BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Costa merupakan salah satu komponen pembentuk rongga dada yang memiliki
fungsi
untuk
memberikan
perlindungan
terhadap
organ
didalamnya dan yang lebih penting adalah mempertahankan fungsi ventilasi paru. Fraktur costa terutama disebabkan karena trauma tumpul dada. Perlu ketelitian untuk membedakan apakah kontusio dinding dada atau fraktur kosta. Fraktur ini sebagian terbesar disebabkan kecelakaan lalu lintas diikuti jatuh dari tempat yang tinggi. Costa merupakan salah satu komponen pembentuk rongga dada yang memiliki
fungsi
untuk
memberikan
perlindungan
terhadap
organ
didalamnya dan yang lebih penting adalah mempertahankan fungsi ventilasi paru. Fraktur costa akan menimbulkan rasa nyeri, n yeri, yang mengganggu proses respirasi, disamping itu adanya komplikasi dan gangguan lain yang menyertai memerlukan perhatian khusus dalam penanganan terhadap fraktur ini. Pada anak fraktur costa sangat jarang dijumpai oleh karena costa pada anak masih sangat lentur. Fraktur costa dapat terjadi akibat trauma yang datangnya dari arah depan, samping ataupun dari arah belakang. Trauma yang mengenai dada biasanya akan menimbulkan trauma costa, tetapi dengan adanya otot yang melindungi costa pada dinding dada, maka tidak semua trauma dada akan terjadi fraktur costa. Sebanyak 25% dari kasus fraktur costa tidak terdiagnosis, dan baru terdiagnosis
setelah
timbul
komplikasi,
seperti
hematotoraks
dan
pneumotoraks. Hal ini dapat terjadi pada olahragawan yang memiliki otot dada yang kuat dan dapat mempertahankan posisi frakmen tulangnya. 1.2
Rumusan Masalah
1. Pengertian Fraktur Costa? 2. Etiologi Fraktur Costa?
1
3. Tanda dan gejala Fraktur Costa? 4. Apa penatalaksanaan Fraktur Costa? 5. Bagaimana konsep asuhan keperawatan fraktur costa?
2
3. Tanda dan gejala Fraktur Costa? 4. Apa penatalaksanaan Fraktur Costa? 5. Bagaimana konsep asuhan keperawatan fraktur costa?
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Patah Tulang Tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Pendapat lain menyatakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi. Fraktur pada iga (costae) adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang / tulang rawan yang disebabkan oleh ruda paksa pada spesifikasi lokasi pada tulang costa. Trauma tajam lebih jarang mengakibatkan fraktur iga, oleh karena luas permukaan trauma yang sempit, sehingga gaya trauma dapat melalui sela iga. Fraktur iga terutama pada iga IV-X (mayoritas terkena). Perlu diperiksa adanya kerusakan pada organ-organ intra-toraks dan intra abdomen.
A. Etiologi
Ada beberapa penyebab fraktur diantaranya yaitu : a.
Cedera traumatik Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh : 1.
Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang pata secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.
2.
Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
3
3.
Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
b.
Fraktur Patologik Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut : 1.
Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali dan progresif.
2.
Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
3.
Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
c.
Secara spontan : disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.
Secara garis besar penyebab fraktur costa dapat dibagi dalam 2 kelompok : 1. Disebabkan trauma -
Trauma tumpul Penyebab trauma tumpul yang sering mengakibatkan adanya fraktur costa antara lain: Kecelakaan lalulintas,kecelakaan pada pejalan kaki ,jatuh dari ketinggian, atau jatuh pada dasar yang keras atau akibat perkelahian.
-
Trauma Tembus Penyebab trauma tembus yang sering menimbulkan fraktur costa luka tusuk dan luka tembak
2.
Disebabkan bukan trauma Yang dapat mengakibatkan fraktur costa, terutama akibat gerakan yang menimbulkan putaran rongga dada secara berlebihan atau oleh karena
4
adanya gerakan yang berlebihan dan stress fraktur, seperti pada gerakan olahraga : Lempar martil, soft ball, tennis, golf. B. Manifestasi Klinis
1. Sesak napas Pada fraktur costa terjadi pendorongan ujung-ujung fraktur masuk ke rongga pleura sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan struktur dan jaringan pada rongga dada lalu dapat terjadi pneumothoraks dan hemothoraks yang akan menyebabkan gangguan ventilasi sehingga menyebabkan terjadinya sesak napas. 2. Tanda-tanda insuffisiensi pernapasan: Sianosis, takipnea Pada fraktur costa terjadi gangguan pernapasan yang disertai meningkatnya
penimbunan
CO 2 dalam
darah
(hiperkapnia)
yang
bermanifestasi menjadi sianosis. 3. Nyeri tekan pada dinding dada Pada fraktur costa terjadi pendorongan ujung-ujung fraktur masuk ke rongga pleura sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan struktur dan jaringan pada rongga dada dan terjadi stimulasi pada saraf sehingga menyebabkan terjadinya nyeri tekan pada dinding dada. 4. Kadang akan tampak ketakutan dan kecemasan Rasa takut dan cemas yang dialami pada pasien fraktur costa diakibatkan karena saat bernapas akan bertambah nyeri pada dada. 5.
Adanya gerakan paradoksal
C. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. (Carpnito, Lynda Juall, 2000). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.
5
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya. a. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur 1. Faktor Ekstrinsik Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur. 2. Faktor Intrinsik Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas,
kelelahan,
dan
kepadatan
atau
kekerasan
tulang.
(Ignatavicius, Donna D, 2000). b. Biologi penyembuhan tulang Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu: 1. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali. 2. Stadium Dua-Proliferasi Seluler Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami
6
proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya. 3. Stadium Tiga-Pembentukan Kallus Sel – sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu. 4. Stadium Empat-Konsolidasi Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal. 5. Stadium Lima-Remodelling Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terusmenerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
7
Costae merupakan salah satu komponen pembentuk rongga dada yang berfungsi memberikan perlindungan terhadap organ di dalamnya dan yang lebih penting adalah mempertahankan fungsi ventilasi paru. Fraktur costae dapat terjadi akibat trauma yang datangnya dari arah depan, samping, ataupun dari belakang. Walaupun kontruksi tulang iga sangat kokoh dan kuat namun tulang iga adalah tulang yang sangat dekat dengan kulit dan tidak banyak memiliki pelindung. Apabila terjadi trauma tajam dan trauma tumpul dengan kekuatan yang cukup besar saja yang mampu menimbulkan cedera pada alat / organ dalam yang vital yang ada di dalamnya. Cedera pada organ tersebut tergantung pada bagian tulang iga yang mana yang mengalami fraktur. Cedera pada tiga iga pertama jarang terjadi karena ditunjang pula oleh tulang-tulang dari bahu seperti skapula, kalvikula, humerus dan seluruh otot. Namun dapat mengakibatkan kematian yang tinggi karena fraktur tersebut berkaitan dengan laserasi arteri atau vena subkalvia. Cedera pada iga keempat hingga kesembilan merupakan tempat fraktur yang paling umum dapat terjadi kemungkinan cedera jantung dan paru. Dapat mengakibatkan kerusakan ventilasi paru, meningkatkan stimulasi saraf sehingga pasien akan mengalami nyeri yang sangat hebat, nyeri tekan, dan spasme otot di atas area fraktur, yang diperburuk dengan batuk, napas dalam, dan gerakan. Sehingga terjadi masalah keperawatan yaitu Nyeri akut. Untuk mengurangi nyeri tersebut pasien melakukan kompensasi dengan bernapas dangkal sehingga masalah keperawatan yang akan timbul adalah Ketidakefektifan pola pernapasan dan menghindari untuk menghela napas, napas dalam, batuk, dan bergerak. Keengganan untuk bergerak atau bernapas ini sangat mengakibatkan penurunan ventilasi dan juga dapat terjadi masalah keperawatan yaitu Inefektif bersihan jalan napas dan Gangguan mobilitas fisik, selanjutnya dapat terjadi kolaps alveoli yang tidak mendapatkan udara (atelektasis) sehingga terjadi hipoksemia bahkan dapat terjadi gagal napas. Apabila melukai otot jantung dapat mengakibatkan
8
tamponade jantung dengan tertimbunnya darah dalam rongga perikardium yang akan mampu meredam aktivitas diastolik jantung. Sedangkan iga 10-12 agak jarang terjadi fraktur, karena i ga 10-12 ini bisa mobilisasi, apabila terjadi fraktur kemungkinan cedera organ intraabdomen seperti pada limpa dan hepar karena tergores oleh patahan tulang iga.
9
10
11
D. Komplikasi
a.
Komplikasi Awal 1.
Kerusakan Arteri Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
2. Kompartement Syndrom Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
D. Komplikasi
a.
Komplikasi Awal 1.
Kerusakan Arteri Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
2. Kompartement Syndrom Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat. 3. Fat Embolism Syndrom Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam. 4. Infeksi System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat. 5. Avaskuler Nekrosis Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
12
6. Shock Shock
terjadi
meningkatnya
karena
permeabilitas
kehilangan kapiler
yang
banyak bisa
darah
dan
menyebabkan
menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
b.
Komplikasi Dalam Waktu Lama 1. Delayed Union Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karenn\a penurunan supai darah ke tulang. 2. Nonunion Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang. 3. Malunion Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
c.
Komplikasi lainnya yaitu 1. Atelektasis 2. pneumonia 3. hematotoraks 4. Pneumotoraks 5. Cidera intercostalis, pleura visceralis, paru maupun jantung 6. Laserasi jantung.
13
E. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan pada klien dengan fraktur, diantranya: a. b.
Foto rontgen biasanya bisa menunjukkan adanya patah tulang. CT scan atau MRI untuk bisa melihat dengan lebih jelas daerah yang mengalami kerusakan.
c.
Darah lengkap: HT meningkat (hemokonsentrasi), HB menurun (akibat adanya perdarahan), leukosit, trombosit dan analisa gas darah (AGD).
d.
Arteriografi, bila diduga ada kerusakan pada vaskuler.
e.
Kreatinin, trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
f.
Golongan darah, dilakukan sebagai persiapan transfusi darah jika ada kehilangan darah yang
bermakna akibat cedera atau tindakan
pembedahan.
F.
Penatalaksaan Medis
Adapun penatalaksanaan pada fraktur yaitu : a.
Fraktur Terbuka Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan: 1. Pembersihan luka 2. Exici 3. Hecting situasi 4. Antibiotik
b.
Seluruh Fraktur 1. Rekognisis/Pengenalan Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya. 2. Reduksi/Manipulasi/Reposisi Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada
14
kesejajarannya dan rotasfanatomis (brunner, 2001). Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan. Sebelum
reduksi
dan
imobilisasi
fraktur,
pasien
harus
dipersiapkan untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin
perlu
dilakukan
anastesia.
Ekstremitas
yang
akan
dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya
(ujung-ujungnya
saling
berhubungan)
dengan
manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara gips, biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk
penyembuhan
tulang.
Sinar-x
harus
dilakukan
untuk
mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar. Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi. Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau
15
batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang. 3. OREF Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu dengan cara reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open reduction and external fixation=OREF) sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang baik. Keuntungan fiksasi eksternal adalah memungkinkan stabilisasi fraktur sekaligus menilai jaringan lunak sekitar dalam masa
penyembuhan
fraktur.
Penanganan
pascaoperatif
yaitu
perawatan luka dan pemberian antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi,
pemeriksaan
radiologik
serial,
darah
lengkap,
serta
rehabilitasi berupa latihan-latihan secara teratur dan bertahap sehingga ketiga tujuan utama penanganan fraktur bisa tercapai, yakni union (penyambungan tulang secara sempurna), sembuh secara anatomis
(penampakan
fisik
organ
anggota
gerak;
baik,
proporsional), dan sembuh secara fungsional (tidak ada kekakuan dan hambatan lain dalam melakukan gerakan). 4. ORIF ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur tranvers. Reduksi terbuka dengan fiksasi interna (ORIF=open reduction and internal fixation) diindikasikan pada kegagalan reduksi tertutup, bila dibutuhkan reduksi dan fiksasi yang lebih baik dibanding yang bisa dicapai dengan reduksi tertutup misalnya pada fraktur intra-artikuler, pada fraktur terbuka, keadaan yang membutuhkan mobilisasi cepat, bila diperlukan fiksasi rigid, dan
16
sebagainya. Sedangkan reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna (OREF=open reduction and external fixation) dilakukan pada fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak yang membutuhkan perbaikan vaskuler, fasiotomi, flap jaringan lunak, atau debridemen ulang. Fiksasi eksternal juga dilakukan pada politrauma, fraktur pada anak
untuk
menghindari
fiksasi
pin
pada
daerah
lempeng
pertumbuhan, fraktur dengan infeksi atau pseudoarthrosis, fraktur kominutif yang hebat, fraktur yang disertai defisit tulang, prosedur pemanjangan ekstremitas, dan pada keadaan malunion dan nonunion setelah fiksasi internal. Alat-alat yang digunakan berupa pin dan wire (Schanz screw, Steinman pin, Kirschner wire) yang kemudian dihubungkan dengan batang untuk fiksasi. Ada 3 macam fiksasi eksternal yaitu monolateral/standar uniplanar, sirkuler/ring (Ilizarov dan Taylor Spatial Frame), dan fiksator hybrid. Keuntungan fiksasi eksternal adalah memberi fiksasi yang rigid sehingga tindakan seperti skin graft/flap, bone graft , dan irigasi dapat dilakukan tanpa mengganggu posisi fraktur. Selain itu, memungkinkan pengamatan langsung mengenai kondisi luka, status neurovaskular, dan viabilitas flap dalam masa penyembuhan fraktur. Kerugian tindakan ini adalah mudah terjadi infeksi, dapat terjadi fraktur saat melepas fiksator, dan kurang baik dari segi estetikPenanganan pascaoperatif meliputi perawatan luka dan pemberian antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi,
pemeriksaan
radiologik
serial,
darah
lengkap,
serta
rehabilitasi. Penderita diberi antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi dan dilakukan kultur pus dan tes sensitivitas. Diet yang dianjurkan tinggi kalori tinggi protein untuk menunjang proses penyembuhan.Rawat luka dilakukan setiap hari disertai nekrotomi untuk membuang jaringan nekrotik yang dapat menjadi sumber infeksi. Pada kasus ini selama follow-up ditemukan tanda-tanda infeksi jaringan lunak dan tampak nekrosis pada tibia sehingga direncanakan
untuk
debridemen
ulang
dan
osteotomi.
Untuk
pemantauan selanjutnya dilakukan pemeriksaan radiologis foto femur
17
dan cruris setelah reduksi dan imobilisasi untuk menilai reposisi yang dilakukan berhasil atau tidak. Pemeriksaan radiologis serial sebaiknya dilakukan 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan sesudah operasi untuk
melihat
perkembangan
fraktur.
Selain
itu
dilakukan
pemeriksaan darah lengkap rutin. 5. Retensi/Immobilisasi Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur
direduksi,
fragmen
tulang
harus
diimobilisasi,
atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. 6. Rehabilitasi Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi.
Segala
upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan ja ringan lunak. Reduksi dan
imobilisasi
harus
dipertahankan
sesuai
kebutuhan.
Status
neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga-diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan beban berat
18
badan.
1. Fraktur 1-2 iga tanpa adanya penyulit/kelainan lain : konservatif (analgetika). 2. Fraktur >2 iga : waspadai kelainan lain (edema paru, hematotoraks, pneumotoraks). 3. Penatalaksanaan pada fraktur iga multipel tanpa penyulit pneumotoraks,
hematotoraks, atau kerusakan organ intratoraks lain, adalah: -
Analgetik yang adekuat (oral/ iv / intercostal block).
-
Bronchial toilet.
-
Cek Lab berkala : Hb, Ht, Leko, Tromb, dan analisa gas darah.
-
Cek Foto Ro berkala.
Dengan blok saraf interkostal, yaitu pemberian narkotik ataupun relaksan otot merupakan pengobatan yang adekuat. Pada cedera yang lebih hebat, perawatan rumah sakit diperlukan untuk menghilangkan nyeri, penanganan batuk, dan pengisapan endotrakeal. Pada fase akut, pasien harus istirahat dan tidak melakukan aktivitas fisik sampai nyeri dirasakan hilang oleh pasien. Pemberian Oksigen membantu proses bernapas. Namun tidak dianjurkan dilakukan pembebatan karena dapat mengganggu mekanisme bernapas. Pengobatan yang diberikan analgesia untuk mengurangi nyeri dan membantu pengembangan dada: Morphine Sulfate. Hidrokodon atau kodein yang dikombinasi dengan aspirin atau asetaminofen setiap 4 jam. Blok nervus interkostalis dapat digunakan untuk mengatasi nyeri berat akibat fraktur costae - Bupivakain (Marcaine) 0,5% 2 sampai 5 ml, diinfiltrasikan di sekitar nervus interkostalis pada costa yang fraktur serta costa-costa di atas dan di bawah yang cedera. Tempat penyuntikan di bawah tepi bawah costa, antara tempat fraktur dan prosesus spinosus. Jangan sampai mengenai pembuluh darah interkostalis dan parenkim paru.
19
Tujuan pengobatan adalah untuk mengontrol nyeri dan untuk mendeteksi serta mengatasi cedera. Sedasi digunakan untuk menghilangkan nyeri dan memungkinkan napas dalam dan batuk. Harus hati-hati untuk menghindari oversedasi dan menekan dorongan bernapas. Strategi alternatif untuk menghilangkan nyeri termasuk penyekat saraf interkosta dan es di atas tempat fraktur, korset dada dapat menurunkan nyeri saat bergerak. Biasanya nyeri dapat diatasi dalam 5 sampai 7 hari dan rasa tidak nyaman dapat dikontrol dengan analgesia apidural, analgesia yang dikontrol pasien, atau analgesia non-opioid. Kebanyakan fraktur iga menyembuh dalam 3 sampai 6 minggu. Pasien dipantau dengan ketat terhadap tanda-tanda dan gejala yang berkaitan dengan cedera. Setelah nyeri berkurang, lakukan latihan fisik dengan ahli fisioterapi pada keadaan fraktur yang tidak terlalu berat. Lakukan peghisapan mukus. Pada keadaan fraktur yang sangat buruk seperti pada Flail Chest , kasus ini membutuhkan
pembedahan
traksi
pada
bagian
dinding
dada
yang
mengambang, bila keadaan penderita stabil dapat dilakukan stabilisasi dinding dada secara operatif.
20
Manajemen Keperawatan A. Pengkajian
Pengkajian adalah dasar utama atau langkah awal dari proses keperawatan secara keseluruhan. Pada tahap ini semua data atau informasi tentang klien yang dibutuhkan dan dianalisa untuk menentukan diagnosa keperawatan. Pengkajian dilakukan secara langsung dan tidal langsung melalui observasi keadaan umum klien, wawancara dengan klien dan keluarga pemeriksaan fisik dari kepala sampai ujung kaki dengan tehnik inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perfusi. Pengkajian pada klien dengan fraktur : a. Aktivitas atau istirahat Tanda: keterbatasan atau kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera,faraktur itu sendiri atau terjadi secara skunder dari pembengkakan jaringan, nyeri). b. Sirkulasi Tanda: hipertensi(kadang-kadang terlihat sebagai respon nyeri / ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah) takik kardi(respon stress,hipovolemia) penurunan atau tak ada nadi pada bagian yang cidera. c. Nyeri Gejala: nyeri berat tiba-tiba pada saat cidera (mungkin terlokalisasi pada jaringan atau kerusakan tulang : dapat berkurang pada imobilisasi ) : taka da nyeri akibat kerusakan saraf Spasme / kram otot (setelah imobilisasi) d. Keamanan Tanda : laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna pembengkakan local (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba) e. Neurosensori Gejala: Hilang gerakan/ sensasi, spasme otot, kebas/ kesemuttan Tanda: Deformitas local, angulasi abnormal, pemendekan rotasi, krepitasi, ( bunyi berderit), spasme otot, terlihat kelemahan,/ hilang
21
fungsi. Angitasi ( mungkin berhubungan dengan nyeri/ ansietas atau trauma lain). f. Penyuluhan atau pembelajaran Gejala: lingkungan cidera. g.
Data Fokus Data fokus terdiri dari data subyektif dan data obyektif. Data fokus yang terdapat pada klien adalah sebagai berikut : a. Data Subyektif Klien mengeluh nyeri pada luka post op, kualitas nyeri seperti tertusuk-tusuk, intensitas hilang timbul, karakteristik nyeri setempat, nyeri timbul pada saat klien melakukan pergerakan atau perubahan posisi dan akan berkurang jika klien beristirahat. Klien mengatakan sulit untuk beraktivitas. b. Data Obyektif Keadaan umum sakit sedang, kesadaran composmentis, terlihat luka post op di betis sebelah kanan, luka bersih tertutup elastic verband, tidak ada perdarahan, tidak ada pembengkakan. Skala nyeri 4. Tampak aktivitas klien dibantu oleh perawat, mobilisasi bertahap.
h. Pemeriksaan diagnostik a.
Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI: memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan l unak.
b.
Pemeriksaan
Ronsen
:
menentukan
lokasi/luasnya
fraktur
costa/trauma. c.
Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d.
Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel). Peningkatan jumlah SDP adalah respon stres normal setelah trauma.
e.
Kreatinin : trauma otot mungkin meningkatkan beban kreatininuntuk klirens ginjal.
f.
Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multipel, atau cedera hati.
22
B. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur adalah sebagai berikut: 1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas. 2. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus). 3. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti). 4. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi). 5. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan (pen, kawat, sekrup). 6. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang). 7. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.
C. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas. Tujuan:
Klien mengatakan nyeri berkurang atau hilang dengan
menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual.
INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
Pertahankan imobilasasi bagian Mengurangi nyeri dan mencegah yang sakit dengan tirah baring,
23
malformasi.
gips, bebat dan atau traksi
Tinggikan posisi ekstremitas yang Meningkatkan aliran balik vena, terkena.
mengurangi edema/nyeri.
Lakukan dan awasi latihan gerak Mempertahankan kekuatan otot dan pasif/aktif.
meningkatkan sirkulasi vaskuler.
Lakukan
tindakan
meningkatkan
untuk Meningkatkan sirkulasi umum,
kenyamanan
(masase, perubahan posisi)
Ajarkan
penggunaan
menurunakan area tekanan lokal dan kelelahan otot.
teknik Mengalihkan perhatian terhadap
manajemen nyeri (latihan napas
nyeri, meningkatkan kontrol terhadap
dalam, imajinasi visual, aktivitas nyeri yang mungkin berlangsung dipersional)
lama.
Lakukan kompres dingin selama Menurunkan edema dan mengurangi fase akut (24-48 jam pertama) rasa nyeri. sesuai keperluan.
Kolaborasi pemberian analgetik Menurunkan nyeri melalui sesuai indikasi.
mekanisme penghambatan rangsang nyeri baik secara sentral maupun perifer.
Evaluasi keluhan nyeri (skala,
Menilai perkembangan masalah
petunjuk verbal dan non verval,
klien.
perubahan tanda-tanda vital)
24
2. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus) Tujuan : Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan kriteria akral hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa bergerak secara aktif INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
Dorong klien untuk secara rutin Meningkatkan sirkulasi darah dan melakukan latihan menggerakkan
mencegah kekakuan sendi.
jari/sendi distal cedera.
Hindarkan restriksi sirkulasi akibat Mencegah stasis vena dan sebagai tekanan bebat/spalk yang terlalu petunjuk perlunya penyesuaian ketat.
keketatan bebat/spalk.
Pertahankan
letak
tinggi Meningkatkan drainase vena dan
ekstremitas yang cedera kecuali ada menurunkan edema kecuali pada kontraindikasi
adanya
sindroma
kompartemen.
adanya keadaan hambatan aliran arteri yang menyebabkan penurunan perfusi.
Berikan
obat
antikoagulan Mungkin diberikan sebagai upaya
(warfarin) bila diperlukan.
profilaktik untuk menurunkan trombus vena.
Pantau kualitas nadi perifer, aliran Mengevaluasi perkembangan kapiler, warna kulit dan kehangatan
masalah klien dan perlunya
kulit
intervensi sesuai keadaan klien.
distal
cedera,
bandingkan
dengan sisi yang normal.
3. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
25
Tujuan
: Klien akan menunjukkan kebutuhan oksigenasi terpenuhi
dengan kriteria klien tidak sesak nafas, tidak c yanosis analisa gas darah dalam batas normal INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
Instruksikan/bantu latihan napas Meningkatkan ventilasi alveolar dan dalam dan latihan batuk efektif.
perfusi.
Lakukan dan ajarkan perubahan Reposisi meningkatkan drainase posisi yang aman sesuai keadaan sekret dan menurunkan kongesti klien.
paru.
Kolaborasi antikoagulan
pemberian (warvarin,
obat Mencegah terjadinya pembekuan
heparin)
dan kortikosteroid sesuai indikasi.
darah pada keadaan tromboemboli. Kortikosteroid telah menunjukkan keberhasilan untuk mencegah/mengatasi emboli lemak.
Analisa pemeriksaan gas darah, Penurunan PaO2 dan peningkatan Hb, kalsium, LED, lemak dan PCO2 menunjukkan gangguan trombosit
pertukaran gas; anemia, hipokalsemia, peningkatan LED dan kadar lipase, lemak darah dan penurunan trombosit sering berhubungan dengan emboli lemak.
Evaluasi frekuensi pernapasan dan Adanya takipnea, dispnea dan upaya bernapas, perhatikan adanya perubahan mental merupakan tanda stridor, penggunaan otot aksesori
dini insufisiensi pernapasan,
pernapasan, retraksi sela iga dan mungkin menunjukkan terjadinya sianosis sentral.
emboli paru tahap awal.
26
4. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi) Tujuan
:
Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada
tingkat paling tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional
meningkatkan
kekuatan/fungsi
yang
sakit
dan
mengkompensasi bagian tubuh menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan aktivitas INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
Pertahankan pelaksanaan aktivitas Memfokuskan perhatian, rekreasi terapeutik (radio, koran,
meningkatakan rasa kontrol
kunjungan teman/keluarga) sesuai
diri/harga diri, membantu
keadaan klien.
menurunkan isolasi sosial.
Bantu latihan rentang gerak pasif Meningkatkan sirkulasi darah aktif pada ekstremitas yang sakit muskuloskeletal, mempertahankan maupun yang sehat sesuai keadaan
tonus otot, mempertahakan gerak
klien.
sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena imobilisasi.
Berikan papan penyangga kaki, Mempertahankan posis fungsional gulungan
trokanter/tangan
sesuai
ekstremitas.
indikasi.
Bantu dan dorong perawatan diri Meningkatkan kemandirian klien (kebersihan/eliminasi)
sesuai dalam perawatan diri sesuai kondisi
keadaan klien.
keterbatasan klien.
Ubah posisi secara periodik sesuai Menurunkan insiden komplikasi keadaan klien.
kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia)
27
Dorong/pertahankan asupan cairan Mempertahankan hidrasi adekuat, 2000-3000 ml/hari.
men-cegah komplikasi urinarius dan konstipasi.
rikan diet TKTP.
Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses penyembuhan dan mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh.
Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi Kerjasama dengan fisioterapis perlu sesuai indikasi.
untuk menyusun program aktivitas fisik secara individual.
Evaluasi kemampuan mobilisasi Menilai perkembangan masalah klien dan program imobilisasi.
klien.
5. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup) Tujuan
:
Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang, menunjukkan
perilaku
tekhnik
untuk
mencegah
kerusakan
kulit/memudahkan
penyembuhan sesuai indikasi, mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
Pertahankan tempat tidur yang Menurunkan risiko kerusakan/abrasi nyaman dan aman (kering, bersih, alat tenun kencang, bantalan bawah siku, tumit).
28
kulit yang lebih luas.
Masase kulit terutama daerah Meningkatkan sirkulasi perifer dan penonjolan tulang dan area distal
meningkatkan kelemasan kulit dan
bebat/gips.
otot terhadap tekanan yang relatif konstan pada imobilisasi.
Lindungi kulit dan gips pada Mencegah gangguan integritas kulit daerah perianal
dan jaringan akibat kontaminasi fekal.
Observasi penekanan
keadaan
gips/bebat
kulit, Menilai perkembangan masalah terhadap
klien.
kulit, insersi pen/traksi.
6. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang. Tujuan : Klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen atau eritema dan demam INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
Lakukan perawatan pen steril dan Mencegah infeksi sekunderdan perawatan luka sesuai protokol
Ajarkan mempertahankan
klien sterilitas
mempercepat penyembuhan luka.
untuk Meminimalkan kontaminasi. insersi
pen.
Kolaborasi pemberian antibiotika Antibiotika spektrum luas atau dan toksoid tetanus sesuai indikasi.
spesifik dapat digunakan secara profilaksis, mencegah atau mengatasi infeksi. Toksoid tetanus untuk mencegah infeksi tetanus.
29
Analisa
hasil
pemeriksaan Leukositosis biasanya terjadi pada
laboratorium (Hitung darah lengkap, proses infeksi, anemia dan LED,
Kultur
dan
sensitivitas peningkatan LED dapat terjadi pada
luka/serum/tulang)
osteomielitis. Kultur untuk mengidentifikasi organisme penyebab infeksi.
Observasi tanda-tanda vital dan Mengevaluasi perkembangan tanda-tanda peradangan lokal pada
masalah klien.
luka.
7. Kurang
pengetahuan
tentang
kondisi,
prognosis
dan
kebutuhan
pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada. Tujuan
: klien akan menunjukkan pengetahuan meningkat dengan
kriteria klien mengerti dan memahami tentang penyakitnya INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
Kaji kesiapan klien mengikuti Efektivitas proses pemeblajaran program pembelajaran.
dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan mental klien untuk mengikuti program pembelajaran.
Diskusikan metode mobilitas dan Meningkatkan partisipasi dan ambulasi sesuai program terapi fisik.
kemandirian klien dalam perencanaan dan pelaksanaan program terapi fisik.
Ajarkan tanda/gejala klinis yang Meningkatkan kewaspadaan klien memerluka evaluasi medik (nyeri
untuk mengenali tanda/gejala dini
berat, demam, perubahan sensasi yang memerulukan intervensi lebih
30
kulit distal cedera)
lanjut.
Persiapkan klien untuk mengikuti terapi pembedahan bila diperlukan.
Upaya pembedahan mungkin diperlukan untuk mengatasi maslaha sesuai kondisi klien.
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan. Langkah-langkah yang perlu diselesaikan keperawatan yaitu : Implementasi menurut (Patrisia A. Potter,2005)
i.
Mengkaji ulang klien Fase
pengkajian
ulang
terhadap
komponen
implementasi
memberikan mekanisme bagi perawat untuk menentukan apakah tindakan keperawatan yang diusulkan masih sesuai. j.
Menelaah dan memodifikasi rencana asuhan keperawatan yang ada. Perawat yang cerdik sensitif terhadap perubahan dalam status klien dan selalu memasukkan perubahan dalam status klien dan selalu memasukkan perubahan ini kedalam rencana asuhan keperawatan. Status kesehatan klien berubah secara kontinu. Oleh karenanya rencana asuhan harus fleksibel untuk dapat memasukkan perubahan yang penting. Rencana asuhan yang kadaluarsa atau tidak tepat mengganggu kualitas rencana asuhan, sementara telaahan dan modifiksi
memungkinkan
perawat
untuk
memberikan
asuhan
keperawatan dalam memenuhi kebutuhan klien dengan baik. k. Mengidentifikasi Bidang Bantuan. Beberapa situasi keperawatan mengharuskan perawat untuk mencari bantuan dapat berupa tambahan tenaga, pengetahuan atau keterampilan keperawatan. Bantuan bisa datang dari staf perawat lain, penyelia atau pendidik atau perawat ahli. Membutuhkan bantuan
31
sering terjadi pada semua tipe praktik keperawatan dan merupakan proses pembelajaran berkelanjutan selama pengalaman edukasi dan dalam perkembangan profesional. l.
Mengimplementasikan Intervensi Keperawatan. Praktik keperawatan terdiri atas keterampilan kognitif yang mencakup pengetahuan keperawatan, keterampilan interpersonal dimana
penting
untuk
tindakan
keperawatan
yang
efektif.
Keterampilan psikomotor (teknis) mencakup kebutuhan langsung perawatan klien. m. Mengkonsumsikan Intervensi Keperawatan. Intervensi keperawatan dituliskan atau dikomunikasikan secara verbal. Ketika di tuliskan, intervensi keperawatan dipadukan kedalam rencana oasuhan keperawatan dan catatan medis klien. Rencana perawatan biasanya mencerminkan tujuan intervensi keperawatan dimana informasinya mencakup deskripsi singkat tentang pengkajian keperawatan prosedur spesifik dan respon klien.
Perawat menjalankan rencana asuhan keperawatan dengan menggunakan beberapa metode implementasi sebagai contoh; klien dengan diagnosa keperawatan. Hambatan mobilitas fisik yang badan gips lengan bilateral, mungkin membutuhkan bantuan dalam melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari. Klien dengan koping individual tidak efektif yang badan ketakutan tentang diagnosa medis mungkin konseling sebagai metode intervensi keperawatan. Klien dengan kurang pengetahuan membutuhkan penyuluhan kesehatan yang difokuskan pada area yang dibutuhkan. Klien imobilisasi total atau
disorientasi
membutuhkan
intervensi
keperawatan
yang
memberikan perawatan total klien. Metode implementasi lainnya mencakup supervisi dan evaluasi dari anggota tim perawatan kesehatan lainnya.
32
E. Evaluasi
Evaluasi : fase akhir dari keperawatan adalah evaluasi terhadap keperawatan yang diberikan, sedangkan hal-hal yang dievaluasi adalah keakuratan, kelengkapan dan kualitas data teratasi atau tidaknya masalah klien, pencapaian tujuan serta ketetapan intervensi keperawatan. Evaluasi adalah tahapan akhir akhir dari proses keperawatan, evaluasi menyediakan nilai informasi mengenai pengaruh intervensi yang telah direncanakan dan merupakan perbandingan dari hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang telah dibuat pada tahap perencanaan (Hidayat, 2001) Terdapat dua macam evaluasi yaitu evaluasi formatif (proses) yang menyatakan evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intevensi dengan respon segera dan evaluasi sumatif (hasil) yang merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status pasien pada waktu tertentu (Hidayat, 2001) Terdapat tiga kemungkinan hasil evaluasi (Zaidin, 2001) : a.
Tujuan tercapai, apabila pasien telah menunjukkan perbaikan atau kemajuan sesuai criteria yang telah ditetapkan.
b.
Tujuan tercapai sebagian, apabila tujuan ini tidak tercapai secara maksimal, sehingga perlu dicari penyebabnya dan cara mengatasinya.
c.
Tujuan tidak tercapai, apabila pasien tidak menunjukkan kemajuan sama sekali bahkan timbul masalah baru. Evaluasi adalah penilaian terhadap respon pasien setelah dilakukan keperawatan
yang disusun pada tahap perencanaan. Pada pasien fraktur tibia dan fibula (cruris) post op orif dengan tujuan dan kriteria hasil seperti yang ada di atas, maka evaluasi yang diharapkan :
a.
Menyatakan perasaan nyeri, hilang atau terkontrol.
b.
Pasien memperlihatkan kemandirian dalam aktifitas.
c.
Pasien mengetahui kondisi, prognosis dan kebutuhan tindakan medis, memperlihatkan tanda vital yang normal.
d.
Tidak mengalami infeksi lokal maupun sistemik.
e.
Memperlihatkan suhu tubuh yang normal.
33
Format Soapier Format ini dapat digunakan pada catatan medic yang berorientasi pada masalah (problem oriented medical record) yang mencerminkan masalah yang di identifikasi oleh semua anggota tim perawat. Format soapier terdiri dari: a)
S = Data Subjektif Masalah yang dikemukakan dan dikeluhkan atau yang dirasakan sendiri oleh pasien.
b)
O = Data Objektif Tanda-tanda klinik dan fakta yang berhubungan dengan diagnose keperawatan meliputi data fisiologis dan informasi dari pemeriksaan. Data info dapat diperoleh melalui wawancara, observasi, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan diagnostic laboratorium.
c)
A = Pengkajian (Assesment) Analisis data subjektif dan objektif dalam menentukan masalah pasien.
d) P = Perencanaan Pengembangan rencana segera atau untuk yang akan dating dari intervensi tindakan untuk mencapai status kesehatan optimal. e)
I = Intervensi Tindakan yang dilakukan oleh perawat.
f)
E = Evaluasi Merupakan analisis respon pasien terhadap intervensi yang diberikan.
g) R = Revisi Data pasien yang mengalami perubahan berdasarkan adanya respon pasien terhadap tindakan keperawatan merupakan acuan perawat dalam melakukan revisi atau modifikasi rencana asuhan kepeawatan.
34