Upah dan Produktifitas Tenaga Kerja di Indonesia: Konsep Ekonomi dan
Kenyataan.
Oleh: Kodrat Wibowo, Ph.D[1]
Latar Belakang
Sistem Penentuan Upah (pengupahan) yang berlaku di Indonesia adalah sistem
yang berbasis indeks biaya hidup dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per
Kapita sebagai proksi dari tingkat kemakmuran, dengan kata lain berbasiskan
angka Kehidupan hidup layak (KHL) dan tingkat inflasi. Sistem pengupahan di
Indonesia juga mendasarkan penentuannya melalu mekanisme konsultasi
tripartit dalam menetapkan upah minimum antara wakil pengusaha, wakil
pekerja dan wakil dari pemerintahan. Wakil pemerintahan selain dalam
fungsinya sebagai fasilitator dan mediator bila diperlukan pada akhirnya
akan juga berperan sebagai pengambil kebijakan sekaligus mengesahkannya
secara hukum.
Sementara itu sebagian kalangan berargumen bahwa penentuan upah melalui
mekanisme tripartit dan berbasiskan pada biaya hidup sangatlan jauh dari
upaya pencapaian kondisi perekonomian yang pro terhadap keberlanjutan
economic growth, perluasan lapangan kerja dan produktifitas bangsa. Sistem
yang ada dinilai lebih cenderung mengarah pada arogamsi pola pemerintahan
yang tetap memiliki paradigma lama bahwa peran pemerintah adalah superior
dalam perekonomian sektor riil. Selain itu, sistem yang ada juga dinilai
lebih banyak mengakibatkan menurunnya daya saing industri, daerah dan
sekaligus juga daya saing negara terutama sebagai daya tarik terhadap
investor baik PMA maupun PMDN.
Karenanya sering digaungkan wacana dan pendapat agar sistem pengupahan
harus didasarkan secara proposional juga pada tingkat produktifitas tenaga
kerja. Apindo dalam hal ini merupakan pihak yang paling dominan
menginginkan adanya sistem pengupahan berbasiskan produktifitas agar
pertumbuhan sebuah perusahaan, industri, bahkan wilayah sejalan dengan
tingkat kesejahteraan pegawainya, tenaga kerjanya dan masyarakatnya secara
respektif. Namun ini tidak berarti bahwa pihak pekerja tidak mendukungnya
pula. Pihak dari Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) dalam
sebuah surat kabar nasional pernah mengatakan bahwa yang diinginkan oleh
pekerja adalah suatu sistem pengupahan yang selain menciptakan kualitas
hidup layak juga mendorong produktifitas. Upah yang diterima pekerja
sebaiknya didasarkan kepada kesepakatan antara pengusaha dan serikat
pekerja saja (PKB) saja, dengan catatan bila perusahaan untung maka pekerja
layak mendapatkan kenaikan upaha namun bila perusahaan rugi maka
dimungkinkan pekerja tidak dinaikkan upahnya.
Dalam hal ini rupanya terdapat kesepakatan diatas permukaan opini antara
pihak pengusaha dan pekerja bahwa sistem pengupahan yang baik adalah sistem
pengupahan yang mengedepankan pertimbangan produktifitas tenaga kerja,
bukan hanya mendasarkan penentuan upah minimum pada kemampuan daya beli dan
inflasi saja. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana mengukur
secara seakurat mungkin tingkat produktifitas umum sebuah wilayah? bahkan
bila perlu tingkat produktitas parsial secara detail baik di tingkat
industri maupun tingkat perusahaan secara individual.
Definisi Upah:
Upah bagi pekerja merupakan hak yang harus diperoleh karena nilai
sumbangsihnya dalam proses produksi menciptakan nilai tambah.
Upah harus mencerminkan nilai jabatan yang dipangku seseorang di suatu
organisasi perusahaan dan organisasi-organisasi pada umumnya dalam
suatu industri. Nilai jabatan yang lebih tinggi akan memberikan besaran
upah yang lebih tinggi.
Besarnya upah yang diterima seseorang atau perbedaan nilai jabatan
harus mencerminkan rasa keadilan dalam organisasi itu (equity) dan
nilai jabatan yang ada di pasar (kompetitif).
Tidak ada kenaikan upah tanpa kenaikan nilai jabatan kecuali bagi
perusahaan yang mampu dapat melakukan penyesuaian atau pemberian
insentif untuk mempertahankan karyawan yang baik.
Mekanisme penyesuaian diatur dalam ketentuan perusahaan dengan
mempertimbangkan prestasi kerja yang telah dicapai secara individu
Definisi Produktifitas (APINDO, 2005)
Produktivitas tenaga kerja merupakan bagian kewajiban tingkat hasil
kerja yang harus diberikan pekerja kepada pemberi kerja.
Peningkatan produktivitas tenaga kerja merupakan tanggung jawab dari
berbagai pihak; perusahaan menyediakan alat, fasilitas pelatihan, dan
prasarana kerja lainnya, sementara karyawan berkewajiban untuk
menampilkan ethos kerja, sikap peduli dan
disiplin yang baik, berinisiatif untuk melakukan perbaikan hasil kerja
secara terus menerus.
Peningkatan produktivitas merupakan sumber dasar perbaikan upah riil
dan standar hidup. Peningkatan produktivitas juga merupakan tekanan
anti inflasi dalam mengimbangi atau menyerap peningkatan upah riil.
Tingkat produktivitas tenaga kerja berbanding lurus dengan tingkat upah
pada umumnya.
Definisi Produktivitas (ILO):
Pengukuran seberapa baik sumber daya yang digunakan bersama didalam
organisasi untuk menyelesaikan suatu kumpulan hasilhasil. Meurut ILO
produktifitas adalah Perbandingan antara elemen-elemen produksi dengan
yang dihasilkan merupakan ukuran produktivitas. Elemen - elemen
produksi tersebut berupa : tanah, kapital, buruh, dan organisasi.
Definisi Produktivitas (DPN):
Sikap mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari
ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari
hari ini. Pada dasarnya produktivitas harus dapat memenuhi unsur
efektifitas, efisien dan kualitas.
Tingkat Produktifitas Secara Umum
Secara makro ekonomi PDB/PDRB dapat dihitung dengan beberapa methode dan
indikator: (1) Produksi (2) Pengeluaran, dan (3) Penerimaan. Dalam
kaitannya dengan produktifitas maka dengan PDB/PDRB pula dapat kita hitung
berapa Total Factor Productifity (TFP) dari sebuah negara. TFP
menggambarkan sejauh mana faktor produksi sebuah wilayah/negara yaitu modal
(Kapital) dan Tenaga Kerja (Labor) dapat bersinergi sehingga perekonomian
di wilayah/negara tersebut dapat menghasilkan output yang lebih besar.
Angka TFP yang tinggi di suatu daerah menunjukkan bahwa output yang
dihasilkan dapat diperoleh melalui input yang sedikit saja (produktifitas
tinggi).
Tabel 1. Perbandingan TFP Secara Umum Beberapa Negara
Dengan meminjam model makro ekonomi: Yt = ZtF(Kt,Lt), Total Factor
Productivity (TFP) didefiniskan sebagai berikut Yt/F(Kt,Lt) . TFP juga
sering digunakan sebagai proksi dari tingkat teknologi yang berlaku
disebuah daerah. Dengan penggunaan sedikit mungkin faktor produksi K dan L
dan dihasilkan suatu tingkat output tertentu ini mengartikan bahwa terdapat
faktor lain yang ikut berperan dalam pembentukan output tersebut yaitu
teknologi. Namun TFP ini tidaklah harus selalu beranggapan bahwa faktor
selain Kapital dan Labor yang dominan dalam upaya meningkatkan output
adalah teknologi[2], faktor lainnya seperti kebijakan moneter, fiskal,
politik mungkin saja ikut berperan dalam pembentukan output tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan TFP dalam menghitung
tingkat produktifitas secara umum memiliki kelemahan yaitu tidak otomatis
dapat langsung menghitung peran labor dalam peningkatan output, terlebih
lagi bila kita sadari bahwa penghitungan output disini seringkali bersifat
absolut, bukannya marginal yaitu seberapa penambahan faktor produksi (K dan
L) dapat meningkatkan output sebesar angka tertentu.
"Growth in total-factor productivty (TFP) represents output growth not
accounted for by the growth in inputs." -- Hornstein and Krusell
(1996).
Dengan memperhitungkan nilai margina, pengukuran Produktivitas dapat juga
dihitung sebagai hasil dari Input (I) dibagi Output (O). Semakin besar
output dan semakin kecil input maka produktivitasnya semakin besar.
Produktivitas juga dapat digambarkan sebagai berikut :
Produktivitas (P) naik apabila Input (I) turun, Output (O) tetap
Produktivitas (P) naik apabila Input (I) turun, Output (O) naik
Produktivitas (P) naik apabila Input (I) tetap, Output (O) naik
Produktivitas (P) naik apabila Input (I) naik, Output (O) naik tetapi
jumlah kenaikan Output lebih besar daripada kenaikan Input.
Produktivitas (P) naik apabila Input (I) turun, Output (O) turun
tetapi jumlah
penurunan Input lebih kecil daripada turunnya Output.
Tingkat Produktifitas Secara Mikro
Untuk pengukuran produktivitas di tingkat perusahaan biasanya digunakan
pula penghitungan Produktivitas Total Faktor (TFP) perusahaan yang
dihasilkan dari penghitungan Nilai Tambah, labor share dan capital share.
TFP ini adalah hasil dari Produktivitas dari semua variabel yang mendukung
berjalannya suatu usaha. Didapat 4 komponen pendukung peningkatan TFP yaitu
: Quality of labour, Capital structure, Demand Intensity dan Technical
Progres. Dari kajian tersebut tercermin bahwa Produktivitas total faktor
dihasilkan dari labour dan juga capital.
Bahkan metode penghitungan produktifitas tenaga kerja seringkali dihitung
hanya berdasarkan kacamata labor share yang seringkali melupakan peran
kapital, teknologi dan faktor lainnya. Berikut adalah penghitungan
produktifitas secara mikro yang juga mengandung banyak kelemahan
A. Labor Share adalah :
(upah buruh x jumlah buruh x jam kerja) / Total biaya
W x L x H / TC
Total biaya = biaya buruh + biaya non-buruh. Untuk penyederhanaan, H
dianggap sama untuk semua buruh, sehingga diskusi selanjutnya akan mengarah
ke L.
B. Produktivitas:
Harga produk x Jumlah Produk / Jumlah buruh
(P x Q)/L
Kelemahan yang mungkin terbaca dengan asumsi bahwa labor share haruslah
meningkat bila output meningkat adalah:
1. Membandingkan produktivitas dengan labor share adalah bukan perbandingan
yang baik. Dari dua formula di atas, kalau: teknologi, harga produk, jumlah
produk, upah buruh, jam kerja dan total biaya diasumsikan tetap (constant),
dari B peningkatan produktivitas berarti penurunan jumlah buruh, dan dari A
dengan adanya penurunan jumlah buruh, labor share otomatis turun. Jadi
kalau plot labor share turun, umumnya plot produktivitas akan naik.
2. Penurunan biaya buruh dan meningkatnya produktivitas dalam banyak kasus
di industri di Indonesia khususnya banyak melupakan peran teknologi yang
berubah cepat. Industri yang dulunya labor intensif, sekarang menjadi makin
kapital intensif. Dari sisi produktifitas dalam rangka persaingan
internasional, peningkatan ekspor dan perolehan devisa, inilah yang justru
diharapkan.
3. Metode penghitungan ini mengabaikan satu hal lain yang lebih penting.
Kecilnya labor share menyebabkan kurva permintaan buruh menjadi lebih
inelastis. Artinya jumlah permintaan tenaga kerja tidak terlalu responsif
terhadap perubahan upah. Dengan kata lain, kalau terjadi 'shock' yang
membuat upah buruh meningkat, jumlah kesempatan kerja tidak banyak
berkurang. Dengan kecilnya labor share, permintaan tenaga kerja menjadi
tidak elastis, akibatnya pengangguran akan lebih mudah dihindari. Ini
menguntungkan pihak tenaga kerja. Inilah prinsip terkenal "the importance
of being unimportant." Serikat buruh di Amerika selalu mengusahakan agar
jumlah buruh sedikit, labor share kecil (tidak berarti upah juga kecil),
permintaan tenaga kerja inelastis, dan kalau ada 'apa-apa' pekerja yang di
'layoff' oleh perusahaan tidak akan terlalu massive.
4. Semestinya produktivitas -tidak- dihubungkan dengan 'labor cost' tetapi
langsung dengan 'upah buruh'. Karena, kalau pengusaha meminimumkan biaya
produksi, maka dia akan membayar upah buruh setara dengan nilai produk
marginalnya. Nilai produk marginal ini bisa mencerminkan produktivitas
tenaga kerja. Secara matematis bisa ditunjukkan bahwa kondisi optimal
(dalam suasana kompetitif) agar biaya minimum adalah:
Upah = harga barang output x produk marginal tenaga kerja.
W = P. MPL
Artinya bila produktivitas tenaga kerja naik, P constant, upah buruh W juga
mestinya meningkat.
Korelasi antara Upah tenaga kerja dan Produktifitas Tenaga Kerja
Selalu muncul pertanyaan di benak para stakeholders yang berkepentingan
dalam masalah pengupahan, bila produktivitas tenaga kerja naik, mengapa
upah buruh tidak juga naik ? Bukti-bukti empiris menunjukkan hasil yang
ambigius, dengan kata lain terlihat bahwa secara makro kenaikan upah tenaga
kerja tidak berpengaruh secara kualitatif terhadap kinerja produktifitas
secara umum. Gambar dan tabel berikut dapat dijadikan sebagai ilustrasi
yang menarik untuk disimak.
Gambar 1. Perbandingan TFP Sektor Industri Pengolahan Beberapa Negara Asia
(1980-2001)
Sumber: World Economic Forums, 2003
Dengan mempertimbangkan bahwa terdapat kecenderungan yang tidak terlalu
drastis dikaitkan dengan kinerja perekonomian Indonesia yang relatif lebih
lambat untuk pulih kembali setelah krisis moneter maka trend dari TFP
sektor manufaktur Indonesia juga tidak akan terlalu meningkat tajam.
Sementara upah yang didasarkan pada ketentuan upah minimum provinsi
beberapa propinsi menunjukkan trend yang sebaliknya, yaitu peningkatan upah
yang laju rata-rata-nya jauh diatas tingkat inflasi bahkan tingkat
pertumbuhan ekonomi nasional sekalipun.
Tabel 2. Laju Pertumbuhan Peningkatan UMP (1994-2004)
Sumber: Dewan Produktifitas Nasional, 2005
Sementara itu satu penelitian terakhir berbentuk tesis dari Sumarlin,
Universitas Sumatera Utara, 2006 menunjukkan bahwa memang terdapat hubungan
yang positif antara pertumbuhan upah dengan tingkat produktifitas sektor
non migas di Indonesia selama periode tahun 1980 s.d. 2004. Dihasilkan
kesimpulan bahwa memang upah yang tinggi mempengaruhi tingkat produktifitas
dengan arah yang positif. Kenaikan satu persen pada upah akan meningkatkan
produktifitas sebesar Rp. 8.8 juta per tenaga kerja.
Namun hasil ambigiu ini memang disadari lebih banyak diakibatkan oleh
metode yang digunakan dalam menghitung tingkat produktifitas itu sendiri.
Ditenggarai bahwa penghitungan tingkat produktifitas yang dilakukan dalam
banyak studi yang megkaji hubungan tingkat upah dan tingkat produktifitas
ini tidak memisahkan antara tingkat produktifitas total input (kapital dan
labor) dengan tingkat produktifitas tenaga kerja secara "stand alone".
Dengan asumsi pasar tenaga kerja yang relatif kompetitif, upah buruh
seharusnya tidak hanya ditentukan oleh pengusaha (baca: teknologi yang
dipakai pengusaha), tetapi ditentukan pula secara lebih dominan oleh
mekanisme pasar tenaga kerja yang berlaku. Pengusaha untuk kegiatannya
jelas membutuhkan tenaga kerja. Permintaan tenaga kerja ini diwakili oleh
kurva permintaan, yang menunjukkan hubungan:
W= harga produk (P) x Marginal Produk Labor (MPL)
Hubungan W dan L melalui MPL adalah negatif. Kalau tenaga kerja sedikit,
produktivitas per unit tenaga kerja makin besar, upah juga tinggi.
Kelompok tenaga kerja menawarkan tenaga kerja diwakili oleh kurva
penawaran. Hubungan antara W dan L adalah positif: semakin tinggi upah,
semakin banyak tenaga kerja yang disediakan. Misalkan saja pada kondisi
awal, supply tenaga kerja adalah S1. mekanisme pasar tenaga kerja akan
menghasilkan upah W1 dan tenaga kerja L1. Bila terjadi peningakatan supply
tenaga sedangkan kurva permintaan relatif tidak berubah (banyaknya tenaga
kerja yang keluar dari sektor pertanian, atau makin banyaknya anak lulusan
SD/SMP/SMA yang mencari kerja, atau berbagai sebab lain). Kurva penawaran
akan bergeser, hal ini menekan akan upah buruh menjadi W2 < W1. Memang
makin banyak tenaga kerja tertampung di perusahaan (L2 > L1), tetapi upah
juga lebih kecil.
Kalau pemerintah memasang upah minimum di atas W2, dalam jangka pendek
pengangguran akan membesar. Permintaan tenaga kerja lebih kecil dari
penawaran. Konsekwensinya, pemerintah harus bertanggung jawab untuk
menyalurkan pengangguran yang akan terjadi.
Upah buruh yang rendah memang memprihatinkan. Tetapi diskusi tentang upah
buruh yang rendah tidak bisa terlepas dari diskusi tentang banyaknya
pengangguran di Indonesia. Melimpahnya penawaran tenaga kerja dengan
keterampilan minim merupakan salah satu penyebab utama upah yang rendah.
Selain itu, tingkat inflasi yang cukup tinggi sebelum kebijakan Inflation
targeting juga merupakan faktor penyebab daya beli yang semakin rendah
karena upah yang tinggi bila dihitung secara riil sebenarnya adalah rendah.
Oleh sebab itu bila pemerintah (via Depnaker, Disnaker atau lembaga
lainnya) ingin lebih memperhatikan upah buruh, pemerintah harus juga
menyelesaikan secara simultan dalam mengatasi masalah pengangguran,
penciptaan lapangan kerja baru, peningkatan keterampilan, dst.
Pertanyaannya bukan saja 'mengapa pengusaha membayar upah terlalu kecil',
tetapi juga 'mengapa dengan upah yang kecil itu banyak orang masih mau
bekerja.'
"Himbauan' agar pengusaha meningkatkan upah buruh memang enak didengar.
Bila pemerintah 'menghimbau' pada para pengusaha untuk meningkatkan upah,
dalam terminologi ekonomi 'himbauan' ini perlu diterjemahkan sebagai: -
"Pemerintah lewat kordinasi dan sinergitas antar lembaga perlu menyediakan
berbagai insentif, baik melalui pajak atau yang lain agar pengusaha bisa
meningkatkan permintaan tenaga kerja lewat penambahan modal kerja ataupun
investasi baru. Contoh: insentif untuk membuka industri yang padat karya
dibanding padat modal, dll. Yang dibutuhkan adalah suatu 'economic policy'
yang diawali dengan niatan dalam arti perencanaan dan implementasi lapangan
melalui mekanisme kebijakan antar kelembagaan. Bukannya himbauan dan
kebijakan UMP/UMR.
Kesimpulan
Didalam peningkatan produktivitas sendiri terdapat faktor-faktor yang
sangat berpengaruh pada peningkatannya baik itu di tingkat makro, mikro
maupun bagi tiap individu. Di tingkat makro, stabilitas politik dan
keamanan, kondisi Sumber daya (SDM, alam dan Energi), pelaksanaan
pemerintah, kondisi infrastruktur berupa transportasi dan komunikasi dan
yang tidak kalah penting adalah perubahan struktural dalam bidang sosial
dan budaya. Di tingkat mikro, faktor internal meliputi sumber daya manusia,
teknologi, manajemen, demand intensity dan struktur modal. Selain faktor
faktor internal terdapat juga faktor eksternal yang dapat mempengaruhi
meliputi produktivitas di tingkat mikro diantaranya kebijaksaan pemerintah,
kondisi politik, sosial, ekonomi dan hankam serta tersedianya sumber daya
alam. Di tingkat individu faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas
adalah sikap mental (budaya produktif), pendidikan, ketrampilan, kompetensi
dan apresiasi terhadap kinerja.
Apa keuntungan dari peningkatan produktivitas? Keuntungan peningkatan
produktivitas di tingkat nasional (Makro) dengan peningkatan produktivitas
maka kemampuan bersaing meningkat khususnya dalam perdagangan internasional
yang menambah pendapatan negara, meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga
dapat meningkatkan standar hidup dan martabat bangsa, memperkokoh
eksistensi dan potensi bangsa yang berarti memantapkan ketahanan nasional,
sebagai alat untuk membantu merumuskan kebijaksanaan dalam perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan dan tumbuhnya dunia usaha yang membawa pengaruh
bertambahnya lapangan kerja.
Di tingkat perusahaan (mikro) maka dengan peningkatan produktivitas akan
memperkuat daya saing perusahaan karena dapat memproduksi dengan biaya yang
lebih rendah dan mutu produksi lebih baik, menunjang kelestarian dan
perkembangan perusahaan, menunjang terwujudnya hubungan industrial yang
lebih baik dan mendorong terciptanya perluasan lapangan kerja. Di tingkat
individu akan meningkatkan pendapatan, meningkatkan harkat dan martabat
serta pengakuan potensi individu serta meningkatkan motivasi kerja dan
keinginan berprestasi.
Saran-Saran
Untuk menghitung real labour productivity – break down dari TFP kita bisa
Mulai dengan menentukan determinan dari TFP yaitu: Quality of Labour,
Capital structure, Demand Intensity dan technical progress. Dari Determinan
tersebut dapat kita ketahui berapa real labour productivity yaitu dari
quality of labour (Kompetensi tenaga kerja) dan technical progress yang
dihasilkan dari tenaga kerja (labour share dikalikan dengan technical
progress). Penghitungan tersebut lebih tepat digunakan pada manufactur
sector. Sedangkan untuk service sector, labour productivity dapat dihitung
dengan menggunakan labour share.
Dari labour cost ini baru kemudian diturunkan kembali berapa besar untuk
fix wage, variable wage, training dan lain-lain sesuai dengan struktur dan
skala upahnya dan keadaan pada perusahaan tersebut. Setiap orang tenaga
kerja bisa jadi tidak sama dalam menerima perubahan upah karena juga
dilihat dari kinerja masing-masing dari setiap orang (absensi,
kedisiplinan, kepatuhan, kompetensi dan lain-lain). Dan setiap perusahaan
akan berbeda beda pula struktur dan skema upahnya karena disesuaikan dengan
struktur organisasi, budaya perusahaan, keadaan perusahaan yang
masingmasing mempunyai karakteristik tersendiri.
Dengan konsep tersebut maka wage adjustment benar-benar didasarkan pada
produktivitas. Bila memang Pendapatan perusahaan besar dan real labour
productivity besar maka wage adjustment dapat dihasilkan secara signifikan.
Diharapkan dengan konsep ini wage adjustment dapat adil bagi pekerja dan
pemberi kerja, sutainability perusahaan terjaga, mendorong pekerja untuk
lebih produktif dan pemberi kerja dapat mengembangkan usahanya yang berarti
terserapnya tenaga kerja dan memperbesar pendapatan daerah.
Untuk upah minimum ada baiknya kenaikannya tidak hanya didasarkan pada
kenaikan inflasi terkait komponen hidup minimum, namun juga berdasarkan
data produktivitas tenag kerja nasional. Hal ini dimaksudkan agar kenaikan
upah minimum juga berbanding lurus dengan kenaikan produktivitas tenaga
kerja.
Sekian dan Terima Kasih
-----------------------
[1] Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, FE Unpad, Sekretaris
dan Peneliti Lembaga Penelitian, Pengabdian pada Masyarakat dan Pengkajian
Ekonomi (LP3E) FE Unpad.
[2] Teknologi dalam pengertian ekonomi adalah keadaan dimana kita dapat
menambah output tanpa harus menambah besaran faktor/input produksi. Dengan
kata lain untuk menghasilkan suatu output yang sama, kita dapat menggunakan
/faktor/input produksi lebih sedikit.