1.
6 Syarat Menuntut Ilmu
2. Ala la, kata tersebut adalah judul dari dua bait dua bait syair di bawah ini. Kitab “Ta’lim alalMuta’allim” yang ditulis oleh Imam Al-Zarnuji, Al -Zarnuji, menisbatkan dua bait syair itu kepada 'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu. radhiyallahu'anhu. Sementara dalam kitab Diwan Imam Syafi'i Rahimahullah, dalam bab qafiyah nuun (syair yang berakhiran huruf huruf nuun) dua bait syair ini pun ada. Kendati kata pembukanya pembukanya bukanlah ALA LA. Dua Dua bait Syair itu berbunyi:
4.
3.
5. "Ingatlah! Engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan memenuhi 6 syarat. Saya Sa ya akan beritahukan keseluruhannya secara rinci. Yaitu: Kecerdasan, kemauan (rakus akan ilmu), sabar, biaya (pengorbanan materi/ waktu), petunjuk petunjuk (bimbingan) (bimbingan) guru dan dalam tempo waktu yang lama." 6 Syarat Menuntut Ilmu 1. Dzakaa-un (Kecerdasan) Ulama membagi kecerdasan menjadi dua yaitu: yang pertama,muhibatun minallah (kecerdasan yang diberikan oleh Allah). Contoh, Seseorang yang memiliki hafalan yang kuat. Yang kedua adalah kecerdasan yang didapat dengan usaha (muktasab) misalnya dengan cara mencatat, mengulang materi yang diajarkan, berdiskusi dll. Ada beberapa kecerdasan yang harus kita kembangkan dalam diri kita dianta ranya : kecerdasan logika, spacial, linguistik, gerak, musik, intrapersonal, interpersonal dan kecerdasan naturalis. 2. Hirsun (Tamak/ Rakus akan Ilmu) Ketamakan akan ilmu artinya tidak ada perasaan puas dalam menc ari beragam pengetahuan, baik agama maupun pengetahuan pengetahuan umum. Yaitu perhatian dan semangat dengan apa apa yang disampaikan gurunya. Sekaligus berupaya mengulang pelajarannya. 3. Kesabaran. Dalam menuntut ilmu dibutuhkan al himmatul ‘aliyah yaitu ‘aliyah yaitu semangat atau cita-cita yang tinggi. Seseorang hendaknya memaksa diri untuk mencari ilmu dengan semangat mewujudkan cita-cita demi agamanya. Sebagaimana pepatah arab mengatakan : "Man jadda wajada" "Barangsiapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil". 4. Biaya (Pengorbanan Materi/ Waktu). Dalam menuntut ilmu tentu butuh biaya (bekal), tidak mungkin menuntut ilmu tanpa biaya (bekal). Contoh para imam, Imam Malik menjual salah satu ka yu penopang atap rumahnya untuk menuntut ilmu. Imam Ahmad melakukan perjalanan jauh ke berbagai negara untuk mencari ilmu. ilmu. Beliau janji kepada Imam Syafi’i untuk bertemu di Mesir akan tet api beliau
tidak bisa ke Mesir karena tidak ada bekal. Seseorang untuk mendapat ilmu harus berkorban waktu, harta bahkan terkadang nyawa. 5. Petunjuk Guru Seseorang harus duduk dalam majelis ilmu bersama ustadz. Tidak menjadikan buku sebagai satu-satunya guru. Dalam mempelajari sebuah buku kita membutuhkan bimbingan guru. Hendaknya menggabungkan antara bermajelis ilmu bersama seorang guru, juga banyak membaca buku. 6. Waktu yang Panjang Dalam menuntut ilmu butuh waktu yang lama. Tidak mungkin didapatkan seorang da’i/ulama hanya karena daurah beberapa bulan saja.Al-Baihaqi berkata:”Ilmu tidak akan mungkin didapatkan kecuali dengan kita meluangkan waktu”. Al Qadhi iyadh ditanya: sampai ka pan seseorang harus menuntut ilmu? Beliau menjawab: ”Sampai ia meninggal dan ikut tertuang tempat tintanya ke liang kubur.”
Ilmu adalah Pemimpin Amalan Muhammad Abduh Tuasikal, MSc August 27, 2009 Jalan Kebenaran 1 Comment 12,614 Views
“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu .” ( Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15) Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa man tabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin. Mu’adz bin Jabal –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,
“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu .” ( Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)
Bukti Bahwa Ilmu Lebih Didahulukan daripada Amalan Ulama hadits terkemuka, yakni Al Bukhari berkata, “ Al ‘Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)“. Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta’ala,
“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad [47]: 19). Dalam ayat ini, Allah memulai dengan ‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘ mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan. Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat ini, lalu mengatakan, “ Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah memerintahkan untuk beramal?” (Fathul Bari , Ibnu Hajar, 1/108) Al Muhallab rahimahullah mengatakan, “Amalan yang bermanfaat adalah amalan yang terlebih dahulu didahului dengan ilmu. Amalan yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas, maka ini bukanlah amalan (karena tidak didahului dengan ilmu, pen). Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang gila yang pena diangkat dari dirinya.“ (Syarh Al Bukhari libni Baththol , 1/144) Ibnul Munir rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan oleh Al Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan dan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.” ( Fathul B ari , 1/108)
Keutamaan Luar Biasa Ilmu Syar’i Setelah kita mengetahui hal di atas, hendaklah setiap orang lebih memusatkan perhatiannya untuk berilmu terlebih dahulu daripada beramal. Semoga dengan mengetahui faedah atau keutamaan ilmu syar’i berikut akan membuat kita lebih termotivasi dalam hal ini. Pertama, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu di akhirat dan di dunia
Di akhirat, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu beberapa derajat berbanding lurus dengan amal dan dakwah yang mereka lakukan. Sedangkan di dunia, Allah meninggikan orang yang berilmu dari hamba-hamba yang lain sesuai dengan ilmu dan amalan yang dia lakukan. Allah Ta’ala berfirman,
“ Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat .” (QS Al Mujadalah: 11) Kedua, seorang yang berilmu adalah cahaya yang banyak dimanfaatkan manusia untuk urusan agama dan dunia meraka. Dalilnya, satu hadits yang sangat terkenal bagi kita, kisah seorang laki-laki dari Bani Israil yang membunuh 99 nyawa. Kemudian dia ingin bertaubat dan dia bertanya siapakah di antara penduduk bumi yang paling berilmu, maka ditunjukkan kepadanya seorang ahli ibadah. Kemudian dia bertanya kepada si ahli ibadah, apakah ada taubat untuknya. Ahli ibadah menganggap bahwa dosanya sudah sangat besar sehingga dia mengatakan bahwa tidak ada pintu taubat bagi si pembunuh 99 nyawa. Maka dibunuhlah ahli ibadah sehigga genap 100 orang yang telah dibunuh oleh laki-laki dari Bani Israil tersebut. Akhirnya dia masih ingin bertaubat lagi, kemudian dia bertanya siapakah orang yang paling berilmu, lalu ditunjukkan kepada seorang ulama. Dia bertanya kepada ulama tersebut, “Apakah masih ada pintu taubat untukku”. Maka ulama tersebut mengatakan bahwa masih ada pintu taubat untuknya dan tidak ada satu pun yang menghalangi dirinya untuk bertaubat. Kemudian ulama tersebut menunjukkan kepadanya agar berpindah ke sebuah negeri yang penduduknya merupakan orang shalih, karena kampungnya merupakan kampung yang dia tinggal sekarang adalah kampung yang penuh kerusakan. Oleh karena itu, dia pun keluar meninggalkan kampung halamannya. Di tengah jalan sebelum sampai ke negeri yang dituju, dia sudah dijemput kematian. (HR. Bukhari dan Muslim). Kisah ini merupakan kisah yang sangat masyhur. Lihatlah perbedaan ahli ibadah dan ahli ilmu. Ketiga, Ilmu adalah Warisan Para Nabi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak.” (HR Abu Dawud no. 3641 dan Tirmidzi no. 2682. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan A bi Daud dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shohih) Keempat, Orang yang Berilmu yang Akan Mendapatkan Seluruh Kebaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari dan Muslim) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Setiap orang yang Allah menghendaki kebaikan padanya pasti akan diberi kepahaman dalam masalah agama. Sedangkan orang yang tidak diberikan kepahaman dalam agama, tentu Allah tidak menginginkan kebaikan dan bagusnya agama pada dirinya.” ( Majmu’ Al Fatawa, 28/80)
Ilmu yang Wajib Dipelajari Lebih Dahulu Ilmu yang wajib dipelajari bagi manusia adalah ilmu yang menuntut untuk diamalkan saat itu, adapun ketika amalan tersebut belum tertuntut untuk diamalkan maka belum wajib untuk dipelajari. Jadi ilmu mengenai tauhid, mengenai 2 kalimat syahadat, mengenai keimanan adalah ilmu yang wajib dipelajari ketika seseorang menjadi muslim, karena ilmu ini adalah dasar yang harus diketahui. Kemudian ilmu mengenai shalat, hal-hal yang berkaitan dengan shalat, seperti bersuci dan lainnya, merupakan ilmu berikutnya yang harus dipelajari. Kemudian ilmu tentang hal-hal yang halal dan haram, ilmu tentang mualamalah dan seterusnya. Contohnya seseorang yang saat ini belum mampu berhaji, maka ilmu tentang haji belum wajib untuk ia pelajari saat ini. Akan tetapi ketika ia telah mampu berhaji, ia wajib mengetahui ilmu tentang haji dan segala sesuatu yang berkaitan dengan haji. Adapun ilmu tentang tauhid, tentang keimanan, adalah hal pertama yang harus dipelajari karena setiap amalan yang ia lakukan tentunya berkaitan dengan niat. Kalau niatnya dalam melakukan ibadah karena Allah maka itulah amalan yang benar. Adapun kalau niatnya karena selain Allah maka itu adalah amalan syirik. Ini semua jika dilatarbelakangi dengan aqidah dan tauhid yang benar.
Penutup Marilah kita awali setiap keyakinan dan amalan dengan ilmu agar luruslah niat kita dan tidak terjerumus dalam ibadah yang tidak ada tuntunan (alias bid’ah). Ingatlah bahwa suatu amalan yang dibangun tanpa dasar ilmu malah akan mendatangkan kerusakan dan bukan kebaikan. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengatakan, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.” ( Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar , hal. 15) Di samping itu pula, setiap ilmu hendaklah diamalkan agar tidak serupa dengan orang Yahudi. Sufyan bin ‘Uyainah –rahimahullah- mengatakan,
“Orang berilmu yang rusak (karena tidak mengamalkan apa yang dia ilmui) memiliki keserupaan dengan orang Yahudi. Sedangkan ahli ibadah yang rusak (karena beribadah tanpa dasar ilmu) memiliki keserupaan dengan orang Nashrani.” (Majmu’ Al Fatawa, 16/567) Semoga Allah senantiasa memberi kita bertaufik agar setiap amalan kita menjadi benar karena telah diawali dengan ilmu terdahulu. Semoga Allah memberikan kita ilmu yang bermanfaat, amal yang sholeh yang diterima, dan rizki yang thoyib. Alhamdulilllahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam. *** Disusun di Mediu-Jogja, 21 Jumadil Ula 1430 H Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel https://rumaysho.com Sumber : https://rumaysho.com/242-ilmu-adalah-pemimpin-amalan.html
Teringat nasehat yang indah ketika mendengarkan kajian Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawwas tentang masalah Ilmu, Amal, Dakwah dan Istiqomah. Di bab Ilmu beliau menyampaikan tentang keutamaan ilmu (ilmu dien tentunya), bagaimana mendapatkannya, dan sebuah nasehat dari ulama besar Islam “Imam Syafi’I kepada para penuntut ilmu. Aku jadikan “LIKE” nasehat ini, supaya aku selalu termotivasi dalam menuntut ilmu. Yaitu enam bekal yang harus dimiliki para penuntut ilmu agama, agar dapat meraih kesuksesan dalam menuntut ilmu. Beliau Imam Asy-Syafi’i rahimahullahberkata:
:
“Wahai saudaraku… ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan enam perkara yang akan saya beritahukan perinciannya: (1) kecerdasan, (2) semangat, (3) sungguh-sungguh, (4) berkecukupan, (5) bersahabat (belajar) dengan ustadz, (6) membutuhkan waktu yang lama.” Adapun penjelasannya saya rangkum dari buku “ Bekal bagi Penuntut Ilmu” karya Abdullah bin Shalfiq Adh-Dhafiri terbitan Maktabah Al Ghuroba dan Perjalanan Ulama Menuntut Ilmu karya Abu Anas Majid Al Bankani terbitan Darul Falah. 1. K ecerdasan . Kecerdasan yang ada pada diri seseorang terkadang memang sudah sebagai perangai yang Allah berikan kepadanya. Sebagaimana kecerdasan yang dikaruniakan Allah kepada Ibnu Abbas. Terkadang kecerdasan ada karena memang harus diusahakan. Bagi orang yang sudah memiliki kecerdasan maka tinggal menguatkannya, namun apabila belum punya hendaknya ia melatih jiwanya untuk berusaha mendapatkan kecerdasan tersebut. Kecerdasan adalah sebab di antara sebab-sebab yang paling kuat membantu seseorang menggapai ilmu, memahami dan menghafalnya. Memilah-milah permasalahn, men- jama’ (menggabungkan) dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dan yang selain dar i hal itu 2. Semangat untuk mendapatkan I lmu. Allah Azza wa jalla berfirman: “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan”(An Nahl: 128) Seseorang apabila mengetahui nilai pentingnya sesuatu pasti ia akan berusaha dengan semangat untuk mendapatkannya. Sedangkan ilmu adalah sesuatu yang paling berharga yang dicari oleh setiap orang. Penuntut ilmu hendaknya memiliki semangat membaja untuk menghafal dan memahami ilmu , duduk bermajelis dengan para ulama dan mengambil ilmu langsung dari mereka, memperbanyak membaca, menggunakan umur dan waktunya semaksimal mungkin serta menjadi orang yang paling pelit menyianyiakan waktunya. Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu adalah salah satu contoh shahabat yang bersemangat sekali dalam menuntut Ilmu. Di kala saudara-saudaranya di kalangan Muhajjirin sibuk berdagang di pasar dan saudara-saudara dari kalangan Anshar sibuk bekerja, Abu Hurairah telah kenyang dengan ilmubersama Rasulullah Shalallahu alahi wasallam dan hadir saat-saat saudara-saudara mereka tidak hadir serta menghafal apa yang tidak mereka hafal. 3. Bersungguh-sungguh dalam menuntut I lmu. Menjauhi segala bentuk kemalasan dan kelemahan serta berjihad melawan hawa nafsu dan setan itu senantiasa merintangi dan melemahkan semangat dalam menuntut ilmu. Diantara sebab-sebab yang membantu seseorang untuk giat, tekun, bersungguhsungguh adalah membaca biografi kehidupan para ulama, bagaimana kesabaran dan ketahanan mereka menanggung penderitaan serta kisah mereka dalam rihlah (mengembara) dari satu negeri ke negeri lain dalam rangka mencari ilmu dan hadist. Diriwayatkan dari Fadhal bin Ziad, dia berkata, “Ahmad bin Hambal Rahimahullah berkata, “Tidak seorangpun pada zaman Ibnul Mubarak yang lebih gigih dalam menuntut ilmu selain dirinya. Dia pergi ke Yaman, Mesir, Syam, Basrah dan Kuffah. Dia adalah termasuk orang yang meriwayatkan ilmu dan pantas untuk itu. Dia belajar dari yang tua maupun yang muda. 4. Memiliki B ekal yang cukup. Para ulama jaman dahulu rela mengorbankan harta bendanya untuk melakukan perjalanan dalam menuntut ilmu. Abu Hatim yang menjual bajunya untuk dapat menuntut Ilmu, Imam Malik bin Anas menjual kayu atap rumahnya untuk bisa menuntut ilmu, bahkan Al Hamadzan Al Atthar, seorang syaikh dari Hamadzan menjual seluruh warisannya untuk biaya menuntut ilmu. Penunutut ilmu mencurahkan segala kemampuan baik materi atau apapun yang ia miliki hingga ia menggapai cita-citanya hingga ia mumpuni dalam bidang keilmuan dan kekuatannya: baik hafalan, pemahaman maupun kaidah dasarnya. 5. Memiliki G uru Pembimbing. Ilmu itu diambil dari lisan para ulama. Seorang penuntut ilmu agar kokoh dalam menuntut ilmu hendaknya ia membangunnya di atas dasar-dasar yang benar, hendaknya ia bermajelis dengan para ulama, mengambil ilmu langsung dari lisan mereka. Sehingga ia menuntut ilmu di atas kaidah-kaidah yang benar, mampu mengucapkan dalil-dalil dari nash Al Qur’an dan Al Hadist
dengan pelafadzan yang shahih tanpa ada kesalahan dan k ekeliruan dan dapat memahami ilmu dengan pemahaman yang benar sesuai yang diinginkan (oleh Allah dan Rasulnya). Terlebih lagi dengan hal itu kita bisa mendapatkan faedah dari seseorang yang ‘alim berupa adab, akhlaq dan sikap wara’. Hendaknya bagi penuntut ilmu untuk menjauhi, jangan sampai menjadikan kitab-kitab sebagai gurunya. Karena barang siapa menjadikan kitab-kitab sebagai gurunya niscaya akan banyak kekeliruan dan sedikit kebenaran. Dan terus-menerus hal ini berlangsung sampai zaman kita sekarang ini. Tidaklah kita jumpai seorang yang menonjol dalam bidang keilmuan melainkan pasti ia berada dibawah bimbingan tangan dan didikan orang ‘alim. Perjalanan ulama dalam menuntut ilmu tak hanya dengan satu atau dua orang guru saja. Bahkan ada yang sampai ribuan, seperti Al Hafizh As Sam’ani yang belajar kepada 7000 Syaikh.
6. M asa yang Panjang. Seorang penuntut ilmu jangan sampai menyangka bahwa menuntut ilmu itu cukup hanya dengan sehari atau dua hari, setahun atau dua tahun. Karena sesungguhnya menuntut ilmu membutuhkan kesabaran bertahun-tahun. Al Qadhi Iyadh suatu ketika pernah ditanya ”Samapi kapan seseorang harus menuntut ilmu?”. Beliau menjawab: “ Sampai ia meninggal dan ikut tertuang tempat tintanya ke liang kubur. Al Imam Ahmad mengatakan: “Aku duduk belajar Kitabu Haid selama Sembilan tahun, samapi aku benar-benar memahaminya.” Terus menerus para penuntut ilmu yang cerdik bermajelis dengan para ulama, ada di antara mereka yang selama sepuluh tahun, dua puluh tahun, bahkan ada diantara mereka yang menghabiskan umurnya menuntut ilmu bersama para ulama sampai Allah ta’ala memwafatkannya. Nasehat yang indah dari seorang Imam besar kepada para penuntut ilmu.Dan hanya memohon kepada Allah ta’ala semoga member taufik dan hidayah kepada kita untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan beramal shalih.
6 syarat menuntut ilmu Sungguh agung dan mulia kedudukan seorang ahli ilmu di sisi Allah SWT, Allah mengangkat derajat orangorang yang beriman dan orang-orang yang dianugerahi ilmu beberapa derajat, sebagaimana Allah firmankan:
Yang artinya: niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Almujadilah ayat 11 Dalam sebuah hadis, nabi pun menyanjung o rang alim dengan membandingkannya dengan ahli ibadah sebagaimana beliau sabdakan: Kelebihan seorang alim (ilmuwan) terhadap seorang ‘abid (ahli ibadah) ibarat bulan purnama terhadap seluruh bintang. (HR. Abu Dawud ) Menuntut ilmu hukumnya sangat wajib bagi setiap muslim yang berakal, baik miskin atau kaya, orang kampung atau pun orang kota, selama dia berakal sehat wajib hukumnya menuntut ilmu. D ikatakan dalam Hadis : “Menuntut ilmu itu sangat wajib bagi setiap muslim” (HR Ibnu Majah) Dalam kajian hukum Islam, bahwa standar hidup yang ideal bagi manusia adalah Haddul Kifâyah, Lâ Haddul Kafaf (batas kecukupan, bukan batas pas-pasan)[1]. Dan kita tahu bahwa kewajiban dalam menuntut ilmu dimulai dari rahim ibu sampai liang lahat. Dengan demikian untuk memenuhi standar hidup yang ideal hendaknya tidak hanya pas-pasan. Dalam kitab “Ta’lim al-Muta’allim” yang ditulis oleh Imam Al-Zarnuji, beliau menulis bahwa syarat-syarat mencari ilmu menurut Imam Syafi’i dari Imam Ali bin Abi Thalib ada 6, yaitu:
1. Cerdas Cerdas adalah salah satu syarat untuk menuntut il mu. Kecerdasan adalah bagian dari pengaruh keturunan jalur psikis. Dari ayah dan bunda yang cerdas akan lahir anak-anak yang cerdas, kecuali adanya sebab-sebab yang memungkinkan menjadi penghalang transformasi sifat-sifat tersebut baik situasi fisis maupun psikis. Sehat jasmani dan lemah jasmani, makanan bayi dalam kandungan maupun situasi psikis ayah bunda seperti semangat dan himmah menuntut ilmu, melakukan kejahatan, emosi, maupun warna pikiran akan ikut memberikan pengaruh yang besar bagi keturunan. Itulah buktinya bahwa dari ayah dan bunda yang sama akan lahir anak-anak dengan kondisi fisik, watak, sifat dan kecerdasan yang berbeda. Tentang kaitan keturunan dengan ilmu pengetahuan maka kita perlu mengingat bahwa yang diturunkan dari orangtua adalah tingkat kecerdasannya saja bukan kekayaan ilmu pengetahuan. Kekayaan ilmu pengetahuan tidak ada jalan lain kecuali belajar dengan baik. Sabda nabi SAW: “Bahwasanya ilmu itu diperoleh dengan (melalui) belajar”. Al-Hadis Dan yang menjadi masalah sekarang bagaimana anak yang cerdas (karena keturunan) tetapi tidak memiliki ketekunan dan kesungguhan dalam menuntut ilmu, jawabannya sudah pasti bahwa dia tidak akan menjadi orang pandai/‘Alim. 2. Rakus atau Tamak Rakus adalah (punya kemauan dan semangat untuk berusaha mencari ilmu) “Kejarlah cita-citamu setinggi langit”. Peribahasa ini memberikan arti bercita-citalah setinggi-tingginya dan raihlah cita-cita itu sampai dimana pun. Peribahasa tersebut memberikan motivasi kepada kita untuk
pantang menyerah mengejar cita-cita (pendidikan) kita. O rang yang menuntut ilmu haruslah seperti peribahasa di atas: “selalu berusaha dan berusaha menuntut ilmu untuk mencapai cita-cita yang tinggi”. Bahkan menurut Imam as-Syafi’i, dalam menuntut ilmu janganlah langsung merasa puas terhadap apa yang telah didapat dan jangan hanya menuntut ilmu di satu daerah saja.
yang artinya: Pergilah kau, kan kau dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. Rasul berpesan dalam sebuah hadis: Walaupun keshasihan hadis ini dipertanyakan, setidaknya hadis ini memotivasi kita untuk pergi jauh dalam menuntut ilmu dan mengejar cita-cita. Allah pun telah mengingatkan agar tidak semua mu’min pergi berperang, melainkan ada segolongan diantara mereka yang memperdalam ilmu agar bisa memberi peringatan k epada kaumnya
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. At-taubah ayat 122. Tiga kategori manusia menurut hadis yang diriwatkan oleh Imam Dailami, Rasulullah bersabda: ada tiga kategori manusia: Beruntung: jika hari ini lebih baik dari kemarin, Merugi: hari ini sama seperti kemarin, Celaka/Dilaknat: hari ini lebih buruk dari kemarin. Jika iri adalah perbuatan yang dilarang, maka iri kepada orang berilmu dibolehkan Rasul, dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhori, Rasul bersabda:
{
}
:
Tidak ada iri hati (yang diperbolehkan) kecuali terhadap dua perkara, yakni : seseorang yang diberi Allah berupa harta lalu dibelanjakanannya pada sasaran yang benar, dan seseorang yang diberi Allah berupa ilmu dan kebijaksanaan lalu ia menunaikannya dan mengajarkannya. (HR Al Bukhori) Di antara jenis penyakit hati adalah sombong, ujub, iri, dengki, tamak, dst. Jadi di antara bentuk penyakit hati adalah iri dan dengki. Dalam bahasa Arab atau bahasa agama ia disebut dengan hasad. Hasad adalah tidak senang melihat seseorang mendapatkan nikmat serta berharap agar nikmat tersebut lenyap. Dalam hal ini hasad berbeda dengan ghibthah. Sebab, ghibthah adalah berharap mendapatkan nikmat seperti yang didapat oleh orang tanpa menginginkan harta itu lenyap dari orang tadi. Inilah iri yang baik yang disebutkan oleh Nabi saw,
Tidak boleh iri kecuali dalam dua hal, yaitu (1) seseorang yang Allah ajarkan al-Quran kepadanya. Kemudian ia membacanya malam dan siang sehingga tetangganya mendengarkannya. Lalu tetangga tersebut berkata, “Kalaulah aku diberikan karunia seperti si Fulan, maka aku akan beramal seperti yang ia amalkan”; dan (2) seseorang yang Allah karuniai harta. Ia menghabiskan hartanya dalam kebenaran. Lalu seseorang berkata,
“Kalaulah aku dikaruniai seperti apa yang dikaruniakan kepada si Fulan, maka aku akan beramal seperti apa ia amalkan”. (H.R. Bukhari). 3. Penuh Perjuangan dan Sabar Dikutip dari bukunya Prof. KH. Ali Yafie “Manusia dan Kehidupan” bahwa manusia pada hakekatnya dihadapkan kepada pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab (tantangan). Seorang m anusia harus mampu menjawab berbagai pertanyaan menyangkut kehidupannya yang terkait dengan berbagai tantangan dan persoalan. Seorang yang menuntut ilmu sudah barang tentu akan menghadapi macam-macam g angguan dan rintangan. Selain berusaha maka bersabarlah untuk menghadapi semuanya itu, dan perlu diketahui bahwa sabar adalah sebagian dari Iman, “As-Shobru mina al- îmân”. Dan Sabar disini mengandung arti tabah, tahan menghadapi cobaan atau menerima pada perkara yang tidak disenangi atau tidak mengenakan dengan ri dha dan menyerahkan diri kepada Allah Swt. Sabda nabi Saw:
)
(
“Bersabar adalah cahaya yang gilang-gemilang”. (HR. Muslim) Sabar artinya tabah, tahan menghadapi cobaan. Orang yang sabar tahan menerima hal-hal yang tidak disenangi atau tidak mengenakkan dengan ridha dan menyerahkan diri kepada Allah. Sabar adalah salah satu akhlak terpuji. Sabar juga merupakan salah satu kunci untuk meraih kebahagiaan dan ketenangan hidup. Hidup di dunia ini penuh dengan tantangan dan cobaan. Manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia ini tidak luput dari ujian dan cobaan, ketika mengalami ujian dan cobaan kita harus menhadapinya dengan sabar. Sifat sabar bagaika n cahaya yang terang benderang dalam suasana yang gelap gulita. Akan tetapi kesabaran disini harus diartikan dalam pengertian yang aktif bukan dalam pengertian yang pasif. Artinya nrimo (menerima) apa adanya tanpa usaha untuk memperbaiki keadaan. Sesuai ajaran agama pengertian sabar dan kata-kata sabar itu misalnya dapat ditemukan di dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran. Yakni satu surat yang terdiri dari 200 ayat yang menjelaskan tentang keseluruhan perjuangan besar dan berat yang telah dilakukan rasulullah Saw sepanjang hidupnya dan itu semua direkam dalam Surat Ali Imran. Ada dua perjuangan berat dan sangat menentukan yaitu pertempuran badar dan uhud. Di dalamnya terdapat banyak kata-kata sabar, tetapi kata-kata sabar itu selalu diletakan dalam konteks perjuangan bukan dalam konteks seseorang ditimpa musibah. Dengan demikian dapat diperoleh gambaran dan kesimpulan pengertian bahwa sabar yang aktif itu artinya suatu mentalitas ketahanan belajar, memiliki mental yang kuat untuk tekun belajar dan berusaha keras seoptimal mungkin dengan penuh daya tahan, tidak jemu, tidak bermalasmalasan, tetapi belajar dengan penuh semangat. Selain itu, dalam belajar harus berkonsentrasi karena jika belajar pikirannya bercabang maka tidak bisa optimal. Salah satu bagian dari sabar adalah Hudurul Qalb atau berkonsentrasi. 4. Bekal (biaya) Setiap perjuangan pasti ada pengorbanan, i tulah logikanya, manusia menjalani hidup ini butuh pengorbanan begitupun menuntut ilmu. Biasanya, dalam hal biaya ini menjadi dalih masyarakat yang sangat utama dalam menuntut ilmu khususnya pada pendidikan formal. Sehingga keti ka ditanya salah seorang yang tidak belajar di pendidikan formal misalnya, “kenapa kamu atau dia tidak sekolah?” jawabannya sungguh gampang sekali, “saya atau dia tidak sekolah karena tidak punya biaya. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan wajib hukumnya bagi setiap muslim, dan dijelaskan lagi dalam hadis “Tuntutlah ilmu mulai dari rahim ibu sampai liang lahat”. Dari hadis tersebut kita bisa mengetahui long life education bahwa, seumur hidup kita wajib menuntut ilmu. Pendidikan bukan hanya pendidikan formal tetapi non formal pun ada. Rasul menjanjikan kepada para penuntut ilmu,
“Sesungguhnya Allah pasti mencukupkan rezekinya bagi o rang yang menuntut ilmu” Dalam lafal hadis di atas tertulis lafazh takaffala dengan menggunakan fi’il madhy yang aslinya mempunyai arti ‘telah mencukupkan’ yang “seolah-olah” sudah terjadi. Maka laf azh tersebut mempunyai makna pasti, asalkan dibarengi dengan keyakinan terhadap kekuasaan Allah. Dan yakinkanlah bagi para penuntut ilmu walaupun dengan segala kekurangan (biaya) pasti mampu atau bisa menyelesaikan pendidikan. Karena pasti akan ada jalan lain selama manusia berusaha dan yakin terhadap kekuasaan dan pertolongan Allah Al-Yaqinu Lâ Yuzâlu bis-Syak Artinya: ”keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keragu-raguan”. Dan akhirnya maka tidak ada alasan orang tidak bisa menuntut ilmu karena biaya, seperti keterangan sebelumnya carilah jalan lain, solusi lain untuk bisa menuntut ilmu. 5. Bersahabat dengan Guru Ilmu didapat dengan dua cara. Pertama dengan bil kasbi. Yakni didapat dengan cara usaha keras sebagaimana layaknya pencari ilmu biasa. Ia belajar menuntut ilmu dengan tekun belajar dari bimbingan yang benar. Kedua dengan bil kasyfi. Yakni dengan cara mendekatkan diri kepada Allah Swt secara total. Dengan kedekatannya kepada Allah Swt, Allah akan memberi apa yang ia minta. Cara ini adalah cara untuk orang khusus. Sebagai penuntut ilmu berusahalah semaksimal mungkin untuk dapat mengkorelasikan keduanya. Juga, berusaha semaksimal mungkin untuk mendapat petunjuk guru karena t anpa petunjuk guru dan tanpa taqarrub (ibadah mendekatkan diri) total kepada Allah bisa jadi ilmu tersebut datangnya dari iblis la’natullah ‘alaih. Profesionalisme guru artinya seorang g uru harus mampu menguasai pelajaran sesuai dengan bidangnya. Sebagai guru haruslah mempunyai sifat-sifat yang mencerminkan kemuliaan ilmu dan tabi’at (akhlaq) yang baik. Kita analogikan seorang petani profesional akan merawat tanamannya dari rumput pengganggu, ia akan membasmi hama dan penyakitnya. Demikian pula seo rang pendidik haruslah membersihkan dirinya dari segala kebiasaan buruk dalam masyarakat. Ia akan tanggap dan waspada dengan para penyeru maksiat. Hendaklah ia membenahi dirinya sebelum ia menebarkan benih-benihnya. Ia harus m enanamnya dalam lahan yang subur. Hendaklah ia menyibukkan diri dengan amal kebaikan, kesibukan-kesibukan akhirat yang akan menjadi tameng dari syahwat dan syubhat. Kemudian sebaik-baik pendidik adalah yang konsisten dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang tercermin lewat akhlak dan amalan-amalannya yang shalih. Cerdas dalam mendeteksi penyakit hati serta berpengalaman dalam mengobatinya, remaja yang tumbuh dari pendidikan—tarbiyah—yang baik maka akan menjadi buah yang segar nan ranum. Ia bermanfaat bagi diri dan masyarakat sekitar. Beberapa ciri-ciri tabi’at guru (pendidik) yang harus ditanamkan adalah sebagai berikut: Mencintai pekerjaannya sebagai guru Adil terhadap semua murid Sabar dan tenang Berwibawa (dilihat dari ilmu dan taqwanya) serta kemampuan memengaruhi orang lain Selalu ikhlas mendoakan muridnya Berusaha ikhlas mengajarkan ilmunya. Akibat dari sikap cuek terhadap guru, diungkapkan dalam sebuah pepatah arab:
Sesungguhnya pengajar/guru dan thabib/dokter keduanya tidak akan memberi nasehat jika keduanya belum dihormati. Maka bersabarlah dengan rasa sakitmu jika engkau menjauhi dokter, dan nikmatilah kebodohanmu jika engkau menjauhi guru. Sementara dalam menghormati guru, Imam Ali bin Abi Thalib berkata: Barang siapa mengajarkan kepadaku satu huruf, maka aku menjadi hamba baginya.
6. Waktu yang lama Maksudnya selesaikanlah pendidikan itu samapai tuntas, jangan sampai berhenti di tengah jalan Imam Syafi’I pernah berkata:
= = =
–
–
Imam Syafi’i Rahimahullah dalam syairnya berkata : “Barang siapa tidak pernah merasakan pahitnya belajar meski sekejap. Dia akan menelan hinanya kebodohan sepanjang hayatnya Barang siapa yang ketinggalan belajar waktu mudanya. Maka bertakbirlah 4 kali (shalat mayit) untuk wafatnya (kematiannya) Jati diri seorang pemuda Demi Allah adalah dengan ilmu dan taqwa. Jika keduanya tiada, dia juga dianggap telah tiada (Diwanus Syafi’i, hal 29) Imam Syafi’I juga pernah curhat kepada gurunya Imam Waki’ tentang susahnya mendapatkan ilmu:
Aku mengadu kepada Imam Waki’i tentang susahnya menghafal atau mendapatkan ilmu. Maka Imam Waki’i memberiku petunjuk untuk meninggalkan maksiat dan mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat. Dalam sebuah hadis Rasulullah menekankan peranan ilmu sebagai kunci dalam meraih kesuksesan di dunia dan akhirat: «
»
“Barang siapa yang menginginkan kehidupan dunia, hendaklah dengan ilmu. Siapa yang ingin kehidupan akhirat dengan ilmu. Dan siapa yang menginginkan keduanya (dunia & akhirat) juga dengan ilmu” [HR Bukhari & Muslim] Namun satu hal yang perlu diingat, walau pun kita meraih kesuksesan, hendaknya kita tetap rendah hati atau tawadhu, sebagaimana diungkapkan dalam sebuah pepatah:
Bertawadhulah seperti bintang yang jelas nampak terlihat di atas permukaan air padahal ia berada di tempat yang tinggi, dan janganlah engkau seperti asap, yang terus membumbung tinggi, padahal ketika sampai di udara ia menghilang. Wallahu a’lam bisshowab!
Enam Syarat Ilmu Manfa’at dari Imam Syafi’i Enam Syarat Menuntut Ilmu “Ingatlah! Engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali setelah memenuhi enam syarat. Saya akan beritahukan keseluruhannya secara rinci. Yaitu: Kecerdasan, semangat, sabar, biaya, petunjuk (bimbingan) guru dan dalam tempo waktu yang lama.” Dikutib dari Kitab Ta’lim Muta’alim Untuk sukses mendapatkan ilmu, Imam Syafi’i menyebutkan enam syarat, yaitu: 1. Dzaka’ (Kecerdasan) Kecerdasan ada dua macam. Pertama, pemberian (minhah) dari Allah Swt. Kedua, muktasab (seseorang bisa mengembangkan dan mengupayakannya). Saudara dan saudariku yang dimuliakan Allah Swt… Dalam rangka mendapatkan dzaka’ muktasab ini, banyak hal yang dapat Anda lakukan, yaitu:
a. Sering membaca buku. Malu kita kalau tida k rajin membaca buku. Jangan sa mpai kita terkena ejekan ummatu iqra’ la taqra’ (umat yang wahyu pertamanya berbunyi ’iqra’ kok malah tidak membaca) b. Sering-seringlah menuliskan apa-apa yang Anda baca, dengar dan saksikan. Belajarlah merapikan ide-ide dan pengetahuan Anda. Tuangkanlah segala gagasan Anda dalam bentuk tulisan! Ingatlah bahwa wahyu kedua yang turun kepada Nabi Muhammad saw. adalah surat Al Qalam (pena), sebagaimana pendapat yang paling kuat yang dipegang para ulama. Dalam surat ini, Allah SWT bersumpah dengan Al Qalam dan apa yang dituliskan olehnya. c. Biasakanlah mengikuti dan melakukan diskusi-diskusi ilmiah! Bukan diskusi penuh emosi, adu otot, debat kusir dan semacam- nya tetapi, sekali lagi, diskusi ilmiah. d. Ajarankanlah apa-apa yang telah Anda ketahui kepada orang Iain! Atau diistilahkan para ulama: tunaikanlah zakat ilmu Anda. Sebab, dengan zakat ilmu ini, ilmu Anda akan bersih (thahir) dan semakin berkembang dengan lebih baik (tazkiyah). Kalau dalam istilah guru kampung saya: ilmu itu ibarat api (sebenarnya yang lebih pas sih cahaya, nuur, tapi nggak mengapalah). Bila kita mempunyai api, lalu ada orang lain datang membawa kayu dan meminta api kepada kita, maka api itu akan semakin besar dan semakin banyak. 2. Hirsh (semangat) Menurut kami, hirsh adalah hasil dari kesadaran. Kesadaran apa? * Kesadaran akan kelemahan dirinya dalam ilmu p engetahuan. * Kesadaran bahwa dirinya mempunyai potensi untuk mendapatkan ilmu. * Kesadaran bahwa thalabul ’ilmi itu farid hah. * Kesadaran bahwa dirinya-sebagai dai-harus berbekal ilmu. * Kesadaran bahwa dirinya termasuk dalam kategori orang-orang yang la yadri lakinnahu yadri annahu la yadri (tidak mengetahui, tetapi mengetahui bahwa dirinya tidak mengetahui). Bukan orang -orang yang la yadri wala yadri annahu la yadri (tidak mengetahui, dan ia tidak mengetahui bahwa dirinya tidak mengetahui). Saudara dan saudariku yang dimuliakan Allah Swt… Sebagai kader partai dakwah, kita tidak boleh kehilangan hirsh ini. Jangan sampai kita datang ke majelis taklim sekadar untuk memenuhi buku kehadiran, atau karena pertimbangan daripada…, daripada… Kita harus datang ke majalisul ’ilmi karena sifat hirsh kita dan dalam rangka memenuhi faridhah islamiyyah. 3. Ishthibar (penuh kesabaran) Ilmu adalah kesabaran. Jangan banyak keluh- kesah, jangan terburu-buru, dan jangan frustasi! 4. Bulghdh (biaya, ongkos) Partai kita memiliki banyak acara taklim yang sangat murah, bahkan gratis. Artinya, persyaratan ini telah banyak dipangkas olehnya. Oleh karena itu, jangan kehilangan persyaratan lain nya. 5. Irsyadu ustadz (petunjuk dan bimbingan guru) Salah satu ciri Partai Keadilan Sejahtera adalah da’watun salafiyyah. Partai ini hendak menghidupkan kembali apa -apa
yang ada pada salafush-shalih. Di antara yang ada pada mereka adalah model- model qara’a ’ala (membaca kitab/ilmu di hadapan…), sami’a min (men-dengar pembacaan kitab/ilmu dari…) , akhadza ’an ( mengambil, yakni mendapatkan kitab/ilmu dari…), hashalal ijazata min (mendapatkan ijazah atau ijin untuk mengajarkan kitab/ilmu dari…) dan seterusnya. Kita semua harus menghidupkan kembali sunnah (jalan dan metode) ini. Mengapa? Karena, salah satu tolok ukur orisinalitas sebuah ’ilmu adalah diambil dari mana (siapa gurunya) dan siapa saja yang belajar kepadanya. 6. Thulu Zaman (dalam jangka waktu yang panjang) Janganlah mengandalkan hal- hal yang serba ’kilat’. Kursus kilat, belajar cepat, dan semacamnya! Ingat! Rasulullah saw menerima Al Quran bukan dalam tempo cepat. Padahal beliau adalah orang Arab, dari suku yang paling fasih bahasanya, dan beliau sangat cerdas dan masih banyak lagi kelebihan beliau. Namun, beliau menerima Al Quran itu dalam te mpo lebih dari 22 tahun.