Urgensi Organisasi Profesi dan Sertifikat Pemeriksa Pajak
Jafar Shodiq (15919053)
[email protected]
Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Hal ini tercermin dari struktur pengganggaran pemerintah. Struktur penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Republik Indonesia terdiri dari sektor perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak. Proporsi keduanya dari tahun ke tahun berkisar di satu untuk penerimaan negara bukan pajak dan tiga untuk penerimaan perpajakan. Sebagai sumber utama penerimaan, sektor perpajakan merupakan sektor yang dituntut untuk sejalan dengan kenaikan anggaran belanja.
Untuk sebuah organisasi yang ingin dikenal memiliki kinerja yang memuaskan, peningkatan target merupakan sebuah pencitraan cita-cita organisasi kepada masyarakat. Data historis menyatakan bahwa target penerimaan pajak selalu meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini tentu tidak mengherankan mengingat untuk pajak adalah sebuah alat mengejar pertumbuhan ekonomi yang bermetamorfosis menjadi belanja negara yang meningkat.
Sayangnya, peningkatan target tidak diikuti oleh realisasi yang meningkat. Sejak tahun 2009, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak pernah mencapai target penerimaan yang telah ditetapkan. Banyak faktor yang ditengarai sebagai penyebab ketidaktercapaian target penerimaan. Salah satunya adalah kurangnya sumber daya manusia di Direktorat Jenderal Pajak. Direktorat Jenderal Pajak mempunyai pegawai sebanyak 32.214 orang per 2013. Proporsi terdiri dari AR sebanyak 6.689 dan pemeriksa pajak sejumlah 4.231. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang memiliki NPWP maka rasio pegawai pajak terhadap jumlah wajib pajak terdaftar adalah 1:773. Rasio ini tentu saja bukan merupakan rasio yang ideal untuk menjalankan sebuah organisasi.
Tidak hanya jumlah pegawai secara keseluruhan, pemeriksa pajak mungkin merupakan sumber daya yang paling terbatas saat ini. Padahal, pemeriksaan menjadi salah satu alternatif intensifikasi yang menjanjikan untuk meningkatkan penerimaan di sektor perpajakan. Jumlah seluruh pemeriksa di Indonesia hanya sebanyak 4.231 orang per 31 Desember 2013. Dengan jumlah sedemikian sedikit, rasio antara pemeriksa dan wajib pajak adalah 1:5.882.
Salah satu langkah solutif yang dilakukan DJP terlihat ketika organisasi melakukan pengangkatan fungsional pemeriksa pada tahun 2013. Pengangkatan pemeriksaan secara besar-besaran dilakukan terhadap pegawai dengan usia yang masih relatif muda dengan syarat telah mengikuti pendidikan dan pelatihan pemeriksa pajak. Pengangkatan secara besar-besaran itu menjawab tantangan keterbatasan pemeriksa pajak secara kuantitas namun tidak secara kualitas. Kualitas pemeriksa merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas pemeriksaan. Untuk meningkatkan kinerja Direktorat Jenderal Pajak tidak hanya dibutuhkan pemeriksa yang banyak namun juga pemeriksa yang berkualitas. Direktorat Jenderal pajak sebaiknya merancang sistem asersi dan sertifikasi yang mampu menyaring sumber daya pemeriksa yang berkualitas.
Siapakah Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak?
Menurut terminologi yang termuat di pasal 1 Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor Per-23/PJ/2013, Pemeriksa Pajak adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan Pemeriksaan. Definisi ini seolah-olah menekankan bahwa siapapun dapat bergelar pemeriksa pajak ketika melaksanakan tugas pemeriksaan pajak. Padahal, jabatan pemeriksa pajak merupakan jabatan fungsional di Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini tersurat di Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara yang menyatakan secara eksplisit bahwa "Pemeriksa pajak adalah pejabat fungsional yang berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional pemeriksa pajak pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Jabatan fungsional berarti jabatan yang tidak terikat berdasarkan struktur organisasi, melainkan berdasarkan keahlian. Oleh karena itu, pemeriksa pajak disebut dengan Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak.
Kompetensi Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak
Setiap pekerjaan mensyaratkan suatu kualifikasi minimal bagi siapa saja yang ingin terjun di bidang tersebut. Demikian pula dengan pemeriksa pajak. Seorang calon pemeriksa pajak harus mempunyai kompetensi yang menyakinkan ditinjau dari segi pendidikan maupun ketrampilan. Seorang pemeriksa minimal menyandang pendidikan diploma 3 dan telah lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis substantif dasar pemeriksa pajak. Dengan kompentensi ini, seorang pegawai Direktorat Jenderal Pajak telah memenuhi kualifikasi sebagai pemeriksa pajak. Kompentensi pemeriksa pajak akan terus berkembang seiring dengan bertambahnya pengalaman yang diukur dari jam terbang pemeriksa. Kompetensi yang semakin meningkat akan dinilai dengan jabatan yang semakin tinggi. Menurut peraturan hitam diatas putih, satu-satunya tolak ukur kompetensi pemeriksa adalah banyaknya angka kredit. Angka kredit adalah nilai dari tiap butir kegiatan dan atau akumulasi butir-butir kegiatan yang harus dicapai oleh pemeriksa pajak dan digunakan sebagai salah satu syarat untuk pengangkatan dan kenaikan pangkat/jabatan.
Jenjang karier pemeriksa fungsional hanya dibedakan menjadi dua yaitu pemeriksa pajak terampil dan pemeriksa pajak tingkat ahli. Pemeriksa pajak terampil telah memenuhi kualifikasi teknis sementara pemeriksa pajak tingkat ahli telah memenuhi kualifikasi profesional. Secara lebih spesifik, tiap jenis pemeriksa akan dibagi lagi menjadi tiga tingkatan. Pemeriksa terampil terdiri dari pemeriksa pajak pelaksana, pemeriksa pajak pelaksana lanjutan dan pemeriksa pajak penyelia. Sementara pemeriksa pajak tingkat ahli dibedakan menjadi pemeriksa pajak pertama, pemeriksa pajak muda, dan pemeriksa pajak madya.
Pola Rekruitmen dan Pengembangan Pemeriksa Pajak Saat Ini
Dalam teori manajemen operasi dikenal istilah bahwa output yang baik dapat berasal dari input yang baik atau proses yang baik atau keduanya yang baik. Ungkapan ini tidak jauh berbeda ketika kita berbicara mengenai pemeriksa pajak. Untuk mendapatkan pemeriksa pajak yang berkualitas, ada dua faktor yang menentukan. Pertama, input pemeriksa pajak yang diperoleh dari mekanisme pemeriksa pajak. Selanjutnya, dari segi proses yang tidak lain adalah pengembangan profesi pemeriksa pajak.
Mekanisme rekrutmen pemeriksa pajak saat ini lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan secara kuantitatif. Tekanan akan kekurangan sumber daya membuat Direktorat Jenderal Pajak tidak meluangkan cukup waktu untuk menciptakan sistem rekrutmen yang bermutu. Rekrutmen pemeriksa pajak dilakukan secara acak dengan menerbitkan Surat Keputusan Pengangkatan Pejabat Fungsional Pemeriksa. Untuk dapat terpilih menjadi pejabat fungsional pemeriksa, seorang pegawai DJP hanya perlu memenuhi dua syarat administratif yaitu mempunyai ijazah pendidikan formal dan mempunyai surat tanda tamat pendidikan dan pelatihan pemeriksa pajak. Demikian juga untuk pengangkatan pemeriksa tingkat ahli, syaratnya hanya ijasah S1 atau setara S1 dan surat tanda tamat diklat fungsional pemeriksa.
Pada tahap proses yaitu pengembangan profesi, tidak ada ketentuan yang mengharuskan pemeriksa pajak untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur memuat mengenai pengembangan profesi yang terdiri dari pembuatan karya tulis, pengembangan sistem perpajakan, dan penyaduran buku. Namun pada prakteknya, pengembangan yang dilakukan hanya tebatas pada angka kredit yang penilaiannya substansinya masih diragukan. Observasi dan wawancara kepada beberapa pelaku pemeriksa menyatakan bahwa angka kredit hanya sekedar formalitas dalam penentuan jabatan, kenaikan jabatan pemeriksa lebih ditentukan oleh lama masa kerja bukan melalui mekanisme sistem. Tentunya proses seperti ini tidak dapat kita katakan proses yang berkualitas.
Pemeriksa Pajak dalam Ruang Lingkup Profesional
Pemeriksa pajak adalah pejabat fungsional. Pemeriksa pajak merupakan himpunan bagian dari suatu pekerjaan profesional yang dikenal dengan auditor. Dalam lingkup profesional, pekerjaan tidak lagi dilakukan berdasarkan pedoman prosedur atau SOP. Pekerjaan didasarkan pada professional judgement yang kualitasnya ditentukan oleh kualitas pemeriksa.
Dalam konteks profesionalisme, bahasan mengenai kompetensi ini menjadi menarik ketika angka kredit merupakan indikator kompetensi namun jenjang jabatan pemeriksa masih berdasarkan pangkat/ golongan. Hal ini menunjukkan bahwa kompetensi bukan satu-satunya pertimbangan dalam pekerjaan pemeriksa saat ini. Padahal, beberapa literatur telah menegaskan bahwa kompetensi pemeriksa pajak menunjukan kualitas pemeriksa yang pada akhirnya akan berpengaruh kepada pemeriksaan pajak. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa, input dan proses pemeriksa pajak belum mampu menjamin kompetensi pemeriksa pajak. Uji kompetensi yang nyata tidak ditemukan baik dalam sistem rekrutmen maupun pengembangan profesi di pemeriksa pajak.
Pengembangan profesi pemeriksa pajak harusnya sama dengan profesi pemeriksa lain di Indonesia. Auditor di Indonesia terdapat berbagai jenis seperti akuntan publik, auditor internal, auditor internal pemerintah, auditor publik pemerintah, dan auditor sistem informasi. Ada satu hal yang membedakan jenis-jenis auditor ini dengan auditor pajak. Setiap jenis auditor kecuali pajak mempunyai wadah organisasi profesi sebagai sarana pengembangan diri dan pertukaran ilmu pengetahuan. Organisasi-organisasi profesi ini pulalah yang berinisiatif untuk membuat sertifikasi di bidangnya masing-masing. Misalnya saja untuk auditor internal pemerintah dapat menempuh sertifikasi CIA atau CISA. Selain itu, angotanya bisa bergabung ke dalam lembaga profesi yaitu Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia (AAIPI).
Pemeriksa pajak dapat menengok keberhasilan peran organisasi profesi dan sertifikasi untuk menjaga mutu profesi mereka. Dua hal ini dapat mengakomodasi peningkatan kualitas melalui penambalan proses dan input dan bolong tadi. Sertifikasi dapat menutupi kekurangan di proses rekrutmen. Ada 4 alasan yang mendasari urgensi sertifikasi pemeriksa pajak yaitu:
Kompetensi yang terukur secara memadai
Sertifikasi akan memberikan penilaian terukur dan berjenjang. Dengan adanya sertifikasi, pengangkatan pemeriksa pajak tidak lagi secara acak, namun Direktorat Jenderal Pajak dapat memilih input yang lebih baik dengan melihat grade/ nilai sertifikat.
Persaingan yang fair di antara pegawai
Seperti halnya sertifikasi pengadaan barang dan jasa, sertifikasi berperan sebagai sarana bahwa proses perekrutan telah dilaksanakan secara adil. Pemeriksa pajak yang direkrut merupakan mereka yang sudah teruji secara kompetensi.
Pengembangan diri berkelanjutan
Setiap sertifikasi mensyaratkan adanya pengembangan diri yang berkelanjutan setiap periode tertentu. Sertifikasi memaksa setiap orang untuk terus belajar dan mengembangkan dirinya. Pihak otoritas juga bisa mengembangkan sistem sertifikasi yang berjenjang.
Peningkatan wibawa pemeriksa pajak
Perkembangan saat ini adalah sertifikasi lebih bernilai dibandingkan pendidikan formal untuk beberapa profesi seperti analis dan auditor. Tak mengherankan apabila sertifikasi nantinya akan meningkatkan citra dan wibawa seorang pemeriksa pajak.
Untuk itulah, para pemeriksa pajak seyogianya mulai bahu membahu berkomunikasi dan bersatu membentuk organisasi profesi, demi kualitas pemeriksa yang lebih baik.
Referensi:
Keputusan Menteri Pendayagunaan dan Aparatur Negara Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2003 tentang Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak dan Angka Kreditnya.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/ 2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan
Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor Per-23/PJ/2013 tentang Standar Pemeriksaan
Johannes Aritonang. (2013). Bahan Ajar Diklat Fungsional Pemeriksa Dasar. Jakarta: Pusdiklat Pajak
Dr. Wirawan B.Ilyas, AK., M.Si., MH., CPA. (2015). Pemeriksaan Pajak. Jakarta: Mitra Wacana Media
Iman Santoso dan Ning Rahayu. (2013). Corporate Tax Management. Jakarta: Ortax
Prof. Gunadi. MSc. Ak., Ph.D. (2013). Panduan Komprehensif Pajak Penghasilan. Jakarta: Bee Media Indonesia
Ahmad Komara. (2012). Cara Mudah Memahami Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Jakarta: Bee Media Indonesia
Untung Sukardji. (2015). Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Edisi Revisi 2015. Jakarta: Rajawali Pers