Negeri serta berada dibawah pimpinan dan pengawasan termasuk juga pembinaan oleh Ketua Pengadilan Negeri; 4. Perihal tata pelaksanaan fungsi yustisial praperadilan merupakan bagian dari fungsi yustisial Pengadilan Negeri itu sendiri.
Perkembangannya, lembaga praperadilan tersebut memiliki berbagai permasalahan dalam penerapannya. Mulai dari adanya limitasi pemeriksaan jenis upaya paksa yang berupa penangkapan dan penahanan saja dan tidak termasuk penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat sampai dengan ketidakjelasan mengenai interpretasi pihak ketiga yang berkepentingan dalam mengajukan sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Berdasarkan kasus-kasus yang pernah ada, maka hakim tidak memiliki interpretasi yang sama dalam mendefinisikan pihak ketiga yang berkepentingan. KUHAP tidak memberikan penjelasan yang tegas mengenai definisi pihak ketiga yang berkepentingan namun hakim tidak boleh menolak memberikan putusan terhadap suatu perkara praperadilan dengan alasan tidak adanya ketentuan yang memberikan penjelasan yang tegas mengenai pengertian pihak ketiga yang berkepentingan. Dengan adanya ketidakjelasan tersebut maka hakim diwajibkan untuk melakukan penemuan hukum ( rechtsvinding ) dengan metode interpretasi.9
9
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hal.4.
5
Salah satu kasus yang menjadi fokus pembahasan dalam penulisan ini adalah mengenai upaya hukum Pra Peradilan yang dilakukan oleh Anggodo Widjodjo, melalui Kuasa Hukumnya R Bonaran Situmeang & Partner atas dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) Bibid Samad Rianto dan Chandra Hamzah oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Dikeluarkannya SKPP tersebut, pada tanggal 29 Maret 2010, Anggodo Widjodjo, melalui Kuasa Hukumnya R Bonaran Situmeang & Partner selaku Pemohon melakukan permohonan Pra Peradilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dengan Termohon Pra Peradilan adalah Kejaksaan Agung R.I. Cq. Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Cq. Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Sebagai Termohon I dan Kapolri Cq. Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Sebagai Termohon II. 10 Senin, 19 April 2010 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah mengabulkan permohonan pemohon praperadilan Anggodo Widjojo. Hakim Praperadilan
Nugroho
14/Pid/Prap/2010/PN.Jkt.Sel
Setiadi,
dalam
putusannya
tanggal 19 April 2010,
bahwa
Nomor: perbuatan
Termohon I yang mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan atas nama Chandra Martha Hamzah dan Bibit Samad Rianto adalah perbuatan melawan hukum, serta perbuatan Termohon II yang tidak melakukan upaya hukum atas diterbitkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan tersebut sebagai perbuatan melawan hukum. Kemudian dinyatakan juga bahwa Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan atas nama Chandra Martha Hamzah dan
10
Tim Web Kejari Jaksel, “Hakim Pra Peradilan Nugroho Setiadi, SH, Mengabulkan Permohonan Anggodo Widjojo”, www.kejari-jaksel.go.id , diupload tanggal 19 April 2010.
6
Bibit Samad Rianto adalah tidak sah, sehingga Termohon I wajib untuk melimpahkan Berkas Perkara No.Pol.:BP/B.10/2009/Pidkor&Wcc tertanggal 9 Oktober 2009 atas nama Bibit Samad Rianto ke Pengadilan; Dalam memori banding, kejaksaan mempermasalahkan kedudukan hukum (legal standing ) Anggodo Widjojo sebagai pemohon praperadilan SKPP di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selain itu, Kejaksaan juga menyampaikan alasan sosiologis dikeluarkannya SKPP.11 Atas peristiwa tersebut, terdapat ketidakjelasan mengenai legal standing (Kedudukan Hukum) dari Anggodo Widjojo dalam melakukan upaya Permohonan Pra Peradilan atas terbitnya suatu SKPP. Hal ini dikarenakan menurut Pasal 80 KUHAP dinyatakan bahwa, “Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.” Dalam peristiwa Pra Peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut, permohonan Pra Peradilan justru dilakukan oleh Anggodo Widjojo, dengan dasar sebagai
pihak ketiga yang berkepentingan mengajukan
permohonan praperadilan (pretrial) menggugat keabsahan SKPP tersebut. Bonaran Situmeang selaku Kuasa Hukumnya berpendapat bahwa “gugatan praperadilan ini merupakan bentuk upaya pencarian keadilan dari Anggodo Widjojo.”12 Namun, Hakim Pengadilan Negeri yang memeriksa permohonan
11
Vivanews, “Alasan Pengadilan Tinggi Menangkan Anggodo”, http://kamushukum.com , diupload tanggal 4 Juni 2010. 12 Anonim, “Anggodo Ajukan Gugatan Pra Peradilan Kasus Bibit-Chandra”, http://lipsus.kompas.com , diupload tanggal 29 Maret 2010.
7
Pra Peradilan dari Anggodo Widjojo tersebut, Nugroho Setiadi, justru tidak pernah mempertimbangkan permasalahan legal standing dari Anggodo Widjojo tersebut. Hal ini pun dipertanyakan oleh Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada mengenai kedudukan hukum Anggodo Widjojo dalam menggugat Surat Ketetapan Pemberhentian Penuntutan (SKPP) kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Menurut Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, seharusnya dalil Anggodo selaku Saksi Korban tidak dapat diterima dalam mengajukan permohonan pra peradilan. Karena saksi korban atas dugaan penyelewengan jabatan yang pernah dialamatkan kepada Bibit-Chandra adalah pengusaha yang disebut telah dirugikan karena di cegah ke luar negeri oleh Bibit-Chandra yaitu Djoko Tjandra dan Anggoro Widjojo, jadi bukan Anggodo.13 Berdasarkan hal tersebut maka dalam tulisan ini penulis mencoba untuk membahas
mengenai
permasalahan
interpretasi
pihak
ketiga
yang
berkepentingan dalam praktek praperadilan yang terjadi selama ini, khususnya terkait dengan legal standing dari Anggodo Widjojo dalam mengajukan permohonan Pra Peradilan atas dikeluarkannya SKPP terhadap perkara BibitChandra oleh Kejari Jaksel, ke dalam tulisan skripsi yang berjudul : “Analisis Permohonan Pra Peradilan Atas Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Oleh Pihak Ketiga Yang Berkepentingan (Studi Kasus: Permohonan Pra Peradilan Atas SKPP Perkara Bibit-Chandra Oleh Anggodo Widjojo)”
13
Vivanews, “Anggod Seharusnya Tak Punya Hak http://hukum.tvone.co.id , diupload tanggal 24 April 2010.
Pra
Peradilan
Bibit-Chandra”,
8
A. Permasalahan
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis membuat perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu; Apakah permohonan Pra Peradilan yang diajukan oleh Anggodo Widjojo atas Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan oleh Pihak Ketiga Oleh Kejari Jaksel telah sesuai berdasarkan Pasal 80 KUHAP?
B. Tujuan dan Kegunaan 1.
Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis mempunyai tujuan obyektif dalam melakukan penulisan yaitu untuk mengetahui kesesuaian permohonan Pra Peradilan yang diajukan oleh Anggodo Widjojo atas Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Bibit-Chandra berdasarkan Pasal 80 KUHAP.
2.
Kegunaan Penelitian
a.
Kegunaan Teoritis
Merupakan bahan kajian dan sumbangan pemikiran di bidang hukum acara pidana terutama yang berhubungan dengan pemohon dan termohon dalam Pra Peradilan suatu Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan.
9
b.
Kegunaan Praktis
Penulisan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi para pembaca umum dan penegak hukum mengenai legal standing (kedudukan hukum dari Anggodo Widjojo) dalam mengajukan permohonan Pra
Peradilan
suatu Surat Ketetapan
Penghentian
Penuntutan atas perkara Bibit-Chandra oleh Kejari Jaksel berdasarkan Pasal 80 KUHAP.
C. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep yang diteliti.14 Kerangka konseptual ini merumuskan definisi-definisi tertentu yang dapat dijadikan pedoman di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis, dan konstruksi data. Berikut akan diuraikan yang menjadi kerangka konseptual dalam penulisan ini. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) dapat diartikan secara luas yaitu akses orang perorangan, kelompok/organisasi di pengadilan sebagai Pihak Penggugat. Adapun pengertian Standing kelompok masyarakat yang bertindak untuk mewakili kepentingan umum (publik).15
Dalam perkara pengujian undang-undang, kedudukan hukum (legal standing ) merupakan hal yang mendasari pembenaran subyektum pencari keadilan mengajukan permohonan ke hadapan lembaga pengadilan. Menurut Guru Besar Hukum Tata Negara; Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Republik 14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan ke-3. (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 132. 15 Sulistiono, “Legal Standing; Hak Gugat Organisasi Lingkungan”, Disampaikan pada Kursus HAM Pengacara 2007 ELSAM, diupload dalam www.elsam.or.id .
10
Indonesia, HM Laica Marzuki, Legal standing adalah suatu entitle atau dasar hak subyektum hukum untuk mengajukan permohonan .16 Pengertian pihak ketiga dalam penulisan ini tidak bisa dilepaskan dari Pasal 80 KUHAP, yang berarti bahwa Pihak luar yang berkepentingan atas pemeriksaan sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. Keabsahan berasal dari kata sah atau absah yang berarti bahwa legal menurut undang-undang, atau sesuai dengan undang-undang. 17 Oleh karena itu keabsahan di sini mempunyai arti kelegalan atau kesesuaian penghentian penyidikan atau penuntutan berupa Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atas Perkara Bibit-Chandra berdasarkan undang-undang. Pra Peradilan adalah Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya: 1.
Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
2.
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
16
HM Laica Marzuki, “Legal Standing; Sisi Lain Pengujian UU http://www.kompas.co.id , dupload tanggal 4 Nopember 2008. 17 Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal. 516.
di
MK”,
11
3.
Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.18
Surat
Ketetapan
Penghentian
Penuntutan
(SKPP)
ini
merupakan
kewenangan Penuntut Umum (Jaksa Penuntut Umum yang diberikan tugas sebagai penuntut umum dalam menangani suatu perkara) alasan-alasan yang mendasari Penuntut Umum mengambil tindakan ini adalah tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara tersebut ditutup demi hukum.19 Dasar hukum dari SKPP adalah Pasal 140 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa, a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. b. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan. c. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim.
18
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 10. 19 Waingapu, “Tentang Istilah Hukum: SP3, SKPP, Deponering, Grasi, Amnesti, Abolisi”, http://darpawan.wordpress.com , diupload tanggal 30 Nopember 2009.
12
d. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.
Deponering
adalah
kewenangan
mengenyampingkan
perkara
demi
kepentingan umum ini diberikan oleh undang-undang kepada jaksa agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang berhubungan dengan masalah tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan / atau kepentingan masyarakat luas.20 Hukum pidana formal adalah hukum pidana yang mengatur tentang sikap pemerintah dengan perantaraan para pejabatnya menggunakan haknya untuk memidana.21 Di Indonesia, mengenai hukum pidana formal tersebut tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jadi demikian yang dimaksud dengan hukum acara pidana Indonesia adalah segala ketentuanketentuan yang dimuat dan terkandung dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
D. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu penelitian yang bersifat memberikan gambaran secara lengkap tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya. 22 Penelitian ini merupakan penelitian normatif, yaitu metode untuk mendapatkan data yang berasal dari bahan pustaka atau dengan kata lain cara untuk 20
Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan , Penjelasan Pasal 35. A.Z. Abidin, Asas-asas Hukum Pidana Bagian Pertama, (Jakarta: UI Press, 1987), hal. 3. 22 Soerjono Soekanto, Op.Cit ., hal. 10. 21
13
mendapatkan data sekunder 23, Sebagai langkah awal terlebih dahulu dikaji data sekunder yang berdasarkan kekuatan mengikatnya digolongkan ke dalam: 1.
Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat seperti perundang-undangan24. Dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai bahan hukum primer antara lain: a.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Undang-Undang
Nomor
73
Tahun
1958
tentang
Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia Dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana c.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana; d.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman; e.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan
Umum; f.
Undang-Undang
Nomor
16
Tahun
2004
tentang
Kejaksaan. 2.
Bahan Hukum Sekunder
23
Ibid., hal. 51. Ibid., hal. 52.
24
14
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang menerangkan bahan hukum primer berupa buku-buku, artikel. 25 Dalam penelitian ini yang yaitu adalah bahan hukum sekunder di bidang hukum pembuktian pidana. 3.
Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan yang melengkapi dalam hal data dan informasi yang di dapat dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus-kamus, ensiklopedia, dan indeks kumulatif. 26
Ruang lingkup dari penelitian normatif ini adalah mengenai interpretasi pihak ketiga yang berkepentingan, sebagaimana dimuat dalam Pasal 80 KUHAP, yang pada prakteknya di praperadilan terjadi selama ini, khususnya terkait dengan legal standing dari Anggodo Widjojo dalam mengajukan permohonan Pra Peradilan atas dikeluarkannya SKPP terhadap perkara BibitChandra oleh Kejari Jaksel. Setelah data sekunder didapat, maka selanjutnya dilakukan pengolahan, analisis, dan konstruksi data secara kualitatif, guna mendapatkan hasil penelitian yang sesuai dengan kenyataan yang ada. Pengumpulan dan pengolahan data menggunakan pendekatan secara kualitatif yang dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan wawancara. Setelah seluruh data didapat, maka selanjutnya dilakukan pengolahan, analisa, dan konstruksi data secara deduktif, guna mendapatkan hasil penelitian yang sesuai dengan kenyataan yang ada.
25 26
ibid. ibid
15
Pada dasarnya, tulisan ini hanya bertujuan untuk memperlengkap literatur keilmuan dan pengetahuan bidang hukum yang telah ada sebelumnya, khususnya untuk memberikan suatu deskripsi yang jelas mengenai praktek interpretasi pihak ketiga dalam permohonan praperadilan
E. Sistematika Penulisan
Penulisan hasil penelitian ilmiah ini disusun ke dalam 5 (lima) bab yaitu sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Dalam bab ini akan diuraikan tentang latar belakang, permasalahan, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI Dalam Bab ini akan di uraikan tentang Negara Hukum Indonesia, Sistem Hukum Indonesia, Hukum Acara Pidana, dan Pra Peradilan Dalam KUHAP. BAB III DATA HASIL PENELITIAN Dalam Bab ini akan di uraikan tentang fakta-fakta terkait dengan upaya hukum permohonan Pra Peradilan yang dilakukan oleh Anggodo Widjodjo, melalui Kuasa Hukumnya R Bonaran Situmeang &
Partner
atas
dikeluarkannya Surat
Ketetapan
Penghentian
Penuntutan (SKPP) Bibid Samad Rianto dan Chandra Hamzah oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
16
BAB IV ANALISIS Dalam Bab ini penulis akan membahas tentang analisis ‘Pihak Ketiga yang berkepentingan’ dalam mengajukan permohonan Pra Peradilan atas suatu Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan sebagaimana disebut dalam Pasal 80 KUHAP dan legal standing (kedudukan hukum) Anggodo Widjojo dapat dikategorikan sebagai Pihak Ketiga yang berkepentingan atas keluarnya SKPP perkara Bibit-Chandra oleh Kejari Jaksel. BAB V PENUTUP Dalam Bab ini penulis akan memuat kesimpulan. Selain itu juga penulis akan mencoba memberikan saran-saran yang mungkin dapat bermanfaat terhadap permasalahan yang menjadi objek penulisan ini.
17