TINJAUAN PUSTAKA PROGNOSIS PADA STROKE
I.
PENDAHULUAN
Stroke termasuk penyakit yang mengakibatkan kematian dan kecacatan. Meskipun sampai batas tertentu sudah diketahui prevalensi dan beratnya serangan stroke, sebagian besar dokter tetap merasa ragu bila ditanya oleh keluarga pasien ataupun pasien sendiri berkaitan dengan estimasi seberapa jauh kesembuhan pasien. Hanya sedikit publikasi yang dapat dipergunakan untuk estimasi prognosis pada stadium awal serangan stroke. Penyelidikan pada Comell Medical Center New York menunjukkan York menunjukkan bahwa dari 107 pasien, kesembuhan (dalam arti masih dapat hidup mandiri) terbanyak pada usia 51 dan 70 tahun. Di atas rentang usia tersebut (71 – 80 tahun) dan di bawahnya (40 sampai 50 tahun) kesembuhan lebih sedikit. Angka kematian 21%, 2 1%, 15% terjadi dalam bulan pertama, 19% setelah 3 bulan. 1 Pengetahuan mengenai penyakit serebrovaskuler telah banyak berubah, demikian juga prognosisnya. Sejak tahun 1954 telah banyak dipelajari mengenai kepentingan penyakit-penyakit yang merupakan faktor risiko stroke, seperti hipertensi dan penyakit jantuing. Juga sudah banyak kemajuan mengenai pengetahuan berkaitan dengan patofisiologi seperti infark lakuner dan prolaps valvula mitralis. Bedah mikro dan obat anti trombotika muncul di arena pengobatan.
intraserebral 15% hemoragi subarachnoid
Akut Stroke
75-85% Cerebrovasculer disesase 85% iskemi
15-20% cardiac emboli
1
5% jarang: - Dissection - Vasculitis - Coagulopathy - Hypotensi
2
Apabila kita berbicara tentang prognose stroke, seringkali yang difikirkan adalah bagaimana keadaan akhir penderita setelah suatu serangan stroke. Prognosis pada CVD sebenarnya mencakup area yang lebih luas, pada dasarnya dapat dipertimbangkan menurut beberapa fase secara berturut-turut, yaitu: fase asimptomatik, fase peringatan, fase akut, penyembuhan dan kambuhan. 3 Acapkali fase-fase ini akan tumpang tindih, dan tidak setiap pasien melewati setiap fase. Akan tetapi pertimbangan prognosis atas dasar skema tersebut di atas, akan memfokuskan perhatian kita pada faktor-faktor penting yang ada di setiap fase dan setiap upaya yang mungkin dapat merubah prognosisnya.
II.
PROGNOSIS PADA FASE ASIMTOMATIK
Fase ini masih dapat dibagi lagi menjadi 3 pokok pemikiran, yaitu: faktor risiko, bising karotis asimtomatik, dan lesi asimtomatis.
2.1 Faktor Risiko
Saat ini dimungkinkan untuk prediksi bahwa 10% dari populasi dengan risiko tinggi, akan terkena stroke, yang meliputi 50% dari penderita stroke seluruhnya. Faktor risiko stroke 1. 2. 3. 4.
Non Modifikasi Usia Ras Jenis Kelamin Genetik
Modifikasi 1. Hipertensi 2. Diabetes Melitus 3. Dislipidemia 4. Kelainan Jantung 5. Obesitas 6. Fibrinogen Meningkat 7. Kadar Hemosistein Meningkat 8. Perokok 9. Obat Kontrasepsi Oral 10. Konsumsi Alkohol 11. Aktifitas Fisik Kurang
2.2 Bising Karotis Asimtomatik
Studi epidemiologik menunjukkan bahwa bising karotis lebih merupakan pertanda ke arah aterosklerosis daripada merupakan faktor risiko stroke. Risiko
3
untuk stroke amatlah rendah: antara 0,7% dan 2,3% pertahun. Suatu kenyataan bahwa stroke sering terjadi tanpa adanya bising arteri, dan seringkali pula stroke yang terjadi bersifat hemoragik. Karakteristik tertentu, seperti derajat berat stenosis dan adanya ulserasi menunjuk ke arah prognosis yang kurang baik. Pada umumnya studi yang berfokus pada keadaan patologis yang mendasari adanya bising, ditekankan pada derajat besar stenosis dan gangguan hemodinamik.3 Pada stenosis karotis dengan penampang kurang dari 75% frekuensi untuk stroke 1,3% pertahun. Pada stenosis dengan penampang lebih dari 75%, frekuensi kombinasi Transient Ischemic Attack (TIA) dan stroke adalah 10,5% pertahun (75% stenosis ipsilateral).4
2.3 Lesi Asimtomatis
Lesi yang berbeda memberikan prognosis yang berbeda pula. Bahkan lesi yang sama dapat memberikan prognosis yang lain sama sekali. Prolaps mitral umpamanya, merupakan kausa yang paling umuum dikenal untuk serangan stroke di bawah usia 45 tahun. Duward dan kawan-kawan mengikuti 73 pasien selama kurang lebih 4 tahun. Insiden strokee pada lesi arteri asimtomatik 3%, pada yang arteri karotisnya sudah mengalami operasi 5%, dan stroke vertebrobassiler 4%. 3
III.
PROGNOSIS PADA FASE PERINGATAN
TIA telah dikenal merupakan suatu peringatan bagi kemungkinan datanganya serangan stroke, oklusi arteri karotis interna selama ini dianggap benigna, sampai diketahui bahwa embolisasi lebih lanjut dapat terjadi dari sumbatan tersebut. Lesi arteri karotis interna intrakranial mempunyai prognosis yang buruk. Dari 21 pasien yang diikuti selama kurang lebih 31 bulan, 38% mengalami gejalagejala vaskuler yang menetap, sesuai dengan cabang arteri yang disuplai oleh arteri stenotik tersebut. Sebaliknya stenosis arteri serebri media secara tidak diduga mempunyai prognosis yang lebih baik. Insiden stroke pada kasus ini salah satu studi yang luas adalah 4%. Studi dari International Extracranial/Intrcranial
4
Bypass menunjukkan bahwa insiden relatif lesi arteri karotis interna dibandingkan arteri serebri media adalah 5:1 (di Eropa dan Amerika Utara), 1,5:1 di Jepang. Di Amerika latin kesan ini adalah sebaliknya. 3 Deteksi dan pengobatan yang lebih dini dari TIA sebenarnya dapat menurunkan risiko terkena serangan stroke. Akan tetapi pada beberapa individu serangan ini seringkali tidak diketahui oleh karena berlangsung dalam waktu yang sangat pendek, dan terjadi hanya satu dua kali sebelum terjadi stroke dengan kerusakan neurologi yang lebih serius. Di samping itu ada masalah medis lain yang lebih mendesak, sehingga menghapuskan perhatian terhadap gejala-gejala yang menjurus kepada infark serebri tersebut. Pada studi salah satu rumah sakit di Amerika, rupanya hanya 50% saja dari kasus tersebut yang dapat dikenal. 3 Upaya untuk membentuk sarana identifikasi kasus dengan TIA rupanya perlu ditingkatkan. Berkaitan dengan hal ini, untuk deteksi lebih dini orang-orang dengan gejala TIA, terutama pada usia lanjut yang diketahui mempunyai kecenderungan terkena stroke, maka Wilkinson dan kawan-kawan (1983) membuat suatu kuesioner dalam suatu survei terhadap populasi yang besar. 5 Pertama untuk mendeteksi orang-orang dengan gejala-gejala neurologi yang merupakan ciri khas TIA dan kedua untuk menunjukkan sampai seberapa jauh prosedur skrining ini bermanfaat bagi prediksi terjadinya stroke di kemudian hari. Studi Mayo Clinic oleh Friedmann dan kawan-kawan. (1969) pada 160 pasien TIA selama periode 5 tahun, 32% berlanjut menjadi infark otak. Dari jumlah itu, 50% terjadi dalam waktu 1 tahun setelah awitan TIA. Sedangkan dari jumlah yang terakhir 50% terjadi dalam waktu 6 bulan setelah awitan.6 Serangan TIA yang sifatnya mengelompok ataupun yang frekuensinya meningkat, harus kita anggap sebagai peringatan akan datangnya serangan stroke. Adalah suatu hal yang penting untuk diingat, bahwa TIA merupakan prediktor yang kuat untuk stroke: dari 100 pasien setelah follow up selama 5 tahun, 35% diperkirakan akan mengalami infark otak, 30% frekuensinya meningkat tanpa terjadi stroke dan 30% tak mengalami iskemi otak lebih lanjut. Sejumlah 15% dari ke-3 kelompok ini diperkirakan akan mengalami infark jantung yang letal.
5
IV.
PROGNOSIS PADA FASE AKUT
Beberapa faktor dapat berpengaruh terhadap prognosis stroke pada fase akut.
4.1 Gangguan Pembuluh Darah
26% dari 179 pasien infark otak akut dengan distribusi arteri karotis mengalami perjalanan penyakit yang tidak stabil selama minggu pertama. Menurut pengamatan, pemburukan keadaan klinis ini berkaitan dengan besarnya derajat stenosis ataupun penyumbatan arteri karotis oleh trombus. 7
4.2 Kerusakan Otak
Lokasi dan luas kerusakan otak berpengaruh pada prognosis, lesi pada kapsula interna misalnya, mempunyai dampak lebih berat daripada lesi pada lobus frontalis dengan ukuran yang sama. Kerusakan substansia grisea mempunyai pengaruh lebih luas daripada lesi substansia alba yang ekuivalen. Menurut Hughlings Jackson (1978), momentum lesi (massa x kecepatan) juga berperanan.3 Tumor otak biasanya tumbuh sampai ukuran tertentu, baru menimbulkan gejala, rupa-rupanya karena cukup memberi waktu pada otak untuk kompensasi. Pada lesi vaskuler kerusakan justru cenderung timbul seketika itu juga; penyesuaian terjadi pada stadium penyembuhan. Sumber lesi juga memegang peranan penting: dampak lesi sekunder di otak biasanya jauh lebih meluas. Jadi lesi di otak efeknya tidak saling menambah begitu saja, melainkan menjadi jauh lebih luas daripada itu. Umpama: infark otak multipel akan menghasilkan suatu defisit neurologis baik yang fokal maupun menyeluruh. Demikian juga bila suatu infark terjadi pada otak yang sudah mengalami gangguan kronis, umpama: penyakit Alzheimer, maka prognosisnya akan jauh lebih buruk dibandingkan bila otak sebelumnya masih intak. Jadi sampai seberapa jauh otak masih berfungsi saat serangan stroke, juga penting untuk menentukan prognosisnya. Suatu gangguan vaskuler di satu tempat dapat mempengaruhi daerahdaerah yang cukup jauh darinya. Fenomena diaschisis sudah diketahui beberapa
6
dekade sebelumnya. Suatu fenomena dimana aliran darah dan metabolisme hemisfer kontralateral infark otak akan menurun. Menurut Baron dan kawankawan (1981) terjadi penurunan metabolisme serebelum sisi kontralateral lesi hemisfer serebral.3 Derajat lateralisasi otak dapat pula berperanan dalam prognosis. Terdapat bukti-bukti bahwa individu yang kidal ataupun ambidekstrus (terutama pada mata kanan maupun mata kiri), mempunyai prognosis lebih baik bila mengenai lesi hemisfer
kiri
dibandingkan
dengan
individu
yang
cenderung
kuat
mempergunakan tangan kanan. Usia juga berpengaruh pada prognosis. Makin tua makin berat serangan strokenya, makin buruk prognosisnya.
8
4.3 Stroke Progresif
Sepertiga penderita dengan infark otak akut akan mengalami kemunduran status neurologiknya setelah dirawat. Sebagian disebabkan edema otak dan maturisasi iskemik otak. Sebagian lain karena re-embolisasi dari jantung atau perluasan trombus di pembuluh-pembuluh darah leher. Faktor iskemik, terutama jantung dapat pula memperburuk kondisi neurologik. Gangguan jantung dapat merupakan penyebab stroke, dapat pula menggambarkan suatu gangguan jantung yang berhubungan dengan stroke tapi tidak berkaitan sama sekali. Tetapi dapat pula merupakan akibat meluapnya katekolamin yang menimbulkan kerusakan miokardial dan meningkatkan aritmia jantung. Respon sistemik terhadap kerusakan otak pada sebagian kasus stroke dapat berupa hipertensi dan hiperglikemi sementara. Bila reaksi sistemik memang wajar, maka tentunya menguntungkan. Sebaliknya bila berlebihan atau tidak wajar, dapat berakibat kemunduran lebih lanjut dan menuju prognosis yang buruk. Berkaitan dengan stroke yang sedang berkembang ( progressing stroke), Milikan dan kawan-kawan membuat studi pada 204 pasien dengan stroke karena gangguan sistem karotis, dalam waktu 2 minggu setelah awitan: 12% menjadi normal, 5% mengalami monoparesis ringan, 60% mengalami hemiparesis ringan, 9% hemiplegi, dan 14% meninggal.
7
Kelompok lain terdiri atas 179 pasien dengan infark otak karena gangguan sistem karotis, yang masuk rumah sakit selam 36 jam setelah awitan. Evaluasi setelah 1 minggu: 39% stabil (tak berubah), 35% berangsur membaik, 19% defisit neurologiknya meningkat tetapi berhenti dalam waktu 48 jam setelah awitan, 3% selama 36 jam pertama mengalami keadaan maju mundur tidak menentu, 4% sesudah periode stabil atau membaik dalam waktu 48 jam, tiba-tiba memburuk, 11% meninggal. 6
4.4 Stroke Tuntas
Stroke tuntas (completed stroke) penyebab utamanya adalah infark otak. Pada fase akut setelah stroke yang tuntas, yaitu 2-4 minggu pertama, prognosisnya dihubungkan langsung dengan besarnya ukuran infark otak. Infark kecil dalam hemisfer (penampang kurang dari 1 cm), jarang berakibat kematian (mortalitas 12%). Infark luas yang menimbulkan hemiplegi dan penurunan kesadaran, mortalitasnya 30-40%. Juga dipermasalahkan apakah seseorang akan mengalami stroke ulang. Angka kambuhan pada studi Framingham, 42% selama 5 tahun pertama (untuk laki-laki) dan 24% (untuk wanita). Prognosis lebih buruk pada pasien dengan kegagalan jantung kongestif dan penyakit jantung koroner. Penyebab utama kematian setelah jangka panjang adalah penyakit jantung. 6
4.5 Pengobatan
Meskipun sudah banyak obat dipergunakan untuk mengatasi stroke akut, boleh dikatakan tidak ada studi yang secara pasti mempunyai efek terhadap prognosis. Masalah yang umum adalah sebagai berikut: kebanyakan studi-studi yang dipublikasi bersifat heterogen, rata-rata dengan jumlah kasus yang terlampau sedikit.
8
4.6 Prognosis Setelah Infark Otak
Penelitian oleh Friedman dan kawan-kawan dari 316 kasus dengan infark otak, 18% meninggal selama permulaan perawatan di rumah sakit. Setelah 1 tahun, 13% lagi meninggal (karena infark jantung), 5% tak dapat diikuti lagi, 20% dapat berfungsi normal lagi dan 44% mengalami cacat menetap dengan derajat berat yang berbeda-beda.3 Penyebab kematian yang utama pada minggu-minggu pertama adalah kompresi batang otak akibat edema otak masif. Pada minggu kedua dan ketiga: karena aritmia jantung, pneumonia dan emboli paru. Pada studi yang dilakukan secara sistematis di suatu unit stroke akut, indikator untuk mortalitas tercantum dalam tabel 1. Tabel 1. Indikator Mortalitas pada Infark Serebri Akut (n = 195)* Minggu I
Sesudah minggu I
1. Derajat kesadaran
1. Derajat kesadaran
2. Hipertentensi
2. Hipertentensi
3. Infark jantung baru
3. Infark jantung baru
4. Tanda-tanda bhemisferik
4. Infark hemisfer kiri
5. Afasia
5. Parese tungkai memburuk
6. TIA sebelumnya
6. Pneumonia
* Cerebrovascular Disease, Thirteenth Research (Princeton) Conference, Raven Press, New York, 1983.
V.
PROGNOSIS PADA FASE PENYEMBUHAN
5.1 Komplikasi
Trombosis venus dan tromboemboli, pneumoni, dekubitus dan infeksi saluran kemih serta infeksi lain, dapat memperburuk prognosis, setelah serangan stroke akut. Apabila upaya untuk pencegahan kontraktur dan malposisi ekstrimitas tidak dilakukan secara dini, penyembuhan akan tertunda, meski fungsi neurologiknya baik. Serangan epileptik dapat pula mengganggu penyembuhan. Dari 827 pasien, 744 dengan infark otak dan 83 dengan perdarahan intraserebral, 9%
9
mengalami serangan epileptik baik selama rawat inap maupun selama beberapa tahun (2-5 tahun) sesudahnya. Serangan ini hanya terjadi pada lesi hemisferik, pada infark maupun perdarahan otak, frekuensinya sama saja. 52% serangan terjadi selama minggu pertama.3
5.2 Depresi
Depresi amatlah sering terjadi setelah stroke. Dapat muncul pada sebagian besar pasien, pada fase yang manapun juga. Keadaan ini dapat merupakan reaksi atas kecacatannya, tetapi dapat pula berhubungan dengan lokasi lesi serebral. Robinson dan kawan-kawan 8 mengadakan studi longitudinal pada Klinik Stroke di Universitas Maryland pada 103 pasien sel ama 2 tahun menunjukkan halhal sebagai berikut: 1. Setelah 6 bulan follow up dijumpai korelasi yang nyata antara skor pemeriksaan mini-mental dan skor depresi Zung, skor depresi Hammilton, serta skor pemeriksaan status presen pada 34 pasien. 2. Skor Activity Daily Living (ADL) berhubungan secara nyata dengan skor depresi dan fungsi sosial. Faktor-faktor sosial dan psikologik sudah tentu berperanan terhadap prognosis stroke. Pasien akan lebih cepat dipulangkan apabila masih ada pasangan hidupnya. Lain halnya apabila ia ddipelihara oleh keluarga jauh.
5.3 Rehabilitasi
Sampai sekarang masih sulit ditemukan, manipulasi rehabilitasi yang mana secara definitif berefek pada prognosis. Lebih sukar lagi menentukan sejauh mana suatu manipulasi rehabilitasi berperan terhadap prognosis suatu subtipe tertentu dari stroke. Suatu kenyataan bahwa kita tidak cenderung menilai seberapa jauh lesi dari serangan stroke itu merusak otak, melainkan sampai seberapa jauh kesembuhan itu mungkin. Maka masih banyak lagi yang harus kita pelajari mengenai mekanisme otak dan strategi belajar untuk memperbaiki prognosis pada fase ini.
10
VI.
PROGNOSIS PADA FASE KAMBUHAN
Kelompok paling besar yang dapat diidentifikasi mempunyai risiko untuk stroke adalah mereka yang sudah pernah kena serangan. Pada studi Framingham angka kambuhan selama 5 tahun periode follow up adalah 44% atau 8,8% pertahun. Berbagai studi menunjukkan bahwa pengedalian hipertensi dan faktor risiko lain menurunkan angka kambuhan stroke. 90% pasien di rumah sakit Soderhamm (Swedia), 640 dengan stroke dan 97 dengan TIA, yang dirawat selama periode tahun 1975-1979 dan 1983-1987, diadakan follow up selama 1-3 tahun. Frekuensi kambuhan adalah 10% selama ke2 periode tersebut diatas. 9
VII.
PROGNOSIS PADA PERDARAHAN OTAK
Pada perdarahan otak (ICH) prognosis dipengaruhi oleh: letak, ukuran dan kausa perdarahan.6 Mayoritas perdarahan terjadi di hemisfer otak.
7.1 Letak
Perdarahan di putamen mortalitas yang dilaporkan 37%, perdarahan talamus 50% dan perdarahan lobus (frontal, temporal dan occipital) 46%. Angka mortalitas perdarahan otak semakin menurun karena dengan adanya CT scan maka perdarahan yang kecil terdeteksi, dimana perdarahan ini memang prognosisnya baik.
7.2 Ukuran
Ukuran perdarahan sangat berpengaruh pada mortalitas. Untuk perdarahan putamen atau area striata, penampang 3 cm atau lebih, mortalitas dapat mencapai 100%. Demikian pula dengan perdarahan talamus yang berukuran 2-3 cm, perdarahan pons penampang diatas 1 cm, dan perdarahan serebellum penampang lebih besar dari 3 cm. Perdarahan- perdarahan dengan ukuran-ukuran yang lebih kecil, prognosisnya lebih baik.
11
7.3 Derajat kesadaran
Prognosis perdarahan otak juga dikaitkan dengan derajat kesadaran. Untuk perdarahan area striata, mortalitas pasien yang kesadarannya masih baik, kurang dari 10-30%. Sedangkan untuk yang koma 75-100%. Untuk pasien perdarahan putamen yang stupor atau koma, mortalitasnya dapat mencapai 80-90%. Sedang yang masih sadar atau somnolen hanya antara 10-30%. Pasien dengan perdarahan pons yang cepat jatuh dalam koma, mortalitasnya hampir 100%. Untuk pasien seperti ini yang kesadarannya masih baik, dengan paresis, vertigo, sefalgia dan defisit okulomotorik, masih ada harapan hidup. Pada salah satu studi dimana perdarahan pons dikonfirmasi dengan CT scan, mortalitasnya 72%. Pada studi yang lain oleh Darevat dan kawan-kawan (1991) ICH spontan setelah 6 bulan (prospektif) pada 166 pasien yang dimasukkan unit perawatan untuk stroke akut, pada hari pertama: 43% meninggal, 42% fungsi saraf membaik dengan memuaskan, dan 16% keadaan fungsi sarafnya buruk. Prognosis yang kurang baik berhubungan dengan usia yang meningkat, ukuran lesi yang makin besar, derajat perluasan perdarahan ke dalam ventrikulus, adanya kelumpuhan ekstrimitas dan gangguan komunikasi. 10 Perdarahan otak primer terjadi pada usia 50-60 tahunan. Makin tua penderitanya makin tinggi mortalitasnya (untuk pria dan wanita sama).
VIII. PROGNOSIS PADA PERDARAHAN SUBARAKNOID
Prognosisnya bergantung pada: a. Etiologi: Lebih buruk pada aneurisma b. Lesi tunggal atau multipel: aneurisma multipel lebih buruk c. Lokasi lesi: pada arteri komunikan anterior dan arteri cerebri anterior lebih buruk karena sering perdarahan masuk ke intra serebral atau ke ventrikel d. Umur: prognosis jelek pada usia lanjut e. Kesadaran: bila koma lebih dari 24 jam buruk hasilnya f. Gejala: bila kejang memperburuk keadaan atau prognosis g. Spasme, hipertensi dan perdarahan ulang prognosisnya buruk
12
IX.
REFERENSI
1. Tanne D, Goldbourt U, Zion M, Reicher-Reis H, Kaplinsky E and Behar S. Frequency and Prognosis of Stroke/TIA among 4808 Survivors of Acute Myocardial Infarction. The SPRINT Study Group. Stroke 1993; 24: 1490 – 1495 2. Rasmussen D, Kohler O, Worm-Petersen, Blegvad N, Jacobsen HL, Bergmann I, Egeblad M, Friis and Nielsen NT. Computed Tomography in Prognostic Stroke Evaluation. Stroke 1992; 23; 506-510 3. Evans GW, Howard G, Murros KE, Rose LA and Toole JF. Cerebral Infarction Verified by Cranial Computed Tomography and Prognosis for Survival Following Transient Ischemic Attack . Stroke 1992; 23; 506-510 4. Kiyohara Y, Kubo M, Kato I, Tanizaki Y, Tanaka K, Okubo K, Nakamura H and Iida M. Ten-Year Prognosis of Stroke and Risk Factors for Death in a Japanese Community: The Hisayama Study . Stroke 2003; 34; 2343-2347 5. Vemmos KN, Bots ML, Tsibouris PK, Zis VP, Takis CE, Grobbee DE and Stamatelopoulus S. Prognosis of Stroke in The South of Greece: 1 Year Mortality, Functional Outcome and Its Determinants: The Arcadia Stroke Registry. J Neurol. Neurosurg. Psychiatry 2000; 69; 595-600 6. Andrews K, Brocklehurst JC, Bernard R and Laycock PJ. The Prognosis Value of Picture Drawings by Stroke Patient . Rheumatologi and rehabilitation, 1980, 19, 180-188 7. Misbach J. 1999. STOKE: Aspek, Diagnostik, Patofisiologi, Manajemen. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 8. Widiastuti MI. 1992. STROKE: Pengelolaan Mutahkir . Semarang: Balai Penerbit FK UNDIP