26 " Page
REVISI
Tugas Mata Kuliah Analisis Kebijakan Publik
"Analisis Judicial Riview UU No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman: Responsivitas Pemerintah Terhadap Kebutuhan Petani"
Dosen pengampu: Drs. Sudarmo, M.A. , Ph. D.
Disusun oleh:
Catur Wulandari
S241208003
MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
Analisis Judicial Riview UU No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman: Responsivitas Pemerintah Terhadap Kebutuhan Petani
Petani dan Pertanian Indonesia: Kondisi dan Permasalahannya
Indonesia dikatakan sebagai negara agraris, ini mengisyaratkan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia terdiri dari wilayah pertanian dan masyarakat bermata pencaharian sebagai petani. Kini jumlah lahan pertanian di Indonesia menuju kondisi kritis, ditambah banyaknya alih fungsi lahan. Tugas negara (pemerintah) dalam hal ini adalah menciptakan dan menjaga kesejahteraan masyarakat pertani.
Pertanian merupakan sektor yang sudah ada dan dilakukan oleh sebagian besar masyarakat sejak jaman dulu. Untuk itulah banyak petani yang berusaha untuk mempertahankan keanekaragaman hayati dan keketerampilan/kemampuan bertani. Keinginan untuk tetap menjaga keanekaragaman hayati ditujukan untuk kebaikan generasi-generasi penerus bangsa. Penjagaan ini dilakukan dengan pemuliaan tanaman, yaitu budidaya dan pembenihan. Hal ini dilakukan supaya varietas-varietas tanaman lokal tetap terjaga karena memiliki keunggulan.
Pada tahun 1992 pemerintah membuat kebijakan mengenai Sistem Budidaya Tanaman sebagai upaya untuk meningkatkan sektor pertanian. Regulasi mengenai sistem budidaya tanaman yaitu Undang-Undang No 12 Tahun 1992. Kebijakan ini ditujukan untuk:
Meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil tanaman guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri dan memperbesar ekspor
Meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani
Mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja
Namun regulasi tersebut justru menciptakan sistem budidaya tanaman yang merugikan petani. Undang-undang tersebut membuka peluang masuknya pemodal asing. Petani pemulia tanaman justru mendapat tekanan dari adanya benih-benih introduksi yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan yang berorientasi pada keuntungan. Padahal varietas baru dari benih introduksi tersebut merupakan hasil persilangan genetik antara varietas tanaman dari Indonesia.
Petani dipaksa untuk membeli benih yang berasal dari petani sendiri atau benih impor dengan harga yang mahal. Padahal benih dari perusahaan jelas berbeda kualitasnya dengan benih lokal, meskipun benih perusahaan biasanya lebih cepat masa panennya tetapi rakus penggunaan pupuk kimia dan pestisida. Sayangnya benih tersebut memang diciptakan demikian karena perusahaan telah menyiapkan pupuk dan pestisida. Dari sinilah kemandirian petani dikebiri.
Permasalahan pertanian sudah dimulai sejak adanya Revolusi Hijau. Pada awalnya sistem pertanian yang diterapkan diseluruh daerah pertanian adalah sistem tradisional. Sistem ini akrab dengan petani, namun kurang mampu mengimbangi kebutuhan pangan yang terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Kemudian munculah sistem pertanian konvensional yang merupakan temuan baru dalam pertanian. Perubahan yang cepat dalam sistem baru ini dipacu oleh "revolusi hijau" yang dideklarasikan pada tahun 1990.
Padahal selama beribu tahun (setidaknya seperti yang tertulis di dincing Candi Borobudur) petani kita selalu menerapkan pertanian yang berorientasi pada lingkungan alamiah sampai kira-kira tahun 1900an, pupuk dari kotoran hewan atau sisa-sisa panen digunakan sebagai penyubur alamiah. Sampai kemudian muncullah revolusi hijau (Pangaribuan, 2002). Keinginan pemerintah untuk menigkatkan produksi pertanian melalui revolusi hijau agar mencapai swasembada pangan justru merugikan bagi petani Indonesia. Revolusi hijau telah menggeser lokalitas pertanian pada traktor, bibit pabrikan, pupuk, pestisida, herbisida kimia. Juga berkontribusi pada peminggiran perempuan dengan modernisasi. Pangaribuan (2002) menyatakan pemakaian pupuk, obat-obatan pembasmi hama, penyakit dan gulma menyebar tanpa dapat dikendalikan, petani yang tidak mengikuti tren ini dicap sebagai petani kuno dan ketinggalan jaman, bahkan tindakan represif dapat dikenakan stempel sebagai pembangkang atau pengikut organisasi terlarang.
Sebagai hasilnya Indonesia mampu mencapai swasembada pangan terutama beras pada 1993 sampai dengan 1997 (Lengman, 1997). Namun, sistem tersebut telah menciptakan kerusakan-kerusakan struktur tanah akibat pemupukan yang berlebihan, peledakan populasi hama yang timbul sebagai dampak meningkatnya penggunaan bahan kimia pertanian yang tidak terkontrol (Pangaribuan, 2002).
Scaller (1993) menyebutkan ada beberapa dampak negatif dari sistem pertaniaan konvensional:
Mencemari air tanah dan air permukaan
Membahayakan kesehatan manusia dan hewan, baik pestisida maupun bahan aditif pakan
Menurunkan keanekaragaman hayati termasuk sumber genetik flora dan fauna yang merupakan modal utama pertanian berkelanjutan (Suistainable Agriculture).
Meningkatkan ketahanan organisme pengganggu terhadap pestisida
Menurunkan produktivitas lahan karena erosi, pedatan lahan dan berkurangnya bahan organik
Meningkatkan ketergantungan pada sumber daya alam yang tidak terbarui (Non-renewable Natural Resources)
Pertanian ini mampu meningkatkan produktivitas namun menimbulkan dampak pada kerusakan lingkungan. Selain itu, sangat disayangkan adalah petani kehilangan hak untuk melakukan pemuliaan tanaman lokal. Dampaknya kini sudah jarang ditemui benih-benih lokal dan kehilangan kemampuan untuk pemuliaan. Diperparah dengan munculnya pupuk-pupuk kimia yang tidak hanya berbahaya dan mengganggu ekologi tetapi juga berbahaya bagi manusia (petani). Sebagai hasilnya pembangunan ekonomi pertanian justru menurun dan merugikan ekonomi petani. Padahal pertanian merupakan potensi ekonomi yang paling besar karena sebagian besar penduduk Indonesia hidup dari sektor pertanian.
Sistem budidaya tanaman justru memaksa petani untuk patuh pada kepentingan-kepentingan pencari modal. Petani dipaksa untuk melakukan keinginan pemerintah yang sebenarnya hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan multinasional.
Sekitar Juli-Agustus 2012 sebuah perusahaan benih, Syngenta, bermitra dengan kelompok tani di Pasuruan dengan program pembenihan tanaman jagung. Petani menyambut dengan antusias karena perusahaan siap membeli jagung pipil kering dengan harga Rp 2.950,-, sementara harga dipasar Rp 2.500,-per kilogram. Perusahaanpun memberikan pinjaman pupuk dan biaya garap. Setelah perusahaan membeli benih jagung petani dan mengemasnya ulang, mereka menjual ke petani dengan harga yang lebih tinggi yaitu Rp 55.000,- s.d. Rp 75.000,-. Hal ini sangat merugikan petani.
Selain itu, petani juga menjadi korban permainan benih impor. Benih hibrida terhitung mahal, mencapai Rp 50.000,- per kilogram. Sedangkan benih unggul nonhibrida hanya Rp 6.000,- sampai Rp 7.000,-. Padahal kualitas benih padi hibrida kurang baik dan merugikan petani. Benih padi hibrida muncul untuk melanjutkan program peningkatan produksi beras nasional (P2BN) pada tahun 2007 untuk mencapai surplus nasional 10 juta ton pada 2014.
Beberapa fakta tersebut menggambarkan permasalahan yang dihadapi pertanian. Petani semakin tertekan ketika hak mereka dipangkas, ditambah dengan beberapa kasus yang menimpa petani karena dianggap tidak mendukung agenda besar pemerintah dan pemilik modal. Ada beberapa kasus yang menjerat petani:
Pertengahan Februari 2005, Tukirin seorang petani pemulia tanaman jagung, di Kediri, Jawa Timur, dijatuhi hukuman percobaan selama satu tahun. Sejak saat itu ia tak boleh lagi menanam jagung. Lelaki 62 tahun itu dituduh mencuri benih jagung oleh PT BISI, sebuah perusahaan yang sebelumnya bekerjasama dengan petani lokal menanam jagung hibrida. Sertifikasi liar menjadi dalih yang berhasil menjerat Tukirin, bersumber dari Undang-Undang Nomor 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (UU SBT), melanggar ketentuan Pasal 13 Ayat 2 dan 3.
Pada 16 Januari 2010, Kuncoro, seorang petani pemulia benih jagung dituduh melakukan pemalsuan merek dagang Bisi. Petani asal Dusun Besuk, Kediri, Jawa Timur itu dijerat Pasal 60 dan 61 UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Padahal Ia hanya seorang petani penangkar benih yang menjual jagung curah tanpa menggunakan merek Bisi. UU Nomor 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (SBT) jelas mempersempit dan menghalangi kesempatan petani berperanserta dalam pengembangan budidaya tanaman. Penerapan UU SBT berpotensi menghalangi akses masyarakat, khususnya petani, untuk memenuhi hak atas pangan.
Peristiwa tersebut nampaknya akan terus menimpa para petani pemulia tanaman pangan. Setidaknya sejak 2005 sampai saat ini, belasan petani pemulia telah dikriminalisasi. Karena itulah, para relawan sosial yang tergabung dalam Farmer Initiatives for Ecological Livehood and Democracy (FIELD) dan beberapa organisasi non-pemerintan petani maupun pendamping petani kecil, akademisi, mendorong petani kecil yang sudah menua untuk melawan secara hukum. Komunitas tersebut mengajukan Judicial Riview terhadap UU No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman kepada Mahkamah Konstitusi.
Judicial Riview tersebut dilakukan karena kebijakan yang dibuat pada Masa Orde Baru tersebut ternyata justru banyak menimbulkan dampak yang merugikan bagi petani. Democratic Governance yang mulai dibangun pasca runtuhnya orde baru kini membawa petani dan berbagai kalangan yang peduli akan permasalahan petani dan pertanian untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialami oleh petani. Untuk itulah diperlukan kajian terhadap kebijakan tersebut dan reformulasi kebijakan baru untuk menghasilkan kebijakan yang pro-poor. Dengan demikian akan menciptakan Community Based Development khususnya bidang pertanian.
Masalah Kebijakan
Permasalahan-permasalahan yang muncul jelas merupakan indikasi bahwa petani belum mendapatkan regulasi yang menjamin perlindungan atas hak petani. Regulasi yang ada telah merubah agrikulktur menjadi agribisnis yang tidak beorientasi pada kearifan lokal dan kesejahteraan petani. Dasar hukum yang digunakan perusahaan perusahaan untuk menjerat petani adalah Undang-Undang No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Alih-alih memberikan hak perlindungan kepada petani, sebaliknya ketentuan mengenai Sistem Budidaya Tanaman justru memberikan banyak beban kewajiban bagi petani yang hendak melakukan budidaya benih. UU yang lahir pada masa orde baru ini minim pelibatan masyarakat dalam perencanaan budidaya tanaman.
Ada beberapa hal yang dapat digunakan untuk menganalisis Kebijakan Sistem Budidaya Tanaman tersubut:
Konsideran kebijakan bagus, tetapi aturan pelaksana tidak memihak petani.
Konsideran UU ini punya tujuan yang bagus, namun pada pasalnya cenderung memberikan kesempatan pada birokrasi dan eksekutif untuk membuat aturan pelaksana yang tidak memihak petani kecil. Dari sisi prinsip, pembuat UU tidak memikirkan subjek yang terkena dampak, yaitu petani kecil untuk memenuhi persyaratan yang sangat berat. Ada beberapa pasal yang menjadi persoalan petani:
Pasal 6, pemerintah menyatakan bahwa petani memiliki hak menanam apa yang diinginkan. Tetapi diayat berikutnya hak bisa hilang akibat petani wajib mengikuti rencana yang ditentukan pemerintah.
Pasal 9, petani yang sedari awal melakukan pencarian plasmanutfah kemudian harus memakai ijin, kalau tidak maka menjadi terlarang.
Pasal 12, hasil karya petani melakukan pemuliaan tanaman apabila diedarkan oleh kelompok, komunal dilarang, serta dituduh melakukan sertifikasi liar.
Pasal 60 mengenai aturan pemiadanaan.
Pasal-pasal tersebut yang sering menjadi dasar menjerat petani dalam kasus hukum. Petani yang melaksanakan pemuliaan benih dianggap melanggar peraturan karena tidak memenuhi persyaratan. Hal ini disebabkan karena pemerintah menerapkan peraturan yang sama antara petani pemulia tanaman dengan perusahaan, pabrik atau laboratorium dan peneliti. Penerapan ketentuan yang sama ini ditujukan untuk menjaga keanekaragaman tanaman pangan dari pihak yang tidak bertanggungjawab tetapi justru petani yang dilemahkan dengan kebijakan tersebut.
Fakta-fakta yang terjadi menunjukkan bahwa telah terjadi Kriminalisasi petani. Kriminalisasi oleh perusahaan-perusahaan pada petani dengan dalih pelanggaran terhadap UU Sistem Budidaya Tanaman. Padahal pemuliaan tanaman yang dilakukan petani hanya untuk menjaga keunggulan lokal, keanekaragamn hayati dan menjaga keseimbangan ekologi alam. Keuntungan petanipun tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan tersebut.
Diskriminasi juga dialami oleh petani. Diskriminasi ini terjadi bukan hanya karena keterbatasan akses pada sumber tertentu, tetapi juga penerapan ketentuan yang sama antara kemampuan yang berbeda, seperti yang dialami petani. Petani mendapatkan perlakuan atau syarat yang sama dengan perusahaan-perusahaan besar agar mampu memuliakan tanaman. Ini juga berarti menyingkirkan petani dalam upaya pemuliaan tanaman yang akhirnya juga membatasi akses petani.
UU tersebut juga menimbulkan kebijakan mengenai benih impor. Masuknya benih impor melalui dua regulasi yaitu, Peraturan Menteri Pertanian No. 38 Tahun 2006 Tentang Pemasukan dan Pengeluaran Benih, impor benih hanya boleh dilakukan selama 2 tahun. Kedua, Peraturan Menteri Pertanian No.70/Permentan/OT.140/2007 yang menyatakan impor boleh dilakukan hingga 3 tahun, setelah itu importir wajib membudidayakan benih di Indonesia. Padahal munculnya benih impor ini merugikan petani pemulia tanaman. Sehingga muncul permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
Peraturan perundangan ini berkaitan dengan kebijakan mengenai kontrol terhadap benih, justru menghambat kreativitas dan produktivitas petani, bahkan melanggar hak-hak petani.
UU SBT mengontrol semua proses budidaya tanaman semua tanaman, yang berpotensial melanggar hak-hak petani.
Aturan UU tidak mempertimbangkan dan menegasikan peran petani pemulia, dengan secara langsung/tidak langsung yang bisa melakukan pemuliaan adalah perusahaan/laboratorium dan peneliti.
UU SBT ini menegasikan adanya benih yang dikembangkan oleh petani secara turun menurun.
UU SBT ini berpotensi meletakkan peran petani hanya sebagai pengguna benih, sehingga benih hanya dimonopoli oleh perusahaan dan menyebabkan ketergantungan pada perusahaan benih, benih menjadi mahal
UU SBT menutup kemungkinan bagi petani yang biasanya membagi benihnya, bertukar benih dan menjual kepada sesama petani, karena harus memenuhi persyaratan yang sangat susah dipenuhi oleh petani.
Berpotensi meletakkan kontrol sumber daya pertanian, termasuk benih, pengetahuan, pada beberapa perusahaan pertanian dan perbenihan.
Dirancang untuk memberikan perlindungan kepada peneliti, industri swasta yang bergerak dibidang pertanian dan atau perbenihan, bukan petani.
Mendukung pola pertanian monokultur yang justru rawan serangan hama dan tidak berkelanjutan.
Rendahnya Responsivitas Pemerintah ditandai dengan Langkah petani untuk Judicial Riview UU SBT
Menyadari akan pentingnya perlindungan hak petani maka beberapa pihak bersinergi untuk membagun kekuatan yang merupakan modal sosial. Maka inisiatif dari para relawan sosial yang tergabung dalam Farmer Initiatives for Ecological Livehood and Democracy (FIELD) dan beberapa organisasi non-pemerintan petani maupun pendamping petani kecil, akademisi, mendorong petani kecil yang sudah menua untuk melawan secara hukum. Kekuatan petani dibangun agar mampu memiliki bargaining position dalam dalam upaya menjaga agrikultur. Komunitas tersebut bersama petani melakukan Judicial Riview terhadap UU No. 12 Tahun 1992 tersebut pada Oktober 2012. JR tersebut diajukan oleh:
Indonesian Human Rights Commitee For Social Justice (IHCS)
Farmer Initiatives for Ecological Livehoods and Democracy (FIELD)
Aliansi Petani Indonesia (API)
Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Besa)
Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)
Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI)
Serikat Petani Kepala Sawit (SPKS)
Perkumpulan Sawit Watch
Serikat Petani Indonesia (SPI)
Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA)
Kunoto
Kinarsih
Kegiatan awal adalah workshop pada 22-24 Mei 2012 di Yogyakarta dengan tajuk "Mewujudkan Hak Petani Atas Benih", bertujuan : memperkuat persepsi jaringan petani tentang hak petani atas benih serta merumuskan langkah strategis dan taktis sebagai upaya mewujudkan hak petani atas benih. Workshop tersebut merekomendasikan beberapa hal untuk ditindaklanjuti:
Memilih strategi advokasi dan fokus isu terkait regulasi benih: Judicial Review UU No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman
Pengorganisasian jaringan petani pembenih
Menyusun modul panduan pengelolaan pembenihan
Menyusun desain community seed center
Mengusulkan konsep perlindungan benih lokal didalam peraturan daerah (Perda) dan peraturan desa (perdes)
Kemudian dilaksanakan sosialisasi uji materiil UU SBT di komunitas petani organik pada 26-28 Juni 2012 di Sumatera Barat. Selanjutnya dilakukan sarasehan di Bogor, Jawa barat. Pertemuan pakar dilakukan dan konferensi pers dilakukan beberapa kali.
Hasil kajian menunjukkan bahwa UU ini diperuntukkan bagi perusahaan-perusahaan asing, hak kekayaan intelektual, dan selalu membuka peluang investasi modal raksasa. Bukan untuk kesejahteraan petani. UU ini juga sama sekali tidak menyinggung soal participatory plan breeding, UU ini menegasikan dan memarjinalkan kebudayaan bercocok tanam petani. Pemerintah hanya mengejar aspek produksi, padahal pendekatan petani lebih holistik dan sustainable.
Kemudian juga dilakukan identifikasi pihak-pihak yang berkepentingan terhadap UU SBT tersebut, diantaranya:
Petani
Perusahaan
Pemerintah
Petani pemulia benih
Petani penangkar
Petani penggarap dan pemilik
Perusahaan benih
Distributor
Pengecer
Petani mitra perusahaan
Kementerian pertanian
Kementerian perdagangan
Kementerian BUMN
DPR
Polisi
BPSP (Balai Pengawas dan Sertifikasi Benih)
BP (Balai Penelitian)
Hal tersebut menunjukkkan bahwa kebijakan pemerintah belum pro pada petani, belum mampu menjadi solusi atas permasalahan petani dan pertanian Indonesia. UU ini menegasikan dan memarjinalkan kebudayaan bercocok tanam petani. Hal ini menunjukkan masih rendahnya responsivitas pemerintah terhadap kebutuhan petani.
Responsivitas (Dunn, 2003:437) berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Secara singkat dapat dikatakan bahwa responsivitas ini mengukur daya tanggap birokasi terhadap harapan, keinginan dan aspirasi, serta tuntutan masyarakat (Tangkilisan, 2005:177). Dengan demikian responsivitas merupakan langkah pemerintah dalam meyediakan tuntutan warga masyarakat. Kemauan ini diwujudkan dalam kebijakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sistem budidaya tanaman merupakan sistem pengembangan dan pemanfaatan sumber daya alam nabati melalui upaya manusia dengan modal, teknologi dan sumberdaya lainnya menghasilkan barang guna memenuhi kebutuhan manusia secara lebih baik. Sistem budidaya diciptakan untuk menjaga ketersediaan tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat Indonesia yang selalu meningkat.
Kebijakan tersebut seharusnya merupakan bentuk responsivitas terhadap kebutuhan dan kepentingan petani. Namun permasalahan yang terjadi justru mengidikasikan kebijakan tersebut belum menjadi jawaban atas permasalahan petani, selain itu responsivitas terhadap kebutuhan petani masih lemah. Padahal responsivitas dalam kebijakan pertanian merupakan faktor penting, mengingat sebagian besar masyarakat Indonesia bermata pencaharian sebagai petani.
Disisi lain petani yang merasa pemerintah tidak responsif terhadap kepentingan dan kebutuhan petani membangun kekuatan untuk melakukan perlawan. Masyarakat petani membangun kekuatan dengan Modal Sosial. Burt (1992) dalam Agus dkk mendefinsikan, modal sosial adalah kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain dan selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial yang lain. Solow (1999) mendefinisikan, modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma yang diwujudkan dalam perilaku yang dapat mendorong kemampuan dan kapabilitas untuk bekerjasama dan berkoordinasi untuk menghasilkan kontribusi besar terhadap keberlanjutan produktivitas.
Petani dengan berbagai komunitasnya kemudian membentuk Assosiasi Bank Benih Indonesia guna mempertahankan benih lokal. Peristiwa ini telah membawa peristiwa sosial menjadi peristiwa politik. Petani yang merasa ditindas telah melakukan upaya untuk mempengaruhi kebijakan dengan membangun modal sosial.
Permasalahan Konstitusional
Ada beberapa pasal dalam UU SBT yang bertentangan dengan UUD 1945, yaitu:
Sistem budidaya tanaman yang dipaksakan oleh pemerintah kepada petani sebagaimana termaktub dalam pasal 5 Ayat 1 huruf a, huruf b dan huruf c bertentangan dengan pasal 28 A UUD 1945 yang menyatakan bahwa " setiap orang berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya".
Bagi petani bercocok tanam atau membeudidayakan tanaman merupakan hidup dan penghidupannya.
Jika pasal 5 tersebut dihubungkan dengan Pasal 6 Ayat 2 yang menyatakan bahwa petani wajib ikut serta dalam mewujudkan rencana pengembangan dan produksi budidaya tanaman, maka ini mengakibatkan pertentangan antara kewenangan pemerintah dengan hak petani. Petani harus tunduk pada perencanaan pemerintah yang mengakibatkan ketidakpastian hukum antara hak dan kewajiban petani.
Padahal jaminan kepastian hukum yang adil merupakan hak konstitusional yang diatur dalam pasal 28 D Ayat 1 UUD 1945, yang menyatakan bahwa: "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum".
Disisi lain pengaturan wilayah dan produksi oleh pemerintah menyebabkan petani kehilangan hak untuk menentukan jenis dan pola budidaya tanamandi tanahnya sendiri. Hal ini bertentangan dengan Pasal 28 H Ayat 4 yang menyatakan bahwa:" Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun"
Pasal 6 Ayat 1 menyatakan petani memiliki "kebebasan", tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh Ayat 2 dengan mewujudkan rencana pemerintah. Padahal petani tidak dilibatkan dalam perencanaan. Pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 A, Pasal 28D Ayat 1, Pasal 28H Ayat 4, dan Pasal 28 I Ayat 3 UUD 1945.
Pasal 28 I Ayat 3 berisi tentang penghromatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional.
Pasal 9 Ayat 3 , sepanjang kata " Perorangan" bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28 C, Pasal 28 D Ayat 1, Pasal 28 I Ayat 2 dan 3, serta Pasal 33 Ayat 2 dan 3 UUD 1945.
UU SBT membedakan antara pemulia tanaman dengan petani. Padahal kegiatan pemuliaan tanaman tiak bisa dipisahkan dari petani dan diantara petani ada pemulia tanaman.
Pasal 10 UU SBT menyatakan introduksi benih dapat dilakukan untuk pemuliaan tanaman yang dapat dilakukan oleh perorangan dan badan hukum. Selanjutnya pasal 11 menyatakan setiap orang atau badan hukum dapat melakukan pemuliaan tanaman untuk menemukan varietas unggul. Dalam frasa setiap orang terdapat kominitas petani yang telah melakukan pemuliaan tanaman secara turun-menurun, sedangkan dalam frasa badan hukum terdapat perusahaan-perusahaan yang melakukan privatisasi dan komersialisasi benih. Ini juga merupakan tindakan diskriminatif
Pasal 12 UU SBT, menyatakan bahwa "varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri" dilepas oleh pemerintah sebelum diedarkan. Ini berarti ada peraturan atau ketentuan tertentu untuk melepaskan benih, padahal dalam frasa varistas hasil pemuliaan ada yang dilakukan oleh petani kecil. Hal ini bertentangan dengan pasal 28 A, Pasal 28 C, Pasal 28I Ayat 3 dan Pasal 33 Ayat 2 dan 3 UUD 1945. UU Sistem Budidaya Tanaman tersebut melanggar hak petani dan tidak bisa digunakan untuk kemakmuran rakyat.
Sedangkan pasal 60 UU SBT tentang ketentuan pidana bertentangan dengan Pasal 28 G Ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa:" Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman kekuatan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi".
Tidak adanya pelibatan masyarakat dalam perencanaan Sistem Budidaya Tanaman.
Pemerintah menginginkan petani mengikuti program yang dirancang oleh pemerintah, namun petani tidak terlibat dalam perencanaannya. Tidak adanya akses dan ruang partisipasi yang terbuka bagi petani inilah yang membuat kebijakan Sistem Budidaya Tanaman selama ini tidak memihak pada petani. Sehingga kebijakan maupun program yang dibuat tidak mampu memenuhi kebutuhan dan kepentingan petani yang sebenarnya. Tidak ada manajemen partisipatif dalam pembuatan kebijakan, sehingga petani hanya bertindak sebagai obyek yang harus melaksanakan kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah.
Petani tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, pengembangan dan pengaturan produksi serta penetapan wilayah. Selama ini yang ada hanyalah forum sosialisasi mengenai imbauan pemerintah. Petani yang tidak menjalankan imbauan pemerintah dapat dikrimminalisasi, diskriminasi dan diintimidasi.
Penelitian bidang pertanian yang dilakukan dibiayai oleh negara dan pangusaha, perencanaan yang dibuat oleh pemerintah tidak didasarkan atas kebutuhan petani. Tidak melibatkan petani secara aktif dan partisipatif, serta mengabaikan ketangguhan ekosistem. Pemerintah hanya mengejar kepentingan angka produksi yang tinggi, mengabaikan tujuan-tujuan lain dibidang kelestarian lingkungan, ketangguhan ekosistem, kesejahteraan petani dan rendahnya etika lingkungan.
Hal ini bisa dilihat dari sudut pandang pembuatan kebijakan, dimana pembuatan kebijakan ini adalah pada masa orde baru. Pemerintahan Orde Baru memasuki wilayah politik baru, yaitu Negara-Birokrat-Otoriter (NBO), yang memang tidak dapat dipisahkan dengan model pembangunan ekonomi "Trickle Down Effect". Model pembangunan yang diharapkan mampu memberikan 'tetesen' kesejahteraan pada masyarakat. Masyarakat Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru dijauhkan dari segala macam aktivitas politik maupun ekonomi. Dimana pada masa tersebut banyak kebijakan publik yang dibuat dengan cara Top-Down, hal ini membuat kebijakan yang dihasilkan dalam sisitem budidaya tanaman ini tidak mempertimbangkan partisipasi masyarakat.
Menurut Adi (2003), Sebagian besar kebijakan Pemerintah (Orde baru) bernuansa "top-down", dominasi Pemerintah sangat tinggi, akibatnya antara lain banyak terjadi pembangunan yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat, tidak sesuai dengan potensi dan keunggulan desa, dan tidak banyak mempertimbangkan keunggulan dan kebutuhan lokal. Berbagai keputusan umumnya sudah diambil dari atas, dan sampai ke masyarakat dalam bentuk sosialisasi yang tidak bisa ditolak. Masyarakat hanya sekedar objek pembangunan yang harus memenuhi keinginan Pemerintah, belum menjadi subyek pembangunan, atau masyarakat belum ditempatkan pada posisi inisiator (sumber bertindak).
Lebih jauh Adi menyampaikan bahwa kegagalan penerapan program-program pembangunan perdesaan di masa lalu adalah karena penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi program-program pembangunan tidak melibatkan masyarakat. Proses perencanaan pembangunan lebih mengedepankan paradigma politik sentralisasi dan dominannya peranan negara pada arus utama kehidupan bermasyarakat. Partisipasi saat itu lebih diartikan pada bagimana upaya mendukung program pemerintah dan upaya-upaya yang pada awal dan konsep pelaksanaanya berasal dari pemerintah.
Karenanyalah perekonomian secara umum meningkat namun upaya-upaya untuk menyejahteraan masyarakat tidak tercapai. Kini dengan munculnya orde reformasi yang membawa amandeman UUD 1945 maka prinsip partisipasi menjadi sangat penting dalam menunjang Democratic Governance .Tidak adanya partsisipasi petani dalam tahapan rencana pembangunan dan perencanaan budidaya tanaman ini bertentangan dengan Pasal 28C ayat 2 karena telah menghalangi petani dalam memperjuangkan haknya secara kolektif, partisipati untuk membangun masyarakat bangsa dan negara. Juga bertentangan dengan pasl 28 I ayat 2 tentang perlindungan terhadap diskriminiasi, karena merupakan praktek diskriminasi terhadap petani.
Globalisasi Benih dan Neo-Liberalisme
Benih merupakan salah satu faktor keberhasilan pertanian. Namun kini benih sudah banyak yang dikuasai oleh perusahaan asing. Perusahaan-perusahaan benih raksasa yang menguasai pasar benih dunia telah mengakses ratusan ribu jenis benih kemudian diproduksi sebagai bibit unggul, hibrida dan transgenik. Selama 1996-2007 varietas tanaman yang telah dipatenkan untuk tanaman pangan sebanyak 27 %, sayuran 10% dan buah-buahan sebanyak 4 %. Hak paten ini menambah kemenangan perusahaan atas petani kecil terkait akses terhadap benih di dunia.
Saat ini sekitar 90% pasar benih dan input pertanian dikuasai perusahaan-perusahaan benih raksasa. Setidaknya terdapat 6 perusahaan multinasional (MNC), antara lain Monsanto, Syngenta, Bayer, Dow Agro Science, BASF dan Dupon. Pada 1996, sekitar 10 perusahaan menguasai 37 % benih didunia, pada 2004: 49 %, 2005: 51%, dan 2006: 57% dengan nilai total 13 Miliar Dollar AS. (Utomo, 2012)
Fakta tersebut menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan multinasional menguasai pasar benih lokal. Stidaknya ada sekitar 51 perusahaan benih yang menguasai benih lokal. Benih-benih hibrida menggantikan benih-benih lokal. Padahal benih-benih hibrida memiliki kelemahan:
Tidak tahan terhadap serangan hama
Harga benihnya mahal
Petani harus membeli benih baru setiap tanam, karena benih hasil panen sebelumnya tidak dapat dipakai untuk pertanaman berikutnya
Sebenarnya sumbangan petani terhadap diversitas sumberdaya genetika lebih besar. Sejak 1990 petani telah menanam 1,9 juta jenis tanaman, sebaliknya sektor industri hanya menanam 72.500 saja. Petani telah memuliakan 5000 tanaman pangan, sementara perusahaan termasuk yang multinasional hanya mampu menghasilkan 150 jenis.
Masuknya benih asing tersebut tidak bisa dilepaskan dari adanya perusahaan multinasonal yang kini sudah menguasai pasar input pertanian di Indonesia. Hal ini sudah dimulai pada masa orde baru dimana pembuat kebijakan begitu dekat dengan penguasa. Kebijakan ekonomi awal orde baru membuka lebar-lebar modal asing dengan dibuatnya Undang Undang Penanaman Modal Asing pada Tahun 1967 dan Undang-Undang Penanaman Modal dalam Negeri pada Tahun 1968. Pemerintahan Orde Baru memutuskan untuk menerapkan tiga langkah pembangunan ekonomi berikut pada masa awal pemerintahannya. Pertama, menjadwalkan kembali pelunasan utang luar negeri sebagai langkah awal untuk mengembalikan kepercayaan pihak luar negeri. Kedua, mengendalikan inflasi yang tak terkontrol melalui program impor komoditi besar-besaran yang di biayai oleh pinjaman-pinjaman hasil re-negoisasi. Ketiga, mengundang investasi sebesar-besarnya, terutama investasi asing, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. (Analisa-kebijakan-ekonomi-post-orde, 2009)
Pembangunan pada masa itu , dengan suntikan modal dan teknologi diharapkan mampu membawa "Trickle Down Effect" dan "Spillover". Dibuka peluang sebesar-besarnya untuk modal asing dan dalam negeri, untuk mendukung konstruktif pembangunan ekonomi tersebut, pemerintahan Orde Baru meminta dukungan IMF (International Monetary Fund). Poin-poin penting yang disarankan untuk diterapkan oleh IMF adalah, pertama, kekuatan pasar adalah kekuatan yang vital dalam stabilisasi ekonomi. Kedua, untuk itu, maka keberadaan perusahaan negara tidak akan mendistorsi pasar dengan tidak lagi menikmati fasilitas kredit dan alokasi devisa dari negara, tidak melakukan monopoli dan menjual dengan harga subsidi. Ketiga, sebagai insentif bagi sektor swasta maka lisensi impor terhadap bahan baku dan perlengkapan tidak lagi di batasi. Terakhir adalah fasilitas insentif berupa keringanan pajak dan lain-lain bagi penanaman modal baru yang di jamin oleh Undang-Undang. Hubungan baru antara IMF dengan pemerintahan Orde Baru ini menjadi momentum awal dari ketergantungan (dependen) pembangunan ekonomi Indonesia terhadap pihak eksternal atau luar negeri.
Menurut Mander, et all (2003) Seluruh kebijakan lembaga-lembaga Bretton Woods (Bank Dunia, IMF, WTO dan lainnya) tidak dirancang untuk memberikan keuntungan kepada negara-negara miskin, melainkan kepada negara-negara indusri kaya dan berbagai korporasi global. Sebagai akibatnya banyak kebijakan yang dibuat pemerintah dikendalikan oleh kepentingan korporasi global.
Lebih jauh Mander, et all menyatakan bahwa dampak yang paling traumatis kebijakan globalisasi- baik dalam penciptaan kemiskinan maupun penghancuran lingkungan hidup- telah terjadi perubahan perekonomian lokal yang sangat dipaksakan yaitu perubahan model pertanian yang terdiversifikasi dalam skala kecil menuju ekspor industrial, dan perubahan itu digerakkan oleh korporasi-korporasi global.
Sistem ini justu telah menghilangkan keswasembadaan dan kemandirian petani menjadi ketergantungan dan kelaparan. Karena petani-petani yang dulu mengembangkan tanaman pangan untuk mereka dan komunitas mereka, terganti atau tergantung pada korporasi-korporasi raksasa dengan pola pengembangan ekspor global. Campur tangan lembaga-lembaga tersebut menurut Mander, et all (2003) telah menggeser kesejahteraan masyarakat petani. Petani yang dulu telah menanam bermacam-macam benih varietas lokal, membuat pupuk sendiri, melakukan sistem tanam bergilir, dan pengelolaan pstisida, pengelolaan benih, air dan tenaga kerja menjadi diliputi dengan kemiskinan.
Sehingga tidak heran kebijakan yang dibuat pada masa (Orde Baru) tersebut lebih memihak pada keuntungan pengusaha. Ini juga yang terjadi pada kebijakan sistem budidaya tanaman yang dibuat pada masa orde baru ini. Dengan demikian, kebijakan yang dihasilkan merupakan kepentingan penguasa dan pengusaha yang begitu dekat pada masa tersebut. Kebijakan tersebut juga merupakan alat "tools" bagi korporasi-korporasi global dalam menjalankan neo-liberalisasi.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang diungkapkan diatas maka diperlukan re-formulasi kebijakan baru untuk menjamin kebijakan yang benar-benar memihak pada kepentingan masyarakat. Untuk itulah dirumuskan peta masalah dalam memformulasikan kebijakan baru. Dunn (2003), menyampaikan beberapa tahap dalam perumusan masalah yaitu:
Situasi Masalah, merupakan upaya pengenalan masalah
Meta Masalah, merupakan upaya pencarian masalah
Masalah Subtantif, merupakan upaya pendefinisian masalah
Masalah Formal, merupakan spesifikasi masalah
Berdasarkan fakta-fakta yang diungkapkan diatas maka peta masalah dalam kebijakan sistem budidaya tanaman tersebut adalah sebagai berikut:
Tujuan Analisis
Mengevaluasi kebijakan pemerintah dalam sistem budidaya tanaman
Menyusun rekomendasi alternatif kebijakan dalam me-Reformulasi kebijakan sistem budidaya tanaman
Kebijakan yang dianalisis
Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman
Evaluasi Kebijakan
Beberapa permasalahan yang dikemukakan tersebut menggirirng pada harus dilakukannya evaluasi terhadap kebijakan Sistem Budidaya Tanaman. Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa pemerintah belum responsif terhadap kepentingan petani.
Penilaian Alternatif
Kriteria yang digunakan untuk pemilihan alternatif menggunakan kriteria kelayakan alternatif kebijakan yang disampaikan oleh Patton dan Sawicki dalam Subarsono (2008), ada 4 Kriteria:
Kelayakan teknis (Technical Feasibility), apakah alternatif yang dipilh dapat mengatasi pokok persoalan yang muncul, mencakup dua sub-kriteria:
Efektivitas (Effectiveness), apakah alternatif yang dipilih dapat mencapai tujuan yang diinginkan
Kecukupan (Adequacy), seberapa jauh alternatif yang dipilih mampu menyelesaikan persoalan
Kemungkinan ekonomik dan finansial (Economic and Financial Possibility),sub kriteria:
Economic efficiency (efisiensi ekonomi), apakah dengan resource yang ada dapat memperoleh manfaat yang optimal
Profitability (Keuntungan), mempersoalkan perbandingan input dan output kebijakan
Cost effectiveness (efisiensi biaya), mempersoalkan apakah tujuan dapat dicapai dengan biaya yang minimal.
Kelayakan Politik (Political Viability), mencakup:
Acceptability (Tingkat Penerimaan), apakah alternatif kebijakan yang bersangkutan dapat diterima oleh aktor politik (pembuat keputusan) dan masyarakat (penerima Kebijakan)
Appropriateness (kepantasan), mempersoalkan apakah kebijakan yang bersangkutan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Responsivenees (daya tanggap), menanyakan apakah kebijakan yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Legal, apakah kebijakan yang bersangkutan tidak bertentangan dengan peraturan yang ada
Equity (keadilan), menanyakan apakah kebijakan tersebut dapat mempromosikan pemerataan dan keadilan dalam masyarakat
Kelayakan administratif (administrative operability), sub-kriteria:
Authority (otoritas), mempersoalkan apakah organisasi pelaksana kebijakan cukup memiliki otoritas
Institutional commitment (komitmen institusi), menyangkut komitmen dari para administrator dari tingkat atas dampai tingkat bawah.
Capability (kapasitas), berkenaan dengan kemampuan aparatur baik kemampuan konseptual maupun ketrampilan.
Organizational support (dukungan organisasi), ada tidaknya dukungan dari organisasi pelaksana kebijakan.
Alternatif kebijakan
Alternatif kebijakan yang direkomendasikan berkaitan dengan Undang-Undang mengenai Kebijakan Sistem Budi Daya Tanaman tersebut adalah:
Perubahan atau amandemen UU No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman
Melihat banyaknaya pasal dan ketentuan dalam UU yang bertentangan dengan kepentingan dan hak petani maka alternatif kebijakan yang diajukan adalah perubahan UU tersebut menuju UU yang lebih responsif pada kebutuhan dan kepentingan petani. Bukan hanya sekedar Uji materi, sebab UU tersebut tidak melibatkan partisipasi masyarakat dan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.
Nugroho (2003: 224) mengkaitkan kebijakan publik dengan Good Governance, baik dalam formulasi, implementasi, maupun evaluasi kebijakan publik. Sehingga dalam setiap tahap-tahap proses kebijakan publik akan berdasarkan pada prinsip-prinsip Good Governance yang berupa akuntanbilitas, transparansi, fairness dan katanggapan. Secara umum prinsip GG adalah participation, rule of law, transparency, responsiveness, concensus orientation, equity, efectiveness and efficiency, accountability dan strategic vision. Dengan demikian pengintegrasian GG dalam proses kebijakan publik akan menjamin partisipasi, responsivitas, keadilan, efektivitas dan efisiensi serta akuntabilitas. Sehingga perlu dibuat kebijakan yang mampu menjamin dilaksankannya prisnsip-prinsip Good Governance bukan hanya dalam pelaksanaannya tetapi juga dalam pembuatan dan evaluasi kebijakan.
Reformulasi kebijakan dengan mengintegrasikan GG harus mampu menciptakan Sistem Budidaya Tanaman yang mengandung:
Sistem pertanian yang berwawasan lingkungan (Agroecosystem) dan memperhatikan etika lingkungan
Sistem pertanian yang berkelanjutan (Suistainable Agriculture)
Mengembangkan potensi sosial dan ekonomi masyarakat petani (Community Based Development)
Menjamin hak-hak petani
Reformulasi kebijakan tersebut diperlukan karena banyak pasal yang juga bertentangan dengan UUD 1945 amandemen. Reformulasi kebijakan tersebut dilakukan oleh lembaga legislatif dengan berorientasi pada kepentingan petani, namun akan memerlukan waktu yang panjang untuk membuat sebuah kebijakan. Pembuatan kebijakan ini harus juga menyertakan aspirasi petani dalam komunitas petani, sehingga kebijakan akan bersifat Buttom Up. Dengan prinsip partisipatori maka kebijakan yang dibuat akan mampu menyelesaikan masalah yang selama ini menjerat petani.
Penilaian terhadap kriteria ini
Technical Feasibility
Kriteria ini mencakup Effectiveness and adequacy. Kebijakan ini akan efektif karena adanya prinsip partisipasi serta memperhatikan hak-hak petani, sehingga masyarakat tidak hanya menjadi obyek tetapi juga subyek kebijakan. Kebijakan ini akan menjadi pedoman nasional dalam upaya menciptakan sistem budidaya tanaman yang berwawasan lingkungan dan berkesinambungan serta memperhatikan kesejahteraan petani. Selain itu kebijakan ini akan mampu menyelesaikan persoalan (adequacy), karena petani akan mendapatkan jaminan atas hak-hak mereka. Dengan demikian petani tidak akan disamakan dengan perusahaan-perusahaan ataupun laorataorium untuk penelitian.
Economic and Financial Possibility
Kriteria ini berupa economic efficiency, profitability and cost effectiveness. Pembuatan UU memang memerlukan biaya yang tidak sedikit, apalagi ongkos politik yang harus dikeluarkan, namun pembuatan kebijakan harus menggunakan sumber daya yang ada untuk mencapainya. Kebijakan ini mampu menciptakan economic efficiency, jika melalui proses-proses yang fair. Namun disisi lain profitability akan berkurang karena mempersempit kemungkinan masuknya modal asing tetapi lebih mengutamakan pada kesejahteraan masyarakat.
Disisi lain, ketika kebijakan ini sudah jadi dan diimplementasikan akan mampu mencapai cost effectiveness, karena akan membutuhkan biaya yang minimal untuk mencapai tujuan.
Political Viability
Kriteria ini mencakup acceptability, approppriateness, responsiveness, legal dan equity. Kebijakan ini akan memiliki acceptability yang berbeda antara masyarakat dengan aktor politik, dari aktor politik akan ada dimensi politik yang berperan. Padalah kebijakan ini merupakan tuntutan masyarakat (Responsiveness), sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan peraturan yang ada (Legal) karena justru UU SBT yang sekarang banyak pasal yang bertentangan atau tidak sesuai dengan UUD 1945 amandemen. Selain itu kebijakan ini akan memberikan Equity dalam masyarakat dengan perlakuan sesuai dengan yang dibutuhkan petani.
Namun, Acceptability aktor politik akan berbeda dan bisa bertentangan dengan korporasi global dengan bergagai alatnya.
Administrative Operability
Kriteria ini mencakup authority, institutional commitment, capability, and organizational support. Lembaga legislatif memiliki authority dalam melakukan perubahan UU tersebut dan meformulasikan kebijakan baru yang lebih propetani. Kebijakan dengan bentuk UU akan mampu mengikat institutonal commitment aparat pelaksana kebijakan dari tingkat atas sampai bawah. Namun, kebijakan ini belum didukung dengan capability dan organizational support yang memadai. Karena selama ini pemerintah telah cenderung melaksanakan kebijakan yang top-down.
Pembuatan Peraturan Daerah mengenai perlindungan bibit lokal dan pertanian organik
Dengan adanya kebijakan desentraliasai dimana kewenangan daerah lebih besar dalam penagturan diri maka Pemerintah Daerah menjadi regulasi yang penting. Pembuatan peraturan daerah ini diperlukan dengan memperhatikan lokalitas masing-masing daerah. Perda ini akan menjamin kesejahteraan petani dan sistem pertanian yang berbeda disetiap daerah. Badjuri dan Yuwono (2002:181) menyampaikan bahwa kebijakan otonomi daerah menuntut daerah untuk mampu mandiri khususnya dalam konteks kebijakan publik, spirit dan kebijakan otonomi daerah ini adalah bahwa daerah diharapkan mampu menyusun perencanaan dan pelaksanaan kebijakan publik sesuai dengan kebutuhan daerahnya sendiri.
Maka diperlukan perda yang mandapat jaminan dengan UU. Peraturan daerah yang dibuat harus memuat mengenai perlindungan terhadap bibit lokal dan sistem pertanian organik. Hal ini didasari karena sistem pertanian konvensional yang sekarang banyak menimbulkan kerusakan baik secara ekologi, ekonomi maupun sosial. Dengan pertanian organik maka akan membentuk sistem pertanian yang suistainable agriculture dan agroecosystem. Mc Guinees (1993) menyatakan pertaian organik merupakan sistem produksi yang menyeluruh dan terpadu yang mengoptimalkan produktivitas agroekosistem (ekosistem pertanian). Pertanian yang berpijak pada kesuburan tanah sebagai kunci keberhasilan produksi dengan memperhatikan kemampuan alami dari tanah, tanaman, dan hewan untuk menghasilkan kualitas yang baik bagi hasil pertanian maupun lingkungan. Pertanian yang menghasilkan pangan yang sehat (bebas dari obat-obatan dan zat kimia yang mematikan).
Menurut International Federation of Organic Agriculture Movement (IFOAM) salah satu tujuan sistem pertanian organik ini mampu mempertahankan keanekaragaman hayati termasuk pelestarian habitat tanaman dan hewan. Dengan demikian pelaksanaan sistem pertanian ini mampu menjaga keanekaragaman hayati termasuk bibit lokal. Maka pemerintah daerah (legislatif daerah), harus membuat perda ini dengan melibatkan pihak ketiga seperti akademisi, NGO, komunitas masyarakat.
Penilaian terhadap alternatif ini adalah:
Technical Feasibility
Kebijakan akan lebih Effective karena mampu menjadi payung hukum didaerah dalam mempertahankan sistem pertanian yang baik sesuai dengan lokalitas masing-masing daerah. Kebijakan ini akan mampu menyelesaikan persoalan (Adequacy) di daerah dengan adanya kebijakan desentralisasi.
Economic and Financial Possibility
Pembuatan perda juga memelukan biaya yang tidak sedikit, namun mampu dilakukan (Economic efficiency). Kebijakan ini mampu memperoleh manfaat optimal pada petani (Profitability) dengan sistem pertanain yang efisien dari pada sistem konvensional. Selain itu, sistem pertanian ini juga lebih menguntungkan bagi ekologi, ekonomi dan sosial sehingga memiliki cost effectiveness
Political Viability
Kebijakan ini merupakan tuntutan masyarakat (Responsiveness) yang merupakan penguatan pada tingkat lokal. Kebijakan ini sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat Appropriateness, karena menjaga agrikultur bukan hanya berorientasi pada agribisinis. Pembuatan Kebijakan ini juga tidak bertentangan dengan peraturan yang ada (Legal) serta memberikan Equity. Namun, bisa bertentangan dengan perusahaan benih/pemilik modal
Administrative Operability
Pemerintah cukup memiliki otoritas (Authority) dengan adanya kebijakan desentralisasi. Namun, nstitutional commitment (komitmen institusi), Capability (kapasitas), Organizational support (dukungan organisasi) masih lemah.
Penguatan komunitas petani (Social Capital) yang mampu menjamin akses dalam perencanaan kebijakan pertanian
Penguatan komunitas petani ini diperlukan untuk menciptakan kekuatan bargaining position petani. Ini merupakan modal sosial bagi petani dalam memperkuat organisasi dan jaringan tani, maka sosial capital ini sangat penting. Putnam dalam Laren (2004) menyatakan "Social capital refers to features of social organization, such as networks, norms, and trust, that facilitate coordination and cooperation for mutual benefit". Menurut Woolcock (1998) dalam Lubis dkk, Modal sosial didefinisikan sebagai informasi, trust, dan norms of reciprocity yang melekat pada jaringan sosial dengan tujuan untuk menciptakan tindakan kolektif yang menguntungkan. Modal sosial didasarkan pada dua nilai, yaitu primordiality dan civility.
Zhang (2011) menyampaikan bahwa berbagai penelitian membuktikan bahwa sosial kapital memberikan manfaat yang besar pada masyarakat, salah satu yang terpenting adalah meningkatkan kehidupan ekonomi. Ada dua bentuk modal sosial ini yaitu Bonding Social Capital dan Bridging Social Capital. Menurut Larsen dkk (2004) Bonding social capital occurs within a community of individuals, such as a neighborhood, but the relationships and trust formed by bonding social capital may not precipitate action in addressing a neighborhood problem. Bonding social capital is a necessary antecedent for the development of the more powerful form of bridging social capital . Sedangkan Bridging social capital is what Paxton (1999) refers to as cross-cutting ties. Bridging social capital occurs when members of one group connect with members of other groups to seek access or support or to gain information.
Modal sosial terikat (Bonding Social Captal) adalah cenderung bersifat eksklusif (Hasbullah, 2006). Apa yang menjadi karakteristik dasar yang melekat pada tipologi ini, sekaligus sebagai ciri khasnya, dalam konteks ide, relasi dan perhatian, adalah lebih berorientasi ke dalam (inwardlooking) dibandingkan dengan berorientasi keluar (outward looking). Ragam masyarakat yang menjadi anggota kelompok ini pada umumnya homogenius (cenderung homogen)
Mengikuti Hasbullah (2006), bentuk modal sosial yang menjembatani ini ini biasa juga disebut bentuk modern dari suatu pengelompokan, group, asosiasi, atau masyarakat. Prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut didasarkan pada prinsip-prinsip universal tentang: (a) persamaan, (b) kebebasan, serta (c) nilai-nilai kemajemukan dan humanitarian (kemanusiaan, terbuka, dan mandiri).
Bentuk ini lebih agaliter dan terdiri dari masyarakat yang heterogen serta lebih terbuka terhadap kkomunitas luar. Sehingga lebih berorientasi keluar (outward looking).
Dengan demikian sosial kapital ini merupakan modal yang perlu dibangun dalam masyarakat petani untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Bentuk modal sosial yang dibangun adalah bridging social capital, karena komunitas petani ini terdiri dari banyak elemen memerlukan banyak hubungan dengan luar misalnya bentuk kerjasama kolektif/kemitraan dengan tengkulak. Untuk mewadahi heterogenitas ini maka secara nasional perlu dikuatkan bentuk-bentuk modal sosial ini di masing-masing daerah.
Pembentukan dan penguatan ini diharapkan memperkuat jaringan (lingking) antara petani dan dengan pihak diluar, sehingga kebutuhan dan keingian petani dapat didengar dan diakomodasi yang pada akhirnya akan mewujudkan Community Based Development. Pembangunan modal sosial ini mampu meningkatakan organisasi tani, jaringan tani, peningkatan pendidikan tani dan kekuatan politik (Bargaining Position). Hal ini dilakukan dengan mengumpulkan seluruh komunitas tani yang ada dan penyatuan visi atau tujuan.
Alternatif ini akan mampu meningkatkan motivasi petani untuk terus menerapkan pertanian yang berkesinambungan dan berwawasan lingkungan serta menjadi kontrol atas hak-hak petani.
Penilaian terhadap alternatif ini:
Technical Feasibility
Langkah ini mampu membanguan kekuatan masyarakat sehingga mampu menjadi alat pengontrol untuk mencapai kesejahteraan petani(Effective). Selain itu, mampu menggali/memunculkan persoalan yang dihadapi petani (Adequacy)
Economic and Financial Possibility
Modal sosial merupakan sumber daya yang dapat dikerahkan untuk memperoleh manfaat yang optimal (Economic efficiency). Meskipun tidak berorientasi pada keuntungan namun mampu membangun kekuatan untuk meningkatkan ekonomi (Profitability). Pencapaian tujuan juga lebih mudah dengan biaya yang rendah Cost effectiveness (efisiensi biaya).
Political Viability
Alternatif ini akan mudah diterima masyarakat (acceptability), karena menghimpun petani dengan komunitas mereka. Namun bisa sulit diteima akot politik karena bisa menjadi ancaman politik. Akan membangun nilai-nilai yang ada dalam masyarakat Appropriateness dan tidak bertentangan dengan peraturan yang ada (Legal) serta mampu membangun keadilan (equity)
Administrative Operability
Otoritas (Authority) ada pada masyarakat, pemerintah sebagai Organizational Support. Untuk itu diperlukan pembangunan Capabiliity masyarakat.
Kategori
Alternatif Kebijakan
Perubahan Kebijakan/Kebijakann Baru
Pembuatan Perda
Penguatan Community based Group
Technical Feasibility
UU Lebih efektif (Effective dan Adequacy) karena tidak akan menyamakan petani dengan badan usaha
Kebijakan akan lebih Effective dan mampu
menyelesaikan persoalan (Adequacy) di daerah (Desentralisasi)
Langkah ini mampu membanguan kekuatan masyarakat (Effective), dan menggali/memunculkan persoalan yang dihadapi petani (Adequacy)
Economic and Financial Possibility
Tujuan dapat dicapai dengan biaya yang minimal Cost effectiveness, masukan finansial (Profitability )berkurang tapi masyarakat lebih sejahtera
Mampu memperoleh manfaat optimal pada petani (Profitability), namun Membutuhkan biaya yang tidak sedikit (Economic efficiency)
Dengan modal sosial memperoleh manfaat yang optimal (Economic efficiency), tidak berorientasi pada keuntungan
Profitability, dan mampu mencapai
Cost effectiveness (efisiensi biaya).
Political Viability
Kebijakan merupakan tuntutan masyarakat (Responsiveness), sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat Appropriateness dan tidak bertentangan dengan peraturan yang ada (Legal) serta memberikan Equity .
Namun, Acceptability aktor politik akan berbeda
Kebijakan merupakan tuntutan masyarakat (Responsiveness) yang merupakan penguatan pada tingkat lokal, sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat Appropriateness dan tidak bertentangan dengan peraturan yang ada (Legal) serta memberikan Equity. Namun, bertentangan dengan perusahaan benih/pemilik modal
Akan membangun nilai-nilai yang ada dalam masyarakat Appropriateness dan tidak bertentangan dengan peraturan yang ada (Legal) serta membangun bargaining position petani
Administrative operability
Pemerintah cukup memiliki otoritas (Authority), tetapi Organizational Supportnya lemah
Pemerintah cukup memiliki otoritas (Authority) ,namun Institutional commitment (komitmen institusi), Capability (kapasitas), Organizational support (dukungan organisasi), dari organisasi lemah
otoritas (Authority)ada pada masyarakat, pemerintah sebagai Organizational Support
Kesimpulan
Undang-undang SBT yang dibuat untuk melindungi pertanian justru menimbulkan dampak yang merugikan petani. Msaih banyak permasalahan kebijakan yang terkandung dalam kebijakan tersebut, dimana kebijakan tersebut menimbulkan aturan pelaksanaan yang merugikan petani, hilangnya bibit lokal dan tidak responsif terhadap petani maupun pertanian Untuk itu kebijakan tersebut perlu direformulasi ulang. Rekomendasi kebijakan yang diajukan adalah dengan perubahan UU SBT, pembuatan perda tentang bibit lokal dan pertanian organik serta pembangunan modal sosial.
Daftar Pustaka
Adi, Agus Purbathin. 2003. Pengembangan Program Pembangunan Desa. Makalah disampaikan dalam Workshop Nasional Perencanaan Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah Perdesaan, Badan Pengkajian dan Penerapan Tekonologi (BPPT) Jakarta, Kuta-Lombok, 7-9 Oktober 2003.
Badjuri, Abdulkahar dan Teguh Yuwono. 2003. Kebijakan Publik: Konsep dan Strategi. Semarang: Jurusan Ilmu Pemerintahan UNDIP
Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Cetakan Ke-5. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Hasbullah, J., 2006. Sosial Kapital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. Jakarta: MR-United Press
Larsen, Larissa dkk. 2004. Bonding and Bridging:Understanding the Relationship between Social Capital and Civic Action. Journal of Planning Education and Research 24:64-77 DOI: 10.1177/0739456X04267181. http://www.asu.edu/clas/oldshesc/faculty/pdf/JPERBondingandBridging.pdf
Lubis, Rissalwan Habdy. Pengembangan Pola Kemitraan Berbasis Modal Sosial Sebagai Strategi Pemulihan Masyarakat Pasca Bencana
Mander, Jerry, et all. 2003. Globalisasi Membantu Kaum Miskin?. Dalam Globalisasi, Kemiskinan dan Ketimpangan: International Forum on Globalization. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas
Mc Giuness, 1993. The Ogranic Movement. Tersedia pada http://dte.gn.apc.org/49.html
Nugroho, Riant. 2003. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Opini. 2009. Analisa Kebijakan Ekonomi : Post Orde Lama vs Post Orde Baru. http://dhenov.blogspot.com/2009/03/analisa-kebijakan-ekonomi-post-orde.html
Pangaribuan, Nurmala. 2002. Kembali Ke Pertanian Organik. Dalam Jurnal Studi Indonesia, Vol. 12, No.2, hal 138-152
Scaller . 2003. Apa itu Pertanian Organik? Tersedia pada http://www.plh.smk.or.id/kuri-pert.html.
Subarsono, AG. 2008. Analisis Kebijakan Publik: Teori, Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Supriono, Agus, dkk. Modal Sosial: Definisi, Dimensi, Dan Tipologi. http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CCsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fp2dtk.bappenas.go.id%2Fdownlot.php%3Ffile%3DModal%2520Sosial%2C%2520Definisi%2C%2520Dimensi%2520dan%2520Tipologi.pdf&ei=wm-oUYXtLsmBiQfgv4CwBw&usg=AFQjCNHUMdIJIRWaNtP-W19RRZjBUqVD_g&sig2=zIMi5k_gpWVeuxkV5RMj6A&bvm=bv.47244034,d.aGc
Tangkilisan, Hessel Nogi. 2005. Manajemen Publik. PT Gramedia Widiasarana Indonesia : Jakarta
Utomo, Franditya. 2013. Bersemi Dalam Tekanan Global: Kriminalisasi Petani, Inisiatif Benih Lokal dan Uji Materi UU No.12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman. Yayasan FIELD Indonesia: Jakarta
Zhang, Saijun.2011. The Differntiated Impact of Bridging and Bonding Sosial Capital on Economic Well-Being : An Individual Level Perspective. Journal of Sociology and Social Welfare, March 2011, Vol XXXVII, No.1. http://ije.oxfordjournals.org/content/37/6/1384.full.pdf+html
Undang Undang No.12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman
UUD 1945