KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI PROGRAM STUDI GEOFISIKA DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
TUGAS MATA KULIAH KEWARGANEGARAAN WILAYAH LAUT INDONESIA
DISUSUN OLEH : Eka Fitriani 15/379608/PA/16666 DOSEN PENGAMPU : Prof. Dr. Armaidy Armawi, M.Si.
YOGYAKARTA APRIL 2018
Wilayah Laut Indonesia Berdasarkan TZMKO
Indonesia adalah negara kepulauan yang besar dan penting. Sebagai negara kepulauan, maka jelas Negara Indonesia memiliki wilayah daratan dan lautan (perairan). Wilayah perairan Indonesia berada diantara dan sekitar pulau-pulaunya, dengan luas kurang lebih 5.193.250 km2 terletak pada posisi silang antara dua benua, Asia dan Australia, dan antara dua samudra Hindia dan Pasifik. Sebelum tahun 1957 dalam menentukan luas perairan Indonesia berpatokan pada Territoriale Zee en Marietieme Kringen Ordonantie (Staatblad tahun 1939 No.442). Peraturan ini masih dipakai Indonesia sampai saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pada awalnya berdasarkan keputusan Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie (TZMKO), TZMKO adalah ordonansi (undang-undang) tentang Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim Indonesia yang menetapkan, antara lain, bahwa laut teritorial Indonesia adalah jalur laut yang membentang ke arah laut sampai jarak tiga mil-laut dari garis air rendah (laag waterlijn) pulau-pulau atau b agian pulau yang merupakan wilayah daratan (grondgebeid) Indonesia. Artinya, perairan diantara pulau pulau yang jaraknya lebih dari 3 mil adalah laut Internasional. Wilayah teritorial Indonesia didasarkan TZMKO sangat kecil, dan banyak kapal-kapal asing berlalu-lalang diantara pulau pulau Indonesia. Dalam ketentuan Territoriale Zee en Marietieme Kringen Ordonantie (TZMKO) tahun 1939 itu memuat 4 kelompok mengenai perairan Indonesia. a. Pertama, apa yang disebut dengan “de Nederlandsch Indische territoriale zee” (Laut Teritorial Indonesia). b. Kedua, apa yang disebut dengan “Het Nederlandsch-indische Zeege bied”, yaitu Perairan Teritorial Hindia Belanda, termasuk bagian laut territorial yang terletak pada bagian sisi darat laut pantai, daerah liar dari telu-teluk, ceruk-ceruk laut, muara-muara sungai dan terusan. c. Ketiga, apa yang dinamakan “de Nederlandsch-Indische Binnen Landsche wateren” yaitu semua perairan yang terletak pada sisi darat laut territorial Indonesia termasuk sungai-sungai, terusan-terusan dan danau-danau, dan rawa-rawa Indoneasia. d. Keempat, apa yang dinamakan dengan “de Nederlandsch-Indische Wateren “, yaitu laut territorial termasuk perairan pedalaman Indonesia. Pembagian wilayah perairan Indonesia yang didasarkan pada TZMKO itu berlansung sampai tahun 1957 dan kemudian mengalami perubahan yang mendasar dengan adanya Pengumaman Pemerintah tanggal 13 Desember 1957 yang popular dengan “Deklarasi Djuanda”. Dengan Deklarasi Djuanda itu berintikan apa yang disebut dengan Konsepsi Nusantara, dan kemudian melahirkan UU No.4 prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Sejak itu, maka pengaturan mengenai perairan Indonesia tidak lagi berpedoman pada ketentuan hukum TZMKO yang merupakan produk hukum peninggalan Belanda. Pengaturan perairan Indonesia setidaknya sudah dikembangkan dengan berdasarkan pada konsepsi kepentingan nasional Indonesia. Terhadap hal ini, Frans E.Likadja dan Daniel F Bessie mengemukakan, bahwa semua rumusan tersebut (rumusan perairan dalam TZMKO-pen), terlebih bagian rumusan yang pertama (de Nederlandsch Indische territoriale zee-pen) sama sekali tidak sesuai dengan hakikat perjuangan bangsa dan cita-cita Proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari perkembangan sejarah hukum Perairan Indonesia menunjukkan bahwa system wilayah perairan Indonesia telah mengalami perkembangan dan perubahan yang sangat mendasar yang mempengaruhi perkembangan hukum laut internasional itu sendiri yang pada gilirannya membawa perubahan terhadap system hukum laut internasional diakhir abad 20. Djuanda
Perubahan yang dimaksud adalah berkaitan dengan dikeluarkannya Pengumuman Pemerintah pada tanggal 13 Desember 1957 mengenai Konsepsi Nusantara, dan lebih dikenal sebagai “Deklarasi Djuanda”, yang kemudian dituangkan ke dalam Undang-Undang No.4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Sejak “Deklarasi Djuanda” atau Pengumuman Pemerintah mengenai Konsepsi Nusantara itu, maka ; a) Lebar lebar laut territorial Indonesia berubah menjadi 12 mil laut yang sebelumnya 3 mil laut; b) Penetapan lebar laut territorial diukur dari garis pangkal lurus yang menghubungkan titiktitik terluar dari ujung-ujung pulau Indonesia terluar, dan sebelumnya diukur dari garis pangkal yang menggunakan garis air rendah (pasang surut) yang mengikuti liku-liku pantai masing-masing pulau Indonesia; c) Semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus tersebut berubah statusnya dari yang tadinya berupa laut territorial atau laut lepas menjadi perairan pedalaman, dimana kedaulatan negara atas perairan tersebut praktis sama dengan kedaultan negara atas daratannya. Sementara sebelum Dekrarasi Djuanda perairan yang terletak pad a sisi dalam dari garis pangkal disebut perairan pendalaman. Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang No.4 Tahun 1960 Tentang Perairan Indonesia Sebagian dari ketentuan-ketentuan TZMKO yang berhubungan dengan penetapan wilayah perairan dicabut dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 4 Tahun 1960 Tentang Perairan Indonesia (Perpu No.4 tahun 1960), yang merubah cara penarikan garis pangkal dan lebar laut Indonesia. Perpu No.4 tahun 1960 memberikan kekuatan hukum kepada Deklarasi Djuanda, yang merupakan pernyataan sepihak pemerintah tentang Wilayah Perairan Indonesia menjadi bagian dari peraturan perundangundangan nasional. Undang-undang ini telah dicabut dan disesuaikan dengan ketentuan hukum internasional yang baru melalui UU No.6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Laut wilayah Indonesia dan cara penerapan garis pangkalnya dijelaskan pada Pasal 1 ayat (2) Perpu No.4 tahun 1960: Wilayah laut indonesia ialah laut selebar dua belas mil laut yang garis luarnya diukur teak lurus atas garis dasar atau titik pada garis dasar yang terdiri dari garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah daripada pulau-pulau atau bagian pulaupulau yang terluar dalam wilayah Indonesia dengan ketentuan bahwa jika ada selat yang lebarnya tidak melebihi dua puluh empat mil laut dan Negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara tepi, maka garis batas laut wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat.23 Perpu No. 4 Tahun 1960 didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum internasional sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi-konvensi 22 Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957, Lihat Wirjono Prodjodikoro, Prof, Dr, SH, Hukum Laut Bagi Indonesia, Sumur, Bandung, 1991, hlm. 16 23 NHT Siahaan dan Suhendi, Hukum Laut Nasional: Himpunan
Peraturan Perundang-undangan Kemaritiman, Djambatan, Jakarta, 1989, hlm. 21 Jenewa tentang Hukum Laut tahun 1958. Konsepsi Nusantara yang dituangkan dalam UU No.4 Prp Tahun 1960, tentu saja tidak diterima negara-negara lain, pemerintah Indonesia setelah mencetuskan Nusantara itu berupaya mensosialisasikan Konsepsi Nusantara guna mendapatkan pengakuan internasional. Puncak dari upaya pemerintah itu atas Konsepsi Nusantara itu adalah dalam Konperensi PBB III tentang Hukun Laut yang berakhir tahun 1982. Dimana dalam koperensi PBB III tersebut melahirkan konvensi Hukum Laut Baru yang diberi nama United Nations Convention on Law of The Sea atau yang disebut pula dengan nama lain Konvensi Hukum Laut 1982. Berkaitan dengan Konvensi Hukum laut 1982 itu Atje Misbach Muhjiddin mengemukakan, bahwa lahirnya Konvensi Hukum Laut 1982 dimana Konsepsi Nusantara yang berasal dari Pengemuman Pemerintah RI tanggal 13 Desember 1957 itu telah diakui dan diterima sebagai bagian integral dari konvensi tersebut dan dimuat dalam Bab IV yang berjudul Negara Kepulauan (Archipelagic States). Dan perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal kepulauan (Archipelagic baseline) disebut perairan kepulauan (Archipelagic waters) yang di dalamnya masih dimungkinkan penarikan garis penutup ditempat-tempat tertentu untuk menentukan “perairan pedalaman”. Perubahan mendasar terhadap perairan Indonesia yang diawali dengan pengumanan Pemerintah mengenai Konsepsi Nusantara dan kemudian diterima sebagai bahagian integral dari Konvensi Hukum Laut 1982, maka dengan sendirinya berdampak pula bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan di Indonesia. Dengan demikian upaya untuk memahami apa yang maksud dengan wilayah perairan Indonesia menjadi sangat penting bagi dunia perikanan Indonesia. Dikatakan demikian tentu saja tidak terlepas dari beberapa pertimbangan yang mendorong pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan pernyataan mengenai wilayah Perairan Indonesia. 1) Bahwa bentuk geografi Republik Indonesia, sebagai suatu negara Kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau, mempunyai sifat dan corak terendiri yang memerlukan pengaturan tersendiri. 2) Bahwa bagi kesatuan wilayah (territorial) Negara Republik Indonesia semua kepulauan serta laut yang terletak diantaranya harus dianggab sebagai suatu kesatuan yang bulat. 3) Bahwa penetapan batas-batas laut territorial yang diwarisi dari pemerintah kolonial, sebagai termaktub dalam Territoriale Zee en Marietieme Kringen Ordonantie 1939 Pasal 1 ayat (1) tidak sesuai lagi dengan kepentingan, keselamatan, dam keamanan negara Republik Indonesia; 4) Bahwa setiap negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan yang dipandang perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan negaranya. Dasar pentimbangan mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan terkaitannya dengan masalah pengelolaan dan pemanfaatan potensi perairan atau sumber daya ikan Indonesia. Tetapi dibalik pertimbangan-pertimbangan yang mendorong pemerintah mengenai wilayah perairan
Indonesia itu, ia sekaligus menentukan bagi penetapan wilayah perikanan Indonesia. Dalam hubungan ini perubahan lebar laut teriorial yang secara internasional sesuai dengan Konvensi Hukum Laut 1982, maka maka ada pegangan bagi negara berpantai (termasuk Indonesia) untuk secara aman dapat memanfaatkan potensi perikanan atau sumber daya ikan sesuai dengan kemampuan dan teknologi yang dimilikinya. Karenanya, keperluan akan terciptanya pemahaman yang tepat terhdap perairan Indonesia itu pada gilirannya sangat erat kaitannya dengan soal regulasi di bidang perikanan yang bukan hanya menjadi kebutuhan pemerintah sebagai pengambil kebijakan, tetapi juga sangat penting artinya bagi segenap pelaku dunia perikanan, termasuk bagi masyarakat diluar masyarakat perikanan yang sesungguhnya juga berkepentingan. Atas dasar itu pula, apakah yang dimaksud dengan Perairan Indonesia ? Pengertian yang umum terhadap perairan itu sendiri biasanya dipahami dalam artian laut yang termasuk kawasan suatu negara. Pengertian perairan yang demikian tidak memuaskan kita ketika mecoba untuk memahami apa yang dimaksud dengan perairan Indonesia. Berdasarkan pengertian tadi, maka perairan Indonesia hanya berati laut yang termasuk kawasan negara Indonesia. Ketidak-puasan dengan pengertian perairan yang umum itu sangat dirasakan apabila kita membicangkan masalah pengelolaan dan pemanfaatan potensi perikanan atau sumber daya ikan. Untuk itu ini perlulah dikemukakan apa yang dimaksud dengan perairan Indonesia sebagaimana yang diberikan hukum sebagai berikut; a. Pasal 1 ayat (1) UU No.4 tahun 1960 Tentang Perairan Indonesia merumuskankan; Perairan Indonesia ialah laut wilayah Indonesia berserta perairan pedalaman Indonesia. b. Pasal 1 angka 4 UU No Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia menyebutkan: Perairan Indonesia adalah laut territorial Indonesia berserta perairan kepulauan d an perairan pedalamannya. Pengertian Perairan Indoensia ini sejalan dengan Konvensi Hukum Laut 1982. Mencermati dua rumusan mengenai apa yang dimaksud dengan Perairan Indonesia baik dalam UU No.4 Prp tahun 1960 maupun dalam UU No. 6 Tahun 1996, maka yang termasuk perairan Indonsia yaitu; 1) Laut territorial Indonensia; 2) Perairan Kepulauan dan; 3) perairan pedalaman. Jika demikian halnya, maka adalah penting bagi kita memahami lebih jauh mengenai wilayah perairan Indonesia itu. Undang-undang No.17 Tahun 1985 Tentang Ratifikasi UNCLOS 1982 Konsep Negara kepulauan telah diterima oleh Konvensi Hukum Laut UNCLOS 1982 sebagai suatu ketentuan hukum yang mengakomodir bentuk-bentuk khusus dari Negara yang terdiri dari gugusan pulau pulau. Dengan demikian, UNCLOS 1982 dengan tegas mengakui Indonesia sebagai Negara kepulauan (archipelagic state), dan menerima rezim landas kontinen, maka pada tahun 1985 lahirlah undang-undang no.17 tahun 1985 yang berisikan ratifikasi atas UNCLOS 1982. Undangundang No. 17 Tahun 1985 merupakan implementasi hukum internasional ke dalam hu-kum nasional suatu negara. Dengan diundangkannya UU No.17 tahun 1985 tentang pengesahan
UNCLOS 1982, maka Indonesia telah terikat oleh kewajiban untuk melaksanakan dan menaati ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalamnya. Undang-undang No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia Pada 1996 ditetapkan Undang-undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan UU No.4/Prp/1960 sebagai implementasi Konvensi Hukum Laut 1982. Menurut UU No.6 Tahun 1996 Pasal 2, Negara Republik Indonesia adalah Negara kepulauan yang berarti segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulaupulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia. Sedangkan wilayah perairan Indonesia meliputi Laut Teritorial, Perairan Kepulauan dan Perairan Pedalaman dimana Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.24 Garis Pangkal Kepulauan Indonesia ditarik dengan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan, dan apabila tidak dapat digunakan maka digunakan garis pangkal biasa atau garis pangkal lurus.25 Jadi dengan kata lain Indonesia menerapkan garis pangkal biasa dan garis pangkal lurus dalam menentukan luas wilayah lautnya. Ketentuanketentuan mengenai garis pangkal lurus menurut undang-undang ini mengadopsi ketentuan dari Pasal 47 UNCLOS 1982. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titiktitik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia Pengaturan Garis Pangkal Kepulauan Indonesia yang telah disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan UNCLOS 1982 dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Pemerintah menurut Pasal 2 PP No.38 tahun 2002, dapat menarik garis pangkal kepulauan untuk menetapkan lebar laut territorial. Penarikan garis pangkal kepulauan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan, garis pangkal lurus dan garis pangkal biasa. Penarikan garis pangkal kepulauan terdapat pada Bab II. Garis pangkal lurus kepulauan dijelaskan bahwa: a. Di antara pulau-pulau terluar, dan karang kering terluar kepulauan Indonesia, garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial adalah Garis Pangkal Lurus Kepulauan. b. Garis Pangkal Lurus Kepulauan adalah garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada Garis Air Rendah pada titik terluar pulau terluar, dan karang kering terluar yang satu dengan titik terluar pada Garis Air Rendah pada titik terluar pulau terluar, karang kering terluar yang lainnya yang berdampingan. c. Panjang Garis Pangkal Lurus Kepulauan tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, 24 Pasal 3 UU No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia 25 Ibid, Pasal 5 kecuali bahwa 3 % (tiga perseratus) dari jumlah keseluruhan Garis Pangkal Lurus Kepulauan dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga maksimum 125 (seratus dua puluh lima) mil laut.26 Garis lurus yang ditarik antara dua titik pada garis air rendah tersebut merupakan garis yang ditarik secara lurus antara dua titik berdampingan yang lazim dilakukan dalam batas-batas pengertian navigasi dan pemetaan untuk kepentingan navigasi. Penarikan garis pangkal lurus kepulauan dilakukan dengan memperhatikan tatanan letak kepulauan atau kelompok-kelompok pulau yang letaknya berberaturan dan bersambung secara beraturan. Oleh karena itu, penarikan garis pangal lurus kepulauan tidak dapat dilakukan
menyimpang dari arah konfigurasi umum kepulauan. Pengertian konfigurasi umum kepulauan merupakan pengertian yang tujuannya identik dengan pengertian arah umum pantai, yaitu untuk mencegah perluasan laut treitorial suatu Negara dengan cara yang tidak sewajarnya. Titik terluar pada garis air rendah yang berbatasan dengan Negara tetangga yang berhadapan atau berdampingan yang merupakan titik terluar pulau terluar yang digunakan untuk penarikan garis pangkal ditetapkan berdasarkan persetujuan kedua Negara yang dituangkan dalam perjanjian internasional. Seluruh ketentuan tersebut harus memenuhi ketentuan Hukum Laut Internasional. Garis pangkal yang digunakan untuk mengukur pulau-pulau terluar yang terletak pada atol atau pada karang-karangdi sekitarnya digunakan metode penarikan garis pangkal biasa. Metode penarikan garis pangkal biasa menjelaskan bahwa garis pangkal untuk mengukur lebar laut territorial adalah garis pangkal biasa berupa garis air rendah pada sisi atoll atau karang-karang tersebut yang terjauh ke arah laut.27 Apabila ada pulau yang mempunyai pantai yang tajam lekukannya, atau terdapat delta dan kondisi alamiah lainnya, maka garis pangkal yang digunakan adalah garis pangkal lurus. Garis pangkal lurus adalah garis lurus yang ditarik antara titik-titik terluar pada garis air rendah yang menjorok paling jauh kea rah laut pada delta atau kondisi alamiah lainnya. Peraturan Presiden No.78 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar NKRI Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden No.78 Tahun 2005 Tentang Pengolahan Pulau-pulau Kecil Terluar NKRI. Dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2005 ini artinya telah ada kesadaran pemerintah Indonesia terhadap pentingnya pulau-pulau terluar di wilayah NKRI. Pengelolaan pulau-pulau terluar dapat menjadi alat yang efektif bagi Indonesia untuk menjaga keutuhan kedaulatan wilayah. Keberadaan Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar menjadi alat utama dalam upaya pembangunan sebagaimana tersebut di atas. Perpres yang ditandatangai pada tanggal 29 Desember 2005, mempunyai misi utama sebagaimana tujuan keberadaan Perpres tersebut. Misinya adalah: a. Menjaga keutuhan wilayah NKRI, keamanan nasional, pertahanan Negara dan bangsa serta menciptakan stabilitas kawasan b. Memanfaatkan sumber daya alam dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan. c. Memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraannya.29 Pulau-pulau terluar Indonesia ini mempu nyai nilai-nilai strategis sebagai titik dasar dari garis pangkal kepulauan dalam penetapan wilayah perairan Indonesia, ZEE, dan Landas Kontinen Indonesia mengingat Indonesia memiliki banyak sekali pulau-pulau terluar yang berbatsan langsung dengan negara-negara lain. Pengaturan Garis Pangkal Kepulauan Menurut Pp No.37 Tahun 2008 Tentang Pe28 Ibid, Pasal 5 Perpres No.78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar telah ditandatangani, diakses tanggal 19 Januari 2009. rubahan Atas Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 adalah merupakan suatu respon Indonesia terhadap sengketa Pulau SipadanLigitan antara Indonesia dan Malaysia, dimana di dalam peraturan pemerintah tersebut memuat titik-titik dasar koordinat batas-batas kepulauan Indonesia secara lengkap dan memasukkan Pulau Sipadan-Ligitan ke dalam daftar pulau-pulau terluar NKRI. Setelah ada keputusan dari Mahkamah Internasional (International Court of J ustice) yang memenangkan Malaysia sebagai pemilik dari Pulau SipadanLigitan berdasarkan Prinsip
Effectivities Occupation30, maka dengan demikian PP No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia juga harus diperbaharui karena Pulau SipadanLigitan tidak lagi menjadi bagian wilayah NKRI. Keputusan Mahkamah Internasional mengenai kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan bahwa Provinsi Timor Timur telah menjadi negara tersendiri, hal ini mempunyai implikasi h ukum terhadap koordinat geografis titiktitik garis pangkal kepulauan pada lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titiktitik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Beberapa perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 yang menyangkut cara penarikan garis pangkal adalah: 1) Pemerintah melakukan pembaharuan secara rutin untuk memperbaiki dan melengkapi kekurangan dalam penetapan Koordinat Geografis Titiktitik Terluar untuk menarik Garis Pangkal Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8. Pembaharuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang menyelenggarakan tugas di bidang survei dan pemetaan, di bawah koordinasi kementerian yang membidangi politik, hukum dan keamanan. 2) Apabila di kemudian hari ternyata terdapat pulau pulau terluar, atol, karang kering terluar, elevasi surut terluar, teluk, muara sungai, terusan atau kuala dan pelabuhan, yang dapat digunakan untuk penetapan titik-titik terluar dari Garis Pangkal Kepulauan belum termasuk dalam lampiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), maka diadakan perubahan dalam lampiran tersebut sesuai den gan data baru. 3) Apabila di kemudian hari Koordinat Geografis Titik-titik Terluar, pulau-pulau Terluar, atol, karang kering terluar, elevasi surut terluar, teluk, muara sungai, terusan atau kuala dan pelabuhan berubah, maka diadakan penyesuaian dalam lampiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).