FILSAFAT ILMU ONTOLOGI Realita : External : External World and Internal Internal World
Diajukan untuk memenuhi salah satu dari komponen nilai tugas untuk mata kuliah Filsafat Ilmu
Oleh:
Angkatan 40 Sore
Devi Irawan
- 1208 2010 0031
Rizal Adi Subahagiyo Subahagiyo
- 1208 2010 0034
Indra Taruna Anggapradja - 1208 2010 0036
Aji Kresno Murti
- 1208 2010 0072
UNIVERSITAS PADJADJARAN PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI BANDUNG 2010
BAB I PENDAHULUAN
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling berkaitan baik secara substansial maupun historis. Kelahiran suatu ilmu tidak dapat dipisahkan dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Ilmu atau sains merupakan komponen terbesar yang diajarkan dalam semua strata pendidikan. Walaupun telah bertahun-tahun mempelajari ilmu, pengetahuan ilmiah tidak digunakan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu dianggap sebagai hafalan saja, bukan sebagai pengetahuan yang mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksikan gejala alam untuk kesejahteraan dan kenyamanan hidup. Kini ilmu telah tercerabut dari nilai luhur ilmu, yaitu untuk mensejahterakan umat manusia. Bahkan tidak mustahil terjadi, ilmu dan teknologi menjadi bencana bagi kehidupan manusia, seperti pemanasan global dan dehumanisasi. Ilmu dan teknologi telah kehilangan rohnya yang fundamental, karena ilmu telah mengurangi bahkan menghilangkan peran manusia, dan bahkan tanpa disadari manusia telah menjadi budak ilmu dan teknologi. Oleh karena itu, filsafat ilmu mencoba mengembalikan roh dan nilai luhur dari ilmu, agar ilmu tidak menjadi bumerang bagi kehidupan manusia. Filsafat ilmu akan mempertegas bahwa ilmu dan teknologi adalah instrumen dalam mencapai kesejahteraan bukan tujuan. Dalam masyarakat religius, ilmu dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai ketuhanan, karena sumber ilmu yang hakiki adalah Tuhan. Ilmu adalah suatu
bentuk
ciptaan
Tuhan.
Orang
tidak
menciptakan
ilmu,
melainkan
mengungkapkan ilmu, atau mencari ilmu. Manusia diberi daya fikir oleh Tuhan, dan
dengan daya fikir inilah manusia menemukan teori-teori ilmiah dan teknologi. Pengaruh agama yang kaku dan dogmatis kadang kala menghambat perkembangan ilmu. Oleh karenanya diperlukan kecerdasan dan kejelian dalam memahami kebenaran ilmiah dengan sistem nilai dalam agama, agar keduanya tidak saling bertentangan. Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa raguragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang belum kita tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas ini. Demikian juga filsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah kita jangkau. 1
Menurut Hornby (1974), filsafat adalah suatu sistem pemikiran yang terbentuk dari pencarian pengetahuan tentang watak dan makna kemaujudan atau eksistensi. Filsafat dapat juga diartikan sebagai sistem keyakinan umum yang terbentuk dari kajian dan pengetahuan tentang asas-asas yang menimbulkan, mengendalikan atau menjelaskan fakta dan kejadian. Secara ringkas, dengan demikian, filsafat diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu makna. Hornby menyatakan pula bahwa pengetahuan ialah keseluruhan hal yang diketahui, yang membentuk persepsi jelas mengenai kebenaran atau fakta. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang diatur dan diklasifikasikan secara tertib, membentuk suatu sistem pengetahuan, berdasar rujukan kepada kebenaran atau hukum-hukum umum. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tidak ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan, yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu atau secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan. Sedangkan pengetahuan tak ilmiah adalah yang masih tergolong pra ilmiah. Dalam hal ini berupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat. Ilmu merupakan kegiatan untuk mencari pengetahuan dengan jalan melakukan pengamatan atau pun penelitian, kemudian peneliti atau pengamat tersebut berusaha membuat penjelasan mengenai hasil pengamatan/penelitiannya. Dengan demikian, ilmu merupakan suatu kegiatan yang sifatnya operasional. Jadi terdapat runtut yang jelas dari mana suatu ilmu pengetahuan berasal. Karena sifat yang operasional tersebut, ilmu pengetahuan tidak menempatkan diri dengan mengambil bagian dalam pengkajian hal-hal normatif. Ilmu pengetahuan hanya membahas segala sisi yang sifatnya positif semata. Hal-hal yang bekaitan dengan kaedah, norma atau aspek normatif lainnya tidak dapat menjadi bagian dari lingkup ilmu pengetahuan. Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang lazim disebut tahap mistik, tidak terdapat perbedaan antara pengetahuan-pengetahuan yang berlaku juga untuk obyek-obyeknya. Pada tahap mistik ini sikap manusia seperti dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya sehingga semua obyek tampil dalam artian satu sama lain berdifusi menjadi tidak jelas batas-batasnya. Tiadanya perbedaan di antara 2
pengetahuan-pengetahuan itu mempunyai implikasi sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan dalam pengetahuan untuk dipandang sebagai pemimpin yang mengetahui segala-galanya. Tahap berikutnya adalah tahap-ontologis, yang membuat manusia telah terbebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, sehingga mampu mengambil jarak dari obyek di sekitarnya, dan dapat menelaahnya. Orang-orang yang tidak mengakui status ontologis obyek-obyek metafisika pasti tidak akan mengakui status-status ilmiah dari ilmu tersebut. Itulah mengapa tahap ontologis dianggap merupakan tonggak ciri awal pengembangan ilmu. Dalam hal ini subyek menelaah obyek dengan pendekatan awal pemecahan masalah, semata-mata mengandalkan logika berpikir secara nalar. Hal ini merupakan salah satu ciri pendekatan ilmiah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi metode ilmiah yang makin mantap berupa proses berpikir secara analisis dan sintesis. Sesudah melalui tahap ontologis, maka dimasukan tahap akhir yaitu tahap fungsional. Pada tahap fungsional, sikap manusia bukan saja bebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, dan tidak semata-mata memiliki pengetahuan ilmiah secara empiris, melainkan lebih daripada itu. Sebagaimana diketahui, ilmu tersebut secara fungsional dikaitkan dengan kegunaan langsung bagi kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Tahap fungsional pengetahuan sesungguhnya memasuki proses aspek aksiologi filsafat ilmu, yaitu yang membahas amal ilmiah serta profesionalisme terkait dengan kaidah moral. Pada bagian ontologis filsafat ilmu ini , membahas tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Ini berarti sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik kesimpulan. Dengan lain perkataan, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal surga atau neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan. Dalam filsafat ilmu, ilmu dijelaskan secara filosofis dan akademis sehingga ilmu dan teknologi tidak tercerabut dari nilai agama, kemanusiaan lingkungan. Dengan demikian filsafat ilmu akan memberikan nilai dan orientasi yang jelas bagi setiap ilmu. Filsafat ilmu merupakan kajian secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu, sehingga ontologis dalam filsafat ilmu perlu menjawab persoalan berikut : Objek apa yang ditelaah? Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana korelasi 3
antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berfikir, merasa, dan mengindera) yang menghasilkan ilmu? Dari landasan ontologis ini adalah dasar untuk mengklasifikasi pengetahuan dan sekaligus bidang-bidang ilmu.
4
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Apa yang dimaksud Ontologi Ilmu
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Thales berpenderian bahwa segala sesuatu tidak berdiri dengan sendirinya melainkan adanya saling keterkaitan dan keetergantungan satu dengan lainnya. Istilah ontology atau ontologi diperkenalkan oleh Christian Wolff (16791714). Ontology berasal dari bahasa latin, yaitu on, ontos dan logia. Ontos berarti “ yang ada” atau entitas atau objek (being Sein, het zeijn ) dan logia berarti ilmu, ajaran atau teori. Jadi ontologi dapat didefinisikan sebagai studi filosofis tentang hakikat dan eksistensi atau keberadaan suatu entitas, atau realitas umum serta kategori dasar dan hubungan diantaranya (“Theory of being qua being”, teori keberadaan sebagai kebenaran). Ontology berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai mengapa suatu entitas atau objek itu ada (keberadaan), bagaimana entitas tersebut dikelompokkan menurut hirarki, persamaan maupun perbedaannya. Ontologi ilmu dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang bertalian dengan terbentuknya ilmu (Herman Soewardi, Unpad 2004: Hal. 109), tetapi ontologi ilmu juga dapat diartikan secara sederhana sebagai ajaran mengenai hakikat atau inti yang termuat dalam suatu keberadaan dari ilmu, bagaimana ilmu itu terbentuk. Telaah ontologis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan : a) apakah obyek ilmu yang akan ditelaah, b) bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut, dan c) bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.
5
Beberapa karekteristik ontologi antara lain dapat disederhanakan sebagai berikut ( Suparlan: 128: 2004 ): a. Ontology adalah studi tentang “ada” dan “berada”, tentang ciri-ciri esensial dari yang ada dalam dirinya sendiri menurut bentuknya yang paling abstrak. b. Ontology adalah cabang filsafat yang mempelajari tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, dengan menggunakan kategori-kategori seperti: atau menjadi, aktualitas atau potensialitas, nyata atau penampakan, esensi atau eksistensi, kesempurnaan, ruang dan waktu, perubahan dan sebagainya. c. Ontology adalah cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakekat terakhir yang ada, yaitu yang satu, yaitu absolute, bentuk abadi, sempurna, dan keberadaan segala sesuatu yang bergantung kepadaNya. d. Cabang filsafat yang mempelajari suatu realitas apakah nyata atau semu, dan sebagainya. 1
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Ontologi secara ringkas membahas realitas atau suatu entitas dengan apa adanya. Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenarannya. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realitas.
2.2
Pengertian Ilmu Ilmu berasal dari kata ”alima” (bahasa arab) yang berarti tahu, jadi ilmu
maupun science (sains) secara etimologis berarti pengetahuan. Science berasal dari kata scio, scire (bahasa latin) yang artinya tahu. Secara terminologis ilmu dan science punya pengertian yang sama yaitu pengetahuan yang memiliki ciri-ciri, menurut Ralfh Ross dan ernest Van Den Haag, bahwa ilmu itu empirical, rasional, yang umum dan bertimbun bersusun dan keempatnya serentak (H. Endang Saifuddin Anshari, 1979. Ilmu, Filsafat dan Agama: Hal. 45). The Liang Gie mengutip Paul Freedman dari buku The Principles of Scientific Research memberi batasan ilmu sebagai berikut : “ilmu adalah suatu bentuk aktiva
1
http://nafiuddinlatief.blogspot.com/ 6
manusia yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh suatu pengetahuan dan senantiasa lebih lengkap dan lebih cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian hari serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya pada dan mengubah lingkungannya serta mengubah sifat- sifat sendiri.” (Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A., 2004, Filsafat Ilmu : Hal 91). Prof. Drs Harsojo, Guru Besar Antropologi di Universitas Padjadjaran menerangkan bahwa ilmu adalah akumulasi pengetahuan yang sistematis, suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati, oleh pancaindra. Suatu cara menganalisa yang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proporsi bentuk (H. Endang Saifuddin Anshari, 1979. Ilmu, Filsafat dan Agama: Hal. 46). Ilmu atau sains juga dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang disusun secara sistematis, terorganisir dan konsisten dengan mempergunakan logika dan metode deduktif-hipotetik-verifikatif (John G. Kemeny) yang teruji kebenarannya secara empiris yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan manusia dalam menguasai dunia dan berguna bagi kemaslahatan hidupnya (Prof. DR. Slamet Ibrahim, 2008. Kajian Filosofis Ilmu Pengetahuan). Ilmu adalah sesuatu yang mengacu pada kemampuan rasional untuk
mengetahui. Ilmu adalah suatu bentuk ciptaan Tuhan. Orang tidak menciptakan ilmu, melainkan mengungkapkan, atau mencari ilmu. Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim (Mahdi Gulsyani, 1989:40). Ilmu adalah yang membedakan antara manusia dan hewan, dan tanpa ilmu (kebodohan), manusia akan sesat. Ilmu diperoleh manusia berdasarkan wahyu, dan sisanya dicari sendiri berdasarkan pada alat yang telah diciptakan Tuhan pada diri manusia, yaitu akal
atau rasio dan kalbu atau rasa (Herman Soewardi, Unpad
2004:109). Dalam pencarian ilmu ini manusia memperhatikan alam semesta di sekelilingnya dan dirinya sendiri. Ilmu sangat berkaitan erat dengan kebenaran. Kita percaya bahwa kebenaran mutlak diwahyukan Tuhan kepada manusia, sedangkan kebenaran yang dicapai manusia bersifat relatif. Kebenaran yang bersifat relatif ini dapat dibagi menjadi 2, yaitu: 1. Filsafat, bersifat “ spekulatif” 2. Ilmu atau sains, bersifat “ positif”. 7
Ilmu tidak cukup perenungan dan pencaman (pendalaman berfikir saja) melainkan mesti berkembang melalui pencerapan indraan dan pengindraan (sensasion ), pengumpulan dan perbandingan data, penilaian jumlah berupa perhitungan, penimbangan, pengukuran, meningkat dari data tentang hal-hal khusus pada yang khusus ( deduksi ), menarik kias analogi antara peristiwa yang ada kesamaannya serta berfikir dengan menarik kesimpulan yang logical, yang dapat dipertanggung jawabkan oleh logika. Pengujian berupa pengalaman positif (verification ) secara empiris, ujian ini disebut percobaan ( experiment ). Percobaan harus bersifat objektif yakni menghasilkan kesimpulan yang sama, meskipun dilakukan oleh berbagai kalangan. Praduga ( hipotesis) hanyalah titik tolak pertama yang mesti diubah dan diganti kalau ternyata ada kekurangannya atau salah. Berdasarkan ujian yang keras dari pengalaman, setelah dinyatakan kebenarannya yang obyektif barulah sesuatu itu disebut dalil ( proposition), kumpulan dalil itu disebut teori.
Sifat Ilmu
Ilmu memiliki sifat sebagai berikut: 1. Rasional
Proses pemikiran yang berlangsung dalam ilmu itu harus dan hanya tunduk pada hukum-hukum logika (masuk akal), analitis dan sesuai dengan hukum alam. 2. Empiris
Ilmu dikembangkan dari pengalaman indra manusia untuk memahami alam semesta dan kesimpulan yang didapat harus dapat diverifikasi oleh pancaindra manusia. 3. Sistematis
Fakta yang relevan itu harus disusun dalam suatu kesatuan yang konsisten 4. Umum
Baik objek kajian dan metodologinya harus dapat dipelajari oleh setiap orang, menjadi milik umum dan tidak bersifat esoterik . 5. Akumulatif
Ilmu-ilmu dikembangkan atas dasar ilmu-ilmu yang telah dikembangkan sebelumnya. Kebenaran yang diperoleh selalu dapat dijadikan dasar untuk memperoleh kebenaran yang baru. Karena sifat akumulatif inilah maka ilmu berkembang secara pesat. 8
6. Problem Solving Ilmu harus dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah, karena ilmu dijadikan sarana atau metode untuk memecahkan dan menjawab masalah manusia sehingga dapat mengembangkan diri, meningkatkan kualitas hidup dan mandiri. Sementara dalam perkembangannya ilmu modern, menurut Gerard deGre (1955), ilmu memiliki 8 sifat, yaitu: 1. Rationalism 2. Empirism 3. The Logico Experimental Method 4. Belief in The Rule of Law 5. Pragmatism 6. Wordly Ascetism 7. Skepticism 8. Individualism
2.3 Knowledge atau Pengetahuan Knowlege atau pengetahuan tidak sama pengertiannya dengan ilmu atau sains. Knowledge bersifat tidak ilmiah dan berhubungan dengan kepercayaan; reliabilitas dan
soliditas dari dunia eksternal yang kita ketahui melalui sense perception , bertalian dengan ingatan ( memory) dan pengenalan objek. Pencarian/penemuan knowledge adalah fungsi dari sains, sedangkan fungsi dari filsafat adalah klarifikasi dari penemuan-penemuan tersebut. Beberapa permasalahan yang timbul sehubungan dengan knowledge, yaitu: 1. External World 2. Persepsi dan memory 3. Analisis bahasa 4. Komunikasi Tentang external world , sejauh ini, atas pengaruh dari sains alamiah masalah external world hanya berkisar pada apa yang dapat diketahui ( knowability ) dari external world tersebut dalam rangka pengujian hipotesis-hipotesis.
Persepsi dan memory merupakan warisan dari empirisis. Persepsi , diyakini bahwa ada external world yang dihuni oleh objek-objek yang nyata baik alamiah maupun buatan sehingga yang menjadi masalah adalah bagaimana objek-objek itu dapat dipersepsi. Dalam hal ini dapat terjadi ilusi dan halusinasi . Sebuah
tongkat yang 9
menjadi bengkok ketika dicelupkan ke air tetap membingungkan meskipun kita sudah tahu (melalui ilmu fisika) kalau sebenarnya tongkat itu tidak menjadi bengkok. Bagaimanakah hubungan antara tampak bengkok dan tidak bengkok dari tongkat ini? Sementara memory atau ingatan telah membawa kita ke jalan buntu dalam memecahkan masalah terjadinya ingatan. Bagaimana kita percaya bahwa benar-benar itulah yang telah terjadi di masa lalu? Dan apa yang terjadi bila kita tidak bisa mengingatnya. Suatu masalah antara objek material dengan kata yang bertalian dengan objek material dimaksud menjadi masalah dalam analisis bahasa. Benarkah kita tahu tentang material objek setelah kita mengetahui kata yang bertalian dengannya? Sementara pada masalah komunikasi, kita dibingungkan dengan mana yang sebenarnya terjadi; berkomunikasi atau ber-miskomunikasi ? Sulit untuk kita terima dengan pasti bahwa seseorang itu mengerti tentang sesuatu yang dikomunikasikan atau ia itu sebenarnya salah mengerti? Dan, apakah yang sebenarnya dikomunikasikan itu, pengetahuan atau pengalaman?
2.4
Ontology : Realitas External World dan Internal World
Setiap manusia memang dapat berpikir tentang objek di luar dirinya ( external world). Karena sudah memiliki referensi terhadap objek-objek tersebut. Namun, bila
diandaikan bahwa kita tidak lain hanya seonggok otak dalam vas, dapatkah kita berpikir bahwa kita adalah subjek otak dalam vas? Dapatkah kita berfikir tentang objek-objek di luar diri kita? Sekaligus dipengaruhi oleh dunia luar? Pertanyaan serupa ini merupakan permasalahan klasik kaum skeptis yang tidak mengakui adanya eksternal world karena menurut mereka manusia benar-benar dipengaruhi oleh
pikirannya. Skeptisisme Descartes terhadap dunia luar berangkat dari anggapannya bahwa indera manusia selalu menipu, karena itu semua hal diragukan kecuali satu hal yaitu pikirannya sendiri yang sedang meragukan. Descartes meragukan dunia luar dan penginderaan, menganggap bahwa selalu sudah ada ide-ide bawaan sebagai sesuatu yang mendahului pengalaman konkret. Tanpa adanya kesadaran (jiwa atau mind ), manusia tidak lain hanya sebuah mesin otomatis yang digerakkan oleh demon. Dunia eksternal seakan-akan memberikan pengetahuan kepada manusia melalui bahasa, budaya, dan sosialisasi. Dimana hal-hal tersebut kemudian mampu mengendap dalam mind dan membentuk mental image di dalam pikiran manusia ( internal world ). 10
Pikiran manusia, yang telah terisi oleh berbagai referensi sebelumnya, selalu mampu menghubungkan satu hal dengan hal lainnya. Walaupun pada dasarnya, objek di luar dirinya tersebut tidak memiliki arti apapun, bahkan tidak pernah dikenal sebelumnya, pikiran manusia selalu akan menghubungkan dengan apa yang telah ia ketahui. Manusia, sebagai makhluk yang berkesadaran selalu mampu memaknai bendabenda di luar dirinya. Seakan ada keterpisahan antara mind dan realita, sehingga manusia dapat memaknai realita . Setiap realitas dapat dibingkai dan dikategorisasikan dengan perspektif tertentu. Dimana yang mengkategorikan tersebut adalah manusia. Tanpa ada manusia, realita yang terdiri dari kata dan gambar tidak dapat termaknai. Namun pemaknaan manusia terhadap realita juga datang dari pengetahuan yang didapat melalui pengalaman. Secara tidak langsung, pikiran manusia juga dipengaruhi oleh dunia luar. Ada proses yang terus berlanjut. Selalu ada pengalaman-pengalaman yang didapat yang kemudian membentuk mental image di dalam pikiran. Sehingga ketika mengalami pengalaman yang serupa, sudah ada intensi antara pikiran dengan objek yang dituju (realita). Oleh karena itulah manusia dapat memaknai realita. Karena itu, ada semacam intensi antara kata, gambar (sebagai sistem representasi) dengan pikiran manusia. Sebagai perbandingan, bayangkan ada sebuah planet yang mirip dengan bumi, dimana semua makhluk, tumbuhan, dan semuanya sangat identik dengan bumi. Hanya saja, zat kimia airnya berbeda, kalau di bumi H 2O, maka disana XYZ. Ketika, makhluk bumi pergi ke sana dan mengatakan “saya mau air”. Maka air yang dirujuknya ialah H2O. Namun ternyata, air yang diberikan kepadanya ialah air dengan zat kimia XYZ. Demikian pula ketika kembaran manusia tersebut datang ke bumi. Dia ingin air, maka air yang dimaksudkan ialah XYZ. Dari contoh di atas, tampak bahwa nyatanya bahasa yang kita ucapkan tidak selalu langsung merujuk pada apa yang kita pikirkan. Seperti terdapat perbedaan antara apa yang kita bahasakan dengan apa yang dimaksud dalam pikiran kita. Inilah yang membuat terkadang orang meragukan bahwa bahasa tidak selalu mengintensikan pikiran dengan objek yang dimaksud. Keduanya sama-sama menyebutkan air, tetapi air yang dimaksud ternyata berbeda. Dalam hal tersebut tampak ketidakinginan memihak di antara salah satu dari kedua keadaan tersebut. Namun, tetap saja terdapat posisi yang menolak hubungan antara representasi dengan referensinya. Kata yang kita ucapkan bisa saja sama, tetapi terdapat perbedaan misalnya ketika saya mengatakan kata yang saya ketahui dengan yang tidak saya ketahui. Kata yang 11
diucapkan juga tidak selalu merepresentasikan makna apapun. Atau bisa pula kata yang tidak secara langsung merujuk pada apapun, secara tidak sadar ucapan itu merujuk pada objek tertentu ( language exit ). Kata yang diucapkan, tidak selalu mengacu pada makna tertentu (external world). Tetapi pikiran manusia dengan mental imagenya seakan mampu mengaitkan
kata (gambar) tertentu dengan makna tertentu. Namun tidak selalu demikian, karena pengaitan mind dengan suatu kata tertentu berasal dari mental image meskipun ia belum mengenal sebelumnya tetapi secara magical thinking mental imagenya mengarah pada yang mirip. (seperti kata air, mental image kita langsung merujuk pada H2O, padahal yang dimaksud oleh manusia kembaran kita adalah XYZ.) Karena kata tidak selalu ada dalam mental representation (merepresentasikan referensinya).
12
BAB III KESIMPULAN
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologis mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Dalam kaitannya dengan kaidah moral atau nilai-nilai hidup, maka dalam menetapkan objek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan. Ontologi menjadi penting sebab, pertama, kesalahan suatu asumsi, akan melahirkan teori, metodologi keilmuan yang salah pula. Sebagai contoh, ilmu ekonomi dikembangkan atas dasar postulat bahwa “manusia adalah serigala bagi manusia lainnya”, dan asumsi bahwa hakikat manusia adalah “homo ekonomikus”, makhluk yang serakah (Sastra ratedja, 1988), maka asumsi ini akan mempengaruhi teori dan metode yang didasarkan atas keserakahan manusia tersebut. Padahal kebenaran asumsi tersebut secara ontologis masih diragukan. Kedua, ontology membantu ilmu untuk menyusun suatu pandangan dunia yang integral, komprehensif, dan koheren. Ilmu dengan ciri khasnya mengkaji hal-hal yang khusus untuk dikaji secara tuntas yang pada akhirnya diharapkan dapat memperoleh gambaran tentang objek telaahannya, namun pada kenyatannya kadang hasil temuan ilmiah berhenti pada simpulan-simpulan yang parsial dan terpisah-pisah. Ilmuwan dalam hal ini tidak mampu mengintegrasikan pengetahuan tersebut dengan pengetahuan lain. Ketiga, ontology membantu memberikan masukan informasi untuk mengatasi permasalahan yang tidak mampu dipecahkan oleh ilmu-ilmu khusus. Pembagian objek ilmu satu dengan lainnya kadang menimbulkan permasalahan, di antaranya ada kemungkinan ilmu bioetika itu masuk disiplin etika atau disiplin biologi. Kemungkinan lain adalah justru terbukanya bidang kajian yang sama sekali belum dikaji oleh ilmu apapun. Dalam hal ini ontology berfungsi membantu memetakan batas-batas kajian ilmu. Dengan demikian berkembanglah ilmu-ilmu yang dapat diketahui manusia itu dari tahun ke tahun atau dari abad ke abad. Hakekat asal ilmu (ontologi) berasal dari internal world dan external world. Internal world itu sendiri ilmu yang bersifat alamiah, bawaan dari manusia itu sendiri. Sedangkan external world ilmu yang berasal dari pengalaman empirik yakni berupa realita yang
berada di luar diri manusia (Bahasa, Sosial, dan Budaya). 13
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, Endang Saifuddin. 1979. Ilmu, Filsafat dan Agama , Bina Ilmu. Soewadi, Herman.2004. “ Roda Berputar Dunia Bergulir Kognisi Baru Tentang Timbul Tenggelamnya Sivilisasi ”.Bandung : Bakti Mandiri
http://nafiuddinlatief.blogspot.com/
14