KEBIJAKAN KESEHATAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PELAYANAN KEPERAWATAN
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah MANAJEMEN STRATEGI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN Dosen : Dr. UNTUNG SUJIANTO, S.Kp., M.Kes.
Oleh : 1. Kusnadi Jaya
NIM. 22020114410044
2. Wiwin Nur Aeni
NIM. 22020114410050
PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2015
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sistem kesehatan memiliki hubungan yang erat dengan pembangunan kesehatan. Sistem kesehatan memiliki tujuan untuk dapat menilai dan fokus memberikan kemanfaatan kepada mayarakat. Manfaat yang diberikan didistribusikan dengan adil. Sektor kesehatan memiliki peran yang sangat penting karena mampu menyerap banyak sumber daya dan pembangkit perekonomian melalui inovasi dan investasi di bidang teknologi medis atau produksi dan penjualan obat-obatan, atau dengan menjamin populasi yang sehat dan produktif secara ekonomi. Keperawatan adalah bagian integral dari kesehatan. Keperawatan sebagai sebuah profesi telah mengalami berbagai perkembangan ketika profesi ini
berusaha
untuk
memenuhi
tuntutan
masyarakat
dan
mencoba
menyetarakan diri pada MEA mendatang. Keperawatan dalam menghadapi perkembangan dan perubahan yang terjadi perlu melakukan pengambilan keputusan yang cepat dan tepat. Proses pengambilan keputusan yang cepat dan tepat dilakukan agar eksistensi dan profesionalitas organisasi keperawatan beserta administrasi dan pendukungnya dapat berjalan terus dengan lancar. Perawat sebagai salah satu jenis tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan langsung baik kepada individu, keluarga dan masyarakat. Sebagai salah satu tenaga profesional, keperawatan menjalankan dan melaksanakan kegiatan praktek keperawatan dengan mengunakan ilmu pengetahuan dan teori keperawatan yang dapat dipertanggung jawabkan. Dimana ciri sebagai profesi adalah mempunyai body of knowledge yang dapat diuji kebenarannya serta ilmunya dapat diimplementasikan kepada masyarakat langsung. Pelayanan kesehatan dan keperawatan yang dimaksud adalah bentuk implementasi praktek keperawatan yang ditujukan kepada pasien/klien baik kepada individu, keluarga dan masyarakat dengan tujuan upaya peningkatan
1
kesehatan dan kesejahteraan guna mempertahankan dan memelihara kesehatan serta menyembuhkan dari sakit, dengan kata lain upaya praktek keperawatan berupa promotif, preventif, kuratif dan rehabilitasi. Dalam melakukan praktek keperawatan, perawat secara langsung berhubungan dan berinteraksi kepada penerima jasa pelayanan, dan pada saat interaksi inilah sering timbul beberapa hal yang tidak diinginkan baik disengaja
maupun
tidak
disengaja,
kondisi
demikian
inilah
sering
menimbulkan konflik baik pada diri pelaku dan penerima praktek keperawatan. Oleh karena itu profesi keperawatan harus mempunyai standar profesi dan aturan lainnya yang didasari
oleh ilmu pengetahuan yang
dimilikinya, guna memberi perlindungan kepada masyarakat. Dengan adanya standar praktek profesi keperawatan inilah dapat dilihat apakah seorang perawat melakukan malpraktek, kelalaian ataupun bentuk pelanggaran praktek keperawatan lainnya. Sebagai
bagioan
integral
dari
pelayanan
kesehatan,
asuhan
keperawatan berfokus pada bio, psiko, sosial dan spiritual yang diberikan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat. Sasaran pelayanan keperawatan adalah manusia, maka dalam memberikan pelayanan perawat harus benar-benar memperhatikan faktor etika dan hukum karena sejalan dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat semakin faham akan hak-hak individu, kebebbasan dalam memberikan dan mengemukakan pendapat dan tanggung jawab dalam melindungi hak yang dimiliki. Kemajuan dan teknologi serta dampaknya terhadap kehidupan sosial, politik dan ekonomi membuat semakin tingginya perhatian pada dimensi etika praktik asuhan keperawatan (Gold, Chambers dan Dovrak, 1995) Etika dan aturan hukum bagi perawat merupakan pedoman untuk perawat yang digunakan dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan etis baikdalam area praktik, pendidikan, administrasi maupun penelitian. Etika Keperawatan menghasilkan informasi tentang moral, perawat yang peka terhadap masalah yang dihadapi, perawat yang bertanggung gugat dan mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan etis dalam praktik
2
keperawatan. Kemampuan untuk membuat suatu keputusan yang merupakan sesuatu yang esensial dalam praktik keperawatan profesional (Fry, 2002). Standar pelayanan profesional serta refleksi dari moral pelayanan tertuang dalam kode etik perawat (RR.Puji Astuti & Purba, 2010). Pengambilan keputusan merupakan suatu hasil atau keluaran dari proses mental yang membawa pada pemilihan suatu jalur tindakan di antara beberapa alternatif yang tersedia. Setiap proses pengambilan keputusan selalu menghasilkan satu pilihan final baik itu berupa suatu tindakan (aksi) atau suatu opini terhadap pilihan. Pengambilan keputusan dilakukan oleh seorang manajer termasuk juga perawat dalam konteks pengelolaan asuhan keperawatan kepada pasien. Kegiatan pembuatan keputusan meliputi pengindentifikasian masalah, pencarian alternatif penyelesaian masalah, evaluasi terhadap alternatif-alternatif tersebut, dan pemilihan alternatif keputusan yang terbaik. Kemampuan seorang perawat dalam membuat keputusan dapat ditingkatkan apabila ia mengetahui dan menguasai teori dan teknik pembuatan keputusan. Peningkatan kemampuan perawat dalam pembuatan keputusan diharapkan dapat meningkatkan kualitas keputusan yang dibuatnya, sehingga akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja organisasi profesi keperawatan. Untuk dapat mengambil keputusan dengan etis dan legal maka seorang perawat harus memahami kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi praktek profesionalnya. Kebijakan merupakan pilihan yang didasari pemikiran akal budi untuk kepentingan tertentu. Hal ini menjelaskan bahwa kebijakan bukanlah suatu keputusan melainkan bahan dalam pengambilan keputusan. Berbeda halnya dengan kebijaksanaan dimana kebijaksanaan diartikan sebagai kepandaian menggunakan akal budi. Pengambilan keputusan kesehatan berkaitan dengan kematian dan keselamatan, sehingga kesehatan diletakkan dalam kedudukan yang lebih istimewa dibanding dengan masalah sosial lainnya. Kesehatan juga dipengaruhi sejumlah keputusan yang tidak ada kaitannya dengan layanan kesehatan, seperti kemiskinan yang mempengaruhi kesehatan, sama halnya dengan polusi, atau sanitasi yang buruk. Kesehatan pula diperngaruhi oleh
3
kebijakan lain seperti halnya dengan kebijakan ekonomi yang menentukan pajak rokok atau alkohol yang dapat mempengaruhi perilaku masyarakat. Hubungan antara kebijakan kesehatan dan kesehatan sangat penting dan memiliki korelasi yang sangat erat. Kebijakan kesehatan memungkinkan untuk penyelesaian masalah kesehatan terutama yang terjadi pada saat ini, sekaligus
memahami
bagaimana
perekonomian
dan
kebijakan
lain
berimplikasi pada kesehatan. Kebijakan kesehatan dapat memberi arahan dalam pemilihan teknologi kesehatan yang akan dikembangan dan digunakan, mengelola dan membiayai layanan kesehatan, atau jenis obat yang dapat dibeli secara bebas. Pemimpin keperawatan perlu menganalisa kebijakan kesehatan sebagai sehingga memunculkan berbagai saran, sedalam dan seluas apapun analisa kebijakan dimaksudkan untuk menghasilkan beberapa pilihan keputusan. Analisa kebijakan bertujuan untuk menyediakan informasi yang dapat digunakan untuk bahan pertimbangan yang berdasar pada pemecahan masalah kepada para pembuat keputusan dalam hal keperawatan. Karena itulah dalam makalah ini kami tertarik untuk membahas tentang “Kebijakan Kesehatan Yang Berhubungan Dengan Pelayanan Keperawatan” B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan umum Memahami salah satu kebijakan keperawatan dalam pelayanan kesehatan. 2. Tujuan khusus a. Mendeskripsikan konsep teori kebijakan kesehatan b. Mengidentifikasi
produk-produk
kebijakan
kesehatan
yang
berhubungan dengan pelayanan keperawatan c. Mengidentifikasi implikasi dari produk-produk kebijakan kesehatan terhadap praktik keperawatan
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Sistem Kesehatan Sistem Kesehatan menurut WHO adalah semua kegiatan yang tujuan utamanya untuk meningkatkan, mengembalikan dan memelihara kesehatan. Cakupannya meliputi Formal Health services yang mencakup pula promosi kesehatan, pelayanan kesehatan oleh tenaga medik profesional, pengobat tradisional, pengobatan alternatif. Pendekatan Sistemik yang biasa digunakan ada dua cara yaitu identifikasi komponen pembentuk sistem dan menganalisis interconnection, saling keterkaitan antar komponen dalam pola tertentu. Fungsi dalam sistem kesehatan (WHO 2000) meliputi regulasi/stewardship, pembiayaan, pelaksanaan kegiatan kesehatan, dan pengembangan SDM dan sumber daya lain Tujuan dan indikator sistem kesehatan menurut Roberts dkk (2007), antara lain status kesehatan, perlindungan resiko, dan kepuasan publik, sebagai berikut penjelasannya: 1. Status kesehatan a. Secara tradisional ukuran status kesehatan: AKB, AKI, dan AKBA b. Akhir‐akhir ini: berkaitan dengan beban penyakit (misalnya DALY) mencakup morbiditas maupun mortalitas c. Penyakit kronis yang semakin meningkat menjadi beban baru bagi sistem pelayanan kesehatan. d. Kelayakan juga penting—apa yang bisa dilakukan (nilai tolok ukur) 2. Kepuasan masyarakat a. Dapat diukur melalui survei penduduk yang dirancang baik b. Secara tipikal dipengaruhi oleh kualitas pelayanan, akses dan pembayaran tunai c. Bisa sesuai atau tidak sesuai dengan pelayanan yang costeffective misalnya, pasien meminta resep yang tidak cocok) d. Juga terkait dengan pertimbangan pemerataan
5
3. Perlindungan terhadap risiko a. Setiap tahunnya, ada sebagian penduduk yang mengeluarkan biaya pelayanan kesehatan yang tinggi b. Tanpa perlindungan, bisa jatuh miskin atau mendapat pelayanan yang kurang c. Masalahnya menjadi lebih buruk bagi mereka yang berpenghasilan rendah d. Dapat dihindari melalui asuransi atau sektor publik yang efektif dan hampir bebas biaya. B. Pengertian Kebijakan Kesehatan Kebijakan merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan layanan kesehatan. Kebijakan (Policy) diartikan juga sebagai sejumlah keputusan yang dibuat oleh mereka yang bertanggung jawab dalam bidang kebijakan tertentu. Kebijakan Publik (Public Policy) merupakan kebijakan – kebijakan yang dibuat oleh pemerintah atau Negara. Kebijakan Kesehatan (Health Policy) ialah segala sesuatu untuk mempengaruhi faktor – faktor penentu di sektor kesehatan agar dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat; dan bagi seorang dokter kebijakan merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan layanan kesehatan. Kebijakan kesehatan dapat meliputi kebijakan publik dan swasta tentang kesehatan. Kebijakan kesehatan diasumsikan untuk merangkum segala arah tindakan (dan dilaksanakan) yang mempengaruhi tatanan kelembagaan, organisasi, layanan dan aturan pembiayaan dalam system kesehatan. Kebijakan kesehatan mencakup sektor publik (pemerintah) sekaligus sektor swasta. Para pengkaji kebijakan kesehatan juga menaruh perhatian pada segala tindakan dan rencana tindakan dari organisasi di luar sistem kesehatan yang memiliki dampak pada kesehatan karena kesehatan dipengaruhi oleh banyak faktor penentu diluar system kesehatan. Sama halnya dengan beragam definisi kebijakan kesehatan, ada banyak gagasan mengenai pengkajian kebijakan kesehatan beserta penekanannya: seorang ahli ekonomi mungkin berpendapat bahwa kebijakan kesehatan adalah segala sesuatu tentang
6
pengalokasian sumber daya yang langka bagi kesehatan; seorang perencana melihatnya sebagai cara untuk mempengaruhi faktor-faktor penentu di sektor kesehatan agar dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat; dan bagi seorang dokter. Menurut Walt, kebijakan kesehatan serupa dengan politik dan segala penawaran terbuka kepada orang yang berpengaruh pada penyusunan kebijakan, bagaimana mereka mengolah pengaruh tersebut, dan dengan persyaratan apa (Surya, 2012). Kebijakan kesehatan sangat penting karena berbagai alasan berikut: a. Sektor kesehatan merupakan bagian penting perekonomian di berbagai negara b. Kesehatan mempunyai posisi yang lebih istimewa dibanding dengan masalah sosial yang lainnya c. Kesehatan dapat dipengaruhi oleh sejumlah keputusan yang tidak ada kaitannya dengan pelayanan kesehatan (misal: kemiskinan, polusi) d. Memberi arahan dalam pemilihan teknologi kesehatan C. Pengertian Analisis Kebijakan Kesehatan Analisa adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (seperti karangan, perbuatan, kejadian atau peristiwa) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, sebab musabab atau duduk perkaranya. Kebijakan merupakan suatu rangkaian alternative yang siap dipilih berdasarkan prinsip-prinsip tertentu. Kebijakan merupakan suatu hasil analisis yang mendalam terhadap berbagai alternative yang bermuara kepada keputusan tentang alternative terbaik. Kebijakan adalah rangkaian dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan, dan cara bertindak (tentag organisasi, atau pemerintah); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran tertentu. Contoh: Kebijakan Kebudayaan, adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar rencana atau aktifitas suatu negara untuk mengembangkan kebudayaan bangsanya. Kebijakan Kependudukan, adalah konsep dan garis besar rencana suatu pemerintah untuk mengatur atau mengawasi pertumbuhan penduduk dan dinamika penduduk dalam negaranya.
7
Konsep dari analisis kebijakan kesehatan adalah “What The Goverment Do Or Not To Do”, artinya segala keputusan yang pemerintah lakukan atau tidak dilakukan dalam bidang kesehatan berdasarkan atas kemanfaatan masyarakat di bidang kesehatan (Anne,2012). D. Berbagai Produk Kebijakan Kesehatan Terkait Pelayanan Keperawatan 1. Kebijakan Tingkat UUD 1945 UUD 1945 pasal 28H ayat 1 : setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. 2. Kebijakan pada tatanan undang-undang a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1963 Tentang Tenaga Kesehatan UU ini sebenarnya memisahkan bidan dna perawat sebagai nakes yang berbeda. Fisioterapi masih menjadi bagian dari keperawatan. Tenaga kesehatan
sarjana-muda,
menengah
dan
rendah
melakukan
pekerjaannya dibawah pengawasan dokter/dokter-gigi/apoteker/sarjana lain (pasal 8). b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan Tidak mengatur secara spesifik tentang kriteria tenaga kesehatan, sebab akan diturunkan dalam Peraturan Pemerintah. UU ini terkesan tidak fokus dan hanya menyebutkan pokok-pokoknya saja. Namun demikian, UU ini memberikan penegasan tentang sanksi pidana terhadap penyelenggaraan upaya kesehatan tanpa ijin, baik ijin sebagai tenaga kesehatan maupun ijin operasional. Selain itu UU ini juga lebih banyak berfokus pada masalah tranplantasi organ dalam praktik kedokteran.
Khusus tentang tenaga kesehatan diuraikan dalam PP
Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan. UU hanya mengatur tentang syarat-syarat menjadi tenaga kesehatan. c. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Penjelasan tentang tenaga kesehatan sudah dibuat lebih spesifik. Pelayanan kesehatan sudah dikategorikan pada level pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dengan demikian dapat
8
diidentifikasi area kewenangan perawat dalam konteks upaya kesehatan. UU ini juga secara spesifik sudah menjabarkan hak-hak masyarakat terhadap kesehatan dan tanggung jawab pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat atas kesehatan. terkait dengan tenaga kesehatan, UU ini sudah memberikan kualifikasi minimum seorang tenaga kesehatan dan bagaimana mekanisme pengelolaan tenaga kesehatan (pasal 21-29). Kriteria pelayanan kesehatan juga sudah dibahas dengan jelas dalam pasal 30-35, termasuk area kerja dari masing-masing sarana pelayanan kesehatan. Cakupan upaya kesehatan juga sudah diperluas dengan menambahkan masalah keluarga berencana, kesehatan bencana, pelayanan darah, pengamanan zat aditif serta bedah mayat. Terkait dengan penjaminan mutu, UU ini mewajibkan pemerintah menetapkan standar mutu pelayanan kesehatan untuk memastikan praktek pelayanan yang aman dan menjamin keselamatan pasien (pasal 52-55). UU ini juga membahas tentang persetujuan maupun penolakan tindakan medis dan kewajiban menjaga rahasia kedokteran bagi tenaga kesehatan. Konsekwensinya bagi perawat adalah pasien juga berhak memberikan persetujuan ataupun penolakan terhadap tindakan keperawatan. Tetapi dalam kenyataannya hal ini tidak pernah dibahas secara spesifik tentang bagaimana mekanisme persetujuan dan penolakan tindakan keperawatan. Selain itu perawat yang melakukan praktek asuhan keperawatan di sarana kesehatan manapun juga memiliki konsekwensi untuk menjaga rahasia kedokteran. Secara khusus dalam BAB XVII dijelaskan bahwa harus dibentuk Badan Pertimbangan Kesehatan (pasal 175-177). Tetapi dalam kenyataannya sampai sekarang badan independen ini belum terbentuk. Ketentuan pidana telah dispesifikkan pemberian sanksi bagi lembaga dan/atau tenaga kesehatan yang tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien gawat darurat (pasal 190), sanksi bagi
9
penyelenggara
pelayanan
tradisional
tanpa
ijin
(pasal
191),
memperjualbelikan organ tubuh (pasal 192), bedah plastik dan rekonstruksi untuk merubah identitas (pasal 193), aborsi tidak sesuai ketentuan (pasal 194), memperjualbelikan darah (pasal 195), memproduksi/mengedarkan sediaan farmasi dan/atau al-kes tidak sesuai standar dan tidak memiliki ijin edar (pasal 196-197), praktik kefarmasian tanpa kewenangan (pasal 198), peringatan bahaya kesehatan pada kemasan rokok (pasal 199), dan sanksi bagi pihakpihak yang menghalangi pemberian ASI (pasal 200). Khusus pasal 198 tentang praktek kefarmasian, pernah digunakan sebagai pasal pertimbangan untuk menjatuhkan hukuman pada perawat Misran (Kalimantan Timur) karena melakukan pemberian obat tanpa ijin, meskipun pada tingkat banding di MA pasal ini dianulir oleh klausul
bahwa
hal
tersebut
dilakukan
karena
pertimbangan
kegawatdaruratan dan tidak ada tenaga kesehatan yang berwenang di wilayah tersebut. d. Undang-Undang
Nomor
17
Tahun
2007
Tentang
Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Memberikan arah kebijakan pelaksanaan pembangunan di Indonesia sampai dengan tahun 2025 termasuk bidang kesehatan. Hal ini memberikan panduan dalam pengembangan keperawatan secara umum sebagai bagain integral dari sistem kesehatan. Selain itu Puskesmas wajib melaksanakan promosi kesehatan, untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya. Hal ini juga berlaku bagi tenaga keperawatan. e. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit UU ini termasuk UU yang mengecilkan arti penting keperawatan dalam rumah sakit sebab dalam UU ini Komite Keperawatan tidak lagi dijadikan sebagai organ yang menjadi persyaratan pendirian Rumah Sakit (pasal 33) padahal Komite Keperawatan sudah diatur sebelumnya dengan Kepmendagri Nomor 1 Tahun 2000. Termasuk
10
mekanisme audit yang dipersyaratkan hanya audit kinerja dan audit medis. Sama sekali tidak menyinggung audit keperawatan padahal UU ini juga consern menyoroti masalah keselamatan pasien (pasal 43). dan sebagaimana diketahui bahwa tenaga kesehatan terbesar yang ada di RS adalah tenaga keperawatan sehingga resiko berkaitan keselamatan pasien sebenarnya lebih banyak bersentuhan dengan keperawatan sehingga perlu dilakukan audit keperawatan secara periodik. f. Undang –Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan Undang-undang ini secara khusus mengatur tentang tenaga kesehatan. Pada pasal 8 disebutkan bahwa tenaga kesehatan terdiri dari nakes dan asisten nakes. Selain itu, tenaga fisioterapi sudah dipisahkan dari keperawatan. Dalam pasal 9 disebutkan bahwa kualifikasi minimum pendidikan tenaga kesehatan adalah Diploma III kecuali Tenaga Medis. Sedangkan asisten tenaga kesehatan memiliki kualifikasi pendidikan setingkat SMK (pasal 10). Selanjutnya dalam pasal 11 diuraikan tentang kategorisasi masing-masing tenaga kesehatan. UU ini juga menuntut adanya Konsil Tenaga Kesehatan untuk peningkatan mutu dan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan (pasal 34). Dalam pasal 37, dijelaskan bahwa penjaminan mutu oleh Konsil dilaksanakan melalui kegiatan : a) registrasi tenaga kesehatan; b) pembinaan praktik; c) menyusun standar pendidikan tinggi tenaga kesehatan; d) Standar Praktik dan Standar Kompetensi Tenaga Kesehatan; dan e) penegakan disiplin praktek tenaga kesehatan. Hingga saat ini Konsil Keperawatan belum terbentuk dan masalah registrasi untuk saat ini ditangani oleh Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI). Dalam UU ini juga diatur tentang praktik mandiri dan tata caranya. Termasuk kewajiban memasang papan nama bagi tenaga kesehatan yang praktik mandiri, termasuk perawat. Tetapi ada pembatasan tempat praktek bahwa SIP hanya berlaku pada 1 tempat (pasal 48). Juga diatur hak dan kewajiban tenaga kesehatan, mekanisme
pelimpahan
wewenang,
11
dan
standar-standar
yang
berhubungan dengan praktik profesional. Secara spesifik, UU ini juga mengatur kewajiban tenaga kesehatan melaksanakan penelitian dan pengembangan ilmu dalam praktik, melakukan informed consent atas tindakan yang diberikan, rekam medik, kewajiban menjaga rahasia pasien, perlindungan tenaga kesehatan dan pasien serta mekanisme penyelesaian perselisihan. Ketentuan pidana yang diatur dalam UU ini adalah tentang kelalaian, praktek tanpa STR, serta praktek tanpa ijin (Surat Ijin Praktek). g. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan UU ini secara khusus mengatur tentang keperawatan, perawat, praktek perawat, pendidikan keperawatan, serta penjaminan mutu keperawatan. UU Keperawatan tidak menyebutkan adanya asisten perawat. UU ini mewajibkan
dilaksanakannya
uji
kompetensi
bagi
mahasiswa
keperawatan yang akan lulus, untuk memenuhi standar kompetensi lulusan yang mengacu pada standar kompetensi kerja. Terkait masalah praktek juga sudah diatur syarat dan mekanisme pengajuan dan perpanjangan STR dan ijin praktek perawat, termasuk perawat lulusan luar negeri yang akan praktek di Indonesia. Secara khusus, UU juga sudah
mengatur
kewajiban
dan
wewenang
perawat
dalam
melaksanakan praktek keperawatan. Termasuk mekanisme pelimpahan wewenang secara delegasi dan mandat serta organisasi profesi. Terkait pengembangan cabang ilmu disiplin keperawatan dan standar pendidikan tinggi keperawatan maka harus dibentuk Kolegium Keperawatan, dan untuk penjaminan mutu praktik keperawatan serta memberikan kepastian hukum bagi perawat yang melaksanakan praktik maka dibentuk Konsil Keperawatan (tahun 2016). Perawat lulusan SPK diberikan kesempatan meningkatkan jenjang pendidikan menjadi D-III hingga 6 tahun setelah UU diundangkan (tahun 2020).
12
3. Kebijakan pada tatanan Peraturan Pemerintah / Peraturan Presiden a. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan Merupakan peraturan turunan dari UU 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. dalam PP ini tenaga kesehatan terdiri dari : tenaga medis; tenaga
keperawatan;
tenaga
kefarmasian;
tenaga
kesehatan
masyarakat; tenaga gizi; tenaga keterapian fisik; dan tenaga keteknisian medis. Tenaga keperawatan terdiri dari perawat dan bidan. Namun dalam UU 36/2014 Bidan sudah dipisahkan sebagai kategori nakes tersendiri. Masalah perlindungan hukum dan pembinaan tenaga kesehatan juga telah dimasukkan dalam UU Nakes. b. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran Peraturan ini mewajibkan semua tenaga kesehatan wajib menyimpan rahasia yang berkaitan dengan pasien dan penyakitnya sebagai bagian dari rahasia jabatan. Membocorkan rahasia medis dapat dikenakan sanksi pidana meskipun tidak diadukan. Kewajiban ini juga berlaku terhadap para mahasiswa pendidikan kesehatan. c. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Tunjangan Jabatan Fungional. Perawat sebagai jabatan fungsional bagi PNS berhak mendapatkan tunjangan jabatan fungsional yang disebut tunjangan perawat. Dan diberikan setiap bulan. Besarnya tunjangan untuk perawat adalah sebagai berikut : No 1
2
Jabatan Fungsional Perawat Ahli
Perawat Terampil
Jabatan Perawat Madya Perawat Muda Perawat Pertama Perawat Penyelia Perawat Pelaksana Lanjutan Perawat Pelaksana Perawat Pelaksana Pemula
13
Besarnya Tunjangan Rp. 715.000,Rp. 495.000,Rp. 253.000,Rp. 440.000,Rp. 242.000,Rp. 197.000,Rp. 183.000,-
d. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 Tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Inti dari PP ini adalah bahwa perusahaan (termasuk rumah sakit) wajib menerapkan sistem K3 untuk melindungi karyawan (termasuk perawat) dari kecelakaan kerja maupun resiko-resiko terkait dengan pekerjaan. e. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional sesuai amanat UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, diperlukan dukungan dana untuk operasional pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Fasilitas Kesehatan. Fasilitas kesehatan disebut sebagai fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan perorangan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama yang selanjutnya disingkat FKTP adalah fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non spesialistik untuk keperluan observasi, diagnosis, perawatan, pengobatan, dan/atau pelayanan kesehatan lainnya. Pengelolaan Dana Kapitasi BPJS merupakan tata cara penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, dan pertanggungjawaban dana kapitasi yang diterima oleh FKTP dari BPJS Kesehatan. Dana Kapitasi adalah besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka kepada FKTP berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang
14
diberikan. Dengan demikian apabila perawat ingin mendapatkan bagian dari kapitasi BPJS dalam konteks praktik mandiri maka sarana kesehatan yang diselenggarakan harus berbentuk FKTP. 4. Kebijakan pada tatanan Peraturan Menteri a. Peraturan Menteri PAN Nomor 94 Tahun 2001 Tentang Jabatan Fungsional Perawat Dan Angka Kreditnya Perawat termasuk dalma rumpun kesehatan (pasal 2). Perawat berkedudukan
sebagai
pelaksana
teknis
fungsional
pelayanan
keperawatan yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan pada sarana kesehatan, merupakan jabatan karir dan hanya diduduki oleh PNS (pasal 3). Kegiatan perawat yang dinilai angka kreditnya meliputi : a) pendidikan; b) pelayanan keperawatan; c) pengabdian pada masyarakat; d) pengembangan profesi; e) penunjang pelayanan keperawatan (pasal 5). b. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1045 Tahun 2006 Tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit di Lingkungan Departemen Kesehatan Dalam Permenkes ini diatur masalah Komite sebagai salah satu persyaratan dalam organisasi RS, tetapi belum menyinggung Komite Keperawatan. Yang wajib ada hanya Komite Medik dan Komite Etik dan Hukum. c. Permenkes Nomor 269 Tahun 2008 Tentang Rekam Medis Setiap penyelenggara pelayanan kesehatan wajib membuat rekam medis secara tertulis (pasal 2). Rekam medis dilengkapi segera setelah pasien pulang dan dibubuhi nama lengkap dan tanda tangan dokter atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan kesehatan secara langsung. Rekam medis boleh direvisi dengan cara dicoret dan diberi paraf (pasal 5). Pihak yang berwenang menjelaskan isi rekam medis adalah tenaga medis (pasal 11). Berkas rekam medis adalah milik sarana pelayanan kesehatan sedangkan isi rekam medis adalah milik pasien. Isi rekam
15
medis berupa ringkasan rekam medis (pasal 12). Pemanfaatan rekam medis yang menyebutkan nama pasien harus dengan persetujuan tertulis dari pasien atau ahli warisnya dengan tetap menjaga kerahasiaannya.
Penggunaan
rekam
medis
untuk
kepentingan
pendidikan dan penelitian boleh tidak meminta ijin pasien asal demi kepentingan negara (pasal 13) d. Permenkes Nomor 36 Tahun 2012 Tentang Rahasia Kedokteran Semua pihak yang terlibat dalam pelayanan kedokteran dan/atau menggunakan data dan informasi tentang pasien wajib menyimpan rahasia kedokteran. Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran berlaku selamanya, walaupun pasien telah meninggal dunia. Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan
peraturan
perundang-undangan
dan
harus
dengan
persetujuan pasien. Jika dibuka untuk kepentingan tertentu (misalnya pembelajaran) tidak boleh menyebutkan nama. Pembukaan atau pengungkapkan rahasia kedokteran dilakukan oleh penanggung jawab pelayanan pasien. Pasien atau keluarga terdekat pasien yang telah meninggal dunia yang menuntut tenaga kesehatan dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan serta menginformasikannya melepaskan
hak
melalui rahasia
media
massa,
kedokterannya
dianggap kepada
telah umum.
Penginformasian melalui media massa memberikan kewenangan kepada tenaga kesehatan dan/atau fasillitas pelayanan kesehatan untuk membuka atau mengungkap rahasia kedokteran yang bersangkutan sebagai hak jawab. Dalam hal pihak pasien menggugat tenaga kesehatan dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan maka tenaga kesehatan dan/atau fasilitas pelayanan
kesehatan
yang
digugat
berhak
membuka
rahasia
kedokteran dalam rangka pembelaannya di dalam sidang pengadilan.
16
e. Permenkes Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Kriteria Fasilitas Pelayanan Kesehatan Terpencil, Sangat Terpencil dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Yang Tidak Diminati Tenaga kesehatan tertentu yang bertugas di faskes tersebut boleh diberikan tambahan kewenangan. f. Permenkes Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/MENKES/148/I/2010 Tentang Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Perawat Perawat dapat melaksanakan prakti di fasilitas pelayanan kesehatan diluar praktik mandiri, dengan latar belakang pendidikan minimal DIII (pasal 2). Praktek di fasilitas pelayanan kesehatan wajib memiliki SIKP dan praktek mandiri wajib memiliki SIPP (pasal 3). Untuk memperoleh ijin tersebut dipersyaratkan : 1) fotocopy STR yang masih berlaku dan dilegalisasi; 2) surat keterangan sehat fisik dari dokter yang memiliki Surat Izin Praktik; 3) surat pernyataan memiliki tempat di praktik mandiri atau di fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri; 4) pas foto berwarna terbaru ukuran 4X6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar; 5) rekomendasi dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota atau pejabat yang ditunjuk; dan 6) rekomendasi dari organisasi profesi (pasal 5). Perawat hanya dapat menjalankan praktik keperawatan paling banyak di 1 (satu) tempat praktik mandiri dan di 1 (satu) tempat fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri (pasal 5A). masa berlaku SIPP dan SIKP sama dengan masa berlaku STR (pasal 5B). Pelanggaran terhadap ketentuan perijinan ini dikenakan sanksi berupa : a) teguran lisan; b) teguran tertulis; atau c) pencabutan SIKP atau SIPP.
17
g. Permenkes Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Imunisasi Petugas yang berwenang memberikan immunisasi adalah dokter dan dokter
spesialis.
Untuk
immunisasi
dasar,
Bidan
diberikan
kewenangan khusus. Dokter di Puskesmas dapat mendelegasikan kewenangan pelayanan immunisais kepada Bidan dan Perawat. Jika tidak ada Dokter maka Bidan dan Perawat dapat langsung memberikan pelayanan immunisasi dengan syarat harus terlatih (pasal 27). Pemberian imunisasi harus dilakukan berdasarkan standar pelayanan, standar prosedur operasional dan standar profesi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (pasal 28). Proses pemberian imunisasi harus memperhatikan keamanan vaksin dan penyuntikan agar tidak terjadi penularan penyakit terhadap tenaga kesehatan pelaksana pelayanan imunisasi dan masyarakat serta menghindari terjadinya kejadian ikutan pemberian immunisasi (pasal 29). Sebelum pelaksanaan imunisasi, pelaksana pelayanan imunisasi harus memberikan informasi lengkap tentang imunisasi meliputi vaksin, cara pemberian, manfaat dan kemungkinan terjadinya kejadian ikutan pemberian immunisasi/KIPI (pasal 30). Jika ada kejadian ikutan maka harus dilaporkan kepada pelaksana pelayaan immunisasi, Puskesmas atau Dinas Kesehatan untuk dilakukan investigasi. Jika terjadi kesakitan akibat KIPI maka pasien berhak diberikan pengobatan dan perawatan. h. Permenkes Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Registrasi Tenaga Kesehatan Setiap Tenaga Kesehatan yang akan menjalankan praktik dan/atau pekerjaan keprofesiannya wajib memiliki izin dari Pemerintah. Untuk memperoleh izin dari Pemerintah tersebut diperlukan STR yang dikeluarkan oleh MTKI dan berlaku secara nasional. Untuk memiliki STR harus memiliki sertifikat kompetensi (pasal 2).
18
Sertifikat Kompetensi diberikan kepada peserta didik setelah dinyatakan lulus Uji Kompetensi oleh perguruan tinggi bidang kesehatan yang memiliki izin penyelenggaraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Uji Kompetensi dimaksud diselenggarakan oleh perguruan tinggi bekerja sama dengan MTKI (pasal 3). STR berlaku 5 tahun dan dapat diperpanjang dengan syarat yang bersangkutan sudah melaksanakan : a) pengabdian diri sebagai tenaga profesi atau vokasi di bidang kesehatan; dan b) pemenuhan kecukupan dalam kegiatan pelayanan, pendidikan, pelatihan, dan/atau kegiatan ilmiah lainnya. Jumlah satuan kredit profesi untuk setiap kegiatan ditetapkan oleh MTKI atas usulan dari organisasi profesi (pasal 4). Pengabdian diri sebagai tenaga profesi atau vokasi di bidang kesehatan tadi dibuktikan dengan: a) keterangan kinerja dari institusi tempat bekerja, atau keterangan praktik dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota; b) Surat Izin Praktik atau Surat Izin Kerja; dan c) rekomendasi dari organisasi profesi. Pemenuhan kecukupan dalam kegiatan pelayanan, pendidikan, pelatihan, dan/atau kegiatan ilmiah lainnya dibuktikan dengan pemenuhan syarat satuan kredit profesi yang diperoleh selama 5 (lima) tahun yang ditetapkan oleh organisasi profesi (pasal 5). Dalam hal Tenaga Kesehatan tidak dapat memenuhi ketentuan persyaratan perpanjangan STR, maka Tenaga Kesehatan tersebut harus mengikuti evaluasi kemampuan yang dilaksanakan oleh organisasi profesi bekerja sama dengan MTKI (pasal 6). STR tidak berlaku apabila: a) masa berlaku habis; b) dicabut atas dasar peraturan perundang-undangan; c) atas permintaan yang bersangkutan; atau d) yang bersangkutan meninggal dunia (pasal 9). Untuk memperoleh STR, Tenaga Kesehatan mengajukan permohonan kepada MTKI melalui MTKP; atau Tenaga Kesehatan yang baru lulus Uji Kompetensi mengajukan permohonan secara kolektif oleh
19
Perguruan tinggi yang ditujukan kepada MTKI melalui MTKP. Permohonan sebagaimana dimaksud dilengkapi dengan fotokopi Sertifikat Kompetensi yang dilegalisasi dan pas foto 4x6 dengan latar belakang merah. Permohonan dimaksud dilengkapi dengan : a) daftar lulusan Uji Kompetensi dari perguruan tinggi yang bersangkutan; b) pas foto 4x6 dengan latar belakang merah; dan c) surat keterangan dari perguruan tinggi tentang kebenaran seluruh data yang diusulkan. Kelengkapan berkas permohonan tadi diproses oleh MTKP dan dikirimkan ke MTKI dalam bentuk elektronik sesuai dengan format yang ditetapkan oleh MTKI. STR dikirimkan kepada pemohon melalui MTKP (pasal 10). i. Permenkes Nomor 49 Tahun 2013 Tentang Komite Keperawatan Rumah Sakit Penyelenggaraan Komite Keperawatan bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme tenaga keperawatan serta mengatur tata kelola klinis yang baik agar mutu pelayanan keperawatan dan pelayanan kebidanan yang berorientasi pada keselamatan pasien di Rumah Sakit lebih terjamin dan terlindungi (pasal 2). Tenaga keperawatan dalam Permenkes ini terdiri dari perawat dan bidan (pasal 3). Untuk mewujudkan tata kelola klinis yang baik sebagaimana dimaksud, semua asuhan keperawatan dan asuhan kebidanan yang dilakukan oleh setiap tenaga keperawatan di Rumah Sakit dilakukan atas Penugasan Klinis dari kepala/direktur Rumah Sakit. Penugasan Klinis tersebut berupa pemberian Kewenangan Klinis tenaga keperawatan oleh kepala/direktur Rumah Sakit melalui penerbitan surat Penugasan Klinis kepada tenaga keperawatan yang bersangkutan. Surat Penugasan Klinis diterbitkan oleh kepala/direktur Rumah Sakit berdasarkan rekomendasi Komite Keperawatan. Dalam keadaan darurat kepala/direktur Rumah Sakit dapat memberikan surat Penugasan Klinis secara langsung tidak berdasarkan rekomendasi Komite Keperawatan.
20
Rekomendasi Komite Keperawatan diberikan setelah dilakukan Kredensial dengan ketentuan bahwa Rumah Sakit merupakan tempat untuk melakukan pelayanan kesehatan tingkat kedua dan ketiga (pasal 4). j. Permenkes Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Klinik Permenkes ini merupakan penyempurnaan dari Permenkes Nomor 28 Tahun 2011 Tentang Klinik. Penanggung jawab klinik harus seorang tenaga medis yang memiliki SIP di klinik tersebut. Perawat yang bekerja di klinik juga harus memiliki STR, SIK/SIP di klinik tersebut. Setiap tenaga kesehatan (termasuk perawat) yang bekerja di Klinik harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, standar pelayanan, etika profesi, menghormati hak pasien, serta mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien. Klinik dilakukan akreditasi setiap 3 tahun sekali dan wajib melakukan audit medis. k. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2014 Tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah Alokasi untuk pembayaran dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan ditetapkan sebesar selisih dari besar Dana Kapitasi dikurangi dengan besar alokasi untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan. Besaran alokasi ditetapkan setiap tahun dengan Keputusan Kepala Daerah atas usulan Kepala SKPD Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan: a) kebutuhan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai; b) kegiatan operasional pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai target kinerja di bidang upaya kesehatan perorangan; dan c) besar tunjangan yang telah diterima dari Pemerintah Daerah. Pembagian jasa pelayanan kesehatan kepada tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan ditetapkan dengan
21
mempertimbangkan variabel jenis ketenagaan dan/atau jabatan dan kehadiran. Alokasi dana kapitasi BPJS untuk dukungan biaya operasional kesehatan dimanfaatkan untuk : a) obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai; dan b) kegiatan operasional pelayanan kesehatan lainnya. Pengadaan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dapat
dilakukan
melalui
SKPD
Dinas
Kesehatan,
dengan
mempertimbangkan ketersediaan obat, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang dialokasikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Dukungan kegiatan operasional pelayanan kesehatan lainnya, meliputi : a) upaya kesehatan perorangan berupa kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif lainnya; b) kunjungan rumah dalam rangka upaya kesehatan perorangan; c) operasional untuk puskesmas keliling; d) bahan cetak atau alat tulis kantor; dan/atau e) administrasi keuangan dan sistem informasi. Dalam Permenkes ini tidak disebutkan alokasi untuk kegiatan keperawatan secara spesifik. l. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 Tentang Pusat Kesehatan Masyarakat Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Ada dua macam upaya kesehatan yang dilaksanakan di Puskesmas, yakni Upaya Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disingkat UKM dan Upaya Kesehatan Perseorangan yang selanjutnya disingkat UKP. UKM adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah dan menanggulangi timbulnya masalah kesehatan dengan sasaran keluarga, kelompok, dan masyarakat, sedangkan UKP adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
22
pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk peningkatan, pencegahan, penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan. Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan
di
Puskesmas
bertujuan
untuk
mewujudkan
masyarakat yang: 1) memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat; 2) mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu; 3) hidup dalam lingkungan sehat; dan 4) memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga, kelompok
dan
masyarakat.
Pembangunan
kesehatan
yang
diselenggarakan di Puskesmas tersebut mendukung terwujudnya kecamatan sehat. Dengan demikian, promosi kesehatan merupakan salah satu upaya kesehatan esensial Puskesmas untuk mencapai level kemandirian setinggi-tingginya. Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan, Puskesmas wajib diakreditasi secara berkala paling sedikit 3 (tiga) tahun sekali. Akreditasi Puskesmas adalah pengakuan terhadap Puskesmas yang diberikan oleh lembaga independen penyelenggara akreditasi yang ditetapkan oleh Menteri setelah dinilai bahwa Puskesmas telah memenuhi standar pelayanan Puskesmas yang telah ditetapkan oleh Menteri untuk meningkatkan mutu pelayanan Puskesmas secara berkesinambungan. Jika direfleksikan dengan kondisi sekarang, maka akreditasi Puskesmas akan sangat bergantung pada kinerja tenaga keperawatan sebab sebagian besar tenaga kesehatan di Puskesmas saat ini adalah perawat.
23
BAB III PEMBAHASAN
Dalam bab ini Penulis akan melakukan ekstraksi dan sintesis tentang implikasi dari kebijakan-kebijakan yang telah disebutkan dalam BAB II sebelumnya terhadap pelaksanaan praktik keperawatan. Hasil ekstraksi dan sintesis tersebut mencakup konsekwensi yang harus dipenuhi oleh perawat dan dasar hukum yang melatarbelakanginya.
A. Hak-Hak Pasien Yang Harus Dihormati 1. Pada UU No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran khususnya pada pasal 52 juga diatur hak-hak pasien, yang meliputi: a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat 3. b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain. c. Mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis. d. Menolak tindakan medis. e. Mendapatkan isi rekam medis. 2. Terkait rekam medis, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269 Tahun 2008 Tentang Rekam Medis pasal 12 menyebutkan: Berkas rekam medis milik sarana pelayanan kesehatan. Isi rekam medis merupakan milik pasien. Isi rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam bentuk ringkasan rekam medis. Ringkasan rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diberikan, dicatat, atau dicopy oleh pasien atau orang yang diberi kuasa atau atas persetujuan tertulis pasien atau keluarga pasien yang berhak untuk itu. 3. Menurut UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, pada pasal 4-8 disebutkan setiap orang berhak atas kesehatan, akses atas sumber daya, pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau; menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan, lingkungan yang sehat, info
24
dan edukasi kesehatan yang seimbang dan bertanggungjawab, dan informasi tentang data kesehatan dirinya. Hak-hak pasien dalam UU No. 36 tahun 2009 itu diantaranya meliputi: a. Hak menerima atau menolak sebagian atau seluruh pertolongan (kecuali tak sadar, penyakit menular berat, gangguan jiwa berat). b. Hak atas rahasia pribadi (kecuali perintah UU, pengadilan, ijin ybs, kepentngan ybs, kepentingan masyarakat). Hak tuntut ganti rugi akibat salah atau kelalaian (kecuali tindakan penyelamatan nyawa atau cegah cacat). 4. Hak Pasien dalam UU No 44 / 2009 Tentang Rumah Sakit (Pasal 32 UU 44/2009) menyebutkan bahwa setiap pasien mempunyai hak sebagai berikut: a. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit b. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien. c. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi. d. Memperoleh pelayanan kesehatan bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. e. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi; f. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan. g. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di rumah sakit. h. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain (second opinion) yang memiliki Surat Ijin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar rumah sakit. i. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya. j. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya.
25
k. Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan. l. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis. m. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya. n. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit. o. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya. p. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya. q. Menggugat dan atau menuntut rumah sakit apabila rumah sakit itu diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana. r. Mengeluhkan pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 5. UU Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan pasal 38, klien berhak : a. Mendapatkan informasi secara, benar, jelas, dan jujur tentang tindakan Keperawatan yang akan dilakukan; b. Meminta pendapat Perawat lain dan/atau tenaga kesehatan lainnya; c. Mendapatkan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar Pelayanan Keperawatan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; d. Memberi persetujuan atau penolakan tindakan Keperawatan yang akan diterimanya; dan e. Memperoleh keterjagaan kerahasiaan kondisi kesehatannya Selanjutnya apabila hak-haknya dilanggar, maka upaya hukum yang tersedia bagi pasien adalah:
26
1. Mengajukan gugatan kepada pelaku usaha, baik kepada lembaga peradilan umum maupun kepada lembaga yang secara khusus berwenang menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha (Pasal 45 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) 2. Melaporkan kepada polisi atau penyidik lainnya. Hal ini karena di setiap undang-undang yang disebutkan di atas, terdapat ketentuan sanksi pidana atas pelanggaran hak-hak pasien. Dasar hukum yang mengatur tentang hal ini antara lain : 1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 2. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran 3. Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit 4. Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Kewajiban tenaga kesehatan sama dengan hak-hak pasien) Sedangkan sanksi yang dapat diberikan apabila melanggar hak-hak pasien tersebut, antara lain : 1) Sanksi pidana; 2) Sanksi perdata; 3) Sanksi Administratif; dan 4) Sanksi Disiplin. Pada tahun 2003 pernah terjadi di sebuah rumah sakit, pasien meningal dunia pasca operasi tumor di belakang kepala, keluarga dan pasien tidak dijelaskan hasil observasi pre operasi dan resiko operasi. Dari kasus ini keluarga berhak menuntut pihak Rumah Sakit atau Tim Operasi scara hukum. Contoh lainnya adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai penggunaan rumah sakit sebagai tempat syuting merupakan pelanggaran hak terhadap pasien."Itu melanggar hak pasien karena seharusnya ruang yang tertutup menjadi terbuka," kata Ketua YLKI, Tulus Abadi Kamis (27/12). Menurut Tulus, syuting yang dilakukan di rumah sakit, akan membuat pasien yang seharusnya
mendapatkan
perawatan
maksimal
menjadi
terganggu.
Menanggapi kasus meninggalnya seorang anak berumur 9 tahun di ICCU RS Harapan Kita yang diduga akibat tidak mendapatkan perawatan maksimal karena ICCU dipergunakan untuk syuting sinetron Love in Paris, Tulus menilai perlu ada sanksi tegas terhadap pihak rumah sakit dan juga production house pembuat sinetron itu.
27
"Sebaiknya, pimpinan rumah sakit itu dicopot dan manajemen rumah sakit harus meminta maaf serta mengganti rugi secara materil kepada keluarga pasien walaupun nyawa tidak bisa diganti dengan uang B. Perawat Sebagai Tenaga Kesehatan 1. Kewajiban perawat sebagai tenaga kesehatan a. Perawat wajib memiliki : 1) Sertifikat Kompetensi (SK) ; sebagai bukti memiliki kompetensi standar sesuai level pendidikannya, sebagai dasar memperoleh STR 2) Surat Tanda Registrasi (STR) ; sebagai bukti telah teregistrasi secara hukum sebagai dasar pengajuan SIP 3) Surat Ijin Perawat (SIP) ; sebagai bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan keperawatan diseluruh wilayah Indonesia. 4) Surat Ijin Kerja (SIK) ; sebagai bukti tertulis yang diberikan kepada perawat untuk melakukan praktek keperawatan di sarana kesehatan 5) Surat Ijin Praktek Perawat (SIPP) ; sebagai bukti tertulis yang diberikan kepada perawat untuk menjalankan praktek perawat perorangan atau kelompok b. Perawat wajib menghormati hak-hak pasien. c. Perawat wajib merujuk kasus yang tidak dapat ditangani. d. Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang klien, kecuali jika dimintai keterangan oleh pihak berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. e. Perawat wajib memberikan informasi kepada pasien / keluarga yang sesuai batas kewenangan perawat. f. Perawat wajib meminta persetujuan setiap tindakan yang akan dilakukan oleh perawat sesuai dengan kondisi pasien baik secara tertulis maupun secara lisan.
28
g. Perawat wajib mencatat semua tindakan keperawatan (dokumentasi asuhan keperawatan) secara akurat sesuai peraturan dan SOP yang berlaku. h. Mematuhi standar profesi dan kode etik perawat Indonesia dalam melaksanakan praktik profesi keperawatan i. Meningkatkan
pengetahuan
berdasarkan
perkembangan
ilmu
pengetahuan dan teknologi keperawatan dan kesehatan secara terus menerus. j. Melakukan pertolongan darurat yang mengancam jiwa pasien sesuai batas kewenangan dan SOP. k. Melaksanakan program pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat l. Mentaati semua peraturan perundang-undangan m. Menjaga hubungan kerja yang baik antara sesama perawat maupun dengan anggota tim kesehatan lain. n. Perawat
wajib
memberikan
kesempatan
kepada
klien
untuk
berhubungan dengan keluarganya, selama tidak bertentangan dengan peraturan dan standar profesi yang ada. o. Perawat
wajib
memberikan
kesempatan
kepada
klien
untuk
menjalankan ibadahnya sesuai dengan agama atau kepercayaan masing-masing selama tidak mengganggu klien yang lainnya. p. Perawat didalam melakukan praktik mandiri dan / atau berkelompok di wajibkan untuk membantu program pemerintah. 2. Peraturan yang mengatur kewajiban perawat a. Permenkes 148 Tahun 2010 tentang Ijin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat, pasal 8, 9, 10, 12 b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, pasal 32 c. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan, pasal 37 dan 38 d. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan, pasal 26, pasal 58, 59, 60, 61, 62, pasal 66, pasal 70, pasal 73.
29
3. Sanksi jika perawat tidak memenuhi kewajiban Pertanggungjawaban
perawat
dalam
kewajibannya
sebagai
penyelenggaraan pelayanan kesehatan dapat dilihat berdasarkan tiga (3) bentuk pembidangan hukum yakni : a. Pertanggungjawaban secara hukum keperdataan, perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad) sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUH-Perdata dan perbuatan wanprestasi (contractual liability) sesuai dengan ketentuan Pasal 1239 KUH-Perdata. Dan Pertanggungjawaban perawat bila dilihat dari ketentuan dalam KUHPerdata maka dapat dikatagorikan ke dalam 4 (empat) prinsip sebagai berikut: 1) Pertanggungjawaban langsung dan mandiri (personal liability) berdasarkan Pasal 1365 BW dan Pasal 1366 BW. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka seorang perawat yang melakukan kesalahan
dalam
menjalankan
fungsi
independennya
yang
mengakibatkan kerugian pada pasien maka ia wajib memikul tanggungjawabnya secara mandiri. 2) Pertanggungjawaban dengan asas respondeat superior atau vicarious liability atau let's the master answer maupun khusus di ruang bedah dengan asas the captain of ship melalui Pasal 1367 BW. Bila dikaitkan dengan pelaksanaan fungsi perawat maka kesalahan yang terjadi dalam menjalankan fungsi interdependen perawat akan melahirkan bentuk pertanggungjawaban di atas. Sebagai bagian dari tim maupun orang yang bekerja di bawah perintah dokter/rumah sakit, maka perawat akan bersama-sama bertanggungjawab atas kerugian yang menimpa pasien. 3) Pertanggungjawaban dengan asas zaakwarneming (perbuatan mengurus kepentingan orang lain dengan tidak diminta oleh orang itu untuk mengurusi kepentingannya) berdasarkan Pasal 1354 BW. 4) Dalam hal ini konsep pertanggungjawaban terjadi seketika bagi seorang perawat yang berada dalam kondisi tertentu harus
30
melakukan pertolongan darurat dimana tidak ada orang lain yang berkompeten untuk itu. Perlindungan hukum dalam tindakan zaakwarneming perawat tersebut tertuang dalam Pasal 10 Permenkes No. 148 Tahun 2010. Perawat justru akan dimintai pertanggungjawaban hukum apabila tidak mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan dalam Pasal 10 tersebut. Gugatan berdasarkan wanprestasi seorang perawat akan dimintai pertanggungjawaban apabila terpenuhi unsur-unsur wanprestasi yaitu: 1) Tidak mengerjakan kewajibannya sama sekali; dalam konteks ini apabila seorang perawat tidak mengerjakan semua tugas dan kewenangan sesuai dengan fungsi, peran, maupun tindakan keperawatan. 2) Mengerjakan kewajiban tetapi terlambat; dalam hal ini apabila kewajiban sesuai fungsi tersebut dilakukan terlambat yang mengakibatkan kerugian pada pasien. Contoh kasus seorang perawat yang tidak membuang kantong urine pasien dengan kateter secara rutin setiap hari. Melainkan 2 hari sekali dengan ditunggu sampai penuh. Sehingga dari tindakan tersebut mengakibatkan pasien mengalami infeksi saluran kencing (ISK) dari kuman yang berasal dari urine yang tidak dibuang. 3) Mengerjakan
kewajiban
tetapi
tidak
sesuai
dengan
yang
seharusnya; suatu tugas yang dikerjakan asal-asalan. Sebagai contoh seorang perawat yang mengecilkan aliran air infus pasien di malam hari, tidak siap tanggap menjaga pasien rawat inap yang dalam penjagaan dan tanggungjawabnya di malam hari hanya karena tidak mau terganggu istirahatnya. 4) Mengerjakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan; dalam hal ini apabila seorang perawat melakukan tindakan medis yang tidak mendapat delegasi dari dokter, seperti menyuntik pasien tanpa perintah, menyuntik pasien tanpa kehati-hatian asal obat masuk saja, tanpa mempertimbangkan efek pemberian yang terlalu cepat
31
atau terlalu lambat dan cara pemberian yang benar sesuai dengan basic ilmu yang dimiliki, melakukan pemasangan infus dan menjahit luka pada pasien padahal dirinya belum terlatih dan tidak dalam pengawasan dokter. Apabila seorang perawat terbukti memenuhi unsur wanprestasi, maka pertanggungjawaban itu akan dipikul langsung oleh perawat yang bersangkutan sesuai personal liability. b. Hukum pidana Pertanggungjawaban secara hukum pidana seorang perawat baru dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terdapat unsur-unsur sebagai berikut; 1) Suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum ; dalam hal ini apabila
perawat
melakukan
pelayanan
kesehatan
di
luar
kewenangan yang tertuang dalam Pasal 8 Permenkes No. 148/2010, 2) Mampu bertanggung jawab, dalam hal ini seorang perawat yang memahami konsekuensi dan resiko dari setiap tindakannya dan secara kemampuan, telah mendapat pelatihan dan pendidikan untuk itu. Artinya seorang perawat yang menyadari bahwa tindakannya dapat merugikan pasien, 3) Adanya kesalahan (schuld) berupa kesengajaan (dolus) atau karena kealpaan (culpa), 4) Tidak adanya alasan pembenar atau alasan pemaaf; dalam hal ini tidak ada alasan pemaaf seperti tidak adanya aturan yang mengijinkannya melakukan suatu tindakan, ataupun tidak ada alasan pembenar. c. Hukum administrasi Secara prinsip, pertanggungjawaban hukum administrasi lahir karena adanya pelanggaran terhadap ketentuan hukum administrasi terhadap penyelenggaraan praktik perawat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
32
Permenkes No. 148/2010 telah memberikan ketentuan administrasi yang wajib ditaati perawat yakni: 1) Surat Izin Praktik Perawat bagi perawat yang melakukan praktik mandiri. 2) Penyelengaraan pelayanan kesehatan berdasarkan kewenangan yang telah diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 dengan pengecualian Pasal 10. 3) Kewajiban untuk bekerja sesuai standar profesi. Ketiadaan persyaratan administrasi di atas akan membuat perawat rentan
terhadap
gugatan
malpraktik.
Ketiadaan
SIPP
dalam
menjalankan penyelenggaraan pelayanan kesehatan merupakan sebuah administrative malpractice yang dapat dikenai sanksi hukum. Ada dua ketentuan tentang kewajiban izin tersebut untuk perawat yang bekerja di sebuah RS : 1) Pada UU Kesehatan dan UU RS disebutkan bahwa RS dilarang mempekerjakan karyawan/tenaga profesi yang tidak mempunyai surat izin praktik. 2) Sementara dalam Permenkes No. 148/2010 SIPP bagi perawat yang bekerja di RS (disebutkan dengan istilah fasilitas yankes di luar praktik mandiri) tidak diperlukan. Bentuk sanksi administrasi yang diancamkan pada pelanggaran hukum administrasi ini adalah teguran lisan, teguran tertulis, dan pencabutan izin. C. Aspek Rahasia Medik 1. Pihak yang wajib menjaga rahasia medik Yang wajib menyimpan rahasia medik. Disebutkan dalam PP No.10 tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Dokter, pasal 3 yang berbunyi: a. Tenaga kesehatan yang terdiri dari: 1) Tenaga medis : dokter dan dokter gigi 2) Tenaga keperawatan : perawat dan bidan. 3) Tenaga kefarmasian : apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
33
4) Tenaga kesehatan masyarakat : epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan,
mikrobiolog
kesehatan,
penyuluh
kesehatan,
administrator kesehatan dan sanitarian. 5) Tenaga gizi : nutrizionis dan dietisien 6) Tenaga keterapian fisik : fisioterapis, okupasiterapis, dan terapis wicara. 7) Tenaga keteknisian medis : radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi, dan perekam medis. (Lembaran Negara tahun 1963 No.78) b. Mahasiswa, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan, pengobatan dan atau perawatan orang lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan 2. Peraturan perundangan yang mengatur rahasia medik/rahasia jabatan Perlindungan terhadap hak rahasia medis ini dapat di lihat dalam peraturan perundang-undangan antara lain: a. Pasal 57 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatakan bahwa setiap orang berhak atas kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan b. Pasal 48 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran mengatakan bahwa setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktek kedokterannya wajib menyimpan rahasia kedokteran c. Pasal 32 (i) UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit mengatakan bahwa hak pasien untuk mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya d. PP Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan e. PP Nomor 10 Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran f. Permenkes Nomor 36 Tahun 2012 Tentang Rahasia Kedokteran g. Pasal 73 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan bahwa setiap Tenaga Kesehatan dalam melaksanakan
34
pelayanan kesehatan wajib menyimpan rahasia kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan 3. Sanksi membuka rahasia medik a. Sanksi pidana : KUHP Pasal 112, KUHP Pasal 322 KUHP Pasal 112 “Barangsiapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau
keteranganketerangan
dirahasiakan
untuk
yang
kepentingan
diketahuinya negara
atau
bahwa dengan
harus sengaja
memberitahukan atau memberikannya kepada negara asing, kepada seorang seorang raja atau suku bangsa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”. KUHP Pasal 322 (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka suatu rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pekerjaannya yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah (2) Jika kejahatan dilakukan pada seorang tertentu maka perbuatannya itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang tersebut b. Sanksi perdata : KUH Perdata Pasal 1365, KUH Perdata Pasal 1366, KUH Perdata Pasal 1367 KUH Perdata Pasal 1365 “Setiap perbuatan yang melanggar hukum yang berakibat kerugian bagi orang lain,mewajibkan orang yang karena kesalahannya mengakibatkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. KUH Perdata Pasal 1366 “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya” KUH Perdata Pasal 1367 “Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugain yang
35
disebabkan
karena
perbuatan
orang-orang
yang
menjadi
tanggungannya atau disebabkan karena perbuatan orang-orang yang berada dibawah pengawasannya”. c. Sanksi Administratif: undang-undang No.6 tahun 1963 pasal 11 d. Sanksi Sosial D. Aspek Informed Consent 1. Hak-hak pasien yang tercantum dalam Informed Consent a. Hak memperoleh informasi tentang dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan. b. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; c. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis d. Memberikan persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya; 2. Peraturan perundangan yang mengatur Informed Consent a. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan pasal 8 dan pasal 56 ayat 1 b. Undang Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, pasal 32 poin J dan point K c. Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran (UUPK) pasal 45 tentang persetujuan tindakan medis d. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan, pasal 70, 71 dan 72 e. Peraturan
Menteri
Kesehatan
290/MENKES/PER/III/2008
Republik
Tentang
Indonesia
Nomor
Persetujuan
Tindakan
dan
informasi
Kedokteran pasal 2 ayat 1 dan Pasal 2 ayat 3. 3. Peran perawat dalam Informed Consent Peran
perat
sebagai
advocator
pasien
sumber
(communicator) bagi pasien selama fase perawatan di rumah sakit. Client advocate yaitu perawat bertanggung jawab untuk membantu klien dan
36
keluarga dalam menginterpretasikan informasi dari berbagai pemberi pelayanan dan dalam memberikan informasi lain yang diperlukan untuk mengambil persetujuan (informed consent) atas tindakan keperawatan yang diberikan kepadanya. A client advocate is an advocate of client’s rights. Sedangkan educator yaitu sebagai pemberi pendidikan kesehatan bagi klien dan keluarga. E. Aspek Praktek Keperawatan 1. Pengertian praktek perawat a. Menurut Kepmenkes 1239/2001 Tentang Praktik Keperawatan, praktik keperawatan
adalah
melakukan
pengkajian,
penetapan
diagnosa
asuhan
keperawatan
keperawatan,
meliputi
perencanaan,
melaksanakan tindakan dan evaluasi. Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan atas permintaan tertulis dokter. Dan perawat yang memiliki SIPP dapat melakukan kunjungan rumah. b. Menurut UU 38/2014 Tentang Keperawatan : Praktek keperawatan adalah pelayanan yang diselenggarakan oleh Perawat dalam bentuk Asuhan Keperawatan. Asuhan Keperawatan adalah rangkaian interaksi Perawat dengan Klien dan lingkungannya untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan dan kemandirian Klien dalam merawat dirinya. Dengan demikian seorang perawat yang melaaksanakan profesinya harus menggunakan metode asuhan keperawatan yang terdiri dari : pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan dan evaluasi selama melakukan interaksi dengan klien. 2. Aspek etis praktek perawat a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen b. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia c. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan d. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 Tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja e. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI) 2000
37
f. Kode Etik Keperawatan Indonesia g. Kode Etik Kedokteran Indonesia 3. Aspek yuridis/hukum praktek perawat sesuai regulasi a. SE Dirjen Yan-Med No. HK. 00.06.5.1.311 Tentang Home Care Terdapat 23 tindakan keperawatan mandiri yang bisa dilakukan oleh perawat dalam kegiatan home care antara lain : 1) vital sign 2) memasang nasogastric tube 3) memasang selang susu besar 4) memasang cateter 5) penggantian tube pernafasan 6) merawat luka decubitus 7) suction 8) memasang peralatan O2 9) penyuntikan (IV,IM, IC,SC) 10) pemasangan infus maupun obat 11) pengambilan preparat 12) pemberian huknah/laksatif 13) kebersihan diri 14) latihan dalam rangka rehabilitasi medis 15) tranpostasi klien untuk pelaksanaan pemeriksaan diagnostik 16) pendidikan kesehatan 17) konseling kasus terminal 18) konsultasi/telepon 19) fasilitasi ke dokter rujukan 20) menyiapkan menu makanan 21) membersihkan tempat tidur pasien 22) fasilitasi kegiatan sosial pasien 23) fasilitasi perbaikan sarana klien.
38
b. Permenkes Nomor 269 Tahun 2008 Tentang Rekam Medis 1) Pasal 6 Dokter, dokter gigi dan/atau tenaga kesehatan tertentu bertanggung jawab atas catatan dan/atau dokumen yang dibuat pada rekam medis 2) Pasal 7 Sarana Pelayanan Kesehatan wajib menyediakan fasilitas yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan rekam medis. 3) Pasal 9 ayat (1) Rekam medis pada sarana pelayanan kesehatan non rumah sakit wajib disimpan sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung dari tanggal terakhir pasien berobat. 4) Pasal 10 ayat (1) Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan pasien harus dijaga kerahasiaannya oleh dokter, dokter gigi, tenaga kesehatan tertentu, petugas pengelola dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan. c. Undang-Undang 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan 1) Pasal 1 ayat (6) Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Ayat (11) Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara danmeningkatkan derajat kesehatan masyarakat
dalam
bentuk pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat. 2) Pasal 22 ayat (1) Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum. 3) Pasal
23
ayat
(1)
Tenaga
kesehatan
menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
39
berwenang
untuk
Ayat (2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki. Ayat (3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah. Ayat (4) Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi. 4) Pasal 24 ayat (1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional. 5) Pasal 27 ayat (1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. Ayat (2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. 6) Pasal 28 ayat (1) Untuk kepentingan hukum, tenaga kesehatan wajib melakukan pemeriksaan kesehatan atas permintaan penegak hukum dengan biaya ditanggung oleh negara. 7) Pasal 29 Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam
menjalankan
profesinya,
kelalaian
tersebut
harus
diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. 8) Pasal 34 ayat (2) Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang mempekerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi. 9) Pasal 49 ayat (2) Penyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan fungsi sosial, nilai, dan norma agama, sosial budaya, moral, dan etika profesi.
40
10) Pasal
54
ayat
(1)
Penyelenggaraan
pelayanan
kesehatan
dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif. d. PMK Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Perubahan PMK 148/2010 Tentang Ijin dan Penyelenggaraan Praktek Perawat 1) Pasal 2 ayat (1) Perawat dapat menjalankan praktik keperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Ayat (2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri dan/atau praktik mandiri. Ayat (3) Perawat yang menjalankan praktik mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpendidikan minimal Diploma III (D III) Keperawatan. 2) Pasal 3 ayat (1) Setiap Perawat yang menjalankan praktik keperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri wajib memiliki SIKP. Ayat (2) Setiap Perawat yang menjalankan praktik keperawatan di praktik mandiri wajib memiliki SIPP. Ayat (3) SIKP dan SIPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikeluarkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota dan berlaku untuk 1 (satu) tempat. 3) Pasal 5A Perawat hanya dapat menjalankan praktik keperawatan paling banyak di 1 (satu) tempat praktik mandiri dan di 1 (satu) tempat fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri. 4) Pasal 5B ayat (1) SIKP atau SIPP berlaku selama STR masih berlaku dan dapat diperbaharui kembali jika habis masa berlakunya. e. Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran 1) Pasal 2 ayat (1) Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
41
Ayat (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan. Ayat (3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan. 2) Pasal 3 ayat (1) Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus
memperoleh persetujuan tertulis
yang
ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Ayat (2) Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan. Ayat (3) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu. Ayat (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan setuju. Ayat (5) Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis. 3) Pasal 4 ayat (1) Dalam keadaan
gawat darurat, untuk
menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran. Ayat (2) Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat di dalam rekam medik. Ayat
(3)
Dalam
hal
dilakukannya
tindakan
kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat.
42
4) Pasal 5 ayat (1) Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan sebelum dimulainya tindakan. Ayat (2) Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan. Ayat (3) Segala akibat yang timbul dari pembatalan persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) menjadi tanggung jawab yang membatalkan persetujuan. 5) Pasal 6 Pemberian persetujuan tindakan kedokteran tidak menghapuskan tanggung gugat hukum dalam hal terbukti adanya kelalaian
dalam
melakukan
tindakan
kedokteran
yang
mengakibatkan kerugian pada pasien. 6) Pasal 7 ayat (1) Penjelasan tentang tindakan kedokteran harus diberikan langsung kepada pasien dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta. Ayat (2) Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar. 7) Pasal 9 ayat (1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus diberikan secara lengkap dengan bahasa yang mudah dimengerti atau cara lain yang bertujuan untuk mempermudah pemahaman. Ayat (2) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan didokumentasikan dalam berkas rekam medis oleh dokter atau dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan mencantumkan tanggal, waktu, nama, dan tanda tangan pemberi penjelasan dan penerima penjelasan. Ayat (3) Dalam hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa penjelasan tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan penjelasan, maka dokter atau dokter
43
gigi dapat memberikan penjelasan tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lain sebagai saksi. 8) Pasal 10 ayat (1) Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diberikan oleh dokter atau dokter gigi yang merawat pasien atau salah satu dokter atau dokter gigi dari tim dokter yang merawatnya. Ayat (2) Dalam hal dokter atau dokter gigi yang merawatnya berhalangan untuk memberikan penjelasan secara langsung, maka pemberian penjelasan harus didelegasikan kepada dokter atau dokter gigi lain yang kompeten. Ayat (3) Tenaga kesehatan tertentu dapat membantu memberikan penjelasan sesuai dengan kewenangannya. Ayat (4) Tenaga kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasien. 9) Pasal 11 ayat (1) Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan. Ayat (2) Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar daripada persetujuan. 10) Pasal 12 ayat (1) Perluasan tindakan kedokteran yang tidak terdapat indikasi sebelumnya, hanya dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien. Ayat (2) Setelah perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan, dokter atau dokter gigi harus memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarga terdekat. 11) Pasal 15 Dalam hal tindakan kedokteran harus dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan tindakan kedokteran tidak diperlukan.
44
f. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Pasal 13 ayat (3) Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan Rumah Sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien. g. PMK Nomor 36 Tahun 2012 Tentang Rahasia Kedokteran Pasal 4 ayat (1) Semua pihak yang terlibat dalam pelayanan kedokteran dan/atau menggunakan data dan informasi tentang pasien wajib menyimpan rahasia kedokteran. Ayat (2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. dokter dan dokter gigi serta tenaga kesehatan lain yang memiliki akses terhadap data dan informasi kesehatan pasien; b. pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan; c. tenaga yang berkaitan dengan pembiayaan pelayanan kesehatan; d. tenaga lainnya yang memiliki akses terhadap data dan informasi kesehatan pasien di fasilitas pelayanan kesehatan; e. badan hukum/korporasi dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan; dan f. mahasiswa/siswa yang bertugas dalam pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan/atau manajemen informasi di fasilitas pelayanan kesehatan. h. Permenkes Nomor 42 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Immunisasi Pasal 27 ayat (3) Dokter di puskesmas dapat mendelegasikan kewenangan pelayanan imunisasi kepada bidan dan perawat sesuai ketentuan
peraturan
perundang-undangan
untuk
melaksanakan
imunisasi wajib sesuai program Pemerintah. Ayat (4) Dalam hal di puskesmas tidak terdapat dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (3), bidan dan perawat dapat melaksanakan imunisasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (5) Dalam hal suatu daerah tidak terdapat tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) maka pelayanan imunisasi dapat dilaksanakan oleh tenaga terlatih.
45
i. Permenkes Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Registrasi Tenaga Kesehatan 1) Pasal 2 ayat (1) Setiap Tenaga Kesehatan yang akan menjalankan praktik dan/atau pekerjaan keprofesiannya wajib memiliki izin dari Pemerintah. Ayat (2) Untuk memperoleh izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlukan STR. Ayat (3) STR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikeluarkan oleh MTKI dan berlaku secara nasional. Ayat (4) Untuk memperoleh STR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Tenaga Kesehatan harus memiliki Sertifikat Kompetensi. 2) Pasal 3 ayat (1) Sertifikat Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) diberikan kepada peserta didik setelah dinyatakan lulus Uji Kompetensi oleh perguruan tinggi bidang kesehatan yang memiliki izin penyelenggaraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3) Pasal 4 ayat (1) STR berlaku sejak tanggal dikeluarkan dan berakhir pada tanggal lahir Tenaga Kesehatan yang bersangkutan di tahun kelima. Ayat (2) STR dapat diperpanjang setiap 5 (lima) tahun setelah memenuhi persyaratan. Ayat (3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. pengabdian diri sebagai tenaga profesi atau vokasi di bidang kesehatan; dan b. pemenuhan kecukupan dalam kegiatan pelayanan, pendidikan, pelatihan, dan/atau kegiatan ilmiah lainnya. Ayat (4) Jumlah satuan kredit profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b untuk setiap kegiatan ditetapkan oleh MTKI atas usulan dari organisasi profesi. 4) Pasal 5 ayat (1) Pengabdian diri sebagai tenaga profesi atau vokasi di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (3)
46
huruf a dibuktikan dengan: a. keterangan kinerja dari institusi tempat bekerja, atau keterangan praktik dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota; b. Surat izin Praktik atau Surat Izin Kerja; dan c. rekomendasi dari organisasi profesi. 5) Pasal 6 Dalam hal Tenaga Kesehatan tidak dapat memenuhi ketentuan persyaratan perpanjangan STR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), maka Tenaga Kesehatan tersebut harus mengikuti evaluasi kemampuan yang dilaksanakan oleh organisasi profesi bekerja sama dengan MTKI. j. Permenkes Nomor 49 Tahun 2013 Tentang Komite Keperawatan Rumah Sakit 1) Pasal 4 ayat (1) untuk mewujudkan tata kelola klinis yang baik sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, semua asuhan keperawatan dan asuhan kebidanan yang dilaksanakan oleh setiap tenaga keperawatan di Rumah Sakit dilakukan atas Penugasan Klinis dari Kepala/Direktur Rumah Sakit. Ayat (2) Penugasan kilnis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa pemberian Kewenangan Klinis tenaga keperawatan oleh Kepala/Direktur Rumah Sakit melalui penerbitan Surat Penugasan Klinis kepada tenaga keperawatan yang bersangkutan. 2) Pasal 10 ayat (2) Subkomite Kredensial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bertugas merekomendasikan Kewenangan Klinis yang adekuat sesuai kompetensi yang dimiliki tenaga keperawatan. k. Permenkes Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Klinik 1) Pasal 11 ayat (1) Ketenagaan Klinik rawat jalan terdiri atas tenaga medis, tenaga keperawatan, Tenaga Kesehatan lain, dan tenaga non kesehatan sesuai dengan kebutuhan. Ayat (2) Ketenagaan Klinik rawat inap terdiri atas tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga gizi, tenaga analis
47
kesehatan, Tenaga Kesehatan lain dan tenaga non kesehatan sesuai dengan kebutuhan. 2) Pasal 14 Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Klinik harus bekerja
sesuai
dengan
standar
profesi,
standar
prosedur
operasional, standar pelayanan, etika profesi, menghormati hak pasien, serta mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien. 3) Pasal 32 ayat (1) Klinik menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan
yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif. Ayat (2) Pelayanan kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk rawat jalan, rawat inap, pelayanan satu hari (one day care) dan/atau home care. Ayat (3) Pelayanan satu hari (one day care) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pelayanan yang dilakukan untuk pasien yang sudah ditegakkan diagnosa secara definitif dan perlu mendapat tindakan atau perawatan semi intensif (observasi) setelah 6 (enam) jam sampai dengan 24 (dua puluh empat) jam. Ayat (4) Home care sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bagian atau lanjutan dari pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dan komprehensif yang diberikan kepada individu dan keluarga di tempat tinggal mereka yang bertujuan untuk meningkatkan, mempertahankan atau memulihkan kesehatan atau memaksimalkan tingkat kemandirian dan meminimalkan dampak penyakit l. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan 1) Pasal 26 ayat (1) Tenaga Kesehatan yang telah ditempatkan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib melaksanakan tugas sesuai dengan Kompetensi dan kewenangannya. 2) Pasal 27 ayat (1) Tenaga Kesehatan yang diangkat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat dipindahtugaskan antar provinsi,
48
antar kabupaten, atau antar kota karena alasan kebutuhan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau promosi. Ayat (2) Tenaga Kesehatan yang bertugas di daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan serta daerah bermasalah kesehatan memperoleh hak kenaikan pangkat istimewa dan pelindungan dalam pelaksanaan tugas. 3) Pasal 28 ayat (3) Tenaga Kesehatan yang diangkat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah di daerah khusus berhak mendapatkan fasilitas tempat tinggal atau rumah dinas yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. 4) Pasal 30 ayat (1) Pengembangan Tenaga Kesehatan diarahkan untuk meningkatkan mutu dan karier Tenaga Kesehatan. Ayat (2) Pengembangan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan serta kesinambungan dalam menjalankan praktik. Ayat (3) Dalam rangka pengembangan Tenaga Kesehatan, kepala daerah dan pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan bertanggung jawab atas pemberian kesempatan yang sama kepada Tenaga Kesehatan dengan mempertimbangkan penilaian kinerja. 5) Pasal 32 ayat (1) Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia
ke
luar
negeri
dapat
dilakukan
dengan
mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan Tenaga Kesehatan di Indonesia dan peluang kerja bagi Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia di luar negeri. 6) Pasal 44 ayat (1) Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik wajib memiliki STR. 7) Pasal 46 ayat (1) Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik di bidang pelayanan kesehatan wajib memiliki izin. Ayat (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk SIP.
49
8) Pasal 47 Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik mandiri harus memasang papan nama praktik. 9) Pasal 48 ayat (1) Untuk terselenggaranya praktik tenaga kesehatan yang bermutu dan pelindungan kepada masyarakat, perlu dilakukan pembinaan praktik terhadap tenaga kesehatan. Ayat (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri bersama-sama dengan Pemerintah Daerah, konsil masing-masing Tenaga Kesehatan, dan Organisasi Profesi sesuai dengan kewenangannya. 10) Pasal 50 ayat (1) Tenaga Kesehatan harus membentuk Organisasi Profesi
sebagai
wadah
untuk
meningkatkan
dan/atau
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, martabat, dan etika profesi Tenaga Kesehatan 11) Pasal 57 Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak: a. memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional; b. memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau keluarganya;
c.
menerima
imbalan
jasa;
d.
memperoleh
pelindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai agama; e. mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesinya; f. menolak keinginan Penerima Pelayanan Kesehatan atau pihak lain yang bertentangan dengan Standar Profesi, kode etik, standar pelayanan, Standar Prosedur Operasional, atau ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan g. memperoleh
hak
lain
sesuai
dengan
ketentuan
Peraturan
Perundang-undangan. 12) Pasal 58 ayat (1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik wajib: a. memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional,
50
dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan; b. memperoleh persetujuan dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau keluarganya atas tindakan yang akan diberikan; menjaga kerahasiaan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan; d. membuat dan menyimpan catatan dan/atau dokumen tentang pemeriksaan, asuhan, dan tindakan yang dilakukan; dan e. merujuk Penerima Pelayanan Kesehatan ke Tenaga Kesehatan lain yang mempunyai Kompetensi dan kewenangan yang sesuai. Ayat (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf d hanya berlaku bagi Tenaga Kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan perseorangan 13) Pasal 59 ayat (1) Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib memberikan pertolongan pertama kepada Penerima Pelayanan Kesehatan dalam keadaan gawat darurat dan/atau pada bencana untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan. Ayat (2) Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak Penerima Pelayanan Kesehatan dan/atau dilarang meminta uang muka terlebih dahulu. 14) Pasal 60 Tenaga Kesehatan bertanggung jawab untuk: a. mengabdikan diri sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki; b. meningkatkan Kompetensi; c. bersikap dan berperilaku sesuai dengan etika profesi; d. mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi atau kelompok; dan e. melakukan kendali
mutu
pelayanan
dan
kendali
biaya
dalam
menyelenggarakan upaya kesehatan. 15) Pasal 61 Dalam menjalankan praktik, Tenaga Kesehatan yang memberikan pelayanan langsung kepada Penerima Pelayanan Kesehatan harus melaksanakan upaya terbaik untuk kepentingan Penerima Pelayanan Kesehatan dengan tidak menjanjikan hasil.
51
16) Pasal 62 ayat (1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik harus dilakukan sesuai dengan kewenangan yang didasarkan pada Kompetensi yang dimilikinya. Ayat (2) Jenis Tenaga Kesehatan tertentu yang memiliki lebih dari satu jenjang pendidikan memiliki kewenangan profesi sesuai dengan lingkup dan tingkat Kompetensi. 17) Pasal 63 ayat (1) Dalam keadaan tertentu Tenaga Kesehatan dapat memberikan pelayanan di luar kewenangannya. 18) Pasal 65 ayat (1) Dalam melakukan pelayanan kesehatan, Tenaga Kesehatan dapat menerima pelimpahan tindakan medis dari tenaga medis. 19) Pasal 66 ayat (1) Setiap Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berkewajiban untuk mematuhi Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional. 20) Pasal 67 ayat (1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik dapat melakukan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan. 21) Pasal
68
ayat
(1)
Setiap
tindakan
pelayanan
kesehatan
perseorangan yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan harus mendapat persetujuan. Ayat (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapat penjelasan secara cukup dan patut. Ayat (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup: a. tata cara tindakan pelayanan; b. tujuan tindakan pelayanan yang dilakukan; c. alternatif tindakan lain; d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Ayat (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan, baik secara tertulis maupun lisan.
52
Ayat (5) Setiap tindakan Tenaga Kesehatan yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. 22) Pasal 69 ayat (1) Pelayanan kesehatan masyarakat harus ditujukan untuk kepentingan masyarakat dan tidak melanggar hak asasi manusia. Ayat (2) Pelayanan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang merupakan program Pemerintah tidak memerlukan persetujuan tindakan. Ayat (3) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap harus diinformasikan kepada masyarakat Penerima Pelayanan Kesehatan tersebut. 23) Pasal 70 ayat (1) Setiap Tenaga Kesehatan yang melaksanakan pelayanan kesehatan perseorangan wajib membuat rekam medis Penerima Pelayanan Kesehatan. Ayat
(2)
Rekam
medis
Penerima
Pelayanan
Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah Penerima Pelayanan Kesehatan selesai menerima pelayanan kesehatan. Ayat (3) Setiap rekam medis Penerima Pelayanan Kesehatan harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan atau paraf Tenaga Kesehatan yang memberikan pelayanan atau tindakan. Ayat
(4)
Rekam
medis
Penerima
Pelayanan
Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh Tenaga Kesehatan dan pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan. 24) Pasal 73 ayat (1) Setiap Tenaga Kesehatan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan wajib menyimpan rahasia kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan.
53
25) Pasal 74 Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang mengizinkan Tenaga Kesehatan yang tidak memiliki STR dan izin untuk menjalankan praktik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. 26) Pasal 75 Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak mendapatkan pelindungan hukum sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 27) Pasal 77 Setiap Penerima Pelayanan Kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau kelalaian Tenaga Kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 28) Pasal 78 Dalam hal Tenaga Kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya yang menyebabkan kerugian kepada penerima pelayanan kesehatan, perselisihan yang timbul akibat kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 29) Pasal 79 Penyelesaian perselisihan antara Tenaga Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. m. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan 1) Pasal 2 Praktik Keperawatan berasaskan: a. perikemanusiaan; b. nilai ilmiah; c. etika dan profesionalitas; d. manfaat; e. keadilan; f. pelindungan; dan g. kesehatan dan keselamatan Klien. 2) Pasal 17 Untuk melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Perawat, Menteri dan Konsil Keperawatan bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan mutu Perawat sesuai dengan kewenangan masing-masing. 3) Pasal 18 ayat (1) Perawat yang menjalankan Praktik Keperawatan wajib memiliki STR. 4) Pasal 19 ayat (1) Perawat yang menjalankan Praktik Keperawatan wajib memiliki izin.
54
Ayat (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk SIPP. 5) Pasal 21 Perawat yang menjalankan praktik mandiri harus memasang papan nama Praktik Keperawatan 6) Pasal 27 ayat (1) Perawat warga negara Indonesia lulusan luar negeri yang akan melakukan Praktik Keperawatan di Indonesia harus mengikuti proses evaluasi kompetensi. 7) Pasal 28 ayat (1) Praktik Keperawatan dilaksanakan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan tempat lainnya sesuai dengan Klien sasarannya. Ayat (2) Praktik Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Praktik Keperawatan mandiri; dan b. Praktik Keperawatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Ayat (3) Praktik Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada kode etik, standar pelayanan, standar profesi, dan standar prosedur operasional. Ayat (4) Praktik Keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada prinsip kebutuhan pelayanan kesehatan dan/atau Keperawatan masyarakat dalam suatu wilayah 8) Pasal 29 ayat (1) Dalam menyelenggarakan Praktik Keperawatan, Perawat bertugas sebagai: a. pemberi Asuhan Keperawatan; b. penyuluh dan konselor bagi Klien; c. pengelola Pelayanan Keperawatan; d. peneliti Keperawatan; e. pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang; dan/atau f. pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu. Ayat (2) Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan secara bersama ataupun sendiri-sendiri. Ayat (3) Pelaksanaan tugas Perawat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan secara bertanggung jawab dan akuntabel.
55
9) Pasal 32 ayat (1) Pelaksanaan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e hanya dapat diberikan secara tertulis oleh tenaga medis kepada Perawat untuk melakukan sesuatu tindakan medis dan melakukan evaluasi pelaksanaannya. Ayat (2) Pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara delegatif atau mandat. Ayat (3) Pelimpahan wewenang secara delegatif untuk melakukan sesuatu tindakan medis diberikan oleh tenaga medis kepada Perawat dengan disertai pelimpahan tanggung jawab. Ayat (4) Pelimpahan wewenang secara delegatif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat diberikan kepada Perawat profesi atau Perawat vokasi terlatih yang memiliki kompetensi yang diperlukan. Ayat (5) Pelimpahan wewenang secara mandat diberikan oleh tenaga medis kepada Perawat untuk melakukan sesuatu tindakan medis di bawah pengawasan. Ayat (6) Tanggung jawab atas tindakan medis pada pelimpahan wewenang mandat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berada pada pemberi pelimpahan wewenang. 10) Pasal 36 Perawat dalam melaksanakan Praktik Keperawatan berhak:
a.
memperoleh
pelindungan
hukum
sepanjang
melaksanakan tugas sesuai dengan standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; b. memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur dari Klien dan/atau keluarganya; c. menerima imbalan jasa atas Pelayanan Keperawatan yang telah diberikan; d. menolak keinginan Klien atau pihak lain yang bertentangan dengan kode etik, standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, atau ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan e. memperoleh fasilitas kerja sesuai dengan standar.
56
11) Pasal 37 Perawat dalam melaksanakan Praktik Keperawatan berkewajiban: a. melengkapi sarana dan prasarana Pelayanan Keperawatan sesuai dengan standar Pelayanan Keperawatan dan ketentuan
Peraturan
Perundang-undangan;
b.
memberikan
Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar Pelayanan
Keperawatan,
standar
profesi,
standar
prosedur
operasional, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; c. merujuk Klien yang tidak dapat ditangani kepada Perawat atau tenaga kesehatan lain yang lebih tepat sesuai dengan lingkup dan tingkat
kompetensinya;
d.
mendokumentasikan
Asuhan
Keperawatan sesuai dengan standar; e. memberikan informasi yang lengkap, jujur, benar, jelas, dan mudah dimengerti mengenai tindakan Keperawatan kepada Klien dan/atau keluarganya sesuai dengan
batas
kewenangannya;
f.
melaksanakan
tindakan
pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain yang sesuai dengan kompetensi Perawat; dan g. melaksanakan penugasan khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah. 12) Pasal 53 ayat (1) Pengembangan Praktik Keperawatan dilakukan melalui pendidikan formal dan pendidikan nonformal atau pendidikan berkelanjutan. Ayat (2) Pengembangan Praktik Keperawatan bertujuan untuk mempertahankan atau meningkatkan keprofesionalan Perawat. Ayat (3) Pendidikan nonformal atau pendidikan berkelanjutan sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
ditempuh
setelah
menyelesaikan pendidikan Keperawatan. Ayat (4) Dalam hal meningkatkan keprofesionalan Perawat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dalam memenuhi kebutuhan pelayanan, pemilik atau pengelola Fasilitas Pelayanan Kesehatan
harus
memfasilitasi
pendidikan berkelanjutan.
57
Perawat
untuk
mengikuti
Ayat (5) Pendidikan nonformal atau pendidikan berkelanjutan dapat diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Organisasi Profesi Perawat, atau lembaga lain yang terakreditasi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Ayat (6) Pendidikan nonformal atau pendidikan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan Praktik Keperawatan yang didasarkan pada standar pelayanan, standar profesi, dan standar prosedur operasional. 13) Pasal 55 Pemerintah, Pemerintah Daerah, Konsil Keperawatan, dan Organisasi Profesi membina dan mengawasi Praktik Keperawatan sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing. 4. Jenis-jenis praktek perawat Menurut UU 38/2014 Tentang Keperawatan, terdapat beberapa jenis praktek keperawatan, yaitu : a. Praktik keperawatan mandiri 1) Praktik perawat mandiri (UU 38/2014 Tentang Keperawatan) 2) Praktik keperawatan di rumah/Home care (SK Dirjen Yan-Med Nomor HK. 00.06.5.1.311 Tentang Home Care) 3) Praktik keperawatan di masyarakat (PMK No. 75 Tahun 2014 Tentang Puskesmas) b. Praktik keperawatan di fasilitas pelayanan kesehatan 1) Klinik (PMK No. 9/2014 Tentang Klinik) 2) Rumah Sakit (UU No. 44/2009 Tentang Rumah Sakit dan PMK No. 49/2013 Tentang Komite Keperawatan Rumah Sakit) 3) Puskesmas (PMK No. 75 Tahun 2014 Tentang Puskesmas)
58
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan 1. Regulasi sebagai produk kebijakan harus dilihat secara terintegrasi agar memperoleh sudut pandang yang utuh terhadap berbagai macam regulasi yang sudah diterbitkan oleh pemerintah dalam hal pelayanan keperawatan. Untuk itu perlu dilakukan ekstraksi dan sintesis gagasan-gagasan penting dari berbagai regulasi untuk melihat hal-hal penting dan mendasar yang mengemuka. 2. Peraturan perundangan sebagai produk kebijakan kesehatan yang berhubungan dengan praktik kesehatan telah tersedia baik pada tatanan undang-undang, peraturan pemerintah dan/atau peraturan presiden, peraturan menteri hingga keputusan menteri. Inventarisasi terhadap peraturan perundangan yang berhubungan dengan keperawatan itu akan membantu perawat dalam membuat keputusan klinik secara etik dan legal. 3. Perawat yang akan melaksanakan praktik profesional pada tatanan pelayanan wajib teregistrasi dan terlisensi dengan keahlian yang berhubungan
dengan
keperawatan.
Dalam
melaksanakan
praktik
keperawatan, perawat wajib menghormati dan memenuhi hak-hak pasien dan memenuhi kewajiban-kewajiban seperti : melakukan registrasi, memiliki lisensi, menjaga rahasia, melakukan informed consent, dan menyelenggarakan rekam medik. B. Saran 1. Mengingat telah berkembangnya produk-produk hukum yang berhubungan dengan
kesehatan
maka
sudah
sepantasnya
perawat
melakukan
inventarisasi peraturan perundangan tersebut untuk membantu dalam pengambilan keputusan klinis dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien sebab salah satu ciri profesional adalah mampu bertindak secara etik dan legal menurut peraturan perundangan yang berlaku.
59
2. Dengan telah diidentifikasinya peraturan perundangan pada berbagai tingkatan maka disarankan perawat mencermati peraturan perundangan yang tidak menguntungkan perawat atau bahkan merugikan bagi perawat untuk dapat dilakukan advokasi baik pada tingkat kebijakan umum maupun kebijakan teknis.
60
DAFTAR PUSTAKA
1. Anne, Ahira. 2012. Konsep dan Implementasi Analisis Kebijakan Kesehatan (online) http://www.AnneAhira.com/artikel 2. Surya Utama. 2012. Dasar-Dasar Analisis Kebijakan Kesehatan (online) http://repository.usu.ac.id/ 3. Juanita. 2012. Kesehatan dan Pembangunan Nasional (online) http://repository.usu.ac.id/ 4. Departemen Kesehatan RI. 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta : Departemen Kesehatan RI 5. http://id.wikipedia.org/wiki/Pengambilan_keputusan 6. http://www.jurnalmedika.com/edisi-terbaru/617-dari-redaksi/1381-pedulimasalah-kesehatan-jiwa 7. http://faperta.ugm.ac.id/articles/kesehatan_jiwa.pdf 8. http://www.depkes.go.id/article/print/201410270011/stop-stigma-dandiskriminasi-terhadap-orang-dengan-gangguan-jiwa-odgj.html 9. http://kebijakankesehatanindonesia.net/component/content/article/75
61