REFERAT PERBEDAAN ANTARA KOLESTEATOMA EKSTERNA DAN KERATOSIS OBTURANS
Pembimbing : KRH. dr. H. Djoko Sindhusakti Widyodiningrat, Sp.THT - KL (K), MBA., MARS., M.Si, Audiologist Dr. dr. H. Iwan Setiawan Adji, Sp. THT – KL KL dr. Dimas Adi Nugroho, Sp THT - KL
Oleh : ANA SAFITRI / J510170099 IMAM NURHIDAYAT / J510170026 MARLINA ELVIANA / J510170098
KEPANITERAAN KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2018
REFERAT PERBEDAAN ANTARA KOLESTEATOMA EKSTERNA DAN KERATOSIS OBTURANS
Oleh : ANA SAFITRI / J510170099 IMAM NURHIDAYAT / J510170026 MARLINA ELVIANA / J510170098
Telah diajukan dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran
Universitas
Muhammadiyah
Surakarta
pada
.......................tanggal........................... Pembimbing I KRH.dr. H. Djoko Sindhusakti Widyodiningrat, Sp.THT - KL (K), MBA., MARS., M.Si, Audiologist
(.............................................)
Pembimbing II Dr. dr. H. Iwan Setiawan Adji, Sp. THT – THT – KL KL
(.............................................)
Pembimbing III
(.............................................) dr. Dimas Adi Nugroho, Sp THT - KL
hari
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kolesteatoma eksterna dan keratosis obturans merupakan keadaan yang tidak biasa di meatus auditorius externa yang mempunyai karakteristik sama yaitu terbentuknya akumulasi deskuamasi keratin pada kanalis auditorius externus. Sejak abad ke-19 kolesteatoma eksterna dan keratosis obturans dianggap sebagai penyakit dengan varian yang sama sampai Piepergerdes dkk mengklasifikasikan ini sebagai penyakit yang berbeda pada tahun 1980. Mereka mendefinisikan kolesteatoma eksterna sebagai invasi jaringan skuamosa ke daerah lokal erosi tulang di kanal telinga sedangkan keratosis obturans merupakan akumulasi gumpalan besar dari deskuamasi keratin pada kanalis auditorius eksterna. Etiologi dan patogenesis dari kedua penyakit ini masih belum sepenuhnya dipahami. Walaupun keterlibatan dinding kanal umumnya terjadi pada kedua penyakit ini, tetapi pola invasi tulang pada dua penyakit ini sangat berbeda. Pada kolesteatoma eksterna keterlibatan erosi tulang terlokalisasi pada daerah kanal posteroinferior sedangkan pada keratosis obturans dise rtai dengan pelebaran kanal telinga yang melingkari tulang yang terlibat. Meskipun perbedaan antara kolesteatoma eksterna dan keratosis obturans sebagian besar didasarkan pada karakteristik klinis, review terbaru saat ini masih gagal dalam mengidentifikasi gejala klinis yang tetap untuk membedakan antara dua penyakit ini. Penetapan definisi yang lebih untuk membedakan dua penyakit ini diperlukan untuk memperjelas diagnosis klinis dan penatalaksanaan yang sesuai. . B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas dapat dirumuskan masalah, bagaimana perbedaan antara kolesteatoma eksterna dan keratosis obturans? C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini selain untuk memenuhi tugas ilmiah kepaniteraan stase ilmu THT adalah membahas perbedaan kolesteatoma eksterna
dan keratosis obturans yang meliputi anatomi telinga dan fisiologi pendengaran, definisi,
etiologi,
epidemiologi,
patogenesis,
diagnosis,
pentalaksanaan,
komplikasi, dan prognosis dari keduanya. D. Manfaat Penulisan
Penulisan referat ini diharapkan dapat menambah wawasan mahasiswa profesi kedokteran tentang perbedaan kolesteatoma eksterna dan keratosis obturans.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi telinga
Telinga sebagai indera pendengar terdiri dari tiga bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Struktur anatomi telinga seperti diperlihatkan pada gambar 1.
Gambar 1. Struktur anatomi telinga Sumber: Fox S.9 1. Telinga Bagian Luar Telinga luar berfungsi menangkap rangsang getaran bunyi atau bunyi dari luar. Telinga luar terdiri dari daun telinga (pinna auricularis), saluran telinga (canalis auditorius externus) yang mengandung rambut-rambut halus dan kelenjar sebasea sampai di membran timpani. - Daun telinga terdiri atas tulang rawan elastin dan kulit. Bagian-bagian daun telinga lobula, heliks, anti heliks, tragus, dan antitragus. - Liang telinga atau saluran telinga
merupakan saluran yang berbentuk
seperti huruf S. Pada 1/3 proksimal memiliki kerangka tulang rawan dan 2/3 distal memiliki kerangka tulang sejati. Saluran telinga mengandung rambutrambut halus dan kelenjar lilin. Rambut-rambut alus berfungsi untuk
melindungi lorong telinga dari kotoran, debu dan serangga, sementara kelenjar sebasea berfungsi menghasilkan serumen. Serumen adalah hasil produksi kelenjar sebasea, kelenjar seruminosa, epitel kulit yang terlepas dan partikel debu. Kelenjar sebasea terdapat pada kulit liang telinga. 2. Telinga Bagian Tengah Telinga tengah atau cavum tympani. Telinga bagian tengah berfungsi menghantarkan bunyi atau bunyi dari telinga luar ke telinga dalam. Bagian depan ruang telinga dibatasi oleh membran timpani, sedangkan bagian dalam dibatasi oleh foramen ovale dan foramen rotundum. Pada ruang tengah telinga terdapat bagian-bagian sebagai berikut : a. Membran timpani Membran timpani berfungsi sebagai penerima gelombang bunyi. Setiap ada gelombang bunyi yang memasuki lorong telinga akan mengenai membran timpani, selanjutnya membran timpani akan menggelembung ke arah dalam menuju ke telinga tengah dan akan menyentuh tulang-tulang pendengaran yaitu maleus, inkus dan stapes. Tulang-tulang pendengaran akan meneruskan gelombang bunyi tersebut ke telinga bagian dalam. b. Tulang-tulang pendengaran Tulang-tulang pendengaran yang terdiri atas maleus (tulang martil), incus
(tulang landasan)
dan stapes (tulang sanggurdi). Ketiga tulang
tersebut membentuk rangkaian tulang yang melintang pada telinga tengah dan menyatu dengan membran timpani. Susunan tulang telinga ditampilkan pada gambar 2.
Gambar 2. Susunan tulang-tulang pendengaran Sumber: Fox S.9 c. Tuba auditiva eustachius Tuba auditiva eustachius atau saluran eustachius adalah saluran penghubung antara ruang telinga tengah dengan rongga faring. Adanya saluran
eustachius, memungkinkan keseimbangan tekanan udara rongga
telinga telinga tengah dengan udara luar. 3. Telinga bagian dalam Telinga dalam berfungsi menerima getaran bunyi yang dihantarkan oleh telinga tengah. Telinga dalam atau labirin terdiri atas dua bagian yaitu labirin tulang dan labirin selaput. Dalam labirin tulang terdapat vestibulum, kanalis semisirkularis dan koklea. Di dalam koklea inilah terdapat organ Corti yang berfungsi untuk mengubah getaran mekanik gelombang bunyi menjadi impuls listrik yang akan dihantarkan ke pusat pendengaran.Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semi-sirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan skala timpani dengan skala vestibuli.Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Koklea atau rumah siput merupakan saluran spiral dua setengah lingkaran yang menyerupai rumah siput. Koklea terbagi atas tiga bagian yaitu: a. Skala vestibuli terletak di bagian dorsal
b. Skala media terletak di bagian tengah c. Skala timpani terletak di bagian ventral Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfe, sedangkan skala media berisi endolimfe. Ion dan garam yang terdapat di perilimfe berbeda dengan endolimfe. Hal ini penting untuk proses pendengaran.Antara skala satu dengan skala yang lain dipisahkan oleh suatu membran. Ada tiga membran yaitu: a. Membran vestibuli, memisahkan skala vestibuli dan skala media. b. Membran tektoria, memisahkan skala media dan skala timpani. c. Membran basilaris, memisahkan skala timpani dan skala vestibuli.Pada membran membran basalis ini terletak organ Corti dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ Corti. B. Anatomi MAE
Kanalis auditorius eksternal memiliki keunikan dengan lapisan epitel skuamos berkeratinnya, dimana epitel tersebut tidak berpenetrasi ke permukaan kulit. Fakta inilah, yang menyebabkan kolesteatoma dapat terjadi. Secara embriologi, kanalis auditorius eksterna berasal dari celah bronkial pertama, dan merupakan invaginasi dari permukaan eksternal wajah yang bertemu dengan turunan kantong pharingeal pertama, celah telinga tengah, daerah membran timpani (membran timpani tersusun dari lapisan ektodermal luar, lapisan mesodermal tengah fibrosa, dan lapisan endodermal mukosa dalam).
Telinga tengah/middle ear (ME) dibentuk dari kantong pharingeal pertama sedangkan kanalis eksternal/ external auditori canal (EAC) dibangun dari celah pharingeal pertama.Anatomi meatus eksterna tidak kompleks. Kanalis auditorius eksterna terdiri dari pars osseus pada 2/3 bagian medial dan pars kartilagenus di 1/3 bagian lateral. Pars osseus disusun oleh tulang timpani yang berbentuk kaki kuda dan pada bagian superiornya terdapat celah yang disebut notch of rivinus. Akhir anterosuperior tulang timpani terdiri dari sutura timpanoskuamos dan akhir posterosuperiornya disusun oleh sutura timpanomastoid. Pars kartilagenus kanalis auditorius disusun oleh meatus itu sendiri. Penghubung antara osseus dan kartilagenus adalah bagian terpendek dari kanalis auditorius eksterna dan disinilah tempat dimana serumen sering terperangkap. Kartilago yang menyusun meatus eksterna berbeda dengan kartilago aurikula. Pada bagian anterosuperior pars kartilagenus, terdapat celah pada insicura, yakni daerah antara helik dan tragus. Pada bagian inferior, kartilago menjadi lebih tebal. Kulit yang menutupi kartilago kanalis auditorius cenderung tebal dan mengandung kelenjar apokrin yang memproduksi serumen. Kulit yang menutupi tulang mastoid sangat tipis, tidak ada bantalan dan kelenjar dan sangat sensitif terhadap nyeri dan tekanan. Kulit yang menutupi notch rivinus suprior, antara dua
garis sutura, lebih longgar dan hampir sama dengan vaskular strip karena memiliki suplai darahnya sendiri. Kulit kanalis auditorius eksterna yang ketat berbeda dengan epitel pada pars tensa membran timpani. C. Fisiologi pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dihantarkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani dan diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan memperkuat getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan foramen ovale. Energi getar yang teiah diperkuat ini akanditeruskan ke stapes yang menggerakkan foramen ovale sehingga cairan perilimfe pada skala vestibuli bergerak.1 Getaran akibat getaran perilimfe diteruskan melalui membran Reissner yang akan mendorong endolimfe, sehingga akan terjadi gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39 - 40) di lobus temporalis. D. Kolesteatoma Eksterna 1. Definisi
Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin). Deskuamasi terbentuk terus lalu menumpuk sehingga kolesteatoma bertambah besar. Istilah kolesteatoma mulai diperkenalkan oleh Johanes Muller pada tahun 1983 karena disangka kolesteatoma merupakan suatu tumor, yang ternyata bukan. Beberapa istilah lain yang diperkenalkan oleh para ahli antara lain adalah : keratoma, squamous epiteliosis, kolesteatosis, epidermoid kolesteatoma, kista epidermoid, epidermosis. Kolesteatoma pada meatus akustikus eksternus (MAE) merupakan keadaan patologi yang sangat jarang
terjadi. Kebanyakan literatur menggambarkan kasus sekunder, dengan beberapa laporan dari kolesteatoma primer. Hal ini ditandai dengan erosi dari bagian tulang MAE yang disebabkan proliferasi dari jaringan skuamosa yang berdekatan. Deskripsi awal mengenai kolesteatoma kanalis auditorius eksternal diperkenalkan oleh Toynbee pada tahun 1850, tetapi definisi yang tepat dari penyakit ini dipaparkan oleh Piepergerdes et al pada tahun 1980, ketika telah ditemukan perbedaan antara kolesteatoma
kanalis
auditorius
eksternal
dengan
keratosis
obturans.
Kolestetoma didefinisikan sebagai akumulaasi dari keratin yang diproduksi oleh pengelupasan kulit kanalis auditorius eksternal. Kolesteatoma kanalis auditorius eksternal ini ditandai oleh erosi tulang sebagian dari kanalis auditorius eksternal darijaringan skuamosa yang berdekatan. Diagnosis diferensial mencakup neoplasma dan otitis eksternal maligna. 2. Epidemiologi
Kolesteatoma eksterna merupakan kondisi yang langka dengan angka kejadian diperkirakan 1,2 kasus primer per 1.000 pasien dengan penyakit pada telinga. Vrabec danChaljub memperkirakan peningkatan menjadi 1,7 per 1.000 pasien. Penelitian yang dilakukan oleh Owen, Jorn dan Michael pada pasien dengan penyakit telinga pada tahun 1979 sampai 2005 mendapatkan angka yang lebih tinggi yakni 3,7 kasus per 1.000 pasien, sedangkan kejadian dari semua kasus adalah 7,1 per 1.000 pasien. Namun, yang terakhir ini cocok dengan Vrabec dan Chaljub, yang menemukan kejadian total 1 dari 200, atau 5kasus per 1.000 pasien. Angka kejadian dari penelitian tersebut adalah 0,15 untuk kasus primer, sementara 0,30 untuk semua kasus per tahun per 100.000 penduduk dalam perbandingan tingkat kejadian kolesteatoma telinga tengah adalah sekitar 9,2 per 100.000per tahun.Berdasarkan lokasi kolesteatom dari jumlah kasus pada masing-masing kelompok kolesteatom ekterna primer paling banyak ditemukan di aterior (76 %), inferior (68 %) dan dinding posterior (60 %). Menurut Anthony dan Anthony lokasi terbanyak adalah anterior dan inferior.8 Menurut Heilbrun dkk, lokasi terbanyak pada posterior dan inferior.9
Pada kasus ini lokasi kolesteatom di liang telinga didapatkan pada bagian posterior liang telinga. Perluasan kolesteatom ekterna berdasarkan penelitian Owen dkk.7 63 % tidak didapatkan perluasan, 23 % terdapat perluasan ke temporomandibular joint, 13 % terdapat perluasan ke mastoid, 6 % ke telinga tengah, 2 % dapat mengenai N.VII dan perluasan ke attik dan antrum masing-masing 2 %. Menurut Heilbrun dkk. Perluasan kolesteatom eksterna terbanyak ke telinga tengah 38 %, mastoi d 31 %, N. VII 15 %, tegmen 8 %.9 Pada pasien ini terdapat perluasan ke mastoid. Berdasarkan distribusi jenis kelamin, dari penelitian Owen dkk7. rasio perempuan dan pria adalah 13 : 12, menurut Anthony dan Anthony8 rasio tersebut 7 : 5, menurut Sismanis dkk. rasio perempuan dengan pria 4 : 6 sedangkan dari penelitian Holt perbandingan antara perempuan dan pria yang mengalami kolesteatom eksterna 2 : 6. Usia rata-rata pasien kolesteatom eksterna menurut Owen dkk.7 adalah 57 tahun. 3. Patogenesis
Kolesteatoma kanalis auditorius eksternal terjadi karena oklusi atau stenosis kanalis eksternal yang kemudian menyebabkan retensi debris epitel skuamosa pada bagian medial kanalis eksternal yang seharusnya dikeluarkan melalui kanalis, namun terhalang oleh oklusi atau stenosis tersebut. Menurut Gray, kolesteatoma adalah epitel kulit yang berada pada tempat yang salah. Sebagaimana kita ketahui bahwa seluruh epitel kulit pada tubuh kita berada pada lokasi yang terbuka/terpapar ke dunia luar. Penghubung antara osseus dan kartilagenus adalah bagian terpendek dari kanalis auditorius eksterna dan disinilah tempat dimana serumen sering terperangkap Epitel kulit di kanalis auditorius merupakan suatu darah cul-de-sac sehingga apabila terdapat serumen padat di kanalis auditorius dalam waktu yang lama, maka dari epitel kulit yang berada medial dari serumen tersebut seakan terperangkap sehingga membentuk kolesteatoma.1 Stenosis kanalis auditorius dapat terjadi post traumatik dan post inflamasi, dimana epitel akan terperangkap lalu berakumulasi sebagai kolesteatoma. Post radiasi juga dapat menyebabkan kolesteatoma karena terjadi hiperplasi epitel.Kolesteatoma membutuhkan angiogenesis dalam perimatrix
jaringan ikat, danzat dalam kaskade penyembuhan yangmemainkan peran penting dalam pertumbuhan danperkembangannya. Namun, masih belum diketahui apakah hal ini disebabkan adanya defekgen yang mengontrol proliferasi, baik itu oleh sitokin yang dikeluarkan oleh sel inflamasi atau dengan mekanisme lain. Perimatrix dapat memainkan peranan penting dalam patogenesiskolesteatoma,
banyak
mediator
kimia
yang terlibat
dalam
agresivitas dan erosi tulang yang disebabkan oleh kolesteatoma.Kolagenase ditingkatkan oleh inflamasi kronik yang menyerang molekul kolagen yang intak, selanjutnya di digesti oleh protease yang juga merupakan produk dari inflamasi. Proses ini kemudian menyebabkan reasorbsi jaringan ikat dan tulang. Erosi proteolitik pada tulang temporal merupakan patognomonik kolesteatoma yang progresif. Selain itu, MMP juga memegang peranan penting dalam invasi ke tulang temporal. Proliferasi epitel pada kolesteatoma dipengaruhi oleh Transforming Growth Factor Alpha (TGF-α), interleukin-1 (IL-1) dan Epidermal Growth Factor (EGF). Patofisiologi kolesteatom eksterna sampai saat ini masih belum jelas. Teori terbaru dikemukakan oleh Persound dkk, ada dua teori utama : a) Terdapat suatu trauma minor pada kulit liang telinga yang menimbulkan reaksi inflamasi dan ulserasi, proses selanjutnya akan menyebabkan terjadinya periosteitis dan nekrosis pada tulang di liang telinga. Epitel skuamosa akan masuk (invasi) ke dalamnya dan berproliferasi, proses akhir adalah akan terbentuk kolesteatom di daerah tersebut. b) Proses penuaan pada epitel kulit liang telinga mengakibatkan aliran darah di tempat tersebut berkurang, jaringan kulit akan mengalami hipoksia sehingga proses normal migrasi epitel menurun. Terjadi penumpukkan sel epitel akan menyebakan terbentuknya kolesteatom. Terdapat beberapa klasifikasi dari kolesteatom ekterna, pertama klasifikasi yang disampaikan oleh mengelompokkan kolesteatom ekterna berdasarkan asal dari kolesteatom: 1) Kolesteatom primer
2) Kolesteatom sekunder 3) Kolesteatom yang berkaitan dengan atresia kongenital pada liang telinga. Klasifikasi lainnya adalah yang disampaikan oleh Vrabec dan Chaljub (2000)6, dikelompokkan berdasarkan faktor penyebab dari kolesteatom eksterna: 1) Kolesteatom spontan (tidak terdapat penyakit pada telinga sebelumnya, trauma atau riwayat operasi telinga) 2) Kolesteatom kongenital (stenosis kogenital pada liang telinga) 3) Kolesteatom iatrogenik (terdapat riwayat operasi telinga) 4) Kolesteatoma post-trauma (terdapat riwayat fraktur tulang temporal) 5) Kolesteatom post-obstruksi (terdapat lesi sekunder yang menimbulkan oklusi liang telinga). 4. Diagnosis
Diagnosis kolesteatom eksterna ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan radiologi berguna untuk menentukkan perluasan penyakit ke telinga tengah atau ke struktur neurovaskular. Temuan dari pemeriksaan fisik yang paling sering dijumpai adalah retensi debris skuamosa dalam liang telinga, dengan berbagai variasi jumlah lokasi destruksi tulang liang telinga. Secara klinis, pasien dengan kolesteatom eksterna datang dengan keluhan nyeri telinga yang bersifat tumpul dan telinga berair, biasanya purulen. Nyeri timbul akibat invasi jaringan skuamosa ke tulang yang liang telinga yang mengalami periosteitis. Pasien biasanya tidak mengeluhkan gangguan pendengaran. 5. Pemeriksaan Penunjang
Pencitraan dapat auditorius
bermanfaat
eksternal. Namun,
dalam evaluasi kolesteatoma
dalam
literatur
dikatakan
kanalis bahwa
pada CT, kolesteatoma kanalis auditorius eksternal tidak dapat digambarkan dengan jelas. Bahkan, istilah keratosis obturans dan kolesteatoma kanalis auditorius eksternal sering digunakan secara bergantian. Dengan resolusi tinggi pada pemeriksaan CT tulang temporal, kolesteatoma kanalis auditorius
eksternal ini
paling
sering dilihat sebagai
massa jaringan
lunak dengan
erosi tulang dan fragmen tulang intramural. Tulang erosi yang berdekatan dengan massa jaringan lunak mungkin halus, mirip dengan kolesteatoma telinga tengah. Pemeriksaan CT ini penting untuk mengevaluasi perluasan ke telinga tengah dan untuk keutuhan saluran saraf wajah, tegmen timpani, dan mastoid. 6. Staging
Staging kolesteatoma kanalis auditorius eksternal dibagi menjadi 4, yakni : - Stage I : hiperplasia dan hiperemis epitel meatal auditorius. - Stage II : inflamasi lokal pada epitel yang berproliferasi dan periostesis yang berdekatan. Tidak ada destruksi tulang kanalis auditorius. Akumulasi debris keratin. Secara klinis, nyeri tumpul dan super infeksi. Dapat terjadi otore. Permukaan epitel intak tanpa penampakan tulang kanalis. Defek epitel dengan penampakan tulang kanalis. - Stage III : destruksi tulang kanalis auditorius dengan tulang skuestes (osteonekrosis asepsis). Perusakan epitel ke tulang kanalis yang berdekatan. - Stage IV : destruksi spontan pada struktur anatomi yang berdekatan dengan liang telinga disertai otore, penurunan pendengaran, parase nervus fasialis, dan abses endokranial. Berdasarkan stadium kolesteatom eksterna yang dikemungkakan oleh Shin dkk yang dikelompokkan berdasarkan gambaran klinis dan tomografi komputer, yaitu: - Stadium I Kolesteatom masih terbatas diliang telinga - Stadium II Kolesteatom sudah sampai ke membran timpani dan telinga tengah - Stadium III Kolesteatom telah menimbulkan destruksi pada liang telinga dan pneumotisasi air cell tulang mastoid terganggu. - Stadium IV Lesi sudah meluas ke jaringan di luar tula ng temporal.
7. Tatalaksana
Penatalaksanaan kolesteatom eksterna tergantung pada berat ringannya gejala. Pasien dengan keluhan hanya rasa gatal dan tidak nyaman ditelinga hanya membutuhkan pembersihan rutin liang telinga, dapat dipergunakan antiseptik topikal. Prosedur operasi dipilih berdasarkan lokasi dan perluasan destruksi tulang. Canaloplasty dipilih pada lesi yang terdapat di anterior dan inferior liang telinga dan tidak ditemukan perluasan ke mastoid. Pada defek kulit yang luas dapat dilakukan skin graft. Mastoidektomi dinding utuh dilakukan pada destruksi yang luas didinding posterior dan terdapat gangguan fungsi tuba atau perluasan ke telinga tengah. Mastoidektomi dinding utuh dilakukan jika fungsi telinga tengah normal. Tulang kortek dapat dipergunakan untuk rekonstruksi liang telinga. Pembedahan direkomendasikan untuk kolesteatoma auditorius eksterna, terutama dalam kasus yang kronis, infeksi yang terus menerus terjadi dan yang telah terjadi komplikasi seperti hypoacusis, kelumpuhan nervus fasial, vertigo kronis, lesi
yang
berkembang
progresif,
keterlibatan
hypo
tympanum, jugularis foramen atau keterlibatan mastoid. Seperti rekomendasi Naim dkk: - stage I : pendekatan transkanal, - stage II dan III : pembedahan untuk membuang jaringan patologis. - stage IV : insisi postauricular di ikuti dengan teknik kanal wall down. Sekuester yang kecil di kanalis auditorius dapat dihilangkan melalui kuretase dengan anestesi auditorius
lokal.
eksternal yang
dengan debridement melalui
Bagaimanapun, kolesteatoma besar
pendekatan
dan
kanalis
luas harus terapi
postaurikular. Setelah
diangkat,
penyembuhan berlangsung dalam 10 minggu. Setelah sembuh,
kanalis
auditorius umumnya membutuhkan periode pembersihan untuk mencegah reakumulasi
debris
keratin
bagidefek
kulit
kanalis
dalam depresi tulang. Skin yang besar. Mastoidektomi
graft bermanfaat kanal
wall
down digunakan untuk defek dinding posterior yang besar dan disfungsi tuba estachius atau penyakit telinga tengah.
8. Komplikasi
Massa kolesteatoma ini akan menekan dan mendesak organ disekitarnya serta menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya proses nekrosis terhadap tulang diperhebat oleh karena pembentukan reaksi asam oleh pembusukan bakteri. Proses nekrosis tulang ini mempermudah timbulnya komplikasu seperti labirinitis, meningitis dan abses otak. 9. Prognosis
Melakukan proses eliminasi dari kolesteatoma hampir selalu berhasil, namun terkadang membutuhkan tindakan operasi yang berkali-kali. Karena penanganan dari kolesteatoma dengan pembedahan pada umumnya berhasil dengan sempurna, oleh karena itu komplikasi yang timbul dari pertumbuhan kolesteatoma yang tidak terkontrol sangatlah jarang terjadi. Pada
penanganan
canal-wall-down
tympanomastoidectomy akan
memberikan angka persentase rekurensi ataupun persistensi yang rendah dari kolesteatoma. Reoperasi dari kolesteatoma hanya terjadi pada 5% atau bahkan lebih sedikit. Oleh karena itu tehnik ini jauh lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan closed-cavity technique yang memiliki angka rekurensi antara 20-40%.
E. Keratosis Obturans 1. Definisi
Keratosis obturans adalah akumulasi atau penumpukan deskuamasi lapisan keratin epidermis pada liang telinga, berwarna putih seperti mutiara, sehingga membentuk gumpalan dan menimbulkan rasa penuh serta kurang dengar. Penyakit ini tidak mengenai bagian kartilagenous meatus auditorius eksternus. Secara khas, lesi ini hanya terbatas pada meatus, tanpa menyebabkan destruksi tulang. Bila tidak ditanggulangi dengan baik akan terjadi erosi kulit dan destruksi bagian tulang meatus auditorius eksternus. keratosis obturans sebenarnya telah diperkenalkan oleh Wreden pada tahun 1874 untuk membedakannya dengan impaksi serumen. Penyakit ini juga harus dibedakan dari kolesteatoma primer yang ditandai dengan invasi jaringan
skuamosa dari telinga bagian tengah yang disertai dengan erosi dan destruksi tulang. Piepergerdes dan rekannya pada tahun 1980 menyatakan bahwa keratosis obturans dihasilkan oleh penyakit pada kulit meatus auditorius eksternus sedangkan penyakit pada tulang meatus auditorius eksternus merupakan dasar bagi kolesteatoma pada meatus auditorius eksternus. 2. Epidemiologi
Keratosis obturans pada umumnya terjadi pada pasien usia muda antara umur 5-20 tahun dan dapat menyerang satu atau kedua telinga. Morrison melaporkan bahwa terdapat 50 kasus keratosis obturans pada tahun 1956 dimana 20 pasien berumur 5-9 tahun, 15 pasien berumur antara 9 ± 19, dan 15 pasien berumur antara 20 ± 59 tahun. Black and Clayton melaporkan terjadinya keratosis obturans pada anak-anak pada tahun 1958 dengan insidens 90% terjadi secara bilateral. 3. Etiologi
Etiologi keratosis obturans hingga saat ini belum diketahui. Namun, mungkin disebabkan akibat dari eksema, seboroik dan furonkulosis. Penyakit ini kadang-kadang dihubungkan dengan bronkiektasis dan sinusitis kronik. 4. Patogenesis
Keratosis obturans terjadi karena migrasi abnormal epitel pada lapisan kulit liang telinga. Secara normal, epitel dari permukaan membran timpani pars flaksida bermigrasi turun ke pars tensa dan kemudian bergerak secara inferior melewati membran timpani. Namun, pergerakan sel epitel pada penyakit ini nampak terbalik. Kegagalan migrasi ini atau adanya obstruksi pada saat migrasi yang disebabkan oleh lapisan keratin menyebabkan akumulasi debris epitel pada meatus bagian dalam. Hal ini sesuai dengan studi tentang kulit normal pada telinga luar yang dilakukan oleh Alberti (1964) menunjukkan bahwa secara normal terdapat migrasi epitel dari membran timpani ke meatus auditorius eksternus. Menurut Paparella dan Shumrick, keratosis obturans dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : produksi berlebihan dari sel epitel, kegagalan migrasi epitel kulit dan ketidakmampuan mekanisme pembersihan diri oleh meatus auditorius eksternus. Mekanisme pembersihan
diri oleh meatus auditorius eksternus merupakan hasil dari kordinasi proses maturasi keratin dan migrasi sel ke luar. Pada keratosis obturans, mekanisme ini tidak berfungsi. Hubungan bronkiektasis dan sinusitis dengan kejadian keratosis obturans (secara frekuensi muncul ipsilateral) telah dilaporkan sebelumnya (Morrison, 1956; Black 1964). Berkaitan dengan penemuan ini menyebabkan munculnya hipotesis bahwa adanya pus menstimulasi sistem refleks simpatis dari cabang trakeobronkial untuk merangsang reflex sekresi serumen yang menyebabkan obstruksi oleh keratin dan pembentukan sumbat epidermal (Morrison, 1956). 5. Gejala Klinis
Gejala klinis yang dapat timbul pada penyakit ini adalah tuli konduktif ringan- sedang, nyeri telinga yang hebat, liang telinga yang lebih lebar, membran timpani yang utuh tapi lebih tebal dan tinnitus serta jarang ditemukan otorea. Gangguan pendengaran dan nyeri telinga yang hebat disebabkan oleh desakan gumpalan epitel berkeratin di liang telinga. Keratosis obturans disertai dengan bronkiektasis dan sinusitis kronik serta bilateral. 6. Diagnosis Anamnesis
Sejarah otologi harus diperoleh dalam rangka untuk mengetahui gejala awal keratosis obturan. Gejala yang paling umum adalah kehilangan pendengaran, otalgia yang hebat, otorea dan tinnitus yang bilateral disertai dengan bronkiektasis dan sinusitis kronik. Pemeriksaan Fisis
Selain pemeriksaan kepala dan leher, pemeriksaan otologi menjadi perhatian khusus. Penilaian umum untuk menghindari terlewatnya penilaian demam, perubahan status mental dan penilaian lainnya yang dapat memberikan petunjuk kearah komplikasi. Pada inspeksi, tampak terlihat adanya obstruksi di sepanjang membrane timpani pada meatus auditorius eksternus oleh gumpalan debris keratin berwarna putih yang berisi serumen berwarna coklat pada bagian tengah. Adanya gumpalan keratin dalam meatus auditorius eksternus meningkatkan tekanan pada dinding meatus sehingga terjadi remodeling
tulang. Hal ini menyebabkan pelebaran tulang pada MAE yang disertai oleh inflamasi epithelium. Tes Rinne dan Weber dengan menggunakan garputala 512 Hz dilakukan untuk mengetahui tuli konduksi dan dibandingkan dengan pemeriksaan audiometri. Pemeriksaan penunjang
- Radiologi: Pada CT-Scan tulang temporal dapat memperlihatkan erosi dan pelebaran meatus. - Patologi: Sumbatan keratin pada keratosis obturans terlihat seperti garis geometric di dalam meatus auditorius eksternus yang terlihat seperti gambaran onion skin. Gambaran patologi ini dihubungkan denagan adanya hyperplasia di bawah epithelium dan adanya inflamasi kronik pada jaringan subepitelium. 7. Penatalaksanaan
Pengobatan pada keratosis obturans berupa pengangkatan desquamated squamous epithelium. Selain itu, dapat dilakukan operasi dengan general anestesi untuk debridement, canal plasty dan timpanomastoidektomi dapat dilakukan untuk mencegah berlanjutnya erosi tulang. Penyakit ini biasanya dapat dikontrol dengan melakukan pembersihan liang telinga secara periodik setiap 3 bulan, mengurangkan akumulasi debris. Pemberian obat tetes telinga dari campuran alkoholatau gliserin dalam peroksid 3%, tiga kali seminggu sering kali dapat menolong. Pada pasien yang telah mengalami erosi tulang liang telinga, seringkali diperlukan tindakan bedah dengan melakukan tandur jaringan ke bawah kulit untuk menghilangkan gaung di dinding liang telinga. Yang penting ialah membuat agar liang telinga berbentuk seperti corong, sehingga pembersihan liang telinga secara spontan lebih terjamin.
F. Pembahsasan
Kolesteatoma kanalis auditorius eksternal terjadi karena oklusi atau stenosis kanalis eksternal yang kemudian menyebabkan retensi debris epitel skuamosa pada bagian medial kanalis eksternal yang seharusnya dikeluarkan melalui kanalis, namun terhalang oleh oklusi atau stenosis tersebut. Menurut Gray, kolesteatoma adalah epitel kulit yang berada pada tempat yang salah. Sebagaimana kita ketahui bahwa seluruh epitel kulit pada tubuh kita berada pada lokasi yang terbuka/terpapar ke dunia luar. Penghubung antara osseus dan kartilagenus adalah bagian terpendek dari kanalis auditorius eksterna dan disinilah tempat dimana serumen sering terperangkap Epitel kulit di kanalis auditorius merupakan suatu darah cul-de-sac sehingga apabila terdapat serumen padat di kanalis auditorius dalam waktu yang lama, maka dari epitel kulit yang berada medial dari serumen tersebut seakan terperangkap sehingga membentuk kolesteatoma. Stenosis kanalis auditorius dapat terjadi post traumatik dan post inflamasi,
dimana
epitel
akan
terperangkap
lalu
berakumulasi
sebagai
kolesteatoma. Post radiasi juga dapat menyebabkan kolesteatoma karena terjadi hiperplasi epitel. Kolesteatoma membutuhkan angiogenesis dalam perimatrix jaringan ikat, dan
zat dalam
kaskade penyembuhan yang
dalam pertumbuhan
dan
diketahui apakah
hal
ini disebabkan
proliferasi,
itu
baik
dengan mekanisme lain. dalam patogenesis
oleh
penting
perkembangannya. Namun, masih adanya defek
sitokin yang dikeluarkan
Perimatrix dapat
kolesteatoma, banyak
dalam agresivitas dan
memainkan peran
erosi tulang yang
gen yang
belum mengontrol
oleh sel inflamasi atau
memainkan
peranan penting
mediator
kimia
disebabkan
oleh
yang terlibat kolesteatoma.
Kolagenase ditingkatkan oleh inflamasi kronik yang menyerang molekul kolagen yang intak, selanjutnya di digesti oleh protease yang juga merupakan produk dari inflamasi. Proses ini kemudian menyebabkan reasorbsi jaringan ikat dan tulang. Erosi proteolitik pada tulang temporal merupakan patognomonik kolesteatoma yang progresif. Selain itu, MMP juga memegang peranan penting dalam invasi ke tulang
temporal.
Proliferasi
epitel
pada
kolesteatoma
dipengaruhi
oleh
Transforming Growth Factor Alpha (TGF-α), interleukin-1 (IL-1) dan Epidermal Growth Factor (EGF). Keratosis obturans terjadi karena migrasi abnormal epitel pada lapisan kulit liang telinga. Secara normal, epitel dari permukaan membran timpani pars flaksida bermigrasi turun ke pars tensa dan kemudian bergerak secara inferior melewati membran timpani. Namun, pergerakan sel epitel pada penyakit ini nampak terbalik. Kegagalan migrasi ini atau adanya obstruksi pada saat migrasi yang disebabkan oleh lapisan keratin menyebabkan akumulasi debris epitel pada meatus bagian dalam. Hal ini sesuai dengan studi tentang kulit normal pada telinga luar yang dilakukan oleh Alberti (1964) menunjukkan bahwa secara normal terdapat migrasi epitel dari membran timpani ke meatus auditorius eksternus. Perbedaan kolesteatoma eksterna dan keratosis obsturans
BAB III KESIMPULAN
Pada keratosis obturans ditemukan gumpalan epidermis di liang telinga yang disebabkan oleh terbentuknya sel epitel yang berlebihan yang tidak bermigrasi ke arah telinga luar. Terdapat tuli konduktif akut, nyeri yang hebat, liang telinga yang lebih lebar, membran timpani yang utuh tapi lebih tebal dan jarang ditemukan adanya sekresi telinga. Erosi tulang liang telinga ditemukan pada keratosis obturans dan pada kolesteatoma eksterna. Hanya saja pada keratosis obturans, erosi tulang yang terjadi menyeluruh sehingga tampak liang telinga menjadi lebih luas. Sementara pada kolesteatoma eksterna erosi tulang terjadi hanya di daerah posteroinferior. Pada kolesteatoma eksterna juga ditemukan otore dan nyeri tumpul menahun, pendengaran dan membran timpani biasanya normal. Kolesteatoma adalah suatu kista epiterial yang berisi deskuamasi epitel(keratin) Diduga sebagai akibat migrasi epitel yang salah dan periostitis sirkumskripta Diawali dengan penumpukan deskuamasi epidermis diliang telinga terbentuk gumpalan danmenimbulkan rasa penuh pd telinga.Biasanya unilateral.
DAFTAR PUSTAKA
Adam GL., Boies LR. Penyakit Telinga Luar. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997; ( 6):73-87. Akbar, dr.Cholesteatoma externa. 2006. Universitas Sumatera Utara.[cited on April
4th
2013].
Available
from
:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24571/.../Chapter%20II. pdf Morre, Keith L., Arthur F Dalley. 2013. Anatomi Berorientasi Klinis. Ed:ke-5, jilid 3. Jakarta: Erlangga Nguyen, Q.A. (2011). Cholesteatoma . Diakses 30November 2017, dari http://emedicine.medscape.com/article/863320-overview Roezin A, Armiyanto. Kelainan telinga luar. dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher: edisi 6 . Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. 2007. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hal : 57 - 62. Sanjeev, B., Saurabh, F., , Sampan, B. (2012). Primary external auditory canal cholesteatoma presenting as cerebellar abscess . BMJ;344:e1097. Diakses 30
November 2017, dari www.bmj.com/content/344/bmj.e1097 Nash CM MSc and Fiel S. MB Bch. 2008. Epidemiologi of Choleastoma in a Canadian Emergency Departement. IJEM: 8(3) 23028. Iskandar, N., Supardi, E.A. (1993). (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi Kedua, Jakarta FKUI, hal. 85, 103-7. Kanowitz, S.J., Citardi, M.J., Batra, P.S. (2009). Cholesteatoma of t he external ear canal: etiological factors, symptoms and clinical findings in a series of 48 cases. BMC Ear, Nose and Throat Disorders. Berlin: Springer; p. 139-49. Herkner, H., Laggner, A.N., Muller, M., Formanek, M., Bur, A. (2011). External auditory canal cholesteatoma and keratosis obturans: The role of imaging in preventing facial nerve injury. ENT Journal. P 65-89. Soepardi EA., Iskandar N., Bashiruddin J., Restuti RD. Otitis Eksterna. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011; (6):60 – 63.