4
II. Tinjauan Pustaka
2.1.
Biologi Chaetoceros sp
2.1.1. Morfologi dan Klasifikasi Menurut Herlinah (2010), akan menjelaskan mengnai klasifikasi dan morfologi tentang Chaetoceros sp. Secara biologi Chaetoceros Chaetoceros termasuk kelas diatom yang hidup pada lingkungan perairan laut, dimana pada bagian luamya dibungkus oleh cangkang dari silikat dengan bentuk yang geometric beraturan. Jenis ini telah banyak diidentifikasi dan diklasifikasi berdasarkan ukuran, bentuk dan struktur silikat pada cangkangnya. C. gracilis gracilis merupakan fitoplankton sel tunggal
dan
dapat
membentuk
rantai
menggunakan
duri
yang
saling
berhubungan dari sel yang berdekatan. Tubuh utama berbehtuk selinder pipih. Jika dilihat dari samping mikroalgae ini berbentuk persegi dengan panjang 12 14 µm dan Iebar 15 - 17 µm, dengan setae yang menonjol. Selnya dapat membentuk rantai sebanyak 10 - 20 sel dan mencapai panjang 200 µm. Bentuk dari Chaetoceros dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 . Morfologi Chaetoceros sp Sumber : Herlinah (2010)
5
Klasifikasi mikroalga
Chaetoceros
menurut
Botes
(2003)
ayng
dikemukakan Herlinah (2010), sebagai berikut: Phylum
: Chrisophyta
Klass
: Bacillariophyceae
Ordo
: Biddulphiales
Sub ordo : Biddulphineae Famili
: Chaetocerotaceae
Genus
: Chaetoceros
Species
: C. gracillis
Ukuran beberapa jenis Chaetoceros Chaetoceros bervariasi yaitu C. Ceratosporum berukuran 5 – – 7 µm dengan panjang setae 20 µm, sedangkan C. gracillis berukuran 6 -12 µm, volume sel yaitu 30 – – 50 µm² ukuran ini masih dapat diterima larva udang yaitu sekitar 3 – 3 – 30 30 µm. 2.1.2. Siklus Hidup Siklus hidup Chaetoceros yaitu perkembangan secara vegetatif, seksual, dan “resting” spora “resting” spora.. Secara normal Chatoceros berkembang melalui pembelahan sel secara vegetatif, selama pembelahan sel bagian epiteka dan hypoteka masing-masing akan membentuk sel baru dengan ukuran yang lebih kecil (Herlinah, 2010). Untuk siklus hidupnya dapat dilihat pada Gambar 2.
6
Gambar 2. Siklus Hidup Chaetoceros sp Sumber : Herlinah (2010)
2.1.3. Pertumbuhan Menurut Herlinah (2010), akan menjelaskan tentang pertumbuhan Chaetoceros sp. Komposisi kimia fitoplankton merupakan aspek penting dalam akuakultur terutama pada kualitas nutriennya karena berpengaruh terhadap perfoma dan produksi kultivan. Komposisi kimia mikroalga sangat dipengaruhi oleh pase pertumbuhan, intensitas cahaya, suhu, ketersediaan nutrisi dan kepadatan sel. Pertumbuhan Chaetoceros meliputi beberapa fase pertumbuhan, yaitu fase Lag dimana terjadi sedikit peningkatan jumah sel dalam waktu yang relatif lama.
Hal
tersebut
disebabkan
oleh
adaptasi
perubahan
media
kultur.
Selanjutnya pada fase Eksponensia, terjadi peningkatan jumlah sel secara cepat. Kemudian fase penurunan pertumbuhan, dimana pembelahan sel terjadi secara lambat karena penurunan faktor pembatas seperti nutrien, cahaya, pH, karbon dioksida dan faktor fisika kimia lainnya. Fase pertumbuhan dapat dilihat pada Gambar 3.
7
Gambar 3. Fase Pertumbuhan Mikroalgae Sumber : Herlinah (2010)
Sedangkan pada fase stasioner penurunan faktor pembatas, maka laju pertumbuhan berada dalam keseimbangan sehingga kepadatan sel relatif konstan. Setelah itu mengalami fase kematian karena penurunan kualitas air dan nutrien pada batas yang dapat mendukung pertumbuhan selanjutnya kepadatan sel menurun dengan cepat atau terjadi kematian. Algae pada fase eksponensial kemungkinan memiliki komposisi kimia yang berbeda dibandingkan pada fase stasioner. Selain itu perubahan komposisi media kultur dapat merubah pola asam lemak pada algae. Menurut Brown (2002), beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pemanfaatan mikroalga yaitu ukuran dan bentuk, kecernaan (komposisi dan struktur dinding sel), komposisi kimia (nutrien, enzim, dan toksin). Selanjutnya dijelaskan bahwa pada fase akhir logaritma Chaetoceros mengandung protein (30 – 40 %), lemak (10 – 20 %) dan karbohidrat (5 – 15 %). Sedangkan pada fase stasioner, komposisi nutrisi dapat berubah karena kurangnya nitrat pada media kultur sehingga karbohidrat meningkat dan protein cenderung turun.
8
2.1.4. Komposisi Kimia Kandungan nutrien C. gracilis yaitu vitamin C (1,6 %), chlorofil –a (1,04 %), protein (27,68 %), karbohidrat (23,2 %), lemak (9,27 %), lemak (9,27 %), EPA (5,0 %) dan DHA (0,5 %) dan DHA (0,5 %). Sedangkan C. muelleri didapatkan protein (35 %), karbohidrat (20 %), dan kadar abu (15 %) (Herlinah, 2010).
2.2.
Persyaratan Budidaya Chaetoceros sp Menurut Balai Budidaya Laut Lampung (2002), akan menjelaskan tentang
tentang persyaratan kultur Chaetoceros sp yang meliputi faktor Teknis dan Non Teknis. Faktor Teknis tersebut diantaranya adalah Air dan Media Kultur ( a. Unsur Makro : Nitrogen, Fosfor, Besi, Kalium, Magnesium, Sulfur, Kalsium ; b. Unsur Trace Element / Mikro Nutrient ; c. Komposisi Media Pupuk dan d. Faktorfaktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan fitoplankton ) 2.2.1. Faktor Teknis A. Air Pemilihan lokasi untuk budidaya fitoplankton harus mempertimbangkan kemudahan dalam pengambilan air laut dengan perlakuan yang mudah dan ekonomis serta memenuhi persyaratan kualitas dan kuantitas yang terkait dengan aspek biologi, teknik, ekonomis dan higienis. Ketersediaan air tawarpun merupakan kebutuhan pokok karena pada saat-saat tertentu seperti pada musim kemarau terjadi peningkatan kadar garam (salinitas) pada media kultur dengan demikian dapat digunakan untuk menurunkan salinitas. Disamping digunakan untuk keperluan sehari-hari, seperti membersihkan peralatan kerja dan lain-lain. Secara visual sumber air laut yang berkualitas terlihat jernih, bersih, tidak berbau, tidak berwarna dan tidak membawa endapan baik suspensi maupun emulsi. Namun kejernihan air laut tersebut bukanlah jaminan bahwa air tersebut
9
berkualitas, karena sumber air laut yang baik haruslah memenuhi persyaratan secara fisika, kimia, dan biologi. Berikut ini disajikan beberapa parameter kualitas air laut yang perlu diperhatikan dalam pembudidayaan pakan hidup meliputi suhu, salinitas, kesadahan, pH, DO, phosphate, amoniak, kecerahan, NO 2, dan NO3. Standart mutu air untuk budidaya fitoplankton pada Tabel 1.
Tabel 1. Standar Mutu Air Laut Budidaya Fitoplankton No
Parameter
Kisaran Nilai
Satuan
1.
Suhu
28 – 32
°C
2.
Salinitas
30 – 32
°/oo
3.
pH
7,8 – 8,3
-
4.
DO
5.
Kesadahan
80 – 120
Ppm
6.
Phosphate
<0,1
Ppm
7.
Amoniak
<0,5
Ppm
8.
Kecerahan
Maksimum
Ppm
9.
NO2
<0,1
Ppm
10.
NO3
<0,5
Ppm
>5
Ppm
Sumber : Balai Budidaya Air Laut Lampung (2002)
B. Media Kultur Dalam budidaya fitoplankton media kultur digunakan sebagai tempat untuk bertumbuh dan berkembang biak. Media yang digunakan dalam budidaya fitoplankton berbentuk cair yang dalamnya terkandung beberapa senyawa kimia (pupuk) yang merupakan nutrien untuk keperluan hidupnya. Selanjutnya menurut Chen J dan H.P.D. Shetty (1991), pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton memerlukan berbagai nutrien yang diabsorbsi dari luar (media). Hal ini berarti
10
ketersediaan unsur makro nutrien dan mikro nutrien dalam media tumbuhnya mutlak diperlukan. Fungsi utama bahan makanan (nutrien) adalah sebagai sumber energi, bahan pembangun sel dan sebagai aseptor elektron didalam reaksi bioenergetik (reaksi yang menghasilkan energi). Karena sesuai fungsi fisiologis dari masingmasing komponen nutrien (bahan makanan) yang terdapat di dalam media harus terdiri dari : air, sumber energi, sumber karbon, sumber aseptor elektron, sumber mineral dan faktor pertumbuhan (vitamin atau asam amino). a. Unsur Makro Nutrien Nitrogen (N)
Unsur N merupakan komponen utama dari protein sel yang merupakan
bagian
dasar
kehidupan
organisme.
Nitrogen
yang
dibutuhkan untuk media kultur terdiri dari beberapa substansi berikut : KNO3, NaNO3, NH 4Cl, (NH 2 ) 2 CO (urea) dan lain-lain. Fosfor (P)
Unsur P sangat dibutuhkan dalam proses protoplasma dan inti sel. Fosfor juga merupakan bahan dasar pembentukan asam nukleat, fosfolifida, enzim dan vitamin. Dengan demikian fosfor sangat berperan nyata dalam semua aktifitas kehidupan fitoplankton. Fosfor yang dibutuhkan untuk kultur fitoplankton dapat diperoleh dari : KH 2P O4, NaH2PO, Ca3PO4 (TSP) dan lain-lain. Menurut Dwidjoseputro (1986), P dibutuhkan
untuk
pembentukan
pospolipida
dan
nukleoprotein.
Posporilasi dalam fotosintesis juga banyak melibatkan P untuk senyawa berenergi tinggi.
11
Besi (Fe) Unsur
Fe
berperan
penting
dalam
pembentukan
dalam
pembentukan kloroplas dan sebagai komponen esensial dalam proses oksidasi. Unsur besi juga merupakan bahan dasar sitrokrom dan heme atau nonheme protein, kofaktor untuk beberapa enzim. Pada kultur alga komponen besi dapat diperoleh dari : FeCl 3, FeSO4, dan FeCaH 5O 7.
Kalium (K) Unsur K berperan dalam pembentukan protoplasma juga berperan penting dalam kegiatan metabolisme dan aktifitas lainnya (Kurniastuty dan Julinasari, 1995). Sumber K dapat diperoleh dari : KCl, KNO3, dan KH 2P O4. Unsur K juga dapat dijumpai secara melimpah dalam air laut. Dengan demikian penggunaan K sangat dibutuhkan dalam media kultur jika akan digunakan air laut buatan.
Magnesium (Mg ) Unsur magnesium merupakan kation sel yang utama dan bahan dasar klorofil. Kation sel yang utama, kofaktor organik untuk banyak reaksi enzimatik berfungsi dalam penyatuan substart dan enzim. Menurut Chen J dan H.P.C. shetty (1991), kandungan Mg pada air laut sangat tingi yaitu 1200.
Sulfur (S) Sulfur juga merupakan salah satu elemen penting yang dibutuhkan dalam pembentukan protein. Sulfur untuk media alga dapat diperoleh dari NH 4SO4 (ZA), CUSO4 dan lain-lain.
12
Kalsium (Ca) Unsur Ca berperan dalam penyelarasan dan pengaturan aktifitas protoplasma dan kandungan pH di dalam sel. Sumber Ca antara lain : CaCl 2, dan Ca (NO3 )2 .
b. Unsur Trace Element (Mikro Nutrien) Seperti halnya pada tanaman tingkat tinggi, untuk kebutuhan hidupnya fitoplankton juga memerlukan unsur hara mikro. Walaupun yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit namun keberadaannya sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Beberapa Unsur hara mikro tersebut dalam penggunaannya pada media kultur dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis dan Sumber Unsur Hara Mikro No
Trace Element
Sumber Material
1.
Boron
H3BO3
2.
Mangan
MnCl2
3.
Seng
ZnCl2
4.
Kobalt
C0Cl2
5.
Molibdenum
6.
Tembaga
(NH4) 6M07O24. 4H2O CuSO4. 5H2O
Sumber : Balai Budidaya Air Lampung (2002)
c. Komposisi Media Pupuk Berbagai kegiatan baik yang terjadi di dalam sel ataupun yang terjadi pada keseluruhan hidupnya, memerlukan sumber energi dan elemen atau unsur yang menjadi motor segala dari kegiatan kehidupan. Semua sumber untuk kegiatan tersebut yang datang dari laur serta sangat berpengaruh untuk berbagai kegiatan, berbentuk senyawa organik ataupun senyawa anorganik, yaitu
13
senyawa yang tersusun dari unsur makro atau pun unsur mikro .Tidak semua bahan yang telah tersedia secara langsung dapat diserap dan dipergunakan oleh sel. Beberapa persyaratan sangat diperlukan antara lain : 1. Bentuk dan sifat bahan 2. Konsentrasi bahan 3. Enzim 4. Lingkungan yang menyertai Media dan substrat tempat tumbuh dan berkembangnya alga, tersusun oleh komponen-komponen kimia yang diramu atau dikombinasikan sedemikian rupa dalam bentuk formula media sehingga akan menghasilkan pertumbuhan dan produksi sel yang tinggi. Media tersusun oleh unsur-unsur makro dan mikro yang sesuai dengan kandungan usnur-unsur tersebut di dalam sel mikroba. Karenanya antara amsing-masing jenis fitoplankton berbeda pula medianya, mengingat bentuk dan sifat kehidupan dari masing-masing fitoplankton tersebut berbeda. d. Faktor Lingkungan yang Berpengaruh Terhadap Pertubuhan Fitoplankton Pertumbuhan suatu jenis fitoplankton sangat erat kaitannya dengan ketersediaan hara makrodan mikro serta dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di dalam media kulturnya. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhapap pertumbuhan fitoplankton antara lain cahaya, suhu pH, kandungan CO2 bebas dan tekanan osmose (salinitas). Cahaya
Fitoplankton merupakan organisme autotorof yang mampu membentuk senyawa organik dari senyawa-senyawa anorganik melalui proses fotosintesis. Dengan demikian cahaya mutlak diperlukan sebagai sumber energi. Proses fotosintesis pada fitoplankton dapat dituliskan dalam persamaan reaksi sebagai berikut :
14
n CO2 + 2n H2O
n (CH2O) + nO2 + n H2O
Gambar 4 . Proses Fotosintesis Sumber : Balai Budidaya Laut Lampung
Dimana H 2 O bertindak sebagai donor hidrogen, sedangkan n(CH 2O ) adalah karbohidrat. Proses ini memerlukan energi yang diperoleh dari penyerapan cahaya oleh pigmen-pigmen fotosintetik. Pada alga hijau pigmen yang menyerap cahaya adalah klorofil-a, disamping pigmen lain seperti kartinoid, xantofil pada jenis fitoplankton lainnya. Pada Budidaya fitoplankton didalam laboratorium, cahaya matahari dapat digantikan dengan sinar lampu TL dengan intensitas cahaya antara 5000 – 10.000 lux. Intensitas cahaya adalah jumlah cahaya yang mengenai satu satuan permukaan. Satuannya adalah footcandle atau lux. Kisaran optimum intensitas cahaya bagi pertumbuhan fitoplankton adalah 2000 – 8000 lux. Suhu
Suhu
secara
langsung
mempengaruhi
efisiensi
fotosintesis
dan
merupakan faktor yang menentukan dalam pertumbuhan fitoplankton. Umumnya pada kondisi laboratorium, perubahan suhu air dipengaruhi oleh temperatur ruangan dan intensitas cahaya. Sedangkan untuk skala massal yang dilakukan di luar, suhu sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca. Dalam reaksi kimia kenaikan temperatur akan menaikan kecepatan reaksi. Biasa setiap kenaikan 10 °C dapat mempercepat reaksi 2 – 3 kali lipat. Karena didalam proses metabolisme terjadi suatu rangkaian reaksi kimia maka kenaikan suhu sampai pada batas nilai tertentu, dapat mempercepat proses metabolisme. Tetapi temperatur tinggi yang melebihi temperatur maksimum akan
15
menyebabkan
denaturasi
protein
dan
enzim.
Yang
akan
menyebabkan
terhentinya proses metabolisme dalam sel. Menambahkan temperatur
tinggi 40 °C sudah dapat menonaktifkan
bahkan mematikan enzim. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton umumnya adalah 25 °C – 32 °C
pH Kebanyakan sel, termasuk fitoplankton sangat peka terhadap derajat
keasaman cairan yang mengelilinginya. Ion H sangat berpengaruh terhadap kegiatan enzim. Jika suatu enzim menunjukkan kegiatan pada pH tertentu, kenaikan atau penurunan pH dapat menyebabkan kegiatan enzim itu berubah. Kandungan CO2 Bebas
Tersedianya CO2 di dalam media kultur merupakan faktor penting untuk fitoplankton, karena secara langsung dipakai sebagai bahan untuk membentuk molekul-molekul organik melalui proses fotosintesa. Dalam budidaya fitoplankton supai CO2 bebaske dalam media kultur, biasanya dilakukan dengan pemberian aerasi melalui blower (pompa udara) sekaligus untuk meratakansebaran nutrien yang ada. Salinitas
Sebagai salah satu organisme yang hidup didalam air, salinitas merupakan salah satu faktor pembatas bagi pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Fluktuasi salinitas secara langsung menyebabkan perubahan tekanan osmose di dalam sel fitoplankton. Salinitas yang terlampaui rendah, menyebakan tekanan osmosis di dalam sel menjadi lebih rendah atau lebih tinggi, sehingga aktifitas sel menjadi terganggu. Hal ini dapat mempengaruhi pH sitoplasma sel dan menurunkan kegiatan enzim di dalam sel. Umunya fitoplankton air laut hidup normal pada salinitas optimum 25 – 35 °/oo.
16
2.2.2. Faktor Non Teknis Sebagai langkah awal untuk menentukan lokasi budidaya fitoplankton, perlu diketahui terlebih dahulu peruntukan suatu wilayah yang biasanya telah terpetakan dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan tata guna lahan. Hal ini untuk menghindari kesulitan dalam perijinan dan resiko usaha karena perbedaan kepentingan dikemudian hari, yang mengancam kelangsungan usaha. Lokasi Budidaya hendaknya dipilih di daerah yang mempunyai berbagai kemudahan-kemudahan untuk memperoleh sarana dan prasarana seperti transportasi, telekomunikasi, listrik (PLN), tenaga kerja, keamanan dan berbagai fasilitas sosial lainnya yang memberi kenyamanan dalam bekerja. Dengan dukungan yang lebih baik dari f aktor non teknis akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas usaha sehingga target produksi dapat tercapai.
2.3.
Sarana dan Prasarana Kultur Menurut Balai Budidaya Laut Lampung (2002), yang menjelaskan tentang
Sarana dan Prasarana Kultur. Sarana Kultur diantaranya adalah Peralatan Kultur Skala Laboratorium dan Sistem Air Laut. Prasaranan Kultur yang meliputi Laboratorium Kultur Murni, Ruang Kultur Semi Massal, Bak Kultur Massal, 2.3.1. Sarana Kultur Ruang kultur skala laboratorium dilengkapi dengan peralatan-peralatan untuk kultur seperti kegiatan isolasi, sterilisasi dan kegiatan kultur. Peralatan kerja ditempatkan sedemikian rupa sehingga tertata dengan rapi dan dapat memberikan kemudahan dalam operasional. Jenis peralatan untuk kultur murni (kultur skala laboratorium) dapat dilihat pada Tabel 3.
17
Tabel 3. Peralatan Untuk Kultur Murni No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Jenis Peralatan Botol 0,5 L sampai 20 L
Oven
Erlenmeyer, carbouy
Refrigator
Pipet
Timbangan sartorius
Beacker glass
Haemacytometer
Pipa glass
Pemanas bunsen
Cawan petri
Plankton net
Tabung reaksi 20 ml, rak
Jarum ose
Lampu TL 10-40 watt
Selang aerasi, batu timah dan batu aerasi
Refraktometer
Ember
Thermometer
pH meter/DO meter
Mikroskop
Hi. Blower
Autoclave
Sumber: Balai Budidaya Laut Lampung (2002)
2.3.2. Prasarana Kultur A. Laboratorium Kultur Murni Laboratorium kultur murni/stok merupakan bangunan terdiri dari beberapa ruangan yang peralatan, desain dan kontruksi sesuai fungsinya. Ruang kultur murni/stok berfungsi untuk memelihara kemurnian stok phytoplankton. Ruangan ini didesain tanpa jendela, berpintu satu dan menghadap tempat kultur semi massal serta dapat mempertahankan suhu sampai 23 – 26
0
C. Konstruksi
ruangan ini dibuat dari bahan tahan karat dan tidak mudah lapuk serta bahan yang dapat mempertahankan suhu.
18
B. Ruang Kultur Semi Massal Ruang kultur semi massal adalah bangunan permanen semi “ out door ” yang berfungsi untuk pengembangan stok fitoplankton dari laboratorium menjadi skala massal semi “out door ” atau lazim dikenal dengan kultur semi massal. Dalam ruang ini dilengkapi dengan peralatan berupa wadah seperti akuarium, fiberglass dengan volume 800 liter sampai dengan 1 m 3. Ruang kultur semi massal didesain agar bisa mendapat sinar matahari yang cukup sepanjang hari, sirkulasi udara yang cukup dan dapat melindungi dari gangguan luar. Konstruksi harus kuat dan menahan beban atap dengan kerangka dari bahan tahan karat dan tidak mudah lapuk, beratap dari bahan yang dapat tembus cahaya seperti kaca, fiberglass atau polycarbonat . C. Bak Kultur Massal Menurut Balai Budidaya Laut Lampung (2002), bak kultur massal ( out door ) berfungsi sebagai tempat kultur atau produksi massal fitoplankton. Bak ini berukuran minimal 10 m 3 tergantung dari jumlah phytoplankton yang diperlukan perharinya. Semakin banyak kebutuhan phytoplankton, ukuran bak dapat ditingkatkan sehingga dapat menghemat tenaga kerja dan lebih memudahkan dalam pengelolaan. Desain bak berbentuk segi empat maupun bundar dengan dasar bak dilengkapi lubang pembuangan, berlantai miring ke arah lubang pembuangan dan tidak ada sudut mati. Konstruksi bak harus dapat menahan volume air, dengan permukaan halus yang bisa terbuat dari pasangan bata/fiberglass. Bahan yang digunakan harus tidak menghasilkan bahan cemaran (Balai Budidaya Laut Lampung, 2002). Dalam kultur massal phytoplankton skala massal, diperlukan intensitas penyinaran (cahaya) yang cukup. Disarankan kedalaman bak kultur sebaiknya tidak lebih dari 1 meter karena apabila kedalaman bak kultur lebih dari 1 meter
19
dikhawatirkan daya tembus cahaya tidak sampai ke dasar bak. Apabila sinar matahari tidak sampai ke dasar, maka phytoplankton yang dikultur akan mempunyai laju pertambahan sel yang lambat atau bahkan bisa mati. D. Sistem Air Laut Tersedianya air laut bersih dan jernih mutlak diperlukan dalam kultur phytoplankton. Untuk mendapatkan air laut bersih dan jernih sesuai dengan persyaratan, sarana yang dibutuhkan akan sangat tergantung dari kondisi perairan yang ada, apabila perairan laut sangat jernih filter air laut yang digunakan akan semakin komplek. Dengan semakin tingginya tingkat kekeruhan atau rendahnya kualitas sumber air, biaya investasi maupun operasional akan semakin tinggi pula. Untuk meningkatkan kualitas air laut banyak cara yang dilakukan yaitu dengan cara mekanik, biologi dan kimia. Peningkatan kualitas air yang umum dan mudah dilakukan adalah dengan cara mekanik yaitu dengan mengendapkan atau dengan saringan pasir. Pada kultur phytoplankton skala laboratorium air laut yang digunakan disterilkan dengan cara perebusan atau dengan cara UV dan ozonisasi. Selanjutnya air laut disaring melalui saringan 50 µm, 5 µm, 2 µm. Sedangkan pada kultur fitoplankton skala massal dan semi massal, air laut disterilkan dengan cara kimia, yaitu dengan menggunakan bahan chlorin (kaporit). Air laut yang akan digunakan sebelumnya disaring, lalu disterilkan dengan kaporit 15-20 ppm selama 1-2 hari atau sampai netral. Untuk mengetahui/mengecek chlorin digunakan chlorin test. Secara keseluruhan, untuk mendapatkan air baku yang dimaksud maka harus melalui serangkaian instalasi air laut yang terdiri atas filter, pompa bak penampungan air/tandon dan pipa pengadaan serta distribusi air laut.
20
a.
Filter Air Laut
Filter hisap Sesuai dengan nama dan fungsinya, filter ini ditempatkan pada bagian
hisap pompa. Posisi penenpatan filter bisa secara horizontal atau vertikal disesuaikan dengan kontur dasar perairan pengaruh selisih pasang tinggi dan surut terendah, kedalaman perairan, jenis dasar perairan dan sistem pompa yang dipergunakan. Fungsi filter adalah untuk mencegah terhisapnya bagian kasar dari dasar perairan seperti batuan, jasad akuatik dan bahan lain yang dapat mengganggu atau menghambat kerja pompa. Penempatan filter sebaiknya menggunakan kerangka tancap (rak) di dasar perairan.
Filter buang Penempatan filter ini adalah pada bagian outlet (pengeluaran) pompa
sebelum air yang keluar dipergunakan. Filter ini terdiri dari dua macam filter yaitu filter terbuka dan filter tertutup. Filter buang terbuka biasanya menggunakan bak semen atau fiber glass dan pasir sebagai bahan penyaring. Mekanisme penyaringan pada filter terbuka dengan mengalirkan air dari bawah ke atas “Up Welling Filter”, pengaliran ini bertujuan agar penyaringan lebih efisien. Filter buang tertutup biasanya terbuat dari fiberglass yang telah dilengkapi dengan pasir sebagai penyaring. Filter ini biasanya sering dijumpai di pasaran dengan ukuran bervariasi dari 1 - 2 ton. b.
Pipa distribusi air laut Pipa diperlukan untuk mengalirkan air laut dari filter ke tandon (bak
penampungan) atau dari bak penampungan ke bak - bak yang membutuhkan. Dalam proses pengaliran atau distribusi diperlukan “stop kran” untuk mengatur kebutuhan air sesuai kapasitas bak atau untuk membuka dan menutup aliran air.
21
Jaringan pipa distribusi terdiri dari pipa utama (primer), pipa pembagi (sekunder) dan pipa pengguna (tersier). Perbandingan pipa primer, sekunder, dan tersier adalah 1 : 0,5 : 0,25 atau 1 : 0,75 : 0,5 dengan tujuan agar air yang diterima bak dapat merata, khususnya untuk distribusi yang menggunakan pompa langsung. c.
Bak penampungan Bak penampungan adalah bak yang digunakan untuk menampung air
bersih yang merupakan hasil penyaringan atau hasil sterilisasi dengan kaporit. Ketersediaan bak penampungan ini mutlak diperlukan karena untuk mengurangi adanya kontaminan yang akan masuk ke bak kultur fitotoplankton. Kelebihan lain dari penggunaan bak tandon adalah: -
Air
dapat
didistribusikan
secara
gravitasi,
untuk
itu
letak
bak
penampungan harus lebih tinggi dibanding bak kultur. -
Sterilisasi air bisa dilakukan dengan penambahan bahan kimia misalnya kaporit.
-
Menghindari terbakarnya elektro motor pompa akibat pemakain air yang tidak sesuai antara inlet dan outlet.
d.
Sistem aerasi Sistem aerasi adalah rangkaian proses pengambilan dan pemasukan
udara ke dalam media pemeliharaan. Dalam kultur fitoplankton secara massal sistem aerasi sangat penting artinya karena selain sebagai sumber O 2 / CO 2 juga berfungsi pengaduk (sirkulasi air media pemeliharaan, pemerataan cahaya dan pemerataan pupuk. Pengudaraan kedalam bak kultur sebaiknya dengan kekuatan aerasi sedang dan merata dengan maksud untuk lebih memeratakan penyebaran pupuk ke seluruh bagian bak kultur fitoplankton. Pada kultur fitoplankton penambahan udara kedalam media pemeliharaan dilakukan dengan cara memompa udara dari luar dengan blower (pompa udara).
22
Pompa udara yang digunakan biasanya tergantung kedalaman air media kultur, akan tetapi yang banyak digunakan adalah Hi Blow, Vortex Blower, Root Blower dan Aerator Akuarium. Untuk kultur phytoplankton skala laboratorium biasanya digunakan Vortex Hi Blow (mini blower), sedangkan pada skala massal ( out door ) digunakan “Vortex Blower” atau “Root Blower” tergantung skala usaha yang dilakukan. Dalam sistem aerasi perlengkapan lain yang harus dipenuhi adalah pipa, stop kran, selang, pemberat dan batu aerasi. Pipa dan stop kran sebaiknya terbuat dari bahan PVC atau bahan lain yang tidak mudah berkarat. Untuk selang aerasi dipilih dari bahan plastik yang lentur, sehingga jika terkena panas tidak cepat mengeras. Batu aerasi berfungsi menghasilkan gelembung udara yang halus sehingga mempertinggi difusi O 2/CO2 dari udara ke dalam air media pemeliharaan, sehingga pompa udara yang digunakan akan memberikan hasil yang optimum. Penempatan pipa dan batu aerasi di dalam bak kultur phytoplankton diatur sedemikian rupa sehingga terjadi arus balik aliran air dari bak kultur ke dalam blower. e. Tenaga listrik Listrik merupakan sumber tenaga untuk menjalankan peralatan dan sistem penunjang lainnya. Sumber tenaga listrik dapat berasal dari PLN atau generator. Untuk memudahkan dalam operasional dan perawatan, sebaiknya lokasi dipilih yang sudah ada jaringan PLN. Pemasangan generator mutlak dilakukan terutama di daerah dimana sering terjadi pemadaman aliran listrik. f. Tata letak Tata letak merupakan salah satu faktor penting yang harus direncanakan dan diperhatikan sebaik mungkin. Kesalahan dalam penentuan tata letak akan mengakibatkan
kesulitan
dalam
operasional.
Beberapa
hal
yang
perlu
23
dipertimbangkan
antara
lain:
kemudahan
dalam
operasional,
memenuhi
persyaratan teknis, dapat menekan biaya dan ketersedianya lahan. Pada kultur skala laboratorium tata letak ruangan harus berdampingan dengan ruang laboratorium dan dekat dengan ruang/tempat ruang semi massal serta terpisah dari ruang kultur skala laboratorium zooplankton. Selain itu wadah kultur untuk phytoplankton yang berwarna hijau harus dipisah dari dari wadah kultur untuk plankton coklat (diatom), demikian juga dengan peralatan lain yang dipakai. Untuk kultur semi massal letak ruang semi massal harus dekat dengan ruang kultur skala laboratorium/murni tetapi tidak berdekatan ruang kultur semi massal zooplankton. Dalam kultur fitoplankton (chaetoceros sp), penempatan bak harus terpisah dari bak kultur zooplankton. Hal ini untuk menghindari uterjadinya kontaminasi fitoplankton oleh zooplankton. Dengan penempatan yang benar kegagalan kultur fitoplankton (chaetoceros sp) karena kontaminasi zooplankton bisa dicegah. Penempatan bak kultur fitoplankton ( chaetoceros sp) tidak boleh terlalu jauh dari bak pemeliharaan larva, karena plankton merupakan kebutuhan pokok yang diperlukan pada pemeliharaan larva.
2.4.
Pelaksanaan Kultur Chaetoceros sp Menurut Balai Budidaya Laut Lampung (2002), yang akan menjelaskan
mengenai Pelaksanaan Kultur yang meliputi Kultur Skala Laboratorium, Kultur Skala Semi Massal dan Kultur Skala Massal 2.4.1. Kultur Skala Laboratorium a. Sterilisasi alat dan bahan Kultur skala laboratorium merupakan kultur fitoplankton yang murni atau monospesies. Pada tahap ini kesterilan alat, media kultur dan tempat kultur sangat dibutuhkan. Air laut yang digunakan kultur harus bebas dari organisme
24
lain yang bisa menjadi kompetitor fitoplankton yang dikultur, seperti fitoplankton jenis lainnya, zooplankton, protozoa dan bakteri. Setelah melalui penyaringan dengan Filter Bag , air laut dapat disterilisasi dengan beberapa cara antara lain perebusan, sinar Ultra Violet (UV), ozonisasi atau chlorinasi. Sedangkan untuk peralatan kultur yang berupa gelas (cawan petri, tabung reaksi, elenmeyer) terlebih dahulu dicuci bersih dengan air untuk kemudian dikeringkan dan disterilisasi dengan menggunakan autoclave, oven atau alkohol . Peralatan lain berupa perangkat aerasi disterilisasi dengan perebusan. Ruang dan tempat kultur senantiasa disucihamakan dengan antiseptik dan alkohol. b. Isolasi
Tujuan isolasi untuk memperoleh fitoplankton monospesies (murni) dengan cara mengambil air sample air laut di alam dengan menggunakan planktonet, untuk selanjutnya diamati dibawah mikroskop. Selain bibit dari alam, isolasi juga dilakukan pada fitoplankton hasil kultur yang mengamati kontaminasi. Ada beberapa cara isolasi antara lain pengenceran berseri dan menggunakan
pipet
kapiler.
Pengenceran
berseri
dilakukan
dengan
mengencerkan sample yang diperoleh yaitu dengan cara memindahkan sampel ke dalam beberapa tabug reaksi yang telah berisi pupuk sesuai dengan fitoplankton yang dominan dan diinginkan. Selanjutnya hasil pengenceran diamati dibawah mikroskop dan biasanya fitoplankton yag dominan akan tumbuh semakin padat dan semakin mendominasi media kultur. Pada metode pipet kapiler dilakukan dengan cara meneteskan beberapa tetes sampel dipermukaan cawan petri dan diberi media pupuk masing-masing satu tetes. Sampel fitoplankton dipindahkan pada salah satu media dengan menggunakan pipet kapiler steril (pipet yang ujungnya sekecil jarum). Pemindahan fitoplankton dilakukan dari tetesan ke tetesan, demikian seterusnya hingga diperoleh
25
fitoplankton
monospesies
seperti
yang
diinginkan.
Untuk
mengetahui
keurniaanya harus selalu diamati dibawah mikroskop. c. Kultur Media Agar Mula-mula bacto-agar sebanyak 1,5 gram dilarutkan dalam 100 ml air laut kemudian dipanaskan sampai mendidih dan larutan menjadi jernih. Selama pemanasan berlangsung, larutan selalu diaduk agar tidak terjadi penggumpalan. Setelah mendidih larutan bacto-agar tersebut diangkat dan setelah agak dingin ditambahkan pupuk sesuai dengan jenis fitoplankton yang akan ditanam. Selanjutnya larutan dituangkan kedalam cawan petri yang sudah steril dengan ketebalan 3 – 5 mm atau kedalam tabung reaksi steril dengan posisi miring. Setelah media agar membeku, siap digunakan untuk menanam inokulum (bibit fitoplankton) dengan metode gores, metode tetes atau metode tuang. Pada metode gores digunakan jarum ose yang sebelumnya dibakar terlebih dahulu dengan menggunakan lampu bunsen agar steril. Bibit fitoplankton digoreskan pada permukaan media agar dengan menggnakan jarum ose. Dalam metode tetes digunakan pipet tetes steril untuk mengambil dan meneteskan inokulum pada permukaan media agar, dengan menetekan setetes demi setetes secara terpisah. Sedangkan dengan metode tuang, inokulum dituang dan diratakan pada permukaan media agar dengan gerakan memutar. Kegiatan tersebut dilakukan dalam ruangan yang steril (laminar). Untuk mencegah kontaminasi dengan mikroorganisme lain, cawan petri yang telah ditanam bibit fitoplankton disegel atau ditutup dengan selotip, kemudian diletakkan di rak kultur desinari dengan lampu neon TL. Cawan petri diletakkan dalam keadaan terbalik untuk mencegah terjadinya penetesan embun dari bagian tutup ke media agar, hal tersebut akan mengganggu pertumbuhan fitoplankton dan koloni akan tumbuh setelah 4 – 7 hari .
26
d. Kultur di media cair Tahap selanjutnya adalah pemindahan dari media agar ke media cair. Koloni yang akan tumbuh dan perkembangan di media agar dipindahkan dengan menggunakan jarum ose kedalam tabung reaksi yang berisi air laut steril dan setelah diberi pupuk. Sebaiknya digunakan satu jarum ose untuk satu jenis fitoplankton. Sebelum dipindahkan, fitoplankton diamati di bawah mikroskop untuk mengetahui kemurniaannya. Tabung-tabung reaksi yang telah berisi bibit fitoplankton ditempatkan dalam rak tabung reaksi dan diletakkan pada rak kultur yang dilengkapi dengan lampu neon TL. Selama masa kultur, tabung reaksi dikocok sesering mungkin dengan tujuan untuk menghindari terjadinya pengendapan dan untuk difusi udara. Bibit fitoplankton dalam tabung reaksi akan semakin meningkatkepadatannya dan dapat dipindahkan sebagian ke wadah yang lebih besar volumenya (100 – 300 ml), sedangkan sebagian lagi dipindahkan ke tabung reaksi lain untuk mempertahankan kemurniaanya. Fitoplankton yag dikultur bisa diaerasi atau tanpa aerasi. Apabila menginginkan pertumbuhan yang cepat, sebaiknya diaerasi dan apabila tujuannya untuk persediaan tidak perlu diaerasi, cukup dikocok sewaktu-waktu. Setelah kepadatannya cukup (sekitar 1 minggu) dapat dipindahkan ke volume yang lebih besar (500 – 1000 ml). Demikian seterusnya kultur dilakukan secara bertahap dari volime kecil ke volume yang lebih besar (sampai dengan 5 liter) dengan waktu kultur masing-masing 4 – 7 hari. Penyaringan dilakukan untuk memisahkan kotoran atau fitoplanktonyang mati/menggumpal dengan menggunakan kertas saring atau kertas tisu. Kegiatan tersebut berlangsung terus menerus dan berkesinambungan dari media agar ke media cair dan dari volume kecil ke volume lebih besar secara bertahap.
27
e. Pembuatan pupuk Pupuk yang digunakan pada skala laboratorium ini terbuat dari bahan kimia PA (Pro Analise) dengan dosis pemakaian 1 ml pupuk untuk 1 liter volume kultur. Jenis dan formula pupuk adalah yang sudah distandarkan dan umum digunakan yaitu Conwy (Walne’s medium) dan Guillard dan Rhyter Modofikasi F. Untuk memudahkan pemakainnya, terlebih dahulu dibuat stok pupuk cair. Komposisi pupuk untuk skala laboratorium terdapat pada Tabel 4 .
Tabel 4 . Komposisi Pupuk Untuk Kultur Skala Laboratorium Nama Pupuk NO
Bahan Kimia Conwy/Walne
Guillard
1.
EDTA
45 gram
10 gram
2.
NaH 2P O4. 2H 2O
20 gram
10 gram
3.
FeCl 3. 6H 2O
1,5 gram
2,9 gram
4.
H 3BO3
33,6 gram
-
5.
MnCl 2
0,36 gram
3,6 gram
6.
NaNO3
100 gram
100 gram
7.
Na2 SiO3. 9H 2O
-
5 gram/30 ml
8.
Trace Metal Solution
1 ml
1 ml
9.
Vitamin
1 ml
1 ml
10.
Aquades
1000 ml
1000 ml
Sumber : Balai Budidaya Laut Lampung (2002)
Air yang digunakan dalam pembuatan pupuk adalah aquades atau air tawar steril ditempatkan dalam gelas ukur 1000 ml. Bahan-bahan kimia yang akan digunakan ditimbang dan dilarutkan satu persatu secara berurutan ke dalam gelas ukur. Trace metal dan vitamin dibuat sendiri untuk mempermudah
28
pemakaiannya. Setelah seluruh bahan larut sempurna, pupuk cair disimpan dalam botol gelap dan siap digunaan sesuai dengan kebutuhan. Komposisi trace metal terdapat pada tabel 5.
Tabel 5. Komposisi Trace Metal Solution Nama Pupuk NO
Bahan Kimia Conwy/Walne
Guilard
1.
ZnCl2
2,10 gram
-
2.
CuSO4. 5H2O
2,00 gram
1,96 gram
3.
ZnSO4. 7H2O
-
4,40 gram
4.
CoCl2. 6H2O
2,00 gram
2,0 gram
5.
(NH4)6. Mo7O24. 4H2O
0,9 gram
1,26 gram
6.
Aquabides
100 ml
100 ml
Sumber : Balai Budidaya Laut Lampung (2002)
f.
Penyimpanan Fitoplankton Untuk menjaga kesinambungan stok murni, selain kultur di media agardari
tabung reaksi juga perlu dilakukan penyimpanan dalalm lemari es baik dalam bentuk agar atau cair. Dengan penyimpanan, stok kultur dapat bertahan 1 – 6 bulan dan dapat digunakan untuk bibit kultur apabila fitplankton mengalami penurunan kualitas. Untuk mengkulturnya kembali tentunya diperlukan adaptasi terlebih dahulu sekitar 1 hari sampai suhunya sama dengan suhu ruangan, selanjutnya dikultur seperti biasa. g. Kendala Kultur Laboratorium Kendala yang umum ditemui dalam kultur fitoplankton skala laoratorium yaitu kontaminasi dengan bakteri, protozoa, atau fitoplankton lain. Sumber
29
kontaminasi bisa berasal dari medium kultur (air laut, pupuk), udara (aerasi) dan wadah serta inokulum.
2.4.2. Kultur Skala Semi-Massal a. Alat dan bahan kultur semi massal Kegiatan kultur fitoplankton (chaetoceros sp) semi massal, tetap mempertahankan kesterilan wadah, media dan lokasi kultur, sama halnya dengan di skala laboratorium. Dalam pelaksanaanya memerlukan peralatan dan bahan sebagai berikut:
Seperangkat peralatan aerasi (pengudaraan) seperti selang aerasi, batu aerasi, batu timah, blower (blower kecil/Hi Blow).
Beberapa ukuran wadah, dari volume 50 liter sampai 1000 liter, seperti akuarium dan bak-bak fiber tembus cahaya. Lebih praktis menggunakan bak fiber daripada bak beton, karena bisa dipindah-pindah mudah membersihkannya
dan
penyerapan
sinar
lebih
optimal.
Kultur
menggunakan wadah akuarium kaca, sebaiknya ditempatkan diatas meja, untuk menghindari percikan dan kontaminasi. Diperlukan juga bak tandon ukuran sedang untuk wadah sterilisasi air laut. Beberapa ukuran selang benang atau spiral (1/2 sampai 1). Kaporit/chlorin untuk sterilisasi air dan wadah.
Berbagai ukuran ember dan gayung.
Bibit Chaetoceros sp murni dari hasil kultur skala laboratorium.
Bahan-bahan kimia murni atau teknis, untuk pupuk.
Peralatan pendukung untuk monitor kualitas air, seperti refraktometer, thermometer, pH meter dan klorin test.
30
b.
Teknik kultur semi massal Kegiatan kultur semi massal ini dilakukan diuang semi out door tampa
dinding, beratapan transparan, untuk memanfaatkan cahaya matahari. Kekuatan cahaya sinar matahari mutlak diperhatikan, berkaitan dengan jenis bahan wadah, dan volume kultur. Kultur dengan wadah akuarium/fiber transparan pada volume sekitar 100 liter, kekuatan cahaya yang dibutuhkan jauh lebih kecil bila memakai bak beton atau fiber yang volumenya lebih besar. Cahaya yang terlalu kuat menghambat pertumbuhan dan juga akan memberi pengaruh suhu yang tinggi, sehingga kultur cenderung kurang berhasil. Sebelum melakukan kultur, terlebih dahulu menyiapkan wadah dan peralatan lainnya secara steril dengan kaporit 100 ppm. Sterilisasi air laut di bak tandon dengan kaporit 15 - 20 ppm, dilakukan pengadukan/pengudaraan selama 1 - 2 hari atau sampai netral, kemudian diendapkan dengan menghentikan pengudaraannya. Chlorin test dapat digunakan untuk mengetahui kenetralan air laut. Sebagai catatan saat dilakukan pengadukan, harus terkena cahaya matahari dan kontak dengan udara terbuka, untuk mempercepat air menjadi nertal. Tidak dianjurkan untuk menggunakan penetral seperti Natrium Thiosulfat, karena pemakaian dosis yang salah justru akan mematikan chaetoceros itu sendiri dan juga berbahaya untuk larva udang/ikan. Bibit murni didapat dari hasil kultur skala laboratorium, sebelum dikultur perlu dilakukan adaptasi lingkungan, minimal satu hari. Untuk volume 100 liter diperlukan bibit 5 - 10% dari volume total. Di awal kultur diperlukan salinitas 28 – 30 ‰, suhu air laut di bawah 30 0C dan pH 7,9 - 8,3 dan kekuatan cahaya pada kisaran 10.000 - 50.000 lux. Kekuatan cahaya yang tinggi akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhannya dan pengaruh lainnya pada air media, yaitu suhu air, salinitas dan pH menjadi tinggi akibatnya kultur tidak akan berhasil.
31
Untuk skala semi massal digunakan pupuk dari bahan kimia murni (PA : Pro Analyzy) dan atau pupuk teknis.pemupukan dapat dilakukan di awal kultur atau bersamaan dengan masuknya bibit, dengan dosis 1 ml/1 liter media air kultur. Ada banyak jenis formula pupuk yang dapat digunakan beberapa contoh nama formula yang sudah baku seperti: Conwy, Guillard’s, EDTA, TMRL, dan modifikasi BBL sm (semi massal). Bahan kimia trace metal masih menggunakan bahan kimia murni (PA), karena belum ada bahan teknisnya dan kebutuhannya sangat sedikit, untuk kultur dengan volume lebih dari 10 m 3 tidak mutlak ditambahkan, tergantung lokasi perairan. Trace metal adalah logam berat yang digolongkan sebagai mikronutrien, mutlak diperlukan dalam kadar yang rendah, bila berlebih justru akan mematikan chaetoceros sp. Untuk mendapatkan kepadatan yang optimal diperlukan waktu kultur 3 - 5 hari, tergantung jenis phytoplanktonnya, kepadatan awal tebar dan kondisi lingkungan (musim). Dari volume kultur 100 liter selanjutnya digunakan sebagai bibit untuk kultur volume 1000 liter (1 m 3). Pupuk yang dipakai dari bahan kimia teknis atau dapat juga dilakukan kombinasi bahan teknis dengan pupuk pertanian. Kultur selanjutnya pada volume yang lebih besar 10 - 100 m 3 .
2.4.3. Kultur S kala Massal a. Alat dan Bahan kultur massal Peralatan yang diperlukan untuk kultur massal (volume 10 - 100 m³) sebagian hampir sama dengan di semi massal, seperti kebutuhan akan kaporit, peralatan pengudaraan dan peralatan monitor kualitas air. Adapun sarana tambahan lainnya yaitu :
32
Berbagai ukuran wadah kultur, dapat berupa bak fiber atau bak beton yang permanen dari volume 10-100 m³), tergantung kebutuhan atau jenis skala pembenihannya.
Berbagai ukuran selang benang/spiral dan pipa.
Beberapa
jenis
pompa digunakan
untuk
pemindahan
air steril
dan
pendistribusian fitoplankton ke bak larva dan bak kultur zooplankton (Branchionus).
Pupuk pertanian, seperti Urea, ZA, TSP, molase, orgami.
Bibit fitoplankton dari hasil kultur di semi-massal.
Air laut steril.
Untuk kultur bentik fitoplankton diperlukan tambahan alat/bahan untuk menempelnya.
b. Teknik Kultur Kegiatan di skala massal tidak jauh dengan kultur di skala semi-massal. Aktifitas diawali dari sterilisasi bak dan peralatan dengan kaporit 100 ppm dan sterilitasi air laut 10 - 20 ppm, tergantung kekeruhan air laut. Sterilisasi penting dilakukan untuk lokasi pemebenihan yang kondisi perairan perairannya trelalu subur akan bahan organik/lumpur dan mikroorganisme pathogen lainnya. Sebagai catatan, meskipun air laut terlihat jernih karena kondisi alam memang masih bersih dan tidak ada pencemaran lingkungan oleh kegiatan industri ataupun telah dilakukan penyaringan, tetap diperlukan tahapan sterilisasi untuk menghindari
kontaminasi
fitoplankton
lainnya,
sperti
diatomae,
karena
diharapkan kultur tetap satu jenis dan relatif murni. Kontaminan oleh fitoplankton yang ukurannya lebih besar dari 20 µm akan menimbulkan masalah, khususnya pada tahapan panen Branchionus sp.
33
Pemupukan dilakukan dengan bersamaan dengan masuknya bibit fitoplankton dari hasil kultur skala semi-massal, sekitar 10 - 20 % tergantung kepadatannya. Bak kultur massa berukuran 10 - 100 m³, dari bahan fiber atau pasangan bata permanen. Jenis pupuk yang digunakan adalah pupuk pertanian sperti Urea, ZA, NPK dan KNO 3 sebagai sumber nitrogen, dan TSP, SP3, NPK sebagai sumber phospatnya. Vitamin dan mikronutrien lainnya bisa ditambah sebagai pelengkapnya. Hasil sampingan dari proses pembuatan gula (molase) atau bumbu masak (orgami) dapat dijadikan sebagai sumber mikronutrien, ini telah dibuktikan dengan kegiatan kultur fitoplankton di Balai Budidaya Laut Lampung, dan hasilnya sangat baik. Dosis yang digunakan dalam kultur massal adalah 1 - 2 liter untuk volume 100 m³ media air kultur (Pujo dkk., 1998). Kultur phytoplankton dari kelas Diatomae perlu ditambah unsur silikat sekitar 5 - 20 ppm, tergantung jenisnya. Waktu kultur unutk mencapai kepadatan optimal dan aman digunakan sebagai pakan Branchionus sp, serta pemakaian secara langsung di bak pemeliharaan larva ikan (Green Water System), umumnya berkisar sampai 4 - 6 hari. Faktor lingkungan alam sangat dominan peranannya, seperti cahaya matahai dan musim. Salah satu kriteria phytoplankton yang baik kualitasnya sebagai pakan hidup, harus memiliki pola tumbuh yang normal, untuk itu perlu dilakukan pengamatan pertumbuhannya dengan melihat perubahan warna secara fisual dan mengatur kecerahannya dengan alat sechi disk. Bila memungkinkan, akan lebih baik dilakukan pengamatan dan perhitungan dibawah mikroskop dengan bantuan alat hitung yaitu Haemocytometer. Pengamatan dengan mikroskop memberi beberapa keuntungan antara lain, dapat mengetahui penambahan jumlah sel setiap harinya, mengamati bentuk sel dan kemungkinan adanya kontaminan mikroorganisme lainnya.
34
Pengawasan yang disiplin memberikan hasil yang baik, dengan demikian kemurnian kultur massal dapat dipertahankan lebih lama dan berkualitas. BBL Lampung sebagai instansi pemerintahan berfungsi sebagai Unit Pelaksana Teknis, telah melakukan kajian-kajian dan penyempuranaan untuk mendapatkan formula pupuk massal yang lebih efektif, disajikan pada tabel. Salah satunya adalah dengan variasi formila pupuk pertanian (formula BBL), dapat mengurangi waktu kultur menjadi 3 - 4 hari dari 5 - 7 hari, dengan kepadatan populasi mencapai 16 - 19 juta sel/ml. Formula pupuk yang berbeda memberi pola tumbuh dan warna yang berbeda pula (Ari dkk., 2001). Formula pupuk untuk kultur fitoplankton terdapat pada Tabel 6.
Tabel 6. Beberapa Formula Pupuk Kultur Massal Fitoplankton Laut Nama Formula (ppm) NO Bahan Kimia Yashima BBL Dt* BBL B* BBL C*
BBL S*
1.
Urea
10
30
30
50
50
2.
ZA
100
40
30
20
50
3.
TSP
10
20
10 – 15
10 - 15
15 – 20
4.
Molase/Orgami
-
10
10
10
15
5.
Silikat (Teknis)
-
5 - 20
-
-
-
Sumber : Balai Budidaya Laut Lampung (2002) Keterangan : BBL Dt : Pupuk untuk kultur Diatomae BBL B dan BBL C : Formula pupuk kultur massal fitoplankton hijau dan digunakan sebagai pakan BBL S : formula pupuk kultur awal (bibit)