DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAA PENATALAKSANAAN N URTIKARIA SPONTANEUS KRONIS
Dinie Ramdhani kusuma, Faridha Ilyas, Sitti NurRahma, Irma Helina, Wiwiek Dewiyanti Bagian/SMF Dermatologi dan Veneorologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar
Pendahuluan
Urtikaria didefinisikan sebagai lesi kulit yang yang terdiri atas reaksi urtika dan kemerahan kemerahan dimana edema intrakutan yang terlokalisir (urtika) dikelilingi oleh area kemerahan (eritema) yang biasanya gatal. Bintik-bintik merah individual dapat bertahan paling cepat 30 menit sampai 36 jam. Ukurannya dapat sekecil millimeter atau memcapi diameter 6-8 inci (urtikaria raksasa). Lesi memucat pada penekanan karena dilatasi pembuluh darah yang ditekan , yang juga menyebabkan pucat bagian tengah urtika. Pembuluh darah berdilatasi dan peningkatan permeabilitas menjadi karakteristik urtika, terdapat pada dermis superfisial dan melibatkan pleksus venular pada lokasi tersebut. tersebut.1-3 Urtikaria dianggap “kronis” apabila gejala-gejalanya gejala-gejalanya berlangsung selama lebih dari 6 pekan. Akan tetapi, pemakaian istilah telah berubah selama satu dekade terakhir dan menjadi lebih spesifik. Sebelumnya, urtikaria fisik dimasukkan dalam kategori “kronis” walaupun sebenarnya hanya sesekali dan bergantung pada interaksi dengan beber apa stimulus eksternal. Istilah urtikaria “idiopatik” kronis juga sudah digunakan selama beberapa dekade, akan tetapi kita tahu lebih banyak tentang etiologi dan patogenesis urtikaria kronis, walaupun sejumlah eksperimen yang “membuktikan” mekanisme k husus husus belum pernah berhasil. Selain itu, ada banyak subpopulasi pasien yang sumber penyakitnya belum diketahui, diket ahui, yakni idiopatik. BaruBaru baru ini, istilah urtikaria spontan kronis telah digunakan untuk mengindikasikan urtikaria kronis yang sifatnya endogen, dan tidak bergantung pada stimulus fisik eksternal, yang secara konseptual dapat membantu, dan tidak menandakan diketahuinya atau tidak diketahuinya penyebab. penyebab.4, 5 Pengelolaan urtikaria yang yang baik yaitu terbagi menjadi dua dua garis dasar pendekatan yang keduanya harus dipertimbangkan pada masing-masing pasien, yang pertama yaitu identifikasi dan menyingkirkan penyebab dan pemicu yang yang mendasari, dan yang kedua yaitu pengobatan yang bertujuan untuk untuk meredakan gejala yang ada. ada.3, 6, 7
Epidemiologi
Urtikaria spontan kronis merupakan kondisi umum yang memiliki prevalensi seumur hidup sekitar 1,8% dari populasi umum, dengan prevalensi puncak pada orang dewasa sekitar 0,6-0,8% dan mengenai perempuan lebih sering dibanding laki-la ki.
8, 9
Prevalensi urtikaria pada anak-anak telah dilaporkan antara 2% sampai 7% dan prevalensi urtikaria kronis antara 0,1% sampai 3%. Kebanyakan bayi dan anak kecil (8090%) dengan urtikaria mengalami urtikaria akut sementara kurang dari 10% mengalami urtikaria kronis. Urtikaria akut rekuren dilaporkan pada antara 10% dan 30% anak kecil. Urtikaria kronis lebih umum di kalangan remaja dan anak-anak yang sudah besar. Urtikaria spontan kronis sejauh ini merupakan sub-kelompok urtikaria kronis paling umum pada anakanak sementara urtikaria fisik (paling umum dermografisme) mewakili sub-kelompok paling umum berikutnya. 10-14 Urtikaria spontan kronis disertai dengan angioedema pada sekitar 40% kasus. Angioedema rekuren juga bisa terjadi tanpa adanya urtikaria; secara umum ini harus dianggap sebagai penyakit terpisah. Angioedema rekuren kronis bisa diperantarai oleh histamin (dicegah dengan antihistamin profilaksis reguler) atau diperantarai bradykinin. bradykinin .15, 16 Urtikaria spontan kronis biasanya sembuh sendiri. Dalam sebuah studi berbasis populasi yang melibatkan 5003 orang dewasa, sebanyak 167 (2,9%) mengalami urtikaria spontan kronis aktif atau sebelumnya. Pada 52,3% urtikaria ini sembuh dalam 12 pekan, akan tetapi bisa berlangsung hingga lebih 1 tahun pada 20% pasien, dan lebih 5 tahun pada 11,3% pasien. Keberadaan angioedema atau antibodi anti-tiroid terkait dengan peningkatan durasi penyakit pada salah satu penelitian terhadap 139 pasien. Sebanyak 25 persen pasien dengan antibodi anti-tiroid masih mengalami urtikaria setelah 5 tahun, dibanding dengan 16% pasien yang tidak memiliki antibodi anti-tiroid.
9, 17
Pada anak-anak, uritkaria spontan kronis juga berlangsung selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Sahiner melaporkan persentase penyembuhan urtikaria-spontankronis pada anak-anak sebesar 18,5%, 38,8%, dan 50% masing-masing pada 12, 36 dan 60 bulan masa follow-up. Jenis kelamin perempuan dan usia di atas 10 tahun memiliki prognosis lebih buruk. Chansakulporn melaporkan persentase penyembuhan yang sedikit lebih optimistis yaitu 18,5%, 54%, dan 67% pada titik-titik waktu yang sama. Tidak ada perbedaan signifikan persentase penyembuhan ketika membandingkan anak-anak yang mengalami urtkaria-spontan-kronis autoimun dengan yang tidak mengalami urtikaria -spontan-kronis. 18
Patogenesis
Urtikaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh reaksi alergi tipe 1 di mana hal yang paling berperan dalam reaksi ini adalah sel mast. Sel mast dan basophil berikatan erat dengan reaksi hipersensitivitas tipe I. Reaksi Hipersensitivitas tipe I dimulai dengan ikatan antara antigen oleh minimal 2 molekul Ig E pada permukaan sel mast. Ig E melekat pada reseptor spesifik berafinitas tinggi yang disebut FceRI. Ada 2 macam molekul FceR, yang berafinitas tinggi terhadap IgE yaitu FceRI, dan FceRII yang afinitasnya lebih rendah. Sel mast dan basophil mempunyai reseptor berafinitas tinggi FceRI. Sel mast diaktifkan apabila terjadi cross linking atau bridging dari molekul FceRI oleh ikatan antigen dengan IgE yang menempati molekul tersebut. Pengaktifan sel mast menghasilkan reaksi biologik sebagai berikut : (i) terjadi sekresi sel mast, zat-zat yang telah terbentuk dan disimpan dalm granula akan dilepaskan keluar secara eksositosis/degranulasi. (ii) sel mast mensintesa lipid mediator secara enzimatik dari prekursor yang tersimpan didalam membran sel. (iii) sel mast membentuk dan mensekresi sitokin. Pada proses degranulasi sel mast terjadi pelepasan mediator kimia yang berikatan dengan manifestasi klinis alergi. Interaksi IgE dengan alergen pada permukaan sel mast menagkibatkan aktivasi enzim proesterase menjadi enzim esterase aktif. Enzi mini mengakibatkan agregasi mikrotubuli dalam sitoplasma sel mast mendekati membrane sel mast. Mikrotubuli ini berfungsi sebagai saluran temapat keluarnya mediator yang akan dilepaskan oleh sel mast.1, 19-21 Faktor yang mampun merangsang sel mast adalah faktor
imunologik dan
nonimunologik . Pada faktor nonimunologik, teradapat penelitian mengatakan peran
cAMP(siklik adenosine monofosfat) sangat penting dalam pelepasan mediator. Antara bahan kimia yang mempengaruhi cAMP adalah bahan kimia golongan amin, derivat amidin, obatobatan misalnya opiat, polimiksin dan beberapa antibiotik. Terdapat juga penelitian mengatakan bahan kolinergik mampu merangsang sel mast. Misalnya asetilkolin. Selain bahan kimia, faktor fisik juga dapat berperan dalam merangsang sel mast. Antaranya adalah panas, dingin, trauma tumpul, sinar x, dan pemijatan. Kondisi tubuh juga mampu merangsang sel mast. Kondisi yang mampu merangsang sel mast adalah demam, stres dan emosi.1, 19-21 Mediator yang dihasilkan mastosit dan basophil menimbulkan gejala alergi, sehingga kedua sel ini disebut juga sel mediator. Sel mast penuh terisi oleh bahan vasoaktif yang mempunyai kapasitas untuk mempengaruhi mikro-sirkulasi dan menyebabkan perubahan permeabilitas kapiler. Selain itu mediator ini dapat mempengaruhi mobilitas sel keluar masuk jaringan (kemotaksis), mempengaruhi system saraf dengan menimbulkan potensiasi serat saraf lokal, dan dapat
pula merangsang kontraksi otot polos saluran nafas. Jadi apabila
produk sel mast ini dilepaskan secara massal, akan terjadi reaksi immediate type hypersensitivity yang hebat yang hebat yang dapat menimbulkan kematian dalam beberapa saat. Reaksi seperti ini dikenal dengan reaksi anafilaksis. Mekanisme kerja sebenarnya didalam tubuh dikaitkan dengan fungsi biologik sel mast sukar untuk didefenisikan , karena banyak mediator yang diproduksi oleh sel lain dan terjadi banyak interaksi dengan sel-sel yang lain.22
Gambar 1 : pathogenesis urtikaria kronis
Urtikaria spontan kronis pada dasarnya disebabkan oleh aktivasi sel-sel mast kutaneous, dan kemungkinan juga oleh basophil terekstravasasi. Injeksi serum autolog intradermal ditemukan dapat menyebabkan reaksi wheal dan flare pada beberapa pasien yang mengalami urtikaria spontan kronis, sehingga menandakan adanya faktor histamine releasing factor ( HRF ). Penelitian-penelitain selanjutnya menunjukkan adanya antibodi-antibodi bersirkulasi yang diarahkan terhadap rantai alfa dari resepto r IgE afinitas-tinggi (FceR1) pada 30-50% pasien yang mengalami urtikaria spontan kronis, dengan lebih sedikit pasien yang memiliki antibodi terhadap reseptor IgE afinitas-rendah dan beberapa terhadap molekul IgE itu sendiri. 23-25 Pada satu penelitian oleh Christian pada tahun 2015 Terdapat hubungan kuat antara urtikaria-spontan-kronis dengan gangguan-gangguan autoimun lain, khususnya penyakit autoimun tiroid. Autoantibodi tiroid (anti-tiroperoksidase) merupakan abnormalitas paling
umum yang terkait dengan urtikaria-spontan-kronis, yang terdapat pada 20% pasien, dibanding dengan 1,8% kontrol, walaupun insidens hipertiroidisme atau hipotiroidisme klinis hanya terdapat pada 5% pasien, dan 1,4% kontrol yang diuji.
3
Diagnosis
Urtikaria spontan kronis merupakan kondisi kelainan yang ditandai dengan munculnya biduran (wheal) atau angiodema. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat banyak penyakit kulit dengan manifestasi klinis tersebut (wheal/angiodema) tapi tidak termasuk dalam urtikaria kronis, seperti alergi anafilkasis. Terdapat tiga tanda khas pada kulit untuk mencirikan wheal yaitu pembengkakan dan eritma, rasa gatal atau terbakar pada kulit dan sifat wheal yang tidak menetap (kembali dalam 1 - 24 jam).2 Europan Academy of Allergy and Clinical Immunology (EAACI), Global Allergy and Asthma Europan Network (GA 2LEN), Europan Dermatology Forum (EDF) dan World Allergy Organization (WAO) yang merupakan pedoman internasional untuk urtikaria, mengklasifikasikan urtikaria berdasarkan durasi dan penyebab. Urtikaria spontan akut didefinisikan sebagai kelainan kulit yang ditandai dengan munculnya bintul ( wheal) secara tiba - tiba dengan atau tanpa angiodema dalam waktu kurang dari 6 minggu, sedangkan urtikaria spontan kronik digambarkan sebagai kelainan kulit yang disertai rasa gatal dengan atau tanpa angiodema dengan durasi lebih dari 6 minggu. Pembagian urtikaria kronis diklasifikasikan berdasarkan kejadian urtikaria yang dapat diatasi atau tidak menjadi urtikaria spontan kronis atau urikaria yang terinduksi. Penyebab uritkaria spontan kronis bisa j adi tidak dikatehui asalnya (autoantibodi) atau bahkan penyebab lainnya. Urtikaria yang terinduksi terdiri dari cold urticaria, urtikaria tekanan, solar urticaria, heat urticaria, vibartory urtiaria, urtikaria kolinergik, urtikaria kontak dan urtikaria aquagenic. Pada kasus - kasus urtikaria, bisa saja ditemukan lebih dari satu tipe urtikaria pada pasien yang kebanyakan kondisi tersebut diperantarai oleh histamin.2 Bintul atau wheal dan angiodema tidak selamanya merupakan pertanda dari urtikaria. Terjadinya reaksi alergi tipe I harus tetap diwaspadai pada pasien dengan melihat riwayat munculnya biduran (wheal) atau angiodema secara konsisten setelah pasien terpapar alergen tertentu dengan cara menelan atau menghirup. Skin-Prick Test dan radioallergosorbent harus dilakukan untuk menyingkirkan reaksi alergi tipe I sebagai penyebab munculnya bintul (wheal) dan angiodema. Bahkan, tes provokasi sebaiknya dilakukan jika memungkinkan untuk melihat alergi yang terdapat pada pasien.2, 26
Pada pasien autoinflamasi yang ditandai dengan ruam urtikaria, demam, peningkatan CRP (C-Reactive Protein), ESR (erythrocyte sedimentation rate), dan neutrofil harus diwaspadai ketika pasien tersebut datang dengan ruam urtikaria yang resisten dengan terapi .2, 27
Tujuan umum panduan dari EACCI adalah untuk menyingkirkan faktor pemicu urtikaria sejak pengobatan pertama yang meliputi alergi makanan, faktor profokasi fisik, dsb. Jika terdapat indikasi adanya faktor pemicu, tes provokasi sebaiknya dilakukan seperti tes provokasi makanan secara buta (double blinded placebo controlled food provocation) , tes alergi dengan tekanan, tes alergi panas, tes alergi dingin dan tes lainnya untuk menentukan apakah faktor pemicu dari serangkaian tes provokasi tersebut merupakan penyebab urtikaria. Jika tidak ada factor pemicu yang dapat terindentifikasi, maka hanya pemeriksaan laboratorium yang meliputi pemeriksaan hitung jenis leukosit dan CRP atau ESR yang direkomendasikan atau dianjurkan mengingat salah satu penyebab urtikaria adalah infeksi baik kronis maupun rekuren.2, 28 Tes lainnya harus dilakukan jika terdapat riwayat pasien yang memiliki tanda dan gejala urtikaria. Autoimunitas sebagai salah satu pathogenesis dari urtikaria masih menjadi topik perdebatan (Stitt dan Dreskin, 2013). Tes autologous serum kulit (ASST/ Autologus skin serum test) dan uji pelepasan histamin saat ini masih merupakan tes untuk pemeriksaan autoimunitas. Meskipun aktivitas keduanya berkorelasi satu sama lain sebagai penyebab gejala urtikaria, hasil keduanya tidak selalu sama dan tidak selalu dapat menjadi patokan untuk menegakkan diagnosis urtikaria akibat autoimun (Platzer et al., 2005). Meskipun belum ada golden standart untuk pemeriksaan urtikaria ini, tes aktifaso basophil (BAT/basophil activation test) juga dapat dignakan sebagai petanda diagnostic untuk menegakkan diagnosis dari urtikaria spontan kronik.
2
Pada pasien dengan bintul (wheal) lebih dari 24 jam harus segera diidentifikasi secara langsung sebagai urtikaria vaskulitis. Bagaimanapun juga, biopsi sebaiknya dilakukan meski bintil (wheal) pada pasien kuran dari 24 jam. Hasil penelitian pada 312 pasien menunjukkan bahwa 47 pasien yang telah dilakukan pemeriksaan biopsy, secara histologik menderita urtikaria vaskulitis dan 81% diantaranya menderita gejala ekstrakutaneus (Tosoni et al., 2009).2, 29
Terapi obat
Urtikaria spontan kronis memiliki tingkat penyembuhan spontan yang tinggi; 80% dari pasien sembuh dalam 12 bulan tanpa intervensi. Ini menyebabkan sebagian kecil pasien dengan kondisi jangka panjang. Walaupun induksi remisi atau kesembuhan merupakan tujuant erpai yang optimal, namun belum ada bukti banyak ada agen-agen yang tersedia saat ini memiliki efek terhadap riwayat alami penyakit. Ada kemungkinan bahwa, dengan menganalogikan dengan penyakit autoimun atau autoinflamatori lainnya, beberapa obat imunomodulatori bisa memiliki efek “pemodifikasi penyakit” tetapi ini masih harus dibuktikan. 9 Dengan demikian, saat ini, tujuan dari penatalaksanaan adalah mengendalikan atau menekan gejala-gejala. Ini harus ditekankan saat menangani pasien-pasien yang mengalami urtikaria-spontan-kronis. Terapi perlu dilanjutkan sampai penyembuhan terjadi. karena hal ini, penting agar obat-obatan yang digunakan dapat ditolerir dengan baik dan tidak memiliki morbiditas jangka panjang signifikan. Pengendalian gejala mencakup penekanan gatal, penekanan ruam yang terlihat., dan pencegahan epidsode-episode angioedema. Kepatuhan optimal terhadap obat-obatan akan menghasilkan pengendalian gejala secara optimal. Belum ada bukti bahwa kepatuhan terhadap obat-obatan (misalnya, antihistamin reguler dibanding dengan antihistamin sesuai kebutuhan) memiliki pengaruh terhadap riwayat alami urtikariaspontan-kronis tetapi telah terbukti menghasilkan kualitas hidup yang membaik.
30
Antihistamin
Antihistamin H1 generasi pertama (sedatif) Antihistamin sedatif generasi pertama (dipenhidramin, hidroksizin, prometazin, klofeniramin, dekklorfeniramin) telah terbukti efektif pada pasien-pasien yang mengalami urtikaria-spontan-kronis. Tidak ada bukti bahwa efikasinya lebih baik dibanding antihistamin generasi kedua meskipun memiliki tingkat sedasi lebih tinggi, efek anticholinergik lebih besar dan gangguan kognitif. Trial-trial terkontrol yang membandingkan loratadin dan hidroksizin dan cetirizin berbanding hidroksizin tidak menunjukkan perbedaan signifikan dalam hal efikasi. Sebuah trial terkontrol acak tunggla yang mengevaluasi penambahan antihistamin H1 sedatif nokturnal (hidroksizin), ke dalam dosis standar monoterapi levosetirizin, juga melaporkan tidak ada manfaat tambahan meskipun memiliki derajat sedasi yang lebih tinggi. Antihistamin generasi pertama tidak direkomendasikan sebagai terapi utama untuk pasien-pasien yang mengalami urtikaria-spontan-kronis karena efek sampingnya yang signifikan. 4, 7
Antihistamin H1 generasi kedua (non-sedatif)
Antihistamin H1 generasi kedua (cetirizin, levosetirizin, loratadin, desloratadin, fexofenadin) semuanya memiliki efikasi yang telah terbukti pada urtikaria-spontan-kronis pada banyak trial termasuk total hampir 4000 pasien. 7 Cetirizin telah diselidiki pada lima trial acak, dengan dosis harian 10 mg dan 20mg, yang mencakup total 595 peserta. Loratadin telah dievaluasi pada tiga trial terkontrol acak yang mencakup total 375 pasien. Fexofenadin telah diteliti secara ekstensif pada berbagai dosis (20-240 mg BD) dengan tujuh trial terkontrol yang dilakukan, dan mencakup total 1917 pasien. Lima trial terkontrol acak telah mengevaluasi desloratadin (5-20 mg) yang mencakup total 796 pasien dan dua trial terkontrol plasebo samar acak, yang mencakup total 272 pasien telah menunjukkan efikasi levosetirizin pada utrikaria-spontan-kronis.
7
Semua obat dalam kategori ini telah menunjukkan keamanan dan efikasi tanpa efek merugikan signifikan. Tingkat rasa kantuk dan sedasi cukup sebanding dengan pasien yang diterapi dengan plasebo dan peraikan signifikan dalam hal kualitas hidup terkait kesehatan, kinerja dan aktivitas harian juga telah dilaporkan. Efek merugikan kecil hany6a ditemukan pada sebagian kecil pasien (sakit kepala, kantuk, konstipasi, nyeri abdominal).3, 4, 7
Doxepin
Antidepresen trisiklik juga merupakan perintang kuat untuk reseptor histamin H1 dan H2. Doxepin termasuk diantara antidepresan trisiklik dengan aktivitas antihistamin paling kuat, dengan beberapa penelitian menunjukkan bahwa obat ini sektiar 56 kali lebih kuat dibanding hidroksizin sebagai penahan (blok) H1 dan enam kali lebih kuat dibanding cimetidin sebagai penahan atau ,memblok H2. Sebuah trial terhadap 16 orang dewasa yang
mengalami urtikaria-spontan-kronis dengan durasi selama lebih dari 3 bulan dan tidak mempan terhadap antihistmain, menunjukkan membaiknya gatal, urtiaria dan angioedema pada subjek yagn diterapi dengan doxepin (25 mg) dibanding dengan plasebo. Pasien yang diterapi dengan Doxpein juga memerlukan lebih sedikit penggunaan antihistamin dan memiliki respon bintul kutaneous imbas kodein dan histamin yang berkurang signifikan. Rasa ngantuk dilaporkan pada dua belas dari enam belas pasien, yang sembuh dalam 3-4 hari pada setengah diantaranya. Satu pasien menghentikan terapi karena letargi. Mulut kering dan konstipasi juga umum ditemukan.
31
Dalam praktik klinis, doxepin bisa memberikan peredaan tambahan bagi beberapa pasien yang mengalami urtikaria-spontan-kronis dan umumnya, dosis yang lebih kecil (10-50 mg), sering digunakan. Semua pasien perlu dikonsul secara tepat terkait rasa kantuk dan efek samping anticholinergik dan doxepin hanya boleh dipertimbangkan pada pasien yang bisa mentolerir obat ini. Antagonis H2
Ada bukti yang menunjukkan bahwa penambahan antagonis reseptor histamin-2 (H2RA) ke dalam resimen H1RA memberikan efikasi tambahan pada urtikaria-spontankronis. Penelitian-penelitian awal menunjukkan membaiknya kondisi gatal, ukuran bintul dan intensitas bintul meskipun tidak ada perbaikan gejala urtikaria secara keseluruhan. Penelitian lain telah menunjukkan tidak ada manfaat klinis yang signifikan. Yang lebih terbaru, sebuah trial melaporkan efikasi terapi terbesar untuk kombinasi terapi antagonis reseptor H1 dan H2 pada urtikaria-spontan-kronis, ketika dibandingkan dengan plasebo, terapi antihistamin sedatif H1/non-sedatif H1, dan kombinasi antihistamin H1/PRTA. Sebuah trial lagi-lagi menunjukkan peraikan lebih lanjut dengan terapi kombinasi antihistamin H2/antihistamin H1/montelukast pada kasus-kasus urtikaria-spontan-kronis yang tidak mempan terhadap LTRA/antihistamin H1 dan kombinasi antihistamin H1/H2.
32, 33
Bukti yang ada sekarang untuk penggunaan perintang reseptor H2 pada urtikariaspontan-kronis cukup rendah. Meskipun demikian, bukti mendukung manfaat lain pada beberapa pasien. Antagonis reseptor leukotrien (LTRA)
`Sedikit bukti terkait dengan penggunaan LTRA pada urtikaria-spontan kronis. Salah satu trial skala kecil terhadap monoterapi azfirlukast menunjukkan tidak ada manfaat. Dua trial dengan montelukast melaporkan penurunan jumlah gatal dibanding dengan plasebo, tetapi tidak ada manfaat signifikan pada outcome lain. Beberapa penelitian yang
membandingkan montelukast dengan antihistamin lebih mendukung antihistamin. Akant etapi, beberapa penelitian telah menunjukkan efikasi LTRA pada kelompok pasien tertentu.
34
Kombinasi terapi LTRA dan antihistamin tampak lebih menjanjikan dengan tiga trial acak yang menunjukkan efikasi meningkat dengan terapi kombinasi dibanding dengan H1RA saja. Trial lainnya juga menunjukkan efikasi kombiasi LRTA/H1/H2 yang meningkat pada pasien urtikaria-spontan-krotnis yang tidak mempan diterapi dengan terapi kombinasi LRTA/H1 atau H1/H2. Semua menunjukkan VAS yang membaik, skor gatal dan urtikaria pada follow-up mulai dari tiga sampai enam pekan. Data-data jangka panjang sangat kurang. Akan tetapi, dua trial lebih lanjut gagal menunjukkan efikasi tambahan terapi kombinasi. Akan tetapi, semua trial secara konsisten melaporkan profil efek samping dan toleransi yang sangat baik. 13, 34, 35
Omalizumab
Omalizumab
merupakan
antibodi
monoklonal
humanized
rekombinan
yang
direkayasa untuk terikat ke domain Ch3 dari rantai ε IgE, dekat dengan tempat pengikatan IgE untuk reseptor IgE afinitas tinggi (FceRI) dan afinitas rendah (CD23). Target pengikatan ini berarti bawha omalizumab mungkin hanya mengikat IgE yang bersirkulasi dan tidak bisa mengikat IgE yang terikat sel untuk menyebabkan pengikatan silang reseptor. Omalizumab telah terbukti mengurangi kadar IgE bebas dan reseptor IgE afinitas-tinggi (FceRI), keduanya esensial dalam aktivasi basofil dan sel-mast. Omalizumab telah disetujui sebagai terapi tambahan pada penyakit asma alergi persisten sedang-hingga-parah berperantara IgE.36 Siklosporin
Dalam sebuah trial pertama tentang siklosporin untuk urtikaria-spontan-kronis (29 subjek), dua per tiga pasien mengalami penyembuhan urtikaria lengkap jangka pendek, tetapi penyembuhan jangka panjang hanya ditemukan pada 5 subjek.
37
Dalam sebuah trial trkontrol plasebo acak samar dengan 99 pasien yang tidak mempan terapi antihistamin, siklosporin (bersama dengan cetirizin 10 mg/hari) diberikan dengan dosis 5 mg/kg/hari selama 2 pekan pertama, 4 mg/kg/hari untuk dua pekan selanjutnya, dan kemudian 3 mg/kg/hari. Para pasien diterapi selama 16 pekan, dan direview 8 pekan setelah selesaiknay penelitian. Walaupun efek-efek merugikan cukup umum (60%), namun ini hanya menyebabkan 6% pasien menghentikan terapi. Siklosporin terbukti lebih efektif dibanding plasebo dan setirizin. Terdapat 52,9% perbaikan skor keparahan urtikaria rerata pada pekan ke-16, dibanding dengan 25% pada kelompok plasebo (p<0,01). Pada
pekan ke-24, terdapat 41,7% perbaikan skor keparahan rerata untuk kelompok siklosporin, berbanding 30,2% pada kelompok plasebo.
37
Terapi siklosporin dosis rendah yang lebih lama telah terbukti aman dan efektif dalam sebuah penelitian yang melibatkan 120 pasien dengan urtikaria-spontan-kronis. Pada dosis 3 mg/kg/hari selama 3 bulan terapi, 20 pasien berhenti karena efek samping. Siklosporin tidak efektif untuk 18 pasien. Sebanyak 30 pasien mengelami penyembuhan lengkap, sementara 32 mengalami respon sedang dan memerlukan terapi antihistamin kontinyu. Sebanyak 20 pasien lainnya menemukan manfaat siklosporin, tetapi memerlukan periode terapi lebih lama. Pada kelompok pasien yang dependen siklosporin ini, dosis dikurangi menjadi 1-2 mg/kg/hari setelah 3 bulan terapi. Delapan pasien diberikan siklosporin pada dosis ini selama 8-14 bulan follow-up, dan 12 pasien diberikan siklosporin sel ama 60-120 bulan.
38
Untnuk terapi urtikaria-spontan-kronis, dosis siklosporin berkisar antara 1 sampai 5 mg/kg/hari. Pasien-pasien yang mengonsumsi siklosporin perlu dipantau tekanan darah dan fungsi ginjalnya selama terapi. Dapson
Dapsin dievaluasi dalam sebuah trial yang melibatkan 65 subjek. Sebanyak 38 subjek mendapatkan dapson 50 mg/hari bersama dengan desloratadin 10 mg/hari selama tiga bulan. Terdapat penurunan nilai UAS dan VAS pada kelompok dapson tetapi tidak berbeda dengan kelompok plasebo. Dalam kelompok dapson, sembilan pasien menunjukkan respon lengkap, 27 menunjukkan respon parsial, dan dua tidak menunjukkan respon. Tidak ada respon lengkap ditemukan pada kelompok kontrol. Lima diantara sembilan perespon lengkap masih bersih setelah enam bulan. Lima dari 38 pasien pada kelompok dapson mengalami nausea, dan ini menyebabkan dua diantara pasien tersebut tidak melanjutkan penelitian.
39
Dalam penelitian lain yang menggunakan dapson pada dosis rendah 25 mg/hari, semabilan dari sebelas pasien menunjukkan respon lengkap dalam 3 bulan terapi. Dua pasien sisanya tidak merespon terhadap dapson setelah empat pekan. Satu diantara dua pasien ini menunjukkan respon lengkap ketika dosis ditingkatkan menjadi 50 mg/hari, dan yang lainnya menunjukkan respon parsial.
39
Dianjurkan untuk memeriksa tingkat defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase sebelum memberikand apson. Dianjurkan untuk memulai pada dosis 50 mg/hari dan ditingkatkan menjadi 100 mg jika ditolerir, memantau hemoglobin setiap pekan selama 6 pekan pertama. Trial 4-pekan sudah memadai untuk mendeteksi respon. 40 Hidroksiklorokuin
Hidroklorokuin terbukti meningkatkan kualitas hidup dalam sebuah trial yang melibatkan 21 pasien yang mengalami urtikaria-spontan-kronis. Dosis tidak dise butkan. Akan tetapi, tidak ada efek signifikan yang ditemukan.
41
Hidroksiklorokuin terus banyak digunakan meskipun basis buktinya masih terbatas. Secara keseluruhan, bukti yang ada untuk hidroksiklorokuin masih terbatas, akan tetapi bukti bukti
tersebut
menunjukkan
ketertarikan
yang
signifikant
erhadap
penggunaan
hidroksiklorokuin untuk urtikaria-spontan-kronis dalam praktik klinis, dan sejalan dengan pengalaman klinis.41 Hidroksiklorokuin jangka panjang memerlukan pemantauan reguler untuk toksisitas okular dan pasien perlu diperingatkan tentang fotosensitifitas dan hiperpigmentasi imbas obat. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid untuk urtikaria-spontan-kronis belum banyak diteliti. Belum ada trial terkontrol acak dan bukti berkualtias terkait kotrikosteroid. Bukti yang ada sekarang terbatas pada sebuah penelitainr etrospektif yang mengevaluasi prednison dosis sedang (25 mg yang dikurangi dalam kurun 10 hari) pada 86 pasien yang tidak merespon terhadap antihistamin dosis standar. Semua pasien merespon dengan baik, sejak 24 jam setelah dosis 25 mg pertama. Setengah pasien mencapai respon yang terjaga satu bulan setelah terapi awal dan 50% sisanya kambuh ketika dosis dikurangi atau dihentikan. Pada hampir sepertiga pasien, pengurangan dosis sepuluh hari memicu remisi terjaga pada satu bulan. 42 Kortikosteroid sistemik memiliki peran dalam terapi penyelamatan jangka pendek, dan penggunaan jangka panjang atau jangka pendek tapi sering sebaiknya dihindari. Pasien yang menderita diabetes, hipertensi atau penyakit kardiovaskuler berisiko tinggi mengalami morbiditas terkait steroid dan penggunaan kortikosteroid sistemik sebaiknya tidak direkomendasikan. 42 Antikoagulan
Laporan kasus urtikaria-spontan-kronis dan angioedema yang merespon terhadap terapi dengan warfarin pertama kali muncul dalam literatur pada tahun 1980an dan sebuah seri kasus skala kecil telah dilaporkan apda tahun 2000 dimana 3 dari 8 pasien memiliki respon yang sangat baik terhadap antikoagulan dengan warfarin. Heparin telah dibuktikan menghambat reaksi bintul (wheal)( dan flare dari ASST dan sebuah kasus telah dilaporkan dengan respon lengkap urtikaria terhadpa heparin tetapi tidak terhadap warfarin. Baru-baru ini Asero telah mengusulkan bahwa heparin dan asam traneksamat bisa efektif pada urtikaria-
spontan-kronis dengan D-dimer meningkat, dan melaporkan peraikan pada lima dari delapan pasien dalam sebuah seri kasus tak terkontrol. 43 Thyroksin
Autoantibodi tiroid terdapat dengan proporsi lebih tinggi pada pasien urtikariaspontan-kronis dibanding pada populasi umum. Beberapa studi kasus terdahulu melaporkan 90 dari 624 (14%) pasien mengalami autoimunitas tiroid, biasanya terkait dengan penyakit yang tidak merespon antihistamin. Sebanyak 46 dari pasien ini diterapi dengan thyroksin; delapan pasien mengalami remisi urtikaria dalam empat pekan. Pada empat kasus, urtikaria kambuh ketika thyroksin dihentikan dan reda ketika dimulai kembali. Sebuah laporan 10 pasien dengan urtikaria yang tidak merespon antihistamin telah dilaporkan. Semua pasien mendapatkan terapi thyroksin (50-250 mcg). Pasien-pasien yang positif autoantibodi melaporkan penyembuhan urtikaria dalam empat pekan, sementara tidak ada efek pada mereka yang tidak mengalami autoantibodi tiroid. Sebanyak 20 pasien lainnya dilaporkan dimana 16 membaik setelah terapi dengan thyroksin. Dalam sebuah studi retrospektif terhadap total 749 pasien CIU, 44 ditemukan memiliki autoantibodi tiroid dan hipotiroidisme biokimia. Koreksi hipotiroidisme dengan tiroksin menghasilkan perbaikan urtikaria, tetapi sebuah kelompok kontrol yagn terdiri dari 44 pasien eutiroid tanpa autoantibodi tiroid menunjukkan perbaikan serupa.
44
Secara bersama-sama, literatur yang ada menunjukkan bahwa sebagian kecil individu dengan urtikaria-spontan-kronis yang eutiroid masih memiliki autoantibodi tiroid bisa merespon terhadap terapi thyroksin, dan sebuah trial thyroksin bisa dipertimbangkan pada dosis 100-200 mcg per hari selama 4 pekan. Sulfasalazin
Sulfasalazin pertama kali dilaporkan efektif dalam laporan tiga kasus urtikariaspontan-kronis dependen-kortikosteroid pada tahun 1991. Sejak itu, tiga seri kasus yang mencakup 70 pasien telah dilaporkan. Resmisi lengkap atau hampir lengkap dilaporkan pada 37 kasus (53%) dan respon parsial pada 12, dengan 19 (27%) kegagalan terapi. Dua pasien mengalami reaksi berbahaya serius (leukopenia, rhabdomiolisis) yang memerlukan penghentian terapi. Sebelas pasien dilaporkan tetap mengalami remisi lengkap setelah menghentikan sulfasalazin, walaupun setelah lebih dari satu tahun terapi. Dalam sebuah trial, terhadap 15 pasien, enam mengalami remisi lengkap, tiga mengalami remisi parsial dan enam gagal merespon. Dosisnya adalah 2-3 g setiap hari; respon dilaporkan butuk waktu ti ga bulan, tetapi beberapa pasien merespon dalam satu sampai dua pekan. Takrolimus
45
Dalam sebuah studi pendahuluan terhadap takrolimus dosis rendah, sebanyak sembilan belas pasien dengan urtikaria-spontan-kronis diterapi dengan takrolimus selama 12 pekan. Untuk empat pekan pertama, pasien diberikan 0,1 mg/kg/hari sampai 0,14mg/kg/hari, dan ini dikurangi menjadi 0,025 mg/kg/hari sampai 0,035 mg/kg/hari setelahnya. Dua pasien berhenti setelah satu pekan terapi karena diare parah dan sakit kepala. Setelah tiga bulan terapi, semabilan pasien bisa menghentikan antihistamin, dan tiga mengalami peraikan sedang. Tiga bulan setelah menghentikan takrolimus, tiga dapat mempertahankan penyembuhan lengkap urtiaria, dan tiga mengalami pemburukan ringan yang dapat dikontrol dengan antihistamin saja. Satu pasien yang mengalami remisi lengkap tidak menunjukkan respon terhadap tiga pekan siklosporin dosis rendah (3 mg/kg/hari).
46
Metotreksat
Masih sedikit bukti tentang efektifitas dan keamanan metotreksat pada urtikariaspontan-kronis. Satu trial terkontrol plasebo terhadap metotreksat 15 mg setiap pekan sebagai tambahan levocitizin telah dipublikasikan tetapi dari 29 pasien yang diterapi, 12 gagal menyelesaikan penelitian dan tidak ada perbedaan ditemukan antara metotreksat dan plasebo. 47
Mikofenolat
Mikofenolat merupakan imunosupresan anti-proliferatif yang menargetkan sel B dan T. Penggunaannya telah dilaporkan pada urtikaria-spontan-kronis. Satu-satunya studi prospektif yang telah dilakukan adalah studi label terbuka dimana sembulan pasien yang memerlukan steroid untuk pengendalian penyakit diberikan dosis standar (1 gram dua kali sehari) dengan penurunan skor gejala yang signifikan dan smua pasien bisa menghentikan steroid. Sebuah seri kasus retrospektif telah menunjukkan peraikan pengendalian gejala yang melaporkan 19 pasien, 17 diantaranya mengalami perbaikan gejala dengan penggunaan mikofenolat dan diantaranya 10 mengalami penyembuhan gejala secara lengkap.48 Azatioprin Pada beberapa kasus, yang dilaporkan terdapat angka kejadian yang terbatas mengenai keefektifan azatioprin pada CSU, dinana hasil positif untuk dua pasien yang diberi 150 mg azathioprin, setelah kegagalan pengobatan lain dan Tedeschi menunjukkan perbaikan setelah penggunaan 100 mg azathioprine pada pasien dengan tes kulit serum autologous positif t etapi reaksi yang tidak biasa terhadap antihistamin.49 IVIg
Penggunaan imunoglobulin intravena (IVIg) untuk urtikaria-spontan-kronis telah dilaporkan dalam studi-studi prospektif dan retrospektif. O’Donnell dkk melaporkan perbaikan pada sembilan dari sepuluh pasien yang diterapi dengan total 2g/kg IVIg dan ditindaklanjuti secara prospektif. Beberapa seri kasus retrospektif telah melaporkan peraikan pada beberapa pasien. Urtikaria-spontan-kronis bukan merupakan indikasi untuk IVIg sesuai Kriteria Australia untuk Penggunaan Klinis Imunoglobulin. 50
Antagonis TNF dan obat biologis lain
Agen-agen biologis telah diujicoba pada pasien-pasien yang tidak merespon antihistamin yang gagal merespon terhadap berbagai obat imunosupresif lainnya. Tiga seri kasus skala kecil telah dipublikasikan yang melaporkan penggunaan agen-agen anti-TNF dalam penatalaksanaan urtikaria-spontan-kronis. Sebuah respon terhadap infliksimab dilaporkan pada tiga dari empat pasien yang diterapi, etanersept, infliksimab atau adalimumab efektif pada enam diantara enam pasien yang mengalami urtikaria rekalsitran parah, dan etanersept atau adalimumab mencapai respon pada 12 dari 20 pasien yang diterapi. Tidak ada bukti efek pemodifikasi penyakit pada kebanyakan kasus, urtikaria bertambah parah setelah penghentian terapi. Rituximab dilaporkan efektif pada dua laporan kasus dan satu laporan dua kasus, tetapi tidak efektif dalam kasus-kasus yang dilaporkan lainnya.51 LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA 1.
2. 3. 4. 5. 6.
7.
8.
9.
10. 11. 12. 13. 14.
15.
16. 17.
18.
19. 20.
Kaplan AP. Urticaria and angioedem. In: Lowell A. Goldsmith, Stephen I. Katz, Gilchrest bA, Paller AS, David J. Leffell, Wolff K, eds. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. New York: Mc Graw Hill; 2012:414-430. Saini SS. Chronic spontaneous urticaria. Immunology and Allergy Clinics. 2014;34:33-52 Vestergaard C, Deleuran M. Chronic spontaneous urticaria: Latest developments in aetiology, diagnosis and therapy. Therapeutic advances in chronic disease. 2015;6:304-313 Kaplan AP. Treatment of chronic spontaneous urticaria. Allergy, asthma & immunology research. 2012;4:326-331 Kaplan A, Greaves M. Pathogenesis of chronic urticaria. Clinical & Experimental Allergy . 2009;39:777-787
Zuberbier T, Asero R, Bindslev‐Jensen C, Walter Canonica G, Church M, Giménez‐Arnau A, Grattan C, Kapp A, Maurer M, Merk H. Eaaci/ga²len/edf/wao guideline: Management of urticaria. Allergy . 2009;64:1427-1443 Beck LA, Bernstein JA, Maurer M. A review of international recommendations for the diagnosis and management of chronic urticaria. Acta dermato-venereologica. 2017;97:149158 Zuberbier T, Balke M, Worm M, Edenharter G, Maurer M. Epidemiology of urticaria: A representative cross‐sectional population survey. Clinical and experimental dermatology . 2010;35:869-873 Gaig P, Olona M, Lejarazu DM, Caballero M, Domínguez F, Echechipia S, Abujeta JG, Gonzalez M, Lleonart R, Cócera CM. Epiodemiology of urticaria in spain. Journal of Investigational Allergology and Clinical Immunology . 2004;14:214-220 Greaves M. Chronic urticaria in childhood. Allergy . 2000;55:309-320 Kaplan AP. Chronic urticaria and angioedema. New England Journal of Medicine. 2002;346:175-179 Legrain V, Taïeb A, Sage T, Maleville J. Urticaria in infants: A study of forty patients. Pediatric dermatology . 1990;7:101-107 Sackesen C, Sekerel BE, Orhan F, Kocabas CN, Tuncer A, Adalioglu G. The etiology of different forms of urticaria in childhood. Pediatric dermatology . 2004;21:102-108 Konstantinou GN, Papadopoulos NG, Tavladaki T, Tsekoura T, Tsilimigaki A, Grattan CE. Childhood acute urticaria in northern and southern europe shows a similar epidemiological pattern and significant meteorological influences. Pediatric Allergy and Immunology . 2011;22:36-42 Maurer M, Rosén K, Hsieh H-J, Saini S, Grattan C, Gimenéz-Arnau A, Agarwal S, Doyle R, Canvin J, Kaplan A. Omalizumab for the treatment of chronic idiopathic or spontaneous urticaria. New England Journal of Medicine. 2013;368:924-935 Kaplan AP. Chronic urticaria: Pathogenesis and treatment. Journal of Allergy and Clinical Immunology . 2004;114:465-474 Toubi E, Kessel A, Avshovich N, Bamberger E, Sabo E, Nusem D, Panasoff J. Clinical and laboratory parameters in predicting chronic urticaria duration: A prospective study of 139 patients. Allergy . 2004;59:869-873 Sahiner UM, Civelek E, Tuncer A, Yavuz ST, Karabulut E, Sackesen C, Sekerel BE. Chronic urticaria: Etiology and natural course in children. International archives of allergy and immunology . 2011;156:224-230 Godse KV. Chronic urticaria and treatment options. Indian journal of dermatology . 2009;54:310 Shimizu H. Immunity,allergic reaction. In: Shimizu h, ed. Shimizu's textbook of dermatoogy . Jepang: Hokkaido university; 2007:45-48.
21. 22. 23.
24.
25.
Aisah S. Urtikaria. In: Adhi Djuanda, Hamzah M, Aisah S, eds. Ilmu kesehatan kulit dan kelamin. jakarta: Fakultas kedokteran Universitas Hasanuddin; 2010:169-176. Lie T, Merijanti S. Peran sel mast dalam reaksi hipersensitivitas tipe-i. Jurnal Kedokteran Trisakti . 1999;18:145-146 Grattan C, Dawn G, Gibbs S, Francis D. Blood basophil numbers in chronic ordinary urticaria and healthy controls: Diurnal variation, influence of loratadine and prednisolone and relationship to disease activity. Clinical & Experimental Allergy . 2003;33:337-341 Hide M, Francis DM, Grattan C, Hakimi J, Kochan JP, Greaves MW. Autoantibodies against the high-affinity ige receptor as a cause of histamine release in chronic urticaria. New England Journal of Medicine. 1993;328:1599-1604 Puccetti A, Bason C, Simeoni S, Millo E, Tinazzi E, Beri R, Peterlana D, Zanoni G, Senna G, Corrocher R. In chronic idiopathic urticaria autoantibodies against fcɛrii/cd23 induce histamine release via eosinophil activation. Clinical & Experimental Allergy . 2005;35:15991607
26.
Muraro A, Werfel T, Hoffmann‐Sommergruber K, Roberts G, Beyer K, Bindslev‐Jensen C,
27.
Cardona V, Dubois A, Dutoit G, Eigenmann P. Eaaci food allergy and anaphylaxis guidelines: Diagnosis and management of food allergy. Allergy . 2014;69:1008-1025 Krause K, Ardelean E, Kessler B, Magerl M, Metz M, Siebenhaar F, Weller K, Worm M,
28.
Zuberbier T, Maurer M. Antihistamine‐resistant urticaria factitia successfully treated with anti‐immunoglobulin e therapy. Allergy . 2010;65:1494-1495 Zuberbier T, Aberer W, Asero R, Bindslev‐Jensen C, Brzoza Z, Canonica GW, Church M, Ensina L, Giménez‐Arnau A, Godse K. The eaaci/ga2len/edf/wao guideline for the definition, classification, diagnosis, and management of urticaria: The 2013 revision and update. Allergy . 2014;69:868-887
29.
30. 31.
32.
33.
34.
Tosoni C, Lodi‐Rizzini F, Cinquini M, Pasolini G, Venturini M, Sinico R, Calzavara‐Pinton P. A reassessment of diagnostic criteria and treatment of idiopathic urticarial vasculitis: A retrospective study of 47 patients. Clinical and experimental dermatology . 2009;34:166-170 Grob JJ, Auquier P, Dreyfus I, Ortonne JP. How to prescribe antihistamines for chronic idiopathic urticaria: Desloratadine daily vs prn and quality of life. Allergy . 2009;64:605-612 Goldsobel AB, Rohr AS, Siegel SC, Spector SL, Katz RM, Rachelefsky GS, Drayton G, Indianer L, Peter JB, Barr RJ. Efficacy of doxepin in the treatment of chronic idiopathic urticaria. Journal of allergy and clinical immunology . 1986;78:867-873 Wan K-S, Chang Y-s. Efficacy of leukotriene receptor antagonist with anti-h1 receptor antagonist plus anti-h2 receptor antagonist for treatment of refractory chronic idiopathic urticaria. Journal of Dermatological Treatment . 2014;25:459-461 Wan K-S. Efficacy of leukotriene receptor antagonist with an anti-h1 receptor antagonist for treatment of chronic idiopathic urticaria. Journal of Dermatological Treatment . 2009;20:194197 Pacor M, Di Lorenzo G, Corrocher R. Efficacy of leukotriene receptor antagonist in chronic
urticaria. A double‐blind, placebo‐controlled comparison of treatment with montelukast and
35.
36.
37.
cetirizine in patients with chronic urticaria with intolerance to food additive and/or acetylsalicylic acid. Clinical & Experimental Allergy . 2001;31:1607-1614 Nettis E, Pannofino A, Cavallo E, Ferrannini A, Tursi A. Efficacy of montelukast, in combination with loratadine, in the treatment of delayed pressure urticaria. Journal of allergy and clinical immunology . 2003;112:212-213 Holgate S, Casale T, Wenzel S, Bousquet J, Deniz Y, Reisner C. The anti-inflammatory effects of omalizumab confirm the central role of ige in allergic inflammation. Journal of Allergy and Clinical Immunology . 2005;115:459-465 Vena GA, Cassano N, Colombo D, Peruzzi E, Pigatto P, Group N-I-S. Cyclosporine in chronic idiopathic urticaria: A double-blind, randomized, placebo-controlled trial. Journal of the American Academy of Dermatology . 2006;55:705-709
38.
Kessel A, Toubi E. Cyclosporine‐a in severe chronic urticaria: The option for long‐term therapy. Allergy . 2010;65:1478-1482
39.
40.
41.
42.
43.
44. 45. 46.
47.
48.
49. 50. 51.
Engin B, Özdemir M. Prospective randomized non‐blinded clinical trial on the use of dapsone plus antihistamine vs. Antihistamine in patients with chronic idiopathic urticaria. Journal of the European Academy of Dermatology and Venereology . 2008;22:481-486 Morgan M, Cooke A, Rogers L, Adams-Huet B, Khan DA. Double-blind placebo-controlled trial of dapsone in antihistamine refractory chronic idiopathic urticaria. The Journal of Allergy and Clinical Immunology: In Practice. 2014;2:601-606 Reeves G, Boyle M, Bonfield J, Dobson P, Loewenthal M. Impact of hydroxychloroquine therapy on chronic urticaria: Chronic autoimmune urticaria study and evaluation. Internal medicine journal . 2004;34:182-186 Asero R, Tedeschi A. 4 usefulness of a short course of oral prednisone in antihistamineresistant chronic urticaria: A retrospective analysis. Journal of investigational allergology & clinical immunology . 2010;20:386 Asero R, Tedeschi A, Cugno M. Heparin and tranexamic acid therapy may be effective in treatment-resistant chronic urticaria with elevated d-dimer: A pilot study. International archives of allergy and immunology . 2010;152:384-389
Magen E, Mishal J. The effect of l‐thyroxine treatment on chronic idiopathic urticaria and autoimmune thyroiditis. International journal of dermatology . 2012;51:94-97 Jaffer AM, Reid RT. Sulfasalazine in the treatment of chronic urticaria (cu). Journal of Allergy and Clinical Immunology . 2002;109:S127 Kessel A, Bamberger E, Toubi E. Tacrolimus in the treatment of severe chronic idiopathic urticaria: An open-label prospective study. Journal of the American Academy of Dermatology . 2005;52:145-148 Sagi L, Solomon M, Baum S, Lyakhovitsky A, Trau H, Barzilai A. Evidence for methotrexate as a useful treatment for steroid-dependent chronic urticaria. Acta dermato-venereologica. 2011;91:303-306 Raghavendran R, Humphreys F, Kaur M. Successful use of mycophenolate mofetil to treat severe chronic urticaria in a patient intolerant to ciclosporin. Clinical and experimental dermatology . 2014;39:68-69
Tal Y, Toker O, Agmon‐Levin N, Shalit M. Azathioprine as a therapeutic alternative for refractory chronic urticaria. International journal of dermatology . 2015;54:367-369 Black K. Intravenous immunoglobulin in autoimmune chronic urticaria. British Journal of dermatology . 1998;138:101-106 Sand FL, Thomsen SF. Tnf-alpha inhibitors for chronic urticaria: Experience in 20 patients. Journal of allergy . 2013;2013