Analisis Potensi Bromo Tengger sebagai Ekowisata Unggulan Pengantar Selama ini, teknologi telah berhasil meningkatkan kesejahteraan umat manusia, tetapi diakui pula bahwa dampak yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi itu juga banyak menyebabkan perusakan terhadap lingkungan hidup. Kini kesadaran terhadap kerusakan lingkungan hidup itu semakin kuat di Indonesia dan mendapat perhatian besar. Bahaya lubang ozon dan terjadinya pemanasan bumi (global warming) dan bentuk pencemaran lingkungan lainnya semakin mendapat perhatian dengan munculnya gerakan yang dikenal dengan Back-To-Nature. Orang-orang sekarang ingin mencari tempat-tempat yang belum disentuh teknologi, mereka ingin menyatu dengan alam. Alam Indonesia yang memiliki potensi alam, flora dan fauna, serta lingkungan yang cukup lestari itu kini mendapat perhatian besar supaya dapat diselamatkan bebas dari pengaruh lingkungan dan pencemaran yang dapat menimbulkan kerugian bagi penduduk Indonesia yang jumlahnya kini mencapai 220 juta orang. Gerakan kembali ke alam yang sekarang banyak dicanangkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan beberapa pakar lingkungan hidup, pada dasarnya merupakan peluang (opportunities) bagi pengembangan ekowisata (ecotourism) di Indonesia. kita yakin bahwa pengembangan ekowisata dilihat dari usaha besar pembangunan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat Indonesia sekaligus kualitas hidup rakyat yang sudah terlalu lama menderita. Tantangan pembangunan utama menjelang abad-21 adalah tuntutan untuk menampung akibat pertambahan penduduk yang dihadapkan dengan sumber-sumber yang terbatas. Tantangan pembangunan kedua menghadapi milenium ke-3 adalah bagaimana menghapuskan kemiskinan di bumi Indonesia yang katanya “kaya-raya” ini. Tantangan ketiga yang tidak kalah beratnya adalah bahwa di waktu yang akan datang, permintaan akan sumber-sumber alam kita bertambah besar, baik untuk memenuhi kebutuhan akibat jumlah penduduk yang semakin meningkat maupun kenaikan pendapatan penduduk sehingga diperlukan pengelolaan sumber-sumber alam yang lebih bertanggungjawab dari yang sudah-sudah. Dalam mengolah dan mengelola sumber-sumber alam, perlu diperhatikan keharusan melestarikan sumber-sumber alam dengan bertanggungjawab. Dengan cara demikian, sumber-sumber alam itu tetap utuh untuk dimanfaatkan secara berkesinambungan, tidak hanya untuk generasi sekarang tetapi lebih-lebih untuk generasi yang akan datang. Memang, kita jangan rakus dan kita harus dapat membangkitkan sikap untuk tidak menghabiskan sumber-sumber alam untuk keperluan sekarang saja. Di sinilah pentingnya peranan ekowisata. Ekowisata tidak akan bisa eksis kalau sumber-sumber alam tidak dikendalikan. Hubungan antara ekowisata dan lingkunga, ibarat ikan dengan air. Ikan tidak bisa hidup tanpa air, oleh karena itu sumber air harus dan mutlak dipelihara dan kalau itu tidak dituruti, hari kiamat sudah menunggu kita semua.
Pengertian dan Batasan
Apa yang dimaksud dengan Ecotourism? Dalam bahasa Indonesia istilah ecotourism diterjemahkan menjadi “Ekowisata”, yaitu sejenis pariwisata yang berwawasan lingkungan. Maksudnya, melalui aktiitas yang berkaitan dengan alam, wisatawan diajak melihat alam dari dekat, menikmati keaslian alam dan lingkungannya sehingga membuatnya tergugah untuk mencintai alam. Semuanya ini sering disebut dengan istilah Back-To-Nature. Berbeda dengan pariwisata yang biasa kita kenal, ekowisata dalam penyelenggaraannya tidak menuntut tersedianya fasilitas akomodasi yang modern atau glamour yang dilengkapi dengan peralatan yang serba mewah atau bangunan artifisial yang berlebihan. Pada dasarnya, ekowisata dalam penyelenggaraannya dilakukan dengan kesederhanaan, memelihara keaslian alam dan lingkungan, memelihara keaslian seni dan budaya, adat-istiadat, kebiasaan hidup (the way of life), menciptakan ketenangan, kesunyian, memelihara flora dan fauna, serta terpeliharanya lingkungan hidup sehingga tercipta keseimbangan antara kehidupan manusia dengan alam sekitarnya. Misalnya, Pulau Kotok, salah satu pulau dalam kelompok Pulau Seribu di Utara Jakarta. Pulau itu ditata sedemikian rupa sehingga kelihatan tidak pernah mendapat sentuhan dunia modern. Di situ tidak ada listrik, tidak ada radio atau TV, bahkan koran dan majalah juga tidak disediakan. Pohonpohon tidak boleh ditebang sembarangan dan ranting tidak boleh dipatah. Binatang tidak boleh dibunuh, kalau ada sarang jatuh dengan anak atau telurnya, harus dikembalikan ke tempat semula. Wisarawan yang darang ke sana tidur di rumah-rumah persis seperti rumah rakyat biasa, mandi pakai gayung, WC (sedikit dimodifikasi), kursi dan balai-balai untuk tempat istirahat. Jalan setapak juga tidak diaspal, tetapi diatur secara rapi dan bersih dan pendatang tidak boleh membuang sampah sembarangan. Jadi, ekowisata bukan jenis pariwisata yang semata-mata menghamburkan uang atau pariwisata glamour, melainkan jenis pariwisata yang dapat meningkatkan pengetahuan, memperluas wawasan, atau mempelajari sesuatu dari alam, flora dan fauna, atau sosial-budaya etnis setempat. Dalam ekowisata ada empat unsur yang dianggap amat penting, yaitu unsur pro-aktif, kepedulian terhadap pelestarian lingkungan hidup, keterlibatan penduduk lokal, unsur pendidikan. Wisatawan yang datang tidak semata-mata untuk menikmati alam sekitarnya tetapi juga mempelajarinya sebagai peningkatan pengetahuan atau pengalaman. Emil Salim, mantan Menteri Kependudukan dan Lingkungan hidup dalam Harian Karya edisi hari Jum’at tanggal 12 April 1991 memberi batasan tentang ekowisata sebagai berikut: Ecotourism adalah pariwisata yang berwawasan lingkungan dan pengembangannya selalu memperhatikan keseimbangan nilai-nilai.
Oleh karena itu, kata Emil Salim, lingkungan alam dan kekayaan budaya adalah aset utama pariwisata Indonesia yang harus dijaga agar jangan sampai rusak atau tercemar.
Entin Supriatin dalam tulisannya berjudul “Ada Lima Unsur Dalam Pengelolaan Ekowisata” yang dimuat dalam Berita Wisata tanggal 21 Oktober 1997 memberikan batasan tentang ekowisata sebagai berikut:
Puposeful travel to natural area to understand the culture and natural history of the environment, taking care not to alter the integrity of the ecosystem, while producing economic opportunities that make the conservation of natural resources beneficial to local people (Ecotourism Society).
Secara bebas batasan itu dapat diartikan sebagai berikut: Ekowisata suatu jenis pariwisata yang kegiatannya semata-mata menikmati aktivitas yang berkaitan dengan lingkungan alam dengan segala bentuk kehidupan dalam kondisi apa adanya dan berkencenderungan sebagai ajang atau sarana lingkungan bagi wisatawan dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan proyek ekowisata.
Batasan tentang ekowisata oleh beberapa organisasi atau pakar 1. Australian National Ecoutourism Strategy, 1994:
Ekowisata adalah wisata berbasis alam yang berkaitan dengan pendidikan dan pemahaman lingkungan alam dan dikelola dengan prinsip berkelanjutan.
2. Alam A. Leq, Ph.D. The Ecotourism Market in The Asia Pacific Region, 1996:
Ekowisata adalah kegiatan petualangan, wisata alam, budaya, dan alternatif yang mempunyai karakteristik:
Adanya pertimbangan yang kuat pada lingkungan dan budaya lokal Kontribusi positif pada lingkungan dan sosial-ekonomi lokal Pendidikan dan pemahaman, baik untuk penyedia jasa maupun pengunjung mengenai konservasi alam dan lingkungan. 3. Hector Cebollos Lascurain, 1987:
Ekowisata adalah wisata ke alam perawan yang relatif belum terjamah atau tercemar dengan tujuan khusus mempelajari, mengagumi, serta perwujudan bentuk budaya yang ada di dalam kawasan tersebut.
4. Linberg and Harkins, The Ecotourism Society, 1993:
Ekowisata adalah wisata alam asli yang bertanggungjawab menghormati dan melestarikan lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat.
Kalau kita simpulkan dari batasan yang dikemukakan di atas, kita dapat memberikan batasan yang lebih sederhana sebagai berikut:
Ekowisata adalah suatu jenis pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan aktivitas melihat, menyaksikan, mempelajari, mengagumi alam, flora dan fauna, sosial-budaya etnis setempat, dan wisatawan yang melakukannya ikut membina kelestarian lingkungan alam di sekitarnya dengan melibatkan penduduk lokal.
Perbedaan batasan antara ekowisata dengan pariwisata “biasa” Batasan ekowisata hendaknya memiliki ciri khusus dan berbeda dengan batasan tentang pariwisata yang biasa kita kenal. Dalam hal ini kita dapat membedakannnya sebagai berikut:
1. Objek dan atraksi wisata
Baik obyek maupun atraksi yang dilihat adalah yang berkaitan dengan alam atau lingkungan, termasuk di dalamnya alam, flora dan fauna, sosial dan ekonomi, dari budaya masyarakat di sekitar proye yang memiliki unsur-unsur keaslian, langka, keunikan, dan mengagumkan.
2. Keikutsertaan wisatawan
Keikutsertaan seorang wisatawan berkaitan keingintahuan (curiousity), pendidikan (education), kesenangan (hoby), dan penelitian (research) tentang sesuatu yang berkaitan dengan lingkungan sekitar.
3. Keterlibatan penduduk setempat
Adanya keterlibatan penduduk setempat, seperti penyediaan penginapan, barang/kebutuhan, memberikan pelayanan, tanggungjawab memlihara lingkungan, atau bertindak sebagai instruktur atau pemandu.
4. Kemakmuran masyarakat setempat
Proyek pengembangan ekowisata harus dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat di sekitar.
5. Kelestarian lingkungan
Proyek pengembangan ekowisata harus sekaligus dapat melestarikan lingkungan, mencegah pencemaran seni dan budaya, menghindari timbulnya gejolak sosial, dan memlihara kenyamanan dan keamanan.
Kebijaksanaan Pengembangan Ekowisata Kebijaksanaan pengembangan ekowisata dapat dilihat dari ruang lingkup kepentingan nasional, seperti dijelaskan Undang-undang dan peraturan pemerintah yang mengatur kebijaksanaan pengembangan ekowisata sebagai berikut:
UU no.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup Kepmen Parpostel No.KM.98/PW.102/MPPT-1987 tentang Ketentuan Usaha Obyek Wisata. Surat Keputusan Dirjen Pariwisata No.Kep.18/U/11/1988 tentang Pelaksanaan Ketentuan Usaha Obyek Wisata dan Daya Tarik Wisata. Surat Keputusan Bersama Menteri Kehutanan dan Menteri Parpostel No.24/KPTS-11/89 dan No.KM.1/UM.209/MPPT-1998 tentang Peningkatan Koordinasi dua instansi tersebut untuk mengembangkan Obyek Wisata Alam sebagai Obyek Daya Tarik Wisata. UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistem. UU. No.9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan. UU. No.24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruangan. UU No.5 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Konservasi Keanekaragaman Hayati. Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Alam di zona pemanfaatan kawasan pelestarian alam. Peraturan Pemerintah No.67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan. Pada dasarnya, kebijakasanaan pengembangan ekowisata itu hendaknya dapat berpedoman pada hal-hal yang disebutkan sebagai berikut:
Dalam pembangunan, prasarana dan sarana sangat dianjurkan dilakukan sesuai kebutuhan saja, tidak berlebihan, dan menggunakan bahan-bahan yang terdapat di daerah tersebut. Diusahakan agar penggunaan teknologi dan fasilitas modern seminimal mungkin.
Pembangunan dan aktivitas dalam proyek dengan melibatkan penduduk lokal semaksimal mungkin dengan tujuan meningkatkan ekonomi masyarakat setempat. Masyarakat setempat dihimbau agar tetap memelihara adat dan kebiasaan sehari-hari tanpa terpengaruh terhadap kedatangan wisatawan yang berkunjung. Sebagai pedoman dalam penyelenggaraan atau pengelolaan suatu kawasan untuk dijadikan sebagai kawasan Ekowisata, harus memperhatikan 5 unsur yang dianggap paling menentukan, yaitu:
1. Pendidikan (Education)
Aspek pendidikan merupakan bagian utama dalam mengelola keberadaan manusia, lingkungan, dan akibat yang mungkin ditimbulkan bila terjadi kesalahan atau kekeliruan dalam manajemen pemberdayaan lingkungan.
Misi tersebut tidak mudah karena untuk menjabarkan dalam satu paket wisata seringkali bentrok dengan kepentingan antara perhitungan ekonomi dan terjebak dalam misi pendidikan konservatif yang kaku.
2. Perlindungan atau Pembelaan (Advocasy)
Setiap pengelolaan ekowisata memerlukan integritas kuat karena kadang-kadang nilai pendidikan dari ekowisata sering terjadi salah kaprah. Misalnya, pada Taman Nasional seperti Raflesia di Bengkulu yang memiliki ciri-ciri yang khas atau unik, waktu sedang berkembang dipublikasikan secara gencar sebagai bunga langka yang tidak ada duanya di dunia. Lingkungan di sekitar bunga tersebut ditata sedemikian rupa dengan biaya yang relatif mahal dan berbeda dengan keadaan lingkungan sekitarnya. Tindakan yang membangun infrastruktur secara berlebihan justru akan membuat perlindungan (Advocasy) terhadap bunga tadi menjadi tersamar.
Seharusnya, prasarana yang dibuat hendaknya mampu memberikan nilai-nilai berwawasan lingkungan dan menggunakan bahan-bahan di sekitar obyek itu walau kelihatan sangat sederhana. Dengan cara itu, keaslian dapat dipertahankan karena dengan kesederhanaan itu masyarakat di sekitar kawasan mampu mengelola dan mempertahankan kelestarian alam dengan sendirinya tanpa mengada-ada.
3. Keterlibatan komunitas setempat (Community Involvement)
Dalam pengelolaan kawasan ekowisata, peran serta masyarakat setempat tidak bisa diabaikan. Mereka lebih tahu dari pendatang yang punya proyek karena keterlibatan mereka dalam persiapan dan pengelolaan kawasan sangat diperlukan.
Mereka lebih mengetahui di mana sumber mata air yang banyak, ahli tentang tanaman dan buahbuahan yang bisa dimakan untuk keperluan obat, tahu mengapa binatang pindah tempat pada waktu-waktu tertentu, sangat mengerti mengapa semut berbondong-bondong meninggalkan sarangnya, karena takut banjir yang segera datang, misalnya.
4. Pengawasan (Monitoring)
Kita sangat menyadari bahwa budaya yang berkembang pada masyarakat di sekitar kawasan tidak sama dengan budaya pengelola yang pendatang. Dalam melakukan aktivitas, akan terjadi pergeseran yang lambat laun akan mengakibatkan hilangnya kebudayaan asli. Ini harus diusahakan jangan sampai terjadi.
Oleh karena itu, diperlukan pengawasan (monitoring) yang berkesinambungan sehingga masalah integritas, loyalitas, atau kualitas dan kemampuan untuk mengelola akan sangat menentukan untuk mengurangi dampak yang timbul.
5. Konservasi (Conservation)
Dari kasus itu, baik pengelola maupun wisatawan yang datang berkunjung harus menyadari bahwa tujuan pengembangan ekowisata adalah aspek konservasi bagi suatu kawasan dengan memperhatikan kesejahteraan, kelestarian, dan mempertahankan kelestarian lingkungan kawasan itu sendiri.
Memang diakui bahwa pengelola kawasan ekowisata ibarat memiliki pisau yang harus dilihat dari dua sisi mata pisau itu sendiri. kita menjalankan misi dengan tujuan dua kepentingan yang bertolak belakang satu dengan yang lainnya.
Pada satu sisi kita harus berpedoman pada prinsip ekonomi dengan mencari keuntungan sebesarbesarnya, sedangkan sisi lain kita harus menjalankan misi konservasi yang ketat dengan nilai-nilai perlindungan yang tidak bisa ditawar-tawar. Oleh karena itu, dalam perjalanannya sering terjadi menjurus pada hanya satu sisi, biasanya karena kuatnya pengaruh manajemen yang digariskan pengelola sebagai pengambil kebijaksanaan.
Kriteria Pengembangan Ekowisata Pengembangan ekowisata memiliki kriteria khusus. Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijaksanaan pengembangan ekowisata, yang
penting diantaranya adalah cara-cara pengelolaan, pengusahaan, penyediaan prasarana dan sarana yang diperlukan.
Atas dasar itu, sifat dan jenis kegiatan yang dilakukan juga harus disesuaikan dengan kriteria tersebut pada setiap kawasan ekowisata. Satu hal yang tidak pernah dilupakan adalah masalah pelestarian lingkungan hidup yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan ekowisata.
Daerah yang biasa dijadikan kawasan ekowisata Adapun daerah-daerah yang biasa dijadikan kawasan ekowisata, baik di luar negeri maupun dalam negeri adalah:
Daerah atau wilayah yang diperuntukkan sebagai kawasan pemanfaatan berdasarkan rencana pengelolaan pada kawasan seperti Taman Wisata Pegunungan, Taman Wisata Danau, Taman Wisata Pantai, atau Taman Wisata Laut. Daerah atau zona pemanfaatan pada Kawasan Taman Nasional seperti Kebun Raya Bogor, Hutan Lindung, Cagar Alam, atau Hutan Raya. Daerah pemanfaatan untuk Wisata Berburu berdasarkan rencana pengelolaan Kawasan Taman Perburuan. Ketiga jenis daerah atau lokasi pengembangan ekowisata tersebut merupakan lokasi yang boleh dan dapat dimanfaatkan secara intensif untuk pengembangan sarana dan prasarana untuk aktivitas ekowisata. Kriteria lain untuk pengembangan lokasi ekowisata harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Kelayakan pasar dan kapasitas kunjungan. Tersedianya aksesibilitas yang memadai ke daerah tersebut. Potensi yang dimiliki daerah untuk dijadikan kawasan ekowisata. Dapat mendukung pengembangan wilayah lain di daerah tersebut. Memberi peluang bagi pengembangan kegiatan sosial, ekonomi, dan kebudayaan bagi masyarakat setempat. Mempunyai kemungkinan besar untuk saling mendukung pengembangan pariwisata di daerah setempat. Dapat saling mendukung bagi pengembangan pelestarian kawasan hutan bagi daerah tersebut. Kriteria pemilihan lokasi ekowisata Masyarakat Ekowisata Indonesia (MEI) memberi kriteria pemilihan lokasi sebagai berikut:
Daerah itu harus memiliki keunikan yang khusus dan tidak terdapat di tempat lain, seperti Kepulauan Nias, Pagai, atau Enggano yang memiliki etnis berbeda dengan suku bangsa lainnya di Indonesia. Memiliki atraksi seni budaya yang unik dan berbeda dengan suku bangsa lainnya, seperti Badui, Tengger, Toraja, Dayak, Kubu, atau Sakai. Adanya kesiapan masyarakat setempat untuk berpartisipasi dalam proyek yang akan dibangun. Peruntukkan kawasan tidak meragukan. Tersedia sarana akomodasi, rumah makan, dan sarana pendukung lainnya. Tersedia aksesibilitas yang memadai dan dapat membawa wisatawan dari dan ke kawasan yang akan dikembangkan. Potensi Ekowisata Indonesia Indonesia yang memiliki pulau-pulau sebanyak 17.508 ribu pulau merupakan daerah potensial untuk mengembangkan ekowisata karena potensi alam, seni, budaya, dan etnis yang beraneka ragam.
Alamnya yang memiliki banyak gunung, perbukitan, dan danau yang indah, sungau dan riam yang masih perawan, flora dan fauna yang beraneka ragam, menjadikan Indonesia sebagai surganya ekowisata.
Wilson (1988) membaginya dalam tiga bagian yang sangat berkaitan, yaitu:
Pertama : Berdasarkan Keanekaragaman Ekosistem. Kedua : Berdasarkan Keanekaragaman Hayati. Ketiga : Berdasarkan Keanekaragaman Genetika yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia Menurut BAPPENAS dari UNEP tahun 1991, di Indonesia terdapat tidak kurang 49 jenis ekosistem yang berbeda, baik yang alami maupun buatan. Menurut sumber ini, walau Indonesia hanya memiliki luas daratan seluas 1,32% dari seluruh daratan yang ada di dunia, Indonesia memiliki kekayaan yang cukup berlimpah, seperti:
10% jenis tumbuhan berbunga yang terdapat di seluruh dunia 12% binatang menyusui 16% reptilia dan amphibia 17% burung-burung 25% jenis ikan 15% jenis serangga
Sesuai penelitian yang dilakukan oleh MacNeely at all : 1990, dalam dunia binatang atau hewan, Indonesia mempunyai kedudukan yang termasuk istimewa di dunia. Dari 515 janis mamalia besar, 36% endemik, 33% jenis prima, 78% berparuh bengkok, dan 121 jenis kupu-kupu.
Adapun potensi obyek wisata yang dapat dikembangkan untuk ekowisata di Indonesia tidak kurang dari 120 buah yang terdiri dari:
Taman nasional : 31 buah, (12 diantaranya sudah ditetapkan sebagai Taman Nasional, 2 diantaranya sudah ditetapkan sebagai warisan dunia, dan 19 buah lainnya dalam proses penetapan). Taman Hutan Raya : 9 buah Taman Wisata Alam : 73 buah Taman Wisata Laut : 7 buah Berdasarkan identifikasi Masyarakat Ekowisata Indonesia (MEI), di Indonesia terdapat 61 Daerah Tujuan Ekowisata (DTE) yang dianggap potensial yang terdapat pada beberapa pulau sehingga Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki Mega Diversity yang dijumpai pada pulau:
Sumatera : 12 DTE Kalimantan : 1 DTE Jawa : 10 DTE Sulawesi : 8 DTE Bali : 6 DTE Maluku : 4 DTE Nusa Tenggara Barat : 8 DTE Irian Jaya : 6 DTE Nusa Tenggara Timur : 6 DTE