ANALISIS KINERJA PROSES PASTEURISASI ES KRIM DENGAN P L AT AT E H E A T E X CH CH A N G E R DI INDUSTRI
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH AUDIT ENERGI, EFISIENSI ENERGI DAN RASIONAL PENGGUNAAN ENERGI DOSEN PEMBIMBING Ir. Conny K. Wachjoe, M.Eng, Ph.D.
OLEH: Afif Fadhilah NIM : 151734002
JURUSAN TEKNIK KONVERSI ENERGI PROGRAM STUDI D4 TEKNIK KONSERVASI ENERGI POLITEKNIK NEGERI BANDUNG 2018
1
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Ucapan puji dan syukur kami hanturkan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, oleh sebab petunjuk dariNya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas penulisan ini dengan judul Analisis Kinerja Proses Pasteurisasi Es Krim dengan Plate Heat Exchanger di Industri. Industri. Tugas penulisan ini pada awalnya, bahkan hin gga saat ini, kami serta kolega mendapatinya sebagai sesuatu yang rumit dan sulit untuk diselesaikan. Berbagai hambatan kami pribadi peroleh dalam usaha menyelesaikan tugas i ni meliputi hambatan referensi yang kurang serta pemahaman yang minim sebab ilmu yang memadai untuk memahami berbagai prinsip yang mendasari penyusunan tulisan ini. Terlebih lagi kami pribadi mendapati hambatan teknis berupa kerusakan perangkat komputer beserta keseluruhan data termasuk referensi dan progress tulisan sebanyak dua kali dalam dua bulan terakhir. Oleh karena itu, hanya karena pertolongan Tuhan Yang Maha Esa maka hari ini tugas ini dapat terselesaikan dengan segala keterbatasan dan kekurangannya. Ungkapan terima kasih pula kami ucapkan kepada seluruh pihak yang telah mendukung terselesaikannya tugas penullisan ini. Ungkapan terima kasih yang utama kami sampaikan kepada dosen pembimbing kami, bapak Ir. Conny K. Wachjoe, M.Eng, Ph.D atas bimbingannya dalam memahamkan kami, serta kompromi yang banyak beliau berikan untuk segala keterbatasan k eterbatasan dan keterlambatan kami. Ungkapan terima kasih juga kami sampaikan kepada kolega, rekan sejawat yang telah saling bantu membantu dalam menyelesaikan tugas ini satu sama lain. Pada akhirnya, kami menyadari bahwa tulisan ini masih dipenuhi dengan banyak kekurangan. Untuk itu kami sangat mengharapkan adanya umpan balik dari pembaca berupa kritik, saran dan masukan yang membangun untuk perbaikan tulisan ini agar kedepannya dapat lebih dirasakan bermanfaat.
Bandung, Juli 2018 Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………… ………………………………………………………… …………………… i DAFTAR ISI …………………………………… …………………………………………………………………. ……………………………... .. ii
BAB I. PENDAHULUAN …………………………………………………….. 1 1.1.Latar 1.1.Latar Belakang ………………………………… …………………………………………………… ………………….. .. 1 1.2.Rumusan 1.2.Rumusan Masalah ……………………………… ………………………………………………… ………………… 4 1.3.Tujuan 1.3.Tujuan ……………………………………………………………… 4 BAB II. PROSES PRODUKSI ES KRIM SECARA UMUM DAN PRINSIP KERJA PASTEURISASI ESKRIM ……………………… ... 5 2.1. Bahan Baku Es Krim ……………………………… ……………………………………………... ……………... 5 2.2. Proses Produksi Es Krim Secara Umum ……………………….. ……………………….... 8 2.2.1. Filtering ………………………………… …………………………………………………. ………………... 8 2.2.2. Pasteurisasi Pasteurisasi ………………………… …………………………………………........ ………………........ 9 2.2.3. Weighing, Measuring, Mixing ………………………... ………………………..... .. 10 2.2.4. Homogenisasi ………………………………… ………………………………………….... ……….... 10 2.2.5. Ageing …………………………………… …………………………………………………… ……………… 11 2.2.6. Continuous Freezing …………………………………… 12 2.2.7. Filling …………………………………… ……………………………………………………. ………………. 12 2.2.8. Hardening ………………………………………… ……………………………………………….. …….. 13 2.3. 2.3. Pasteurisasi Es Krim …………………………… ……………………………………………... ………………..... 13 2.3.1. Definisi dan Sejarah Singkat Pasteurisasi …………….. 13 2.3.2. Pemilihan Kombinasi Waktu-Temperatur Pasteurisasi . 16 2.3.3. Jenis-Jenis Jenis-Jenis Pasteurisasi Es Krim ………………………. 17 2.3.3.1. Pasteurisasi Batch ……………………………. ……………………………... 18 2.3.3.2. Pasteurisasi Continuous ……………………… 19 2.3.4. Prinsip Kerja Plate Heat Exchanger (PHE) …………... 19 2.4. Neraca Massa dan Energi ………………………………………... 21
ii
BAB III. METODE PERHITUNGAN KINERJA PLATE HEAT EXCHANGER ………………………………………………. 23 3.1. Faktor yang Mempengaruhi Persamaan Kalor ………………... ………………... 24 3.1.1. Laju Alir Massa ……………………………… ………………………………………… ………… 24 3.1.2. Perubahan Temperatur ……………………… ……………………………… ………... ... 25 3.1.3. Konduktivitas Panas dan da n Kalor Spesifik Fluida …… ……... ... 25 3.1.4. Geometri Media Med ia Penukar Panas ………………………. 27 3.1.4.1. Bilangan Bilangan Reynolds ……………………………
27
3.1.4.2. Bilangan Bilangan Nusselt ……………………………… 28 3.1.4.3. Fouling Fouling Factor ………………………………… 29 3.1.4.4. Besaran Besaran Dimensional …………………………
30
3.2. Langkah Perhitungan Perh itungan ……………………………………………
32
3.2.1. Analisis Geometris ……………………………………… 33 3.2.2. Analisis Perpindahan Perp indahan Panas …………………………… …………………………….. 33 3.3. Tabulasi Data Data ……………………………………………………... ……………………………………………………... 36 3.4. Perhitungan Baseline Ba seline …………………………………………….. 37 BAB IV. EFISIENSI PROSES PENDINGINAN PADA PASTEURISASI DENGAN PLATE HEAT EXCHANGER ………
45
4.1. Improvement Improvement 1 ……………………………… …………………………………………………… …………………… 46 4.2. Improvement Improvement 2 ……………………………… …………………………………………………… …………………… 47 4.3. Improvement Improvement 3 ……………………………… …………………………………………………… …………………… 49 4.4. Kesimpulan Kesimpulan ………………………………………………………. ……………………………………………………….
50
BAB V. RATIONAL USE OF ENERGY ……………………………………
52
5.1. Mengubah Sudu Sudutt Chevron ……………………………… ……………………………………… ………..
52
5.2. Mengubah Konduktivitas Kondukti vitas Termal …………………………… ……………………………… …
55
5.3. Mengurangi Tebal T ebal Plat ……………………………… ………………………………………… ………….. ..
57
5.4. Menurunkan Fouling Foul ing Factor ……………………………… ……………………………………. …….
59
5.5. Kesimpulan Kesimpulan ………………………………………………………. ……………………………………………………….
62
DAFTAR PUSTAKA PUSTAKA …………………………………………………………
64
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Penggunaan energi merupakan proses universal yang terjadi di sel uruh segi kehidupan. Dalam hal energi yang menghasilkan kerja yang bermanfaat untuk manusia, pemanfaatan energi itu sendiri dibagi ke dalam beberapa sektor besar yaitu residensial , , komersial dan public services, services, transportasi, industry dan sector lain-lain. Diantara keenam sektor tersebut, sebaran penggunaan energi tahun 2015 di masing-masing sektor masih didominasi oleh industri untuk energi listrik dan gas alam serta 8% untuk penggunaan energi minyak (lihat gambar 1.1). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sector industri merupkan sector pengonsumsi energi terbesar di seluruh dunia. Industri sendiri terbagi lagi ke dalam sektor-sektor yang lebih kecil, diantaranya industri migas, tekstil, semen, dan makanan. Masing-masing industri ini ikut memberikan sumbangsih pada penggunaan energi lokal maupun global. Optimalisasi (rasional) penggunaan energi di setiap sektor sangat perlu dilakukan guna meningkatkan ketahanan energi serta mengurangi dampak pencemaran lingkungan dari proses konversi energi yang hingga hari ini masih didominasi oleh penggunaan energi fosil. Optimalisasi penggunaan energi melalu upaya penghematan dapat dilakukan dengan maksimal pada suatu industri apabila proses keseluruhan yang terjadi dalam industri tersebut diketahui dengan baik. Adapun setelahnya yang perlu dilakukan adalah terfokus pada peralatan di industri terkait yang terbukti mengonsumsi energi paling banyak, karena penghematan kecil pada alat tersebut akan berdampak besar pada penggunaan energi keseluruhan dalam industri terkait. Diantara industri yang mengonsumsi energi dalam jumlah banyak adalah industri makanan. Industri es krim merupakan salah satu industri makanan yang dapat dioptimalkan penggunaan energinya. Penggunaan energi di industri es krim sendiri berbeda-beda untuk setiap prosesnya. Dalam Energy Dalam Energy Performance Indicator Report : Fluid Milk Plants, Canada’s office of Energy Efficiency merilis data
1
(a)
(b)
(c)
Gambar 1.1. Sebaran konsumsi energi per sektor tahun 2015 untuk bentuk energi: (a) minyak; (b) gas alam; (c)listrik Sumber: International Sumber: International Energy Agency: Key World Energy Statistics Statistics 2017
konsumsi energi per proses pembuatan es krim yang ditunjukkan pada gambar 1.2 dan 1.3. Dari gambar tersebut diketahui bahwa di antara proses yang palng banyak mengonsumsi energi pada proses pembuatan es krim adalah proses Pasteurisasi. Pasteurisasi. Pasteurisasi bersamaan dengan proses homogenisasi mengambil bagian konsumsi masing-masing sebesar 31% dari total konsumsi energi dalam pengolahan es krim. Oleh karena itu penghematan satu persen dari proses pasteurisasi sudah mampu menghemat 0.31% dari konsumsi energi total. Data dari Canada’s Office of Energy Efficiency (COOE) di atas memberikan gambaran konsumsi energi pada produksi es krim dalam besaran intensitas kWh/L dengan total 0.1183 kWH/L. Salah satu pabrik produksi es krim terbesar di dunia yakni Walls yang berlokasi di Happenheim, Jerman, J erman, memproduksi sekitar 150 juta liter es krim per tahun (MTU onsite Energy:2014). Dengan ekuivalensi intensitas energi dari COOE, maka total konsumsi energi Walls per tahun adalah sebesar 17.74 GWh, setara dengan 1.7% dari energi total yang dibangkitkan waduk Jatiluhur dalam satu tahun. Dari ekuivalensi di atas dapat diketahui bahwa peningkatan efisiensi s ebesar 1% dari proses pasteurisasi saja dapat menghemat sebesar 0.05 GWh dalam setahun. Apabila harga satu kWh disetarakan dengan 1.300 rupiah, maka penghematan dari peningkatan 1% efisiensi pasteurisasi dapat mencapai 65 juta
2
Gambar 1.2. Konsumsi energi industri es krim per proses
Konsumsi Energi Per Proses Pengolahan Es Krim 3%
5% 3%3%
17% 31% 1% 6%
31%
Receiving
Separation
Homogenization
Pasteurisasi
Cooler
C IP
HVAC
Other
Filling
Gambar 1.3. Pie 1.3. Pie chart konsumsi energi pengolahan es krim
rupiah dalam satu tahun. Oleh karena itu, upaya efisiensi energi perusahaan produksi es krim kemudian menjadi sangat strategis apabila dimulai dengan mengefisiensikan proses dengan konsumsi energi besar seperti pasteurisasi terlebih dahulu.
3
1.2.
Rumusan Masalah
Dalam tulisan Analisis Kinerja Proses Pasteurisasi Es Krim dengan Plate Heat Exchanger di Industri ini disusun dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana tahapan proses pembuatan es krim secara umum. 2. Bagaimana prinsip kerja proses pasteurisasi es krim. 3. Bagaimana prinsip kerja Plate kerja Plate Heat Exchanger . 4. Apa besaran kinerja Plate kinerja Plate Heat Excahnger. 5. Bagaimana metode perhitungan kinerja Plate kinerja Plate Heat Exchanger . 6. Bagaimana cara meningkatkan kinerja Plate Heat Exchanger melalui pendekatan efisiensi energi. 7. Bagaimana cara meningkatkan kinerja Plate Heat Exchanger melalui pendekatan rational use of energy. energy .
1.3.
Tujuan
Tujuan dari ditulisnya Analisis Kinerja Proses Pasteurisasi Es Krim dengan Plate dengan Plate Heat Exchanger di Industri ini adalah untuk mengetahui: 1. Bagaimana tahapan proses pembuatan es krim secara umum. 2. Bagaimana prinsip kerja proses pasteurisasi es krim. 3. Bagaimana prinsip kerja Plate kerja Plate Heat Exchanger . 4. Apa besaran kinerja Plate kinerja Plate Heat Excahnger. 5. Bagaimana metode perhitungan kinerja Plate kinerja Plate Heat Exchanger . 6. Bagaimana cara meningkatkan kinerja Plate Heat Exchanger melalui pendekatan efisiensi energi. 7. Bagaimana cara meningkatkan kinerja Plate Heat Exchanger melalui pendekatan rational use of energy. energy .
4
BAB II PROSES PRODUKSI ES KRIM SECARA UMUM DAN PRINSIP KERJA PASTEURISASI ES KRIM 2.1. Bahan Baku Es Krim
Es krim merupakan olahan susu yang memiliki tekstur padat dan lembut. Sebagian besar komposisi es krim terdiri dari susu itu sendiri. Selebihnya merupakan tambahan yang bertujuan untuk memberikan tekstur lembut pada es krim yang dihasilkan. Funderburg (1995) dalam Goff (2013) menjelaskan komposisi es krim yang berubah dari waktu ke waktu dari sudut pandang sejarah. Dal am sejarah awalnya, es krim hanya merupakan air yang dibekukan dan diberi pemanis dari buah. Pada tahun 1530 makanan yang dikenal dengan istilah water ice ini mulai disajikan di meja makan orang-orang elit eropa seperti misalnya pernyataan Nicolas Audiger (1692) yang mengklaim telah menyajikan makanan penutup ( deserts) deserts) berupa water ice di pengadilan tinggi Louis XIV, Prancis sejak 1662. Pada tahun 1686, kafe Le Procope, yang masih berdiri hingga saat ini, menyajikan water ice yang dibuat dari susu dengan teknik tertentu sehingga bertekstur pada dan lembut dan memiliki pemanis dari madu. Karena teksturnya yang lembut oleh sebab dibuat dari susu, istilah ice cream mulai berkembang. Perkembangan bahan pemanis terus berjalan di berbagai i ndustri makanan di dunia, hingga kemudia gula menjadi pilihan utama sebagai pemanis es krim. Perkembangan teknologi condensed milk dan dry milk serta mulai dikenalnya teknologi separator, homogenizer serta freezer menyebabkan sejak tahun 1876 terdapat salah satu hasil perkembangan es krim yakni ice cream soda. soda. Tekstur dan rasa dari ice cream soda ini dipengaruhi perkembangan teknologi pembuatan es krim yang sudah maju namun komposisi es krim yang belum begitu banyak berubah. Pada akhirnya di era 1900-1919, Amerika Serikat mulai membuat standar meliputi komposisi hingga teknik pembuatan yang diadopsi dari beberapa negara bagian. Dari standar demi standar inilah kita dapat menjumpai rasa dan tekstur es
5
krim seperti yang kita temukan hari ini. Sejak saat itu banyak dairy organization yang didirikan pertama kali di kota New York. Hingga saat ini, komposisi standar dari es krim k rim telah ditetapkan. Komposisi standar tersebut terdiri dari tujuh bahan yaitu: lemak susu, MSNF ( Milk Solid Non Fat ), ), pemanis, stabilizer, emulsifier, air dan perasa. Goff (2013) menjelaskan fungsi dari masing-masing komponen tersebut terhadap rasa dan tekstur es krim sebagai berikut.
Lemak susu Lemak merupakan bagian turunan dari bahan susu (krim atau butter) atau juga dapa diperoleh dari bahan non-susu seperti kelapa, palm atau palm kernel . Lemak memberikan tekstur pada susu dan merupakan komponen utama yang dikendalikan dalam proses homogenisasi. Ukuran butiran lemak yang menjadi bahan baku es krim biasanya berkisar pada 5 – 10 10
yang melalui proses homogenisasi kemudian diperkecil hingga seper sepuluh ukuran semula.
MSNF MSNF mengandung laktosa, kasein, protein, vitamin, mineral, dan komponen minor lainnya dalam susu. MSNF merupakan sumber protein utama dalam es krim. Protein berkontribusi besar dalam perkembangan struktur es krim, termasuk di dalamnya emulsifikasi, whipping serta kemampuan dalam mengikat air. Kemampuan emulsifikasi protein dalam campuran terjadi karena sifatnya yang dapat menyerap molekul lemak setelah dan pada saat proses homogenisasi. Kemampuan whipping dari protein berkontribusi dalam proses pembentukan gelembung udara dalam campuran. Sedangkan kemampuan protein dalam mengikat air akan berdampak pada peningkatan viskositas campuran, yang berpengaruh pada kemampuan es krim untuk mempertahankan bentuknya, lamanya waktu es krim untuk meleleh di suhu ruang dan mengurangi jumlah pembentukan kristal es yang membuat es krim berkurang kelembutannya.
Pemanis Untuk tujuan menambahkan rasa manis dalam campuran es krim, pemanis ditambahkan ke dalam campuran es krim. Sebagaimana telah disebutkan
6
sebelumnya bahwa komponen pemanis utama dari es krim saat ini adalah gula. Selain menambah sifat manis, gula juga berkontribusi dalam menurunkan titik beku campuran. Oleh karena itu tekstur solid (cenderung kaku) dari es krim yang mengarah ke fasa beku dapat dihindari dengan penambahan gula.
Stabilizer Stabilizer pada es krim merupakan campuran dari bahan di antaranya polisakarida, locust bean gum, gum , karboksimetli selulosa dan xanthan yang menghasilkan tekstur lembut pada es krim, mengurangi kemungkinan terbentuknya kristal laktosa selama penyimpanan, serta menghasilkan kekompakan (uniformity (uniformity)) tekstur dan ketahanan es krim agar tidak meleleh. Fungsi ini diperoleh sebagian besar dari interaksi stabilizer dengan air.
Emulsifier Sebagaimana stabilizer, emulsifier juga merupakan campuran bahan di antaranya monogliserid, digliserid dan ester sorbitan seperti polisorbat 80. Emulsifier terkadang dicampurkan dengan stabilizer, akan tetapi fungsi dari keduanya sangat berbeda. Emulsifier digunakan untuk meningkatkan kualitas whipping (fleksibilitas) dari es krim, menghasilkan es krim yang lebih kering sehingga mudah untuk dicetak, serta produk es krim yang lebih lembut. Dalam beberapa formula, emulsifier untuk es krim diperoleh dari bahan telur.
Air dan Perasa Air berfungsi untuk memberikan fluiditas es krim. Pada proses produksi air juga mempermudah pencampuran bahan karena berfungsi ber fungsi sebagai pelarut. Kadar air ini sendiri kemudian dikendalikan agar tidak melebih batas yang ditentukan yang mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan. Adapun perasa untuk es krim modern saat ini sangat penting untuk menambah cita rasa dan memikat konsumen. Perasa umumnya berasal dari bahan alami, seperti coklat dan buah-buahan akan tetapi terkadang juga menggunakan perasa alami dengan batas maksimal yang telah ditentukan.
7
Komposisi bahan-bahan tersebut dalam campuran es krim bergantung pada jenis es krim yang hendak diproduksi. Di antara yang menjadi tolak ukur dari pengaturan komposisi adalah tekstur, pengemasan serta harga. Tabel 2.1 memberikan pendekatan komposisi penyusun es krim berdasarkan beberapa pertimbangan. Tabel 2.1. Pendekatan komposisi (persen berat) penyusun es krim
2.2. Proses Produksi Es Krim Secara Umum
Proses produksi es krim dalam skala besar di sebuah pabrik terdiri dari banyak langkah dengan proses kerja dan penggunaan energi yang spesifik sebagaimana disajikan dalam gambar 1.2 dan 1.3. Langkah produksi es krim pada setiap pabrik biasanya berbeda satu sama lain bergantung pada jenis dan karakteristik es krim yang dikehendaki. Kendati demikian, seara umum proses produksi es krim di suatu pabrik dapat diurutkan sebagaimana pada diagram alir gambar 2.1.
2.2.1. Filtering
Setiap proses produksi makanan mempersyaratkan luaran yang higienis dan terhindar dari segala jenis kotoran dan pathogen yang tidak baik untuk tubuh. Es krim merupakan salah satu produk olahan susu dengan campuran lain yang rentan dari kontaminasi kotoran fisik maupun biologis (bakteri patogen). Adapun mekanisme penghilangan kotoran fisik dan patogen berbeda satu dan lainnya, yakni setidaknya terdapat proses filtrasi dan pasteurisasi.
8
Gambar 2.1. Diagram Alir Proses Produksi Es Krim
Kotoran yang bersifat fisik seperti debu yang terkandung dalam campuran bahan baku es krim dipisahkan melalui mekanisme filtrasi. Proses filtrasi juga bermacam-macam tergantung dari ukuran debu yang terkandung dalam bahan baku.
2.2.2. Pasteurisasi
Pasteurisasi merupakan proses pemanasan campuran untuk tujuan inaktivasi bakteri patogen yang terdapat dalam campuran. Bahan campuran es krim sendiri yang mengandung bakteri patogen utamanya adalah susu. Oleh karena itu proses pasteurisasi campuran es krim serupa dengan pasteurisasi susu dalam hal
9
prinsip, namun yang membedakan adalah kombinasi temperatur dan waktu. Pembahasan lebih lanjut tentang pasteurisasi akan dibahas pada subbab 2.2.
2.2.3. Weighing, Measuring, Mixing
Setelah masing-masing bahan yang masih mengandung kotoran melalui proses filtrasi, campuran campuran bahan baku kemudian kemudian dicampur. Pencampuran ini diawali dengan beberapa persiapan terhadap bahan terlebih dahulu. Goff (2013) menjelaskan bahwa persiapan sebelum mixing meliputi pemindahan campuran dari media penyimpanan ke mixer, penimbangan, pengukuran baru kemudian mixing serta blending dilakukan. Bahan-bahan yang akan dicampur dalam proses mixing terlebih dahulu dikelompokkan menjadi bahan cair dan bahan padat. Pada umumnya, bahan-bahan kering akan melalui proses penimbangan sementara bahan cair dapat ditimbang atau diukur secara volumetrik. Bylund (1995) menjelaskan bahwa untuk pabrik dengan kapasitas dan total volume yang kecil, bahan-bahan kering akan dimasukkan ke dalam tangki pencampuran secara manual. Tangki-tangki tersebut didesain untuk pemanasan tidak langsung untuk kebutuhan pre heater sebelum mengalami pasteurisasi, serta dilengkapi dengan agitator (pengaduk). Adapun untuk produksi dengan skala yang besar, sistem otomasi sudah mulai banyak digunakan. Sistem otomasi ini berlaku baik untuk sistem mixing batch maupun continuous. continuous. Bylund (1995) juga menjelaskan bahwa pabrik dengan skala produksi besar biasanya memiliki dua buah tangki pencampuran mengikuti kapasitas per jam pasteuriser, dengan tujuan untuk menjaga aliran yang konstan. Selain itu, campuran juga biasanya dipanaskan hingga mencapai 50-60
℃ untuk
mendukung proses pelarutan bahan padat ke dalam bahan cair.
2.2.4. Homogenisasi
Dilihat dari dasar katanya, homogenisasi merupakan proses penyeragaman berbagai jenis bahan dalam campuran. Dalam kaitannya kaitannya dengan campuran campuran es krim, proses homogenisasi homogenisasi diutamakan untuk memperkecil memperkecil molekul lemak susu. Molekul
10
lemak susu pada umumnya berukuran 5 – 10 m. Dari proses homogenisasi,
diperoleh hasil campuran dengan molekul lemak berukuran 0.5 – 0.5 – 1 1 m. Proses homogenisasi memanfaatkan tiga efek fisik yaitu: 1. Impact Pada tekanan tinggi, gumpalan lemak bergerak dengan kecepatan di atas 150 m/s, menyebabkan gumpalan lema bertabrakan. 2. Shearing Katup homogenizer yang berukuran sangat kecil (h<0.1mm) meyebabkan gumpalan lemak terdestruksi ke ukuran yang lebih kecil. 3. Cavitation Setelah melewati katup homogenizer, material menghantam forced wall dalam pipa berdiameter jauh lebih besar dari katup. Akibatnya material kehilangan tekanan dan menjadi luaran yang lebih halus.
2.2.5. Ageing
Ageing merupakan proses pendiaman bahan adonan es krim yang telah melewati proses filtrasi hingga homogenisasi. Proses ini juga dimaksudkan sebagai proses pendinginan awal sebelum campuran es krim didinginkan hingga ke suhu luaran yang yang diharapkan. diharapkan.
Proses ini bertujuan untuk memberikan waktu bagi
stabilizer dan protein susu untuk mengikat air bebas, sehingga akan menurunkan jumlah air dalam campuran es krim. Proses ageing berlangsung dalam tangka ageing yang menempatkan campuran keluaran dari proses homogenisasi. Campuran ini didinginkan oleh refrigerator yang berada di luar tangki. Goff (2013) menyatakan bahwa temperatur ageing dibuat stabil pada 2
℃ sampai 5℃, lalu didiamkan selama 4 hingga 24 jam.
Lamanya proses pendiaman ini bergantung dari komposisi campuran es krim. Keluaran dari proses ageing adalah campuran yang memiliki viskositas yang tinggi, lebih mengkilap, lebih halus dan lebih kental.
11
2.2.6. Continuous Freezing
Untuk proses produksi makanan dingin dalam skala yang besar, seperti es krim, pendinginan dan pembekuan produk biasanya dilakukan secara kontinu. Proses kontinu ini dilakukan didalam tabung yang memiliki lapisan luar tempat mengalirnya refrigeran. Campuran keluaran dari proses ageing masuk ke pipa pendingin dengan tekanan dari pompa perpindahan positif jenis pompa r oda gigi ( gear pump). pump). Bylund (1995) menjelaskan bahwa terdapat dua pompa roda gigi dalam proses continuous freezing . Pompa pertama bertugas untuk memberikan tekanan untuk menjamin aliran bahan terjadi dalam pipa pendingin, sedangkan roda gigi kedua berfungsi untuk memompakan udara ke dalam campuran es kerim. Tujuan dari pemompaan udara ke dalam campuran es krim adalah untuk menambah volume es krim dalam massa yang konstan, akibatnya es krim menjadi lebih lembut. Kualitas dari penambahan udara ke dalam es krim ini dinyatakan dalam besaran overrun. overrun. Selama proses pendinginan, karena campuran es krim masih mengandung air, maka terjadi pengkristalan es di sisi-sisi pipa. Oleh karena itu, pipa pendingin pada proses continuous freezing dilengkapi dengan dasher yang yang berfungsi untuk mengikis kristal es yang terbentuk. Lapisan tersebut te rsebut kemudian dibuang dari tabung melalui melewati freezing melewati freezing sylinder , dan dipompakan kembali oleh pompa roda gigi kedua ke dalam tabung kembali. Goff (2013) menjalaskan standar kualitas continuous freezing yaitu mampu menghasilkan luaran yang memiliki temperatur -3°C sampai -8°C dan overrun 80% sampai 100% tergantung pada udara per liter yang dipompakan.
2.2.7. Filling
Keluaran dari continuous freezing langsung dikemas ke dalam wadah yang diinginkan pada proses filling . Pada proses filling ini juga berbagai jenis topping ditambahkan ke dalam campuran es krim berupa kacang, buah-buahan, jeli dan sebagainya.
12
Apabila produk yang dikehendaki berupa es krim stick , maka luaran dari continuous freezing dialirkan ke dalam larutan garam hingga mencapai 40
℃. Hal
ini bertujuan agar tekstur es krim menjadi kaku dan tidak mudah mencair. Es krim kemudian dicelupkan ke dalam coklat panas.
2.2.8. Hardening
Es krim yang telah dimasukkan ke dalam wadah tersebut kemudian didinginkan kembali sebelum didistribusikan. Goff (2013) memberikan standar temperatur es krim akhir sebelum didistribusikan yakni lebih kecil -17
℃. Proses
penurunan suhu di hardening ini dilakukan dalam waktu yang sangat cepat, sehingga membutuhkan aliran refrigeran yang besar. Pada proses ini, semakin cepat waktu yang digunakan maka semakin lembut produk yang didapatkan.
2.3. Pasteurisasi Es Krim
2.3.1. Definisi dan Sejarah Singkat Pasteurisasi Pasteurisasi
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pasteurisasi merupakan proses yang bertujuan untuk mematikan bakteri patogen yang te rkandung dalam campuran bahan baku es krim. Oleh karena itu pasteurisasi past eurisasi memegang peranan yang sangat penting dalam pembuatan es krim dalam hal menjamin kehigienisan prduk yang dihasilkan. Istilah Pasteurisasi sendiri digunakan untuk mengenang Louis Louis Pasteur yang pada pertengahan abad ke-19 memprakarsai studi fundamental tentang efek lethal dari panas terhadap mikro organisme dan penggunaan panas sebagai teknik preservativ. Bahan makanan yang umum melalui proses pasteurisasi adalah susu dan olahannya. Bylund (1995) menjelaskan bahwa pasteurisasi susu merupakan jenis perlakuan terhadap susu yang dapat didefinisikan sebagai segala bentuk perlakuan untuk mengamankan susu dari destruksi tubercle bacillus (TB) tanpa mempengaruhi sifat fisik dan kimia susu tersebut. Meskipun istilah Pasteurisasi digunakan untuk mengenang Louis Pasteur, akan tetapi proses yang secara prinsip menerapkan pasteurisasi pada susu atau
13
olahan susu pertama kali diperkenalkan pada awal tahun 1824 (40 tahun sebelum percobaan pertama Pasteur). Pada tahun 1911, National 1911, National Milk Standard Committee di Amerika Serikat merupakan badan professional pertama yang menyarankan kombinasi waktu dan temperatur minimum untuk pasteurisasi susu yakni 62.8
℃
selama 30 menit. Pengkondisian panas semacam ini sedikit di atas apa yang pada saat itu oleh orang-orang dianggap sebagai eksposur yang memadai untuk menghancurkan Mycobacterium Tuberculosis, salah satu patogen utama yang terkandung dalam susu. Setelah tahun 1911, pemanfaatan metode pemanasan susu dalam waktu singkat untuk mematikan bakteri patogen mulai banyak dilakukan. Pada akhirnya, metode pasteurisasi pertama kali dilegalkan dan diakui sebagai metode mumpuni penghilangan patogen pada tahun 1924 ketika susu Ordinance hasil pasteurisasi pertama kali dipasarkan. Di Ordinance, pasteurisasi didefiniskan sebagai proses
℃
pemanasan dengan temperatur tidak kurang dari 61.1 selama 30 menit menggunakan peralatan yang memenuhi standar. Penelitian lebih lanjut tentang penghancuran M. penghancuran M. tuberculosis dan pathogen lain dengan menggunakan panas memasukkan standar pasteurisasi High Temperature Short Time (HTST) ke dalam U.S. Public Health Service Milk Ordinance and Code edisi tahun 1933. Pasteurisasi HTST ini menetapkan standar operasi pada temperatur 71.7
℃ selama
15 detik. Dampak HTST terhadap
kemampuan melembutkan susu juga termasuk dalam hal yang diperhitungkan dalam pengaturan standar ini. Pada akhir tahun 1930an, diketahui bahwa Coxiella burnetti, salah satu penyebab Q Fever , lebih resistan terhadap panas daripada M. tuberculosis atau M.bovis. M.bovis. Penelitian di tahun 1956 menunjukkan bahwa apabila sel-sel C burnetti terkandung dalam susu mentah untuk jumlah yang banyak, beberapa selnya akan mampu bertahan pada suhu
61.7℃ selama
30 menit. Hasil penelitian ini
mengarahkan rekomendasi U.S. Public Health Service untuk menaikkan
℃
temperature standar pasteurisasi menjadi 62.8 selama 30 menit. Selain itu juga disarankan agar sekurang-kurangnya meningkatkan temperatur 2.8
℃ untuk
melakukan pasteurisasi susu dengan kandugan lemak lebih banyak dari whole milk atau untuk susu dengan tambahan gula.
14
Terlepas dari pengaruh pembulatan angka untuk konversi FahrenheitCelsius, Celsius, standar yang telah disebutkan di atas untuk pasteurisasi tetap tidak berubah hingga hari ini. Menurut International Dairy Federation, Federation, kombinasi suhu-waktu minimum sekarang yang diakui di seluruh dunia adalah 63 selama 15 detik atau 138
℃ selama 30 menit, 72 ℃
℃ selama 2 detik. Data dari CFR dikutip dalam Mohan
(2014) memberikan standar minimum pasteurisasi sebagaimana pada tabel 2.2. Tabel 2.2. Waktu dan Temperatur Pasteurisasi oleh CFR
Gambar 2.2. 2.2.
waktu dan temperatur proses yang disyaratkan untuk inaktivasi Mycobacterium tuberculosis (○) dan perlakuan panas minimum pasteurisasi yang direkomendasikan oleh International Dairy Federation (▲)
15
2.3.2. Pemilihan Kombinasi Waktu-Temperatur Waktu-Temperatur Pasteurisasi
Pada praktiknya, kebutuhan waktu dan temperatur minimum HTST, LTLT atau UP tidak dapat diterapkan secara general untuk semua proses pasteurisasi. Untuk kondisi yang lebih bervariasi, Juffs (2007) memparkan bahwa International bahwa International Dairy Federation menyusun kombinasi waktu-temperatur minimum yang disarankan untuk tujuan inaktivasi M. tuberculosis sebagaimana pada gambar 2.2. Hubungan ini telah diuji untuk total pengujian yang sangat banyak dan masih valid hingga hari ini untuk organisme yang sama. Pengaruh panas dari pasteurisasi selain mengakibatkan inaktivasi patogen, inaktivasi patogen, juga dapat mempengaruhi kelembutan ( creamy) creamy) susu atau olahan susu seperti es krim. Pasteurisasi yang baik adalah pasteurisasi yang dapat membunuh bakteri patogen namun tidak mengurangi kelembutan susu atau olehan susu oleh temperatur yang terlalu tinggi. Dahlberg dalam Juffs (2007) mengilustrasikan pengaruh suhu pasteurisasi dengan temperature minimum reduksi tekstur lembut susu atau olahan susu sebagaimana pada gambar 2.3. Pemilihan kombinasi temperatur-waktu dengan variasi yang telah diberikan sebagaimana pada gambar 2.3, bergantung pada bahan susu yang akan dipasteurisasi dan atau bergantung pada hasil olahan susu yang dikehendaki. Hal ini menjadi spesifikasi dan teknik tersendiri yang dipilih oleh pabrik selama memenuhi standar kandungan bakteri patogen dalam produk luaran. Dengan alasan tersebut, satu proses yang tergolong HTST misalnya dapat memiliki kombinasi waktu dan temperature yang berbeda-beda. Sebagai contoh untuk krim dengan varian kadar lemak, Bogh-Sorensen dalam (1992) memberikan kombinasi waktutemperatur lain pasteurisasi HTST sebagai berikut:
Holding (batch) method
HTST untuk krim dengan lemak 10-20%
HTST untuk krim dengan lemak >20%
℃ selama 30 menit : 75 ℃ selama 15 detik : 80 ℃ selama 15 detik : 65
16
Gambar 2.3. Hubungan thermal death curve untuk Mycobacterium untuk Mycobacterium tuberculosis
2.3.3. Jenis-Jenis Pasteurisasi Pasteurisasi Es Krim
Pasteurisasi Es Krim dapat dilakukan untuk sistem batch maupun continuous. continuous. Pada umumnya kombinasi temperatur dan waktu yang terdapat dalam industri adalah Low adalah Low Temperature Long Time (LTLT) untuk sistem batch dan batch dan High High Temperature Short Time (HTST) untuk sistem continuous. continuous.
17
Gambar 2.4. Diagram skematik konfigurasi komponen pasteurisasi batch
2.3.3.1. Pasteurisasi Batch
Untuk sistem batch, campuran biasanya dikumpulkan dalam tangki doublewalled (dinding ganda). Tangki yang digunakan biasanya berkapasitas 600-2000 L. Ukuran tangki berpengaruh pada jenis pengaduk yang digunakan. Goff (2013) menjelaskan bahwa tangki yang lebih kecil memiliki pengaduk putar di tengah tangki sedangkan tangki yang lebih besar membutuhkan pengaduk sapu yang berputar di dinding tangki. Ilustrasi kedua jenis pengaduk tersebut diberikan pada gambar 2.4. Tangki yang lebih besar juga memiliki konfigurasi berbeda yakni bagian bawah yang berbentuk kerucut. Hal ini untuk mempermudah pengeringan tangki dimana campuran akan meninggalkan tangki secara keseluruhan. Selama proses pasteurisasi berlangsung, panas diberikan ke dalam tangki dengan mensirkulasikan air panas antara dinding tangki yang berlapis dua sementara campuran dimasukkan. Ketika semua campuran telah memasuki tangki dan temperatur minimum 69
℃ telah tercapai, atau lebih tinggi jika dibutuhkan,
pewaktuan pasteurisasi dimulai. Seketika waktu minimum 30 menit telah tercapai, campuran dipompakan ke homogenizer lalu kemudian ke pendingin continuous seperti plate seperti plate heat exchanger.
18
Gambar 2.5. Sistem Pasteurisasi Plate Pasteurisasi Plate Heat Exchanger
2.3.3.2. Pasteurisasi Pasteurisasi Continuous
Pasteurisasi continuous dapat dilakukan menggunakan beberapa kombinasi temperatur dan waktu. Goff (2013) menjelaskan bahwa pasteurisasi continuous memungkinkan dimanfaatkannya pemanasan dan pendinginan regeneratif dengan keuntungan dapat menghemat biaya serta energi. Sebagian besar sistem pasteurisasi continuous terdiri atas plat-plat seri atau parallel dengan permukaan beralur atau berongga. Pertukaran panas terjadi pada masing-masing pelat melalui mekanisme aliran counter-current . Cairan panas mengalir di salah satu sisi plat sedangkan cairan atau medium pendingin mengalir dengan aliran berlawanan di sisi lain pada plat yang sama. Jenis lain dari heat exchanger pada pada pasteurisasi diantaranya double-tube, triple-tube, serta injeksi uap. Akan tetapi metode ini jarang digunakan dalam pasteurisasi produk olahan susu. Sistem pasteurisasi plat diilustasikan pada gambar 2.5, dan skema alirannya pada gambar 2.6.
Pl ate H eat E xchang xchange er (PHE) 2.3.4. Prinsip Kerja Pla Berdasrkan gambar 2.6, dapat dibuat diagram alir proses pasteurisasi di Plate Heat Exchanger yang yang diperlihatkan pada gambar 2.7.
19
Gambar 2.6. Skema aliran bahan dan fluida pada Plate pada Plate Heat Exchanger 20
Campuran mentah ditampung dalam tangki
Campuran mentah mengalami pemanasan awal di sisi raw di regenerator
Campuran hasil pemanasan awal dialirkan ke timing pump
Campuran mengalami pemanasan akhir (pasteurisasi (pasteurisasi))
Hasil Pasteurisasi dialirkan ke Holding Tube untuk waktu tertentu dalam suhu konstan
Hasil Pasteurisasi bertukar panas dengan campuran mentah (regenerasi kedua)
Hasil Pasteurisasi didinginkan dan dikeluarkan dikeluarkan dari PHE
Gambar 2.7. Diagram Alir Proses Pasteurisasi
2.4. Neraca Massa dan Energi
Neraca massa dan Energi pasteurisasi menggunakan Plate menggunakan Plate Heat Exchanger sebagaimana jumlah prosesnya juga terbagi menjadi tiga yakni pemanasan, regenerasi dan pendinginan. Pada tulisan ini akan dibahas kinerja pasteurisasi dalam hal pendinginan. Moler (2016) menjelaskan bahwa pendinginan pada PHE umumnya menggunakan air dingin sebagai fluida pendingin. Hal ini juga berlaku untuk
21
pasteurisasi es krim. Adapun neraca massa dan energi proses pendinginan pasteurisasi es krim serupa dengan neraca massa dan energi pada penukar panas lainnya yakni melibatkan fluida panas, fluida dingin dan media penukar panas. Dalam hal ini, untuk proses pendinginan pasteurisasi es krim melibatkan susu (satusatunya bahan yang butuh dipasteurisasi) sebagai fluida panas dan air dingin sebagai fluida pendingin. Adapun skema neraca massa dan energi nya diberikan pada gambar 2.8.
Air Dingin Masuk mwi = Twi = Susu Masuk
Pwi =
msi = Tsi =
Plate Heat
Psi =
Exchanger
Susu Keluar mso =
Air Dingin Keluar
Tso =
mwo =
Pso =
Two = Pwo = Gambar 2.8. Skema Neraca Massa dan Energi proses Pendinginan Pasteurisasi
22
BAB III
PLATE H EAT EXCHANGER METODE PERHITUNGAN KINERJA PLATE Kinerja Plate Kinerja Plate Heat Exchanger (PHE) dapat dinyatakan dalam besaran yang sama dengan kinerja peralatan heat exchanger (HE) lainnya. Secara sederhana Geankoplis (1993) mendefinisikan kinerja HE secara umum sebagai perbandingan antara laju perpindahan panas aktual terhadap laju perpindahan panas maksimum yang dapat terjadi. Definisi kinerja di atas disebut sebagai efektifitas dimana persamaannya ditunjukkan pada pada persamaan 3.1.
ε=QQ
3.1
dima dimana na ∶ ε = Efek Efektitififita tass Q = Laju perpindahan perpindahan kalor aktual kJ/s kJ/s Q = Laju perpindahan perpindahan kalor maksimal maksimal kJ/s kJ/s Selain dalam besaran efektifitas, kinerja sebuah PHE juga dapat diindikasikan melalui perbandingan antara kalor hasil perhitungan yang melibatkan faktor degradasi alat terhadap nilai kalor teoritis yang dipersyaratkan. Definisi kinerja di atas disebut safety disebut safety factor yang yang diberikan pada persamaan 3.2.
c = QQ
3.2 3.2
dimana∶c = Q = Laju perpindahan perpindahan kalor hasil degradasi/ degradasi/ kJ/s Q = Laju perpindahan perpindahan kalor teoritis/ teoritis/ kJ/s Persamaan untuk seluruh laju perpindahan kalor dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
ṁ
Laju alir massa
Perubahan temperatur
Konduktivitas dan kalor spesifik fluida (k)
Geometri media penukar panas (khusus untuk
∆T Q )
23
Masing-masing besaran yang termasuk faktor yang mempengaruhi persamaan kalor di atas juga dipengaruhi oleh besaran-besaran lainnya. Penjelasan faktor-faktor tersebut dijelaskan dalam subbab 3.1.1. sampai 3.1.4.
3.1. Faktor yang mempengaruhi persamaan kalor 3.1.1. Laju Alir Massa
Laju alir massa didefinisikan sebagai kuantitas massa yang dialirkan per satuan waktu. Laju alir massa memiliki satuan
kg/s. Laju alir massa suatu fluida
dipengaruhi oleh besaran-besaran berikut:
ρ)
Massa jenis
Volume
Waktu aliran
V t
Massa jenis suatu fluida pada umumnya bergantung pada tekanan temperatur
P dan
T fluida. Dua faktor tersebut berlaku pada fluida tunggal (bukan
campuran). Sementara untuk fluida yang berupa campuran, massa jenis juga dipengaruhi oleh komposisi campuran sebagaimana pada persamaan 3.3.
ρ, = ρ,X + ρ, X + ρ,X +⋯
3.3
dima dimana na ∶ ρ, campuran pada tekanan , = Massa jenis campuran dan temperatur tertentu kg/m ρ, = Massa jenis jenis komponen komponen A pada tekanan tekanan dan temperatur tertentu kg/m X = Fraksi Fraksi massa massa komponen komponen A dst… Volume fluida yang mengalir dalam penampang adalah besaran yang dapat diperoleh langsung pada saat pengukuran. Sementara waktu pada umumnya dijadikan basis pengukuran yang telah ditentukan sebelumnya. Persamaan l aju alir massa selanjutnya untuk fluida dalam bentuk campuran diberikan pada persamaan 3.4.
24
ṁ = (ρ,X + ρ,Xt + ρ,X + ⋯) V
3.4
3.1.2. Perubahan Temperatur Temperatur
Pada seluruh jenis heat exchanger dengan dengan analisa perpindahan panas yang melibatkan geometri alat, perubahan temperatur fluida selalu dinyatakan dalam besaran
rata-rata
perubahan temperatur
logaritmik
∆T.
Perubahan
temperatur dalam besaran ini dipengaruhi oleh temperatur baik fluida dingin ataupun panas, masuk ataupun keluar. Untuk aliran counter current, current, perubahan rata-rata temperature logaritmik dinyatakan dalam persamaan:
∆TO ∆T = ∆TI∆T−I 3.5a ln ln ∆TO − ∆TI ∆T = ∆TO 3.5b ∆T O ln ln ∆TI Untuk ∆TI > ∆TO digunakan persamaan 3.5a. Adapun apabila ∆TO > ∆TI, maka digunakan persamaan 3.5b. ∆T pada persamaan 3.5 (a) dan (b) merupakan selisih temperatur antara fluida panas dan fluida dingin baik pada sisi inlet maupun outlet. Adapun perubahan temperatur pada perhitungan fluida dengan tanpa analisa geometris alat, perubahan temperatur yang digunakan merupakan perubahan temperatur langsung
∆ T = T − T.
3.1.3. Konduktivitas Panas dan Kalor Spesifik Fluida
Fluida dalam tinjauannya sebagai materi yang dapat menghantarkan panas, memiliki besaran konduktivitas panas
k. Mc Cabe (1993) menjelaskan bahwa
berdasarkan hukum Fourier diketahui bahwa besaran konduktivitas panas suatu bahan tidak bergantung pada gradien temperatur. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa nilai
k bersifat independen untuk rentang temperatur yang
cukup lebar, kecuali untuk padatan berongga dimana radiasi antar partikel tidak
25
mengikuti hukum linearitas temperatur. Dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan sifat konduktivitas demikian, maka nilai k untuk rentang temperatur yang kecil dapat dianggap konstan. Sedangkan apabila rentang yang diperoleh cukup lebar, maka dapat diberlakukan persamaan 3.6 berikut.
k=a+bT
3.6
dimana a dan b adalah konstanta empirik yang terdapat pada tabel properti bahan. Konduktivitas panas fluida pada suatu campuran juga bergantung pada komposisi campuran tersebut. Sehingga persamaan konduktivitas termal campuran adalah sebagai berikut (3.7)
k = kX + kX + kX +⋯ dimana dimana ∶ k = Konduk Konduktiv tivita itass termal termal campur campuran an W/mK W/mK k = Konduktivitas Konduktivitas termal termal komponen komponen A W/mK X = Fraksi Fraksi massa komponen komponen A dst…
3.7
Selain konduktivitas termal, besaran termal dari campuran yang perlu diketahui adalah kalor spesifik. Barbosa dkk (2009) mendefinisikan kalor spesifik sebagai jumlah kalor yang dibutuhkan untuk menaikkan temperatur satu unit massa sebesar satu unit temperatur. Berbeda dengan konduktivitas konduktivitas panas yang independen terhadap temperatur, untuk kalor spesifik zat padat ataupun cair, sebagaimana dijelaskan lebih lanjut oleh Barbosa dkk (2009), besarnya bergantung pada temperatur bahan tersebut akan tetapi relatif tidak terpengaruh oleh perubahan tekanan. Sehingga persamaan kalor spesifik dapat dibuat sebagai fungsi komposisi yang bergantung pada temperatur seperti pada persamaan 3.8.
C = CX + CX + CX +⋯
3.8
dima dimana na ∶ C = Kalor spesifik campuran campuran pada temperatur tertentu J/kg K C = Kalor spesifik komponen komponen A 26
pada temperatur tertentu J/kg K X = Fraksi Fraksi massa komponen komponen A dst… 3.1.4. Geometri Media Penukar Panas
Geometri alat heat exchanger yang digunakan sangat berpengaruh pada besaran-besaran koefisien yang yang berpengaruh pada perhitungan perhitungan kalor fluida. Besaran Besaran yang terlibat dalam perhitungan kalor yang diserap fluida dingin atau kalor yang dilepas fluida panas secara garis besar terbagi dua, yaitu besaran-bes aran aliran dan besaran-besaran dimensional. Besaran aliran terdiri atas bilangan Reynolds, bilangan Reynolds, Nusselt dan Fouling Factor . Adapun besaran dimensional seperti disebutkan oleh Moler dkk (2016) meliputi luas efektif aktual, luas efektif dan luas proyeksi plat tunggal, jumlah total dan jumlah efektif plat, jumlah pass, jumlah chanel per pass, jarak vertikal dan jarak horizontal, tebal plat, panjang pack plat, lebar efektif chanel, laras plat, rata-rata jarak chanel, diameter hidrolik chanel, faktor pelebaran dan sudut chevron. chevron. 3.1.4.1. Bilangan Reynolds
Mc Cabe (1993) menjelaskan tentang bilangan Reynolds yang berawal dari pengamatan terhadap kondisi-kondisi pada saat dimana tipe aliran suatu fluida berubah dari satu jenis ke jenis aliran lainnya, dan menentukan titik kecepatan kecepatan aliran kritis, ketika aliran laminar berubah menjadi aliran turbulen. Lebih jauh dijelaskan bahwa untuk aliran fluida dalam pipa, pipa, besarnya besarnya bilangan Reynolds bergantung pada empat faktor yaitu: diameter pipa, viskositas, massa jenis dan rata-rata kecepat linear aliran fluida. Adapun untuk media plat sebagai pengganti pipa, sebagaimana dijelaskan oleh Geankoplis (1993), faktor diameter pipa diganti menjadi dimensi diameter ekivalen plat. Persamaan Reynolds untuk aliran parallel terhadap plat diberikan pada persamaan 3.6 berikut.
N = Dvρ μ
3.9
dima dimana na ∶ N = Bilangan Bilangan Reynolds Reynolds tak berdimensi berdimensi 27
D v ρ μ
= Diameter Diameter ekivalen ekivalen plat m = Kecepatan Kecepatan aliran fluida m/s = Massa jenis fluida kg/m kg/m = Viskositas Viskositas fluida kg m/s
3.1.4.2. Bilangan Nusselt
Pada heat exchanger tipe plat dimana fluida mengalir parallel terhadap permukaan plat, bilangan Nusselt ditentukan ditentukan oleh sifat fisik serta sifat termodinamis aliran fluida. Sifat fisik aliran fluida ditentukan apakah laminar atau turbulen tergantung dari besar bilangan Reynold aliran tersebut. Sedangkan sifat termodinamis fluida yang dimaksud adalah besar nilai bilangan Prandtl
.
Geankoplis (1993) membagi persamaan bilangan Nusselt berdasarkan rentang bilangan Reynold dan bilangan Prandtl berikut: Untuk
N < 3 × 1 0 dan N >0.7
N = 0.664N 664N.N/ Untuk N > 3 × 1 0 dan N >0.7
3.10a
N = 0.0366 0366NN .N/
3.10b
Untuk PHE persamaan 3.10 (a) dan (b) di atas tidak dapat digunakan mengingat bentuk permukaan plat PHE yang tidak halus (memiliki gelombang dengan besar sudut chevron). Adapun untuk mencari besar bilangan Nusselt PHE, digunakan persamaan berikut:
N = cNN. 3.11 Adapun besarnya nilai c dan n bergantung pada besar sudut chevron plat. Daftar nilai c dan n untuk setiap besar sudut chevron diberikan pada table 3.1.
28
Tabel 3.1. Varias koefiesien
c dan n untuk sudut chevron berbeda
3.1.4.3. Fouling Factor
Fouling factor merupakan koefisien yang menunjukkan seberapa besar degradasi perpindahan panas pada plate pada plate heat exchanger yang telah terjadi. Jaglarz (2015) menjelaskan bahwa fouling bergantung pada beberapa parameter diantaranya: jenis dan geometri heat exchanger serta geometrinya, jenis fluida, temperature fluida, kecepatan dan tekanan fluida, serta beberapa faktor lainnya. Fenomena fouling Fenomena fouling biasanya biasanya dinyatakan dalam koefisien resistansi fouling resistansi fouling atau biasa juga disebut koefisien resistansi termal. Faktor dominan yang mempengaruhi besarnya koefisien resistansi termal adalah tipe penukar panas serta jenis fluida dan pemakaian. Untuk penukar panas tipe PHE yang dibahas dalam tulisan ini dengan asumsi pemakaian normal, besar koefisien resistansi termal untuk beberapa jenis fluida, sebagaimana ditunjukkan oleh Masoud (2013), diberikan pada tabel 3.2.
29
Tabel 3.2. Daftar fouling Daftar fouling resistance PHE untuk beberapa jenis fluida
3.1.4.4. Besaran Dimensional
Besaran dimensional PHE merupakan besaran-besaran yang dipengaruhi dari bentuk fisik alat (plat) sebagaimana yang ditunjukkan pada gambar 3.1. Besaran dimensional PHE sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, ada yang termasuk besaran konstruksional yang nilainya tetap dan tidak diperoleh dari perhitungan serta ada yang yang termasuk besaran yang diperoleh dari hasil perhitungan. Besaran konstruksional yang disebutkan oleh Jaglarz (2015) meliputi besaran berikut ini: -
A Jarak vertikal L Jarak horizontal L Diameter port D Tebal plat t Panjang pack plat L Lebar chanel efektif L Faktor pelebaran ∅ Sudut chevron β Total luas efektif
30
Gambar 3.1. Bentuk fisik plat pada PHE
Adapun besaran yang diperoleh dari hasil perhitungan meliputi persamaan persamaan yang diberikan oleh Moler dkk (2016) berikut: -
-
-
Luas proyeksi plat
L = L − L + L
3.12 3.12
A = L × L
3.13 3.13
Luas penukaran panas plat tunggal
A = ∅ × A
3.14 3.14
N = AA
3.15
Jumlah plat efektif
31
-
-
Jumlah plat total
N = N + 2
3.16
p = NL
3.17 3.17
b=p−t
3.18
A = b × L
3.19 3.19
D = 2 ×∅ b
3.20
Laras plat (plate pitch)
-
-
-
-
Rata-rata jarak chanel
Luas aliran satu chanel
Diameter hidrolik
Jumlah chanel total per plat
N = N 2− 1
3.21 3.21
Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas kemudian digunakan untuk menghitung banyaknya kalor baik yang dilepas oleh fluida panas maupun yang diserap oleh fluida dingin pada PHE. Perhitungan kalor tersebut dilakukan berdasarkan langkah-langkah yang yang diberikan pada metode metode perhitungan subbab 3.2.
3.2. Langkah Perhitungan Perhitungan
Perhitungan kalor pada plate pada plate heat exchanger secara secara umum dibagi ke dalam dua bagian yaitu analisis geometris dan analisis perpindahan panas.
32
3.2.1. Analisis Geometris Geometris
Analisis geometris sebelumnya telah dijelaskan pada subbab 3.1.4.4. dengan mengumpulkan besaran konstruksional kemudian mencari besaran perhitungan dengan menggunakan menggunakan persamaan 3.12 hingga hingga 3.21.
3.2.2. Analisis Perpindahan Panas
Langkah perhitungan pada analisis perpindahan panas adalah sebagai berikut: 1. Mencari fraksi massa dari komponen penyusun campuran bahan bahan 2. Mencari sifat termodinamik Baik fluida panas maupun dingin, baik fluida tunggal ataupun campuran dicari sifat termodinamiknya meliputi:
C
-
Kalor spesifik
-
Viskositas
-
Konduktivitas termal
-
μ
k Bilangan Prandtl Pr
Semua sifat termodinamik tersebut, kecuali konduktivitas termal, baik pada fluida panas maupun fluida dingin dicari pada temperatur film yang persamaannya diberikan pada persamaan 3.22.
T = T −2 T Bilangan Prandtl
3.22
Pr juga dapat didekati melalui persamaan 3.23. 3.23 Pr = Ck μ 3.23
3. Mencari fouling Mencari fouling factor fluida fluida Fouling factor pada factor pada setiap sisi s isi plat pada PHE bergantung pada jenis fluida dan dapat merujuk pada tabel 3.1. 4. Mencari laju alir massa fluida per chanel
33
Baik fluida panas maupun fluida dingin dicari laju alir massanya menggunakan persamaan 3.3. Sementara laju alir massa per chanel dihitung menggunakan persamaan 3.24 berikut:
m ̇ = Nṁ
3.24
5. Mencari bilangan Reynold Besar bilangan Reynold masing-masing aliran fluida dapat dicari menggunakan persamaan 3.9. Perlu diperhatikan bahwa besar diameter ekivalen pada persamaan tersebut menggunakan hasil perhitungan diameter hidrolik pada persamaan 3.20. 6. Mencari bilangan Nusselt Bilangan Nusselt dicari menggunakan persamaan 3.10 atau 3.11 bergantung pada bentuk fisik aliran fluida apakah laminar atau turbulen dilihat dari besar bilangan Reynold yang telah dihitung sebelumnya. 7. Menghitung besar koefisien perpindahan panas konveksi alamiah Besar koefisien konveksi (h) dapat dicari menggunakan persamaan bilangan Nusselt yang lain seperti pada persamaan 3.25 berikut sebagaimana diberikan oleh Geankoplis (1993):
N = hDk
3.25
Dengan mengetahui bilangan Nusselt dari perhitungan sebelumnya, serta diameter hidrolik dan konduktivitas termal fluida telah diperoleh, maka besar koefisien konveksi (h) dapat diketahui menggunakan persamaan di atas. Besaran koefisin konveksi dihitung baik untuk fluida panas maupun fluida dingin
h.
h
8. Mencari koefisien perpindahan panas total Koefisien perpindahan panas total pada penukar panas dapat dihitung berdasarkan dua asumsi. Asumsi pertama bahwa media penukar panas bersih dari materi degradasi yang tidak memperhitungkan besarnya fouling besarnya fouling factor fluida, dan asumsi kedua yang memperhitungkan besarnya fouling
34
factor fluida. Persamaan untuk kedua asumsi tersebut diberikan pada persamaan 3.26 dan persamaan 3.27.
U = 1 1t 1 h + k + h U = 1 t 11 h + k + h + R + R
3.26 3.27
diman imanaa ∶ U = Koefisien perpindahan perpindahan panas bersih/ bersih/ W /mK U = Koefisien perpindahan perpindahan panas W/mK h = Koefisien konveksi konveksi fluida dingin W/mK h = Koefisien konveksi konveksi fluida panas W/mK k = Konduktivitas Konduktivitas termal plat W/mK R = fluida dingin dingin mK/W mK/W R = fluida panas panas mK/W t = tebal tebal plat plat m 9. Menghitung kalor aktual dan kalor maksimum Perhitungan kalor aktual dan kalor maksimum mengikuti persamaan 3.28.
Q = ṁ C ∆T
3.28
Persamaan tersebut berlaku baik untuk fluida panas maupun fluida dingin. Adapun penentuan kalor aktual dan kalor maksimum dilihat dari hasil perhitungan Q. Apabila maksimum dan
Q > Q maka Q merupakan kalor
Q menjadi kalor aktual, begitu pula sebaliknya.
10. Menghitung Kalor Clean, Clean, Fouled dan Required dan Required Persamaan kalor clean dan fouled dan fouled diberikan diberikan padapersamaan 3.29 (a) dan (b) berikut:
Q = UA∆T Q = U A∆T
3.29a 3.29b 35
Adapun kalor required sebagaimana didefinisikan oleh Anusha (2016) merupakan besaran kalor yang berfungsi untuk mendinginkan atau memanaskan seperti pada persamaan 3.28. Apabila fungsi pendinginan, maka kalor required sama dengan kalor fluida dingin, dan sebaliknya. 11. Menghitung Efektifitas PHE Berdasarkan definisi kalor maksimum dan aktual di atas, maka efektifitas PHE dari persamaan 3.1 dapat dihitung berdasarkan kalor fluida panas dan fluida dingin sebagai berikut:
ε = mṁ ̇ CC∆T ∆T
Persamaan di atas berlaku untuk
3.30a
Q > Q, adapun untuk Q <
Q maka berlaku persamaan 3.30(b). ∆T ε = mṁ ̇ CC∆T
3.30b
12. Menghitung Safety Factor Berdasarkan persamaan 3.2, 3.28 dan 3.29(b), maka dapat diperoleh persaamaan safety persaamaan safety factor sebagai berikut
c = Um ̇AC∆T∆T
3.31a
Persamaan di atas berlaku untuk fungsi pemanasan, fungsi pendinginan maka berlaku persamaan 3.31(b).
c = U mȦ C∆T∆T
3.31b
3.3. Tabulasi Data
Berdasarkan metode perhitungan kinerja PHE yang telah disusun serta neraca massa yang dibuat pada gambar 2.8, dapat dibuat tabulasi data yang diperlukan sebagai berikut:
36
Tabel 3.3. Tabulasi data geometris Data Geometris Simbol Nilai
Besaran Luas Efektif Jarak Vertikal Jarak Horizontal Diameter Port Tebal Plat Panjang Pack Plat Lebar Chanel Efektif Faktor Pelebaran Sudut Chevron
A L L D T L L ∅ Β
Satuan
m m m m m m m
Tabel 3.4. Tabulasi data termis Waktu
T T T T V V V V P P P P ℃ ℃ ℃ ℃ m m m m bar bar bar bar bar bar bar bar
1 2 3 dst Rata -rata
3.4. Perhitungan Baseline
Pada tulisan ini, kami melakukan perhitungan efektifitas dan efisiensi ( safety factor ) pada seksi pendingin dari rangkaian alat Plate Plat e Heat Exchanger sebagaimana tercantum pada neraca massa dan energi sebelumnya. Untuk perhitungan baseline pendinginan dari pasteurisasi, diperoleh data termis sebagai berikut:
37
Tabel 3.5. Data pengujian seksi pendinginan pasteurisasi es krim dengan PHE Waktu
T ℃
T ℃
T ℃
T ℃
0:00 1:00 2:00 3:00 4:00 Rata-rata
13.5 14.5 14 13.8 14 13.96
2 1.9 1.9 2 2 1.96
3.3 3.5 3.2 3.3 3.4 3.34
6.3 6.25 6.25 6.3 6.2 6.26
̇ ̇ V V m/jam m/jam 10.59 10.80 10.56 10.50 10.70 10.63
5.65 5.64 5.51 5.49 5.42 5.54
Sumber: Research Sumber: Research Journal of Animal Husbandry and Dairy Science, Chaudhary D.A. (2015). Pada data tersebut, fluida panas yang dimaksud adalah campuran es krim, sementara fluida dingin yang digunakan adalah air dingin (chilled ( chilled water ). ). Jika dibandingkan dengan tabulasi data sebelumnya, data yang diperoleh pada table 3.4 tidak dilengkapi dengan data tekanan fluida masuk dan keluar. Data tekanan ini diperlukan sebagai acuan dalam mencari besar massa jenis fluida. Adapun massa jenis fluida digunakan untuk mencari persamaan laju alir massa dan bilangan Reynold. Reynold. Oleh karena itu, data data tekanan diasumsikan sama dengan tekanan ambient dimana proses pasteurisasi pada dasarnya tidak dirancang untuk besar tekanan tertentu, berbeda dengan proses homogenisasi. Selain tekanan yang diasumsikan sama dengan tekanan ambient, data laju alir yang tersedia juga berupa laju alir volumetrik dalam
m/Jam dan sama untuk
aliran masuk dan aliran keluaran. Selain data termis, data geometris juga diperlukan. Data yang diperoleh menunjukkan karakteristik geometris alat PHE sebagai pasteurizer sebagaimana pada tabel 3.5
38
Tabel 3.5. Data geometris PHE Data Geometris Besaran Simbol Nilai Luas Efektif 110 Jarak Vertikal 1.55 Jarak Horizontal 0.43 Diameter Port 0.2 Tebal Plat 0.6 Panjang Pack Plat 0.38 Lebar Chanel Efektif 0.63 Faktor Pelebaran 1.25 Sudut Chevron 45
A L L D T L L ∅ Β
Satuan
m m m m m m m
°
Sumber: Middle Sumber: Middle East Technical University, Moler (2016)
Berdasarkan data pada table 3.4 dapat dibuat neraca massa dan ener gi proses pendinginan pasteurisasi sebagai berikut.
Air Dingin Masuk
Basis = 1 jam
Vc =5.54m3 Tci =1.96 oC Susu Masuk Vh = 10.63m 3 Thi =13.96oC
Plate Heat Exchanger Susu Keluar Vh =10.63m 3
Air Dingin Keluar
Tho = 3.34 oC
Vc =5.54m3 Tco =6.26 oC Gambar3.2. Neraca Massa dan Energi proses Pendinginan Pasteurisasi
39
Berdasarkan data yang diperoleh, dapat dihitung kinerja plate heat exchanger sebagai pendingin dalam besaran efektifitas dan safety dan safety factor mengikuti mengikuti langkah perhitungan yang sudah dijelaskan sebelumnya. Karena perhitungan melibatkan besaran termodinamika berupa massa jenis, kalor spesifik dan viskositas dari susu, berikut disajikan persamaan serta tabel properti dari besaran-besaran tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Kumbar (2015). -
Persamaan massa jenis susu.
ρ = a + aT dima dimana na ∶ a = 1025 a = −0.0 −0.011 1165 65 a = 1.819 8 19
3.32
Gambar 3.3. Kurva massa jenis terhadap temperatur susu -
Kurva viskositas susu.
Gambar 3.4. Kurva viskositas terhadap temperatur susu
40
-
Kalor spesifik susu
Gambar 3.5. Tabel kalor spesifik susu dan olahan susu
Berdasarkan persamaan, kurva serta tabel di atas dapat dicari sifat termodinamik suhu untuk keperluan perhitungan. -
Sifat termodinamik susu dan air pendingin
T = 8.65 8.65℃ ℃ ρ = 1024.41 1024.41 kg/m kg/m Cp = 0.93 kJ/kgK kJ/kgK μ = 0.0019 0.001955 kg/ms kg/ms k = 0.55 0.55 W/mK W/mK Pr = 0.00 0.0033 33 -
T = 4.11 4.11℃ ℃ ρ = 1000 1000 kg/m kg/m Cp = 4.205 4.205 kJ/k kJ/kgK gK μ = 0.0015 0.001566 kg/m kg/mss k = 0.59 0.5911 W/mK W/mK Pr = 0.00 0.0026 2666
Besaran dimensional
L =1.55−0.63+0.43=1.35 A =0.63×1.35=0.8505 A = 0.8505 × 1.25 = 1.064 110 = 103. N = 1.064 103.47 47 N =103.47+2=105.47 41
0.38 = 0.0036 p = 105.47 0036 b = 0.0036 − 0.0006 = 0.003 A =0.003×0.63=0.0019 D = 2 × 0.003 0048 1.25 = 0.0048 N = 105.47−1 52.233 2 = 52.2 -
Laju alir
ṁ = ρV ̇ = 1024 1024.4.411 × 10.6 10.630 3044 = 10889 10889 kg/s kg/s ṁ hot= 10889 52.23 = 208.48 48 kg/s kg/s Ghot= 208.48 0.0019 = 1101 110198. 98.77
-
Bilangan Reynold
R = 110198.7×0.048 0.00195 = 2715 271526 26 -
N = 0.3 × 172368. ×0.0027. = 82.9 82.922
Koefisien konveksi
0.55 h = 122.18 × 0.0048 = 1398 13985.9 5.9 W/m W/mK -
R = 56107.8×0.048 0.00156 = 1723 172368 68
Bilangan Nusselt
N =0.3×271526. ×0.0033. = 122. 122.18 18 -
ṁ = ρV ̇ = 1000 1000 × 5.5466 5 466 = 5544.6 5544.6 kg/s kg/s ṁ cold= 5544.6 52.23 = 106.15kg/s 15kg/s Gcold = 5544.6 0.0019 = 56107 56107.8.8
0.591 h =82.92× 0.0048 = 10199.1 10199.1W/m W/mK
Koefisien perpindahan panas total clean 42
Alat PHE menggunakan plat dari bahan aluminium dengan konduktivitas termal 111
W/mK
1 1 + 1 + 0.0006 13985.9 10199.1 111 = 5715. 5715.81 81 W/m W/mK
U =
-
Koefisien perpindahan panas total fouled total fouled Dari data pada tabel 3.1 dan data eksternal lainnya diperoleh fouling factor untuk air sebesar 0.00009 dan untuk susu sebesar 0.00052.
1 1 + 1 + 0.0006 +0.00052+0.00009 13985.9 10199.1 111 = 1273.96 1273.9611 W/mK
U =
-
Perubahan temperatur rata-rata logaritmik
∆T =13.96−1.96=12 ∆T =6.26−3.34=2.92 ∆T = 12−2.92 =6.42 12 ln ln 2.92 -
Kalor fluida panas dan dingin
Q = 5544.6 × 4.204 × 6.26−1.96 = 23937 23937.1.155 kJ Q =10889.9×0.93× 13.96−3.34 = 107555. 107555.1kJ 1kJ -
Kalor clean dan fouled dan fouled
Q = 5715. 15.8 × 1.06 .063 × 6.42 = 39039. 039.7 kJkJ Q = 1273.961 × 1.063 × 6.42 = 8701.3 kJ kJ
43
-
Efektivitas PHE
kJ ε = 23937.15 107555.1kJ = 0.222 2 22
-
Safety Factor
8701.3kJ Cs = 23937.15kJ = 0.36 36
Hasil dari perhitungan efektivitas PHE yang membandingkan antara kalor fluida dingin dan kalor fluida panas harus memberikan nilai yang sama dengan hasil perbandingan kalor fouled kalor fouled dan dan clean. clean.
Q = 8701.3kJ = 0.223 Q 39039.7 kJ 2 23
44
BAB IV EFISIENSI PROSES PENDINGINAN PADA PASTEURISASI
PLATE H EAT EXCHANGER DENGAN PLATE
Pada bab sebelumnya telah diketahui bagaimana cara untuk menentukan kinerja PHE, dalam hal ini satu proses pendinginan, yang dinyatakan dalam besaran efektivitas dan safety factor . Besaran efektivitas memberikan informasi seberapa baik pertukaran kalor yang terjadi antara fluida panas dan fluida dingin. Adapun safety factor , berdasarkan definisinya, memberikan gambaran tentang seberapa besar pengaruh dari degradasi permukaan penukar panas yang dinyatakan din yatakan dalam koefisien fouling koefisien fouling factor. Data besaran fluida diberikan pada tabel 3.4 dan kinerja diberikan pada hasil perhitungan pada subbab subbab perhitungan baseline. baseline. Rangkuman data dan hasil tersebut diberikan pada tabel 4.1, serta neraca massa dan energinya diberikan kembali pada gambar 4.1. Tabel 4.1. Data pengujian dan kinerja pendinginan PHE Waktu 0:00 1:00 2:00 3:00 4:00 Rata-rata
̇ ̇ T T T T V V ℃ ℃ ℃ ℃ m/jam m/jam
13.5 14.5 14 13.8 14 13.96
2 1.9 1.9 2 2 1.96
3.3 3.5 3.2 3.3 3.4 3.34
6.3 6.25 6.25 6.3 6.2 6.26
10.592 10.800 10.560 10.500 10.700 10.6304
5.650 5.645 5.515 5.490 5.423 5.544.6
ε
Cs
0.222
0.36
Kinerja ini dapat ditingkatkan dengan cara memanipulasi besaran-besaran yang memungkinkan untuk dirubah dan terlibat dalam perhitungan kinerja Plate Heat Exchanger . Terdapat beberapa besaran yang dapat dirubah yang pengaruhnya dalam meningkatkan kinerja PHE. Diantaranya terdapat tiga besaran yang akan dibahas dalam subbab improvement 1 hingga improvement 3.
45
Air Dingin Masuk
Basis = 1 jam
Vc =5.54m3 Tci =1.96 oC Susu Masuk Vh = 10.63m 3 Thi =13.96oC
Plate Heat Exchanger Susu Keluar Vh =10.63m 3
Air Dingin Keluar
Tho = 3.34 oC
Vc =5.54m3 Tco =6.26 oC
Gambar4.1. Neraca Massa dan Energi proses Pendinginan Pasteurisasi
mpr ove ovement ment 1 4.1. I mpr Berdasarkan persamaan 3.30 (a) dan (b) diketahui bahwa efektivitas PHE bergantung pada laju alir massa fluida, panas spesifik dan perubahan suhu baik untuk fluida panas maupun fluida dingin. Karena pada data yang diperoleh dan perhitungan pada bab 3 diketahui bahwa kalor fluida dingin lebih le bih rendah daripada kalor fluida panas, maka untuk menaikkan efektifitas pendingan PHE dapat ditempuh dengan cara meningkatkan kalor fluida dingin, menurunkan kalor fluida panas, atau dengan kombinasi keduanya. keduanya. Improvement pertama Improvement pertama dilakukan dengan cara meningkatkan laju alir massa fluida dingin. Dari data sebelumnya pada tabel 4.1 diperoleh besar laju alir volume air pendingin yakni 5.5446 m 3/jam. Apabila nilai ini dinaikkan sebesar 10% menjadi 6.100 m 3/jam dengan penjagaan penurunan suhu fluida tetap sama seperti sebelumnya, maka diperoleh hasil kinerja berdasarkan perhitungan sebagai berikut:
46
-
Sifat termodinamik air pendingin
T = 4.11℃ 1 1℃ ρ =1000 mkg Cp = 4.20 4.2044 J/kgK J/kgK -
Laju alir
ṁ = ρV ̇ =1000×6.1 = 6100 6100kg/ kg/ss -
Kalor fluida panas dan dingin
Q =6100×4.204× 6.26−1.96 = 26334 26334.9.9 kJkJ Q =10889.9×0.93× 13.96−3.34 = 107555. 107555.1kJ 1kJ -
Efektivitas PHE
ε=26334.92 kJ107555.1 kJ=0.245 Berdasarkan hasil perhitungan , diketahui bahwa dengan peningkatan laju alir fluida pendingin sebesar 10%, meningkatkan efektivitas sebesar 0.02 (2%).
mpr ove ovement ment 2 4.2. I mpr Selain dengan mengubah laju alir fluida dingin, besarnya kalor fluida dingin juga dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan perubahan suhu. Perubahan suhu ini selain berpengaruh secara langsung kepada besarnya kalor, berikut besarnya efektivitas PHE, juga berpengaruh kepada nilai kalor spesifik, viskositas viskosita s air serta massa jenis.
47
Apabila suhu air dingin masuk dibuat mencapai 0.5 sehingga suhu air keluar mencapai 8
℃, diatur sedemikian
℃, maka dapat diperoleh efektivitas melalui
persamaan sebagai berikut:
-
Sifat termodinamik air pendingin
T =0.5+8/=4.25℃ ρ =1000 mkg Cp = 4.205 4.205 kJ/kgK kJ/kgK -
Laju alir
ṁ = ρV ̇ =1000×5.544 = 5544 5544kg/ kg/ss -
Kalor fluida panas dan dingin
Q =5544×4.205× 8−0.5 8−0.5 = 4429 44295.5.2J 2J Q =10889.9×0.93× 13.96−3.34 = 107555. 107555.1kJ 1kJ -
Efektivitas PHE
44295.2 kJ = 0.412 ε = 107555.1 kJ 4 12 Berdasarkan hasil perhitungan , diketahui bahwa dengan dengan memperlebar perbedaan temperatur fluida pendingin, dapat meningkatkan efektivitas sebesar 0.195 (19.5%).
48
mpr ove ovement ment 3 4.3. I mpr Selain merubah parameter yang mempengaruhi kalor fluida dingin sehingga nilai kalornya meningkat, demi meningkatkan efisiensi cara lain juga dapat dilakukan dengan cara memperkecil kalor yang dilepas oleh fluida panas. Kalor fluida panas juga dipengaruhi oleh tiga parameter yakni laju alir, kalor spesi fik dan perubahan temperatur. Pada dasarnya besaran fluida panas pada persamaan ini tidak dapat dirubah karena merupakan aliran utama proses yang apabila dirubah maka akan mengganggu aliran proses setelahnya. Akan tetapi besaran fluida panas yang mutlak tidak boleh dirubah hanyalah laju alir, adapun temperatur dapat dirubah selama masih masuk ke dalam rentang yang diperbolehkan. Temperatur fluida panas masuk dipengaruhi oleh proses sebelumnya, yakni regenerasi ke dua, yakni tahapan setelah proses pasteurisasi. Temperatur masuk fluida ini dipengaruhi oleh seberapa besar suhu dapat diturunkan dalam proses regenerasi, sementara proses regenerasi sangat dipengaruhi oleh perjalanan fluida di dalam holding tube. tube . Apabila diasumsikan bahwa proses regenerasi dapat menurunkan temperatur fluida panas (dalam hal ini susu) lebih rendah lagi sehingga dapat mencapai temperatur 10 3.34
℃ sementara temperatur keluar fluida panas tetap pada
℃, maka hal ini akan mempengaruhi efektivitas pendinginan secara langsung
maupun tidak langsung dengan mempengaruhi besar massa jenis dan kalor spesifik
-
Sifat termodinamik susu
T = 10 + 3.34/= /= 6.67℃ ρ = 1024 1024.6.633 mkg Cp = 0.977kJ 0.977kJ/kg /kgKK -
Laju alir
ṁ = ρV ̇ 49
= 1024 1024.6.633 × 10.6 10.633 = 10891.8 10891.8kg/ kg/ss -
Kalor fluida panas dan dingin
Q =5544×4.204× 6.26−1.96 6.26−1.96 = 23937 23937.1.155 kJ Q =10891.8×0.977× 10−3.34 10−3.34 = 70870 70870.9.9 kJkJ -
Efektivitas PHE
kJ =0.34 ε = 23937.15 70870.9 kJ Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa penurunan temperatur masuk fluida panas dari 13.96
℃ menjadi 10℃ dapat meningkatkan efektifitas PHE
sebesar 12%.
4.4. Kesimpulan
Berdasarkan 3 manipulasi besaran kalor fluida pada tiga improvement, dapat diketahui dampak dari perubahan masing-masing besaran tersebut pada efektifitas PHE yang dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4.2. Peningkatan kinerja melalui perubahan besaran proses Besaran yang dirubah Laju alir air pendingin
efektifitas Besar awal Besar akhir efektifitas awal akhir 5544.6 kg/s
Perubahan temperatur air pendingin
4.3
Perubahan temperatur susu
10.62
℃
6100 kg/s
0.222
0.24
℃
0.222
0.42
6.66
0.222
0.34
7.5
50
Berdasarkan hasil tersebut, maka improvement yang memberikan pengaruh terbesar kepada peningkatan efektifitas PHE pendinginan adalah dengan memperbesar
perubahan
temperatur
air
pendingin.
direkomendasikan karena selain dapat meningkatkan
Hal
ini
juga
lebih
improvement paling
signifikan, juga peningkatannya tidak mempengaruhi aliran bahan.
51
BAB V
RATIONAL USE USE OF OF E NER GY
Peningkatan kinerja dari suatu alat termasuk Plate Heat Exchanger dapat ditempuh melalui perubahan besaran yang mempengaruhi persamaan kinerja yang berupa besaran proses, ataupun besaran dimensional. Perubahan besaran proses telah dilakukan pada bab empat proses improvement satu sampai tiga. Pada bab ini akan dilakukan peningkatan kinerja melalui perubahan besaran dimensional. Rangkuman kinerja proses berdasarkan besaran proses awal dan besaran proses yang telah dirubah diberikan pada tabel 4.1 dan 4.2. perubahan besaran proses tersebut berpengaruh pada kinerja kinerj a alat dalam bentuk efektifitas. Sementara itu, pada bab 3 telah disusun metode perhitungan kinerja alat PHE dalam besaran efektifitas serta safety factor yang merupakan ukuran seberapa besar dampak degradasi alat dalam mempengaruhi penurunan kalor. Beberapa besaran dimensional yang dapat dirubah dibahas dalam subbab 5.1 hingga 5.3.
5.1. Mengubah Sudut Chevron
Sudut chevron adalah sudut gelombang yang dibuat pada plat yang diantara tujuannya adalah untuk memperluas daerah pertukaran panas. Sudut chevron ini tidak berpengaruh secara langsung pada besaranya safety factor . Pengaruh sudut chevron berlaku chevron berlaku pada besarnya bilangan Nusselt melalui koefisie n ch dan n.
°
Pada pembahasan ini, sudu chevron yang awalnya sebesar 45 dirubah
°
menjadi 30 . Perubahan ini menghasilkan besar koefisien ch yang awalnya sebesar 0.300 menjadi 0.348 dengan koefisien n sama sebesar 0.663. Perhitungan safety factor adalah sebagai berikut:
-
Besaran dimensional
L =1.55−0.63+0.43=1.35 A =0.63×1.35=0.8505 52
A = 0.8505 × 1.25 = 1.064 110 = 103. N = 1.064 103.47 47 N =103.47+2=105.47 0.38 = 0.0036 p = 105.47 0036 b = 0.0036 − 0.0006 = 0.003 A =0.003×0.63=0.0019 D = 2 × 0.003 0048 1.25 = 0.0048 N = 105.47−1 52.233 2 = 52.2 -
Laju alir
ṁ = ρV ̇ = 1024 1024.4.411 × 10.6 10.630 3044 = 10889 10889 kg/s kg/s ṁ hot= 10889 52.23 = 208.48 48 kg/s kg/s Ghot= 208.48 0.0019 = 1101 110198. 98.77
-
Bilangan Reynold
R = 110198.7×0.048 0.00195 = 2715 271526 26 -
ṁ = ρV ̇ = 1000 1000 × 5.5466 5 466 = 5544.6 5544.6 kg/s kg/s ṁ cold= 5544.6 52.23 = 106.15kg/s 15kg/s Gcold = 5544.6 0.0019 = 56107 56107.8.8
R = 56107.8×0.048 0.00156 = 1723 172368 68
Bilangan Nusselt
N =.×271526. ×0.0033. = 141. 141.73 73 N =.×172368. ×0.0027. = 96.1 96.188 -
Koefisien konveksi
53
0.55 h = 141.73 × 0.0048 = 1622 162233 W/m W/mK -
0.591 h =96.18× 0.0048 = 11830 11830 W/m W/mK
Koefisien perpindahan panas total fouled total fouled
1 U = 1 1 + 0.0006 +0.00052+0.00009 + 16223 11830 111 = 1313. 1313.08 08 W/m W/mK -
Perubahan temperatur rata-rata logaritmik
∆T =13.96−1.96=12 ∆T =6.26−3.34=2.92 ∆T = 12−2.92 =6.42 12 ln ln 2.92 -
Kalor fouled Kalor fouled
Q = 1313.08 × 1.063 × 6.42 = 8968.5 kJ -
Safety Factor
8968.5 kJ =. Cs = 23937.1 kJ Berdasarkan perhitungan diketahui bahwa meningkatkan besar sudut
°
chevron, chevron, dalam hal ini mengganti plat dari sudut chevron 45 menjadi 30
°
berpengaruh pada peningkatan safety peningkatan safety factor dari 0.36 menjadi 0.375 (1.5%).
54
5.2. Mengubah Konduktivitas Termal
Alat PHE yang dihitung pada tulisan ini menggunakan aluminium dengan konduktivitas termal sebesar 111
W/mK. Mengubah besarnya konduktivitas termal
dilakukan dengan cara mengubah bahan plat itu sendiri. Diantara pilihan logam yang cocok untuk proses pasteurisasi susu dengan PHE adalah magnesium. Magnesium memiliki cocok untuk dijadikan media penukar panas terutama apabila berfungsi sebagai condenser dengan temperatur pertukaran panas panas yang tidak begitu tinggi. Magnesium memiliki konduktivitas termal sebesar sebesa r 159 W/mK. Perhitungan perubahan safety perubahan safety factor dengan bahan plat dari magnesium adalah sebagi berikut.
-
Besaran dimensional
L =1.55−0.63+0.43=1.35 A =0.63×1.35=0.8505 A = 0.8505 × 1.25 = 1.064 110 = 103. N = 1.064 103.47 47 N =103.47+2=105.47 0.38 = 0.0036 p = 105.47 0036 b = 0.0036 − 0.0006 = 0.003 A =0.003×0.63=0.0019 D = 2 × 0.003 0048 1.25 = 0.0048 N = 105.47−1 52.233 2 = 52.2 -
Laju alir
ṁ = ρV ̇ = 1024 1024.4.411 × 10.6 10.630 3044 = 10889 10889 kg/s kg/s
ṁ = ρV ̇ = 1000 1000 × 5.5466 5 466 = 5544.6 5544.6 kg/s kg/s 55
ṁ hot= 10889 52.23 = 208.48 48 kg/s kg/s Ghot= 208.48 0.0019 = 1101 110198. 98.77
-
Bilangan Reynold
R = 110198.7×0.048 0.00195 = 2715 271526 26 -
N = 0.3 × 172368. ×0.0027. = 82.9 82.922
Koefisien konveksi
0.55 h = 122.18 × 0.0048 = 1398 13985.9 5.9 W/m W/mK -
R = 56107.8×0.048 0.00156 = 1723 172368 68
Bilangan Nusselt
N =0.3×271526. ×0.0033. = 122. 122.18 18 -
ṁ cold= 5544.6 52.23 = 106.15kg/s 15kg/s Gcold = 5544.6 0.0019 = 56107 56107.8.8
0.591 h =82.92× 0.0048 = 10199.1 10199.1W/m W/mK
Koefisien perpindahan panas total fouled total fouled
1 1 + 1 + 0.0006 +0.00052+0.00009 13985.9 10199.1 = 1276. 1276.61 61 W/m W/mK
U =
-
Perubahan temperatur rata-rata logaritmik
∆T =13.96−1.96=12 ∆T =6.26−3.34=2.92 ∆T = 12−2.92 =6.42 12 ln ln 2.92 56
-
Kalor fouled Kalor fouled
Q = 1276.61 × 1.063 × 6.42 = . kJ -
Safety Factor
8719.3kJ Cs = 23937.15kJ =. Dari perhitungan di atas, diketahui bahwa pengaruh menaikkan konduktivitas termal bahan dengan cara mengganti aluminium dengan nilai k 111 menjadi magnesium dengan nilai k 159 hanya mampu merubah safety factor dari 0.360 menjadi 0.364 (0.4%).
5.3. Mengurangi Tebal Plat
Konfigurasi plat yang tidak terlalu tebal tentu akan menyebabkan perpindahan panas yang terjadi antara fluida di kedua sisi plat menjadi lebih sempurna. Dalam perhitungan kali ini, tebal plat dikurangi setengahnya dari 0.6 mm menjadi 0.3 mm. Berdasarkan persamaan 3.18, 3.19 dan 3.20 diketahui bahwa perubahan dalam tebal plat akan berpengaruh pada besarnya jarak antar plat dan luas chanel. Berubahnya nilai besaran tersebut akan berpengaruh pada besarnya l aju alir serta diameter hidrolik. Pada akhirnya, akhirn ya, besaran-besaran tersebut akan merubah nilai bilangan Reynold. Berubahnya tebal plat juga akan berpengaruh secara langsung pada besaran koefisien perpindahan panas total. Perhitungan safety Perhitungan safety factor berdasarkan perubahan ini adalah sebagai berikut.
-
Besaran dimensional
L =1.55−0.63+0.43=1.3 A =0.63×1.35=0.8505 A = 0.8505 × 1.25 = 1.064 57
110 = 103. N = 1.064 103.47 47 N =103.47+2=105.47 0.38 = 0.0036 p = 105.47 0036 b = 0.0036 − 0.0003 = . A =.×0.63=. D = 2 × . 1.25 =. N = 105.47−1 52.233 2 = 52.2 -
Laju alir
ṁ = ρV ̇ = 1024 1024.4.411 × 10.6 10.630 3044 = 10889 10889 kg/s kg/s ṁ hot= 10889 52.23 = 208.48 48 kg/s kg/s Ghot= 208.48 . = ..
-
Bilangan Reynold
R = 110198.6×0.053 0.00195 = .. -
ṁ = ρV ̇ = 1000 1000 × 5.5466 5 466 = 5544.6 5544.6 kg/s kg/s ṁ cold= 5544.6 52.23 = 106.15kg/s 15kg/s Gcold = 5544.6 . = . .
R = 51011.66×0.053 0.00156 = ..
Bilangan Nusselt
N = 0.3 × 271526. 26.8. ×0.0033. N = 0.3 × 172368. 68.3. ×0.0027. =. =. -
Koefisien konveksi
0.55 h = 122.18 × 0.0048
0.591 h =82.92× 0.0048 58
= 1398 13985.9 5.9 W/m W/mK -
= 10199.1 10199.1W/m W/mK
Koefisien perpindahan panas total fouled total fouled
1 1 + 1 + . +0.00052+0.00009 13985.9 10199.1 111 = .. W/m W/mK
U =
-
Perubahan temperatur rata-rata logaritmik
∆T =13.96−1.96=12 ∆T =6.26−3.34=2.92 ∆T = 12−2.92 =6.42 12 ln ln 2.92 -
Kalor fouled Kalor fouled
Q = 1251.3 × 1.063 × 6.42 = . kJ -
Safety Factor
8546.3kJ Cs = 23937.15kJ =. Dari perhitungan di atas, diketahui bahwa pengaruh dari mengurangi tebal plat menjadi setengahnya dari 0.6 mm menjadi 0.3 mm tidak merubah besarnya safety factor (sebesar 0.36)
ctor 5.4. Menurunkan F ouling F acto Telah dijelaskan sebelumnya pada bab tiga bahwa besarnya fouling factor PHE bergantung pada jenis fluida serta pemakaian. Nilai umum dari fouling dari fouling factor untuk asumsi pemakaian normal diberikan pada tabel 3.1.
59
Besarnya fouling factor dapat diturunkan melalui proses perawatan (maintenance). maintenance). Terdapat beberapa mekanisme yang dapat dilakukan untuk mengurang besarnya fouling factor , diantaranya yaitu dengan electropolish dan polyurethane-coated . Sadeghinezad dkk (2013) melaporkan bahwa dengan mekanisme electropolish CIP fouling factor dapat dikurangi sebesar 30%, sedangkan melalui mekanisme polyurethane-coated mekanisme polyurethane-coated dapat dikurangi hingga sebesar 70%. Dalam perhitungan ini digunakan mekanisme
electroplish dengan
pertimbangan biaya yang lebih murah dan waktu maintenance lebih cepat. -
Besaran dimensional
L =1.55−0.63+0.43=1.35 A =0.63×1.35=0.8505 A = 0.8505 × 1.25 = 1.064 110 = 103. N = 1.064 103.47 47 N =103.47+2=105.47 0.38 = 0.0036 p = 105.47 0036 b = 0.0036 − 0.0006 = 0.003 A =0.003×0.63=0.0019 D = 2 × 0.003 0048 1.25 = 0.0048 N = 105.47−1 52.233 2 = 52.2 -
Laju alir
ṁ = ρV ̇ = 1024 1024.4.411 × 10.6 10.630 3044 = 10889 10889 kg/s kg/s ṁ hot= 10889 52.23 = 208.48 48 kg/s kg/s Ghot= 208.48 0.0019
ṁ = ρV ̇ = 1000 1000 × 5.5466 5 466 = 5544.6 5544.6 kg/s kg/s ṁ cold= 5544.6 52.23 = 106.15kg/s 15kg/s Gcold = 5544.6 0.0019 60
= 1101 110198. 98.77
-
Bilangan Reynold
R = 110198.7×0.048 0.00195 = 2715 271526 26 -
N = 0.3 × 172368. ×0.0027. = 82.9 82.922
Koefisien konveksi
0.55 h = 122.18 × 0.0048 = 1398 13985.9 5.9 W/m W/mK -
R = 56107.8×0.048 0.00156 = 1723 172368 68
Bilangan Nusselt
N =0.3×271526. ×0.0033. = 122. 122.18 18 -
= 56107 56107.8.8
0.591 h =82.92× 0.0048 = 10199.1 10199.1W/m W/mK
Koefisien perpindahan panas total fouled total fouled
1 1 + 1 + 0.0006 +.+. 13985.9 10199.1 111 = .. W/m W/mK
U = -
Perubahan temperatur rata-rata logaritmik
∆T =13.96−1.96=12 ∆T =6.26−3.34=2.92 ∆T = 12−2.92 =6.42 12 ln ln 2.92 -
Kalor fouled Kalor fouled
Q = 1787.3 × 1.063 × 6.42 = . kJ -
Safety Factor
12207.8kJ Cs = 23937.15kJ =. 61
Dari perhitungan di atas, diketahui bahwa mengurangi besarnya pengaruh fouling factor 30% melalui mekanisme electropolish dapat electropolish dapat meningkatkan besarnya safety factor dari 0.360 menjadi 0.51 (15%). Dengan cara perhitungan yang persis sama,
untuk
penurunan fouling
factor
70%
menggunakan
mekanisme
polyurethane-coated diperoleh peningkatan safety factor dari 0.360 menjadi 0.82 (46%).
5.5. Kesimpulan
Berdasarkan perhitungan pada subbab 5.1 hingga 5.4, diketahui bahwa perubahan parameter-parameter dimensional dapat berpengaruh pada peningkatan safety factor yang yang bervariasi tergantung dari mekanisme yang dilakukan. Dampak peningkatan pada masing-masing mekanisme dirangkum dirangkum pada table 5.1 berikut. Tabel 5.1. Peningkatan Safety Factor pada pada masing-masing perubahan Besaran yang dirubah
Besar awal Besar akhir awal
Sudut Chevron
45
30
Konduktivitas Termal
111 W/mK
Tebal Plat
°
°
Akhir
0.360
0.375
159 W/mK
0.360
0.364
0.6 mm
0.3 mm
0.360
0.360
100%
70%
0.360
0.51
100%
30%
0.360
0.82
Fouling Factor
Berdasarkan rangkuman di atas dapat disarankan bahwa dalam hal meningkatkkan safety factor PHE dalam proses pasteurisasi es krim, lebih baik dilakukan dengan cara mengurangi besarnya pengaruhi degradasi alat oleh besaran fouling factor . Hal ini menjadi rekomendasi karena nilai peningkatan yang besar
62
dengan cara yang lebih mudah yakni dengan proses perawatan (maintenance ( maintenance). ). Rekomendasi ini bersifat relatif terhadap faktor-faktor yang sudah dijelaskan pada bab lima ini. Adapun perubahan besaran dimensional lain melalui mekanisme Technology Need Assessment lainnya tidak dapat dibahas dalam tulisan ini, dan boleh jadi memiliki dampak yang yang lebih besar.
63
DAFTAR PUSTAKA
Anusha, G. Kishore, Pisipaty Srinivas. 2016. Heat Transfer Analysis of Gasketed Plate Heat Exchanger . Visakhapatnam: Andhra University Barbosa, Canovas. et all. 2009. Engineering Properties of Food . Oxford: Encyclopedia of Life Support Systems (EOLSS). Birol, Fatih. 2017. Key World Energy Statistics 2017 . Paris: International Energy Agency. Bylund, Gosta. 1995. Dairy Processing Handbook. Lund : Tetra Pak Processing Systems AB. Carlsson, Annika. Kanyama. 2000. Energy 2000. Energy Use in the Food Sector: A Data Survey. Survey. Stockholm: Swiss Federal Institute of Technology. Chaudhary, D.A. 2015. Performance Evaluation of a Plate Type (HTST) Milk Pasteurizer . Gujarat: Hind Agricultural Research and Training Institute. Cipec. 2001. Energy Performance Indicator Report: Fluid Milk Plants. Plants. Ottawa: National Dairy Council of Canada by Natural Resources Canada’ Canada ’s Office of Energy Efficiency. Geankoplis, Christie J. 1993. Transport Processes and Unit Operations. Operations . New Jersey: Prentice-Hall International, inc. Goff, H. Douglas. 2013. Ice 2013. Ice Cream. Seventh Edition. Edition. New York: Springer Gut, J.A.W.et all. 2014. HTST 2014. HTST Milk Processing: Evaluating the Thermal Lethality inside Plate Heat Exchangers. Exchangers. New York: Polytechnic University Six Metrotech Center. Hammer, B.W. 1913. The Specific Heat of Milk and Milk Derivatives, Research Buletin No.14. Iowa: Agricurtural Experiment Station Iowa State College of Agriculture and The Mechanic Arts. Kakac, Sadik. 2012. Heat Exchangers: Selection, Rating, and Thermal Design. Boca Raton: CRC Press. Kern, Donald Q. 1983. Process 1983. Process Heat Transfer . Japan: McGraw-Hill Kumbar, V. 2015. Viscosity and Analytical Difference Between Raw Milk and UHT Milk of Czech Cows. Cows. Brno: Scientia Agriculturae Bohemica.
64
Mc Cabe, L Warren. Smith, Julian C. Harriott, Peter. (1993). Unit Operations of Chemical Engineering . New York: Mc Graw-Hill Moler, Cosku. 2016. Plate Type Heat Exchanger Design. Design. Ankara: Middle East Technical University. MTU onsite energy. 2014. Turning Heat and Power into Rich Ice Cream. Heppenheim. Rajeniemi, Mari. et all. Electric all. Electric Energy Consumption of Milking Process on Some Finnish Dairy Farms. Farms. Koetilantie: University of Helsinki. Sadeghinezad, Emad. et all. 2013. A Review of Milk Mil k Fouling on Heat Exchanger Surfaces. Surfaces. Malaya: University of Malaya Library. Widiatmo, Jonathan S. 2018. Process Control of Milk Pasteurization using Geothermal Brine with Proportional Controller . Bandung: Institut Negeri Bandung.
65