TUGAS REVIEW Mata Kuliah Molecular Physiology and Pharmacology
Fisiologi Molekular Proses Remodeling Tulang
Oleh : dr. Tita Luthfia Sari NIM 116070100011034 Dosen Pembimbing : Dr. dr. Retty Ratnawati, M.Sc
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2015 PENDAHULUAN Tulang merupakan jaringan penyusun kerangka tubuh dengan ciri memiliki struktur yang keras, rigiditas, dan kemampuan untuk regenerasi dan repair. Tulang berfungsi sebagai penunjang otot, pelindung organ-organ vital seperti otak dan rongga toraks serta merupakan tempat sumsum tulang dimana terjadi proses pembentukan sel-sel darah. Tulang juga merupakan tempat penyimpanan kalsium, fosfor dan ion-ion lainnya yang dapat dilepaskan atau disimpan untuk mempertahankan kadar yang tetap dari ion-ion tersebut dalam cairan tubuh (Nakamura, 2007). Tulang akan mengalami suatu proses yang disebut dengan remodeling yang terjadi secara terus-menerus dengan tujuan agar tulang mampu beradaptasi dengan perubahan biomekanik, mengganti jaringan tulang yang lama atau yang mengalami kerusakan dengan sel-sel tulang baru, dengan demikian masa dan kekuatan tulang dapat dipertahankan (Rucci, 2008). Remodeling tulang merupakan satu proses aktif dan dinamik yang bergantung pada keseimbangan antara proses resorbsi tulang oleh osteoklas dan deposisi tulang oleh osteoblas. Lebih jauh lagi, dua buah fungsi ini haruslah seimbang baik
secara
kuantitatif
maupun
fungsinya
(Parra-Torres
et
al.,
2013).
Ketidakseimbangan proses remodeling inilah yang merupakan awal dari kondisi patologis pada tulang seperti pada osteoporosis. Beberapa faktor yang mempengaruhi proses remodeling tulang antara lain faktor genetik, beban mekanik, kondisi vaskular, nutrisi, dan hormon. Penelitian beberapa tahun terakhir ini menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara sistim imun dengan sistim skeletal dalam regulasi remodeling tulang baik melalui produksi sitokin serta pengaruh terhadap reseptor dan faktor transkripsi (Kini dan Nandeesh, 2012). Hingga saat ini masih terus diungkap mengenai faktor-faktor lain yang berkontribusi dalam proses remodeling tulang. Oleh karena itu makalah ini dibuat untuk memahami lebih lanjut mengenai berbagai mekanisme yang mendasari proses remodeling tulang dengan demikian
dapat dilakukan pendekatan target terapi dari beberapa penyakit
akibat kelainan proses remodeling tulang.
PEMBAHASAN Struktur dan Komponen Penyusun Tulang Jaringan
tulang
terdiri
atas
sel-sel
dan
matriks
organik
yang
termineralisasi. Sel-sel penyusun tulang antara lain sel osteoprogenitor, osteoblas, osteoklas, dan osteosit. Sedangkan matriks organik pada tulang terdiri dari 95% kolagen tipe I dan 5% sisanya disusun oleh proteoglikan seperti kondroitin sulfat dan asam hialuronat serta sejumlah protein non kolagen seperti osteonektin, osteokalsin (bone GLA-protein), osteopontin (bone sialoprotein I), bone sialoprotein II, growth factor (IGF-I dan II), transforming growth factor-β (TGF-β), dan bone morphogenetic protein (BMP). Selain itu bahan anorganik utama adalah garam kristal yang diendapkan di dalam matrik tulang terutama terdiri dari kalsium dan fosfat (Nakamura, 2007). Komponen Selular 1. Sel Osteoprogenitor Sel osteoprogenitor untuk osteoblas berasal dari sel mesenkim yang bersifat
multipoten
yang
dalam
mengikuti
satu
program
spesifik
dari
pengekspresian gen dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel spesifik pada jaringan berbeda termasuk osteoblas, khondrosit, fibroblast, myosit dan adiposit. Kontrol genetik proliferasi dan diferensiasi sel mesenkim menjadi osteoblas atau disebut dengan osteoblastogenesis digambarkan secara skematis pada gambar berikut:
Gambar Skematik Proses Osteoblastogenesis (Zuo et al., 2012) Osteoblastogenesis diawali oleh proses diferensiasi sel mesenkim menjadi osteo/khondro-progenitor oleh induksi BMPs dan jalur Wingless-int (Wnt10b) yang juga akan menghambat diferensiasi sel mesenkim menjadi
preadiposit. Hal ini disebabkan karena Wnt10b menekan faktor transkripsi adipogenik CCCAT enhancer binding protein α (C/EBPα) dan peroxisome proliferator-activated receptor γ (PPARγ) namun menginduksi faktor transkripsi Runt-related transcription factor 2 (Runx2), distal-less homeobox 5 (Dlx5), Osterix (Osx), dan β-catenin yang akan mengarahkan diferensiasi menjadi pre osteoblas. Preosteoblas akan memproduksi Alkaline Phosphatase (ALP), reseptor tipe I parathyroid hormone related peptide (PTHrP), dan kolagen tipe I. ALP merupakan satu di antara penanda fenotip osteoblas yang paling awal. Selanjutnya preosteoblas akan berubah menjadi osteoblas matur dan aktif mensekresi ALP, protein matriks tulang kolagen tipe I serta protein non-kolagen meliputi osteokalsin, osteopontin, osteonektin dan bone sialoprotein II (BSPII) (Zuo et al., 2012). Sedangkan sel osteoklas berasal dari haematopoietic stem cells yang terjadi melalui suatu proses yang disebut osteoklastogenesis. Stimulasi macrophage colony-stimulating factor (M-CSF) akan mengubah sel prekursor myeloid menjadi prekursor osteoklas yang akan mengekspresikan RANK (Receptor activator of NF-κB) dan reseptor TREM2 (Triggering receptor expressed by myeloid cells-2). Dengan adanya stimulasi RANK ligand (RANKL) serta aktivasi ITAM (Immunoreceptor tyrosine-based activation motif) prekursor osteoklas akan berdiferensiasi lebih lanjut menjadi osteoklas mononuklear dan akan menginduksi aktivasi NFATc1 (Nuclear factor of activated T cells, cytoplasmic 1) dan ekspresi beberapa gen seperti TNF-receptor associated protein (TRAP), cathepsin K (CtsK) dan αvβ3. Sel osteoklas mononuklear kemudian mengalami fusi menjadi sel osteoklas multinuklear dan menjalankan fungsi sebagai sel yang aktif meresorbsi. (Niroshani et al., 2012)
Gambar Skematik Proses Osteoklastogenesis (Niroshani et al., 2012)
2. Sel Osteoblas Osteoblas adalah sel mononuklear yang berasal dari sel mesenkim yang mensintesis protein matriks tulang kolagen dan non-kolagen. Osteoblas berfungsi mensintesis komponen organik dari matriks tulang
(kolagen tipe I,
proteglikan, glikoprotein) dan mengendapkan unsur organik matriks yang disebut dengan osteoid. Osteoid selanjutnya akan mengalami mineralisasi menjadi tulang. Osteoblas juga menghasilkan enzim alkali fosfatase yang bekerja dalam memecah
ikatan
fosfat
yang
berkontribusi
dalam
proses
inisiasi
dan
pertumbuhan dari kristal mineral tulang. Selain itu, osteoblas sebagai sel sekretori yang aktif secara metabolik, menghasilkan sejumlah protein seperti osteokalsin, osteopontin, osteonektin, bone sialoprotein II (BSPII), serta kolagen tipe I (Patricia dan Michael, 2006). 3. Sel Osteoklas Osteoklas merupakan sel multinuklear dengan ukuran yang besar dan terdapat disepanjang tulang tempat terjadinya resorbsi dan remodeling tulang. Osteoklas berasal dari prekrusor makrofag. Selama proses resorpsi osteoklas memproduksi beberapa enzim lisosom yaitu tartrate-resistant acid phosphatase (TRAP), cathepsin K dan kolagenase yang bekerja dalam degradasi matriks tulang. Selain itu, osteoklas juga mensekresi enzim carbonic anhydrase yang akan menurunkan pH dan selanjutnya melarutkan matriks tulang (Patricia dan Michael, 2006). 4. Sel Osteosit Osteoid merupakan sel tulang yang sebenarnya dan pembentuk komponen selular utama pada tulang. Selama proses pembentukan tulang, osteoblas akan terkubur di dalam matriks tulang atau di dalam lakuna menjadi osteosit. Osteosit berperan dalam homeostasis kalsium pada cairan tubuh, sebagai reseptor beban mekanik yang menghantarkan informasi ke sel lain di dalam tulang, serta mempertahankan matriks dan viabilitas tulang. Sistem jaringan komunikasi antar osteosit, maupun dengan osteoblas atau osteoklas terjadi melalui proses sitoplasmik yang berupa kanalikuli dan juga interaksi melalui gap junction. Osteosit pada waktu tertentu akan mati dan diikuti dengan proses resorbsi dari matrik tulang (Baron, 2006).
Komponen Matriks Senyawa organik utama penyusun matriks tulang adalah kolagen tipe I yang merupakan 90-95% bahan organik utama sedang sisanya adalah matriks homogen lain yang disebut subtansi dasar. Subtansi dasar terdiri atas cairan ekstraseluler yang mengandung protein proteoglikan khususnya kondroitin sulfat dan asam hialuronat. Subtansi dasar juga mengandung protein non kolagen dan beberapa protein tersebut sangat spesifik pada tulang. Protein non kolagen tersebut antara lain: osteonektin, osteokalsin (bone GLA-protein), osteopontin (bone sialoprotein I) dan bone sialoprotein II, growth faktor (IGF-I dan II), TGF-β, BMP. Sedang bahan anorganik utama adalah garam kristal yang diendapkan di dalam matrik tulang terutama terdiri dari kalsium dan fosfat. (Nakamura, 2007).
Interaksi Antara Osteoblas dan Osteoklas Interaksi antara osteoblas dan osteoklas terjadi dalam proses diferensiasi turunan sel monosit menjadi sel osteoklas matur. Proses ini memerlukan suatu tumor necrosis factor related factor yang disebut dengan Receptor Activator of Nuclear Factor Kappa-B Ligand (RANK-L). RANK-L merupakan salah satu famili dari TNF yang disebut juga OPG-L (Osteoprotegerin Ligand) atau TRANCE (TNF-Releted Activation Induced Cytokine) atau juga ODF (Osteoclast Diferentiation Factors) yang memiliki suatu reseptor RANK (Receptor Activator of Nuclear Factor Kappa-B), dimana reseptor ini merupakan kunci dari pengaturan remodeling tulang dan sangat esensial dalam perkembangan dan aktivasi dari osteoklas. Dalam implikasinya RANK-L merangsang terjadinya fusi dari sel prekursor yang mononukler menjadi sel multinukler, kemudian memacu diferensiasi menjadi sel osteoklas matur, adhesi pada permukaan tulang, dan menginduksi aktivitas resorbsi tulang, dan bahkan lebih lanjut mampu mempertahankan kehidupan osteoklas dengan cara memperlambat terjadinya apoptosis (Weitzmann, 2013). RANK-L diekspresikan paling banyak oleh sel osteoblas dan sel lapisan mesenkim. Selain itu RANK-L juga diekspresi oleh sel periosteal, kondrosit, sel endotelial, dan juga oleh sel T aktif. Selanjutnya RANK-L akan berikatan dengan RANK pada permukaan sel progenitor osteoklas untuk merangsang diferensiasi
sel tersebut. Di samping itu, sel stroma osteoblas juga mensekresi suatu substansi yang solubel yang berfungsi sebagai reseptor dan dapat juga mengikat RANK-L yang disebut OPG (Osteoprotegerin). OPG ini dapat beraksi sangat poten sebagai penghambat pembentukan osteoklas dengan cara berikatan dengan RANK-L, sehingga mencegah interaksi antara RANK-L dengan RANK pada progenitor osteoklas (Neve et al., 2010). Berikut ini gambar skematis peran RANK-RANKL dan OPG dalam regulasi proses resorbsi tulang.
Gambar Peran RANK-RANK-L dan OPG dalam Regulasi Resorbsi Tulang (Weitzmann, 2013)
Proses Remodeling Tulang Remodeling tulang adalah proses yang terjadi secara kontinu dimana tulang lama akan diresorbsi dan tulang baru akan dibentuk (osifikasi atau formasi). Proses remodeling juga mengontrol pembentukan kembali atau penggantian tulang selama pertumbuhan tulang, proses penyembuhan patah tulang, dan kerusakan mikro yang terjadi selama aktivitas. Remodeling juga merupakan respon fungsional akibat beban mekanis. Proses ini penting dalam
menjaga integritas struktural dari tulang dan untuk homeostasis fungsi metabolisme mineral. Dalam remodeling tulang terjadi proses resorpsi tulang dan pembentukan tulang yang berlangsung secara terkoordinasi dan seimbang. Remodeling tulang melibatkan serangkaian langkah-langkah yang sangat diregulasi dan tergantung pada interaksi aktivitas osteoblas dan osteoklas (Kini dan Nandesh, 2012). Proses remodeling tulang merupakan suatu siklus yang meliputi beberapa tahapan yang dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar Tahapan Proses Remodeling Tulang (Kini dan Nandesh, 2012) Berikut ini penjelasan dari masing-masing tahap yang terjadi pada proses remodeling tulang (Rucci, 2008): a. Quiscent Phase Merupakan keadaan/fase tulang saat istirahat. Faktor-faktor yang menginisiasi proses remodeling hingga saat ini belum diketahui. b. Activation Phase
Tahap dimana terjadi interaksi antara prekusor osteoblas dan osteoklas, kemudian terjadi proses diferensiasi, migrasi, dan fusi osteoklas multinuklear dan osteoklas yang terbentuk akan melekat pada permukaan matrik tulang dan akan dimulai tahap berikutnya yaitu tahap resorpsi. Tahap pertama fase aktivasi adalah perekrutan dan aktivasi mononuklear monosit-makrofag osteoklas prekursor dari sirkulasi, sehingga interaksi osteoklas dan sel-sel prekursor osteoblas. Hal ini menyebabkan diferensiasi, migrasi, dan fusi osteoklas berinti besar. Osteoklas menempel pada permukaan tulang termineralisasi dan memulai resorpsi oleh sekresi ion hidrogen dan enzim lisosom, terutama cathepsin K, yang dapat menurunkan semua komponen matriks tulang, termasuk kolagen, pada pH rendah. c. Resorption Phase Merupakan tahap dimana osteoklas mensekresi ion hidrogen dan enzim lisosom terutama cathepsin K yang akan mendegradasi seluruh komponen matriks tulang termasuk kolagen. Setelah terjadi resorpsi maka osteoklas akan membentuk lekukan atau cekungan tidak teratur yang biasa disebut lakuna howship pada tulang trabekular dan saluran haversian pada tulang kortikal. Resorpsi tulang yang dimediasi oleh osteoklas hanya memakan waktu sekitar 24 minggu selama setiap siklus remodeling. d. Reversal Phase Pada akhir proses resorpsi tulang, pada rongga hasil resorbsi akan dipenuhi oleh mononuklear sel, termasuk monosit, osteosit yang dilepaskan dari matriks tulang, dan preosteoblas yang direkrut untuk memulai pembentukan tulang baru. Sinyal kopling yang menghubungkan antara resorpsi ke awal pembentukan tulang antara lain termasuk sinyal yang berasal dari matriks tulang faktor seperti TGF-β, IGF-1, IGF-2, BMP, PDGF, atau FGF. e. Formation Phase Setelah osteoklas melakukan resorbsi tulang dan membentuk suatu rongga resobsi, osteoklas akan melepaskan diri dari permukaan tulang dan digantikan oleh prekursor osteoblas yang pada gilirannya memulai pembentukan tulang. Preosteoblas mensintesis substansi matriks dan mensekresi BMP yang bertanggung jawab untuk diferensiasi. Beberapa hari kemudian osteoblas yang telah berdiferensiasi akan mensintesis matriks osteoid yang akan mengisi rongga
resorbsi. Osteoblas yang tersisa akan terus mensintesis tulang sampai pada akhirnya berhenti dan berubah menjadi lapisan sel quiscent yang benar-benar menutupi permukaan tulang yang baru terbentuk dan terhubung dengan osteosit melalui jaringan kanalikuli. f. Mineralisation Phase Proses mineralisasi dimulai 30 hari setelah pengendapan osteoid, berakhir 90 hari pada tulang trabekular dan pada 130 hari pada tulang kortikal. Selanjutnya fase quiscent akan dimulai lagi.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Remodeling Tulang Keseimbangan
antara
proses
resorbsi
dan
pembentukan
tulang
dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut: genetik, mekanik, vaskular, nutrisi, hormonal dan faktor lokal. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari sistemik maupun dihasilkan lokal pada jaringan tulang (Parra-Torres et al., 2013). Regulasi Sistemik Remodeling Tulang 1. Faktor Genetik Faktor genetik penting dalam menentukan massa tulang, karena antara 60 dan 80% dari massa tulang ini ditentukan secara genetik. Hal ini menjelaskan bahwa orang Negro memiliki massa tulang yang lebih besar dari orang Asia. Massa tulang merupakan karakteristik yang diturunkan dari orang tua untuk anak-anak, hal ini mengapa anak-anak perempuan dari ibu dengan osteoporosis lebih cenderung untuk memiliki kondisi osteoporosis dini (Kini dan Nandesh, 2012). 2. Faktor Mekanik Proses remodeling diatur oleh beban mekanis, hal ini memungkinkan struktur tulang untuk beradaptasi dalam menanggapi beban mekanik. Aktivitas fisik disebutkan merupakan stimulus penting dalam proses remodeling tulang. Hal ini dikarenakan otot akan mengirimkan sinyal ketegangan pada tulang, yang akan terdeteksi oleh osteosit dalam matris tulang untuk selanjutnya menginduksi proses formasi tulang. Sebaliknya, tidak adanya aktivitas otot, istirahat, beban yang berlebihan pada tulang akan mempercepat proses resorpsi. Stres mekanik ini juga akan meningkatkan kekuatan tulang dengan mempengaruhi keselarasan
kolagen dalam pembentukan tulang baru. Jaringan tulang kortikal yang terletak di daerah yang sering mengalami tegangan atau tarikan memiliki persentase yang lebih banyak serat-serat kolagen yang sejajar sepanjang sumbu tulang panjang. Sedangkan di daerah yang dominan mengalami tekanan, serat-serat kolagen tersusun sejajar melintang dengan sumbu panjang (Salter dan Lee, 2010). Beban mekanik pada tulang akan menimbulkan stres mekanik dan strain atau resultant tissue deformation yang akan menginduksi adaptasi mekanik tulang, yaitu proses seluler di mana sistem biologis tulang mampu mengenali informasi beban mekanik yang terjadi pada tulang untuk selanjutnya dilakukan respon tulang. Informasi pembebanan ditangkap oleh sel osteosit sebagai sel mekanoreseptor kemudian dikomunikasikan ke sel efektor yaitu osteoblas dan osteoklas, yang akan meningkatkan aktivitas pembentukan tulang baru pada permukaan periosteal dan menurunkan aktivitas resorbsi. Osteosit juga mempunyai kemampuan mendeteksi perubahan aliran cairan interstisial dalam kanalikuli yang dihasilkan akibat pembebanan mekanik, deteksi perubahan kadar hormon dan perubahan kandungan mineral. Dengan demikian adanya beban mekanik dapat memperbaiki ukuran, bentuk, dan kekuatan jaringan tulang dengan memperbaiki densitas jaringan tulang dan arsitektur tulang tersebut (Kini dan Nandesh, 2012). 3. Nuro-Vaskular Vaskularisasi merupakan hal yang fundamental untuk perkembangan tulang, yaitu sebagai pemasuk sel-sel darah, oksigen, mineral, ion, glukosa, hormon, dan faktor pertumbuhan. Vaskularisasi merupakan tahap pertama ossifi kasi yang mana pembuluh darah akan menginvasi tulang rawan dan kemudian menghasilkan proses resorpsi melalui osteoklas berasal dari pembuluh darah di sekitarnya. Hal tersebut juga terjadi pada proses penyembuhan fraktur atau regenerasi tulang (Parra-Torres et al., 2013). Persarafan diperlukan untuk pertumbuhan tulang secara fisiologi. Tulang dipersarafi oleh sistem saraf otonom dan serabut saraf sensoris. Serat-serat otonom berada di dalam periosteum, endosteum, dan korteks tulang. Serabut saraf tersebut berhubungan dengan pembuluh darah pada kanalis Volkmann dan juga neuropeptida dan reseptor dalam tulang. Salah satu contoh pentingnya inervasi pada fisiologi tulang adalah ditemukannya kejadian osteopenia dan
fragilitas tulang pada pasien dengan gangguan neurologis (Parra-Torres et al., 2013). 4. Faktor Nutrisi dan Metabolik Salah satu nutrisi yang berperan penting dalam remodeling tulang adalah kalsium. Jumlah minimum kalsium diperlukan untuk proses mineralisasi, dengan kadar yang disarankan adalah 1.200 mg / hari untuk usia 25 tahun, tidak kurang dari 1 g / hari untuk usia 25-45 tahun, dan pada usia menopause setidaknya 1.500 mg/hari. Selain itu juga diketahui bahwa kebiasaan seperti merokok, kafein, alkohol, dan kelebihan garam merupakan faktor risiko terjadinya osteopenia (Kini dan Nandeesh, 2012). Selain itu, faktor metabolik yaitu homositein disebutkan merupakan faktor resiko terjadinya penurunan masa tulang pada wanita postmenopause (Gjesdal et al., 2006). Penelitian lain juga membuktikan bahwa tingginya kadar homositein dan rendahnya kadar asam folat berhubungan dengan penurunan densitas masa tulang (Baines et al., 2007). Elshorbagy et al. (2009) melaporkan bahwa penurunan kadar vitamin B12 dan folat berkontribusi terhadap peningkatan aktivitas osteoklas yang ditandai dengan tingginya kadar petanda biokimia resorbsi tulang (Elshorbagy et al., 2009). 5. Faktor Hormonal Beberapa hormon yang penting dalam proses remodeling tulang antara lain hormon tiroid, paratiroid, calcitonin, 1,25 (OH) 2 Vitamin D, androgen, estrogen, progesteron, insulin, dan glukokortikoid. Berikut ini rangkuman beberapa pengaruh hormon terhadap proses resorbsi dan formasi tulang (Kini dan Nandeesh, 2012): Tabel Efek Beberapa Hormon pada Proses Remodeling Tulang Decrease Bone Resorbtion - Calcitonin - Estrogen
Increase Bone Resorbtion - PTH - Glucocorticoid - Hormon tiroid
Increase Bone Formation - Faktor pertumbuhan - Vitamin D - Androgen - Insulin - Progesteron
Decrease Bone Formation - Glucocorticoid
Estrogen Estrogen merupakan hormon steroid yang memegang peran penting dalam metabolisme tulang. Estrogen mempengaruhi aktivitas sel osteoblas maupun osteoklas, termasuk menjaga keseimbangan kerja dari kedua sel tersebut melalui pengaturan produksi faktor parakrin-parakrin utamanya oleh sel osteoblas (Khajuria et al., 2011). Dalam keadaan normal, estrogen dalam sirkulasi akan mencapai sel osteoblas, dan beraktivitas melalui reseptor yang terdapat di dalam sitosol sel tersebut. Efek biologis dari estrogen diperantarai oleh reseptor yang dimiliki oleh sel osteoblastik diantaranya: estrogen receptorrelated receptor α (ERRα), reseptor estrogen α, β (ERα, ERβ). Sub tipe reseptor inilah yang melakukan pengaturan homeostasis tulang dan berperan akan terjadinya osteoporosis. Dalam sebuah studi didapatkan bahwa kemampuan estrogen mengatur produksi sitokin sangat bervariasi dari masing-masing organ maupun masing-masing spesies (Simon, 2007). Estrogen berpengaruh pada sel osteoblas dengan cara menghambat sekresi sitokin IL-1, IL-6 dan TNF-α yang merupakan sitokin yang berfungsi dalam proses resorbsi tulang. Selain itu, estrogen juga menyebabkan penurunan produksi M-CSF dan RANK-L oleh sel osteoblas. M-CSF dan RANK-L merupakan faktor penginduksi diferensiasi sel osteoklas. Di lain pihak estrogen juga meningkatkan ekspresi Transforming Growth Factor Betha (TGF-β), yaitu suatu faktor pertumbuhan yang merupakan mediator untuk menarik sel osteoblas ke tempat dimana tulang diresorbsi oleh sel osteoklas, dan juga OPG yang merupakan ligan dari RANK yang dapat menghambat interaksi RANK dan RANK-L. Sel osteoblas merupakan sel target utama dari estrogen, untuk melepaskan beberapa faktor pertumbuhan dan sitokin seperti tersebut diatas (Khajuria et al., 2011). Pada sel osteoklas, defisiensi estrogen akan menyebabkan terjadinya peningkatan osteoklastogenesis dan berlanjut dengan penurunan masa tulang. Estrogen memiliki pengaruh secara tidak langsung maupun secara langsung terhadap sel osteoklas. Secara tidak langsung, estrogen mempengaruhi proses deferensiasi, aktivasi, maupun apoptosi dari osteoklas. Dalam deferensiasi dan aktivasinya, estrogen menekan ekspresi RANK-L dan MCSF dari sel stroma osteoblas, dan mencegah terjadinya ikatan kompleks antara RANK-L dan RANK, dengan memproduksi reseptor OPG, yang berkompetisi dengan RANK (Khajuria
et al., 2011). Begitu juga secara tidak langsung estrogen menghambat produksi sitokin-sitokin yang merangsang diferensiasi osteoklas seperti: IL-6, IL-1, TNF-a, IL-11 dan IL-7.18 Terhadap apoptosis sel osteoklas, secara tidak langsung estrogen merangsang osteoblas untuk memproduksi TGF-β, yang selanjutnya TGF-β ini menginduksi sel osteoklas untuk lebih cepat mengalami apoptosis (Simon, 2007). Sedangkan efek langsung dari estrogen terhadap osteoklas adalah melalui reseptor estrogen pada sel osteoklas, yaitu menekan aktivasi cJun, sehingga mencegah terjadinya diferensiasi sel prekursor osteoklas menjadi osteoklas matur serta menekan aktivasi dari sel osteoklas matur (Khajuria et al., 2011). Hormon Paratiroid dan Vitamin D Proses deposisi mineral tulang memerlukan konsentrasi kalsium dalam jumlah yang optimal yang tergantung pada ketersediaan kalsium di dalam darah. Keseimbangan metabolisme kalsium diatur oleh tiga faktor, yaitu: hormon paratiroid, vitamin D, dan kalsitonin. Hormon paratiroid bekerja apabila kadar kalsium dalam darah rendah. Hormon paratiroid akan berikatan dengan reseptor membran sel organ target, yaitu di ginjal dan tulang. Interaksi hormon paratiroid dengan reseptor nya akan menyebbakan peningkatan reabsorbsi kalsium pada tubulus distal ginjal dn juga pada tulang. Akibatnya kadar kalsium di dalam tulang berkurang dan berakibat pada gangguan pada proses mineralisasi tulang. Hormon paratiroid juga bekerja langsung pada osteoblast melalui RANKL sehingga akan meningkatkan proses degradasi tulang. Hormon paratiroid juga menstimulasi hidroksilasi 25-OH-vitamin D3 menjadi bentuk aktifnya (kalsitriol). Efek kalsitonin terhadap kalsium berlawanan dengan efek hormon paratiroid. Kalsitonin menginhibisi aktivitas osteoklast, mengurangi resorpsi tulang, dan meningkatkan ekskresi kalsium melalui ginjal, jadi fungsi kalsitonin menurunkan kadar kalsium darah (Jones dan Penninger, 2007). Selain itu, kadar kalsium ini juga dipengaruhi oleh vitamin D. Sumber vitamin D utama manusia adalah sinar matahari dan diet. Sinar ultraviolet B (290315 nm) yang diabsorbsi kulit, akan mengubah 7-dehidrokolesterol menjadi previtamin D3 yang tidak stabil dan cepat diubah menjadi vitamin D3 (kolekalsiferol). Vitamin D3 kemudian keluar dari sel kulit, masuk ke pembuluh kapiler kulit, dan diikat oleh vitamin D binding protein (DBP). Selain itu, vitamin D yang ada dalam makanan akan diabsorbsi di usus halus dan dengan bantuan
asam empedu, diubah menjadi vitamin D2 (ergokalsiferol). Vitamin D3 masuk ke pembuluh limfe setelah diabsorbsi untuk kemudian masuk ke sirkulasi dan berikatan dengan DBP dan lipoprotein. Vitamin D3 kemudian dimetabolisme di hati oleh calciol-25-hydroxylase menjadi pre-hormon 25-OH D3 (kalsidiol) yang masuk ke dalam darah dan di sirkulasi berikatan dengan DBP (Cohen, 2011). Bentuk 25-OH D3 memiliki waktu paruh dua minggu dan kadarnya mencerminkan kadar vitamin D secara keseluruhan, kadar normal 15-50 ng/mL. Konsentrasi kurang dari 25 ng/mL menyebabkan peningkatan hormon paratiroid dan resorpsi tulang. Pre-hormon 25-OH D3 dilepas dari ikatannya dengan DBP di ginjal, berikatan dengan megalin sel tubulus, masuk ke dalam sel tubulus dan mengalami hidroksilase di mitokondria. Calcidiol-1-hydroxylase menghasilkan bentuk aktif vitamin D yaitu 1,25-dihidroksi D3 (kalsitriol) sedangkan calcidiol- 24hydroxylase menghasilkan bentuk tidak aktif yaitu 24,25-dihidroksi vitamin D (24hidroksikalsidiol). Kalsitriol menjalankan fungsinya dengan berikatan dengan vitamin D receptor (VDR) di usus halus. Kompleks kalsitriol-VDR berikatan lagi dengan retinoic acid X receptor (RXR) di nukleus dan kompleks kalsitriol-VDRRXR ini kemudian berikatan dengan vitamin D responsive element (VDRE) kalsium epitel (Cohen, 2011). Fungsi utama vitamin D adalah sebagai pengatur keseimbangan kadar kalsium dengan mengatur absorbsi kalsium di usus halus, interaksi dengan hormon paratiroid sehingga mobilisasi kalsium dari tulang meningkat, dan mengurangi ekskresi kalsium melalui ginjal. Bukti nyata efektivitas vitamin D meningkatkan mineralisasi belum terbukti walaupun defisiensi vitamin D sering menyebabkan defisit nyata mineral tulang. Deposisi mineral tulang normal memerlukan
konsentrasi
kalsium
dan
fosfat
optimal
yang
tergantung
keadekuatan absorbsi kalsium. Osteoblast adalah satu-satunya komponen sel tulang yang mengandung reseptor kalsitriol. Ikatan kalsitriol dengan osteoblast menginduksi pelepasan osteokalsin, protein yang mengandung residu asam karboksiglutamat dan IL-1 yang meningkatkan proses resorpsi. Efek vitamin D pada metabolisme kalsium di ginjal adalah sebaliknya, yaitu meningkatkan reabsorbsi kalsium oleh sel tubulus (Laird et al., 2010). Defisiensi vitamin D menyebabkan absorbsi dan reabsorbsi kalsium dan fosfat tidak adekuat sehingga terjadi penurunan konsentrasi kalsium plasma. Penurunan konsentrasi kalsium plasma menyebabkan peningkatan sekresi hormon paratiroid yang
bertujuan mengembalikan konsentrasi kalsium plasma tetapi dengan resorpsi dari tulang. Kadar fosfat sendiri akan tetap di bawah normal karena hormone paratiroid justru akan menyebabkan ekskresi fosfat melalui urin sehingga tidak terjadi mineralisasi tulang baru dan matriks kartilago yang menyebabkan tulang menjadi rapuh (Setyorini, 2009). Regulasi Lokal Remodeling Tulang Faktor Pertumbuhan Beberapa polipeptida yang dihasilkan baik oleh tulang itu sendiri maupun oleh jaringan ektra oseus lain dapat bekerja sebgaai modulator fungsi selular, pertumbuhan, diferensiasi, dan proliferasi dari sel-sel tulang. Diantaranya adalah IGF-I dan II, TGF-β, BMP, PDGF, FGF, EGF, VEGF, GM-CSF, M-CSF, dan TNF(Kini dan Nandeesh, 2012). Sitokin Sitokin yang dihasilkan oleh monosit atau limfosit memiliki peran penting dalam proses remodeling tulang. Beberapa sitokin pro-inflamasi seperti kelompok Interleukin (IL-1, IL-6, IL-8, IL-11, IL-17), Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α), Granulocyte Macrophage-Colony Stimulating Factor (GM-CSF), dan Macrophage-Colony Stimulating Factor (M-CSF) dibuktikan memiliki sifat osteoklastogenik. Sedangkan IL-4, IL-10, IL-13, IL-18, dan interferon-γ (IFN-γ) merupakan sitokin yang memiliki sifat anti-osteoklastogenik. Selain itu, terdapat juga beberapa sitokin proinflamasi inflamasi, seperti IL-7, IL-12, IL-23, IL-6 dan TGF-β juga yang memiliki sifat ganda baik osteoklastogenik dan antiosteoklastogenik tergantung pada tahap mana sitokin tersebut bekerja dalam proses diferensiasi osteoklas (Zupan et al., 2012). Sitokin-sitokin tersebut bekerja baik
secara
langsung
maupun
secara
tidak
langsung
melalui
sistem
RANK/RANKL/OPG dalam proses osteoklastogenesis (Lacativa, 2010). Berikut ini tabel rangkuman beberapa efek faktor pertumbuhan dan sitokin dalam proses remodeling tulang.
KESIMPULAN Tulang merupakan jaringan yang secara aktif dan dinamik mengalami proses remodeling untuk menjaga integritas struktural tulang. Dalam remodeling tulang terjadi keseimbangan antara proses resorpsi dan pembentukan tulang yang
berlangsung
secara
terkoordinasi.
Remodeling
tulang
melibatkan
serangkaian tahapan yang sangat diregulasi dan tergantung pada interaksi antara aktivitas osteoblas dan osteoklas. Beberapa faktor yang mempengaruhi proses remodeling tulang antara lain faktor genetik, mekanik, vaskular, nutrisi, hormonal, sitokin, dan faktor pertumbuhan. Dengan mengetahui berbagai mekanisme yang mendasari proses remodeling tulang diharapakn ke depannya dapat dilakukan pendekatan terapi dari beberapa penyakit akibat kelainan proses remodeling tulang.
DAFTAR PUSTAKA Baines M., Kredan, J. Usher, A. Davison, G. Higgins, W. Taylor, C. West, W.D. Fraser, L.R. Ranganath. 2007. The association of homocysteine and its determinants MTHFR genotype, folate, vitamin B12 and vitamin B6 with bone mineral density in postmenopausal British women. Bone, vol. 40, page 730–736. Elshorbagy A. K., Clara Gram Gjesdal, Eha Nurk, Grethe S. Tell, Per M. Ueland, Ottar Nyard, Aage Tverdal, Stein E. Vollset, A. David Smith, Helga Refsum. 2009. Cysteine, homocysteine and bone mineral density: A role for body composition. Bone. 44: 954–958. Cohen, M. M. 2011. The New Bone Biology: Pathologic, Molecular, and Clinical Correlates. American Journal of Medical Genetics.14: 2646–2706. Cullinane, D. M. 2002. The role of osteocytes in bone regulation: Mineral homeostasis versus mechanoreception. J Musculoskel Neuron Interact. 2(3): 242-244. Gjesdal, C. G., Stein E.V., Per M.U., Helga R., Christian A.D., Hakon K.G., Grethe S.T. 2006. Plasma Total Homocysteine Level and Bone Mineral Density. Arch Untern Med. 166(9): 88-95. Jones D. H. dan Penniger Y. 2007. Role of RANKL and RANK in bone loss and arthritis. Annals of the Rheumatic Diseases. 61: 32–39. Khajuria, D.K., Rema R., Roy M. 2011. Drugs for the management of osteoporosis: a review. Rev Bras Reumatol. 51(4): 365-382.
Kini U. dan Nandeesh, B.N. 2012. Physiology of Bone Formation, Remodeling, and Metabolism. Radionuclide and Hybrid Bone Imaging. Chapter 2, pp 29-57. Lacativa, P. G. dan Farias M. L. 2010. Osteoporosis and Inflammation. Arq Bras Endocrinol Metab. 54(2): 123-133. Laird, E., Mary W., Emeir M.S., J.J. Strain, dan Julie W. 2010. Vitamin D and Bone Health; Potential Mechanisms. Nutrients. 2: 693-724. Nakamura H. 2007. Morphology, Function, and Differentiation of Bone Cells. Journal of Hard Tissue Biology. 16(1): 15-22. Neve, A., Corrado, A., Cantatore, P. R. 2010. Osteoblast physiology in normal and pathological conditions. Cell Tissue Res. 10(86): 1-13. Niroshani S. S., Neil Alles, Kazuhiro Aoki, Keiichi Ohya. 2012. Osteoclast formation and differentiation: An overview. J Med Dent Sci. 59: 65-74. Parra-Torres, A. Y., Margarita V., Lorena O., dan Rafael V. 2013. Molecular Aspects of Bone Remodeling. InTech Journal. 1(10): 72-90. Patricia A. D dan Michael I. S. 2006. Bone Biology and the Clinical Implications for Osteoporosis. Physical Therapy. 86: 77-91. Rucci N. 2008. Molecular biology of bone remodelling. Clinical Cases in Mineral and Bone Metabolism. 5(1): 49-56. Salter D. M. dan Lee H. 2010. Mechanical Signalling in Osteoarticular Tissues. Journal of Medical Science. 30(4): 141-147. Setyorini A., IKG Suandi, I Gst Lanang Sidiartha, Wayan Bikin Suryawan. 2009. Pencegahan Osteoporosis dengan Suplementasi Kalsium dan Vitamin D pada Penggunaan Kortikosteroid Jangka Panjang. Sari Pediatri. 11(1): 3238. Simon, L. S. 2007. Osteoporosis. Rheumatic Disease Clinics of North America. 33: 149–176. Weitzmann, M. N. 2013. The Role of Inflammatory Cytokines, the RANKL/OPG Axis, and the Immunoskeletal Interface in Physiological Bone Turnover and Osteoporosis. Scientifica. 12: 1- 29 Zuo C., Huang Y., Bajis R., Sahih M., Li Y.P., Dai K., Zhang X. 2012. Osteoblastogenesis regulation signals in bone remodeling. Osteoporos Int. 23(6): 1653-63. Zupan, J., Matjaž J., Janja M. 2013. Osteoimmunology and the infl uence of proinfl ammatory cytokines on osteoclasts. Biochemia Medica. 23(1): 43–63.