BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Gangguan jiwa yaitu suatu sindrom atau pola perilaku yang secara klinis bermakna yang berhubungan dengan distres atau penderitaan dan menimbulkan gangguan pada satu atau lebih fungsi kehidupan manusia. (Keliat, 2011 )Fenomena gangguan jiwa pada saat ini mengalami peningkatan yang sangat signifikan,dan setiap tahun di berbagai belahan dunia jumlah penderita gangguan jiwa bertambah. Berdasarkan data dari World Health Organisasi (WHO) dalam Yosep (2013) , ada sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan jiwa. WHO menyatakan setidaknya ada satu dari empat orang didunia mengalami masalah mental, dan masalah gangguan kesehatan jiwa yang ada di seluruh dunia sudah menjadi masalah yang sangat serius. Berdasarkan hasil penelitian dari Rudi Maslim dalam Mubarta (2011 ) prevalensi masalah kesehatan jiwa di Indonesia sebesar 6,55%. Angka tersebut tergolong sedang dibandingkan dengan negara lainnya. Data dari 33 Rumah Sakit Jiwa ( RSJ ) yang ada di seluruh Indonesia menyebutkan hingga kini jumlah penderita gangguan jiwa berat mencapai 2,5 juta orang. Penderita gangguan jiwa berat dengan usia di atas 15 tahun di Indonesia mencapai 0,46%. Hal ini berarti terdapat lebih dari 1 juta jiwa di Indonesia yang menderita gangguan jiwa berat. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa 11,6% penduduk Indonesia mengalami masalah gangguan mental emosional (Riset kesehatan dasar,
2007).
Sedangkan pada
tahun
2013
jumlah
penderita
gangguan jiwa mencapai 1,7 juta (Riskesdas, 2013 ). Prevalensi gangguan jiwa berat
atau
pedesaan
dalam
ternyata
istilah lebih
medis tinggi
disebut psikosis/skizofrenia dibanding daerah
di
daerah
perkotaan. Di
daerah
pedesaan, proporsi rumah tangga dengan minimal salah satu anggota rumah
1
tangga mengalami gangguan jiwa berat dan pernah dipasung mencapai 18,2 %. Sementara di daerah perkotaan, proporsinya hanya hanya mencapai 10,7 %. Nampaknya, hal ini memberikan konfirmasi bahwa tekanan hidup yang dialami penduduk pedesaan lebih berat dibanding penduduk perkotaan. Dan mudah diduga, Salah satu bentuk tekanan hidup itu, meski tidak selalu adalah kesulitan ekonomi (Riskesdas, 2013 ). Prevalensi
gangguan
jiwa
di
Jawa
Tengah
mencapai 3,3 % dari seluruh populasi yang ada ( Balitbangkes, 2008 ). Berdasarkan data dari dinas
kesehatan Provinsi
Jawa
Tengah tercatat ada
1.091 kasus
yang
mengalami gangguan jiwa dan beberapa dari kasus tersebut hidup dalam pasungan. Angka tersebut diperoleh dari pendataan sejak januari hingga november
2012 ( Hendry, 2012
).
Berdasarkan jumlah kunjungan masyarakat yang mengalami gangguan jiwa ke pelayanan kesehataan baik puskesmas, rumah sakit, maupun sarana pelayanan kesehatan lainnya pada tahun 2009 terdapat 1,3 juta orang yang melakukan kunjungan, hal ini diperkirakan sebanyak 4,09 % ( Profil Kesehatan Kab/ Kota Jawa tengah Tahun 2009 ). Berdasarkan
studi
pendahuluan, di wilayah Sukoharjo masih banyak
terdapat masyarakat masyarakat yang mengalami gangguan gangguan jiwa. Hal ini sesuai dengan data yang diperoleh dari dinas kesehatan Kabupaten Sukoharjo. Di wilayah Sukoharjo terdapat kurang lebih 2778 kasus penderita gangguan jiwa (DKK Kabupaten Sukoharjo,2013). Sedangkan pada tahun 2013 jumlah j umlah penderita gangguan jiwa yaitu 2537 ( Dinkes Kabupaten Sukoharjo Sukoharjo ). Berdasarkan Berdasarkan data dari Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta jumlah penderita gangguan jiwa yang rawat inap dari wilayah Kabupaten Sukoharjo sebanyak 331 orang, sedangkan yang rawat ra wat jalan berjumlah 4376 orang ( Rekam Medik RSJD Surakarta, 2013 ). Hal ini membuktikan bahwa masih banyak penderita yang mengalami gangguan jiwa, bahkan mungkin hal ini akan terus bertambah setiap tahunnya. Fenomena yang terjadi saat ini, jika ada seorang anggota keluarga yang dinyatakan sakiti jiwa, maka anggota keluarga lain dan masyarakat
2
pasti akan menyarankan untuk dibawa ke RS Jiwa atau psikolog dan lebih parahnya lagi orang sakit jiwa tersebut diasingkan atau dipasung supaya tidak menjadi aib bagi keluarga. Tindakan memasung ini akan berdampak buruk
pada
pasien,
selain
itu
nantinya akan sulit untuk sembuh dan dapat mengalami kekambuhan yang sangat sering. Hal ini perlu adanya dukungan dari keluarga dalam proses penyembuhan. Peran dan keterlibatan keluarga dalam proses penyembuhan dan perawatan pasien gangguan jiwa sangat
penting, karena
peran
keluarga sangat
mendukung dalam proses
pemulihan penderita gangguan jiwa. Keluarga dapat mempengaruhi nilai, kepercayaan, sikap, dan perilaku anggota keluarga. Disamping itu, keluarga mempunyai fungsi dasar seperti memberi
kasih
sayang,
rasa
aman,
rasa
memiliki, dan menyiapkan peran dewasa individu di masyarakat. Keluarga merupakan suatu sistem, maka jika terdapat gangguan jiwa pada salah satu anggota keluarga maka dapat menyebabkan gangguan jiwa pada anggota keluarga ( Nasir & Muhith, 2011 ).
B. Tujuan Penulisan
Tujuan Umum Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan masalah-masalah kesehatan jiwa masyarakat. Tujuan Khusus a) Mahasiswa mengetahui pengertian kesehatan jiwa komunitas b) Mahasiswa mengetahui tujuan
program pelayanan kesehatan jiwa
komunitas c) Mahasiswa mengetahui pinsip pelayanan keperawatan jiwa komunitas d) Mahasiswa mengetahui peran dan fungsi perawat kesehatan jiwa dan komunitas e) Mahasiswa mengetahui pelayanan kesehatan jiwa masyarakat f) Mahasiswa mengetahui masalah kesehatan jiwa komunitas
3
g) Mahasiswa mengetahui diagnosa dan intervensi keperawatan jiwa komunitas
4
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Kesehatan Jiwa
Kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik positif yang menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang menceerminkan kedewasaan kepribadiannya. (WHO).
Kesehatan jiwa adalah kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, emosional secara optimal dari seseorang dan perkembangan ini berjalan selaras dengan orang lain. (UU Kesehatan Jiwa No. 3 Tahun 1966)
Kesehatan Jiwa adalah Perasaan Sehat dan bahagia serta mampu mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain.
Sehat jiwa menurut Dirjen Keswa Depkes RI (1991) adalah kondisi yang memungkinkan berkembangnya fisik, intelektual dan emosional seseorang secara optimal sehingga ia mampu tumbuh dan beradaptasi dengan lingkungannya secara wajar dengan harkat martabat manusia
Kesehatan jiwa diselenggarakan untuk mewujudkan jiwa yang sehat secara oftimal baik intelektual maupun emosional (pasal 24 UU tentang kesehatan,1992).Upaya peningkatan kesehatan jiwa dilakukan untuk mewujudkan jiwa yang sehat secara optimal, baik intelektual maupun emosional melalui pendekatan peningkatan kesehatan, pencegahan dan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan,agar seseorang dapat tetap atau kembali hidup secara harmonis, baik dalam lingkungan keluarga, lingkungan kerja dan atau dalam lingkungan masyarakat. Ciri-ciri sehat jiwa adalah : 1. Bersikap positif terhadap diri sendiri 2. Mampu tumbuh, berkembang dan mencapai aktualisasi diri. 3. Mampu mengatasi stress atau perubahan pada dirinya 4. Bertanggungjawab atas keputusan dan tindakan yang diambil
5
5. Mempunyai persepsi yang realistis dan menghargai perasaan perasaan serta sikap orang lain 6. Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan
B. Tujuan program kesehatan jiwa masyarakat
Tujuan
dari
diadakannya
kesehatan
jiwa
masyarakat
adalah
untuk
meningkatkan kerjasama lintas sektoral dan kemitraan swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat, kelompok profesi dan organisasi masyarakat secara terpadu dan berkesinambungan dalam rangka meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat dalam menghadapi masalah kesehatan jiwa sehingga akan terbentuk perilaku sehat sebagai individu, keluarga dan masyarakat yang memungkinkan setiap individu hidup lebih produktif secara sosial dan ekonomi. 1. Meningkatkan
kesehatan
jiwa,
mempertahankan
dan
meningkatkan
kemampuan klien dalam memelihara kesehatan jiwa. 2. Perawat dapat mengaplikasikan konsep kesehatan jiwa dan komunitas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga anggota masyarakat sehat jiwa dan yang mengalami gangguan jiwa dapat dipertahankan di lingkungan masyarakat serta tidak perlu dirujuk segera ke RS.
C. Prinsip-Prinsip Keperawatan Jiwa Masyarakat
1. Pelayanan Keperawatan yang komprehensif yaitu pelayanan yang difokuskan pada: a. Pencegahan primer pada anggota masyarakat yang sehat. b. Pencegahan sekunder pada anggota masyarakat yang mengalami masalah psikososial dan gangguan jiwa. c. Pencegahan tersier pada klien gangguan jiwa dengan proses pemulihan 2. Pelayanan keperawatan yang holistik yaitu pelayanan yang difokuskan pada aspek bio-psiko-sosio-kultural & spiritual. Perawatan mandiri individu dan keluarga :
6
a. Masyarakat baik individu maupun keluarga diharapkan dapat secara mandiri memelihara kesehatan jiwanya. b.
Pada saat ini sangat penting pemberdayaan keluarga
c. Perawat
dan
petugas
kesehatan
lain
dapat
mengelompokkan
masyarakat dalam masyarakat sehat jiwa, masyarakat yang mempunyai masalah psikososial, masyarakat yang mengalami gangguan jiwa. 3. Pelayanan Formal & Informal di luar Sektor kesehatan : a. Tokoh masyarakat, kelompok formal dan informal di luar tatanan pelayanan kesehatan merupakan target pelayanan kesehatan jiwa b. Mereka dapat menjadi target pelayanan ataupun mitra tim kesehatan yang diinterasikan dengan perannya di masyarakat 4. Pelayanan kesehatan jiwa melalui pelayanan kesehatan dasar : a. Semua pemberi pelayanan kesehatan yang ada di masyarakat yaitu praktik pribadi dokter, bidan, perawat psikolog dan semua sarana pelayanan kesehatan (puskesmas dan balai pengobatan) b.
Untuk itu diperlukan penyegaran dan penambahan pengetahuan tentang pelayanan kesehatan jiwa komunitas bersama dengan pelayanan kesehatan yang dilakukan
c. Pelatihan yang perlu dilakukan adalah : konseling, deteksi dini dan pengobatan segera, keperawatan jiwa dasar. 5. Pelayanan Kesehatan Jiwa Masyarakat : a. Tim kesehatan terdiri atas : psikiater, psikolok klinik dan perawat jiwa b. Tim berkedudukan di tingkat Dinas Kesehatan kabupaten / kota c. Tim bertanggung jawab terhadap program pelayanan kesehatan jiwa di daerah pelayanan kesehatan kabupaten / kota d. Tim bergerak secara periodik ke tiap puskesmas untuk konsultasi, surveisi, monitoring dan evaluasi e. Pada saat tim mengunjungi puskesmas, maka penanggung jawab pelayanan kesehatan jiwa & komunitas di puskesmas akan : mengkonsultasikan kasus-kasus yang tidak berhasil atau melaporkan hasil dan kemajuan pelayanan yang telah dilakukan
7
D. Peran dan Fungsi Perawat Kesehatan Jiwa dan Komunitas
Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya meningkatkan dan mempertahankan perilaku pasien yang berperan pada fungsi yang terintegrasi. Sistem pasien atau klien dapat berupa induvidu, keluarga, kelompok, organisasi atau komunitas. ANA mendefinisikan keperawatan kesehatan jiwa sebagai suatu bidang spesialisasi praktik keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri yang bermanfaat sebagai kiatnya. Praktik kontemporer keperawatan jiwa terjadi dalam konteks sosial dan lingkungan. Peran keperawatan jiwa profesional berkembang secara kompleks dari elemen historis aslinya. Peran tersebut kini mencakup dimensi kompentensi klinis, advokasi pasien keluarga, tanggung jawab, kolaborasi antar disiplin, akuntabilitas sosial, dan parameter legal-etik.
Adapun peran perawat kesehatan jiwa masyarakat ini adalah sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi,
mengklasifikasi
dan
memetakan
permasalahan
kesehatan jiwa. Perawat membantu pasien mengembangkan kemampuan menyelesaikan masalah dan meningkatkan fungsi kehidupannya. 2. Pendidikan kesehatan dalam upaya preventif dan promotif penemuan kasus dini, skiring dan tindakan yang cepat. Perawat memberikan pendidikan kesehatan jiwa individu dan keluarga untuk mengembangkan kemampuan
menyelesaikan
masalah.
Perawat
mengembangkan
kemampuan keluarga dalam melakukan tugas kesehatan keluarga. 3. Pemberi
asuhan
keperawatan
pada
intervensi
kondisi
“krisis”.
Memberikan asuhan secara langsung, peran ini dilakukan dengan menggunakan konsep proses keperawatan jiwa. Kegiatan yang dilakukan adalah pengelolaan kasus, tindakan keperawatan individu keluarga, kolaborasi dengan tim kesehatan. Melakukan pemeriksaan langsung dari keluarga ke keluarga, dapat berkoordinasi dengan masyarakat serta tokoh masyarakat.
8
E. Pelayanan Keperawatan Jiwa Komunitas
Pelayanan keperawatan jiwa komprehensif adalah pelayanan keperawatan jiwa yang diberikan pada masyarakat pasca bencana dan konflik, dengan kondisi masyarakat yang sangat beragam dalam rentang sehat – sakit yag memerlukan pelayanan keperawatan pada tingkat pencegahan primer, sekunder,
dan
tersier.
Pelayanan
keperawatan
kesehatan
jiwa
yang
komprehensif mencakup 3 tingkat pencegahan yaitu pencegahan primer, sekunder, dan tersier. 1. Pencegahan Primer Fokus pelayanan keperawatan jiwa adalah pada p eningkatan kesehatan dan pencegahan terjadinya gangguan jiwa. Tujuan pelayanan adalah me ncegah terjadinya gangguan jiwa, mempertahankan dan meningkatkan kesehatan jiwa. Target pelayanan yaitu anggota masyarakat yang belum mengalami gangguan jiwa sesuai dengan kelompok umur yaitu anak, remaja, dewasa, dan usia lanjut. Aktivitas pada pencegahan primer adalah program pendidikan
kesehatan,
program
stimulasi
perkembangan,
program
sosialisasi kesehatan jiwa, manajemen stress, persiapan menjadi orang tua.
Beberapa kegiatan yang dilakukan adalah : a. Memberikan pendidikan kesehatan pada orangtua antara lain : 1) Pendidikan menjadi orangtua 2) Pendidikan tentang perkembangan anak sesuai dengan usia. 3) Memantau dan menstimulasi perkembangan 4) Mensosialisasikan anak dengan lingkungan b. Pendidikan kesehatan mengatasi stress 1) Stress pekerjaan 2) Stress perkawinan 3) Stress sekolah 4) Stress pasca bencana
9
c. Program dukungan sosial diberikan pada anak yatim piatu, individu yang kehilangan pasangan, pekerjaan, kehilangan rumah/tempat tinggal yang semuanya ini mungkin terjadi akibat bencana. Beberapa kegiatan yang dilakukan adalah : 1) Memberikan informasi tentang cara mengatasi kehilangan 2) Menggerakkan
dukunganmasyarakat
seperti
menjadi
orangtua
asuhbagi anak yatim piatu. 3) Melatih keterampilan sesuai dengan keahlian masing-masing untuk mendapatkan pekerjaan 4) Mendapatkan dukungan pemerintah dan LSM untuk memperoleh tempat tinggal. d. Program pencegahan penyalahgunaan obat. Penyalahgunaan obat sering digunakan
sebagai koping untuk mengtasi masalah. Kegiatan yang
dilakukan: 1) Pendidikan kesehatan melatih koping positif untuk mengatasi stress 2) Latihan asertif yaitu mengungkapkan keinginan dan perasaan tanpa menyakiti orang lain. 3) Latihan afirmasi dengan menguatkan aspek-aspek positif yang ada pada diri seseorang. e. Program pencegahan bunuh diri. Bunuh diri merupakan salah satu cara penyelesaian masalah oleh individu yang mengalami keputus asaan. Oleh karena itu perlu dilakukan program : 1) Memberikan informasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang tanda-tanda bunuh diri. 2) Menyediakan lingkungan yang aman untuk mencegah bunuh diri. 3) Melatih keterampilan koping yang adaptif. 2. Pencegahan Sekunder Deteksi dini dan penanganan dengan segera masalah psikososial dan gangguan jiwa. Tujuan pelayanan adalah menurunkan angka kejadian gangguan jiwa. Target pelayanan adalah anggota masyarakat yang
10
beresiko atau memperlihatkan tanda-tanda masalah dan gangguan jiwa. Aktivitas pada pencegahan sekunder adalah : a. Menemukan kasus sedini mungkin dengan cara memperoleh informasi dari berbagai sumber seperti masyarakat, tim kesehatan lain dan penemuan langsung. b. Melakukan penjaringan kasus dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Melakukan pengkajian untuk memperoleh data fokus pada semua pasien yang berobat ke pukesmas dengan keluhan fisik. 2) Jika ditemukan tanda-tanda yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi maka lanjutkan pengkajian menggunakan pengkajian keperawatan kesehatan jiwa. 3) Mengumumkan kepada masyarakat tentang gejala dini gangguan jiwa. 4) Memberikan pengobatan cepat terhadap kasus baru yang ditemukan sesuai dengan standar pendelegasian program pengobatan (bekerja sama dengan dokter) dan memonitor efek samping pemberian obat, gejala, dan kepatuhan pasien minum obat. 5) Bekerjasama dengan perawat komunitas dalam pemberian obat lain yang dibutuhkan pasien untuk mengatasi gangguan fisik yang dialami (jika ada gangguan fisik yang memerlukan pengobatan). 6) Melibatkan keluarga dalam pemberian obat, mengajarkan keluarga agar melaporkan segera kepada perawat jika ditemukan adanya tanda-tanda yang tidak biasa, dan menginformasikan jadwal tindak lanjut. 7) Menangani kasus bunuh diri dengan menempatkan pasien ditempat yang aman, melakukan pengawasan ketat, menguatkan koping, dan melakukan rujukan jika mengancam keselamatan jiwa. 8) Melakukan terapi modalitas yaitu berbagai terapi keperawatan untuk membantu pemulihan pasien, terapi keluarga dan terapi lingkungan.
11
9) Memfasilitasi self-help group (kelompok pasien, kelompok keluarga, atau kelompok masyarakat pemerhati) berupa kegiatan kelompok yang membahas masalah-masalah yang terkait dengan kesehatan jiwa dan cara penyelesaiannya. 10) Menyediakan
hotline
service
untuk
intervensi
krisis
yaitu
pelayanan melalui telepon berupa pelayan konseling. 11) Melakukan tindakan lanjut (follow-up) dan rujukan kasus. 3. Pencegahan Tersier Pelayanan keperawatan yang berfokus pada peningkatkan fungsi dan sosialisasi serta pencegahan kekambuhan pada pasien gangguan jiwa. Tujuan pelayanan adalah mengurangi kecacatan atau ketidakmampuan akibat gangguan jiwa. Target pelayanan yaitu anggota masyarakat mengalami gangguan jiwa pada tahap pemulihan. Aktifitas pada pencegahan tersier meliputi : 1. Program
dukungan
sosial
dengan
menggerakan
sumber-sumber
dimasyarakat seperti : sumber pendidikan, dukungan masyrakat (tetangga, teman dekat, tokoh masyarakat), dan pelayan terdekat yang terjangkau masyarakat. Beberapa kegiatan yang dilakukan adalah : 1) Pendidikan kesehatan tentang perilaku dan sikap masyarakat terhadap penerima pasien gangguan jiwa. 2) Penjelasan tentang pentingnya pemanfaatan pelayanan kesehatan dalam penanganan pasien yang melayani kekambuhan. b. Program rehabilitas untuk memberdayakan pasien dan keluarga hingga mandiri berfokus pada kekuatan dan kemampuan pasien dan keluarga dengan cara : 1) Meningkatkan kemampuan koping yaitu belajar mengungkapkan dan menyelesaikan masalah dengan cara yang tepat 2) Mengembangkan
sistem
pendukung
dengan
memberdayakan
keluarga dan masyarakat.
12
3) Menyediakan pelatihan dan kemampuan dan potensi yang perlu dikembangkan oleh pasien, keluarga dan masyarakat agar pasien produktif kembali. 4) Membantu pasien dan keluarga merencanakan dan mengambil keputusan untuk dirinya. c. Program sosialisasi 1) Membuat tempat pertemuan untuk sosialisasi. 2) Mengembangkan keterampilan hidup, mengelola rumah tangga, mengembangkan hobi. 3) Program rekreasi seperti nonton bersama, jalan santai, pergi ke tempat rekreasi. 4) Kegiatan sosial dan keagamaan d. Program mencegah stigma Stigma merupakan anggapan yang keliru dalam masyarakat terhadap gangguan jiwa, oleh karena itu, perlu diberikan program mencegah stigma untuk menghindari isolasi dan deskriminasi terhadap pasien gangguan jiwa. Beberapa kegiatan yang dilakukan, yaitu : 1) Memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang kesehatan jiwa dan gangguan jiwa, serta tentang sikap dan tindakan menghargai pasien gangguan jiwa. 2) Melakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat, atau orang yang berpengaruh dalam rangka mensosialisasikan kesehatan jiwa dan gangguan jiwa.
F.
Masalah Kesehatan Jiwa Masyarakat
Berbagai kondisi psikososial yang menjadi indikator taraf kesehatan jiwa masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan karakteristik kehidupan di perkotaan (urban mental health) meliputi: kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kasus perceraian, anak remaja putus sekolah, kasus kriminalitas anak remaja, masalah anak jalanan, promiskuitas, penyalahgunaan Napza dan
13
dampak nya (hepatitis C, HIV/AIDS dll), gelandangan psikotik serta kasus bunuh diri. 1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Kekerasan dalam rumah tangga adalah tiap perbuatan terhadap seseorang yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (definisi dalam UU No.23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT). Dampak kekerasan dalam rumah tangga meliputi gangguan kesehatan fisik non-reproduksi (luka fisik, kecacatan), gangguan kesehatan reproduksi (penularan penyakit menular seksual, kehamilan yang tidak dikehendaki), gangguan kesehatan jiwa (trauma mental), kematian atau bunuh diri. 2. Anak Putus Sekolah Laporan Organisai Buruh Internasional (ILO) tahun 2005 menyatakan bahwa sebanyak 4,18 juta anak usia sekolah di Indonesia tidak bersekolah dan sebagainya menjadi “pekerja anak” perwakilan ILO di Indonesia menyatakan bahwa banyaknya anak putus sekolah dan menjadi pekerja anak disebabkan karena biaya pendidikan di Indonesia masih dianggap terlalu mahal dan tak terjangkau oleh sebagian kalangan masyarakat. Angka partisipasi kasar (APK) program wajib belajar 9 tahun yang dirilis Depdiknas menunjukan baru mencapai 88,68% dari target 95% partisipasi anak usia sekolah yang diharapkan. 3. Masalah Anak Jalanan Masalah anak jalan di Indonesia seperti kekerasan pada anak, masalah anak jalanan, penelantaran anak dan sebagainya masih cukup tinggi. Berdasarkan data dari Departemen Sosial tahun 2005, jumlah anak jalanan di Indonesia adalah sekitar 30.000 anak dan sebagian besarnya berada di jalan-jalan di DKI Jakarta. Selain itu baru terdapat 12 daerah di Indonesia yang memiliki perda tentang anak jalanan. Padahal para anak-anak jalanan tersebut jelas rentan terhadap berbagai tindak kekerasan, penyimpangan
14
perlakuan, pelecehan seksual bahkan dilibatkan dalam berbagai tindak kriminal oleh orang dewasa yang menguasainya. 4. Kasus Kriminalitas Anak Remaja Data Direktorat Jenderal Kemasyarakatan Dephukham dan komnas pelindungan anak (PA) menujukan bahwa pada tahun 2005 di Indonesia terdapat 2.179 tahanan anak dan 802 narapidana anak, 7 diantaranya anak perempuan. Tahun 2006 angkanya menjadi 4.130 tahanan anak serta 1.325 narapidana anak, dimana 34 diantaranya adalah anak perempuan. Menurut survey Komnas PA penyebab anak masuk LP Anak adalah 40% karena terlibat kasus Narkoba (Napza), 20% karena perjudian sedangkan sisanya karena kasus lain-lain. Kira-kira 20% tindak kekerasan seksual pada tahun 2006 pelakunya adalah anak remaja, 72% anak remaja pelaku kekerasan seksual mengaku terinspirasi Tayangan TV, setelah membaca media cetak porno dan nonton film porno. 5. Masalah Narkoba, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Napza) serta dampaknya (Hepatitis C, HIV/AIDS, dll) Narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Napza) tergolong dalam zat psikoaktif yang bekerja mempengaruhi kerja sistem penghantar sinyal saraf (neuro-transmiter) sel-sel susunan saraf pusat (otak) sehingga meyebabkan terganggunya fungsi kognitif (pikiran), persepsi, daya nilai (judgment) dan perilaku serta dapat menyebabakan efek ketergantungan, baik fisik maupun psikis. Penyalahgunaan Napza di Indonesia sekarang sudah merupakan ancaman yang serius bagi kehidupan bangsa dan negara. Pengungkapan kasusnya di Indonesia meningkat rata-rata 28,9 % per tahun. Tahun 2005 pabrik extasi terbesar ke 3 di dunia terbongkar di Tangerang, Banten. Di Indonesia diprediksi terdapat sekitar 1.365.000 penyalahgunaan Napza aktif dan data perkiraan estimasi terakhir menyebutkan bahwa pengguna Napza di Indonesia mencapai 5.000.000 jiwa.
6. Gangguan Psikotik Dan Gangguan Jiwa Skizofrenia
15
Ganguan jiwa berat ini merupakan bentuk gangguan dalam fungsi alam pikiran berupa disorganisasi (kekacauan) dalam isi pikiran yang ditandai antara lain oleh gejala gangguan pemahaman (delusi waham) gangguan persepsi berupa halusinasi atau ilusi serta dijumpai daya nilai realitas yan terganggu yang ditunjukan dengan perilaku-perilaku aneh (bizzare). Gangguan ini dijumpai rata-rata 1-2% dari jumlah seluruh penduduk di suatu wilayah pada setiap waktu dan terbanyak mulai timbul (onset) nya pada usia 15-35 tahun. Bila angkanya 1 dari 1.000 penduduk saja yang menderita gangguan tersebut, di Indonesia bisa mencapai 200-250 ribu orang penderita dari jumlah tersebut bila 10% nya memerlukan rawat inap di rumah sakit jiwa berarti dibutuhkan setidaknya 20-25 ribu tempat tidur (hospital bed) Rumah sakit jiwa yang ada saat ini hanya cukup merawat penderita gangguan jiwa tidak lebih dari 8.000 orang. Jadi perlu dilakukan upaya diantaranya porgram intervensi dan terapi yang implentasinya bukan di rumah sakit tetapi dilingkungan masyarakat (community based psyciatric services) penambahan jumlah rumah sakit jwa bukan lagi merupakan
prioritas
pengembangan
utama
program
karena
paradigma
kesehatan
saat
jiwa
ini
adalah
masyarakat
(deinstitutionalization). Terlebih saat ini telah banyak ditemukan obatobatan psikofarmaka yang efektif yang mampu mengendalikan gejala ganggun penderitanya. Artinya dengan pemberian obat yang tepat dan memadai penderita gangguan jiwa berat cukup berobat jalan. 7. Kasus Bunuh Diri Data WHO menunjukkan bahwa rata-rata sekitar 800.000 orang di seluruh dunia melakukan tindakan bunuh diri setiap tahunnya. Laporan di India dan Sri Langka menunjukkan angka sebesar 11-37 per 100 ribu orang, mungkin di Indonesia angkanya tidak jauh dari itu. Menurut Dr. Benedetto Saraceno dari departemen kesehatan jiwa WHO, lebih dari 90% kasus bunuh diri berhubungan dengan masalah gangguan jiwa seperti depresi, psikotik dan akibat ketergantungan zat (Napza).
16
Yang mengkhawatirkan adalah dijumpainya pergeseran usia orang yang melakukan tindak bunuh diri. Kalau dahulu sangat jarang anak yang usianya kurang dari 12 tahun melakukan tindak bunuh diri, tetapi sekarang bunuh diri pada anak usia kurang dari 12 tahun semakin sering ditemukan. Ini menunjukkan kegagalan orang tua di rumah, guru di sekolah dan tokoh panutan di masyarakat membekali keterampilan hidup (life skill) untuk mengatasi tantangan maupun kesulitan hidupnya. Kasus bunuh diri sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius terutama bila dikaitkan dengan dampak kehidupan moderen. Oleh karena itu WHO memandang bunuh diri sebagai peyebab utama kematian dini yang dapat dicegah. Kondisi lain yang perlu mendapat perhatian adalah altruistic suicide atau bunuh diri karena loyalitas berlebihan yang antara lain bentuk “bom bunuh diri”. Banyak ahli mengaitkan hal tersebut sebagi manifestasi dari akumulasi kekecewaan, perlakuan tidak adil atau tersisihkan. Mengatasi altruistic suicide tidak mudah dan memerlukan pendekatan multi disiplin antara berbagai pihak terkait seperti aspek kesehatan jiwa, pendekatan agama, penegakan hukum dan sosial.
G. Diagnosa keperawatan jiwa masyarakat
Ada beberapa masalah keperawatan yang sering muncul dari pengkajian yang dilakukan kepada masyarakat. Beberapa masalah tersebut akan dijelaskan satu persatu. 1.
Masalah kesehatan jiwa pada anak/remaja : a. Depresi b. Perilaku kekerasan
2.
Masalah kesehatan jiwa pada usia dewasa : a. Harga diri rendah b. Perilaku kekerasan c. Risiko bunuh diri d. Isolasi sosial e. Gangguan persepsi sensori : halusinasi
17
f. Gangguan proses pikiran waham g. Defisit perawatan diri 3. Masalah kesehatan jiwa pada lansia : a. Demensia b. Depresi
18
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Kesehatan Jiwa adalah Perasaan Sehat dan bahagia serta mampu mengatasi tantanganhidup, dapat menerima orang lainsebagaimana adanya serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Kesehatan jiwa masyarakat (Community Mental Health) merupakan suatu orientasi kesehatan jiwa yang dilaksanakan di masyarakat. Kesehatan jiwa masyarakat ini dititik beratkan pada upaya promotif
dan preventif tanpa
melupakan upaya kuratif dan rehabilitatif. (KepMenKes No. 220) Peran perawat kesehatan jiwa masyarakat adalah: 1. Mengidentifikasi,
mengklasifikasi
dan
memetakan
permasalahan
kesehatan jiwa 2. Pendidikan kesehatan dalam upaya preventif danj promotif penemuan kasus dini, skiring dan tindakan yang cepat. 3. Pemberi asuhan keperawatan pada intervensi kondisi “krisis”
B. Saran Sehubungan dengan trend masalah kesehatan utama dan pelayanan kesehatan jiwa secara global, maka fokus pelayanan keperawatan jiwa sudah saatnya berbasis pada komunitas (Community Based Care) yang memberikan penekanan pada upaya preventif dan promotif. Untuk para pembaca diharapkan memberi kritik dan saran terhadap isi makalah ini, dan terima kasih pada pemabaca yagn telah meluangkan waktu membaca makalah ini.
19
DAFTAR PUSTAKA
Herman, Ade S. D. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Cetakan 1. Yogyakarta: Nuha Medika UI, Fikep dan WHO. Modul basic course Comunity Mental Health Nursing . Jakarta : Universitas Indonesia Anonymous. e.d. Hubungan motivasi internal dan eksternal dengan kinerja petugas CMHN. Universitas SumateraUtara (USU). Khasanah, Arifah Nur. (2011). Tutor Community Mental Health Nursing (CMHN). Arifah
20
Territoire. Diakses pada tanggal 24 May 2012 dari http://arifahpratidina.blogspot.com/2011/04/tutor-community-mental-healthnursing.html http://blogilmukeperawatan.blogspot.com/2012/06/asuhan-keperawatankomunitas-jiwa.html
21