HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
(Lanjutan : Pendahuluan) Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama A.1. Asas Umum Lembaga Peradilan Agama 1) Asas Bebas Merdeka Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negarayang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukumRepublik Indonesia. Pada dasarnya azas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undangundang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 ini menyebutkan “Kekuasaan kehakiman yang medeka ini mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal yang diizinkan undang-undang.” 2) Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Dan peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. 3) Asas Ketuhanan Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimatBasmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.” 4) Asas Fleksibelitas Pemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut. Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit-belit serta tidak terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan. Sebab apabila terjebak pada formalitas-formalitas yang berbelit-belit memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran. Cepat yang dimaksud adalah dalam melakukan pemeriksaan hakim harus cerdas dalam menginventaris persoalan yang diajukan dan mengidentifikasikan persolan tersebut untuk kemudian mengambil intisari pokok persoalan yang selanjutnya digali lebih dalam melalui alat-alat bukti yang ada. Apabila segala sesuatunya sudah diketahui majelis hakim, maka tidak ada cara lain kecuali majelis hakim harus secepatnya mangambil putusan untuk dibacakan dimuka persidangan yang terbuka untuk umum.
5)
6)
Biaya ringan yang dimaksud adalah harus diperhitungkan secara logis, rinci dan transparan, serta menghilangkan biaya-biaya lain di luar kepentingan para pihak dalam berperkara. Sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan bersikap apriori terhadap keberadaan pengadilan. Asas Non Ekstra Yudisial Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945. Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud akan dipidana. Asas Legalitas Peradilan agama mengadili menurut hokum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalam pasal 3 (2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Pada asasnya Pengadilan Agama mengadili menurut hukum agama Islam dengan tidak membeda-bedakan orang, sehingga hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak dan derajat setiap orang di muka persidangan Pengadilan Agama tidak terabaikan. Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan hokum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus berdasar atas hokum, mulai dari tindakan pemanggilan, penyitan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas hukum. Tidak boleh menurut atau atas dasar selera hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.
A.2. Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama 1) Asas Personalitas Ke-islaman Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas personalitas ke-islaman diatur dalam UU nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan Umum alenia ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama. Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang asas personalitas ke-islaman adalah : a) Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam. b) Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi syari’ah. c) Hubungan hukum yang melandasi berdsarkan hukum islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam. Khusus mengenai perkara perceraian, yang digunakan sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya Pengadila Agama adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan. Sehingga apabila seseorang melangsungkan perkawinan secara Islam, apabila terjadi sengketa perkawinan, perkaranya tetap menjadi kewenangan absolute peradilan agama, walaupun salah satu pihak tidak beragam Islam lagi (murtad), baik dari pihak suami atau isteri, tidak dapat menggugurkan asas personalitas ke-Islaman yang melekat pada saat perkawinan tersebut dilangsungkan, artinya, setiap penyelesaian sengketa perceraian ditentukan berdasar hubungan hukum pada saat perkawinan berlangsung, bukan berdasar agama yang dianut pada saat terjadinya sengketa.
3)
4)
5)
6)
Letak asas personalitas ke-Islaman berpatokan pada saat terjadinya hubungan hukum, artinya patokan menentukan ke-Islaman seseorang didasarkan pada factor formil tanpa mempersoalkan kualitas ke-Islaman yang bersangkutan. Jika seseorang mengaku beragama Islam, pada dirinya sudah melekat asas personalitas ke-Islaman. Faktanya dapat ditemukan dari KTP, sensus kependudukan dan surat keterangan lain. Sedangkan mengenai patokan asas personalitas ke-Islaman berdasar saat terjadinya hubungan hukum, ditentukan oleh dua syarat : Pertama, pada saat terjadinya hubungan hukum, kedua pihak sama-sama beragama Islam, dan Kedua, hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu cara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam. 2) Asas Ishlah (Upaya perdamaian) Upaya perdamaian diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiapperselisihan dengan melalui pendekatan “Ishlah”. Karena itu, tepat bagi para hakim peradilan agama untuk menjalankn fungsi “mendamaikan”, sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan, pasti lebih cantik dan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian. Asas Terbuka Untuk Umum Asas terbuka untuk umum diatur dalam pasal 59 (1) UU No.7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradila Agama jo. Pasal 19 (3 dan 4) UU No. 4 Tahun 2004. Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita acara siding memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagianakan dilakukan dengan siding tertutup. Adapun pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama yang harus dilakukan dengan siding tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai talak dan atau cerai gugat (pasal 68 (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama). Asas Equality Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat “diskriminatif” baik dalam diskriminasi normative maupun diskriminasi kategoris. Adapun patokan yang fundamental dalam upaya menerapkan asas “equality” pada setiap penyelesaian perkara dipersidangan adalah : a. Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau “equal before the law”. b. Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal protection on the law” c. Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau “equal justice under the law”. Asas “Aktif” memberi bantuan Terlepas dari perkembangan praktik yang cenderung mengarah pada proses pemeriksaan dengan surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Asas Upaya Hukum Banding
7)
8)
9)
Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali Undang-undang menentukan lain. Asas Upaya Hukum Kasasi Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain. Asas Upaya Hukum Peninjauan Kembali Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Dan terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi) Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula paal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili
RESUME HUKUM ACARA PENGADILAN AGAMA I GUGATAN DAN PERMOHONAN
A. Surat Gugatan : Surat yang diajukan oleh penggugat pada ketua pengadilan agama yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang hak yang didalamnya mengandung sengketa dan sekaligus landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran. B. Ciri-Ciri Gugatan : 1. Mengandung sengketa 2. Terjadi sengketa antara para pihak 3. Bersifat partai, satu pihak sebagai penggugat dan yang lain sebagai tergugat
4. Tidak dilakukan secara sepihak 5. Pemeriksaan harus dilakukan secara kontradiktor dari awal sampai dengan putusan, artinya memberikan hak dan kesempatan pada tergugat untuk membantah dalil penggugat. C. Syarat Formil Gugatan
1. Harus diajukan pada pengadilan agama yang berwenang 2. Memuat identitas penggugat dan tergugat 3. Penggugat harus memiliki hubungan dan kepentingan hokum dengan pokok gugatan
4. Harus memuat fakta kejadian 5. Harus mempunyai dasar hokum 6. Harus memuat tuntutan tuntutan secara rinci 7. Harus dibuat dan ditanda tangani sendiri oleh penggugat atau kuasa hukumnya D. Syarat Materiil Gugatan 1. Gugatan harus berisi alas an yang dibenarkan oleh hokum
2. Jika syarat formil dan materiil belum lengkap, maka hakim harus memberikan petunjuk E. Gabungan Gugatan (kumulasi) 1. Syaratnya: a. Terdapat gugatan yang erat antara gugatan satu dengan yang lain b. Terdapat hubugan hukum F. Kumulasi:
a. Subyektif: Gabungan beberapa penggugat atau tergugat dalam suatu gugatan. Misal: Ahli waris, Ishbat nikah b. Obyektif: Gabungan beberapa tuntutan terhadap beberapa peristiwa hukum dalam suatu gugatan G. Permohonan : Suatu permohonan yang berisi tuntutanhak perdata oleh suatu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa
H. Ciri-cirinya :
Bersifat kepentingan sepihak Tidak ada sengketa dengan pihak lain Tidak ada pihak ke-3 sebagai lawan
I. Syarat Formil : Identitas permohonan meliputi nama, umur, domisili Fatwa peristiwa Fatwa hukum Tuntutan Hubungan yang relevan antara posita dan petitum Ditanda tangani pemohon atau orang yang diberi kuasa J. Syarat Materiil : Harus ada alasan yang dibenarkan oleh hukum Hakim harus member petunjuk jika belum memenuhi syarat formil dan materiil MEKANISME PERSIDANGAN
1. Gugatan antara permohonan disampaikan pada ketua pengadilan, diserahkan pada meja 1 untuk didaftar 2. Bagi yang menggunakan advokad maka surat kuasa dilengkapi dengan surat kuasa dengan surat kuasa khusus yang dilegalisir 3. Membayar biaya perkara —> Pasal 12i HIR ayat 4 Yang merupakan syarat imperative (memaksa) atas pendaftaran perkara 4. Setelah berkas diterima ketua pengadilan agama maka ketua pengadilan agama membuat penetapan majelis hakim (PMH) untuk menyidang perkara lalu majelis hakim membuat penetapan hari siding
5. Menunggu surat panggilan siding oleh jurusita pengganti 6. Menghadiri sidang sesuai jadwal PEMANGGILAN
1. Panggilan sidang : Menyampaikan secara resmi dan patut pada pihak-pihak yang terlibat dalam perkara agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan pengadilan Panggilan sidang sah : jika dilakukan oleh jurusita atau jurusita pengganti yang telah disumpah untuk jabatannya Resmi : jika surat itu disampaikan secara tertulis oleh jurusita atau jurusita pengganti dalam wilayah hukum pengadilan yang bersangkutan Patut : Setidaknya 3 hari kerja sebelum hari persidangan 2. Isi surat : Nama yang dipanggil Hari, jam dan tempat sidang Membawa saksi-saksi Membawa surat-surat yang digunakan Penegasan dapat menjawab gugatan dengan surat 11 PEMBUKTIAN
A. Pembuktian : Upaya yang dilakukan para pihak dalam berperkara untuk menguatkan dan membuktikan dalil-dalil yang diajukan agar dapat meyakinkan hakim yang memeriksa perkara B. Bukti : Segala sesuatu yang dapat meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian C. Alat bukti : Segala sesuatu yang menurut undang-undang dapat dipakai untuk membuktikan
D. Macam-macam Alat bukti: Alat bukti tertulis Saksi Persangkaan Pengakuan Sumpah
E. Hal-hal yang perlu dibuktikan : Segala sesuatu yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak Segala sesuatu yang didalilkan, disangka atau dibantah oleh lawan Peristiwa-peristiwa atau kejadian yang berkaitan adanya atau menimbulkan suatu hak F. Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan : Segala sesuatu yang diakui, dibenarkan oleh pihak lawan Segala sesuatu yang dilihat oleh hakim Segala sesuatu yang merupakan kebenaran yang bersifat umum G. Pembagian menurut sifat ; Berasal dari diri para pihak : pengakuan dan sumpah Berasal dari luar pihak : surat, saksi dan persangkaan H. Batas minimal Suatu jumlah alat bukti yang sah paling sedikit harus terpenuhi agar alat bukti tersebut mempunyai nilai alat bukti pembuktian untuk mendukung kebenaran yang didalilkan. I. Bukti surat : bukti berupa tulisan yang berisi tentang suatu peristiwa keadaan atau hal-hal tertentu.
1. Macam-macamnya: Surat biasa : Surat yang dibuat dengan maksud tidak dijadikan alat bukti, surat yang tidak disengaja dijadikan bukti dan tidak dibuat secara formal Akta otentik : Akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang dan mempunyai nilai pembuktian yang sempurna sepanjang tidak dibuktikan lain Akta dibawah tangan : Akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dengan kekuatan nilai pembuktian yang sempurna apabila isi dan tanda tangan diakui oleh para pihak KESIMPULAN MUSYAWARAH SIDANG A. Kesimpulan adalah : Suatu ringkasan yang dibuat oleh pihak yang berperkara yang tanpa ihtiar suatu gugatan baik jawaban atau bantahan yang dibuat dengan bukti-bukti di persidangan dan berisi suatu permintaan atas suatu gugatan atau bantahan atau jawaban agar majelis akhir mengabulkan gugatan penggugat dan atau menolaknya. B. Dasar hukum kesimpulan : Kesimpulan para pihak diatur dalam pasal 28 (yurisprudensi) karena tidak diatur maka hukum boleh mengajukan atau tidak (bebas). C. Manfaat bagi penggugat : Para pihak dapat menganalisis dalil-dalil tambahan-tambahannya melaui pembuktian yang didapatkan selama persidangan sehingga dapat kesimpulan, apakah terbukti atau tidak, sehingga penggugat akan meminta pada majelis hakim agar dikabulkan sebaliknya penggugat ditolak. D. Tujuan diadakan musyawarah : Untuk menyamakan persepsi agar terhadap perkara yang sedang diadili itu dapt dijatuhkan putusan yang seadil-adilnya, sesuai ketentuan hukum yang berlaku. E. Musyawarah hakim : Suatu sikap yang terdapat yang diambil oleh majelis hakim yang menyidangkan suatu perkara masing-masing mengemukakan pendapat hukumnya atau alasannya yang dilakukan secara rahasia dan tertutup sebelum hakim mengucapkan keputusannya. F. Dasar hukum musyawarah : Pasal 178 HIR/189 RBG
Pasal 14, 51 dan 53 UU No. 48/2009 G. Langkah-langkah/ teknis musyawarah majelis :
1. Ketua majelis hakim mempersilahkan kepada hakim yang lebih senior dan hakim senior anggota 1 untuk menyampaikan pendapatnya berupa fakta-fakta yang sudah terbukti dan tidak terbukti dasar hukum apa yang disampaikan dan pertimbangan keadilan dan kemanfaatan hukum secara tertulis. 2. Majelis menyepakati pendapat ulama yang memenuhi ketentuan hukum yang berlaku dan memenuhi rasa keadilan serta serta asas manfaat. 3. Jika tidak ada kesepakatan dilakukan voting dan pendapat yang kalah merupakan dissenting opinion. 4. Jika tiga hakim majelis berbeda pendapat maka yang digunakan adalah pendapat ketua majelis. 5. Pendapat para hakim anggota dan ketua majelis dicatat dalam ikhtisar musyawarah yang ditanda tangani oleh ketua majelis dan panitera sidang dilampirkan dalam berita acara persidangan terakhir. Dasar hukum dissenting opinion : Pasal 14 ayat (3) UU No.48/2009 Tata cara memuat dissenting opinion dalam putusan : Pendapat hakim yang berbeda dimuat dalam pertimbangan hakim setelah pertimbanagan hakim lainnya yang menjadi dasar putusan dengan menyebutkan nama hakim yang berbeda pendapat tersebut Subtansi dan teknik musyawarah majelis : Musyawarah majelis hakim dilaksanakan secara rahasia, maksudnya apa yang dihasilkan dalam rapat majelis hakim tersebut hanya diketahui oleh majelis hakim yang memeriksa perkara sampai putusan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
ASAS DAN SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA ASAS DAN SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Peradilan Islam di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan “Peradilan Agama” telah ada di berbagai tempat di Nusantara, jauh sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan menurut pakar Sejarah Peradilan, Peradilan Agama telah ada sejak abad ke-16. Dalam sejarah yang dibukukan oleh Departemen Agama yang berjudul “Seabad Peradilan Agama di Indonesia”, tanggal 19 Januari 1882 ditetapkan sebagai Hari Jadinya, yaitu berbarengan dengan diundangkannya ordonantie stbl.1882152, tentang Peradilan Agama di Pulau Jawa – Madura. Selama itu hingga sekarang, Peradilan Agama berjalan, putusannya ditaati dan dilaksanakan dengan sukarela, tetapi hingga diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989, Peradilan Agama belum pernah memiliki undang-undang tersendiri tentang susunan, kekuasaan dan acara, melainkan tersebar dalam berbagai peraturan perundangundangan yang tidak merupakan kesatuan, dan tidak pula seragam. Kekuasaannya kadangkala berbenturan dengan Peradilan Umum karena memang disengaja dibuat tidak jelas oleh Pemerintah Jajahan, sebab Pemerintah Jajahan sejak semula memang sangat khawatir terhadap hukum Islam lantaran hukum islam itu, disamping bertentangan dengan agama mereka, juga merupakan hukum yang sebagaian besar dianut oleh Bangsa Indonesia. Memberikan hak hidup kepada hukum Islam sama artinya dengan memberikan peluang hidup terhadap hukum bangsa Indonesia. Namun kini Peradilan Agama telah mempunyai UU tersendiri, yaitu UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan dan diundangkan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang tersebut merupakan rangkaian dari undangundang yang mengatur kedudukan dan kekuasaan Peradilan di negara RI. Selain itu, UU tersebut melengkapi UU Mahkamag Agung No. 14 Tahun 1985, UU Peadilan Umum No. 2 Tahun 1986 dan UU Peradilan Tata Usaha Negara No. 5 Tahun 1986. Memang agak terlambat lahirnya UU No. 7 tersebut dibandingkan dengan landasan lain bagi Peradilan Umum, PTUN dan lainnya. Namun demikian, dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, kedudukan dan kekuasaan Pengadilan Agama setara dengan Lembaga Pengadilan lainnya. Yang patut disayangkan, UU No. 7 tersebut mengandung beberapa kelemahan. Diantaranya, terdapat hak opsi dalam penyelesaian perkara waris bagi orang-orang yang beragama Islam di
Pengadilan Agama atau di Pengadilan Negeri; Pengadilan Agama tidak berwenang menangani sengketa hak milik dan sebagainya. Dengan adanya desakan dan masukan dari praktisi hukum maupun masyarakat yang beragama Islam, maka lahirlah UU No. 3 Tahun 2006 yang merevisi dan melengkapi UU No. 7 tentang Peradilan Agama di Indonesia. Dengan adanya UU ini Peradilan Agama akan lebih mantap dalam menjalankan fungsinya. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah asas-asas yang terdapat dalam Hukum Acara Peradilan Agama ? 2. Apakah sumber hukum Acara Peradilan Agama ?
C. TUJUAN PENULISAN Setiap pembahasan pasti memiliki tujuan tertentu karena dengan adanya tujuan yang jelas maka akan memberikan arah yang jelas pula untuk mencapai tujuan tersebut. Adapun tujuan dari pembahasan ini adalah : 1. Untuk mengetahui asas-asas yang terdapat dalam hukum acara Peradilan agama di Indonesia 2. Untuk mengetahui sumber hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia. BAB II TINJAUAN UMUM PENGERTIAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Sebelum membahas perihal pengertian Hukum Acara Peradilan Agama, akan dikemukanan terlebih dahulu tentang pengertian Peradilan Agama dan Peradilan Islam. Peradilan Agama adalah sebutan (titelateur) resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang resmi dan sah di Indonesia. Tiga lingkungan Peradilan Negara lainnya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Agama adalah salah satu diantara tiga Peradilan Khusus di Indonesia. Dua Peradilan Khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan peradilan khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongn rakyat tertentu. Dalam hal ini, Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja, tidak pidana dan pula tidak hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara perdata Islam tertentu, tidak mencakup seluruh perkara perdata Islam. Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia, sebab dari jenis-jenis perkara yang ia boleh mengadilinya, seluruhnya adalah jenis perkara menurut agama Islam. Peradilan Agama adalah Peradilan Islam limitatif yang telah disesuaikan (dimutatis mutandiskan) dengan keadaan di Indonesia. Menurut pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006 bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Kata “Peradilan Islam” yang tanpa dirangkaian dengan kata-kata “di Indonesia”, dimaksudkan adalah Peradilan Islam secara universal. Peradilan Islam itu meliputi segala jenis perkara menurut ajaran Islam secara universal. Oleh karena itu, dimana-mana asas peradilannya mempunyai prinsipprinsip kesamaan sebab hukum Islam itu tetap satu dan berlaku atau dapat diberlakukan di mana pun, bukan hanya untuk suatu bangsa atau untuk suatu Negara tertentu saja. Untuk menghindari kekeliruan pemahaman, apabila yang dimaksudkan adalah “Peradilan Islam di Indonesia” maka cukup digunakan istilah “Peradilan Agama”. Sebagaimana diketahui bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan Perdata dan Peradilan Islam di Indonesia, jadi ia harus mengindahkan peraturan perundang-undangan Negara dan syariat Islam sekaligus. Oleh karena itu, rumusan Hukum Acara Peradilan Agama adalah diusulkan sebagai berikut : “Segala peraturan baik yang bersumber dari peraturan perundang-undangan negara maupun dari syariat Islam yang mengatur tentang bagaimana cara orang bertindak ke muka Pengadilan Agama tersebut menyelesaikan perkaranya, untuk mewujudkan hukum material Islam yang menjadi kekuasaan Peradilan Agama”. Pengadilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang yang beragama Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 tentang PA “Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini ”. Dengan demikian keberadaan Pengadilan Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam. Setelah UU No. 7 tahun 1989 diperbaharui dengan UU No.3 tahun 2006, maka rumusan tersebut juga ikut berubah, hal ini karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan wewenang pengadilan agama bertambah. Dengan adanya perubahan tersebut maka rumusan yang terdapat dalam pasal 2 UU No. 3 tahun 2006 adalah “ Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini ”. Dalam definisi PENGADILAN AGAMA tersebut kata “Perdata” dihapus. Adapun maksud dari dihapusnya kata “perdata” adalah: 1. Memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran atas undangundang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya. 2. Untuk memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan Qonun. Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang : a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan c. Wakaf dan shadaqoh BAB III PEMBAHASAN A. ASAS-ASAS DALAM HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA 1. Asas Umum Lembaga Peradilan Agama a) Asas Bebas Merdeka Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negarayang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukumRepublik Indonesia. Pada dasarnya azas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 ini menyebutkan “Kekuasaan kehakiman yang medeka ini mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisialkecuali dalam hal yang diizinkan undangundang.” b) Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Dan peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. c) Asas Ketuhanan Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimat Basmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.” d) Asas Fleksibelitas
Pemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut. Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit-belit serta tidak terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan. Sebab apabila terjebak pada formalitas-formalitas yang berbelit-belit memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran. Cepat yang dimaksud adalah dalam melakukan pemeriksaan hakim harus cerdas dalam menginventaris persoalan yang diajukan dan mengidentifikasikan persolan tersebut untuk kemudian mengambil intisari pokok persoalan yang selanjutnya digali lebih dalam melalui alat-alat bukti yang ada. Apabila segala sesuatunya sudah diketahui majelis hakim, maka tidak ada cara lain kecuali majelis hakim harus secepatnya mangambil putusan untuk dibacakan dimuka persidangan yang terbuka untuk umum. Biaya ringan yang dimaksud adalah harus diperhitungkan secara logis, rinci dan transparan, serta menghilangkan biaya-biaya lain di luar kepentingan para pihak dalam berperkara. Sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan bersikap apriori terhadap keberadaan pengadilan. e) Asas Non Ekstra Yudisial Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945. Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud akan dipidana. f) Asas Legalitas Peradilan agama mengadili menurut hokum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalam pasal 3 (2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Pada asasnya Pengadilan Agama mengadili menurut hukum agama Islam dengan tidak membeda-bedakan orang, sehingga hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak dan derajat setiap orang di muka persidangan Pengadilan Agama tidak terabaikan. Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan hokum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus berdasar atas hokum, mulai dari tindakan pemanggilan, penyitan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas hukum. Tidak boleh menurut atau atas dasar selera hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.
2. Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama 1) Asas Personalitas Ke-islaman Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas personalitas ke-islaman diatur dalam UU nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan Umum alenia ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama. Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang asas personalitas ke-islaman adalah : a. Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam. b. Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi syari’ah. c. Hubungan hukum yang melandasi berdsarkan hukum islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam. Khusus mengenai perkara perceraian, yang digunakan sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya Pengadila Agama adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan. Sehingga apabila seseorang melangsungkan perkawinan secara Islam, apabila terjadi sengketa perkawinan, perkaranya tetap menjadi kewenangan absolute peradilan agama, walaupun salah satu pihak tidak beragam Islam lagi (murtad), baik dari pihak suami atau isteri, tidak dapat menggugurkan asas personalitas ke-Islaman yang melekat pada saat perkawinan tersebut dilangsungkan, artinya, setiap penyelesaian sengketa perceraian ditentukan berdasar hubungan hukum pada saat perkawinan berlangsung, bukan berdasar agama yang dianut pada saat terjadinya sengketa. Letak asas personalitas ke-Islaman berpatokan pada saat terjadinya hubungan hukum, artinya patokan menentukan ke-Islaman seseorang didasarkan pada factor formil tanpa mempersoalkan kualitas ke-Islaman yang bersangkutan. Jika seseorang mengaku beragama Islam, pada dirinya sudah melekat asas personalitas ke-Islaman. Faktanya dapat ditemukan dari KTP, sensus kependudukan dan surat keterangan lain. Sedangkan mengenai patokan asas personalitas ke-Islaman berdasar saat terjadinya hubungan hukum, ditentukan oleh dua syarat : Pertama, pada saat terjadinya hubungan hukum, kedua pihak sama-sama beragama Islam, dan Kedua, hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu cara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam. 2) Asas Ishlah (Upaya perdamaian) Upaya perdamaian diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiapperselisihan dengan melalui pendekatan “Ishlah”. Karena itu, tepat bagi para hakim peradilan agama untuk menjalankn fungsi “mendamaikan”, sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan, pasti lebih cantik dan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian. 3) Asas Terbuka Untuk Umum Asas terbuka untuk umum diatur dalam pasal 59 (1) UU No.7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 19 (3 dan 4) UU No. 4 Tahun 2004. Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita acara siding memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagianakan dilakukan dengan siding tertutup. Adapun pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama yang harus dilakukan dengan siding tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai talak dan atau cerai gugat (pasal 68 (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama). 4) Asas Equality Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat “diskriminatif” baik dalam diskriminasi normative maupun diskriminasi kategoris. Adapun patokan yang fundamental dalam upaya menerapkan asas “equality” pada setiap penyelesaian perkara dipersidangan adalah : a. Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau “equal before the law”. b. Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal protection on the law” c. Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau “equal justice under the law”. 5) Asas “Aktif” memberi bantuan Terlepas dari perkembangan praktik yang cenderung mengarah pada proses pemeriksaan dengan surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. 6) Asas Upaya Hukum Banding Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali Undang-undang menentukan lain. 7) Asas Upaya Hukum Kasasi Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.
8) Asas Upaya Hukum Peninjauan Kembali Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Dan terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. 9) Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi) Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula paal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. B. SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA Peradilan Agama adalah Peradilan Negara yang sah, disamping sebagai Peradilan Khusus, yakni Peradilan Islam di Indonesia, yang diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan Negara, untuk mewujudkan hukum material Islam dalam batas-batas kekuasaannya. Untuk melaksanakan tugas pokoknya (menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara) dan fungsinya (menegakkan hukum dan keadilan) maka peradilan agama dahulunya mempergunakan Acara yang terserak-serak dalam berbagai peraturan perundangundangan, bahkan juga Acara dalam hukum tidak tertulis (maksudnya hukum formal Islam yang belum diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan Negara Indonesia). Namun kini, setelah terbitnya UU No. 7 tahun 1989, yang berlaku sejak tanggal diundangkan (29 Desember 1989), maka hukum Acara Peradilan Agama menjadi konkret. Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 ini berbunyi sebagai berikut : “Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan agama adalah Hukum acara Perdata yang berlaku dalam lingkunganPeradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”. Menurut pasal di atas, Hukum Acara Peradilan Agama sekarang bersumber (garis besarnya) kepada dua aturan, yaitu : (1) yang terdapat dalam Uu No. 7 tahun 1989, dan (2) yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum. Peraturan perundang-undangan yang menjadi inti Hukum Acara Perdata Peradilan Umum, antara lain : a. HIR (Het Herziene Inlandsche Reglement) atau disebut juga RIB (Reglemen Indonesia yang di Baharui). b. RBg (Rechts Reglemen Buitengewesten) atau disebut juga Reglemen untuk Daerah Seberang, maksudnya untuk Luar Jawa-Madura. c. Rsv (Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering) yang zaman jajahan Belanda dahulu berlaku untuk Raad van Justitie.
d. UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (sekarang UUNo. 2 Tahun 1998 tentang Peradilan Umum). Peraturan perundang-undangan tentang Acara Perdata yang sama-sama berlaku bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan agama adalah : a) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiaman. (sekarang UU initelah direvisi menjadi UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman dan direvisi kembali menjadi UU No. 48 Tahun 2009) b) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. c) UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan dan Pelaksanaannya. Jika demikian halnya maka Peradilan agama dalam Hukum Acaranya minimal harus memperhatikan UU No.7 Tahun 1989, ditambah dengan 8 macam peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan tadi. Setelah UU No. 7 tahun 1989 diperbaharui dengan UU No.3 tahun 2006, maka rumusan tersebut juga ikut berubah, hal ini karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan wewenang pengadilan agama bertambah. Dengan adanya perubahan tersebut maka rumusan yang terdapat dalam pasal 2 UU No. 3 tahun 2006 adalah “ Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini ”. Dalam definisi pengadilan agama tersebut kata “Perdata” dihapus. Hal ini dimaksudkan untuk: 1) Memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran atas undangundang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya. 2) Untuk memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan Qonun Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang : a. Perkawinan b. Kewarisan, wasiat, dan hibahyang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan c. Wakaf dan shadaqoh Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam menjadi salah satu faktor pendorong berkembangnya hukum Islam di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan muamalah. Lembagalembaga ekonomi syari’ah tumbuh berkembang mulai dari lembaga perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, pasar modal syari’ah, dan pegadaian syari’ah. Perkembanagan ini tentunya juga berdampak pada perkembangan sengketa atau konflik dalam pelaksanaannya. Selama ini apabila terjadi konflik dalam bidang ekonomi syari’ah harus melalui peradilan umum. Menyadari hal ini, maka dalam
Undang-Undang No. 3 tahun 2006 atas perubahan UU No. 7 tahun 1989 maka ruang lingkup Peradilan Agama diperluas ruang lingkup tugas dan wewenang Pengadilan Agama Yaitu : Pertama: memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orangorang yang beragama Islam di bidang : a. Perkawinan b. Kewarisan c. Wasiat d. Hibah e. Wakaf f. Zakat g. Shadaqah h. Infaq, dan i.
Ekonomi syari’ah Dalam penjelasan pasal 49 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah :
Bank syari’ah
Asuransi syari’ah
Reasuransi syari’ah
Reksadana syari’ah
Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah
Sekuritas syari’ah
Pembiayaan syari’ah
Pegadaian syari’ah
Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah
Bisnis syari’ah, dan
Lembaga keuangan mikro syari’ah Kedua: diberikan tugas dan wewenang penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya. Dalam pasal 50 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain daalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49,
maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Demi terbentuknya pengadilan yang cepat dan efesien maka pasal 50 UU No.7 tahun 1989 diubah menjadi dua ayat yaitu : Ayat (1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lainnya dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khususnya mengenai obyek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, ayat (2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49. Tujuan diberinya wewenang tersebut kepada Pengadilan Agama adalah untuk menghindari upaya memperlambat atau mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa hak milik atau keperdataan lainnya tersebut yang sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan dengan adanya gugatan di Peradilan Agama. Ketiga: diberi tugas dan wewenang memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun hijriyah. Selama ini Pengadilan Agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap orang yang telah melihat atau menyaksikan awal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadlan, awal bulan Syawal dan tahun baru Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk rukyat Hilal. Hukum Acara Peradilan Agama Bersifat “Lex Specialis” Dalam Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 dinyatakan,”Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini”. Berdasarkan bunyi pasal 54 tersebut di atas, berlaku asas “Lex Specialis derogot Lex Generalis” yang berarti disamping acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan Pengadilan Agama berlaku Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, namun secara khusus berlaku Hukum Acara yang hanya dimiliki oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. BAB IV PENUTUP 1. SIMPULAN Adapun simpulan yang dapat dirumuskan dari rumusan masalah dan pembahasan di atas adalah sebagai berikut : a) Bahwa asas dalam Hukum Acara Peradilan Agama dapat di bagi dua, yakni asas Umum Lembaga Peradilan Agama dan Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama. Dimana kedua asas tersebut terbagi lagi dalam beberapa asas.
b) Bahwa sumber hukum acara peradilan agama saat ini adalah UU No. 3 Tahun 2006. Meskipun saat ini telah berlaku UU No. 3 Tahun 2006 namun terhadap hal-hal yang tidak mengalami perubahan dalam UU No. 3 Tahun 2006 tetap berlaku UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 2. SARAN-SARAN Adapun saran-saran yang dapat diberikan terhadap permasalahan dan pembahasan di atas adalah : a) Diharapkan agar asas-asas dalam acara Peradilan Agama dapat diterapkan secara factual agar tercipta suatu peradilan yang benar-benar member keadilan bagi pihak-pihak di dalamnya. b) Diharapkan agar segala sumber hukum dalam Hukum Acara Peradilan Agama dapat dijadikan pedoman bagi berjalannya proses beracara di Pengadilan Agama dan proses penyelesaian perkara yang diajukan di Pengadilan Agama sehingga tidak ada lagi keluhan-keluhan tentang kesulitan beracara di Pengadilan Agama.
Hukum Acara Peradilan Agama BAB I PENGERTIAN A. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama Mengenai hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama diatur dalam Bab IV UU Nomor 7 Tahun 1989 mulai pasal 54 sampai dengan pasal 105.Menurut ketentuan pasal 54 UU Nomor 7 Tahun 1989 “hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”. Ketentuan tersebut menunjukan bahwa terdapat Hukum Acara Perdata yang secara umum berlaku pada lingkungan Peradilan Umum dan Perdailan Agama, dan ada pula hukum acara yang hanya berlaku pada Peradilan Agama. Hukum acara yang khusus diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 yang meliputi cerai talak, cerai gugat dan cerai dengan alasan zina. Oleh karena itu, dalam makalah ini dijelaskan terlebih dahulu tentang Hukum Acara Perdata yang berlaku juga untuk Pengadilan Agama dan Hukum Acara khusus tetang ceai talak, cerai gugat dan cerai karena alasan zina.
a. Permohonan Dan Gugatan Di dalam Hukum Acara Perdata, kita mengenal adanya permohonan dan gugatan. Perbedaan antara permohonan dan gugatan adalah dalam suatu gugatan ada suatu sengketa yang harus diselesaikan dan diputuskan oleh pengadilan. Dalam suatu gugatan ada seorang atau lebih yang merasa bahwa haknya atau hak mereka telah ada yang melanggar, tetapi orang yang dirasa melanggar hak tersebut tidak mau meyerahkannya secara sukarela. Gugatan ini harus diajukan kepada dimana si tergugat itu tinggal. Dalam bahasa latin hal ini disebut dengan “Actor Sequitur Forum Rei”. Menurut ketentuan pasal 118 HIR gugat harus diajukan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya. Oleh karena gugat harus diajukan dengan surat, maka bagi mereka yang buta huruf dibuka kemungkinan untuk mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan ketentuan pasal 12 HIR akan membuat atau menyuruh membuat gugatan yang dimaksud. Surat gugat ini isinya harus memuat tanggal, menyebut dengan jelas nama penggugat dan tergugat lengkap dengan alamatnya. Selanjutnya, bagian yang disebut dengan posita, yang mana isinya adalah memuat alasan-alasan berdasarkan keadaan dan bagian yang memuat
alasan-alasan yang berdasar hukum. Bagian akhir harus ada petitum. Petitum ini merupakan bagian yang terpenting karena merupakan yang diinginkan, ditetapka, diputuskan, atau diperintahkan oleh hakim. b. Perihal Acara Istimewa Jika pada hari sidang yang telah ditentukan untuk mengadili perkara tertentu, salah satu pihak atau semuanya, baik itu penggugat maupun tergugat atau tidak menyuruh wakilnya untuk menghadap pada sidang yang telah ditentukan maka berlakulah acara istimewa yang diatur diatur dalam pasal 124 dan 125 HIR. Apabila penggugat yang tidak hadir dan tidak mengirimkan wakilnya secara syah dan telah dipanggil dengan patut maka gugat digugurkan, sedangkan apabila tergugat yang tidak hadir maka berlakulah perstek. Untuk putusan perstek harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut sebagaimana yang tercantum dalam pasal 125 ayat 1 HIR; 1. Tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak dating pada haris sidang yang telah ditentukan 2. Ia atau mereka tidak mengirimkan wakil atau kuasanya yang syah untuk menghadap 3. Ia atau mereka telah dipanggil dengan patut 4. Petitum tidak melawan hak 5. Petitum beralasan c. Perihal Pemeriksaan Dan Pembuktian Dalam Sidang Pengadilan Adapun tahapan-tahapan pemeriksaan perkara secara umum, terutama perkara gugatan dalam perkara persdangan itu adalah sebagai berikut; 1. Mediasi Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak. Mediasi ini dipimpin oleh seorang mediator yang sudah memiliki sertifikat mediator yaitu pihak yang bersifat netral dan tidak memihak yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa. Kebijakan MA-RI memberlakukan mediasi ke dalam proses perkara di Pengadilan didasari atas beberapa alasan sebagai berikut :
Pertama, proses mediasi diharapkan dapat mengatasi masalah penumpukan perkara. Jika para pihak dapat menyelesaikan sendiri sengketa tanpa harus diadili oleh hakim, jumlah perkara yang harus diperiksa oleh hakim akan berkurang pula. Jika sengketa dapat diselesaikan melalui perdamaian, para pihak tidak akan menempuh upaya hukum kasasi karena perdamaian merupakan hasil dari kehendak bersama para pihak, sehingga mereka tidak akan mengajukan upaya hukum. Sebaliknya, jika perkara diputus oleh hakim, maka putusan merupakan hasil dari pandangan dan penilaian hakim terhadap fakta dan kedudukan hukum para pihak. Pandangan dan penilaian hakim belum tentu sejalan dengan pandangan para pihak, terutama pihak yang kalah, sehingga pihak yang kalah selalu menempuh upaya hukum banding dan kasasi. Pada akhirnya semua perkara bermuara ke Mahkamah Agung yang mengakibatkan terjadinya penumpukan perkara. Kedua, proses mediasi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih. cepat dan murah dibandingkan dengan proses litigasi. Di Indonesia memang belum ada penelitian yang membuktikan asumsi bahwa mediasi merupakan proses yang cepat dan murah dibandingkan proses litigasi. Akan tetapi, jika didasarkan pada logika seperti yang telah diuraikan pada alasan pertama bahwa jika prkara diputus, pihak yang kalah seringkali mengajukan upaya hukum, banding maupun kasasi, sehingga membuat penyelesaian atas perkara yang bersangkutan dapat memakan waktu bertahun-tahun, dari sejak pemeriksaan di Pengadilan tingkat pertama hingga pemeriksaan tingkat kasasi Mahkamah Agung. Sebaliknya, jika perkara dapat diselesaikan dengan perdamaian, maka para pihak dengan sendirinya dapat menerima hasil akhir karena merupakan hasil kerja mereka yang mencerminkan kehendak bersama para pihak. Selain logika seperti yang telah diuraikan sebelumnya, literatur memang sering menyebutkan bahwa penggunaan mediasi atau bentuk-bentuk penyelesaian yang termasuk ke dalam pengertian alternative dispute resolution (ADR) merupakan proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah dibandingkan proses litigasi. Ketiga, pemberlakuan mediasi diharapkan dapat memperluas akses bagi para pihak untuk memperoleh rasa keadilan. Rasa keadilan tidak hanya dapat diperoleh melalui proses litigasi, tetapi juga melalui proses musyawarah mufakat oleh para pihak. Dengan diberlakukannya mediasi ke dalam sistem peradilan formal, masyarakat pencari keadilan pada umumnya dan para pihak yang bersengketa pada khususnya dapat terlebih dahulu mengupayakan penyelesaian atas sengketa mereka melalui pendekatan musyawarah mufakat yang dibantu oleh seorang penengah yang disebut mediator. Meskipun jika pada kenyataannya mereka telah menempuh proses musyawarah mufakat sebelum salah satu pihak membawa sengketa ke Pengadilan, Mahkamah Agung tetap menganggap perlu untuk mewajibkan para pihak menempuh upaya perdamaian yang dibantu oleh mediator, tidak saja karena ketentuan hukum acara yang berlaku, yaitu HIR dan Rbg, mewajibkan hakim untuk terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum proses memutus dimulai, tetapi
juga karena pandangan, bahwa penyelesaian yang lebih baik dan memuaskan adalah proses penyelesaian yang memberikan peluang bagi para pihak untuk bersama-sama mencari dan menemukan hasil akhir. Keempat, institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa. Jika pada masa-masa lalu fungsi lembaga pengadilan yang lebih menonjol adalah fungsi memutus, dengan diberlakukannya PERMA tentang Mediasi diharapkan fungsi mendamaikan atau memediasi dapat berjalan seiring dan seimbang dengan fungsi memutus. PERMA tentang Mediasi diharapkan dapat mendorong perubahan cara pandang para pelaku dalam proses peradilan perdata, yaitu hakim dan advokat, bahwa lembaga pengadilan tidak hanya memutus, tetapi juga mendamaikan. PERMA tentang Mediasi memberikan panduan untuk dicapainya perdamaian. 2. Tahapan replik dan duplik Dalam tahapan ini dilakukan pembacaan surat gugatan/permohonan, tanggapan atas gugatan yang diajukan, kemudian jawaban atas tanggapan tergugat (replik), selanjutnya, replik itu dijawab kembali oleh tergugat (duplik). Dalam tanggapan atas gugatan yang diajukan ada dua macam, yaitu; a) Jawaban yang langsung mengenai pokok perkara (verweer ten principale) b) Jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara (tangkisan atau eksepsi) Tentang tangkisan atau eksepsi, H.I.R hanya mengenal satu macam eksepsi ialah eksepsi perihal tidak berkuasanya hakim. Eksepsi ini terdiri dari dua macam yaitu eksepsi kekuasaan absolute dan kekuasaan relatif. ksepsi kekuasaan absolute adalah eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan tersebut tidak berwenang dalam perkara tersebut yang mana merupakan wewenang pengadilan lain dalam berbeda pengadilan. Eksepsi kekuasaan absolute dapat disampaiakan setiap waktu selama pemeriksaan perkara berlangsung. Eksepsi kekuasaan relative adalah eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan tersebut tidak berwenang dalam menangani kasus tersebt tetapi merupakan wewenang pengadilan lain dalam lingkungan pengadilan yang sama. Eksepsi ini diajukan sebelum tergugat menjawab pokok perkara secara lisan maupun tertulis. Selain 2 jenis eksepsi diatas masih ada eksepsi yang sering kita dengar misalnya eksepsi dilatoir adalah eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan penggugat belum dapat dikabulkan. Eksepsi peremptoir adalah eksepsi yang menghalangi dikabulkannya gugatan. 3. Pembuktian Pembuktian merupakan suatu cara untuk meyakinkan Majelis Hakim terhadap kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam gugatan dan dalil-dalil yang dikemukakan oleh pihak
tergugat untuk menyanggah dalil-dalil yang diajukan oleh pihak penggugat. Dalam ketentuan pasal 125 H.I.R disebutkan bahwa alat-alat bukti yang sah itu ada 5 macam, yaitu; 1. Bukti surat 2. Saksi-saksi 3. Persangkaan 4. Pengakuan 5. Sumpah 4. Keputusan Pengadilan Keputusan pengadilan pada dasarnya merupakan penerapan hukum terhadap suatu peristiwa, dalam hal ini pekara yang memerlukan penyelesaian melalui kekuasaan Negara. Putusan ini terdiri dari dua jenis yaitu putusan sela dan putusan akhir. Putusan sela dilakukan apabila tergugat melakukan eksepsi relative pada hari sidang pertama, oleh kerena itu Majelis Hakim wajib memmutuskan terlebih dahulu sebelum melanjutkan kepada pemeriksaan pokok perkara. Putusan sela ini ada bermacam-macam. Diantaranya adalah sebagai berikut; 1. Putusan prepatoir 2. Putusan insidenti 3. Putusan provisional Putusan akhir ini terdiri dari 3 macam, yaitu; 1. Putusan declatoir adalah putusan yang hanya bersifat menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata. Misalnya adalah sekelompok ahli waris datang ke pengadilan agar mendapat ketetapan mereka masing-masing menurut Hukum Islam. Dalam hal ini maka putusannya adalah putusan declatoir. 2. Putusan constitutive adalah putusan yang meniadakan suatu kedaan hukum atau menimbulkan keadaan hokum yang baru. Misalnya, adalah putusan perceraian. 3. Putusan comdemnatoir adalah putusan yang berisi penghukuman. Misalnya, adalah harus member nafkah. HUKUM ACARA PERDATA A. PELAKSANAAN PENDAFTARAN GUGATAN TINGKAT PERTAMA • Penggugat atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan gugatan yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri pada Pengadilan Negeri Palembang di bagian Perdata, dengan beberapa kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi :
a.Surat
Permohonan/Gugatan b.Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat) • Penggugat / Kuasanya membayar biaya gugatan / SKUM di Kasir • Memberikan SKUM yang telah dibayar dan menyimpan bukti asli untuk arsip. • Menerima tanda bukti penerimaan Surat Gugatan • Menunggu Surat Panggilan sidang dari Pengadilan Negeri Palembang yang disampaikan oleh Juru Sita Pengganti • Menghadiri Sidang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan B. PELAKSANAAN PENDAFTARAN GUGATAN TINGKAT BANDING • Pemohon atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri Palembang di bagian Perdata, dengan beberapa kelengkapan / syarat yang harus dipenuhi : a.Surat Permohonan Banding b.Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat) c.Memori Banding • Pemohon / Kuasanya membayar biaya gugatan / SKUM di Kasir • Memberikan SKUM yang telah dibayar dan menyiapkan bukti asli untuk arsip • Menerima tanda bukti penerimaan Surat Permohonan • Menunggu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Berkas (Inzage), Pemohon diberikan jangka waktu 14 hari untuk datang ke Pengadilan Negeri setempat untuk mempelajari berkas • Menunggu Surat Pemberitahuan Kontra Memori Banding dan salinan Kontra Memori Banding • Menunggu kutipan putusan dari Pengadilan Tinggi yang akan disampaikan oleh Juru Sita Pengganti C. PELAKSANAAN PENDAFTARAN GUGATAN TINGKAT KASASI • 1.Pemohon atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri Palembang di bagian Perdata, dengan beberapa kelengkapan / syarat yang harus dipenuhi : a.Surat Permohonan Kasasi b.Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat) c.Memori Kasasi • Pemohon / Kuasanya membayar biaya gugatan / SKUM di Kasir • Memberikan SKUM yang telah dibayar dan menyimpan bukti asli untuk arsip • Menerima tanda bukti penerimaan Surat Permohonan • Menunggu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Berkas (Inzage), Pemohon diberikan jangka waktu 14 hari untuk datang ke Pengadilan Negeri setempat untuk mempelajari berkas • Menunggu Surat Pemberitahuan Kontra Memori Kasasi dan salinan Kontra Memori
Kasasi • Menunggu kutipan putusan dari Mahkamah Agung yang akan disampaikan oleh Juru Sita Pengganti. BAB II PERBEDAAN A.
Perbedaan dalam kewenangan
a. Hukum Acara Pengadilan Agama khusus (masyarakat yang beragama islam) Sebagai peradilan khusus, Pengadilan Agama mempunyai tugas dan kewenangan tertentu seperti tersebut pada Pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009, yang menyatakan : Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragam Islam di bidang : a. Perkawinan b. Kewarisan c. Wasiat d. Hibah e. Wakaf f. Zakat g. Infaq h. Shodaqoh i. Ekonomi Syari’ah Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum .
b. Kewenangan hukum acara perdata umum Hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana cara mengajukan gugatan, memeriksa, mengadili dan memutus, melakukan eksekusi melalui hakim dalam lingkungan peradilan perdata. ( hukum formil ) Hukum acara perdata bersifat mengikat atau bersifat memaksa, yaitu bahwa bila terjadi suatu proses acara perdata di pengadilan maka ketentuannya tidak dapat dilanggar melainkan harus ditaati oleh para pihak. c. Hukum Acara Yang Berlaku di Peradilan Agama Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dan ditambah
dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 menyatakan : “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini” . d. Urutan Beracara Perdata Urutan beracara a. Gugatan b. Mediasi c. Jawaban (eksepsi, pokok perkara, rekopensi) d. Replik (penggugat, lugas) e. Duplik (tergugat, penggugat rekopensi) f. Pembuktian (pembuktian oleh masing-masing pihak apakah benar/ tidak statemen masing2) g. Kesimpulan h. Putusan e. Urutan Beracara di Peradilan Agama Hukum Acara Khusus dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 Dalam buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Bagian Kedua, Bidang Teknis Peradilan, Peradilan Agama, halaman 216-234 diatur hal-hal yang ringkasnya sebagai berikut : 1) Bidang Perkawinan Beberapa perkara berikut dapat diajukan dan diperiksa serta diputus secara voluntoir, maksudnya : berbentuk permohonan yang hanya terdiri dari pihak Pemohon saja dan tidak terdapat sengketa. Padahal menurut azasnya perkara terdiri dari dua pihak yang sedang bersengketa atau disebut perkara contensios. Perkara voluntoir tersebut adalah : a)Permohonan dispensasi umur kawin b)Permohonan izin kawin c)Permohonan penetapan wali adhol d)Permohonan penetapan perwalian e)Permohonan penetapan asal-usul anak 2)Bidang Perceraian a)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50
Tahun 2009 memberi kemudahan dan perlindungan kepada isteri dalam hal di Pengadilan
Agama mana perceraian diajukan. (1) Suami mengajukan cerai talak di Pengadilan Agama yang di daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon (isteri) (Pasal 66 (2)). (2) Isteri mengajukan cerai gugat di Pengadilan Agama yang di daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat (isteri) (pasal 73 (2)). b)
Dalam perkara perceraian tidak ada pihak yang kalah atau menang, sehingga biaya
perkara dibebankan kepada Penggugat atau Pemohon (Pasal 89 ayat (1)) c)
Pemeriksaan perkara perceraian dalam sidang tertutup (pasal 68 (2) dan 80). Hal ini
dimaksudkan untuk menjaga rahasia pribadi para pihak. d)
Permohonan penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama-sama
dengan permohonan cerai talak/ gugat cerai ataupun sesudahnya (Pasal 66 ayat (5) 86 ayat (1)) e)
Untuk melindungi isteri maupun anak, Hakim Pengadilan Agama baik diminta atau
tidak, dalam perkara perceraian dapat menghukum pihak suami untuk memberi nafkah isteri maupun anaknya (Pasal 44 c UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. 78 a UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan 45 ayat (2) dan 49 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. 78 huruf b UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006. f)
Hak bekas isteri maupun anaknya atas bagian bekas suaminya yang Pegawai Negeri,
dapat dituntut dan diputus dalam perkara perceraiannya (PP 10 Tahun 1983 jo. PP 45 Tahun 1990). 3) Bidang Waris, Wasiat dan Hibah yang Dilakukan Berdasarkan Hukum Islam a)
Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50
Tahun 2009 menganut azas personalitas keislaman, oleh karena itu Pengadilan Agama berwenang memeriksa dan mengadili perkara waris/ wasiat apabila pewaris (si mayit) beragama Islam. b)
Hibah yang dilakukan oleh orang Islam kepada orang Islam apabila timbul sengketa
adalah menjadi kewenangan Pengadilan Agama. c)
Bagi orang yang menghendaki surat keterangan ahli waris misalnya untuk mengambil
deposito di Bank, dapat dibuat akta di bawah tangan kemudian dimintakan pengesahan (gewaasmarker) kepada Ketua Pengadilan Agama. d)
Akta comparisi pembagian harta waris di luar sengketa dapat dilakukan berdasarkan
pasal 107 UU Peradilan Agama jo. 236 a HIR. 4) Sengketa Milik Pasal 50 UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 menyatakan : (1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana
dimaksud dalam pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. (2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
BAB III KESIMPULAN A. Hukum acara peradilan agama hanya berlaku bagi masyrakat yang beragama islam (khusus) sedangkan hukum acara perdata berlaku bagi masyarakat umum. B. Sumber hukum acara peradilan agama ialah UU no 7 tahun 1989 tentang peradilan agama . sedangkan sumber hukum acara perdata ialah, HIR (dalam jawa) dan RBG (luar jawa dan madura) C. Tata cara berperkara Hukum acara perdata yaitu gugatan, mediasi, jawaban, replik, duplik, pembuktian dan kesimpulan. Sendangkan dalam acara peradilan agama contoh alam bidang perkawinan • Permohonan dispensasi umur kawin • Permohonan izin kawin • Permohonan penetapan wali adhol • Permohonan penetapan perwalian • Permohonan penetapan asal-usul anak D.
Hukum acara peradilan agama hanya memperkarakan kasus kasus tertentu atau
khusus, sedangkan hukum acara perdata
1. SARAN 1.1 Disarankan para mahasiswa menambah lagi wawasan dari berbagai referensi. Hukum acara peradilan agama. 1.2 Sukuri apa yang telah allah berikan kepada kita agar kita bisa tetap menerima diri kita apa adanya dan tidak berpuas dalam mencari ilmu (hukum) dan fokus pada cita cita
BAB 1 SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA A.
UU No. 14/1970 Yang Diganti Dengan UU No. 4/2004
Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum, dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Untuk memberikan kepastian dalam proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan peralihan. Kekuasaan
kehakiman
adalah
kekuasaan
negara
yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila,
demi
terselenggaranya
Negara
Hukum
Republik
Indonesia.
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan. Dan semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum, dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Untuk memberikan kepastian dalam proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan peralihan. B.
UU No. 1 tahun 1974
Dalam
Undang-Undang
ini
diatur
mengenai
dasar
perkawinan,
syarat-syarat
perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian, ketentuan-ketentuan lain, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.Dalam Undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai perkawinan dari segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang- undang ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan sprituil dan material. 2. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan
menurut
hukum
masing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya.itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam pencatatan. 3. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan. 4. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan diantara calon suami isteri yang masih dibawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lobih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita. 5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang- undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan. 6. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumahtangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan C.
dan diputuskan bersama oleh suami-isteri. UU No. 14/1985 Yang Telah Diganti Dengan UU No. 5/2004
Mahkamah
Agung
adalah
salah
satu
pelaku
kekuasaan
kehakiman
sebagaimanadimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Susunan Mahkamah Agung terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera, danseorang sekretaris. Pimpinan dan hakim anggota Mahkamah Agung adalah hakim agung dan hakim agung paling banyak 60 orang. Pimpinan Mahkamah Agung terdiri atas seorang ketua, 2 (dua) wakil ketua, dan beberapa orang ketua muda.Wakil Ketua
Mahkamah Agung terdiri atas wakil ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang nonyudisial.Wakil ketua bidang yudisial membawahi ketua muda perdata, ketua muda pidana,
ketua
muda
usahanegara.Pada
agama,
setiap
ketua
muda
pembidangan,
militer,
Mahkamah
dan Agung
ketua
muda
dapat
tata
melakukan
pengkhususan bidang hukum tertentu yang diketuaioleh ketua muda.Wakil ketua bidang non-yudisial membawahi ketua muda pembinaan dan ketuamuda pengawasan. Masa jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda Mahkamah Agung selama 5 (lima) tahun. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara adalah pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka, di samping Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Selain itu, ditentukan pula Mahkamah Agung mempunyai wewenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan kewenangan
lainnya
yang
diberikan
oleh
undang-undang.
Undang-Undang ini memuat perubahan terhadap berbagai substansi Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Perubahan tersebut, di sampingguna disesuaikan dengan arah kebijakan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik
Undangmengenai
Indonesia kekuasaan
Tahun
1945,
kehakiman
juga
baru
didasarkan
yang
atas
Undang-
menggantikan
Undang-
UndangNomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakimansebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentangPerubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuanketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Berbagai substansi perubahan dalam Undang-Undang ini antara lain tentangpenegasan kedudukan Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, serta beberapa substansi yang menyangkut hukum acara, khususnya dalam melaksanakan tugas dan kewenangan dalam memeriksa dan memutus pada tingkat kasasi serta dalam melakukan hak uji terhadap peraturan
perundang-undangan
di
bawah
undapat
dimintakan
kasasi
kepada
Mahkamah Agung. Pembatasan ini di samping dimaksudkan untuk mengurangi kecenderungan setiap perkara diajukan ke Mahkamah Agung sekaligus dimaksudkan untuk mendorong peningkatan kualitasputusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding sesuai dengannilai-nilai hukum dan keadilan dalam
masyarakat. Dengan bertambahnya ruang lingkup tugas dan tanggung jawab Mahkamah Agungantara lain di bidang pengaturan dan pengurusan masalah organisasi, administrasi,dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, maka organisasiMahkamah Agung perlu dilakukan pula penyesuaian. D. UU No. 7/1989 Yang Telah Diganti Dengan UU No. 3/2006 Dalam Undang-Undang ini kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syari'ah. Dalam kaitannya dengan perubahan Undang-Undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: "Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan", Undang-Undang
dinyatakan Nomor
4
Tahun
2004
dihapus. tentang
Kekuasaan
Kehakiman
menegaskanadanya pengadilan khusus yang dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan dengan undang-undang. Oleh karena itu, keberadaan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama perlu diatur pula dalam Undang-Undang ini. Penggantian dan perubahan Undang-Undang tersebut secara tegas telah mengatur pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dari semua lingkungan peradilan ke Mahkamah Agung. Dengan demikian, organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang sebelumnya masih berada di bawah Departemen Agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama perlu disesuaikan. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengalihan ke Mahkamah Agung telah dilakukan. Untuk memenuhi ketentuan dimaksud perlu pula diadakan perubahan atas Undang-Undang
Nomor
7
Tahun
1989
tentang
Peradilan
Agama.
Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah. Dengan penegasan kewenangan Peradilan Agama tersebut dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum
kepada pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara tertentu tersebut, termasuk pelanggaran atas Undang-Undang tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya serta memperkuat landasan hukum Mahkamah Syar'iyah dalam melaksanakan kewenangannya
di
bidang
jinayah
berdasarkan
ganun.
Pengadilan agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan tinggi agama berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. E. PP No. 9 Tahun 1975 Peraturan Pemerintah ini memuat ketentuan-ketentuan tentang masalah pencatatan perkawinan,tatacara pelaksanaan perkawinan, tatacara perceraian, cara mengajukan gugatan perceraian, tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan, pembatalan perkawinan dan ketentuan dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang
dan
sebagainya.
Karena untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini diperlukan langkah-langkah persiapan dan serangkaian petunjuk petunjuk pelaksanaan dari berbagai Departemen atau Instansi yang bersangkutan, khususnya dari Departemen Agama, Departemen Kehakiman dan Departemen Dalam Negeri, sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib
dan
lancar,
maka
perlu
ditetapkan
jangka
waktu
enam
bulan
sejak
diundangkannya Peraturan Pemerintah ini untuk mengadakan langkah-langkah persiapan tersebut. F. HIR, Rbg, dan RV HIR
(Het
Herziene
Indonesisch
Reglement)
Reglemen tentang melakukan tugas kepolisian, mengadili perkaraperdata dan penuntutan hukuman bagi bangsa Indonesia danbangsa Timur Asing di Jawa dan Madura. Dalam Reglemen Indonesia yang Diperbarui (RIB) ini hanya dimuat hal-hal yang berkaitan dengan perkara perdata, hal-hal yang menyangkut perkara pidana diatur dengan Kitab Undang-undang HukumAcara Pidana dan peraturan pelaksanaannya. Dalam reglemen ini memuat: 1. Hal melakukan tugas kepolisian, yang meliputi kepala desa dan semua bawahan polisi yang Lain
2. Hal mengadili perkara perdatayang termasuk wewenang pengadilan negeri. RBG (Rechtsreglement Buitengewesten) Reglemen Untuk Daerah Seberang berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura. Dalam reglemen ini memuat: 1. Cara mengadili perkara perdata yang dalam tingkat pertama menjadi wewenang pengadilan Negeri yang meliputi:
Pemeriksaan di Sidang pengadilan
Musyawarah dan Keputusan pengadilan
Banding.
Pelaksanaan keputusan hukum
Beberapa acara khusus
Izin berperkara tanpa biaya 2. Bukti dalam perkara perdata RV (Reglement of de Rechtsvordering) RV adalah hukum perdata eropa yang dibawa oleh belanda ke Indonesia. Tapi ternyata tidak cocok dengan Indonesia, oleh karena itu kemudian diadakan penyesuaianpenyesuaian dan dibentuklah HIR. Kemudian setelah beberapa lama, terjadi ketidak sesuaian dengan daerah luar Jawa dan Madura, maka dibentuklah RBg. BAB II HUBUNGAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA DENGAN HUKUM ACARA PERDATA A.
Pengertian Hukum Acara Perdata
Sebelum membicarakan pengertian Hukum Acara Peradilan Agama, perlu diketahui bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan UndangUndang Nomor 35 Tahun 1999 serta dengan melihat UU No. 5 th.2004. Tugas utama Peradilan Agama ialah menerima, memeriksa, mengadili dan memutus serta menyelesaikan perkara perdata tertentu antara orang-orang yang beragama Islam.
(Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo pasal 49 & 50 UU No. 4 Th. 2006). Untuk mengetahui hukum acara Peradilan Agama, terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian hukum acara perdata karena Peradilan Agama hanya berwenang memeriksa perkara-perkara perdata dan menurut ketentuan pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini. Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiel dengan perantaraan Hakim. Dengan perkataan lain hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiel. Lebih konkrit lagi dapatlah dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya memajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan daripada putusannya. Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum acara perdata ialah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalanya peraturan hukum perdata. Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.ialah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim. Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Hukum acara perdata yang mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutuskan dan pelaksanaan dari pada putusanya. Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan memperolah perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah ―eigenrichting‖ atau tindakan menghakimi sendiri. Dari dua pengertian tersebut di atas, maka dapat ditarik suatu pengertian bahwa hukum acara Peradilan Agama ialah pertaturan hukum yang mengatur tentang bagaimana mentaati dan melaksanakan hukum perdata materiel dengan perantaraan Pengadilan Agama termasuk bagaimana cara bertindak mengajukan tuntutan hak atau permohonan
dan bagaimana cara Hakim bertindak agar hukum perdata materiel yang menjadi kewenangan Peradilan Agama berjalan sebagaimana mestinya. B. Hubungan Peradilan Agama Dengan Hukum Perdata Seperti telah diuraikan di atas bahwa berdasarkan ketentuan pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersebut, oleh karena itu ketentuan-ketentuan umum yang berlaku dalam hukum acara perdata berlaku juga dalam hukum acara Peradilan Agama. Jadi hubungan hukum acara Peradilan Agama dengan hukum acara perdata adalah sumber hukumnya dan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagian besar adalah sama.
BAB III PENUTUP A.
Kesimpulan
Peradilan Islam di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan Peradilan Agama telah ada di berbagai tempat di Nusantara, jauh sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan menurut pakar Sejarah Peradilan, Peradilan Agama telah ada sejak abad ke-16. Dalam sejarah yang dibukukan oleh Departemen Agama yang berjudul ―Seabad Peradilan Agama di Indonesia‖, tanggal 19 Januari 1882 ditetapkan sebagai Hari Jadinya, yaitu berbarengan dengan diundangkannya ordonantie stbl.1882-152, tentang Peradilan Agama di Pulau Jawa – Madura. Selama itu hingga sekarang, Peradilan Agama berjalan, putusannya ditaati dan dilaksanakan dengan sukarela, tetapi hingga diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989, Peradilan Agama belum pernah memiliki undang-undang tersendiri tentang susunan, kekuasaan dan acara, melainkan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak merupakan kesatuan, dan tidak pula seragam. Namun kini Peradilan Agama telah mempunyai UU tersendiri, yaitu UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan dan diundangkan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang tersebut merupakan rangkaian dari undang-undang yang mengatur kedudukan dan kekuasaan Peradilan di negara RI. Selain itu, UU tersebut melengkapi UU Mahkamag Agung No. 14 Tahun 1985, UU Peadilan Umum No. 2 Tahun 1986 dan UU Peradilan Tata Usaha Negara No. 5 Tahun 1986. Dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, kedudukan dan kekuasaan Pengadilan Agama setara dengan Lembaga Pengadilan lainnya. Daftar Pustaka:
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia.
Prof. Drs. H. Abdul Manan, S.H., SIP.M.Hum., Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.
A. Mukti Arto, H. Drs., SH. Praktek Perkara Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996.
Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam, 2001.
Mahkamah Agung RI., Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II Edisi Revisi, 1997.
Retnowulan Sutantio, SH dan Iskandar Oeripkartawinata, SH. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1989.
Yahya Harahap, M., SH. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Pustaka Kartini, 1990.
Ringkasan Buku Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia Ringkasan Buku Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia, Author: Hj. Sulaikin Lubis, SH. MH, Hj. Wismar Ain Marzuki SH, Gemala Dewi SH. LL.M
BAB I KONSEP-KONSEP DASAR DAN SUMBER – SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
A. Konsep-Konsep Dasar
1.
Pengadilan agama adalah tempat di mana dilakukan usaha mencari keadilan dan kebenaran yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa yakni melalui suatu majelis Hakim atau Mahkamah.
2.
Hakim adalah penjabat yang berwenang menghukumi suatu tindak pidana atau suatu pertengkaran dengan menjatuhi hukuman kepada pelaku pidana atau dengan memerintahkan kepada pihak yqang terkalahkan untuk mengembalikan hak kepada pihak yang terkalahkan untuk mengembalikan hak kepada pihak yang sebenarnya dan menolak kezhaliman..
3.
Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius) ”Putusan hakim peradilan agama” adalah pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang di lingkungan Peradilan Agama yang berkekuatan hukum yang sah dalam hal sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan kewenangan Peradilan Agama sebaimana diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 tahun 2006 ”
B. Sumber-Sumber Hukum Dasar Hukum Peradilan Agama dan pentingnya keputusan hakim antara lain: 1. Dasar Hukum Al-Qu’ran a)
QS. Al-Baqarah (1): 30 : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: " Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi ". Mereka berkata:" Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? "Tuhan berfirman:" Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui ".
b)
QS. Al-Baqarah (1): 231 : Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketah (11)
c)
QS. An-Nisa (4) : 58 : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(13) 2. Dasar Hukum Hadist
a)
”Warta dari Abdullah bin ’Amr menerangkan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: ”Tidak halal bagi tiga orang yang berada di tanah lapang,kecuali mereka mengangkat pimpinan salah satu seorang dari mereka” (HR Ahmad) (23)
b)
Dari Abi Said bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: apabila keluar tiga orang dengan maksud hendak bepergian . hendaklah salah satu diantaranya ada yang dijadikan penanggung jawab. (HR. Abu Daud)
c)
Dari Amar bin Ash ra. Bahsanya ia mendengar Rasulullah SAW bersabda: Apabila Hakim menjatuhkan hukum dengan berijtihat dan ijtihatnya itu benar, maka ia mendapat dua pahala dan kalau dia menjatuhkan hukum dengan berijtihat kemudian ijtihatnya salah, maka ia mendapatkan satu pahala.
BAB II KEDUDUKAN DAN PELAKSANAAN HUKUM ISLAM DALAM NEGARA REBUPLIK INDONESIA
A. Hukum Islam Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan merupakan bagian agama Islam. Hukum Islam dasarnya ditetapkan oleh Allah melalui wahyu Nya yang dijelaskan oleh nabi Muhammad saw sebagai rasulNya melalui sunnah beliau, dasar inilah yang membedakan hukum Islam secara fundamental dengan hukum yang lain yang semata-mata lahir dari kebiasaan hasil pemikiran atau buatan manusia belaka. Ali Said menegaskan bahwa di samping hukum adat dan hukum eks barat, hukum Islam yang merupakan salah satu komponenin tata hukum Indonesia menjadi salah satu bahan baku pembentukan hukum nasional Indonesia
B. Pelaksanaan Hukum Islam Pelaksanaan hukum Islam di Indonesia dilakukan melalui berbagai jalur 1)
Jalur pertama adalah jalur iman dan takwa,
2)
Jalur kedua yaitu jalur peraturan perundang-undangan
3)
Pelaksanaan hukum Islam bidang muamalah
4)
Melalui BAMUI (badan Arbitrase Muamalah Indonesia) yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat ini para pengusaha, pedagang dan industriawan atas kesepakatan bersama dapat memilih hukum Islam untuk menyelesaikan sengketa mereka secara damai (di luar pengadilan)
5)
Jalur kelima melaksanakan dalam makna menerapkan hukum Islam dilakukan oleh lembaga pusat penelitian obat/kosmetik dan makanan (LPPOM) yang juga didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia
6)
Jalur keenam yaitu jalur pembinaan atau pembangunan hukum nasional
BAB III SEJARAH PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
A. Masa (periode) Prapemerintahan Hindia Belanda Praktik pelaksanaan hukum acara Peradilan Agama pada waktu itu masih sangat sederhana, yang pada perkembangannya dikenal pembentukannya dalam 3 (tiga) periode yaitu : 1.
Tahkim kepada Muhakam Ketika pemeluk agama Islam masih sedikit, wujud Peradilan Agama belum seperti sekarang ini, pada masa itu bila terjadi perselisihan atau sengketa, di antara anggota masyarakat, di selesaikan dengan cara bertahkim kepada guru atau mubaligh yang dianggap mampu dan berilmu agama. Orang yang bertindak sebagai hakim, disebut muhakam.
2.
Masa (periode Ahlul Hilli Wal’Aqdi) Ketika penganut agama Islam telah bertambah banyak dan terorganisir dalam kelompok masyarakat yang teratur, jabatan hakim atau qadhi dilakukan secara pemilihan dan baiat oleh ahlul hilli wal’aqdi, yaitu pengangkatan atas seorang yang dipercaya ahli oleh majelis atau kumpulan orang-orang terkemuka dalam masyarakat.
3.
Masa (Perode) Tauliyah Ketika masyarakat Islam telah berkembang menjadi kerajaan Islam, pengangatan jabatan hakim (qadhi) dilakukan dengan pemberian “tauliyah” yakni pemberian atau pendelegasian kekuasaan dari penguasa.
B. Masa (periode) Transisi Pada tanggal 4 Maret 1620 dikeluarikan instruksi agar di daerah yang dikuasai kompeni (VOC) harus diberlakukan hukum sipil Belanda, antara lain dalam soal kewarisan. Instruksi tersebut tidak dapat dilaksanakan karena mengalami kesulitan akibat perlawanan dari pihak Islam. Sedang masalah hukuman badan dan hukuman mati tidak ditanggapi oleh masyarakat Islam. Berlakunya hukum perdata Islam diakui oleh VOC dengan Resolutie der Indische Regeling tanggal 25 Mei 1760, yaitu, berupa suatu kumpulan aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan menurut hukum Islam, atau compendium freijer, untuk dipergunakan pada pengadulan VOC.
Juga terdapat kumpulan-kumpulan hukum perkawinan dan hukum kewarisan menurut hukum Islam yang dibuat dan dipakai di daerah-daerah lain, yaitu Cirebon, Semarang, dan Makasar.
C. Masa Pemerintahan Hindia Belanda Pada tahun 1854 Pemerintah Belanda mengeluarkan pernyataan politik yang dituangkan dalam “Reglement op het beleid der regeerings van Nederlandsch Indie” yang disingkat menjadi Regeerings Reglement (RR) dan dimuat di dalam Stbl. Belanda 1854 No. 129 dan sekaligus dimuat di dalam Stbl. Hindia Belanda Tahun 1855 No. 2. Dalam pasal 75, 78 dan 109 Regeerings Reglement (RR) Stbl. 1855 : 2 ditegaskan berlakunya undang-undang (hukum) Islam bagi orang Islam Indonesia. Secara rinci, terjemahan dari bunyi pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut : 1)
Pasal 75 ayat (3) : “Oleh hakim Indonesia hendaklah diberlakukan UU Agama (godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia”.
2)
Pasal 75 ayat (4): “UU agama, instelling dan kebiasaan itu juga dipakai untuk mereka oleh hakim Eropa pada pengadilan yang lebih tinggi, bila terjadi pemeriksaan banding”.
3)
Pasal 78 (2) : “Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia atau yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka tunduk kepada putusan hakim agama atau kepala masyarakat mereka menurut UU agama (godsdienstige weeten) atau ketentuan-ketentuan lama mereka.
4)
Pasal 109 merupakan penjelasan lebih lanjut dari kedua pasal di atas. Pasal ini berbunyi sebagai berkut : “Ketentuan termaksud dalam pasal 75 dan 78 itu berlaku pula bagi mereka yang dipersamakan dengan “inlander”, yaitu orang Arab, orang Moor, orang Cina dan semua mereka yang beragama Islam dan orang-orang yang tidak beragama.
D. Masa Pemerintahan Hindia Belanda II Theorie Receptie : Masa itu terjadi perubahan-perubahan mengenai pasal-pasal RR tersebut. Antara lain atas anjuran C. van Vollenhoven, dan Snouck Hurgrounje. Pada tahun 1925 regering reglement diubah namanya menjadi : IS (Wet Op de Staats Inrichting Van Nederlands Indie). Dengan Stbl 1925 tersebut. Dan dalam kaitannya dengan lembaga Peradilan Agama, pada tahun 1929 baru diadakan perubahan mengenai isi dari IS, yaitu dengan Stbl. Tahun 1929 No. 221 Pemerintah Hindia Belanda mengubah pasal 134 ayat (2) IS, sehingga dinyatakan bahwa : “Dalam hal terjadi perkara peerdata antara sesame orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya dan sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi”. Sejak saat itu, bermulalah suatu masa dimana seakan-akan masyarakat Indonesia telah merasakan sebagai suatu hal yang benar dan biasa saja bahwa hukum Islam itu bukan hukum di Indonesia dan telah tertanam dalam pikiran orang khususnya kalangan sarjana hukum bahwa yang berlaku adalah hukum adat. Dan hanyalah kalau hukum Islam itu menjadi hukum adat barulah menjadi hukum.
E. Masa (Periode) Penjajahan Jepang Pada masa pemerintahan Jepang ini lembaga Pengadilan Agama yang sudah ada pada masa penjajahan Belanda, tetap berdiri dan dibiarkan dalam bentuknya semula. Perubahan lembaga ini hanyalah dengan memberikan atau mengubah nama saja, yaitu Sooryoo Hooin untuk Pengadilan Agama dan Kaikyoo Kootoo Hooin untuk Mahkamah Islam Tinggi (Pengadilan Tinggi Agama). Meninjau secara ringkas tentang keadaan peradilan di seluruh Indonesia pada zaman Jepang adalah sukar sekali, oleh karena daerah kekuasaan yang berbeda, yakni Sumatera adalah termasuk daerah Angkatan Darat yang berpusat di Shonanto (Singapura), Jawa Madura dan Kalimantan adalah daerah Angkatan Darat yang berpusat di Jakarta. Sedang Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara adalah daerah Angkatan Laut yang berpusat di Makasar.
F. Masa Setelah Kemerdekaan Indonesia 1. Tahun 1945 – 1957 Pada tahun 1946 dikeluarkan Undang-undang No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk yang berlaku untuk seluruh Indonesia dengan Undang-undang No. 32 tahun 1954. Namun, peraturan tentang pelaksanaan tugas Peradilan Agama, seperti yang dimaksud dalam undangundang Darurat No. 1 Tahun 1951 belum ada sama sekali. Dalam pasal 4 ayat 1 PP No. 45 tahun 1957 disebutkan wewenang Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah adalah, memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami isteri yang beragama Islam, dan segala perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama Islam yang berkenaan dengan Nikah, thalaq, ruju’, fasach, nafaqah, mas kawin (mahar), tempat kediaman (maskan) mut’ah dan sebagainya, hadhanah, perkara waris mal waris, wakaf, hibah, sedekah, baitulmal dan lain-lain yang berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syrat taklik sudah berlaku. Dalam pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa, Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah tidak berhak memeriksa perkara-perkara yang tersebut dalam ayat 1, kalau untuk perkara-perkara itu berlaku lain daripada hukum agama Islam. Uraian lebih lanjut mengenai pendirian Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah diluar Jawa dan Madura dapat dibaca dan dipelajari H.M. Djamil Latif, dalam buku Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia (Bab I dan II) serta H. Zaini Ahmad Noeh, Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia (Bab I dan II).
2. Tahun 1957-1974 Pada masa itu pemerinah sedang menyusun suatu Undang-undang Perkawinan, yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa Perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing. Pasal 2 ayat 2 Perkawinan harus dicatat dalam undang-undang ini tercakup ketentuan Hukum Perkawinan Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits. Dalam penjelasan Pasal 39 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 disebutkan enam (6) alasan perceraian, dalam hal ini dicantumkan kembali dalam pasal 19 PP. No. 9 tahun 1975 sebagai Peraturan Pelaksanaan Undang-undang ini.
Dalam pasal 63 ayat 1 ditegaskan bahwa, yang dimaksud dengan pengadilan dalam undangundang ini ialah : a)
Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam
b)
Pengadilan umum bagi lainnya.
Setelah berlakunya UU No. 1 tahun 1974 dan setalah berlakunya UU No. 7 tahun 1989, terdapat 16 hal yang merupakan wewenang Pengadilan Agama. Selanjutnya dikeluarkan peraturan Menteri Agama (PMA) No. 3 tahun 1975 tentang kewajiban Pegawai pencatat nikah.
3. Tahun 1974-1989 Dengan Keputusan Menteri Agama No. 6 tahun 1980, nama Pengadilan Agama yang berbedabeda untuk seluruh Indonesia, di seragamkan dengan sebutan atau istilah “Pengadilan Agama” untuk Pengadilan Tingkat Pertama, dan “Pengadilan Tinggi Agama” untuk Pengadilan Tingkat Banding di seluruh Indonesia. Pada tahun 1985 dikeluarkan UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dalam pasal 1 ditetapkan bahwa, Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi Negara sebagaimana dimaksud dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia No. III MPR/1978. Dalam pasal 2 ditetapkan bahwa Mahkamah Agung adalah pengadilan Negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya.
4. Tahun 1989-1999 Setelah berlakunya UU No. 7 tahun 1989, dikeluarkan tiga peraturan, yaitu : a)
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 tahun 1990, tanggal 2 Maret 1990 tentang Petunjuk Pembuatan Penetapan sesuai pasal 84 ayat 4 UU No. 7 1989.
b)
Surat Edaran Menteri Agama nomor 2 tahun 1990 tentang petunjuk Pelaksanaan UU no. 7 tahun 1989 dan
c)
Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
5. Peradilan Agama dalam Sistem Peradilan Menurut UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU No. 35 Tahun 1999 Serta UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Meskipun ada perubahan terhadap pasal 11 UU No. 14 Tahun 1970, yang menyatakan bahwa secara organisatoris, administrative dan finansial Peradilan Agama berada di bawah Mahkamah Agung, namun baik sebelum atau sesudah lahirnya UU No. 35 Tahun 1999, Peradilan Agama tidak mengalami perubahan seperti yang ditentukan terhadap lingkungan peradilan yang lain yaitu dalam waktu lima tahun secara bertahap sudah harus berada di di bawah Mahkamah Agung.
Saat ini pengaturan mengenai struktur organisasi, administrasi dan finansial lembaga Peradilan Agama ke “satu atap” yaitu di bawah Mahkamah Agung telah semakin kokoh dengan keluarnya UU No. 3 tahun 2006 yang mengaturnya lebih lanjut pada Pasal I angka 4 mengenai perubahan bunyi Pasal 5 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 yang berbunyi “Pembinaan teknis peradilan, organisasi, dan finansial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.” Sedangkan pada pasal 1 angka 6 juga terdapat penyesuaian terhadap bunyi Pasal 12 ayat (1) UU Peradilan Agama tersebut sehingga berbunyi : “ Pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung.”
BAB IV KERANGKA HISTORIS PEMBENTUKAN UU No. 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA
A. Latar Belakang Penyusunan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Dalam kurun waktu 28 tahun proses pembentukan UU No 7 tahun 1989, dapatlah dibagi kedalam 4 periode penting, yaitu :
1.
Periode 1961 sampai dengan 1971 Pada masa 10 tahun persiapan intern, dimulai dengan keluarnya UU No 19 tahun 1964 mengenai Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dimana dinyatakan bahwa peradilan agama merupakan salah satu ruang lingkup peradilan di Indonesia dengan Makamah Agung sebagai puncaknya dan secara organasatoris, administrasi, financial berada pada departemen masing-masing. Pada priode inilah departemen agama menghasilkan dua Rancangan undang-undang, RUU tentang susunan dan kekuasaan agama, dan RUU tentang Acara Pradilan Agama.
2.
Periode 1971 sampai dengan 1981 Tahap dimana langka-langkah kongrit telah dilakukan secara peraturan perundang-undangan oleh departemen agama dengan dilandasi oleh peraturan UU No. 14 tahun 1970 pasal 10 (1) serta Instruksi presiden no 15 tahun 1970 tentang tata cara Persiapan RUU dan PP pasal 1. atas landasan inilah menteri agama mengajukan 2 draf rancangan undang-undang. Dengan disyahnkannya UU perkawinan, maka kekuasaan peradilan agama diperluas dalam menagani kasus perkawinan. Proses penyiapan RUU PA terhambat oleh proses persiapan RUU peradilan umum dan RUU tentang MA. Pada tahun 1977, MA mengeluarkan peraturan no 1/1977 yang memberlakukan acara kasasi peradilan perdata umum terhadap perkawinan yang berasal dari peradilan agama.
3.
Periode 1981 sampai dengan 1988 Berdasarkan tata tertip DPR, maka pembicaraan RUU PA melalui tahap-tahap :
a)
Pada tingkat pertama, terjadi perdebatan yang sangat singit, dimana kelompok yang tidak menyetujui RUU PA dibahas mempermasalahkan dasar pembentukan RUU PA berupa UUD 1945 pasal 24 dan pasal 25 serta UU No 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.
b)
Pada tahap kedua, dimana disampaikannya pandangan umum fraksi-fraksi dan pendapat pemerintah berjalan cukup memadai.
c)
Pada tahap ketiga, dibentuknya pansus RUU PA, dan pansus membentuk rencana kerja sebagai persiapan pengesahan RUU PA menjadi UU pada tahap ke Empat.
d)
Pada tahap ke empat, pada tanggal 29 Desemer 1989 RUU PA disahkan.
B. Sistematika UU PA UU No 7 Tahun 1989 terdiri dari 7 Bab dan 108 pasal, dengan susunan sebagai berikut : 1)
BAB I Tentang ketentuan umum Memuat mengenai pengertian, kedudukan dan pembinaan pengadilan dalam lingkup peradilan agama.
2)
BAB II Mengenai susunan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi.
3)
BAB III Mengenai Kekuasaan Pengadilan dalam lingkup peradilan agama.
4)
BAB IV Mengatur Hukum Acara
5)
BAB V menyebut ketentuan-ketentuan lain mengenai administrasi peradilan, pembagian tugas para hakim, panitera dan juru sita.
6)
BAB VI mengenai peraturan peralihaan
7)
BAB VII mengenai ketentuan penutup
C. Beberapa Perubahaan Yang Terjadi Setelah Berlakuknya UU No 7 Tahun1989 Dengan disahkannya UU No 7 tahun1989, maka terajdi perubahan-perubahan dalam lingkup peradilan agama. Yaitu perubahaan mengenai : 1)
Peradilan agama menjadi peradilan yang mandiri
2)
Seragamnya peradilan agama seluruh RI
3)
Perlindungan terhadap wanita lebih ditingkatkan
4)
Adanya juru sita, dan tidak diperlukannya lagi pengukuhan keputusan dari Pengadilan Umum
5)
Terlaksananya ketentuan pokok undang-undang kehakiman
6)
Terlaksananya pembangunan hokum berwawaskan nusantara.
BAB V ASAS-ASAS UMUM YANG TERDAPAT DALAM UU NO. 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA
A. Asas Personal Keislaman Asas personalita keislaman dimana yang dapat tunduk dalam kekuasaan lingkungan Peradilan Agama yani hanya mereka yang mengakui pemeluk Agama Islam. Penganut Selain agama Islam atau non Islam tidak tunduk dan tidak dapat dipaksa tunduk kepada lingkungan Pengadilan Agama.
B. Asas Kebebasan Dalam hal ini agar hokum dapat ditegakan berdasarkan pancasila, akan tetapi kebebasan kehakiman bukanlah kebebasan yang membabi buta akan tetapi terbatas dan relative.diantaranya: ·
Bebas dari campur tangan kekuasaan negara lain,
·
Bebas dari paksaan
·
Kebebasan melaksanakan wewenang judical (peradilan)
C. Asas Wajib Mendamaikan Asas mendamaikan dalam Peradilan Agama sejalan dengan konsep Islam yang dinamakanIshlah. Untuk itu layak sekali para hakim Peradilan Agama menyadari dan mengemban fungsi “mendamaikan” karena bagaimanapun seadil-adilnya putusan jauh lebih baik dan lebih adil jika perkara diselesaikan dengan perdamaian.
D.
Asas Sederhana, Cepat Dan Biaya Ringan
Sebuah Peradilan apalagi Peradilan Agama yang menjadi harapan masyarakat muslim untuk mencari keadilan, dengan adanya Asas Sederhana , cepat dan biaya ringan akan selalu dikehendaki oleh masyarakat..
E.
Asas Terbuka Untuk Umum
Setiap pemeriksaan berlangsung disidang pengadilan, siapa saja yang ingin berkunjung, menghadiri, menyaksikan, dan mendengarkan jalanya persidangna tidak boleh dihalangi dan dilarang, maka untuk memenuhi syarat formal atas asas ini, sebelum hakim melakukan pemeriksaan lebih dahulu menyatakan dan mengumumkan ”persidangan terbuka untuk umum”. F.
Asas Legalitas Dan Persaman
Yakni pengadilan mengadili menurut ketentuan-ketentuan hukum. Karena hakim berfungsi dan berwenang mengerkan roda jalanya peradilan melalui badan pengadilan, semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan, mesti menurut hukum
G. Asas Aktif Memberi Bantuan Dalam asas ini hakim hendaknya dapat memberi bantuan secara akif dilihat dari tujuan dari memberi bantuan diarahkan untuk mewujudkan peraktek peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
BAB VI SUSUNAN PERADILAN AGAMA DAN APARATNYA
A. Susunan Oranisasi Pengadilan Agama Susunan Pengadilan Agama yang terdapat dalam pasal 9 undang-undang nomor 7 tahun 1989 adalah tidak berbeda dengan susunan pengadilan negeri, yaitu terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera, sekretaris dan juru sita sedangkan susunan Pengadilan Tinggi Agama adalah pimpinan, hakim anggota, panitera, dan sekretaris. 1)
Pimpinan Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari seorang ketua dan seorang wakil ketua.
2)
Hakim Anggota Pada umumnya ketentuan yang menyangkut persyaratan untuk menjadi hakim dan lain sebagainya antara Hakim . Syarat-syarat untuk menjadi hakim agama haruslah beragama Islam dan Sarjana Syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam.
3)
Panitera Di Pengadilan Agama seorang panitera harus beragama Islam dan berlatar belakang pendidikan Islam atau menguasai hukum Islam. Untuk Pengadilan Tinggi Agama persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi panitera adalah orang tersebut memiliki ijazah sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam, sedangkan persyaratan yang lainnya tidak berbeda dengan persyaratan untuk menjadi panitera Pengadilan Tinggi.
4)
Sekretaris
Di Pengadilan Agama juga ada sekretaris yang dipimpin oleh seorang sekretaris dan dibantu oleh seorang wakil sekretaris dimana jabatan sekretaris dirangkap oleh panitera pengadilan
5)
Juru Sita Untuk menjadi juru sita, diisyaratkan harus mempunyai pengalaman minimal 5 (lima) tahun sebagai juru sita pengganti, selain itu orang tersebut haruslah Warga Negara Indonesia, beragama Islam, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan berijazah serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat atas. BAB VII WEWENANG ATAU KOMPETENSI PERADILAN AGAMA
A. Kompetensi Absolut. Wewenang mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili, dan dalam bahasa Belanda disebut attributie van rechtmacht. Misalnya persoalan mengenai perceraian bagi mereka yang beragama Islam berdasarkan ketentuan pasal 63 ayat 1) huruf a UU No. 1 Th. 1974 adalah wewenang pengadilan agama. Sedangkan persoalan warisan, sewa-menyewa, utang-putang, jual-beli, gadai adalah merupakan wewenang pengadilan negeri. Wewenang mutlak menjawab pertanyaan badan peradilan macam apa yang berwenang untuk mengadili sengketa ini ?
B. Kompetensi Relatif Kompetensi Relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili antara pengadilan Agama yang serupa, tergantung dari tempat tinggal tergugat. Pasal 118 HIR menyangkut kekuasaan relatif, yang dalam bahasa Belanda disebut distributie van rechtsmacht. Azasnya adalah ”yang berwenang Pengadilan Agama di tempat tergugat”. Azas ini dalam bahasa Latin dikenal dengan sebutan ”Actor Sequitur orum Rei”. Apa itu tempat tinggal ? dan apa pula yang dimaksud dengan tempat kediaman ? Perbedaan ini perlu dipahami dengan sebaik-baiknya, oleh karena dalam pasal 118 HIR di samping tempat tinggal menyebut pula tempat kediaman. Pasal 17 BW menyatakan, bahwa tempat tinggal seorang adalah tempat dimana seseorang menempatkan pusat kediamannya, dan juga tercatat sebagai penduduk. Sedang tempat kediaman adalah dimana seseorang berdiam, mungkin di rumah peristirahatannya di Puncak. Sehingga apabila seseorang pindah tanpa meninggalkan alamat barunya, dan tempat tinggalnya ataupun tempat kediamannya tidak diketaui, maka ia digugat pada pengadilan tempat tinggalnya yang terakhir dan dalam surat gugatan disebutkan ”paling akhir bertempat tinggal , umpamanya di Jalan Kramat No. 15 Jakarta, sekarang alamat tidak diketahui”. Sehingga gugatan diajukan ke Pengadilan Agama di Jakarta.Pusat.
BAB VIII PROSES ADMINISTRASI DAN PENGAJUAN PERMOHONAN DI PENGADILAN AGAMA
A. Perkara Cerai Talak
1. Prosedur a) Langkah yang harus dilakukan Pemohon (suami / kuasanya) : 1)
Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah ( pasal 118 HIR 142 Rbg jo pasal 66 UU nomor 7 tahun 1989 ).
2)
Pemohon dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah tentang tata cara membuat surat permohonan ( pasal 119 HIR 143 Rbg jo pasal 58 UU nomor 7 tahun 1989 ).
3)
Surat permohonan dapat dirubah sepanjang tidak mengubah posita dan petitum. Jika Termohon telah menjawab surat permohonan tersebut harus atas persetujuan Termohon.
b) Permohonan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah : 1)
Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon ( pasal 66 ayat (2) UU no 7 tahun 1989 ).
2)
Bila Termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Pemohon, maka permohonan harus diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon ( pasal 66 ayat (2) UU no 7 tahun 1989 ).
3)
Bila Termohon berkediaman diluar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon ( pasal 66 ayat (3) UU no 7 tahun 1989 ).
4)
Bila Pemohon dan Termohon bertempat kediaman diluar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkan pernikahan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta pusat ( pasal 66 ayat (4) UU no 7 tahun 1989 ).
c) Permohonan tersebut memuat :
1)
Nama, umur, pekerjaan, agama, dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon.
2)
Posita (fakta kejadian dan fakta hukum).
3)
Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
2. Penyelesaian Perkara a) b)
Penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah.. Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah untuk menghadiri persidangan.
c)
Tahap persidangan;
d)
Putusan Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah.
e)
Setelah putusan memperoleh kekuatan hokum tetap, maka panitera Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak.
B. Perkara Cerai Gugat
1. Prosedur Langkah yang harus dilakukan Penggugat (istri / kuasanya) : a)
Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah ( pasal 118 HIR 142 Rbg jo pasal 73 UU nomor 7 tahun 1989 ).
b)
Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah tentang tata cara membuat surat gugatan ( pasal 118 HIR 142 Rbg jo pasal 58 UU nomor 7 tahun 1989 ).
c)
Surat gugatan dapat dirubah sepanjang tidak mengubah posita dan petitum. Jika Tergugat telah menjawab surat gugatan tersebut harus atas persetujuan Tergugat.
d)
Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah :
2. Penyelesaian Perkara a) b)
Penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah.. Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah untuk menghadiri persidangan.
c)
Tahap persidangan;
d)
Putusan Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah.
e)
Setelah putusan memperoleh kekuatan hokum tetap, maka panitera Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak.
f) BAB IX PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ISLAM DAN PRAKTIKNYA DI PENGADILAN AGAMA
A. Pengertian Pembuktian Pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan undang-undang. Tingkatan keyakinan hakim sebagai berikut: 1. yakin (terbukti 100%) 2. zhaan (terbukti 75-99%) 3. syubhat (terbukti 50%) 4, waham (terbukti < 50%) B. Alat-Alat Bukti Yang Diakui Dalam Pembuktian Menurut Yang Digunakan Di Pengadilan Agama Alat-alat bukti tersebut sebagai berikut: 1)
Ikrar : pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri yang bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain.
2)
Syahadah : seseorang yang memberikan keterangan di muka sidang dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tertentu
3)
Yamin : suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu member janji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang menberi keterang atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya
4)
Riddah : pernyataan seseorang bahwa ia telah keluar dari agama Islam
5)
Maktubah : maktubah ada 2 macam yaitu: akta dan surat keterangan
6)
Tabayyun : upaya perolehan penjelasan yang dilakukan oleh pemeriksaan majelis pengadilan yang lain daripada majelis pengadilan yang sedang memeriksa.
C. Alat-Alat Bukti Yang Digunakan Di Pengadilan Agama
Alat-alat bukti itu sebagai berikut: 1. Alat bukti surat – surat (tertulis) Alat bukti surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang di maksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang yang di pergunakan sebagai pembuktian. Surat sebagai alat bukti tertulis dapat dibedakan dalam 2 jenis yaitu: surat akta otentik dan surat akta tidak otentik (dibawah tangan) 2. Alat bukti saksi Pada prinsipnya, setiap orang dapat menjadi saksi. Namun demikian, untuk memelihara obyektifitas saksi dan kejujurannya, ada orang tertentu oleh Undang-undang tidak dapat diperkenankan menjadi saksi sebagai dasar untuk memutus perkara, karena adanya hubungan tertentu dengan para pihak, atau karena keadaan tertentu orang tidak boleh di dengar sebagai saksi adalah : 1. Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang sah 2. Istri atau suami dari salah satu pihak meskipun sudah ada perceraian 3.
Anak yang tidak diketahui benar umurnya sudah 15 tahun
4.
Orang gila, meskipun ia kadang-kadang mempunyai ingatan yang terang.
3. Alat bukti persangkaan Oleh karena persangkaan itu merupakan kesimpulan belaka, maka dalam hal ini yang dipakai sebagai alat bukti sebetulnya bukan persangkaan itu, melainkan alat-alat bukti lain, yaitu misalnya kesaksian atau surat-surat, atau pengakuan salah satu pihak, yang membuktikan bahwa suatu peristiwa adalah terang ternyata, baru kemudian disimpulkan adanya suatu peristiwa tertentu. Persangkaan-persangkaan hakim sebagai alat bukti mempunyai kekuatan bebas, yaitu terserah kepada kebijaksanaan hakim, seberapa jauh di akan memberi kekuatan bukti kepada persengketaanpersengketaan yang didapat pada pemeriksaan perkara.
4. Alat bukti pengakuan Ada tiga macam pengakuan yaitu : a)
Pengakuan murni : ialah pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan
b)
Pengakuan dengan kualifikasi : ialah pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan.
c)
Pengakuan dengan klausula : adalah suatu pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersipat membebaskan.. 5. Alat bukti sumpah HIR menyebutkan 3 macam sumpah sebagai alat bukti yaitu :
a)
Sumpah supletoir diatur dalam pasal 155 HIR, 182 RBg dan 1940 BW yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya.
b)
Sumpah penaksir. Kekuatan pembuktian sumpah aestimatoir ini sama dengan sumpah supletoir; bersifat sempurna dan masih memungkinkan pembuktian lawan.
c)
Sumpah decisoir atau pemutus adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya (Pasal 156 HIR/Pasal 183 RBg/Pasal 1930 BW} Pihak yang meminta lawannya mengucapkan sumpah disebut deferent, sedang pihak yang harus bersumpah disebut delaat.
BAB X PRODUK-PRODUK PERADILAN AGAMA DAN PELAKSAANNYA
A. Produk-Produk Peradilan Agama Ada 3 (tiga) macam produk Hakim yaitu : 1. Putusan. 2. Penetapan. 3. Akta Perdamaian. Putusan ialah pernyatan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontensius) Penetapan ialah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (volunteer) Akta Perdamaian ialah akta yang dibuat oleh Hakim berisi hasil musyawarah/ kesepakatan antara para pihak dalam sengketa kebendaan untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan.
1. Macam dan Jenis Putusan
Dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara ada 2 (dua) macam putusan yaitu : a)
Putusan Akhir ialah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan baik melalui semua tahapan pemerikasaan maupun yang belum melalui semua tahapan pemeriksaan.
b)
Putusan sela ialah putusan yang dijatuhkan pada saat masih dalam proses pemerikasaan perkara dengan tujuan memperlancar jalannya pemeriksaan, putusan sela tidak mengakhiri pemerikasaan tetapi akan berpengaruh terhadap arah dan jalannya pemeriksaan.
Dilihat dari hadir tidaknya para pihak berperkara pada saat putusan dijatuhkan/diucapkan maka dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu : a)
Putusan gugur adalah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak hadir dalam sidang dan telah dipanggil dengan patut dan tidak menyuruh orang lain sebagai wakilnya yang sah serta ketidak hadirannya itu bukan karena halangan yang sah. (Pasal 148 RBg dan Pasal 124 HIR)
b)
Putusan Verstek ialah putusan yang dijatuhan karena tergugat/termohon tidak hadir meskipun telah dipanggil dengan patut dan tidak menyuruh orang lain sebagai wakilnya yang sah serta ketidak hadirannya bukan karena halangan yang sah dan juga tidak mengajukan eksepsi mengenai kewenangan. (Pasal 148 RBg/Pasal 125 HIR)
c)
Putusan Kontradiktoir ialah putusan akhir yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri oleh salah satu pihak atau para pihak akan tetapi dalam pemeriksaan penggugat dan tergugat pernah hadir.
Dilihat dari segi Sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan maka putusan dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam putusan yaitu : a)
Putusan diklatoir ialah putusan yang menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai suatu yang resmi menurut hukum. Misalnya putusan tentang gugatan cerai dengan alasan ta’lik talak.
b)
Putusan konstitutif ialah putusan yang menciptakan atau menimbulkan hukum baru, berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya. Misalnya menetapkan sahnya pernikahan (isbat nikah)
c)
Putusan kondemnatoir ialah putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan untuk memenuhi prestasi. Misalnya Menghukum Tergugat untuk menyerahkan seperdua bagian dari harta bersama kepada Penggugat.
Dilihat dari Isinya terhadap gugatan putusan terbagi kepada 3 macam yaitu : a)
Putusan negatif yaitu menolak atau tidak menerima gugatan.
b)
Putusan Positif yaitu mengabulkan atau menerima seluruh isi gugatan.
c)
Putusan Positif-negatif yaitu menerima atau mengabulkan sebagian dan tidak menerima atau menolak sebagian.
2. Susunan dan Isi Putusan Putusan Hakim harus dibuat dengan tertulis dan harus ditanda tangani oleh Hakim/Majelis Hakim termasuk Panitera/Panitera Pengganti sebagi dokumen resmi. Suatu putusan hakim terdiri dari : a. Kepala Putusan b. Identitas Para Pihak c. Pertimbangan (konsideran) yang memuat tentang Duduk Perkaranya dan Pertimbangan Hukum d. Amar atau dictum putusan
Secara detail suatu putusan harus memuat hal-hal berikut : a) b)
Judul dan Nomor Putusan (Nomor Putusan sama dengan Nomor perkara) Khusus putusan/penetapan Pengadilan Agama diawali dengan kalimat :”Bismillahirrahmanir rahiem” dan “Demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa”
c)
Nama dan tingkat pengadilan yang memutus.
d)
Identitas dan kedudukan pihak-pihak berperkara.(termasuk nama kuasa hukum apabila ada)
e)
Tentang duduk perkara yaitu memuat kronlogis duduk perkara mulai dari usaha perdamaian, dalildalil penggugat, jawaban tergugat, replik, duplik, bukti-bukti dan saksi serta kesimpulan para pihak.
f)
Tentang hukumnya yaitu memuat bagaimana Hakim mengkwalifisir fakta atau kejadian dan mempertimbangkanya secara baik dan dasar-dasar hukum yang dipergunakan dalam menilai fakta dan memutus perkara.
g)
Amar putusan yaitu merupakan kesimpulan akhir oleh hakim atas perkara yang diperiksanya, dalam amar putusan memuat juga pembebanan biaya perkara.
h)
Tanggal putusan yaitu memuat hari dan tanggal pengucapan putusan dalam sidang yang dinyatakan dalam akhir putusan.
i)
Hadir tidaknya para pihak ketika putusan dibacakan.
j)
Nama Hakim/Majelis Hakim yang memutus perkara termasuk Panitera/PP.
k)
Rincian biaya perkara. B. Pelaksanaan Putusan/Eksekusi
1. Pelaksanaan Putusan Pengadilan Agama Pelaksanaan putusan /eksekusi adalah putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan. Dan putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) . Putusan yang sudah berkekuatan tetap adalah putusan yang sudah tidak mungkin lagi dilawan dengan upaya hukum verzet, banding, dan kasasi. Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dapat melaksanakan segala putusan yang dijatuhkannya secara mandiri tanpa harus melalui bantuan Pengadilan Negeri. Hal ini berlaku setelah ditetapkannya UU No. 7/1989. Dan sebagai akibat dari ketentuan UU Peradilan Agama diatas adalah: a)
Ketentuan tentang eksekutoir verklaring dan pengukuhan oleh Pengadilan Negeri dihapuskan.
b)
Pada setiap Pengadilan Agama diadakan Juru Sita untuk dapat melaksanakan putusan-putusannya
2. Jenis-Jenis Pelaksanaan Putusan Terdapat beberapa macam pelaksanaan putusan,yaitu: § Putusan yang menghukum salah satu untuk membayar sejumlah uang. Hal ini diatur dalam pasal 196 HIR, pasal 208 R.Bg § Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan. Hal ini diatur dalam pasal 225 HIR, pasal 259 R.Bg § Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap. Putusan ini disebut juga Eksekusi Riil. Hal ini diatur dalam pasal 1033 Rv. § Eskekusi riil dalam bentuk penjualan lelang. Hal ini diatur dalam pasal 200 ayat (1) HIR, pasal 218 ayat (2) R.Bg
3. Putusan Yang Dapat Dieksekusi Putusan yang dapat dieksekusi adalah yang memenuhi syarat-syarat untuk dieksekusi, yaitu : Ø Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal: a. Pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebih dulu b. Pelaksanaan putusan provisionil c. Pelaksanaan Akta Perdamaian d. Pelaksanaan (eksekusi) Grose akta Ø Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara sukarela meskipun ia telah diberi peringatan (aan maning) oleh Ketua Pengadilan Agama Ø Putusan hakim yang bersifat kondemnatoir Putusan yang bersifat deklaratoir atau konstitutif tidak diperlukan eksekusi. Putusan kondemnatoir
tidak mungkin berdiri sendiri, dan merupakan bagian dari putusan deklaratoir, karena sebelum bersifat menghukum terlebih dahulu ditetapkan suatu keadaan hukum Ø Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama.
BAB XI UPAYA BANDING, KASASI, DAN PENINJAUAN KEMBALI
1. Pengajuan Banding Pengertian banding ialah permohonan pemeriksaan ulang kepada pengadilan yang lebih tinggi (dalam hal ini Pengadilan Tinggi Agama) terhadap suatu perkara yang telah diputus oleh tingkat pertama (Pengadilan Agama) karena merasa tidak puas atau tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama tersebut, dengan ketentuan sebagai berikut . a)
b)
Permohonan banding diajukan kepada pengadilan tinggi dalam daerah hukum meliputi pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara. Permohonan banding diajukan melalui pengadilan yang memutus perkara tersebut.
Syarat-syarat banding; a)
Diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara.
b)
Diajukan masih dalam tenggang waktu banding.
c)
Putusan tersebut menurut hukum diperbolehkan banding.
d)
Membayar panjar biaya banding.
e)
Membuat akta permohonan banding dengan menghadap pejabat kepaniteraan pengadilan.
Masa Pengajuan banding : a)
Bagi pihak berperkara yang berada dalam wilayah hukum pengadilan yang memutus perkara adalah selama 14 hari terhitung mulai hari berikutnya sejak putusan dijatuhkan atau diberitahukan kepada yang bersangkutan.
b)
Bagi pihak yang berada di luar wilayah pengadilan agama yang memutus perkara tersebut, masa bandingnya selama 30 hari terhitung hari berikutnya isi putusan disampaikan kepada yang bersangkutan. (Pasal 7 ayat (1), (2) dan (3) UU No.20/1947)
2. Pengajuan Kasasi Pengertian Kasasi ialah pembatalan putusan oleh Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan yang lebih rendah (pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama) karena kesalahan dalam penerapan hukum. Pihak yang tidak menerima atau tidak puas atas putusan pengadilan tinggi agama atau pengadilan agama (dalam perkara volunteer) dapat mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung dengan syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat kasasi a)
Diajukan oleh yang berhak.
b)
Diajukan masih dalam tenggang waktu kasasi.
c)
Putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat banding menurut hukum dapat dimintakan kasasi.
d)
Membuat memori kasasi.
e)
Membayar panjar biaya kasasi.
f)
Membuat akta permohonan kasasi di kepaniteraan pengadilan agama yang bersangkutan
Adapun tenggang waktu pengajuan kasasi sama dengan pengajuan banding. Apabila syarat-syarat kasasi tersebut tidak terpenuhi, maka berkas perkaranya tidak dikirim ke Mahkamah Agung, Panitera Pengadilan Agama yang memutus perkara tersebut membuat keterangan bahwa permohonan kasasi atas perkara tersbut tidak memenuhi syarat formal. Ketua PA melaporkan ke Mahkamah Agung bahwa permohonan kasasi tidak diteruskan ke MA (Peraturan MARI Nomor 1 Tahun 2001)
3. Peninjauan Kembali. Pengertian Peninjauan Kembali ialah meninjau kembali putusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena diketemukan hal-hal atau bukti baru yang pada pemeriksaan terdahulu tidak diketahui oleh Hakim. Peninjaun Kembali hanya dapat diperiksa oleh Mahkamah Agung.
Syarat-syarat permohonan PK a)
Diajukan oleh pihak yang berperkara.
b)
Putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
c)
Membuat permohonan peninjauan kembali yang memuat alasan-alasannya.
d)
Diajukan dalam tenggang waktu menurut undang-undang.
e)
Membayar panjar biaya peninjauan kembali.
f)
Membuat akta permohonan Peninjauan Kembali di Kepaniteraan Pengadilan Agama.
g)
Ada bukti baru yang belum pernah diajukan pada pemeriksaan terdahulu. Masa pengajuan permohonan Peninjauan Kembali adalah 180 hari terhitung mulai ditemukannya novum atau bukti baru dan sebelum berkas permohoan Peninjauan Kembali dikirim ke Mahkamah Agung, Pemohon harus disumpah oleh Ketua Pengadilan tentang penemuan novum tersebut.
BAB XII BANTUAN HUKUM DAN YURISPRUDENSI PERADIALAN AGAMA
A. Bantuan Hukum
1. Pengertian Bantuan Hukum Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu. Sedangkan advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang. Adapun organisasi advokat atau lembaga bantuan hukum adalah organisasi profesi yang didirikan berdasarkan undang-undang. Adapun definisi jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
2. Pemberian Bantuan Oleh Hakim Ada berberapa masalah formal yang tercakup kedalam objek fungsi memberi bantuan dan nasihat yaitu: 1)Membuat gugatan bagi yang buta huruf, 2)Memberi pengarahan tata cara izin “prodeo”, 3)Menyarankan penyempurnaan surat kuasa, 4).Menganjurkan perbaikan surat gugatan, 5)Memberi penjelasan alat bukti yang sah, 6)Memberi penjelasan cara mengajukan bantahan dan jawaban, 7)Bantuan memanggil saksi secara resmi, 8)Memberi bantuan upaya hukum, 9)Memberi penjelasan tata cara verzet dan rekonvensi, dan 10)Mengarahkan dan membantu memformulasi perdamaian
B. Yurisprudensi 1. Pengertian Yurisprudensi Yurisprudensi adalah keputusan pengadilan/keputusan hakim yang terdahulu terutama dari mahkamah agung (untuk Indonesia). Menurut Utrecht ada 3 (tiga) sebab hakim menurut keputusan seorang hakim lain: 1. Keputusan hakim mempunyai kekuasaan (gezag) terutama apabila keputusan itu dibuat oleh Pengadilan Tinggi atau oleh Mahkamah Agung 2. Di samping sebab yang psikhologis itu ada juga sebab praktis, maka seseorang hakim menurut keputusan yang telah diberi oleh seorang hakim yang berkedudukannya lebih tinggi. Akhirnya, ada sebab: hakim menurut keputusan hakim lain, karena ia menyetujui isi keputusan hakim lain itu, yang sebab persesuaian pendapat. 2. Yurisprudensi Peradilan Agama Yurisprudensi Peradilan agama sama makna dan unsurnya dengan yurisprudensi perdialan umum . yang berbeda adalah ruang lingkupnya. Ruang Lingkup Yurisprudensi Peradilan Agama terbatas pada hukum yang menjadi wewenangnya dan hukum acara peradilan agama