LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY ”K” DI RUANG 14 RSUD dr SAIFUL ANWAR MALANG DENGAN DIAGNOSA MEDIS “WOUND DEHISCENCE DAN SEPSIS”
OLEH : AGUSTIKA ROKHMA DEWI NIM 2016611001
PROGRAM PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI MALANG
2017
LAPORAN PENDAHULUAN
WOUND DEHISCENCE
1.
DEFINISI
Burst abdomen juga dikenal sebagai abdominal wound dehiscence atau luka operasi terbuka, didefinisikan sebagai suatu komplikasi dari proses penyembuhan luka yang ditandai terbukanya sebagian atau seluruh luka operasi yang disertai protrusi atau keluarnya isi rongga abdomen. Keadaan ini sebagai akibat kegagalan proses penyembuhan luka operasi(Baxter, 2003; Spiolitis, 2009). Wound dehiscence merupakan komplikasi utama dari pembedahan abdominal. Insidensinya sekitar 0,2%-0,6% dengan angka
mortalitas
cukup
tinggi,
mencapai
10%-40%,
disebabkan
penyembuhan
lukaoperasi yang inadekuat.
2.
ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
Faktor penyebab dehisensi luka operasi berdasarkan mekanisme kerjanya dibedakan atas tiga yaitu: a. Faktor mekanik : Adanya tekanan dapat menyebabkan jahitan jaringan semakin meregang dan mempengaruhi penyembuhan luka operasi. Faktor mekanik tersebut antara lain batuk-batuk yang berlebihan, ileus obstruktif dan hematom serta teknik operasi yang kurang. b. Faktor metabolik : Hipoalbuminemia, diabetes mellitus, anemia, gangguan keseimbangan elektrolit serta defisiensi vitamin dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka. c. Faktor infeksi Semua faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi luka operasi akan meningkatkan terjadinya dehisensi luka operasi. Secara klinis biasanya terjadi pada hari ke 6 - 9 paska operasi dengan gejala suhu badan yang meningkat disertai tanda peradangan disekitar luka. Menurut National Nosocomial Infection Surveilance System, luka operasi dibedakan menjadi luka bersih, bersih terkontaminasi, terkontaminasi dan kotor. Infeksi luka
jahitan yang terjadi dini ditandai dengan peningkatan temperature dan terjadinya selulitis dalam waktu 48 jam setelah penjahitan. Dehisensi luka operasi akan segera terjadi jika infeksi
tidak
diatasi.
Infeksi
dini
seringkali
disebkan
oleh
streptococcus
B
haemolyticus.Sedangkan pada infeksi lanjut seringkali tidak disertai peningkatan temperatur dan pembentukan pus, dan terutama disebabkan oleh Stafilococcus aureus. (Webster et al , 2003; Afzal,2008; Spioloitis et al, 2009).
3.
FAKTOR RESIKO
Faktor risiko terjadinya wound dehiscence dibedakan atas faktor preoperasi yang berhubungan erat dengan kondisi dan karakteristik penderita, faktor operasi yang berhubungan dengan jenis insisi dan tehnik penjahitan, serta faktor
pascaoperasi
(Webster et al, 2003). Faktor risiko preoperasi meliputi jenis kelamin (laki-laki lebih rentan diban dingkan wanita), usia lanjut (>50 tahun), operasi emergensi, obesitas, diabetes mellitus, gagal ginjal, anemia, malnutrisi, terapi radiasi dan kemoterapi, keganasan, sepsis, penyakit paru obstruktif serta pemakaian preparat kortikosteroid jangka panjang (Afzal, 2008; Spiloitis et al , 2009; Makela, 2005; Singh, 2009).
Faktor risiko operasi antara lain : a.
Jenis insisi : Tehnik insisi mediana lebih rentan untuk terbuka daripada transversal dikarenakan arah insisinya yang nonanatomik, sehingga arah kontraksi otot-otot dinding perut berlawanan dengan arah insisi sehingga akan mereganggkan jahitan operasi.
b.
Cara penjahitan : Pemilihan tehnik penutupan secara lapis demi lapis juga berperan dalam terjadinya komplikasi ini. Tehnik ini di satu sisi memiliki keuntungan yaitu mengurangi kemungkinan perlengketan jaringan, namun di sisi lain mengurangi efektifitas dan kekuatannya (Afzal, 2008; Spiloitis et al , 2009; Makela J, 2005).
c.
Tehnik penjahitan : tekhnik penjaitan terputus cenderung lebih aman daripada tekhnik penjaitan kontinyu.
d.
Jenis benang : Pemakaian benang chromic catgut juga dapat menjadi suatu perhatian khusus, dikarenakan kecepatan penyerapannya oleh tubuh sering kali tidak dapat diperkirakan (Afzal, 2008; Spiloitis et al , 2009; Makela J, 2005).
Sedangkan faktor-faktor pascaoperasi yang dapat meningkatkan terjadinya dehisensi luka antara lain: a. Peningkatan tekanan intra abdomen misalnya batuk, muntah, ileus dan retensio urin. Tekanan intraabdominal yang tinggi akan menekan otot-otot dinding abdomen sehingga akan teregang. Regangan otot dinding abdomen iniah yang akan menyebabkan berkurangnya kekuatan jahitan bahkan pada kasus yang berat akan menyebabkan putusnya benang pada jahitan luka operasi dan keluarnya jaringan dalam rongga abdomen. b. Perawatan pascaoperasi yang tidak optimal Perawatan luka pasca operasi yang tidak optimal memudahkan terjadinya infeksi pada luka sehingga memudahkan pula terjadinya dehisensi luka operasi. c. Nutrisi pascaoperasi yang tidak adekuat. Asupan nutrisi yang tidak adekuat terutama protein salah satunya akan menyebabkan hipoalbuminemia, keadaan ini akan mengurangi sintesa kolagen yang merupakan bahan dasar penyembuhan luka. Defisiensi tersebut akan mempengaruhi proses fibroblasi dan kolagenisasi yang merupakan proses awal penyembuhan luka.
Terapi radiasi dan penggunaan obat antikanker : radiasi pasca operasi dapat menyebaban buruknya penyembuhan luka operasi karena terjadinya fibrosis dan mikroangiopati (Afzal, 2008; Spiloitis et al , 2009; Makela J, 2005).
4.
KLASIFIKASI
Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat dibagi menjadi dua: a. Dehisensi luka operasi dini : terjadi kurang dari 3 hari paska operasi yang biasanya disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding perut yang tidak baik. b. Dehisensi luka operasi lambat : terjadi kurang lebih antara 7 hari sampai 12 hari paska operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan dengan usia, adanya infeksi, status gizi dan faktor lainnya (Sjamsudidajat R,2005).
5.
PATOFISIOLOGI
Burst Abdomen bisa disebabkan oleh faktor pre operasi, operasi dan post operasi. Pada faktor pre operasi, hal-hal yang berpengaruh dalam factor pre operasi ini adalah usia,kebiasaan merokok, penyakit diabetes mellitus, dan malnutrisi. Pada umur tua otot dinding rongga perut melemah. Sejalan dengan bertambahnya umur, organ dan jaringan tubuh mengalami proses degenerasi. Kejadian tertinggi burst abdomen sering terjadi pada umur > 50-65 tahun. Selain itu adanya anemia, hypoproteinaemia, dan beberapa kekurangan vitamin bisa menyebabkan terjadinya burst abdomen. Hemoglobin menyumbang oksigen untuk regenerasi jaringan granulasi dan penurunan
tingkat
hemoglobin mempengaruhi penyembuhan luka. Kebiasaan merokok sejak muda menyebabkan batuk-batuk yang persisten, batuk yang kuat dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen. Penyakit-penyakit tersebut tentu saja amat sangat berpengaruh terhadap daya tahan tubuh sehingga akan mengganggu proses penyembuhan luka operasi. Hypoproteinemia adalah salah satu faktor yang penting dalam penundaan penyembuhan, seseorang yang memiliki tingkat protein serum di bawah 6 g / dl. Untuk perbaikan jaringan, sejumlah besar asam amino diperlukan.VitaminC sangat penting untuk memperoleh kekuatan dalam penyembuhan luka.Kekurangan vitamin C dapat mengganggu penyembuhan dan merupakan predisposisi kegagalan luka. Kekurangan
vitamin C terkait dengan delapan kali lipat peningkatan dalam insiden wound dehiscence. Seng adalah co-faktor untuk berbagai proses enzimatik dan mitosis. Untuk factor operasi, tergantung pada tipe insisi, penutupan sayatan, penutupan peritoneum, dan jahitan bahan. Kontraksi dari dinding abdomen menyebabkan tekanan tinggi di daerah lateral pada saat penutupan. Pada insisi midline, ini memungkinkan menyebabkan bahan jahitan dipotong dengan pemisahan lemak transversal.Dan sebaliknya, pada insisi transversal, lemak dilawankan dengan kontraksi.Otot perut rektus segmental memiliki suplai darah dan saraf. Jika irisan sedikit lebih lateral, medial bagian dari otot perut rektus mendapat denervated dan akhirnya berhenti tumbuh.
Ini
menciptakan titik lemah di dinding dan pecah perut. Faktor post operasi terdiri dari peningkatan dari intra-abdominal pressure yang menyebabkan suatu kelemahan mungkin disebabkan dinding abdominal yang tipis atau tidak cukup kuatnya pada daerah tersebut, dimana kondisi itu ada sejak atau terjadi dari proses perkembangan yang cukup lama, pembedahan abdominal dan kegemukan. Dapat dipicu juga jika mengangkat beban berat, batuk dan bersin yang kuat, mengejan akibat konstipasi.Terapi radiasi dapat mengganggu sintesis protein normal, mitosis, migrasi dari faktor peradangan, dan pematangan kolagen. Antineoplastic agents menghambat penyembuhan luka dan luka penundaan perolehan dalam kekuatan tarik.
6.
MANIFESTASI KLINIS
Dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya penderita sering merasa ada jaringan dari dalam rongga abdomen yang bergerak keluar disertai keluarnya cairan serous berwarna merah muda dari luka operasi (85% kasus).Pada pemeriksaan didapatkan luka operasi yang terbuka. Terdapat pula tanda-tanda infeksi umum seperti adanya rasa nyeri, edema dan hiperemis pada daerah sekitar luka operasi, dapat pula terjadi pus atau nanah yang keluar dari luka operasi (Sjamsudidajat R,2005). Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara klinis terjadi pada hari keempat hingga sembilan pascaoperasi. Penderita datang dengan klinis febris, hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah leukosit yang sangat tinggi dan pemeriksaan jaringan di sekitar luka operasi didapatkan reaksi radang berupa kemerahan, hangat, pembengkakan, nyeri, fluktuasi dan pus (Afzal,2008; Spioloitis et al, 2009).
Gambar: Burst
7.
abdomen pascaoperasi abdomen
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.
Tes BGA (Darah lengkap) Hemoglobin, serum protein, gula darah, serum kreatinin, dan urea.Hitung darah lengkap dan serum elektrolit dapat menunjukkan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit), peningkatan sel darah putih, dan ketidakseimbangan elektrolit.
2.
CT scan atau MRI
3.
Sinar X abdomen Sinar X abdomen menunjukkan abnormalnya tinggi kadar gas dalam usus atau obstruksi usus.
8.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Wound Dehiscence
dibedakan menjadi penatalaksanaan non
operatif atau konservatif dan penatalaksanaan operatif tergantung atas keadaan umum penderita. 1. Penanganan Nonoperatif/ Konservatif
Penanganan non operatif diberikan kepada penderita yang sangat tidak stabil dan tidak mengalami eviserasi.Hal ini dilakukan dengan penderita berbaring di tempat tidur dan menutup luka operasi dengan kassa steril atau pakaian khusus steril.Penggunaan jahitan penguat abdominal dapat dipertimbangkan untuk mengurangi perburukan luka operasi terbuka (Anonim, 2008; Ismail, 2008). Selain perawatan luka yang baik, diberikan nutrisi yang adekuat untuk mempercepat penutupan kembali luka operasi.Diberikan pula antibiotik yang memadai untuk mencegah perburukan dehisensi luka (Singh, 2008; Ismail, 2008). 2. Penanganan Operatif Penanganan operatif dilakukan pada sebagian besar penderita dehisensi. Ada beberapa jenis operasi yang dilakukan pada dehisensi luka yang dilakukan antara lain rehecting atau penjahitan ulang luka operasi yang terbuka, mesh repair , vacuum pack , abdominal packing , dan Bogota bag repair (Sukumar, 2004). Jenis operasi rehecting atau penjahitan ulang paling sering dilakukan hingga saat ini.Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan keadaan stabil, dan penyebab terbukanya luka operasi murni karena kesalahan tekhnik penjahitan (Sukumar, 2004). Pada luka yang sudah terkontaminasi dilakukan tindakan debridemen terlebih dahulu sebelum penutupan kembali luka operasi.Dalam perencanaan jahitan ulangan perlu dilakukan pemeriksaan yang baik seperti laboratorium lengkap dan foto throraks.Selain penjahitan ulang dilakukan pula tindakan debridement pada luka (Spiloitis et al , 2009; Sjamsudidajat, 2005). Tindakan awal yang dilakukan adalah eksplorasi melalui dehisensi luka jahitan secara hati-hati dan memperlebar sayatan jahitan lalu mengidentifikasi sumber terjadinya dehisensi jahitan. Tindakan eksplorasi dilakukan dalam 48 ± 72 jam sejak diagnosis dehisensi luka operasi di tegakkan. Tehnik yang sering digunakan adalah dengan melepas jahitan lama dan menjahit kembali luka operasi dengan cara satu lapisan sekaligus. Pemberian antibiotik sebelum operasi dilakukan, membebaskan omentum dan usus di sekitar luka.Penjahitan ulang luka operasi dilakukan secara dalam, yaitu dengan menjahit seluruh lapisan abdomen menjadi satu lapis.Pastikan mengambil jaringan cukup dalam dan hindari tekanan berlebihan pada luka. Tutup kulit secara erat dan dapat dipertimbangkan penggunaan drain luka intraabdominal. Jika terdapat tanda- tanda sepsis
akibat luka, buka kembali jahitan luka operasi dan lakukan perawatan luka operasi secara terbuka dan pastikan kelembaban jaringan terjaga (Anonim, 2008; Ismail, 2008; Spiloitis, 2009). Prinsip pemilihan benang untuk penjahitan ulang adalah benang monofilament nonabsorbable yang besar. Penjahitan dengan tehnik terputus sekurangnya 3 cm dari tepi luka dan jarak maksimal antar jahitan 3 cm, baik pada jahitan dalam ataupun pada kulit.Jahitan
penguat
dengan
karet
atau
tabung
plastic
lunak
(5-6cm)
dapat
dipertimbangkan guna mengurangi erosi pada kulit.Jangan mengikat terlalu erat.Jahitan penguat luar diangkat setidaknya setelah 3 minggu (Anonim, 2008; Ismail, 2008). Selain Rehecting, banyak tekhnik yang dilakukan untuk menutup dehisensi luka secara sementara maupun permanen. Metode yang biasa dilakukan antara lainmesh repair, yaitu penutupan luka dengan bahan sintetis yaitu mesh yang berbentuk semacam kasa halus elastis yang berfungsi sebagai pelapis pada jaringan yang terbuka tersebut dan bersifat diserap oleh tubuh. Namun mesh repair menimbulkan angka komplikasi yang cukup tinggi. Dilaporkan terdapat sekitar 80% pasien dengan mesh repair mengalami komlplikasi dengan 23% mengalami enteric fistulation (Sukumar, 2004). Selain itu digunakan pula vacuum pack. Tekhnik ini menggunakan sponge steril untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali setelah itu ditutup dengan vacuum bag dengan sambungan semacam suction di bagian bawahnya. Tekhnik lain yang digunakan adalah Bogota bag. Tekhnik ini dilakukan pada dehisensi yang telah mengalami eviserasi.Bogota bag adalah kantung dengan bahan dasar plastik steril yang merupakan kantong irigasi genitourin dengan daya tampung 3 liter yang digunakan untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali.Plastik ini dijahit ke kulit atau fascia pada dinding abdomen anterior (Sukumar, 2004).
9.
PENCEGAHAN
Pencegahan dehisensi pada luka operasi dapat dilakukan dengan cara mengenali dengan baik dan sedini mungkin faktor-faktor risiko yang dimiliki penderita, penggunaan tehnik operasi/penjahitan yang tepat, cara penjahitan dan perawatan luka setelah penjahitan yang baik. Penanganan pada penderita dehisensi luka operasi adalah dengan mengobati penyebab dari dehisensi yang terjadi. Prinsip dasarnya adalah dengan melakukan
perawatan luka dengan baik. Pengetahuan akan faktor penyebab dehisensi luka (mekanik, metabolik dan infeksi) sangat berperan dalam pencegahannya. Koreksi terhadap faktor penyebab tersebut akan sangat bermakna dalam keberhasilan pencegahan dehisensi luka operasi. Pada kasus risiko tinggi, pemberian antibiotik dapat diberikan sebelum tindakan dan diet tinggi kalori dan protein dapat memberikan arti klinis yang sangat bermakna.
KONSEP KEPERAWATAN
I. PENGKAJIAN A.
Kondisi luka 1.Warna dasar luka
Slough (yellow)
Necrotic tissue (black)
Infected tissue (green)
Granulating tissue (red)
Epithelialising (pink)
2.Lokasi ukuran dan kedalaman luka 3.Eksudat dan bau 4.Tanda-tanda infeksi 5.Keadaan kulit sekitar luka : warna dan kelembaban 6.Hasil pemeriksaan laboratorium yang mendukung B.
Status nutrisi klien : BMI, kadar albumin
C. Status vascular : Hb, TcO2 D. Status imunitas: terapi kortikosteroid atau obat-obatan immunosupresan yang lain E.
Penyakit yang mendasari : diabetes atau kelainan vaskularisasi lainnya
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Nyeri akut berhubungan dengan terbukanya luka operasi. 2. Pola napas tidak teratur berhubungan dengan nyeri. 3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nafsu makan menurun 4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses invasif pada abdomen 5. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan dan peningkatan terhadap pajanan. III. RENCANA INTERVENSI 1.
Nyeri akut berhubungan dengan terbukanya luka operasi.
Tujuan: rasa nyeri pasien berkurang bahkan hilang
Kriteria hasil: -
Pasien melaporkan bahwa rasa sakitnya telah terkontrol atau hilang
-
Tampak santai, dapat beristirahat/ tidur dan ikut serta dalam aktivitas sesuai
kemampuan Intervensi
Rasional
1. Kaji tingkat nyeri yang dirasakan oleh
1. Dapat mengindikasikan rasa sakit
pasien, lokasi dan intensitas ( skala 1-10).
akut dan ketidaknyamanan.
2. Kaji
2. Untuk memahami ketidaknyamanan.
tanda-tanda
vital,
perhatikan
tachikardi, hipertensi, dan peningkatan
3. Melepaskan tegangan emosional dan
pernapasan.
otot, tingkatkan perasaan control yang
3. Berikan
informasi
mengenai
sifat
mungkin
dapat
meningkatkan
ketidaknyamanan, sesuai kebutuhan.
kemampuan koping.
4. Dorong penggunaan tehnik relaksasi,
4. Respirasi mungkin menurun pada
misalnya latihan napas dalam, bimbingan
pemberian
imajinasi, visualisasi.
menimbulkan efek sinergistik dengan
5. Kolaborasikan untuk pemberian obat
zat-zat anastesi.
analgesic yang sesuai.
5. Analgesik
Untuk mengetahui tingkat nyeri pasien
penghilangan nyeri yang lebih efektif.
narkotik,
dan
akan
mungkin
menimbulkan
sehingga dapat menentukan intervensi yang sesuai
2.
Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan nyeri
Tujuan
: Pasien menunjukan pola napas yang efektif
Kriteria hasil
:
-
Pasien bebas dari tanda-tanda hipoksia
-
Bunyi nafas tambahan tidak ada
-
Pasien tidak menunjukan otot bantu pernafasan INTERVENSI
1.
Observasi
frekuensi
RASIONAL
dan
1.
Dilakukan
untuk
pernapasan
memastikan
kedalaman pernapasan, pemakaian otot
efektivitas
sehingga
upaya
bantu pernapasan, perluasan rongga
memperbaikinya dapat segera dilakukan.
dada, retraksi tau pernapasan cuping
2.
hidung, warna kulit dan aliran udara.
memaksimalkan pengambilan oksigen yang
2.
akan diikat oleh Hb.
Berikan tambahan oksigen sesuai
Dilakukan untuk meningkatkan atau
kebutuhan
3.
3.
dapat terbiasa untuk napas dalam yang
Berikan instruksi untuk latihan
Dengan latihan napas yang rutin, klien
nafas dalam
efektif.
4.
4.
Catat kemajuan yang ada pada
klien tentang pernafasan
Sebagai indikator efektif atau tidakkah
intervensi yang dilakukan perawat pada klien.
3.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuan berhubungan dengan nafsu makan
menurun Tujuan : nutrisi pasien adekuat Criteria Hasil: -
Nafsu makan pasien meningkat
-
BB stabil, meningkat mendekati 48 Kg
Intervensi: Intervensi
Rasional
1. Kolaborasikan dengan ahli gizi untuk
1. Untuk
menberikan diet TKTP
nutrisis kepada pasien
2. Diskusikan
dengan
dokter
tentang
menentukan
2. Untuk meningkatkan nafsu makan
kebutuhan stimulus nafsu makan, makanan
pasien
pelengkap, atau kemungkinan pemberia
3. Meningkatkan
makanan melalui selang
untuk makan
3. Dukung membawa dengan
anggota
kesukaan
pasien
intervensi yang telah diberikan
memperhatikan
status
5. Untuk mengetahui perkembangan
4. Berikan edukasi kepada pasie tentang pentingnya asupan nutrisi yang adekuat
mengevaluasi
pasien
untuk
kesehatan pasien
4. Untuk
kesediaan
keluarga
makanan tetap
pemberian
nutrisi pasien
keefektifan
untuk membantu proses enyembuhan pasien 5. Lakukan pemeriksaan BB secara teratur Sebagai
sumber
energy
pasien
untuk
mempercepat proses penyembuhan
4.
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka bekas operasi
Tujuan : pasien menunjukan integritas kulit yang baik Criteria hasil: -
Terbebas dari adanya lesi jaringan
-
Resolusi pada daerah ekstermitas baik
intervensi : Intervensi
Rasional
1. Lakukan perawatan luka secara teratur
1. Mempercepat proses penyembuhan
2. Ajarkan
luka
perawatan
luka
insisi
pembedahan, termasuk tanda dan gejala
2. Supaya keluarga atau pasien dapat
infeksi, cara untuk mempertahankan luka
melakukan
insisi tetap kering dan mengrangi stress
mandiri
pada insisi
3. Menghindari adanya resiko infeksi
3. Buang debris dan bekas luka yang
4. untuk memberikan asupan nutrisi
merekat
yang
4. Konsultasikan pada ahli gizi tentang
proses penyembuhan luka.
makanan tinggi protein, mineral, kalori dan
5. Menghindari ketegangan pada luka
vitamin
yang dapat memperburuk keadaan
5. Posisikan pasien untuk menghindari
6. Mengetahui proses penyembuhan
ketegangan pada luka, jika diperlukan
luka pada pasien
6. Pantau secara teratur kondisi luka pasien
sesuai
perawatan
sehingga
luka
secara
mempercepat
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan dan peningkatan terhadap
5.
pajanan. Tujuan: faktor resiko infeksi akan hilang Kriteria hasil: -
Pasien terbebas dari tanda dan gejala infeksi
-
Pasien menunjukan higiene pribadi adekuat
-
Melaporkan tanda dan gejala infeksi Intervensi
Rasional
1. Control infeksi, sterilisasi dan rosedur
1. Tetapkan
atau kebijakan aseptik.
dirancang untuk mencegah infeksi.
2.
Uji
bahwa
pembersihan
kulit
post
2. Pembersihan
mekanisme
akan
yang
mengurangi
operasi telah dilakukan.
jumlah bakteri pada kulit.
3. Sediakan pembalut yang steril.
3. Mencegah kontaminasi lingkungan
4. Kolaborasikan untuk melakukan irigasi
pada luka baru
luka yang banyak, misalnya air, antibiotic
4. Dapat digunakan pada intraoperasi
atau analgesic.
untuk mengurangi jumlah bakteri pada
5. Kolaborasikan antibiotik
untuk
pemberian
lokasi luka debris 5. Dapat diberikan secara profiaksis bila
dicurigai
kontaminasi
terjadi
infeksi
atau
DAFTAR PUSTAKA
Afzal S, Bashir M. 2008. Determinants of Wound Dehiscence in Abdominal Surgery in Public Sector Hospital . Department of Community Medicine, King Edward Medical University Lahore . Annals 14:3 Amirlak, Bardia. 2008. Skin Anatomy. diakses Desember 2011 dari: http:// emedicine. medscape. com/ article/ 1294744-overviewAnita, Cecilia. 2009. Asuhan Keperawatan Laparotomy. FK UNAND: Padang Barnard, B. 2003. Prevention of surgical site infection. Infection Control Today Magazine, Virgo Publishing ; 1-6. http://www.infectioncontroltoday.com Baxter, H. 2003. Management of surgical wound . Nur Time 99(13) ;1-9 Brannon, Heather. 2007. Skin Anatomy. Diakses Desember 2011 dari: http:// dermatoloy. about.com/cs/skinanatomy/a/anatomy.html Braz FSV, Loss AB, Japiassi AM. 2007. Wound healing and sacrring sutures. The Federal University of Rio de Janeiro. 1-5. Diakses Desember 2011 dari : http://www.medstudents.com.br/cirur/cirur.htm Hidayat, Nucki. 2007. Pencegahan Infeksi Luka Operasi. FK-UNPAD: Bandung. Diakses Desember 2011 dari :http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/04/pencegahan_infeksi_luka_operasi.pdf Ismail. 2008. Luka dan Perawatannya. Diakses http://umy.ac.id/topik/files/2011/12/Merawat-luka.pdf Kate,
Desember
Vikram. 2011. Exploratory Laparotomy. Diakses http://emedicine.medscape.com/article/1829835-overview
2011
Desember
dari
2011
:
dari:
Makela J, Kiviniemi H, Juvonen T, et al . 2005. Factors influencing wound dehiscence after midline laparotomy. American journal of surgery. 170 (4): 387-390 Sinaga, Yusuf. 2009. Wound Healing . Diakses Desember http://ocw.usu.ac.id/course/download/128-KEBUTUHAN-DASARMANUSIA/kdm_slide_kebutuhan_dasar_manusia_konsep_luka.pdf
2011
dari
:
Singh, Abhijit. 2009. Case Report: Spontaneous scar dehiscence of a repaired bladder rupture in a 5 yr old girl – a case study. Resident Medical Officer, Max Heart and Vascular Institute, Saket, New Delhi, India. Cases Journal 1:363
Sjamsudidajat R, De Jong W. 2005. Luka Operasi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta Spiloitis J, Tsiveriotis K, Datsis A, et al . 2009. Wound dehiscence: is still a problem in the 21th century: a retrospective study. World Journal of Emergency Surgery 4:12 Sukumar N, Shaharin S, Razman J, et al.Bogota Bag in the Treatment of Abdominal Wound Dehiscence. Medical Journal Malaysia. 59:2 Tawi, Mizral. 2008. Proses Penyembuhan Luka. Diakses Desember http://syehaceh.wordpress.com/2008/05/13/proses-penyembuhan-luka/
2011
dari
:
Wain, Yohana. 2009. Asuhan Keperawatan Laparotomi atas indikasi Kista Ovari. Akademi Keperawatan UPN: Jakarta Webster C, Neumayer L, Smout R, et al . 2003. Prognostic models of abdominal wound dehiscence after laparotomy. Journal of Surgical Research. 109 (2): 130-137 Yadi, Muhammad. 2005. Tesis : Wound Dehiscence Pasca Bedah Sesar . FK UNDIP : Semarang