----, Pengantar: Menjawab Tantangan di Dunia Pendidikan dalam ISLAMIA, Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam, Vol. IX, No. 1, 2014, hlm. 3.
Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 51.
Hujair Sanaky, Paradigma Pembaruan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Kaukaba Dirgantara, 2015), hlm. 28.
Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Fajar Dunia, 1999), hlm. 20.
Zamahksyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011), hlm. 38.
Hujair, Paradigma Pembaruan…, hlm. 28.
Abuddin Nata, Kapita Selekta dalam Pendidikan Islam, (Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada, 2012), hlm. 311.
Zamakhsyari, Tradisi Pesantren…, hlm. 27.
Ibid., hlm. 28.
Ibid., hlm. 32.
Ibid., hlm. 33.
Ibid., hlm. 34.
Ibid., hlm. 36.
Ibid., hlm. 61.
Ibid., hlm. 62-63.
Ibid., hlm. 17.
Ibid., hlm. 19.
Ibid., hlm. 72.
Ibid.
Ibid., hlm. 71.
Ibid., hlm. 144.
Ibid., hlm. 75.
Ibid.
Ibid., hlm. 76.
Ibid., hlm. 81.
Ibid., hlm. 83.
Ibid., hlm. 85-86
Ibid., hlm. 86-87.
Ibid., hlm. 89.
Ibid., hlm. 88.
Ibid., hlm. 53-54.
Ibid., hlm. 57.
Ibid., hlm. 72-73.
Abuddin, Kapita Selekta…, hlm. 322.
Zamakhsyari, Tradisi Pesantren…, hlm. 100.
Ibid., hlm. 214-215.
Abuddin, Kapita Selekta…, hlm. 324.
Zamakhsyari, Tradisi Pesantren…, hlm. 64.
Abuddin, Kapita Selekta…, hlm. 329.
Zamakhsyari, Tradisi Pesantren…, hlm. 72.
Ibid., hlm. 152.
Ibid., hlm. 160.
Ibid., hlm. 168.
Abuddin, Kapita Selekta…, hlm. 331.
Zamakhsyari, Tradisi Pesantren…, hlm. 199.
Ibid., hlm. 276.
Ibid., hlm. 146.
Ibid., hlm. 253.
Ibid., hlm. 255.
Ibid., hlm. 260.
Adian Husaini, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2013), hlm. 24.
23
TRADISI PESANTREN DALAM TANTANGAN ARUS GLOBALISASI
Disusun oleh:
Nama: Anik Damayanti
NIM: O100150009
Email:
[email protected]
PENDAHULUAN
Puncak peradaban dunia sekarang berada di tangan Barat, konsekuensinya seluruh aspek kehidupan dan tata nilai yang melanda di masyarakat berkiblat pada Barat. Inilah gelombang postmodernisme atau disebut era globalisasi, yang ditumpangi oleh gerakan liberalisme dan liberasasi di berbagai bidang. Liberalisme pun diam-diam telah masuk ke ranah pendidikan. Pendidikan agama dianggap telah gagal menghasilkan manusia yang dapat menjadi anggota masyarakat sipil dunia (civil society), yakni manusia yang mengusung nilai-nilai pluralisme, equality, kesetaraan gender dan berkarakter.
Sistem pendidikan Islam dari zaman klasik dianggap tidak lagi memiliki kekuatan untuk bersaing dalam era globalisasi ini. Umat Islam menjadi korban ekspansi intelektual Barat dan sekan kehilangan pegangan pokok dalam menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam dunia pendidikan Islam, masalah terbesar yang dihadapi adalah dikotomi antara ilmu pengetahuan modern dengan ilmu agama.
Menurut Hujair Sanaky, akar munculnya dikotomis merupakan warisan penjajah Belanda. Hal senada diungkapkan oleh Nurcholis Madjid dalam sebuah pengantarnya dalam buku Reorientasi Pendidikan Islam karya Malik Fadjar. Pemerintah kolonial Belanda menerapkan Politik Etis dengan mendirikan sekolah-sekolah umum bagi kalangan priyayi. Sebagai reaksinya, para ulama mendirikan pesantren-pesantren sebagai benteng pertahanan agama dan budaya Islam.
Pesantren, menurut Zamakhsyari Dhofier, merupakan sistem pendidikan Islam yang tumbuh sejak awal kedatangan Islam di Indonesia. Jadi justru sebaliknya, Belanda mulai menerapkan Politik Etis dengan membangun sekolah-sekolah pendidikan umum bagi kalangan priyayi sebagai reaksi (ketakutan mereka) terhadap peran kuat pesantren dalam sistem pendidikan dan pertahanan agama Islam di kalangan masyarakat Indonesia. Dengan kondisi inilah, pada perkembangannya terjadi pembedaan antara pendidikan umum dengan pendidikan agama, yang menjadi penyebab utama kerancuan dan kesenjangan sistem pendidikan yang dualistis.
Pesantren memainkan peran yang luar biasa sejak awal kedatangan Islam hingga penyebarannya secara luas diterima di Nusantara. Pesantren menjadi jembatan utama bagi proses internalisasi dan transmisi Islam kepada masyarakat. Melalui tradisi pesantrenlah, para ulama menguatkan akidah umat yang masih lemah, mengajarkan ajaran Islam kepada masyarakat, hingga membumikan Islam di seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia.
Perjalanan panjang tradisi pesantren mengakar kuat dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Dahulu pesantren selalu membersamai rakyat dalam perjuangan membebaskan diri dari penjajahan. Pesantren juga memberikan jawaban atas masalah-masalah keumatan, kebutuhan intelektual, spiritual, sosial, kultural, bahkan politik, yang dibutuhkan oleh umat. Demikian besar ekseistensi dan peran strategis yang dijalankan oleh pesantren. Kini pesantren menghadapi banyak tantangan baru di era globalisasi ini sebagai dampak dari gelombang postmodernisme.
Pesantren bukan sekedar dibutuhkan untuk menjawab permasalahan dikotomis pendidikan, menjawab persoalan-persoalan keumatan di era globalisasi ini. Tetapi juga, pesantren dituntut untuk mampu men-transformasi dirinya sendiri seiring dengan perkembangan pemikiran manusia dengan tidak menanggalkan corak khas tradisi pesantren yang telah melegenda dalam khazanah intelektual bangsa.
Makalah ini berupaya menyajikan sejarah kemunculan tradisi pesantren, peran dan geliatnya sejak awal periode peradaban Melayu Nusantara, masa perjuangan mencapai kemerdekaan hingga masa pembangunan bangsa. Serta perubahan dan dinamika yang dilakukan oleh tradisi pesantren dalam menghadapi tantangan globalisasi, baik dari aspek desakan intelektual dan kultural dari Barat, kebutuhan akan kepemimpinan nasional.
Pemakalah mengambil buku "Tradisi Pesantren, Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya mengenai Masa Depan Indonesia", desertasi Zamakhsyari Dhofier sebagai referensi utama dalam mengenal dan memahami tradisi pesantren di Indonesia.
TRADISI PESANTREN
Akar Sejarah Munculnya Pesantren
Masa transisi dari peradaban Hindu-Budha Majapahit menuju masa peradaban Melayu Nusantara yang terjadi sejak abad ke-11 hingga ke-14 merupakan masa yang sangat penting dalam sejarah bangsa, yang dianggap sebagai awal periode peradaban Indonesia modern. Beberapa peneliti sejarah dari Barat, misalnya Geerzt mengatakan Islam mulai masuk ke Nusantara secara sistematis pada abad ke-14 dalam keadaan lemah, majemuk dan sinkretisme. Pernyataan ini tidaklah benar. Zamakhsyari Dhofier menjelaskan dalam desertasinya bahwa Kesultanan Islam di Lamreh telah terbangun sejak tahun 1200. Dan sejak saat itu pula tradisi pesantren memulai eksistensinya di Nusantara.
Lembaga pendidikan Islam yang berkualitas tinggi dimulai sejak pertengahan abad ke-10 walaupun pada masa itu tradisi menulis di wilayah Nusantara masih lemah. Barus merupakan bandar metropolitan yang berkembang pesat pada abad ke-9 hingga ke-14, menjadi awal lahirnya pusat pendidikan Islam. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Tim Arkeologi Indonesia-Perancis (1998-2003) yang melakukan penggalian situs di Barus. Berbagai agama dan kebudayaan saling berinteraksi di Barus, dan ditemukan sejumlah situs pekuburan orang Islam lengkap beserta inkripsinya yang berasal dari abad ke-14 dan awal abad ke-15.
Beberapa nama di kompleks pekuburan itu antara lain: Mahligai, Tuan Ambar dan Papan Tinggi. Mereka bermukim, mengajar dan mendirikan pendidikan Islam (pesantren) di sana. Kebanyakan inkripsi pada batu nisannya berbahasa Arab dan sebagian kecil berbahasa Parsi.
Kemudian ditemukannya inkripsi Hamzah Fansuri yang tertera tahun 1527 di pemakaman Bab al-Ma'la Mekah, mengindikasikan bahwa seorang budayawan Nusantara menungkinkan dirinya berhasil menjadi guru besar yang dihormati di Masjidil Haram di Mekah. Sosok Hamzah Fansuri yang lahir pada pertengahan abad ke-15 dan meninggal di Mekah tahun 1527 di Mekah, menjadi bukti adanya kegiatan pendidikan Islam yang berkualitas tinggi di Barus.
Pada permulaan abad ke-15 Eropa bukanlah kawasan yang maju di dunia. Justru kekuatan besar yang sedang berkembang adalah Islam, dengan kekhalifahan Turki Utsmani yang sedang memimpin kala itu. Pada tahun 1453 Turki berhasil menaklukkan Konstantinopel, dan agama Islam sedang mengalami perkembangan melalui proses yang sangat menakjubkan di Nusantara.
Hamzah Fansuri berpindah dari Barus ke Pasai lalu ke Mekah setelah kota Pasai diduduki Portugis pada tahun 1521. Di Pasai Hamzah Fansuri menulis sejumlah buku keislaman, prosa dan syair yang bermutu. Kemunculan sosok Hamzah Fansuri sebagai penulis yang produktif dan berkualitas tidak terjadi dengan tiba-tiba, namun tentunya melalui proses panjang pengajaran yang dilakukan oleh para guru (masyayikh) yang berpengetahuan luas di Barus dan didukung kekuatan politik yang sehat. Penulisan dilanjutkan oleh para muridnya antara lain Syamsuddin as-Sumaterani, Abdurrauf as-Singkili, Nuruddin ar-Raniri (dari Ranir, India).
Ketika di Mekah, Hamzah Fansuri sempat mendidik Syeikh Nurullah dari Pasai antara tahun 1522-1526, lalu mengutusnya kembali ke Nusantara menuju Demak untuk membantu Sultan Trenggono mengusir Portugis dari tanah Jawa. Hal ini membuktikan telah terjalin hubungan politik dan diplomatik yang sangat erat dan harmonis antara kesultanan Islam di Nusantara dengan para ulama di Mekah. Akhirnya Hamzah Fansuri wafat di Mekah dan dimakamkan di komplek pekuburan terhormat sehingga bisa diketahui bahwa Hamzah Fansuri dikenal sebagai seorang yang 'alim (ulama) di Mekah. Kemudian muridnya yaitu Syeikh Nurullah inilah yang dikenal sebagai anggota Wali Songo yang terakhir dan berhasil mengislamkan seluruh Jawa Barat.
Hamzah Fansuri telah membuktikan bahwa bahasa dan kebudayaan Nusantara bertaraf internasional dan berkibar di pusat dunia Islam di Mekah, dan dikenal dengan bahasa Melayu Jawi. Dr, Soebardi dan Prof. Johns juga menegaskan bahwa pesantren pada periode antara tahun 1200 dan 1600 adalah ujung tombak pembangunan Peradaban Melayu Nusantara. Prof. Rickelfs juga menjelaskan dalam bukunya A History of Modern Indonesia, Since c 1200, bahwa batu nisan atas nama Sulaiman bin Abdullah bin al-Basir menunjukkan telah berdirinya Kesultanan Islam di Lamreh di ujung Pulau Sumatera menjelang tahun 1200. Periode inilah yang dijadikan sebagai titik awal Sejarah Indonesia Modern.
Geliat dan Langkah dari Tradisi Pesantren dalam Sejarah Perjuangan Bangsa
Periode Awal Kedatangan dan Penyebaran Islam (Abad ke-13 hingga ke-17)
Tradisi pesantren mulai muncul sejak masuknya Islam di tanah Nusantara tahun 1200. Pada perkembangannya pesantren menjadi penyokong utama berdirinya Peradaban Melayu Islam Nusantara pada abad ke-13 hingga ke-17. Kemudian mencapai puncak perkembangannya sebagai tulang punggung pembangunan Peradaban Indonesia Modern yang Islami pada masa Sultan Agung mendeklarasikan gelarnya sebagai Panatagama Khalifatullah di awal abad ke-17. Sejak awal masuknya Islam hingga abad ke-17, pesantren menjadi anak panah penyebaran Islam sampai ke pelosok pedesaan di wilayah Nusantara.
Pada awal penyebaran Islam di Nusantara antara abad ke-13 dan ke-17, pesantren memegang peranan penting dalam penyebaran Islam ke wilayah pelososk dan pemantapan aqidah atau ketaatan masyarakat kepada Islam. Penduduk Nusantara dengan kerelaan hati memilih Islam bukan sebab paksaan, namun Islam bukan sekedar membaca dua kalimat syahadat. Ajaran Islam perlu difahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Para ulama mendirikan masjid untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat dan mendirikan pesantren untuk menerima murid-murid yang ingin mempelajari Islam. Selanjutnya murid yang terpandai diberikan tanggung jawab untuk membuka pesantren baru di tempat lain, sehingga terjadilah penyebaran Islam secara gradual dan sistematis di kalangan rakyat yang belum memahami ajaran Islam dengan sempurna.
Lembaga-lembaga pesantren ini yang paling menentukan watak keislaman kesultanan-kesultanan di sejumlah wilayah di Nusantara. Menurut Serat Cabolek dan Serat Centini setidaknya pada awal abad ke-16 telah banyak pesantren masyhur yang menjadi pusat-pusat pendidikan Islam. Pesantren-presantren ini mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang Hukum Islam, aqidah (teologi) dan tasawuf.
Pesantren memainkan peran yang strategis sebagai ujung tombak pengajaran dan penyebaran ajaran Islam pada masa awal masuknya dan perkembangan Islam di Nusantara.
Periode Penjajahan Kolonial Belanda di Indonesia (Abad ke-17 hingga ke-19)
Tahap berikutnya pesantren mengalami tekanan berat dari pihak kolonial Belanda setelah menguatnya kekuatan kolonialisme pada awal ke-17 hingga ke-19. Pada tahun 1513 Portugis mengalahkan Sultan Demak di Malaka. 30 buah kapal besar tenggelam, dan 600 dan 1000 ton dirampas Porugis. Kapal-kapal kecil ditenggelamkan. Mulai hancur kondisi perkapalan Nusantara.
Pada tahun 1677 Belanda menguasai hampir seluruh pantai-pantai Nusantara. Perdagangan internasional dikuasai oleh Kolonial Belanda. Dengan memecah belah kesultanan Islam dan mengadu domba para pangeran kesultanan, akhirnya Belanda dapat menguasai hampir seluruh wilayah Nusantara. Aktivitas perdagangan antar pulau terputus dan akhirnya mati. Di situlah terjadi titik balik perubahan sosiologis bangsa Indonesia, dari bangsa bahari menjadi bangsa agraris.
Balanda berhasil menguasai kekuasaan secara politis di Nusantara, menghancurkan struktur kemasyarakatan dan melakukan pengawasan ketat terhadap pemimpin-pemimpin Islam (para ulama). Akan tetapi para ulama tetap teguh mengajarkan Islam kepada kalangan rakyat dengan membangun masjid di pedesaan dan mengelola tanah-tanah sawah.
Para ulama tetap melakukan perjalanan ibadah haji walaupun mengalami penurunan signifikan jika dibandingkan dengan aktifitas intelektual yang terjadi pada abad ke-15 dan ke-16. Pemerintah Kolonial Belanda menyimpan rasa takut kepada para ulama terutama mereka yang kembali dari tanah suci. Tahun 1825 Belanda mengeluarkan resolusi yang bertujuan membatasi kaum ulama yang melakukan ibadah haji ke Mekah. Sebab perjalanan ibadah haji bukan sekedar ibadah tetapi juga para ulama Nusantara menuntut ilmu agama di Mekah. Bagi siapa yang akan melakukan ibadah haji diharuskan membayar sejumlah uang paspor sebesar 110 gulden kepada pemerintah Kolonial. Hal ini menyebabkan stagnasi dalam pertumbuhan Islam dan pesantren.
Ternyata resolusi ini berimbas pada sepinya pengguna kapal-kapal dagang Belanda sendiri. Belanda mencabut resolusi-resolusi tersebut, pada pertengahan abad ke-19 sehingga terjadi lonjakan jumlah pemuda-pemuda Islam pribumi yang melakukan ibadah haji dan menetap di Mekah untuk memperdalam ilmu agama. Pada akhir abad ke-19 muncul beberapa ulama kelahiran Indonesia yang diakui ketinggian ilmunya di Timur Tengah. Mereka menjadi pengajar tetap di Mekah, diantaranya Syeikh Nawawi dari Banten, Syeikh Ahmad Khatib as-Sambasi dari Minangkabau dan Syeikh Mahfudz dari Termas.
Pada saat yang sama, Snouck Hurgronje melakukan penelitian selama enam bulan di Mekah dan mendapati sekitar 5000 pemuda Indonesia yang menuntut ilmi dan angka ini merupakan 50% dari seluruh mahasiswa asing yang belajar di Saudi. Para ulama muda sepulang dari Mekah kembali mengaktifkan dan menguatkan peran pesantren dalam masyarakat.
Periode Menjelang Kemerdekaan (Awal abad ke-20)
Hurgronje menyarankan pemerintah Kolonial Belanda untuk membuka sekolah-sekolah pendidikan umum untuk menandingi dan menangkal pengaruh dan perkembangan pesantren. Akibat adanya sekolah-sekolah pendidikan umum dan pengaruh pembaharuan Islam di Timur Tengah, para ulama muda (kyai pesantren) mulai melakukan pembaharuan di bidang pendidikan. Diperkenalkannya sistem madrasah, memberi kesempatan pendidikan kepada murid wanita, dan ditambahkan pengajaran akan pengetahuan umum. Pesantren Tebuireng pada tahun 1920 secara bertahap mulai mengajarkan pelajaran umum seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Belanda, berhitung, ilmu bumi dan sejarah.
Walaupun madrasah telah melakukan beberapa perubahan namun masih terbatas. Hal ini disebabkan dua hal, yaitu: para kyai masih mempertahankan dasar-dasar tujuan pendidikan pesantren untuk mempertahankan, menyebarkan dan memperkuat ajaran Islam untuk masyarakat; dan pesantren belum memiliki tenaga ahli untuk cabang-cabang pengetahuan umum. Satu corak khas tradisi pesantren yang menghilang akibat dibukanya sekolah madrasah, yaitu tradisi "santri kelana" menuntut ilmu dari satu pesantren ke pesantren yang lain untuk memuaskan dahaga akan ilmu.
Hasil positif yang dipetik oleh pesantren dengan membuka sistem madrasah ini sangat besar. Para kyai pesantren berhasil mengkonsolidasi kedudukan pesantren dalam menghadapi perkembangan sekolah pendidikan umum milik Belanda. Pada tahun 1920 dan 1930-an, jumlah peserta didik santri mengalami lonjakan besar, dari sekitar 200 menjadi 1500 santri (contoh dari Pesantren Tebuireng, Jombang).
Lulusan pribumi yang sekolah di sekolah-sekolah pendidikan umum milik Belanda menjadi pemimpin elite baru dan menggalang kebersamaan dengan para kyai pesantren membentuk organisasi sosial, kebudayaan dan profesional bagi kalangan rakyat dalam rangka membangun kesadaran masyarakat untuk memperjuangkan kemerdekaan. Beberapa organisasi yang dibentuk bersama tanpa melihat perbedaan kelompok antara Islam modernis dengan Islam tradisionalis (tradisi pesantren), misalnya Sarekat Islam. Sedangkan para kyai pesantren sendiri membentuk Jam'iyyah Nahdlatul 'Ulama (NU) pada tahun 1926 yang dipelopori oleh Syeikh Hasyim Asy'ari.
Pesantren ternyata terus berkembang meskipun Belanda memperluas jumlah sekolah mereka untuk kalangan pribumi. Pengaruh luar biasa partai-partai Islam dalam kehidupan politik di Indonesia antara tahun 1910-1950, sebagian besar disebabkan kuatnya perkembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam (pesantren).
Periode Awal Kemerdekaan hingga Periode Pembangunan Nasional
Pengaruh dominan pesantren mulai menurun setelah penyerahan kedaulatan pada bulan Desember 1949. Justru setelah merdeka, pemerintah Indonesia mengembangkan sekolah-sekolah umum seluas-luasnya sehingga terjadi penurunan dominasi pesantren. Terlebih lagi jabatan-jabatan administratif dibuka bagi mereka yang terdidik di sekolah-sekolah umum.
Jumlah peserta didik di pesantren tidak mengalami penurunan meskipun jumlah peserta didik di sekolah-sekolah umum mengalami kenaikan. Pesantren berupaya untuk menyelenggarakan sekolah-sekolah umum dalam lingkungan pesantren.
Pada periode antara tahun 1970 dan 1998 berkembang tipe pendidikan pesantren yang mengikuti kecenderungan masing-masing, yang dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar, yaitu:
Tipe klasik (lama), yang inti pendidikannya mengajarkan kitab-kita klasik, dengan menerapkan sistem madrasah dan metoda sorogan. Pesantren jenis ini tidak mengajarkan pengajaran tentang pengetahuan umum, misalnya Pesantren Lirboyo dan Ploso di Kediri, Pesantren Termas di Pacitan, Pesantren Maslakul Huda di Pati.
Tipe baru, yang mendirikan sekolah-sekolah umum sekaligus madrasah yang sebagian besar pengajarannya bukan berupa kitab-kitab klasik. Pesantren Tebu Ireng dan Rejoso di Jombang telah membuka SMP, SMA dan Perguruan Tinggi, dengan tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik. Namun dikarenakan jumlah pengajar kitab-kitab klasik tidak mencukupi, prosi pengajarannya pun tidak memadai.
Corak Khas Tradisi Pesantren
Tradisi pesantren dalah sistem pendidikan Islam yang tumbuh sejak awal kedatangan Islam di Indonesia. Banyak sarjana dari Barat yang melakukan penelitian terkait Islam dan pesantren, seperti Brumund, Van Den Berg, Hurgronje dan Geertz. Namun kebanyakan mereka hanya melihat dari aspek fisik bangunan dan kesederhanaan kehidupan di pesantren, kepatuhan santri kepada kyai dan pengajaran kitab klasik, tidak menyentuh ke dalam komponen khas tradisi pesantren.
Zamakhsyari menyebutkan dalam desertasinya, setidaknya ada lima komponen yang menjadi corak khas dari tradisi pesantren, yaitu: pondok, masjid, santri, kyai dan pengajaran kitab klasik.
Pondok
Sebuah pesantren pada dasarnya dalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang dikenal dengan sebutan kyai. Dalam lingkungan pesantren terdapat pondokan untuk santri dan masjid untuk beribadah, ruangan untuk belajar dan kegiatan keagamaan lainnya.
Dahulu pesantren didirikan atas upaya kyai sendiri dengan membangun masjid dan pondok yang sederhana bagi murid-muridnya. Santri akan terbiasa hidup dalam kesederhanaan yang homogen sesame santri. Sekarang ini sebagian pesantren didirikan di atas dana wakaf seseorang ataupun masyarakat. Begitu pula pembiayaan terhadap pendidikan, ada sebagian dari iuran santri dan dibantu oleh masyarakat (donator).
Setidaknya terdapat tiga alasan utama disediakannya asrama atau pondokan untuk para santri, yaitu:
Kemasyhuran seorang kyai dan kedalaman ilmunya membuat para santri berdatangan dari wilayah lain baik dekat atau jauh untuk menuntut ilmu secara teratur dan dalam waktu yang cukup lama. Sehingga mengharuskan menetap di dekat kediaman sang kyai dalam waktu yang lama.
Hampir sebagian besar pesantren terdapat di pedesaan bukan di kota yang tersedia rumah sewa atau kost, sehingga harus disediakan tempat menginap bagi para santri.
Peran kyai terhadap santri bukan sekedar sebagai guru, melainkan juga sebagai profil ayah yang melindungi para santrinya. Kemudian terjadi sikap timbal balik rasa hormat dan tanggung jawab antara kyai dan para santrinya. Kyai juga bertanggung jawab membina dan memperbaiki akhlak murid-muridnya sehingga harus hidup berdampingan untuk memantau para muridnya.
Pondok untuk santri merupakan ciri khas tradisi pesantren, yang membedakannya dengan sistem pendidikan tradisional di masjid-masjid yang berkembang di kebanyakan negara-negara Muslim lainnya. Sistem pendidikan surau di Minangkabau atau Dayah di Aceh, pada dasarnya sama dengan sistem pondok, yang berbeda hanyalah namanya.
Di negeri-negeri Muslim lainnya, para ulama sebagian besar adalah penduduk kota. Para murid yang dating untuk menuntut ilmu dari para ulama, dapat menyewa tempat tinggal yang tersedia di sekitar kediaman gurunya. Misalnya di Mekah dan Madinah, yang merupakan dua kota sebagai pusat studi Islam tradisional. Para ulama mengajar murid-muridnya di Masjid Nabawi dan Masjid Al-Haram. Para murid yang datang dari berbagai negara, tinggal secara koloni di sekitar tempat belajar.
Masjid
Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dari pesantren, dan tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, melakukan ibadah shalat lima waktu, shalat Jumat dan pengajaran kitab-kitab klasik. Fungsi masjid sebagai pusat pendidikan merupakan warisan sistem pendidikan Islam dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Sejak zaman Nabi Saw. masjid digunakan sebagai tempat ibadah, tempat pertemuan strategis, pusat pendidikan, administrative dan kultural.
Tradisi pesantren berupaya memelihara dan memakmurkan masjid sebagai pusat kegiatan Islam. Seorang kyai yang ingin mengembangkan pesantren biasanya pertama-tama juga mendirikan masjid.
Pengajaran Kitab Islam Klasik
Tujuan utama dibangunnya sistem pendidikan pesantren adalah mendidik calon-calon ulama. Para santri menetap dalam waktu yang lama untuk menguasai berbagai ilmu agama untuk menjadi ulama, yang mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat dan menguatkan aqidah umat. Pesantren kecil biasanya mengajari pembacaan Al-Quran kepada masyarakat sekitar, namun pengajaran ini bukanlah tujuan utama dari sistem pendidikan pesantren.
Dahulu mereka diberikan pengajaran kitab Islam klasik, terutama kitab-kita ulama yang menganut mazhhab Syafi'i dan mengembangkan kecakapannya dalam berbahasa Arab supaya dapat membaca dan mengkaji kitab-kitab Islam klasik yang berbahasa Arab. Sekarang, kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat digolongkan menjadi 8 jenis pengetahuan: (1) nahwu/sintaks dan sharaf/morfologi, (2) ushul-fiqh, (3) fiqh, (4) hadits, (5) tafsir, (6) tauhid, (7) tasawuf, (8) cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.
Kesamaan kitab yang diajarkan dan sistem pengajaran menghasilkan homogenitas pandangan hidup dan praktik-praktik keagamaan di kalangan kyai dan santri di seluruh wilayah Nusantara. Sebenarnya homogenitas di kalangan kyai ini telah terbentuk mapan pada tingkat yang lebih tinggi yaitu di pusat studi Islam di Mekah dan Madinah, yang meliputi segala aspek kehidupan, baik sosial, kultural, pandangan hidup, politik dan tingkat ilmu pengetahuan. Pada abad ke-16 dan akhir abad ke-19, para guru besar dan mahasiswa Melayu Nusantara menjadi dominan di kalangan penuntut ilmu di Saudi.
Santri
Santri merupakan para murid yang berdatangan dari berbagai wilayah untuk menuntut ilmu agama dari ulama. Mereka mendatangi dan belajar di pesantren dengan tujuan untuk menjadi ulama.
Menurut tradisi pesantren, santri terbagi menjadi dua golongan:
Santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari wilayah yang jauh dari pesantren dan menetap dalam waktu yang cukup lama untuk belajar ilmu agama dari sang kyai.
Santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa sekitar pesantren dan mengikuti pengajaran di pesantren dengan cara bolak-balik atau tidak menetap di pesantren.
Kyai
Kyai merupakan komponen yang paling esensial dalam tradisi pesantren. Seringkali kyai merupakan pendirinya maka sudah sewajarnya pertumbuhan pesantren tergantung kepada kemampuan dan pribadi sang kyai.
Meskipun kebanyakan kyai tinggal di daerah pedesaan, mereka merupakan bagian dari kelompok elit dalam struktur sosial, politik dan ekonomi masyarakat Indonesia. Para kyai memiliki pengaruh yang sangat kuat di masyarakat, yang menjadi kekuatan penting dalam kehidupan politik. Tugas para kyai sebagai pengajar dan penganjur ajaran Islam sehingga memiliki kedudukan penting dalam masyarakat.
Islam memang memberikan kedudukan yang tinggi terhadap para ulama/kyai. Pada masa pemerintah Kolonial Belanda, para Sulthan lebih banyak fokus pada urusan politik dan urusan keagamaan diserahkan kepada para kyai. Para kyai dipercaya untuk menyelesaikan urusan-urusan muamalah seputar hak milik, pernikahan, perceraian, warisan dan hukum Islam lainnya yang terjadi di masyarakat.
Seorang kyai sebagai pemimpin sebuah pesantren harus mempersiapkan pengganti dirinya, dapat mempersiapkannya dari anak-anak lelakinya yang dididik dengan bersungguh-sungguh atau dari muridnya yang tercakap dan dinikahkan dengan putri kyai.
Untuk menjadi seorang kyai, seorang calon kyai harus berupaya keras melalui tahapan. Biasanya mereka adalah anggota keluarga kyai, lalu berkelana untuk menuntut ilmu agama dari satu atau beberapa pesantren. Kyai pembimbingnya terakhir akan melatihnya mendirikan pesantren, jika kyai muda dianggap berpotensi oleh gurunya.
Metoda pengajaran
Metoda klasik yang digunakan dalam pengajaran kitab-kitab klasik disebut sorogan dan bandongan, yaitu menerjemahkan kitab ke dalam bahasa Jawa dengan memperhatikan segi bentuk bahasa dan membahas isi ajarannya. Para kyai membaca dan menerjemahkan kitab, kemudian menjelaskan pandangan/interpretasi mengenai bahasa da nisi teks kitab tersebut.
Metoda sorogan adalah metoda pengajaran individual yang diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Al-Quran. Seorang murid mendatangi seorang guru yang membacakan beberapa baris Al-Quran atau kitab-kitab klasik berbahasa Arab lalu menerjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Pada gilirannya, murif mengulangi dan menerjemahkan kata demi kata persis dengan yang dilakukan gurunya.
Metoda sorogan ini ditujukan supaya murid memahami baik arti dan fungsi tiap-tiap kata dalam bahasa Arab yang digunakan dalam teks kitab yang dikaji. Murid diharuskan menguasai pembacaan dan terjemahan dengan tepat. Murid dapat melanjutkan tambahan pelajaran berikutnya jika telah benar-benar memahami dan mendalami pelajaran sebelumnya. Metoda ini diterapkan untuk tahapan dasar, bagi santri-santri baru yang masih memerlukan bimbingan individual. Banyak murid yang gagal di tahap ini sebab diperlukan kesabaran, ketekunan, ketaatan dan disiplin pribadi guru pembimbing dengan murid.
Metoda gandongan dalam bentuk halaqah secara melingkar antara 5-500 murid mendengarkan guru membaca, menerjemahkan, menerangkan Al-Quran atau kitab-kitab klasik berbahasa Arab. Setiap murid menyimak bukunya sendiri dan membuat catatan mengenai kata-kata atau interpretasi yang sulit. Santri senior seringkali diberi kesempatan untuk mengajar halaqah kecil dengan metoda gandongan ini. Mereka yang sudah praktik mengajar akan mendapatkan gelar ustadz muda.
Ada pula "kelas musyawarah" atau kelompok seminar, ditujukan untuk santri-santri senior atau ustadz muda. Kelas ini mengulas dalam bahasa Arab kitab-kitab klasik tingkat tinggi dengan dipandu oleh satu guru besar. Para ustadz muda yang sudah matang dengan pengalaman mengajar kitab-kitab besar akan memperoleh gelar kyai muda.
Sebenarnya ada satu corak khas tradisi pesantren yang mulai menghilang yaitu santri kelana atau Abuddin Nata menyebutnya rihlah ilmiah. Di masa lampau seorang santri berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain untuk memperdalam ilmu agama dan memuaskan dahaga akan ilmu, tanpa memperhatikan ijazah atau sertifikat kelulusan. Santri berkelana selama bertahun-tahun, tidak terikat dengan lamanya waktu, untuk mendalami kitab-kitab yang berbeda sesuai dengan spesialisasi keahlian sang kyai di pesantren mana dia belajar.
Ciri khas tradisi pesantren ini mulai menghilang sebagai akibat dari diterapkannya sistem madrasah (pada awal abad ke-20) untuk menandingi sistem sekolah pendidikan umum yang dikembangkan oleh Belanda pada akhir abad ke-19. Dengan diterapkannya sistem madrasah, santri harus mengikuti tingkatan kelas dan waktu belajar dianggap selesai jika telah mendapatkan ijazah formal kelulusan. Walaupun dengan sistem madrasah mengubah sebagian corak khas tradisi, namun pesantren-pesantren NU masih teguh memegang prinsip al-Muhafazhah 'alal-Qadiimis-Shaalih wal-Akhdzu bil-Jadiidil-Ashlah yang maknanya memelihara tradisi lama yang masih cocok dan mengadopsi hal-hal baru yang lebih cocok lagi.
Hubungan Intelektual Para Kyai
Sejak Islam masuk ke Nusantara, para kyai selalu terjalin oleh intellectual chain (rantai intelektual) yang tidak terputus. Ini menunjukkan pula adanya jalinan intelektual yang mapan antar pesantren dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan dinamika perkembangan yang terjadi di dalam lingkungan pesantren. Sebenarnya ini juga menggambarkan sejarah intelektual Islam tradisional di Indonesia.
Seorang kyai diakui bukan sebab status atau kerpibadiannya, tetapi lebih kepada keabsahan (keotentikan) ilmunya dan jaminan bahwa dia adalah murid seorang kyai yang diakui, dengan membuktikan adanya rantai intelektual yang terjalin dan tertulis (seperti rantai sanad). Seorang kyai mewakili pesantren dan guru dimana dia belajar.
Sebagian orang menyimpulkan bahwa tradisi pesantren sangat dipengaruhi kemasyhuran sosok kyai yang memimpinnya dan lemah dalam urusan regenerasi. Jika kyai yang masyhur meninggal, jarang ada yang bisa melanjutkan kepemimpinan yang sepadan dengannya. Para kyai sebenarnya memahami masalah ini sehingga segala upaya ditempuh untuk melestarikan kehidupan dan kepemimpinan dalam pesantren. Para kyai mempersiapkan dan mendidik calon-calon kyai yang dapat menggantikan kedudukan mereka kelak serta membangun solidaritas dan kerjasama antar kyai di semua pesantren.
Cara praktis yang ditempuh sebagai kaderisasi, antara lain:
Melakukan kaderisasi bahwa keluarga yang terdekat dipersiapkan sebagai calon kuat pengganti tongkat estafet kepemimpinan pesantren.
Mengembangkan suatu jaringan aliansi pernikahan endogamous antara sesame keluarga kyai.
Menjaga tradisi transmisi pengetahuan dan rantai transmisi intelektual antara sesama kyai dan keluarganya.
Seorang kyai biasanya mendidik sendiri anak laki-laki yang dipersiapkan untuk meneruskan kepemimpinan pesantren, juga disuruh menjadi santri kelana dari satu pesantren ke pesantren lainnya, bahkan dikirim ke Mekah untuk menuntut ilmu dari pusat studi Islam tradisional. Sedangkan anak laki-laki lainnya dilatih untuk dapat mendirikan pesantren lain yang baru.
Seorang kyai juga biasa menikahkan putri-putrinya dengan murid-muridnya yang terpandai atau dengan putra sesama kyai lainnya. Hal ini untuk membentuk jalinan tali kekerabatan di antara mereka. Semakin masyhur seorang kyai, semakin luas pula tali kekerabatan dengan kyai-kyai lainnya. Tali kekerabatan ini menjaga integrasi dan persatuan para kyai.
Pesantren dan Tarekat
Tarekat berasal dari kata thariqah yang berarti jalan, yaitu jalan menuju Surga. Istilah tasawuf dipakai semata-mata dalam kaitan aspek intelektual, dalam tarekat, sedangkan aspek yang bersifat etis dan praksis dianggap lebih penting di lingkungan pesantren. Dalam lingkungan pesantren, tarekat bermakna: suatu kepatuhan yang ketat kepada syariat Islam dan mengamalkan sebaik-baiknya dalam sisi ritual dan sosial.
Pengamalan tasawuf dalam bentuk tarekat di pesantren sangat kuat. Abdurrahman Mas'ud dalam bukunya Intelektual Pesantren menyebutkan bahwa Ahmad Khatib as-Sambasi dan Imam Nawawi adalah penganut sufisme Imam Ghazali. Dia menyarankan masyarakat untuk mengikuti salah satu imam tasawuf, seperti Imam Abu Qasim al-Junaid.
Sebelum tumbuhnya Islam modern (Muhammadyah –red), di Indonesia tidak dikenal dikotomi antara ulama ahli syara' dengan ahli sufi. Barangkali inilah kenapa gelar "kyai" lebih lazim digunakan dalam lingkungan pesantren, untuk menunjukkan bahwa seorang kyai selain menguasai bidang tauhid, fiqh, hadits, juga sekaligus seorang ahli sufi.
TRADISI PESANTREN MENJAWAB TANTANGAN GLOBALISASI
Globalisasi bersumber dari Barat sebab Barat-lah yang memegang puncak peradaban dunia saat ini. Dominasi dan hegemoni Barat belum tergoyahkan terutama di bidang ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi. Globalisasi mempengaruhi segenap aspek kehidupan, baik di bidang ideologi, politik, sosial, budaya, ekonomi dan hukum. Semua itu dapat mengubah gaya hidup dan tata nilai yang berlaku di masyarakat secara universal. Hal-hal yang sebelumnya bersifat tabu atau terlarang dalam agama Islam, bisa jadi bertentangan dengan tata nilai peradaban Barat.
Dampak globalisasi pun menimbulkan paradigma baru dalam dunia pendidikan modern. Paradigma baru ini mengubah orientasi pelaksanaan pendidikan secara umum, baik dari sisi kurikulum, metoda pengajaran dan materi ajar. Bahkan epistemologi pendidikan dan ilmu pengetahuan yang diajarkan pun tentu akan terwarnai oleh epistemologi Barat.
Tradisi pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional yang telah mengakar dalam sejarah peradaban Indonesia modern akan mengalami imbasnya pula. Pesantren yang sejatinya mengkhususkan pengajaran ilmu agama (kitab-kitab Islam klasik) serta bertujuan untuk menyebarkan dan menguatkan ajaran agama Islam di masyarakat, harus mau melakukan pembaharuan dalam pelaksanaan dan orientasi pendidikannya. Pesantren yang telah hidup dan menghidupi dalam aspek pendidikan dan kehidupan spiritual bangsa selama 8 abad ini tentu memiliki pengalaman panjang untuk menjawab tantangan era globalisasi.
Tantangan terhadap Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Sejak revolusi industri di Eropa dan Amerika, sistem pendidikan modern yang dikembangkan oleh Barat bertujuan untuk memenuhi kebutuhan intelektual untuk mendukung percepatan industri. Kurikulum yang dirancang hanya terfokus pada aspek kognitif dan keahlian yang menghasilkan manusia-manusia yang tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan modern dikembangkan menjadi sekolah-sekolah dari tingkat dasar, lanjutan dan menengah, hingga perguruan tinggi.
Tantangan semacam itu sebenarnya telah mulai muncul sejak pemerintah Kolonial Belanda mulai membuka sekolah-sekolah pendidikan umum bagi kalangan pribumi untuk menandingi pesantren pada akhir abad ke-19. Selanjutnya pada awal abad ke-20, atas inisiatif Syeikh Hasyim Asy'ari sebagai pemimpin pesantren Tebuireng di Jombang, sebuah pesantren besar dan masyhur kala itu, dengan memasukan sistem madrasah ke dalam tradisi pesantren. Di samping itu sejak 1910 beberapa pesantren mulai menerima santri putri, sebagai jawaban atas pemerataan pendidikan.
Kyai Wahid Hasyim dari Syeikh Hasyim Asy'ari dikenal sebagai produk asli pesantren, yang melakukan terobosan dalam dunia pendidikan di Indonesia ketika menjabat sebagai Menteri Agama pada tahun 1949. Beliau dianggap sebagai konseptor modernitas pendidikan Islam di Indonesia. Pada masa jabatannya sebagai Menteri Agama, pada tahun 1950-1951 beliau menciptakan tiga lembaga baru bagi pendidikan Islam, yaitu Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di 31 karesidenan, Sekolah Guru dan Hakim Agama Negeri (SGHAN) di empat kota besar di Indonesia, dan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta.
Ketiganya merupakan sekolah lanjutan pertama, sekolah lanjutan atas dan sekolah tinggi, dimana semua siswa dan mahasiswanya diberikan beasiswa. Lembaga pendidikan ini setiap tahun meluluskan alumni yang merupakan hasil ramuan Kyai Wahid Hasyim dengan tradisi pesantren yang dapat terus berkembang menuju modernitas pendidikan Islam di Indonesia.
Pada perkembangannya di tahun 2011, 31 PGAN menjadi lebih dari 40.000 madrasah tsanawiyah dan madrasah 'aliyah. Sekolah pendidikan hakim agama dihapuskan pada tahun 1953. Calon-calon hakim agama dididik di Fakultas Syariah di tingkat perguruan tinggi Islam. Sedangkan 1 PTAIN yang dibuka di Yogyakarta pada tanggal 26 September 1951, pada tahun 2011 berkembang menjadi 6 UIN, 14 IAIN, 34 STAIN dan lebih dari 450 PTAIS. Secara bertahap pula terjadi perpaduan ilmu pengetahuan modern dan teknologi dimasukkan ke dalam kurikulum Universitas Islam Negeri.
Tradisi pesantren terus mengembangkan berbagai jenis pendidikan modern di lembaga-lembaga pesantrennya. Dalam upaya memadukan modernitas pendidikan, terdapat sekitar 1.087 pesantren telah mengembangkan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), dan 625 pesantren mengembangkan Perguruan Tinggi Umum (PTU).
Pada tahun 2005 para pimpinan pesantren telah memberikan tugas belajar kepada 3.000 santrinya untuk mengikuti pendidikan sarjana strata-1 dan strata-2 dalam berbagai bidang studi sains dan teknologi di Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Airlangga (Unair) dan Institut Teknologi Surabaya (ITS). Beasiswa ini disediakan oleh Kementrian Agama setiap tahunnya, dan para kyai mempersiapkan santri-santrinya yang berprestasi untuk mengikuti program tersebut.
Upaya tersebut dilakukan untuk mempercepat proses modernitas pesantren dan merupakan langkah pesantren untuk menjawab tantangan globalisasi dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Bagaimanapun upaya modernitas pesantren baru berlangsung beberapa tahun, kualitas yang dihasilkan belum dapat dibandingkan dengan perguruan-perguruan tinggi umum dan teknologi seperti ITB yang telah berdiri lebih dari satu abad. Namun setidaknya jelas kemana arah modernitas yang dilakukan tradisi pesantren dan bentuk pembaharuan yang telah dikembangkannya.
Dengan adanya perpaduan antara pengajaran ilmu agama dengan ilmu pengetahuan modern, diharapkan akan mampu melahirkan para pemikir Islam yang cakap di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka dapat mengawal pembangunan peradaban Indonesia modern yang tetap melekatkan nilai-nilai Islam dan budi luhur ke dalam kehidupan masyarakat.
Tantangan terhadap Budaya Barat
Tak dipungkiri lagi bahwasanya hegemoni Barat di era globalisasi ini ditopang dengan nilai-nilai hedonis-materialistik, sekularisme, pluralisme yang mewarnai bahkan merusak tata nilai Islami yang telah melekat pada diri bangsa sejak masuknya Islam. Kondisi ini mengakibatkan degradasi moral di kalangan generasi muda bangsa Indonesia. Dengan sistem pendidikan modern menghasilkan manusia-manusia yang cerdas dan tanggap teknologi, namun tidak memiliki akhlak mulia dan terjerumus ke dalam kehidupan yang merusak sebab tidak memiliki benteng pemahaman agama yang memadai dari pendidikannya.
Kehidupan dalam tradisi pesantren selain untuk tujuan utama mempelajari dan mendalami ilmu agama dan kitab-kitab Islam klasik, sekaligus menanamkan pembiasaan hidup yang sederhana, disiplin, dan mandiri. Pemahaman yang baik terhadap ajaran agama Islam pun akan semakin membuat akhlak santri menjadi terjaga dai pengaruh buruk lingkungan.
Walaupun tradisi pesantren secara bertahap melakukan pembaharuan menuju modernitas sistem pendidikan yang dijalankannya, namun secara substansial fungsi pesantren tetap dilestarikan sejak awal kemunculannya yaitu menyebarkan ajaran agama Islam, menanamkan tradisi Islam dalam masyarakat, dan kaderisasi ulama. Hal ini tercermin dari fatwa Kyai Syamsuri pada pelantikan Pengurus Himpunan Santri Pasundan pada tanggal 23 Juni 1978 yang menegaskan tentang inti kepesantrenan:
"… anak-anakku sekalian, engkau semuanya hendaknya menyadari bahwa pertama madrasah pesantren adalah masalah dunia. Kita harus mengurusi urusan dunia kita seteliti dan sesegar mungkin. Jangan kamu menyerang atas dasar pandangan yang sempit. Selama ini pesantren telah menghasilkan pemimpin-pemimpin masyarakat yang tinggi mutunya. Hal ini bisa dicapai bilamana kita tahu persis apa yang sebenarnya diinginkan masyarakat. Dari keinginan masyarakat itulah kini kita menentukan bahwa Pesantren Tebuireng harus mendidik anak-anak SMA yang kelak dapat meneruskan pendidikan mereka untuk menjadi insyinyur, dokter, ahli hukum, tentara, dan sebagainya, yang mereka itu patuh kepada ajaran-ajaran Islam. usaha kita akan dinilai oleh Allah Swt menurut niat yang kita tetapkan. Bila niat kita bagus, Allah akan membalas kita dengan pahala; tetapi sebaliknya, bila niat kita jelek, Allah akan menghukum kita."
Dengan demikian, modernitas pesantren dengan memadukan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak melunturkan inti tradisi pesantren. Justru upaya itu ditujukan untuk menghasilkan profesional muda dan cendekiawan Muslim yang cakap di berbagai bidang, berakhlak mulia sekaligus taat kepada Tuhan. Para profesional muda dan Cendekiawan Muslim ini yang akan menjadi profil pemuda Muslim yang cakap dan tanggap teknologi sekaligus memiliki akhlaq yang baik dan ketaatan terhadap ajaran Islam.
Tantangan terhadap Kontribusi Kepemimpinan dan Politik Nasional
Dampak globalisasi bukan hanya melanda aspek kehidupan masyarakat tetapi juga pada tataran kepemimpinan. Dekadensi moral tidak hanya terjadi pada masyarakat tetapi juga pada kualitas para pejabat pemerintahan yang memimpin bangsa saat ini. Banyak terjadi kasus tindakan asusila dan korupsi di kalangan pejabat negara. Hal ini menunjukkan aspek kehidupan politik bangsa perlu diperbaiki.
Jika merunut melalui sejarah, sejak kolonial Belanda menguasai dan memecah belah Nusantara, gerakan perjuangan melawan penjajah masih bersifat kesukuan. Hingga akhirnya awal tahun 1920 Islam-lah yang mendorong lahirnya gerakan nasionalisme. Para kyai menaruh perhatian besar kepada masalah kepemimpinan bangsa. Para kyai pesantren dan anak cucu mereka telah menjadi bagian kehidupan politik nasional sejak pra-kemerdekaan, dan pemikiran mereka tak kalah modern dan visioner dibandingkan tokoh-tokoh nasionalis.
Antara tahun 1945-1947, Syeikh Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa, yaitu menyerukan jihad (perang kecil) melawan Belanda, dan melarang kaum muslimin Indonesia melakukan perjalanan haji dengan menggunakan kapal-kapal Belanda. Pada abad ke-20 Pesantren Tebuireng menjadi sumber ulama yang sekaligus muncul sebagai pemimpin perjuangan yang sangat berpengaruh di kalangan rakyat.
Pada tahun 1950-1952, Kyai Wahid Hasyim putra dari Syeikh Hasyim Asy'ari menjabat sebagai Menteri Agama. Selama menjadi menteri, banyak sekali terobosan yang dilakukan dalam bidang pendidikan terutama yang terkait dengan pendidikan Islam. Kyai Wahid Hasyim yang meletakkan pondasi bagi pengembangan perguruan tinggi Islam pertama kali di Indonesia.
Di samping transformasi tradisi pesantren di bidang pendidikan, NU yang mewakili wadah politik dari kalangan Islam tradisionalis atau pesantren juga makin menguatkan perannya dalam aktifitas politik nasional. Keberhasilan NU dalam Pemilihan Umum tahun 1971 menunjukkan kuatnya pengaruh kyai dalam kehidupan sosial, kultural, politik dan keagamaan masyarakat pedesaan di Jawa. Zamakhsyari menambahkan bahwa tujuan politik NU bukanlah kekuasan sekuler atau sumber-sumber material, tetapi kekuasaan agama atau untuk penyebaran keyakinan Islam dan pelestarian faham Islam tradisional.
Tradisi pesantren dianggap berhasil dalam menyiapkan calon pemimpin bangsa dengan terpilihnya Kyai Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden Republik Indonesia (RI) pada pemilihan umum tahun 1999. Meskipun dalam perjalanannya Gus Dur diturunkan oleh rakyat melalui impeachment. Gus Dur hanya memimpin RI selama satu tahun sembilan bulan.
ANALISA
Tradisi pesantren mulai muncul sejak masuknya Islam di tanah Nusantara tahun 1200. Pada perkembangannya pesantren menjadi penyokong utama berdirinya Peradaban Melayu Islam Nusantara pada abad ke-13 hingga ke-17. Kemudian mencapai puncak perkembangannya sebagai tulang punggung pembangunan Peradaban Indonesia Modern yang Islami pada masa Sultan Agung mendeklarasikan gelarnya sebagai Panatagama Khalifatullah di awal abad ke-17.
Sejak awal masuknya Islam hingga abad ke-17, pesantren menjadi anak panah penyebaran Islam sampai ke pelosok pedesaan di wilayah Nusantara. Tahap berikutnya pesantren mengalami tekanan berat dari pihak kolonial Belanda dalam pergerakan dan perkembangannya, hingga awal abad ke-19 pesantren mulai melakukan pembaharuan dan mengawal perjuangan kemerdekaan. Kemudian melakukan banyak terobosan setelah masa kemerdekaan dan berlanjut hingga masa pembangunan nasional sekarang ini.
Dengan memperhatikan corak khas tradisi pesantren yaitu murid-murid berdatangan dari seluruh wilayah untuk menuntut dan memperdalam ilmu dari seorang kyai/ulama, kemudian disediakan tempat menetap sederhana, dan hidup bersama dengan saling menopang dan membantu; mirip dengan tradisi ahlu ash-shuffah pada zaman Rasulullah Saw.
Seorang kyai berperan sebagai guru, pelindung, pemimpin bahkan pengganti ayah bagi para santrinya. Demikian pula dengan Rasulullah Saw yang sangat memperhatikan kondisi ahlu ash-shuffah, yang datang dari negeri jauh untuk mempelajari Islam secara langsung dari Rasulullah Saw. Ahlu ash-shuffah tinggal secara sederhana di sekitar Masjid Nabawi dan dalam keadaan yang seadanya. Rasulullah Saw selalu membagikan makanan kepada ahlu ash-shuffah ketika mendapatkan sedekah dari para Sahabat yang lain. Rasulullah bertindak sebagai guru, pemimpin sekaligus pelindung bagi ahlu ash-shuffah.
Beberapa Sahabat yang dikenal sebagai bagian dari ahlu ash-shuffah antara lain: Salman al-Farisi, Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifari, Ibnu Mas'ud, Hudzaifah ibnul Yaman. Sebagaimana ahlu ash-shuffah, menurut Dr. Hamid Fahmi, merupakan komunitas ilmuwan Islam yang mula-mula, yang menandai lahirnya periode ketiga tradisi ilmu dalam Islam, tradisi pesantren juga menandai lahirnya tradisi ilmu dalam peradaban modern Indonesia.
Selama 8 abad perjalanan sejarahnya, tradisi pesantren semakin teguh dan mengakar dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia. Peran strategis yang dimainkannya mengalami pasang surut seiring dengan kondisi yang dialami bangsa. Pernah mencapai puncak ilmu pada sekitar abad ke-15 dengan Hamzah Fansuri sebagai tokoh sentralnya.
Kemudian senyap namun tetap hidup sebagai lentera umat yang menerangi kepada jalan dan ajaran Islam, walaupun dalam keadaan ditekan oleh pemerintah kolonial Belanda. Hingga akhirnya ketika Belanda mencabut resolusi pembatasan berhaji, pada akhir abad ke-19 tradisi pesantren kembali bergairah. Para ulama kelahiran Indonesia menjadi guru besar di Masjid al-Haram, seperti Imam Nawawi, Syeikh Ahmad Khatib as-Sambasi dan Syeikh Mahfudz at-Tirmasi, yang sangat mempengaruhi geliat pesantren di dalam negeri.
Selama 8 abad perjalanan sejarahnya, tradisi pesantren juga dinamis dalam melakukan adaptasi sesuai dengan kebutuhan umat pada zamannya. Pada awal abad ke-20, pesantren mengembangkan sistem madrasah untuk menandingi sekolah-sekolah pendidikan umum yang dibuka oleh Belanda di Indonesia. Kemudian menerima santri putri untuk memperoleh kesempatan dalam pendidikan, dan mulai dimasukkan pengajaran pengetahuan umum seperti berhitung, ilmu bumi, Bahasa Belanda, Bahasa Indonesia dengan porsi yang terbatas.
Seiring dengan perkembangannya, tradisi pesantren juga mampu menghasilkan para ulama (kyai) yang berkualitas sebagai pemimpin yang sangat berpengaruh di kalangan rakyat, baik untuk urusan keagamaan dan kepemimpinan nasional. Pesantren membentuk organisasi pemersatu di kalangan mereka yang bernama Jam'iyyah Nahdlatul 'Ulama (NU) pada tahun 1926 yang dipelopori oleh Syeikh Hasyim Asy'ari. Organisasi NU inilah yang merupakan cikal bakal kendaraan pesantren untuk turut berkontribusi dalam kehidupan politik dan bernegara.
Dengan memperhatikan peran strategis yang dimainkan oleh tradisi pesantren serta kemampuan adaptasi yang dinamis terhadap perubahan zaman dan kebutuhan umat, pesantren tetap hidup dan kokoh berdiri yang mewarnai sistem pendidikan Islam di Indonesia. Pesantren akan memainkan peran yang besar dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang cakap dan tanggap ilmu pengetahuan dan teknologi, sekaligus bertaqwa, untuk menjawab tantangan arus globalisasi.
Namun menurut pemakalah, setidaknya ada tiga hal sebagai prasyarat bagi pesantren untuk mencapainya:
Program kaderisasi ulama harus tetap fokus dan utama dijalankan. Sebab dalam tradisi pesantren dan umat sangat membutuhkan sosok kyai/ulama yang kharismatik, baik dari sisi kedalaman ilmunya dan ketinggian budi pekertinya.
Pengajaran kitab-kitab Islam klasik tetap diutamakan walaupun pesantrean telah memadukan dengan pengajaran ilmu pengetahuan modern. Terdapat dua orientasi dari sistem pendidikan pesantren yang berkembang sebagai hasil interaksi dengan sistem pendidikan modern, yaitu (1) sebagai kaderisasi ulama, dan (2) menghasilkan para profesional muda Muslim yang taat dan memiliki pandangan hidup Islam (Islamic worldview) yang kuat.
Masalah-masalah keumatan kontemporer ini semakin beragam sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keadaan ini menyebabkan masalah-masalah baru bermunculan dan tidak ditemukan oleh ahli fiqh masa salaf, seperti misalnya cloning, bayi tabung, dan sebagainya permasalahan terkait teknologi, misalnya. Para ulama tradisi pesantren harus membuka diri untuk mempelajari hal-hal baru dan kaitannya dengan penetapan Hukum Islam yang belum ditemukan di masa para Ulama salaf.
KESIMPULAN
Tradisi pesantren telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia, yang muncul sejak Islam masuk ke wilayah Nusantara pada tahun 1200. Pesantren telah mengalami banyak dinamika dan pembaharuan dalam rangka menjawab tantangan sesuai zamannya dengan tetap melakukan pelayanan kepada umat.
Dalam menghadapi tantangan arus globalisasi, pemakalah menganalisa kemampuan pesantren dengan melihat dari tiga aspek, yaitu:
Tantangan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mewakili aspek pendidikan modern.
Tantangan terhadap budaya Barat, yang mewakili aspek ideology, sosial dan tata nilai kehidupan.
Tantangan terhadap kontribusi kepemimpinan dan politik nasional, yang mewakili aspek politik dalam negeri.
Pemakalah menyimpulkan secara positif bahwa tradisi pesantren akan mampu menjawab setiap tantangan arus globalisasi sebagaimana tradisi pesantren telah membuktikan bahwa ia mampu bertahan dan beradaptasi dalam setiap keadaan selama 8 abad perjalanan sejarah Indonesia modern. Terbukti sejak tahun 1200 hingga sekarang ini, tradisi pesantren dengan segenap corak khasnya sanggup menjawab tantangan setiap zaman yang telah dilaluinya.
DAFTAR PUSTAKA
Dhofier, Zamakhsyari. 2011. Tradisi Pesantren, Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Fadjar, Malik. 1999. Reorientasi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Fajar Dunia.
Husaini, Adian. 2013. Filsafat Ilmu, Perspektif Barat dan Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Nata, Abuddin. 2012. Kapita Selekta Pendidikan Islam, Isu-isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Rajagrafindo Perkasa.
Qomar, Mujammil. 2007. Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga.
_______________. 2014. Pengantar: Menjawab Tantangan di Dunia Pendidikan, dalam ISLAMIA, Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam, Vol. IX, No. 1.