BAB II UJI KEKERASAN 2.1 PENDAHULUAN 2.1.1 Latar Belakang Makna nilai kekerasan suatu material berbeda untuk kelompok bidang ilmu yang berbeda. Bagi insinyur metalurgi nilai kekerasan adalah ketahanan material terhadap penetrasi sementara untuk para insinyur disain nilai tersebut terse but adalah ad alah ukuran u kuran dari da ri tegangan t egangan alir, untuk insinyur i nsinyur Lubri ubrika kasi si kekerasan berarti ketahanan terhadap mekanisme keausan, untuk para insinyur mineralogi nilai Itu adalah ketahanan terhadap goresan, dan untuk para mekanik mekani k work-shop lebih bermakna ber makna Kepa Kepada da ketahanan ketahan an material materi al terhadap pemotongan dari alat potong. Begitu banyak konsep kekerasan mate materr ial yang dipahami di pahami oleh kelompok kel ompok ilmu, ilmu , walaupun walau pun demikian demiki an konsepkonsep konsep tersebut dapat. Dihubungkan pada satu mekanisme yaitu tegangan alir plastis dari material yang diuji. Uji keras merupakan pengujian yang paling efektif karena dengan pengujian ini, kita dapat dengan mudah mengetahui gambaaran sifat mekanis suatu material. Meskipun pengukuran hanya dilakukan pada suatu titik, atau daerah tertentu saja, nilai kekerasan cukup valid untuk menyatakan kekuatan suatu material. Dengan dengan melakukan uji keras, material dapat dengan mudah di golongkan sebagai material ulet atau getas . Uji keras juga dapat digunakan sebaagai salah satu metode untuk mengetahui pengaruh perlakuan panas atau dingin terhadap material. Material yang teah mengalami cold working, hot working, dan heat treatment, dapat diketahui gambaran perubahan kekuatannya, dengan mengukur kekerasan permuakaan suatu material. Oleh sebab itu, dengan uji keras kita sapat dengan mudah melakukan quality control terhadap control terhadap material.
2.1.2 Tujuan Praktikum Mahasiswa dapat melakukan pengujian kekerasan material: 1. Praktikan dapat melakukan percobaan pengujian kekerasan material. 2. Praktikan
dapat
memperoleh
angka
kekerasan
material
dengan
menggunakan metode Rockwell. 3. Praktikan dapat membedakan kekerasan material antara : a. Material non-perlakuan: 1. Alumunium, 2. Kuningan, 3. Tembaga, 4. Baja ST-40, 5. Baja ST-60, 6. Besi cor. b. Material yang mendapat perlakuan panas dengan pendinginan pendinginan udara : 1. Baja ST-40, 2. Baja ST-60, 3. Besi cor. c. Material yang mendapat perlakuan panas dengan pendinginan pendinginan air : 1. Baja ST-40, 2. Baja ST-60, 3. Besi cor.
2.1.3 Manfaat Praktikum A. Manfaat pengujian bagi praktikan: 1. Mengetahui
hasil
pengerasan
logam
yang
telah
mengalami
pengujiankekerasan 2. Mengetahui perbedaan antara pengujian kekerasan Brinell dengan Vickers 3. Dapat melakukan perhitungan pada suatu bahan yang telah melakukan pengujian kekerasan
2.1.2 Tujuan Praktikum Mahasiswa dapat melakukan pengujian kekerasan material: 1. Praktikan dapat melakukan percobaan pengujian kekerasan material. 2. Praktikan
dapat
memperoleh
angka
kekerasan
material
dengan
menggunakan metode Rockwell. 3. Praktikan dapat membedakan kekerasan material antara : a. Material non-perlakuan: 1. Alumunium, 2. Kuningan, 3. Tembaga, 4. Baja ST-40, 5. Baja ST-60, 6. Besi cor. b. Material yang mendapat perlakuan panas dengan pendinginan pendinginan udara : 1. Baja ST-40, 2. Baja ST-60, 3. Besi cor. c. Material yang mendapat perlakuan panas dengan pendinginan pendinginan air : 1. Baja ST-40, 2. Baja ST-60, 3. Besi cor.
2.1.3 Manfaat Praktikum A. Manfaat pengujian bagi praktikan: 1. Mengetahui
hasil
pengerasan
logam
yang
telah
mengalami
pengujiankekerasan 2. Mengetahui perbedaan antara pengujian kekerasan Brinell dengan Vickers 3. Dapat melakukan perhitungan pada suatu bahan yang telah melakukan pengujian kekerasan
B.
Manfaat pengujian bagi dunia industri: 1. Dapat menentukan tingkat kekerasan suatu produk yang digunakan dalam industri 2. Dapat menentukan unsur dari logam untuk digunakan dalam pembuatan p r od uk 3. Memudahkan dalam pemliharaan bahan yang akan digunakan pada proses pemeliharaan
2.1 DASAR TEORI 2.2.1 Pengertian Kekerasan Kekerasan (Hardness) adalah salah satu sifat mekanik (Mechanical properties) dari suatu material. Kekerasan suatu material harus diketahui khususnya untuk material yang dalam penggunaanya akan mangalami pergesekan (frictional force), dalam hal ini bidang keilmuan yang berperan penting
mempelajarinya
adalah
Ilmu
Bahan
Teknik
(Metallurgy
Engineering). Kekerasan didefinisikan sebagai kemampuan suatu material untuk menahan beban identasi atau penetrasi (penekanan). Didunia teknik, umumnya pengujian kekerasan menggunakan 4 macam metode pengujian kekerasan, yakni : 1. Brinnel (HB / BHN) 2. Rockwell (HR / RHN) 3. Vikers (HV / VHN) 4. Micro Hardness (Namun jarang sekali dipakai-red) Pemilihan masing-masing skala (metode pengujian) tergantung pada : a. Permukaan material b. Jenis dan dimensi material c. Jenis data yang diinginkan d. Ketersedian alat uji
2.2.2 Pengujian Kekerasan Terdapat tiga jenis umum mengenai ukuran kekerasan yang tergantung cara melakukan pengujian yaitu: A. Metode goresan ( scratch hardness) hardness) Metode goresan merupakan perhatian utama para ahli mineral. Pengukuran kekerasan berbagai mineral dan bahan-bahan yang lain, disusun berdasarkan kemampuan goresan satu sama yang lain. Ada beberapa metode dalam pengujian kekerasan antara lain: a.
Metode skala Mohs skala Mohs Metode Mohs disebut juga metode abrasi atau uji kekerasan. Skala ini terdiri atas 10 standar mineral disusun berdasarkan kemampuannya untuk digores, seperti tampak pada Tabel 2.1. Mineral yang paling lunak pada skala ini adalah talk (kekerasan gores 1), sedangkan intan mempunyai kekerasan 10. Skala Mohs tidak cocok untuk logam, karena interval skala interval skala pada nilai kekerasan tinggi tidak benar. Logam yang paling keras mempunyai harga kekerasan pada skala Mohs, antara 4 sampai 8. Pengujian ini digunakan untuk mengukur kekerasan batuan. Prinsip kerjanya adalah mineral atau batuan digores dengan mineral lain yang memiliki kekerasan tinggi.
Tabel 2.1 Skala Mohs Material standar Mohs
Material lain
Angka Kekerasan Skala Mohs
Knoop
1
2
1 s/d 2
5
2
32
2 s/d 3
40
3
120
3 s/d 4
100
Fluorite
4
150
Apatite
5
400
Feldspar
6
560
Talc Pb Gypsum Cu Calcite Mild Steel
W
7
Quartz Martensitic steel
7
700
7 s/d 8
700
8
1300
8
1800
9
1800
9 s/d 10
1800
10
6000
Topaz Hard Cr Plating Corundum WC Diamond
(Vander Voort,George. Metallography)
b.
Metode Jarum Penggores dari Intan Metode ini dilakukan dengan cara mengukur kedalaman atau lebar goresan pada permukaan benda uji yang dibuat oleh jarum penggores yang terbuat dari intan. Beban sebesar 3 kgf digunakan dan lebar goresan diukur melalui mikroskop dengan rumus:
dimana H = nilai kekerasan goresan d = lebar goresan dalam mikrometer.
B. Metode lekukan ( indentation hardness ) Dari ketiga cara pengujian kekerasan, indentation hardness adalah yang banyak digunakan. Pengetesan ini dapat dilakukan terhadap logam hasil perlakuan panas ( Heat treatment ). Identation hardness terdiri dari: 1. Metode Brinell Metode ini pertama kali dilakukan oleh Brinell pada tahun 1900. Metode ini berupa pengidentasian sejumlah beban terhadap permukaan material dengan
penetrator yang digunakan berupa bola baja yang
dikeraskan dengan diameter 10 mm dan standar bebanya antara 0.97 s.d 3000 kgf. Pembebanan dilakukan dengan standar waktu, biasanya 30 deti k. Kekerasan yang diberikan merupakan hasil bagi beban penekan dengan luas permukaan lekukan bekas penekan dari bola baja. Dapat dirumuskan dengan (Dieter, Goerge . Mechanical Metallurgy)
()√
dimana : BHN= nilai kekerasan brinell P
= beban yang diterapkan (kg)
D
= diameter bola (mm)
d
= diameter lekukan (mm)
Gambar 2.1 Brinell Tester ( lab metfis undip )
Tabel 2.2 Standar Uji Brinell (ASTM 10) Diameter Bola
Beban (kgf)
Angka Kekerasan yang
(mm)
Disarankan (HB)
10
3000
96-600
10
1500
48-300
10
500
16-100 (Vander Voort,George. Metallography)
2. Metode Rockwell Metode pengujian kekerasan
Rockwell merupakan metode yang
paling sering digunakan unutk mengukur kekerasan karena metode ini mudah dipraktekkan dan tidak membutuhkan keahlian khusus. Beberapa skala yang berbeda dapat digunakan unutk kombinasi yang mungkin dari bermacam – macam indenter dan beban yang berbeda-beda. Indenter ( penekan) terdiri dari bola baja yang dikeraskan mempunyai diameter antara 1/16, 1/8, ¼, dan ½ in (1.588, 3.175, 6.350, dan 12.70 mm), dan penekan intan yang berbentuk kerucut yang digunakan untuk material yang sangat keras. Dengan metode ini, angka kekerasan dapat ditentukan melalui perbedaan kedalaman dari hasil penekanan dari penerapan beban awal minor dan diikuti oleh beban mayor, penggunaan beban minor dapat mempertinggi akurasi dari pengujian. Berdasarkan besar beban dari minor maupun mayor, ada dua tipe pengujian yaitu Rockwell dan Superficial Rockwell. Untuk Rockwell, beban minor adalah 10kgf, dimana beban mayor adalah 60, 100, dan 150 kgf. Masing – masing skala diwakili oleh huruf – huruf alphabet yang ada di tabel. Untuk Superficial Rockwell, beban minornya 3 kgf dan beban mayornya 15, 30, dan 45 kgf. Skala ini diidentifikasi dengan 15, 30, atau 45 (berdasarkan beban) diikuti dengan
N, T, W, X, atau Y, tergantung pada penekan. Pengujian Superficial biasanya digunakan untuk spesimen spesimen tipis. Ketika menentukan kekerasan Rockwell dan Superficial, angka kekerasan dan skalanya harus ditunjukan. Skala ditunjukan dengan simbol HR diikuti dengan penunjukan skala yang tepat. Contohnya 80 HRB menunjukan kekerasan Rockwell 80 pada skala B dan 60HR30W menunjukan kekerasan Superficial 60pada skala 30W. Untuk masing – masing skala kekerasannya dapat mencapai 130, namun nilai kekerasan meningkat diatas 100 atau menurun dibawah 20 pada skala s kala berapapun, mereka menjadi tidak akurat. Ketidakakuratan juga dapat dialami jika spesimen terlalu tipis. Ketebalan spesimen seharusnya paling tidak 10 kali dari kedalaman penekanan. penekanan.
Gambar 2.2 Alat Uji Kekerasan Rockwell dan Proses Pengujian Rockwell ( lab metfis undip )
Tabel 2.3 Skala Kekerasan Rockwell Skala
A
Beban Mayor (Kgf) 60
Tipe Indentor
Tipe Material Uji
1/16” bola intan
Sangat keras, tungsten,
kerucut
karbida Kekerasan sedang, baja
B
100
1/16” bola
karbon rendah dan sedang, kuningan, perunggu Baja keras, paduan yang
C
150
Intan kerucut
dikeraskan, baja hasil tempering Besi cor, paduan
D
100
1/8” bola
alumunium, magnesium yg dianealing
E
100
Intan Kerucut
Baja kawakan
F
60
1/16” bola
G
150
1/8” bola
H
60
1/8” bola
K
150
¼” bola
L
60
¼” bola
Plastik, logam lunak
M
100
¼” bola
Plastik, logam lunak
R
60
¼” bola
Plastik, logam lunak
S
100
½” bola
Plastik, logam lunak
V
150
½” bola
Plastik, logam lunak
Kuningan yang dianealing dan tembaga Tembaga, Tembaga, berilium, fosfor, perunggu Pelat alumunium, timah Besi cor, paduan alumunium, timah
( Callister, Callister, William. D. Materials D. Materials Science and Engineering)
Tabel 2.4 Skala Kekerasan Superficial Rockwell Skala
Indenter
Beban Mayor ( kgf )
15N
Diamond
15
30N
Diamond
30
45N
Diamond
45
15T
1/16 in. Ball in. Ball
15
30T
1/16 in. Ball in. Ball
30
45T
1/16 in. Ball in. Ball
45
15W
1/8 in. Ball in. Ball
15
30W
1/8 in. Ball in. Ball
30
45W
1/8 in. Ball in. Ball
45
( Callister, Callister, William. D. Materials D. Materials Science and Engineering)
3. Metode Vickers Metode ini mirip dengan metode Brinell metode Brinell tetapi tetapi penetrator yang dipakai berupa intan berbentuk piramida dengan dasar bujur sangkar dan sudut puncak 1360. Beban yang digunakan biasanya 1 s/d 120 kg [6].
Gambar 2.3 Cara Pengukuran Diameter pada Identor pada Identor Vickers Vickers (Ilmu Pengetahuan Bahan, BJM Bemer)
d
HV
d 1
1,854
d 2 2 P 2
L
dimana: P = Beban yang ditetapkan L = Panjang diagonal rata-rata
Gambar 2.4 Alat Uji Kekerasan Vickers( lab metfis undip )
Gambar 2.5 the Vickers Diamonds-piramids Identor (Ilmu Pengetahuan Bahan, BJM Bemer)
Gambar 2.6 Macam – Macam – Macam Macam Lekukan yang Dihasilkan Penumbuk Intan (www.shu.ac.uk/research/meri.instr./hard.htm)
Lekukan yang benar yang dibuat oleh penumbuk piramida intan harus berbentuk bujur sangkar (a). Akan tetapi, sering juga ditemukan penyimpangan pada pengujian Vickers. Lekukan bantal jarum pada gambar (b) adalah akibat pengukuran terjadinya penurunan logam disekitar permukaan piramida yang datar. Keadaan demikian terdapat pada logamlogam yang dilunakkan dan mengakibatkan pengukuran panjang diagonal berlebih. Lekukan berbentuk tong pada (c) terdapat pada logam-logam yang mengalami proses pengerjaan dingin. Bentuk demikian diakibatkan oleh penimbunan ke atas logam-logam disekitar permukaan penumbuk (Dieter, Goerge . Mechanical Metallurgy)
4. Uji Kekerasan Mikro ( Microhardness Tester ) Metode ini menggunakan prinsip indentasi yang digunakan untuk mengukur kekerasan benda-benda mikro. Penetrator nya adalah intan dengan perbandingan diagonal panjang dan pendek sekitar 7:1. Intan tersebut berupa intan kasar yang dibentuk sedemikian menjadi bentuk piramida.. Angka kekerasan knoop (KHN) adalah beban dibagi luas proyeksi lekukan yang tidak akan kembali ke bentuk semula (Dieter, Goerge . Mechanical Metallurgy).
Gambar 2.7 The Knoop diamond-pyramid indenter (http://dataujiIndonesia.itrademarket.com)
Angka kekerasan Knoop (KHN) dirumuskan sebagai berikut (Dieter, Goerge . Mechanical Metallurgy) KHN
P
A
P
P 2
L
C
dimana P = beban yang diterapkan (kg) A p = luas proyeksi lekukan yang tidak pulih ke bentuk semula L = panjang diagonal yang lebih panjang C = konstanta untuk setiap penumbuk
5. Metode Meyer Metode Meyer hampir sama dengan Metode Brinell, yang membedakan adalah pada Meyer yang diperhatikan adalah projected area pada bekas indentasi sedangkan pada Brinell adalah pada luas area permukaan. Rata – rata tekanan antara permukaan indentor dan indentasinya sama dengan beban dibagi projected area dari bekas indentasi. P
P
r
2
Cara menghitung kekerasan dengan metode Meyer atau MHN V (Vander Voort,George. Metallography) MHN
dimana
4 P d
2
MHN = nilai kekerasan Meyer P
= Beban yang diberikan
d
= diameter penekanan
Seperti uji kekerasan Brinell, uji kekerasan Meyer memiliki satuan kg/mm2. Uji Meyer kurang sensitif dibandingkan dengan uji kekerasan Brinell. Untuk pengerjaan pendinginan pengujian kekerasan Meyer lebih konstan dan valid dibandingkan dengan uji kekerasan Brinell yang
hasilnya ber fluktuasi. Uji kekerasan Meyer lebih fundamental dalam perhitungan kekerasan
indentasi
namun secara prakteknya jarang
digunakan untuk pengujian kekerasan (Dieter, Goerge . Mechanical Metallurgy).
Gambar 2.8 Alat Penguji Kekerasan Meyer
6. Metode Kerucut (HRC) Metode ini termasuk metode Rockwell yang dalam penerapannya menggunakan indentor berupa sebuah batu intan berbentuk piramida dengan sudut puncak 120 Pada metode ini beban awal dipasang sebesar 10 kgf dan ujung kerucut masuk sedikit ke dalam bahan. Hal ini pertama kali dilakukan agar terhindar dari ketidakrataan permukaan. Selanjutnya penunjuk jam diset pada kedudukan 100. Lalu beban utama sebesar 140 kgf dipasang, sehingga beban seluruhnya sebesar 150 kgf yang menyebabkan kerucut masuk lebih dalam lagi dan penunjuk jam kembali. Setelah beberapa saat beban utama diambil kembali, maka kerucut tersebut merapat kembali karena bentuk elastis dari bahan yang diukur. Penunjuk jam ukur akan berputar sedikit naik, kedudukan penunjuk saat itulah dinyatakan dalam HRC (dengan skala 0 s/d 100).
Gambar 2.9 Perbandingan Penetrator dari metode Brinell dan Rockwell (Vander Voort,George. Metallography)
Berdasarkan gambar perbandingan diatas sudah dapat kita simpulkan bahwa metode ini hanya sesuai untuk specimen yang strukturnya homogen saja. Hal ini dikarenakan ujung penetrator memiliki luas permukaan yang sempit sehingga tidak dapat mewakili struktur permukaan specimen yang strukturnya heterogen
(Vander Voort,George. Metallography)
7. Metode Knoop Diamond Microhardness Test Metode yang dikembangkan di Amerika Serikat ini menggunakan indenter intan piramida yang didesain untuk memberikan penekanan tipis dan panjang, panjangnya adalah tujuh kali lebih besar dari lebarnya, dan sekitar 30 kali lebih besar dari kedalamannya . Bentuk ini memberikan keuntungan lebih daripada metode Vickers, karena dapat memberikan keakuratan yang lebih tinggi dalam perhitungan nilai kekerasan. Nilai kekerasan Knoop, HK adalah sebagai berikut (Vander Voort,George. Metallography):
dimana
HK = nilai kekerasan Knoop L
= beban yang diberikan
d
= panjang dari diagonal pada micrometer.
Gambar 2.10 Schematic of diamond-point indenter and plan view of the indentation area
8.
(Vander Voort,George. Metallography)
Metode Peluru Pada dasarnya metode ini sama dengan metode kerucut, hanya pada
metode ini menggunakan penetrator sebuah peluru baja yang dikeraskan dengan diameter 1/16 inci menggunakan beban tertentu dalam bahannya. Skala yang dipakai adalah 30 s/d 130, dengan skala 30 dianggap beban yang lunak dan 130 adalah beban yang paling keras. Prinsip kerjanya mula-mula peluru ditekan pada bahan dengan beban awal sebesar 10 kgf, kemudian ditambahkan beban utama sebesar 90 kgf. Setelah beberapa lama beban utama diambil dan pengukur menunjukkan beberapa mm peluru ke dalam bahan. Pada metode ini kelebihan dan kekurangannya sama dengan metode kerucut, karena ketelitiannya tidak akurat, maka metode ini hampir tidak dipakai.
a.
b.
c.
Gambar 2.11 Penetrator a.) steel ball 1/8” b.) steel ball 1/16” c.) intan (Vander Voort,George. Metallography)
Uji kekerasan dilakukan dengan menggunakan spesimen-spesimen dengan syarat-syarat tertentu yang harus terpenuhi. Syarat spesimen untuk uji kekerasan, yaitu: 1.
Permukaan spesimen harus rata (sejajar).
2.
Permukaan spesimen harus halus.
3.
Permukaan spesimen harus bersih.
4.
Jarak indentasi satu dengan yang lain minimal 3d (d = diameter bekas
5.
indentasi).
Ketebalan spesimen minimal 10 d (d = diameter bekas indentasi).
Tabel 2.5 Macam-Macam Metode Kekerasan Lekukan ( Callister, William. D. Materials Science and Engineering)
C. Metode pantulan ( rebound / dynamic hardness ) Pada pengukuran kekerasan dinamik, biasanya penumbuk dijatuhkan ke permukaan
logam
dan
kekerasan
dinyatakan
oleh
energi
tumbuknya.
Skeleroskop Shore ( shore scleroscope), yang merupakan contoh paling umum dari suatu alat penguji kekerasan dinamik mengukur kekerasan yang dinyatakan dengan tinggi lekukan atau tinggi pantulan. Standar yang digunakan pada
metode scleroscope shore adalah ASTM C-886. ). ASTM C-866 merupakan American society for testing and materials dengan spesifikasi C-866 yang merupakan material untuk mesin mesin penguji yang merupakan paduan atau campuran dari carbon, chromium, vanadium, tungsten atau kombinasi cobalt atau
standar
konversi
kekerasan
dari
logam.
Metode
Kekerasan
Sklereskopditunjukan dengan angka yang diberikan oleh tingginya ujung palu kecil setelah dijatuhkan dalam tabung gelas dalam ketinggian 10 inch (250 mm) terhadap permukaan benda uji.
9.
Metode scleroscope shore Metode Kekerasan Sklereskop ditunjukan dengan angka yang diberikan oleh
tingginya ujung palu kecil setelah dijatuhkan dalam tabung gelas dalam ketinggian 10 inch (250 mm) terhadap permukaan benda uji (Vander Voort,George. Metallography).
2.2.3 Nilai Konversi Kekerasan Fasilitas untuk mengonversi pengukuran kekerasan pada satu skala menjadi skala yang lain sangat diinginkan. Namun, karena kekerasan merupakan sifat material yang tidak ditetapkan dengan baik dan karena perbedaan eksperimen antara bermacam-macam teknik, sebuah skema konversi yang luas tidak ditemukan. Data konversi kekerasan telah ditentukan secara eksperimen dan ditemukan bergantung pada tipe dan karakteristik material. Data konversi yang paling dapat dipercaya ada pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.12 Perbandingan dari beberapa skala kekerasan (Vander Voort,George. Metallography)
Tabel konversi yang detail untuk bermacam-macam logam dan campuran dimuat dalam ASTM Standard E 140, “Standard Hardness Conversion Tables for Metals.” ASTM Standard E 140 merupakan standard yang digunakan untuk mengonversi nilai kekerasan dari satu nilai kekerasan ke nilai kekerasan lainnya. ASTM E 140 berisi tabel konversi seperti berikut:
Tabel 2.6 konversi nilai kekerasan ASTM E 140
(http://www.leco.com/products/metallography/gudes/HARDSCALESBOOKLET200971.pdf ) 2.2.4
Korelasi Nilai Kekerasan Dengan Struktur Mikro Pengaruh besarnya butiran terhadap kekerasan tergantung pada ukuran dari butiran tersebut. Semakin kecil besar butiran maka semakin kuat kekerasan dari logam tersebut dan sebaliknya. Proses pemanasan ( Heat Treatment)
dapat membesarkan ukuran dari butiran tersebut sehingga
kekuatan untuk saling mengikat menurun, pada fase ini terjadi perubahan struktur butiran menjadi lebih terstruktur. Proses pendinginan setelahnya membuat ukuran dari butiran kembari mengecil tetapi struktur logam setelah pendinginan menjadi lebih terstruktur (strukturnya menjadi lebih rapi) sehingga kekerasan dari logamnya meningkat.
Gambar 5.13 perbandingan struktur mikro terhadap kekerasan material (http://forum.supermotoindonesia.com/showthread.php?t=2793)
Korelasi Nilai Kekerasan terhadap Perilaku Panas Baja karbon rendah dipanaskan diatas titik kritis atas (tertinggi). Seluruh unsur karbon masuk ke dalam larutan padat dan selanjutnya didinginkan. Baja karbon tinggi biasanya dipanaskan hanya sedikit diatas titik kritis terendah (bawah). Dalam hal ini, terjadi perubahan perlit menjadi austenit. Pendinginan yang dilakukan pada suhu itu akan membentuk martensit. Juga sewaktu kandungan karbon diatas 0,83% tidak terjadi perubahan sementit bebas menjadi austenit, karena larutannya telah menjadi keras. Sehingga perlu dilakukan pemanasan pada suhu tinggi untuk mengubahnya dalam bentuk austenit. Lamanya pemanasan bergantung atas ketebalan bahan tetapi bahan harus tidak berukuran panjang karena akan menghasilkan struktur yang kasar.
Gambar 5.14 Transformasi yang Melibatkan Dekomposisi Austenit ( Callister, William. D. Materials Science and Engineering)
Gambar 5.15 Diagram fasa Fe-Fe 3C (Armani Hari dan Daryanto. Ilmu Bahan.)
Titik penting dalam diagram fasa ini adalah : A : Titik cair besi B : Titik pada cairan yang ada hubungannya dengan titik peritetik
C : Titik eutetik selama pendinginan fasa gamma dengan komposisi C dan sementit pada komposisi f terbentuk dari cairan pada komposisi C. Fasa ini disebut deleburit E : Titik yang menyatakan fasa gamma ada hubungannya dengan titik eutetik. G : Titik transformasi dari alpha menjadi gamma. Titik transformasi A 3 untuk besi H : Larutan padat alpha yang ada hubungannya dengan reaksi peritetik J : Titik peritetik selama pendinginan austenit pada komposisi j fasa gamma terbentuk pada larutan padat pada cairan dan komposisi pada komposisi B N : Titik transformasi dari titik alpha menjadi titik gamma. Titik transformasi dari titik A4 dari besi murni P : Titik yang menyatakan ferit, fasa alpha ada hubungannya dengan reaksi eutektoid S : Titik eutektoid selama pendinginan ferrit pada komposisi alfa dan sementit pada komposisi terbentuk simultan dari austenit pada komposisi s. Reaksi eutektoid ini dinamakan transformasi A1 dan fasa eutektoid ini dinamakan ferrit. A2 : Titik transformasi megnetik untuk besi atau ferit A3 : Titik transformasi magnetic untuk sementit Pengaruh besarnya butiran terhadap kekerasan tergantung pada ukuran dari butiran tersebut.Semakin kecil besar butiran maka semakin kuat kekerasan dari logam tersebut dan sebaliknya. Proses pemanasan ( Heat Treatment) dapat membesarkan ukuran dari butiran tersebut sehingga kekuatan untuk saling mengikat menurun, pada fase ini terjadi perubahan struktur butiran menjadi le bih terstruktur. Proses pendinginan setelahnya membuat ukuran dari butiran kembari mengecil tetapi struktur logam setelah pendinginan menjadi lebih terstruktur (strukturnya menjadi lebih rapi) sehingga kekerasan dari logamnya meningkat.
2.2.5
Aplikasi Dalam Dunia Industri
A. PENGARUH
PROSES
TEMPER
TERHADAP
KEKERASAN
MATERIAL KATUP JIS SUH 11 Material JIS SUH11 merupakan kelompok heat resistant alloy. Material ini memiliki kadar Cr dan Si yang tinggi untuk meningkatkan ketahanan korosi dan kekuatan pada temperatur yang cukup tinggi. Material JIS SUH11 biasa digunakan sebagai material untuk katup motor bakar. Katup motor bakar harus memiliki kekerasan dan keuletan yang tinggi. Di industri, kekerasan katup motor bakar setelah proses temper, sering kali berada di luar standar. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mempelajari hubungan antara proses temper dengan kekerasan material katup, serta mengamati aspek metalurgi yang terjadi pada proses temper.
Gambar 2.16 katup JIS (http://indusri15rizqi.blog.mercubuana.ac.id/)
Pada penelitian ini, data-data diperoleh dari hasil pengukuran kekerasan dan struktur mikro spesimen awal, spesimen yang telah dianneal, di-quench dan ditemper. Proses temper dilakukan dengan memvariasikan temperatur dan waktu proses. Untuk temperatur, dilakukan 4 variasi, yaitu 650oC, 680oC, 720oC, dan 750oC, sedangkan untuk waktu, dilakukan 3 variasi, yaitu 30 menit, 60 menit, dan 90 menit. Pengukuran kekerasan dilakukan dengan menggunakan metoda microvickers dan
diuji secara acak pada sampel. Hasil percobaan ini adalah kurva temper. Kurva ini dapat dijadikan acuan proses temper agar diperoleh kekerasan yang memenuhi standard kekerasan katup di industri. Proses temper untuk memperoleh harga kekerasan yang sesuai dengan standar untuk material katup JIS SUH11 adalah pada temperatur 720-750oC selama 30 menit, 60 menit, atau 90 menit. Agar proses temper lebih efisien maka disarankan memilih waktu temper 30 menit.
B. PENGARUH HOLDING TIME TERHADAP KEKERASAN DAN STRUKTUR MIKRO PADA BAHAN PISTON DAYANG SUPER X ( SEBUAH STUDI UNTUK MEMPERBAIKI KEKERASAN PISTON DAYANG SUPER X MENDEKATI PISTON HONDA SUPRA X )
Gambar 2.17 Piston super X (http://indusri15rizqi.blog.mercubuana.ac.id/)
Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) Menyelidiki komposisi unsur logam paduan piston Honda Supra X serta piston Dayang Super X. (2) Menyelidiki karakter sifat fisis dan mekanis piston Dayang Super X yang belum diberi perlakuan panas (heat treatment), serta yang telah mengalami heat treatment, dan piston Honda Supra X yang tidak mengalami heat treatment (original). (3) Menyelidiki adanya pengaruh waktu penahanan (Holding Time)
terhadap nilai kekerasan dan struktur mikro bahan piston Dayang Super X pada proses heat treatment. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, dan eksperimen. Adapun jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, oleh karena data yang dihasilkan berupa angka-angka. Data yang diperoleh kemudian dianalisa dan dideskripsikan dalam grafik maupun histogram. Selain itu, untuk menentukan jenis perlakuan agar diperoleh hasil yang optimal, maka peneliti juga menggunakan metode Study Literature. Data dari penelitian ini diperoleh dari hasil pengujian komposisi bahan, foto stuktur mikro, pengujian kekerasan makro dan kekerasan mikro dari sebelum heat treatment dan sesudah heat treatment. Sampel dari penelitian ini adalah sebuah piston Honda Supra X dan piston Dayang Super X yang keduanya identik bentuk dan ukurannya. Hasil uji komposisi kimia menunjukkan bahwa spesimen piston Dayang Super X dan Honda Supra X merupakan paduan Aluminium dan silikon Hypoeutectoid dengan persentase 10,5 %Si pada spesimen piston Dayang Super X dan 10,4 %Si pada spesimen piston Honda Supra X. Berdasarkan standar The Aluminium Association, komposisi paduan Al-Si pada piston Dayang Super X dan piston Honda Supra X tersebut mendekati golongan 332 dan 333. Hasil pengamatan foto struktur mikro piston Honda Supra X, memperlihatkan presipitasi yang terjadi lebih optimal dan menunjukkan struktur butiran yang lebih halus dan padat dari piston Dayang Super X. Piston Honda Supra X memiliki nilai rata-rata kekerasan makro 71,16 HRB dan piston Dayang Super X memiliki nilai rata-rata kekerasan makro 67,67 HRB. Pada pengujian kekerasan mikro dihasilkan nilai rata-rata kekerasan piston Dayang Super X 118,73 HVN, sedangkan nilai rata-rata kekerasan mikro pada piston Honda Supra X yaitu 118,33 HVN. Perlakuan panas yang dilakukan untuk memperbaiki sifat fisis dan mekanis piston Dayang Super X adalah Age Hardening yang meliputi tahap Solution Treatment, Quenching, dan Artificial Aging, dengan variasi Holding Time pada tahap Artificial Aging selama 2,5 jam, 3,5 jam dan 4,5 jam dan Holding Time pada tahap Solution Treatment selama 7 jam. Ketentuan tersebut mengacu pada golongan Aluminium paduan 333 pada standar The Aluminium Association Nilai kekerasan meningkat dan mendekati
piston Honda Supra X terjadi setelah spesimen mengalami perlakuan panas dengan Holding Time pada tahap Artificial Aging selama 3,5 jam, yaitu 118,7 HVN pada pengujian mikro dan 73,34 HRB pada pengujian makro. Hasil foto struktur mikro spesimen piston dengan variasi holding time selama 3,5 jam menunjukkan struktur yang lebih padat dan teratur daripada spesimen piston dengan holding time 2,5 jam dan raw material. Peningkatan nilai kekerasan piston Dayang Super X setelah mengalami Heat Treatment dengan Artificial Aging 4,5 jam mencapai 13%.
2.3 METODOLOGI 2.3.1 Bahan percobaan Bahan pengujian yang digunakan antara lain: a. Material non-perlakuan: 1. Alumunium, 2. Kuningan, 3. Tembaga, 4. Baja ST-40, 5. Baja ST-60, 6. Besi cor. b. Material yang mendapat perlakuan panas dengan pendinginan udara : 1. Baja ST-40, 2. Baja ST-60, 3. Besi cor. c. Material yang mendapat perlakuan panas dengan pendinginan air : 1. Baja ST-40, 2. Baja ST-60, 3. Besi cor.
Gambar 2.18 Spesimen (lab metfis undip)
2.3.2
Peraalatan Pengujian Peralatan yang digunakan antara lain : a. Vernier Caliper Digunakan untuk mengukur spesimen dan juga mengetahui kerataan permukaannya. Memiliki ketelitian 0,5 mm
Gambar 2.19 Vernier Caliper (lab metfis undip)
b. Rockwell Hardness Tester Merupakan alat yang dipakai untuk mengukur kekasaran permukaan dengan menggunakan Metode Rockwell
Gambar 2.20 Rockwell Hardness Tester – Model HR-150A (lab metfis undip)
c. Amplas Memiliki fungsi untuk meratakan dan menghaluskan, meratakan dan mensejajarkan
permukaan spesimen
sebelum
dilakukan
pengujian
kekerasan ( dimana ukuranya 200, 400, 600, 800, 1000, 1200, 1500, 2000)
Gambar 2.21 Amplas (lab metfis undip)
d. Mesin Grinding Merupakan tempat dipasangkanya amplas untuk kemudian dapat bergerak berputar sehingga terjadilah suatu proses pengamplasan
Gambar 2.22 Grinder (lab metfis undip)
2.3.3
Langkah Pengujian
1. Membersihkan permukaan benda uji dan mengamplasnya sehingga kedua permukaan tersebut benar-benar rata dan sejajar. 2. Memasang penetrator diamond atau steel ball sesuai dengan jenis material yang akan diuji. 3. Memasang benda uji pada kedudukannya (anvil ) lalu kencangkan dengan memutar handwell searah jarum jam hingga spesimen menyentuh penetrator dan jarum kecil pada dial indikator menuju titik merah 4. Mengatur dial indicat or sehingga jarum besar tepat pada garis indicator C atau B 5. Setelah 60 detik dan jarum panjang berhenti tekanhandle pelepas beban untu menghilangkan pengetesan pembebanan utama, 6. Melakukan pembacaan pada indicator . Untuk pengujian dengan diamond penetrator baca pada garis bagian luar indicator (garis warna hitam). Untuk pengujian dengan steel ball penetrator baca pada bagian dalam indicator (garis warna merah) 7. Memutar handwhell berlawanan jarum jam untuk menurunkan spesimen. 8. Melakukan pengujian di 3 titik (3 kali pengukuran) untuk masing – masing benda uji dengan jarak minimal antara pengujian 3 kali diameter lubang hasil pengujian 9. Mengkonversi harga kekerasan Rockwell ke harga kekerasan Brinell dan Vickers dengan menginterpolasi dari tabel atau dengan rumus 10. Membersihkan dan rapikan alat uji bila tidak digunakan lagi
2.3.5 Diagram Alir Pengujian
Mulai
Mengamplas spesimen
Memasang penetrator HRA atau HRB
Memasang spesimen pada
Mengecangkan spesimen menyentuh penetrator Hingga jarum kecil tepat dititik merah
Mengatur jarum besar dial indikator pada B/C
A
A
Catat Hasil Pengukuran yang terdapat pada Dial Indikator
Setelah 1 menit tekan handle pelepas beban
Mencatat hasil pada dial indikator HRA (angka hitam),HRB (angka merah)
Melepas spesimen dengan cara memutar handwell berlawanan jarum jam
Membersihkan dan mera ikan alat
Selesai
2.1 HASIL DAN PEMBAHASAN 2.4.1 DATA PERCOBAAN 1. Material non perlakuan HRA ( Diamond 60) NO
Baja ST
Baja ST
40
60
1
53.0
2 3 Rata-
HRB (Steel Ball 100) Alumi
Besi cor
Kuningan
Tembaga
57.5
63.0
71.00
41.00
75.0
54.0
58.0
62.5
73.50
42.00
80.0
53.5
58.5
63.5
73.00
37.50
80.0
53.5
58.0
63.0
72.50
40.17
78.33
rata
2. Material perlakuan panas dengan pendinginan udara No.
Baja ST 40
Baja ST 60
Besi cor
(HRA)
(HRA)
(HRA)
1.
67.0
52.5
55.0
2.
67.5
53.5
55.0
3.
70.0
52.0
56.5
Rata-rata
68.2
52.7
55.5
3. Material perlakuan panas dengan pendinginan air No.
Baja ST 40
Baja ST 60
Besi cor
(HRA)
(HRA)
(HRA)
1.
55.0
55.5
55.0
2.
55.0
53.0
55.0
3.
56.5
52.0
56.5
Rata-rata
55.5
53.5
55.5
nium
2.4.1
Pengolahan Data Analisis Data
Rumus Perhitungan Konversi
Pengujian dengan Skala HRA
HRA 112.3
(6.85 105 )
1
2
→
HV
HV
6.85 105 (112.3 HRA) 2
HB 0.95 HV
Untuk pengujian dengan skala HRF (dilihat dari tabel konversi), Jika nilainya tidak ada maka dilakukan interpolasi.
Interpolasi dari tabel kekerasan pada lampiran :
HRnbatasatas HRnbatasatas
HR HR
nbatasbawah
HV batasatas
nbatasbawah
HV HV
batasbawah
HV batasatas
Contoh : Nilai kekerasan kuningan diberikan pada data sebagai berikut : Pengukuran pada skala HRB Interpolasi:
94.5 94
X = 115.2
HRB
HV
94.5
116
94.3
X
94
114
94.5 94.3
0. 5 0.2
116 114 116 X
=
2 116 X
58-0.5X = 0.4
Mengkonversi dari skala HRA dam HRF ke skala HV dan HB
. Material Non Perlakuan 1. Baja ST 40 Baja ST 40 No.
HRA
1.
53.00
194.80
185.06
2.
54.00
201.54
191.46
3.
53.50
198.12
188.22
HV
HV = 6,85 x 10 5
112,3
- 53.00)
HB
HV = 6,85 x 10 5
2
= 194.80
112,3 - 53.50 = 198.12
HB = 0,95 x HV
HB = 0,95 x HV
HB = 0,95 x 194.80
HB = 0,95 x 198.12
= 185.06
= 188.22
HV = 6,85 x 10 5
112,3
- 54.00)
= 201.54 HB = 0,95 x HV HB = 0,95 x 201.54 = 191.46
2
2
2. Baja ST 60 Baja ST 60 No.
HRA
1.
57.50
228.10
216.70
2.
58.00
232.32
220.71
3.
58.50
236.66
224.83
HV
HV = 6,85 x 10 5
HB
HV
= 6,85 x 10 5
2
112,3 - 57.00
112,3
= 228.10
- 58.00
= 232.32
HB = 0,95 x HV
HB
= 0,95 x HV
HB = 0,95 x 228.10
HB
= 0,95 x 232.32
= 216.70
= 220.71
HV = 6,85 x 10 5
112,3 - 58.50
2
= 236.66 HB = 0,95 x HV HB = 0,95 x 236.66 = 224.83
3. Besi Cor Besi cor No.
HRA
1.
63.0
281.84
267.74
2.
62.5
276.21
262.39
HV
HB
2
3.
287.64
63.5
273.26
HV = 6,85 x 10 5 2
112,3 - 63.00 = 281.84 HB = 0,95 x HV HB = 0,95 x 281.84 = 267.74
HV = 6,85 x 10 5
112,3 - 62.5
2
= 276.21 HB = 0,95 x HV HB = 0,95 x 276.21 = 262.39
HV = 6,85 x 10 5
112,3 - 63.5
2
= 287.64 HB = 0,95 x HV HB = 0,95 x 287.64 = 273.26
4.Kuningan Kuningan No.
HRB
HV
HB
1.
71
123
116.9
2.
73.5
122
115.9
3.
73
127
120.7
HRB
HV
71
121
73.5
X
73
123
Interpolasi 69 68 69 68.5
1 0 .5
123 121
HB
= 0,95 x HV
123 x
HB
= 0,95 x 122
=
2 123 x
123 - x = 1 x = 122 HB
= 0,95 x HV
HB
= 0,95 x 123 = 116.9
HB
= 0,95 x HV
HB
= 0,95 x 127 = 120.7
= 115.9
5. Tembaga HRB
HV
HB
41
80
76
42
84
79.8
37.5
83.5
79.3
HRB
HV
41
82
42
X
37.5
84
Interpolasi :
42 40 42 41.5 2 0.5
=
84 82
HB
= 0,95 x HV
84 X
HB
= 0,95 x 83.5
2 84 X
168 - 2X = 1 2X = 168 X = 83.5
HB = 0,95 x HV HB = 0,95 x 80 = 76
HB = 0,95 x HV HB = 0,95 x 84 = 79.8
= 79.3
6. Aluminium HRB
HV
HB
75
120
114
80
116
110.2
80
119
113.1
HRB
HV
75
119
80
X
80
121
Interpolasi :
68 67 68 67.5 1 0.5
=
121 119
HB
= 0,95 x HV
121 X
HB
= 0,95 x 120
2 121 X
121 - X = 1 X = 120
HB = 0,95 x HV HB = 0,95 x 116 = 110.2
HB = 0,95 x HV HB = 0,95 x 119 = 113.1
= 114
B. Material Perlakuan panas dengan pendinginan udara 1. Baja ST 40 Baja ST 40 No.
HRA
1.
67.00
333.81
317.12
2.
67.50
341.30
324.23
3.
70.00
382.83
363.69
HV
HV = 6,85 x 10 5
112,3
HB
HV = 6,85 x 10 5
- 67.00)
2
112,3 - 70.00
= 333.81
= 382.83
HB = 0,95 x HV
HB = 0,95 x HV
HB = 0,95 x 333.81
HB = 0,95 x 382.83
= 317.12
= 363.69
HV = 6,85 x 10 5
112,3
- 67.50)
2
= 341.30 HB = 0,95 x HV HB = 0,95 x 341.30 = 363.69
2. Baja ST 60 Baja ST 60 No.
HRA
1.
52.50
191.55
181.98
2.
53.50
198.12
188.22
3.
52.00
188.39
178.97
HV
HB
2
HV = 6,85 x 10 5
112,3 - 52.5
HV = 6,85 x 10 5 2
112,3 - 52.00
= 191.55
= 188.39
HB = 0,95 x HV
HB = 0,95 x HV
HB = 0,95 x 191.55
HB = 0,95 x 188.39
= 181.98
= 178.97
HV = 6,85 x 10 5
112,3
- 53.50)
2
= 198.12 HB = 0,95 x HV HB = 0,95 x 198.12 = 188.22
3. Besi Cor Besi cor No.
HRA
1.
55.00
208.63
198.20
2.
55.00
208.63
198.20
3.
56.50
220.00
209.00
HV
HB
2
HV = 6,85 x 10 5
112,3 - 55
HV = 6,85 x 10 5 2
112,3 - 56.5
= 208.63
2
= 220.00
HB = 0,95 x HV
HB = 0,95 x HV
HB = 0,95 x 208.63
HB = 0,95 x 220.00
= 198.20
= 209.00
C. Material perlakuan panas dengan pendinginan air 1. Baja ST 40
Baja ST 40 No.
HRA
HV
HB
51.0
182.29
173.18
50.5
179.36
170.39
54.0
201.54
191.46
1.
2.
3.
HV = 6,85 x 10 5
112,3 - 51.00
HV = 6,85 x 10 5 2
= 182.29
112,3 - 54.00 = 201.54
HB = 0,95 x HV
HB = 0,95 x HV
HB = 0,95 x 182.29
HB = 0,95 x 201.54
= 173.18
= 191.46
2
HV = 6,85 x 10 5
112,3
- 50.50)
2
= 179.36 HB = 0,95 x HV HB = 0,95 x 179.36 = 170.39
2. Baja ST 60 Baja ST 60 No.
HRA
1.
55.50
212.32
201.71
2.
53.00
194.80
185.06
3.
52.00
188.39
178.97
HV = 6,85 x 10 5
HV
HB
HV = 6,85 x 10 5
112,3 - 55.50
2
= 212.32
112,3 - 52.00 = 188.39
HB = 0,95 x HV
HB = 0,95 x HV
HB = 0,95 x 212.32
HB = 0,95 x 188.39
= 201.71
= 178.97
HV = 6,85 x 10 5
112,3
- 53.00)
2
= 194.80 HB = 0,95 x HV HB = 0,95 x 194.80 = 185.06
2
3. Besi Cor Besi cor No.
HRA
1.
55.00
208.63
198.20
2.
55.00
208.63
198.20
3.
56.50
220.00
209.00
HV
HV = 6,85 x 10 5
HB
HV = 6,85 x 10 5
112,3 - 55.00
2
= 208.63
112,3 - 56.50 = 220.00
HB = 0,95 x HV
HB = 0,95 x HV
HB = 0,95 x 208.63
HB = 0,95 x 220.00
= 198.20
= 209.00
HV = 6,85 x 10 5
112,3
- 53.00)
2
= 194.80 HB = 0,95 x HV HB = 0,95 x 194.80 = 185.06
2
2.4.2.2 Keseksamaan Nilai Kekerasan A. Rumus Perhitungan 1. Metode Rockwell
HR
HR HR
2
n n 1
HR = ( HR Ralat Nisbi =
HR )
HR 100 % H R
Keseksamaan = 1
HR
100 % HR
2. Metode Vickers
HV HV HV
=
2
n n 1
HV = ( HV
HV )
Ralat Nisbi =
HV 100 % HV
Keseksamaan = 1
HV
100 % HV
3. Metode Brinell
HB
HB HB
2
n n 1
HB = ( HB
HB )
Ralat Nisbi =
HB 100 % H B
Keseksamaan = 1
HB HB
100 %
B. Material Non Perlakuan 1. Baja ST 40 NO.
HRA
(HRA- HRA)2
HV
(HV- HV )2
HB
(HB- HB )2
1.
53.00
0.25
194.80
11.24
185.06
10.15
2.
54.00
0.25
201.54
11.47
191.46
10.33
3.
53.50
0.00
198.12
0.00
188.22
0.00
22.72
HB
20.48
Rata-
HR =
0.50
53.50
HV =
rata
HRA
HRA HR A
198.15
2
n n 1
0.50
6
= 0.28 Nilai HRA yang sesungguhnya =
( HR A HRA)
= (53.500.28) Ralat Nisbi =
0.28 100 % 53.5 0..52%
Keseksamaan = 1
0.28
100 %
53.5
99.48% HV
=
HV HV
n n 1
22.72
= 1.9
6
2
=188.25
Nilai HV yang sesungguhnya = ( HV HV ) = (198.151.9)
1.9 100 % 198.15
Ralat Nisbi =
0.95%
Keseksamaan = 1
1.9 100 % 198.15
99.04% HB
=
HB HB
2
n n 1
20.48 6
= 1.74 Nilai HB yang sesungguhnya = ( HB HB) = (188.251.74) Ralat Nisbi =
1.74 100 % 188.25
0.22%
Keseksamaan = 1
100 % 188.25 1.74
99.07%
2. Baja ST 60 (HV- HV )2
NO.
HRA
(HRA- HRA)2
1
57.5
0.25
228.1
18.15
216.7
16.38
2
58
0.00
232.32
0.00
220.71
0.00
3
58.5
0.25
236.66
18.49
224.83
16.67
HR =58.00
0.50
Rata -rata
HV
HV =
232.36
36.64
HRA HR A HRA nn 1
2
0.50 6
= 0.083 Nilai HRA yang sesungguhnya =
( HR A HRA )
=(58.000.083) Ralat Nisbi =
0.083 100 % 58.00
0.143%
Keseksamaan = 1
0.083
99.85% HV HV
2
HV
=
n n 1
36.64 6
= 2.47
100 %
58.00
HB
HB =220.75
(HB- HB )2
33.05
Nilai HV yang sesungguhnya = ( HV HV ) =(201.20.23) Ralat Nisbi =
0.23 100 % 201.2
0.11%
Keseksamaan = 1
100 % 201.2 0.23
99.88% HB
=
HB HB
2
n n 1
33.05 6
= 2.23
Nilai HB yang sesungguhnya = ( HB HB) =(220.752.23)
2.23 100 % 220.75
Ralat Nisbi =
1.06%
Keseksamaan = 1
2.23
100 %
220.75
98.93%
3. Besi Cor HRA
(HRA- HRA)2
1.
63
0.00
281.84
0.00
267.74
0.00
2.
62.5
0.25
276.21
32.34
262.39
29.23
3.
63.5
0.25
287.64
32.99
273.26
29.85
281.90
65.33
Ratarata
HR =
HV
(HV- HV )2
NO.
0,50
63.00
HRA
HV =
HRA HR A
2
n n 1
0,50
6
=0.08
Nilai HRA yang sesungguhnya = ( HR A HRA ) = (63.000.08) Ralat Nisbi =
0.08 100 % 63.00
2.22%
0.08 100 % 63.00
Keseksamaan = 1
99.97% HV
=
HV HV
n n 1
65.33
= 3.2
6
2
HB
HB =
267.80
(HB- HB )2
59.08
Nilai HV yang sesungguhnya = ( HV HV ) = (281.903.2) Ralat Nisbi =
3.2 100 % 281.90
1.13%
3.2
281,90
Keseksamaan = 1
100%
98.86% HB
=
HB HB
2
n n 1
59.08 6
= 3.13 Nilai HB yang sesungguhnya = ( HB HB ) =(267.803.13)
3.13 100 % 267.80
Ralat Nisbi =
1.16%
Keseksamaan = 1
3.13
100 %
267.80
98.83%
4. Kuningan HRB
(HRB- HRB )2
HV
(HV- HV )2
HB
(HB- HB )2
1.
70
0.0289
470
2.79
442
0.0069
2.
69.5
0.1089
465
11.09
441.75
0.0289
3.
70
0.0289
470
2.79
442
0.0069
Rata-
HRF
0.17
HV =
16.67
HB =
441.92
0.0427
NO.
=69.83
rata
468.33
HRA HRA HRB nn 1
2
3.5 6
= 0,76
Nilai HRA yang sesungguhnya = ( HRA HRA ) =(72.50,76)
0,76 100 % 72.5
Ralat Nisbi =
1.04%
Keseksamaan = 1
0,76
100 %
72.5
98,96%
HV
=
HV HV
2
n n 1
14 6
= 1.53 Nilai HV yang sesungguhnya = ( HV HV ) = (1241.53)
1.53 100 % 124
Ralat Nisbi =
1,23%
Keseksamaan = 1
1.53
100 %
124
98,77% HB
=
HB HB
2
n n 1
13.68 6
= 2.28
Nilai HB yang sesungguhnya = ( HB HB) = (117.32.28)
2.28 100 % 117.3
Ralat Nisbi =
1,94%
Keseksamaan = 1
2.28 100 % 117.3
98,05%
5. Tembaga NO.
HRB
(HRB- HRB )2
HV
(HV- HV )2
HB
(HB- HB )2
1.
39.5
0.4489
274
3.0625
260.3
2.77
2.
38.5
2.7889
272
14.0625
258.4
7.78
3.
42.5
5.4289
281.25
30.25
267.19
27.35
8.67
HV =
47.375
HB =
Rata
HRF =
40.17
-rata
275.8
HRA HRA HRB nn 1
2
11.18 6
= 1.86
Nilai HRB yang sesungguhnya = ( HRA HRA ) =(40.11.86)
1.86 100 % 40.1
Ralat Nisbi =
4.63%
Keseksamaan = 1
1.86
100 %
40.1
95.36%
261.96
37.90
HV
=
HV HV
2
n n 1
9.5 6
= 1.26 Nilai HV yang sesungguhnya = ( HV HV ) =(82.51.26)
1.26 100 % 82.5
Ralat Nisbi =
1,53%
1.26
Keseksamaan = 1
100 %
82.5
98,47% HB
=
HB HB
2
n n 1
8.51 6
= 1.41
Nilai HB yang sesungguhnya = ( HB
HB )
= (78.361.41) Ralat Nisbi =
1.41 100 % 78.36
1.79%
Keseksamaan = 1
100 % 78.36 1.41
98.2%
6. Aluminium NO.
HRB
(HRB- HRB )2
HV
(HV- HV )2
HB
(HB- HB )2
72
1.7689
490
277.77
461
235.11
71
5.4289
480
711.29
451
641.61
77
13.4689
550
1874.89
517
1654.05
HRF =
20.67
1.
2.
3.
Ratarata
HV =
73.33
506.7
954.65
HRA HRA HRB nn 1
2
16.67 6
= 1.67
Nilai HRB yang sesungguhnya = ( HRA HRA) = (78.31.67)
1.67 100 % 78.3
Ralat Nisbi =
2.13%
Keseksamaan = 1
1.67
100 %
78.3
97.86%
HB =
476.33
2530.7
HV
=
HV HV
2
n n 1
8.67 6
= 1.20
Nilai HV yang sesungguhnya = ( HV HV ) = (118.31.20) Ralat Nisbi =
1.20 100 % 118.3
1,01%
1.20 100 % 118.3
Keseksamaan = 1
98,99% HB
=
HB HB
2
n n 1
7.89 6
= 1.15
Nilai HB yang sesungguhnya = ( HB
HB )
= (112.41.15) Ralat Nisbi =
1.15 100 % 112.4
1,02%
1.15 100 % 112.4
Keseksamaan = 1
98,98%
C. Material Perlakuan Panas 1. Perlakuan panas dengan pendinginan udara a. Baja ST 40 NO.
HRA
(HRA- HRA)2
1.
67.00
1.36
333.81
354.82
317.12
320.17
2.
67.50
0.44
341.30
128.75
324.23
116.28
3.
70.00
3.36
382.83
911.03
363.69
822.35
185.14
57.00
Ratarata
HR =
4.5
54
HRA
HV
HV =
HRA HR A
194.88
(HV- HV )2
63.08
2
n n 1
4.5 6
= 0.89
Nilai HRA yang sesungguhnya = ( HR A HRA ) =(540.89) Ralat Nisbi =
0.89 100 % 54
1.6%
Keseksamaan = 1
0.89 54
98.34%
100 %
HB
HB =
(HB- HB )2
HV
=
HV HV
2
n n 1
63.08 6
= 3.2 Nilai HV yang sesungguhnya = ( HV HV ) = (194.883.2) Ralat Nisbi =
3.2 100 % 194.88
16.4%
3.2 100 % 194.88
Keseksamaan = 1
83.57% HB
=
HB HB
2
n n 1
57.00 6
= 3.08 Nilai HB yang sesungguhnya = ( HB
HB )
= (185.143.08) Ralat Nisbi =
3.08 100 % 185.14
3.6%
Keseksamaan = 1
100 % 185.14 3.08
99.38%
2. Baja ST 60 HRA
(HRA- HRA)2
1.
52.50
0.03
191.55
1.29
181.98
1.16
2.
53.50
0.69
198.12
29.52
188.22
26.66
3.
52.00
0.44
188.39
18.46
178.97
16.70
183.06
44.52
Rata
HR =
HV
(HV- HV )2
NO.
1.17
52.67
-rata
HRA
HV =
HRA HR A
192.69
49.27
2
n n 1
1.17 6
= 0.44 Nilai HRA yang sesungguhnya = ( HR A HRA ) = (52.670.44) Ralat Nisbi =
0.44 100 % 52.67
0.83%
Keseksamaan = 1
100 % 52.67 0.44
99.16% HV
=
HV HV
n n 1
49.27 6
= 2.86
2
HB
HB =
(HB- HB )2
Nilai HV yang sesungguhnya = ( HV HV ) = (192.692.86)
2.86 100 % 192.69
Ralat Nisbi =
0.14%
Keseksamaan = 1
100 % 192.68 2.86
99.85% HB
=
HB HB
2
n n 1
44.52 6
= 2.72 Nilai HB yang sesungguhnya = ( HB
HB )
= (183.062.72)
2.72 100 % 183.06
Ralat Nisbi =
1.48%
Keseksamaan = 1
100 % 183.06 2.72
98.51%
3. Besi Cor HRA
(HRA- HRA)2
1.
55.00
0.25
208.63
14.36
198.20
12.96
2.
55.00
0.25
208.63
14.36
198.20
12.96
3.
56.50
1.00
220.00
57.46
209.00
51.84
Rata-
HR =
HV
(HV- HV )2
NO.
1.50
55.50
HV =
rata
212.42
86.18
HRA HR A HRA nn 1
2
1.5
6
= 0.5 Nilai HRA yang sesungguhnya = ( HR A HRA ) = (55.500.5) Ralat Nisbi =
0.5 100 % 55.5
0.9%
Keseksamaan = 1
0.5
99.09% HV
=
HV HV
n n 1
86.18 6
= 3.78
2
100 %
55.5
HB
HB =
201.80
(HB- HB )2
77.76
Nilai HV yang sesungguhnya = ( HV HV ) = (212.423.78)
3.78 100 % 212.42
Ralat Nisbi =
1.78%
Keseksamaan = 1
3.78 100 % 212.42
98.2% HB
=
HB HB
2
n n 1
77.76 6
= 3.6 Nilai HB yang sesungguhnya = ( HB
HB )
= (201.83.6)
3.6 100 % 201.8
Ralat Nisbi =
1.78%
Keseksamaan = 1
3.6 100 % 201.8
98.21%
2. Perlakuan panas dengan pendinginan air 1. Baja ST 40 NO.
HRA
(HRA- HRA)2
HV
(HV- HV )2
HB
(HB- HB )2
1.
51
0.69
208.63
14.36
198.20
12.96
2.
50.5
1.78
208.63
14.36
198.20
12.96
3.
54
4.69
220.00
57.46
209.00
51.84
Rata
HR =
7.17
HB =
77.76
-rata
51.83
HRA HR A
HRA
HV =
212.42
86.18
2
n n 1
7.17 6
= 1.09 Nilai HRA yang sesungguhnya = ( HR A HRA ) = (51.831.09) Ralat Nisbi =
1.09 100 % 51.83
2.1%
Keseksamaan = 1
100 % 51.83 1.09
97.89%
HV
=
HV HV
n n 1
86.18 6
= 3.78
2
201.80
Nilai HV yang sesungguhnya = ( HV HV ) = (212.423.78)
3.78 100 % 212.42
Ralat Nisbi =
0.17%
Keseksamaan = 1
100 % 212.42 3.78
99.8% HB
=
HB HB
2
n n 1
77.76 6
= 3.6 Nilai HB yang sesungguhnya = ( HB
HB )
= (201.803.6) Ralat Nisbi =
0.1 100 % 123.5
0.17%
Keseksamaan = 1
100 % 123.5 0.1
99.8%
2. Baja ST 60 NO.
HRA
(HRA- HRA)2
1.
55.50
4.00
208.63
14.36
198.20
12.96
2.
53.00
0.25
208.63
14.36
198.20
12.96
3.
52.00
2.25
220.00
57.46
209.00
51.84
Rata -rata
HR =
HV
6.5
53.50
HRA
HV =
HRA HR A
212.42
(HV- HV )2
86.18
2
n n 1
6.5 6
= 1.04 Nilai HRA yang sesungguhnya = ( HR A HRA ) = (53.51.04) Ralat Nisbi =
1.04 100 % 53.5
1.9%
Keseksamaan = 1
1.04
98.05% HV
=
HV HV
n n 1
86.18 6
= 3.78
2
100 %
53.5
HB
HB =
201.80
(HB- HB )2
77.76
Nilai HV yang sesungguhnya = ( HV HV ) = (212.423.78) Ralat Nisbi =
3.78 100 % 212.42
3.12%
Keseksamaan = 1
3.78 100 % 212.42
96.8% HB
=
HB HB
2
n n 1
77.76 6
= 3.6 Nilai HB yang sesungguhnya = ( HB
HB )
= (201.803.6) Ralat Nisbi =
1.36 100 % 199.2
0.68%
Keseksamaan = 1
100 % 199.2 1.36
99.31%
3. Besi Cor NO.
HRA
(HRA- HRA)2
1.
55.00
0.25
208.63
14.36
198.20
12.96
2.
55.00
0.25
208.63
14.36
198.20
12.96
3.
56.50
1.00
220.00
57.46
209.00
51.84
Ratarata
1.50
HR =55.5
HRA
HV =
HRA HR A
HV
212.42
(HV- HV )2
86.18
2
n n 1
1.5 6
= 0.5
Nilai HRA yang sesungguhnya = ( HR A HRA ) = (55.50.5) Ralat Nisbi =
0.5 100 % 55.5
0.90%
Keseksamaan = 1
0.5
99.09% HV
=
HV HV
n n 1
86.18 6
2
100 %
55.5
HB
HB =
201.80
(HB- HB )2
77.76
= 3.78
Nilai HV yang sesungguhnya = ( HV HV ) = (212.423.78)
3.78 100 % 212.42
Ralat Nisbi =
1.78%
Keseksamaan = 1
3.78 100 % 212.42
98.21% HB
=
HB HB
2
n n 1
77.76 6
= 3.6
Nilai HB yang sesungguhnya = ( HB
HB )
= (201.803.6) Ralat Nisbi =
3.6 100 % 201.80 1.78%
Keseksamaan = 1
3.6 100 % 201.80
98.2%
2.4.2 ANALISA DATA Tabel 2.4 Nilai Kekerasan Nama Bahan
Brinell Hardness (kg/mm2)
Besi cor
180-250
ST 60 nonperlakuan
170-195
ST 40 nonperlakuan
95-120
Kuningan
85
Tembaga
75
Alumunium
25-40
ST 60 normalizing
229
ST 60 quenching
311
ST 40 normalizing
170
ST 40 quenching
262 (Ref 6, hal 100,107, 111, Ref 7, hal 759)
Untuk lebih mengetahui nilai kekerasan lebih jelas, dapat melihat tabel. Kekerasan besi cor lebih besar daripada baja ST 60 dan baja ST 40 , ini disebabkan karena besi cor mempunyai kandungan karbon paling besar dibanding baja ST 60 dan baja ST 40. Sedangkan baja ST 60 (Kandungan karbonnya 0,3 – 0,7 % C ) lebih kaya karbon sehingga termasuk baja karbon tinggi, daripada baja ST 40 (< 0,3 % C) dan termasuk baja karbon rendah. Semakin banyak karbon maka nilai kekerasan makin besar dan keuletan
makin kecil. Untuk kandungan karbon kurang dari 2,14% disebut besi baja karbon rendah,antara 2,14%-6,7% disebut besi cor,dan lebih dari 6,7% tidak dapat disebut baja tetapi disebut cementit / besi karbida (Fe 3 C) Sedangkan untuk kuningan mengandung 2 % Al juga merupakan tembaga paduan sehingga memiliki kekerasan yang lebih besar dibandingkan aluminium dan tembaga. Ini disebabkan kuningan mempunyai kekuatan tarik yang lebih tinggi daripada tembaga dan aluminium. Tembaga memiliki kekerasan yang lebih tinggi daripada aluminium, ini disebabkan tembaga mempunyai kekuatan tarik yang lebih tinggi daripada aluminium yaitu sekitar 200 N/mm2 pada suhu rendah kekuatan tarik jauh lebih besar. Tembaga itu sendiri apabila direaksikan dengan oksigen dapat menjadi lebih ulet (0,04 % O) hal ini menjadikan berkurangnya kandungan karbon pada tembaga tersebut. Aluminium mempunyai kekerasan paling rendah, hal ini disebabkan kekuatan tarik aluminium paling kecil yaitu sekitar 10 kg/mm 3 dan aluminium juga mempunyai sifat lunak lebih berat dari Sn dan lebih lunak dari Zn. Mempunyai berat jenis 2,7.10 3 Kg/m 3, regangan 18 – 25 %.
Tabel 2.7 Hasil yang didapat dari pengujian material non perlakuan NAMA BAHAN
KEKERASAN
KEKERASAN
KEKERASAN
BRINELL (HB)
ROCKWELL (HR)
VICKER (HV)
Baja ST 40
(188.251.74)
(53.50 0.28)
(1981.9)
Baja ST 60
(220.752.23)
(58.00 0.083)
(201.2 0.23)
Besi Cor
(287.803.13)
(63.00 0.08)
(281.90 3.2)
Kuningan
(117.32.28)
(72.50,76)
(124 1.53)
Tembaga
(78.31.67)
(40.11.86)
(82.51.26)
Aluminium
(112.41.15)
(78.31.67)
(118.3 1.20)
350 300 250 200 KEKERASAN BRINELL (HB)
150
KEKERASAN ROCKWELL (HR) 100
KEKERASAN VICKER (HV)
50 0
Gambar 2.18 Grafik Nilai Kekerasan Material Non Perlakuan Analisa: Berdasarkan data pengujian, nilai kekerasan besi cor tidak lebih besar dibandingkan baja ST 60. Terjadi penyimpangan pada data hasil pengujian kekerasan. Seharusnya nilai kekerasan besi cor lebih besar daripada baja ST60 karena besi cor memiliki kandungan karbon paling besar dibanding baja ST 60 dan baja ST 40. Sedangkan untuk nilai kekerasan kuningan, tembaga dan aluminium terjadi penyimpangan karena hasil kekerasan aluminium lebih besar dibandingkan tembaga. Seharusnya tembaga memiliki nilai kekerasan yang lebih tinggi daripada aluminium, karena tembaga mempunyai kekuatan tarik yang lebih tinggi daripada aluminium Penyimpangan dapat saja terjadi disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut: a. Dalam persiapan untuk uji keras (seperti mengikir dan mengamplas) terjadi banyak perlakuan lain seperti bubut dan gerinda. b. Jarak penetrasi terlalu dekat c. Waktu penetrasi kurang lama d. Ketidaktelitian praktikan dalam membaca dial indicator pada alat uji kekerasan e. Spesimen tertukar dengan specimen yang lain
2.4.3.1
Material Perlakuan Panas
Urutan nilai kekerasan antara bahan yang mengalami perlakuan panas dengan pendinginan udara dan pendinginan air yaitu: pendinginan air > pendinginan udara. Perlakuan panas dengan pendinginan air merupakan proses hardening yaitu proses quenching. Quenching adalah suatu proses perlakuan panas terhadap suatu material dengan cara dipanaskan terlebih dahulu sampai suhu austenit (900oC). Kemudian dilakukan proses pendinginan cepat yaitu dalam hal ini dengan media air. Proses pendinginan ini berlangsung cepat mengakibatkan terbentuknya martensit yang keras. Martensit mempunyai struktur kristal yang bersifat tidak stabil,berbentuk seperti jarum, dan bersifat sangat keras dan rapuh. Sedangkan
untuk
perlakuan
panas
dengan
pendinginan
udara
merupakan proses softening yaitu proses normalizing. Normalizing adalah proses di mana material dipanaskan dahulu sampai suhu austenit kemudian dilakukan pendinginan dengan medium udara secara perlahan. Proses ini terjadi pada suhu 55-65 0C diatas daerah austenit murni. Pendinginan ini mencegah timbulnya segregasi praeutektoid sehingga struktur mikro yang terbentuk adalah perlit halus dan tidak ada ferit praeutektoid dalam jumlah banyak. Dengan demikian akan dihasilkan material yang kekerasannya lebih kecil dari sebelumnya. Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa kekerasan material dengan perlakuan panas dengan pendinginan air lebih bes ar daripada perlakuan panas dengan pendinginan udara. Hasil yang didapat dari pengujian material dengan perlakuan:
1. Pendinginan Air Tabel 2.8 Hasil yang didapat dari pengujian material pendinginan air NAMA BAHAN
KEKERASAN
KEKERASAN
KEKERASAN
BRINELL (HB)
ROCKWELL (HR)
VICKER (HV)
Baja ST 40
(201.803.6)
(540.89)
(212.42 3.78)
Baja ST 60
(1999.21.36)
(52.67 0.44)
(212.42 3.78)
Besi Cor
(201.83.6)
(55.50 0.5)
(212.42 3.78)
250
200
150 KEKERASAN BRINELL (HB) KEKERASAN ROCKWELL (HR) 100
KEKERASAN VICKER (HV)
50
0 Baja ST 40
Baja ST 60
Besi Cor
Gambar 2.19 Grafik Nilai Kekerasan Material Per lakuan Panas dengan Pendinginan Air Analisa: Berdasarkan data pengujian, nilai kekerasan besi cor tidak lebih besar dibandingkan baja ST 60. Terjadi penyimpangan pada data hasil pengujian kekerasan. Seharusnya nilai kekerasan besi cor lebih besar daripada baja ST60 karena besi cor memiliki kandungan karbon paling besar dibanding baja ST 60 dan baja ST 40. Penyimpangan dari material perlakuan panas dengan
pendinginan air pada besi cor dan baja ST 60 dapat saja terjadi disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut : 1. Dalam persiapan untuk uji keras (seperti mengikir dan mengamplas) terjadi banyak perlakuan lain seperti bubut dan gerinda. 2. Jarak penetrasi terlalu dekat 3. Waktu penetrasi kurang lama 4. Ketidaktelitian praktikan dalam membaca dial indicator pada alat uji kekerasan 5. Spesimen tertukar dengan specimen yang lain
2. Perlakuan Udara Tabel 2.9 Hasil yang didapat dari pengujian material pendinginan udara NAMA BAHAN
KEKERASAN
KEKERASAN
KEKERASAN
BRINELL (HB)
ROCKWELL (HR)
VICKER (HV)
Baja ST 40
(51.830.1)
(51.831.09)
(1300.13)
Baja ST 60
(199.22.72)
(53.51.04)
(209.8 1.09)
Besi Cor
(201.803.6)
(55.50.5)
(212.42 3.78)
250 200 KEKERASAN BRINELL (HB) 150 KEKERASAN ROCKWELL (HR)
100
KEKERASAN VICKER (HV) 50 0 Baja ST 40
Baja ST 60
Besi Cor
Gambar 2.20 Grafik Nilai Kekerasan Material Perlakuan Panas dengan Pendinginan Udara
Analisa: Berdasarkan data pengujian, nilai kekerasan besi cor tidak lebih besar dibandingkan baja ST 60. Terjadi penyimpangan pada data hasil pengujian kekerasan. Seharusnya nilai kekerasan besi cor lebih besar daripada baja ST60 karena besi cor memiliki kandungan karbon paling besar dibanding baja ST 60 dan baja ST 40. Penyimpangan dari material perlakuan panas dengan pendinginan udara pada besi cor dan baja ST 60 dapat saja terjadi disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut : a. Dalam persiapan untuk uji keras (seperti mengikir dan mengamplas) terjadi banyak perlakuan lain seperti bubut dan gerinda. b. Jarak penetrasi terlalu dekat c. Waktu penetrasi kurang lama d. Ketidaktelitian praktikan dalam membaca dial indicator pada alat uji kekerasan e. Spesimen tertukar dengan specimen yang lain
Penjelasan: 1. Berdasarkan data hasil pengujian kekerasan material tampak bahwa nilai kekerasan untuk baja ST 60 perlakuan panas dengan pendinginan udara dan dengan pendinginan air, hal ini tidak sesuai dengan referensi. Kemungkinan dalam pengujian spesimen dari perlakuan air tertukar dengan spesimen dari perlakuan udara. 2. Selain hasil dari pengujian pada baja ST 60 tidak sesuai dengan referensi, hasil pengujian dari baja ST 40 dan besi cor hasilnya sesuai dengan referensi. Berdasarkan percobaan : -
Baja ST 40 : Pendinginan air > Pendinginan udara
-
Baja ST 60 : Pendinginan udara > Pendinginan air
-
Besi Cor
: Pendinginan air > Pendinginan udara
2.2 PENUTUP 2.5.1 Kesimpulan 1. Kekerasan suatu material didefinisikan sebagai ketahanan suatu material untuk menerima penetrasi/tekanan dari material lain atau deformasi. 2. Uji kekerasan merupakan pengujian untuk memperoleh nilai kekerasan dari suatu material. 3. Dari hasil pengujian diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 2.10 Hasil yang didapat dari pengujian material Non Perlakuan NAMA BAHAN
KEKERASAN BRINELL (HB)
KEKERASAN ROCKWELL (HR)
KEKERASAN VICKER (HV)
Baja ST 40
(188.251.74)
(53.50 0.28)
(1981.9)
Baja ST 60
(220.752.23)
(58.00 0.083)
(201.2 0.23)
Besi Cor
(287.803.13)
(63.00 0.08)
(281.90 3.2)
Kuningan
(117.32.28)
(72.50,76)
(1241.53)
Tembaga
(78.31.67)
(40.11.86)
(82.5 1.26)
Aluminium
(112.41.15)
(78.31.67)
(118.3 1.20)
Perlakuan Panas dengan Pendinginan Udara NAMA BAHAN
KEKERASAN BRINELL (HB)
KEKERASAN ROCKWELL (HR)
KEKERASAN VICKER (HV)
Baja ST 40
(51.830.1)
(51.83 1.09)
(1300.13)
Baja ST 60
(199.22.72)
(53.51.04)
(209.8 1.09)
Besi Cor
(201.803.6)
(55.50.5)
(212.42 3.78)
Perlakuan Panas dengan Pendinginan Air NAMA BAHAN
KEKERASAN BRINELL (HB)
KEKERASAN ROCKWELL (HR)
KEKERASAN VICKER (HV)
Baja ST 40
(185.143.08)
(540.89)
(194.88 3.2)
Baja ST 60
(183.062.72)
(52.67 0.44)
(192.69 2.86)
Besi Cor
(201.83.6)
(55.50 0.5)
(212.42 3.78)
4. Kekerasan suatu material tergantung dari kadar karbon dan bila mengalami perlakuan panas tergantung juga dari laju pendinginanya. 5. Material mengalami perlakuan panas dengan pendinginan air lebih keras daripada pendinginan udara karena laju pendinginanya lebih cepat sehingga terbentuk martensit.
2.5.2 SARAN Untuk mendapatkan data hasil pengujian yang akurat maka sebaiknya : 1. Pengamplasan dilakukan sebaik mungkin sampai permukaan benda uji benar benar rata, halus, dan bersih serta sejajar antara permukaan atas dan bawah. 2. Pengidentasi dan landasannya harus bersih dan dudukannya baik. 3. Teliti dalam mengatur dial indicator, posisi jarum kecil dan jarum besar harus tepat. 4. Dalam menggerakan tuas harus tepat di posisi masing-masing tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. 5. Jarak titik penetrasi jangan terlalu dekat. 6. Teliti dalam membaca skala. 7. Spesimen pengujian jangan sampai tertukar.