Tidur dan Gangguan Tidur
Berdasarkan kriteria perilaku dan fisiologis, tidur dibagi menjadi dua: tidur non rapid eye movement (NREM) yang dibagi menjadi tiga tahap (N1, N2, N3); dan tidur rapid eye movement (REM yang ditandai dengan gerakan mata cepat, atonia otot, dan desinkronisasi EEG. Ritme sirkadian tidur dan terjaga dikendalikan oleh suatu jam induk yang terletak di nukleus suprachiasmaticus hipotalamus. Letak pusat neuroanatomi NREM terutama pada inti preoptik ventrolateral hipotalamus, sedangkan pusat neuroanatomi REM terletak di pons. Selama tidur, terjadi berbagai perubahan fisiologis yang signifikan pada semua sistem tubuh dan organ akibat perubahan fungsional sistem saraf otonom dan somatik. Klasifikasi internasional gangguan tidur (ICSD, edisi 2) mencatat delapan kategori gangguan tidur yang tercantum dalam lampiran A dan Lampiran B. Empat keluhan tidur utama adalah hipersomnia, insomnia, gerakan abnormal atau perilaku selama tidur, dan ketidakmampuan untuk tidur di waktu yang diinginkan. Langkah yang paling penting dalam memeriksa pasien dengan keluhan tidur adalah mendapatkan riwayat rinci termasuk riwayat penyakit keluarga, riwayat penyakit dahulu baik dari aspek medis, psikiatri, neurologi, maupun riwayat penggunaan obat, alkohol dan gangguan penyalahgunaan zat. Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk memeriksa gangguan tidur adalah polisomnografi, multiple sleep latency test dan dan maintenance of wakefulness test , serta pemeriksaan actigraphy. Dokter umum harus memiliki pengetahuan dasar mengenai gambaran klinis gangguan tidur yang sering terjadi, seperti insomnia, obstructive sleep apnea syndrome, syndrome , sindrom narkolepsi-katapleksi, gangguan ritme sirkadian (misalnya, jet lag , gangguan shift kerja shift, dll) dan parasomnia (misalnya, gangguan gairah parsial, gangguan perilaku REM, dll) yang dijelaskan secara singkat dalam artikel ini. Prinsip pertama dalam pengobatan gangguan tidur adalah menemukan penyebab gangguan tidur dan mengobati kondisi komorbid menyebabkan gangguan tidur. Jika tidak tersedia pengobatan empiris atau penyelesaian masalah untuk kondisi primer, pengobatan
harus diarahkan pada gangguan tidur yang spesifik. Hampir semua gangguan tidur setelah didiagnosa dapat dikelola dengan konsultasi terbatas. Namun, pengobatan gangguan tidur primer sebaiknya ditangani oleh spesialis di bidang ini. Tinjauan mengenai tidur dan gangguannya yang mencakup ilmu dasar, klasifikasi dan pendekatan internasional, dan fenomenologi gangguan tidur, disajikan dalam artikel ini.
Definisi Tidur, Struktur Tidur, dan Profil Tidur
Dari sudut pandang ilmiah, tidur didefinisikan berdasarkan perilaku manusia saat tertidur dan perubahan fisiologis terkait yang yang terjadi pada ritme listrik otak saat tertidur (Tabel I). Perilaku saat tidur terdiri dari berkurangnya mobilitas, gerakan mata lambat, karakteristik spesifik dari posisi tidur tertentu, berkurangnya respon terhadap rangsang dari luar, pemanjangan waktu reaksi, peningkatan ambang rangsangan, penurunan fungsi kognitif, dan keadaan tidak sadar yang reversibel. Perubahan fisiologis didasarkan pada temuan EEG, elektrooculography (EOG), dan elektromiografi (EMG). Hal ini penting untuk membedakan rasa kantuk dengan kelelahan. Kelelahan dapat menjadi konsekuensi sekunder rasa kantuk. Onset tidur ditandai dengan perubahan bertahap pada perilaku dan proses fisiologis. Berdasarkan tiga penilaian perubahan fisiologis (EEG, EOG dan EMG), tidur dibagi menjadi dua bagian dengan fungsi dan kontrol yang berbeda: tidur Non Rapid Eye Movement (NREM) dan tidur Rapid Eye Movement (REM) yang silih berganti secara siklik (sebanyak 4 sampai 6 siklus tercatat selama durasi tidur orang dewasa), dengan durasi rata-rata setiap siklus 90-110 menit. Pada orang dewasa, sepertiga awal durasi tidur didominasi oleh NREM dan sepertiga akhir didominasi oleh REM. Tidur NREM menyumbang 75-80% dari durasi t idur orang dewasa dan dibagi menjadi 4 tahap (NREM tahap 1 sampai 4) berdasarkan Panduan Penilaian Rechtschaffen dan Kales (RK). Namun menurut American Academy of Sleep Medicine (AASM), NREM dibagi menjadi 3 tahap (N1, N2, N3) berdasarkan kriteria EEG.
REM menyumbangkan 20-25% dari total durasi tidur. Pada pemeriksaan EEG selama tidur REM, tampak irama cepat dan gelombang theta, dengan beberapa di antaranya mungkin memiliki penampilan gigi gergaji ( Lihat Gambar). Ciri tidur REM adalah adanya gerakan mata yang cepat ke segala dan penurunan yang nyata atau tidak adanya aktivitas otot dalam gambaran EMG. Selain gerakan mata yang cepat ke segala arah, didapatkan perubahan tekanan darah dan denyut jantung, pernapasan tidak teratur, dan gerakan lidah phasic. Beberapa periode apnea atau hypopnoea dapat terjadi selama tidur REM. Pada orang dewasa normal, didapatkan progresi yang teratur dari keadaan terjaga, ke onset tidur NREM, kemudian tidur REM. Tidur NREM ditandai dengan semakin menurunnya respon terhadap rangsangan eksternal, adanya gerakan mata yang lambat diikuti oleh aktivitas gelombang lambat EEG yang terkait dengan kompleks K dan sleep spindle, spindle, dan penurunan tonus otot. Tidur REM ditandai dengan gerakan mata yang cepat, semakin menurunnya respon terhadap rangsangan, tonus otot yang sangat rendah, dan aktivitas gelombang EEG yang cepat dan bertegangan rendah dengan dengan gambaran khas gelombang gelombang gigi gergaji. Tabel 1. Kriteria Perilaku dan Fisiologis saat Tidur dan Terjaga
Kriteria Postur
Terjaga Berdiri, duduk, atau
Tidur NREM
Tidur REM
Berbaring
Berbaring
Sedikit berkurang
Banyak berkurang
atau tidak mobile;
atau tidak mobile;
perubahan postural
sentakan mioklonik
Tidak sadar
Tidak sadar
reversibel
reversibel
berbaring Mobilisasi
Tingkat
Normal
Waspada
Kewaspadaan Kelopak Mata
Membuka
Menutup
Menutup
EEG
Gelombang alpha;
sinkronisasi
Gelombang theta
desinkronisasi
atau gigi geraji;
desinkronisasi EMG
Normal
Sedikit berkurang
Sedang-banyak berkurang hingga tidak ada
Electro-
Waking eye
Slow rolling eye
Rapid Eye
oculografi
movement
movement
Movement
Gambar. Rekaman Polisomnografi menunjukkan tidur REM. Rekaman EEG (10 baris pertama) menunjukkan gambaran aktivitas campuran gelombang teta, gelombang alpha, gelombang beta amplitudo rendah dengan gelombang gigi geraji (di tengah rekaman), paling terlihat pada C3-A2 dan C4-A1. REM tampak pada rekaman elektrooculografi. EMG di mandibula menunjukkan hipotonia nyata, sedangkan EMG tibialis menunjukkan renjatan mioklonik fasik.
Evolusi Pola Tidur
Evolusi EEG dan tidur dimulai sejak janin, bayi prematur dan cukup bulan, anak usia dini, remaja hingga dewasa dalam suatu urutan yang tertib
tergantung pada pematangan sistem saraf pusat. Perubahan ontogenetik tersebut secara signifikan dipengaruhi oleh faktor neurologis, lingkungan, dan genetik serta komorbiditas seperti gangguan medis atau neurologi. Kebutuhan berubah drastis dari bayi sampai usia tua. Bayi yang baru lahir memiliki pola tidur polifasik dengan total durasi tidur 16 jam per hari. Pada usia 3 sampai 5 tahun, kebutuhan tidur menjadi sekitar 11 jam per hari, dan kebutuhan tidur untuk remaja usia 9 sampai 10 tahun kira-kira 10 jam per hari. Pada anak-anak prasekolah, pola tidur bersifat bifasik. Orang dewasa memperlihatkan pola tidur monofasik, dengan durasi rata-rata 7,5-8 jam per malam, tetapi pada lansia pola tidur kembali menjadi bifasik. Pada bayi yang baru lahir, durasi tidur REM sekitar 50 persen, tetapi pada usia 6 tahun, durasi tidur REM telah menurun dengan pola dewasa normal, yaitu 25 persen dari total durasi tidur. Sejak usia 3 bulan, telah terbentuk pola siklik NREM/REM seperti pada orang dewasa. Neurobiologi Ritme Sirkadian dan Ritme Tidur dan Terjaga
Ritme sirkadian pada manusia berfungsi untuk mengkoordinasikan mekanisme humoral, fisiologis dan perilaku agar timbul perilaku tidur dan terjaga. Regulasi tidur-terjaga dimodulasi oleh dua faktor yang berlawanan, dorongan homeostatik untuk tidur dan ritme sirkadian yang menyebabkan seseorang terjaga. Faktor homeostatik mengacu pada kecenderungan peningkatan rasa kantuk dengan durasi waktu terjaga yang lebih lama, sedangkan faktor sirkadian mengacu pada variasi kewaspadaan fisiologis dan rasa kantuk (timing , durasi dan karakteristik lainnya) yang bervariasi dalam fase siklik sepanjang hari. Pada pagi hari setelah bangun, dorongan homeostatis untuk tidur hampir nihil dan output nukleus suprachiasmaticus rendah, seperti yang ditunjukkan oleh rekaman intraserebral dari neuronal firing rate. Dorongan homeostasis secara bertahap meningkat seiring berjalannya hari, diimbangi dengan peningkatan output nukleus suprachiasmaticus. Namun, di penghujung hari, output nucleus suprachiasmaticus menurun dan dorongan homeostatis menyebabkan dimulainya proses tidur. Pada pagi hari, dorongan homeostatik berkurang dan pengaruh timbulnya ritme sirkadian menyebabkan seseorang terjaga. Ada dua periode yang sangat rentan
terhadap rasa kantuk: 0200-0600 h dan 1400-1800 h. Yang pertama lebih kuat dari yang terakhir. Jumlah tertinggi kecelakaan yang berkaitan dengan tidur telah diamati paling sering terjadi selama periode ini. Sitokin dan Sistem Kekebalan Tubuh
Sitokin adalah protein yang diproduksi oleh leukosit dan sel-sel lain yang berfungsi sebagai mediator intraserebral. Sitokin diduga memainkan peran penting dalam regulasi kekebalan tubuh dan proses tidur. Beberapa sitokin (misalnya, interleukin atau IL, interferon alfa atau IF-α dan tumor necrosis factor atau TNF) telah terbukti menginduksi proses tidur. Namun, terdapat substansisubstansi lain yang dapat menginduksi proses tidur, meningkatkan konsentrasi selama begadang, atau memperpanjang waktu tidur selama serangan infeksi, substansi ini disebut faktor tidur. Faktor-faktor ini termasuk delta sleep-inducing peptide, muramyl peptide, cholecystokinin, arginin vasotosin,
vasoactive
intestinal peptide, somatokrinin (GHRH = growth hormone-releasing hormon), somatostatin, prostaglandin D2, dan adenosin. Telah terbukti bahwa sitokin memainkan peran penting dalam patogenesis rasa kantuk yang berlebihan di siang hari ( Excessive Day Sleepiness = EDS) dalam berbagai gangguan tidur dan pada orang yang kurang tidur. Peningkatan produksi sitokin pro-inflamasi (IL-6 dan TNF- α) muncul pada orang yang kurang tidur sehingga menyebabkan kantuk yang berlebihan. Infeksi virus atau bakteri yang menyebabkan EDS dan peningkatan tidur NREM berhubungan dengan peningkatan produksi TNF- α dan IL-B). Peningkatan rasa kantuk dan tidur yang terganggu pada gangguan inflamasi lain seperti infeksi HIV dan rheumatoid arthritis dikaitkan dengan peningkatan jumlah TNF- α di sirkulasi. Beberapa penulis menyatakan bahwa kantuk yang berlebihan pada obstruktif sleep apnea syndrome, narkolepsi, insomnia atau hipersomnia idiopatik kemungkinan dimediasi oleh sitokin seperti IL-6, TNF-α 4.
Tidur dan Mimpi
Diyakini bahwa sekitar 80% mimpi terjadi selama tidur REM dan 20% sisanya terjadi selama tidur NREM. Lebih mudah untuk mengingat mimpi yang terjadi saat tidur REM dibandingkan mengingat mimpi yang terjadi saat tidur NREM. Orang yang terbangun segera setelah onset mimpi di tidur REM akan lebih mudah mengingat mimpi, dibandingkan dengan mencoba mengingat mimpi keesokan harinya setelah bangun tidur. Mimpi saat tidur REM biasanya bersifat hidup, tidak realistis, dan aneh. Sebaliknya, ingatan akan mimpi yang muncul ketika orang terbangun saat sedang berada dalam kondisi mimpi NREM akan lebih realistis. Sebagian besar mimpi kita berlangsung dalam warna-warna natural, bukan hanya hitam dan putih. Dalam mimpi, manusia menggunakan semua panca indera. Secara umum, sebagian besar menggunakan sensasi visual, diikuti oleh sensasi pendengaran, sentuhan, bau, dan sensasi rasa yang minimal. Beberapa orang sering mengalami mimpi menakutkan yang disebut mimpi buruk atau serangan kecemasan mimpi (dream anxiety attack ), yang mungkin disebabkan adanya kecemasan intens yang timbul karena suatu kejadian dalam hidup orang tersebut. Mimpi buruk sangat umum terjadi pada anak-anak, mulai sekitar usia 3-5 tahun. Insidensi mimpi buruk menurun di usia tua. Kadangkadang dalam mimpi yang menakutkan, individu mungkin memerankan suatu peristiwa stres di masa lalu (misalnya, adegan di peperangan atau kecelakaan mobil). Signifikansi neurobiologis dari mimpi masih belum diketahui. Perilaku terkait mimpi (dream enacting behaviour) yang berhubungan dengan gerakan abnormal selama tidur merupakan suatu parasomnia REM penting yang disebut gangguan perilaku tidur REM. Neuroanatomi Fungsional Proses Tidur
Neuroanatomi tidur REM dan NREM serta kondisi terjaga terletak di bagian terpisah dari sistem saraf pusat. Tidak ada pusat induksi tidur-terjaga yang terpisah secara spesifik, tapi kondisi tidur-terjaga disebabkan karena adanya perubahan
dalam
sistem
saraf
yang
diatur
oleh
neurotransmitter
dan
neuromodulator. Metode yang digunakan untuk mengkarakterisasi lokasi induksi
tidur-terjaga
termasuk
lesi,
stimulasi,
ablasi,
rekaman
intraseluler,
imunoreaktivitas C-Fos (C-FOS adalah protein nuclear yang dilepaskan selama aktivasi neuron) dan pemetaan jaringan saraf melalui neuroimaging. Untuk menjelaskan mekanisme tidur REM, tersedia tiga model dengan subyek penelitian hewan. Yang paling awal dan paling umum dikenal adalah model interaksi timbal balik McCarley-Hobson yang didasarkan pada interaksi timbal balik neuron REM-on dan neuron REM-off . Dalam model yang diusulkan oleh Luppi, neuron yang aktif selama tidur REM berlokasi di daerah kecil di tagmentum pons dorsolateral pada tikus, disebut nukleus sublaterodorsal (sesuai dengan sub-coeruleus dorsal atau area perilocus coeruleus alpha pada kucing). Onset tidur REM diduga disebabkan aktivasi neuron glutamatergik REM-on dari nukleus sublaterodorsal. Selama kondisi tidur NREM dan kondisi terjaga neuron ini di nukleus sublaterodorsal akan dihambat (hiper-polarisasi) oleh masuknya GABAnergik dari neuron GABAnergik REM-off di nukleus sublaterodorsal, mesensefalik dan inti retikuler pons, dan ventrolateral peri-aqueductus substansia abu-abu (ventrolateral peri-aqueductal gray = VLPAG) serta oleh neuron monoaminergik REM-off . Oleh karena itu, dalam model Luppi neuron GABAnergik dan neuron glutamatergik memainkan peran penting dalam tidur REM. Neuron GABAnergik juga bertanggung jawab untuk inaktivasi neuron monoaminergik selama tidur REM. Neuron kolinergik tidak memainkan peran penting dalam mengaktifkan neuron REM dalam model ini. Dalam model ketiga yang diajukan oleh Lu dkk, ada peralihan interaksi antara neuron GABA-ergik REM-off di mesencephalatik, VLPAG, dan lateral pons tagmentum (LPT) dan neuron GABAnergik REM-on di nukleus sublaterodorsal, dan ekstensi dorsal nukleus sublaterodorsal yang disebut precoeruleus (PC). Populasi neuron yang saling hambat ini (neuron GABAnergik REM- on di nukleus sublaterodorsal dan neuron GABAnergik REM-off di mesencephalatik-lateral pons tagmentum) berfungsi sebagai semacam saklar flip-flop.
Neuroanatomi Tidur NREM
Studi neurofisiologis tidur dimulai setelah pengamatan klinikopatologi oleh von Economo, yang memeriksa pasien ensefalitis lethargica pada awal abad keduapuluh. Lesi ensefalitis lethargica, yang sangat mempengaruhi area hipotalamus posterior, dikaitkan dengan manifestasi klinis rasa kantuk yang ekstrim, sedangkan perubahan morfologi di wilayah hipotalamus anterior dikaitkan dengan berkurangnya kebutuhan tidur. Pengamatan ini menyebabkan para ilmuwan untuk percaya pada keberadaan pusat tidur-terjaga Neuron hypnogenic yang mengaktifasi tidur NREM diperkirakan berada di dua tempat: (i) wilayah inti traktus solitarius di medula, dan (ii) daerah preoptik dari hipotalamus dan daerah basal forebrain. Pernyataan ini didasari pada rangsangan, lesi, dan studi ablasi, serta rekaman ekstraseluler dan intraseluler. Peran inhibisi neuron hypnogenic batang otak yang lebih rendah terhadap retikuler batang otak diatasnya ditunjukkan oleh Batini melalui percobaannya di area pretrigeminal di pons medial. Demikian pula, simulasi elektris pada area preoptik, yang menghasilkan sinkronisasi EEG dan perilaku saat tidur, mendukung gagasan keberadaan neuron hypnogenic di area preoptik. Percobaan yang dilakukan oleh Nauta pada tahun 1946 yang menunjukkan kesulitan tidur ketika ada lesi di wilayah preoptik juga mendukung hipotesis neuron hypnogenic di daerah preoptik forebrain. Eksperimen oleh McGinty dan Sterman pada tahun 1968 menegaskan pengamatan Nauta. Baru-baru ini, ditemukan bahwa adanya lesi ibotenic di wilayah preoptik ternyata menyebabkan insomnia, dan hasil ini mendukung peran area hypnogenic preoptik. Namun, dalam percobaan yang sama, injeksi muscimol (agonis GABA) di hipotalamus posterior secara transien memulihkan tidur, menunjukkan bahwa peran hipotalamus anterior terhadap aktivasi tidur tergantung pada penghambatan neuron histaminergik di hipotalamus posterior. Perlu juga ditekankan bahwa pada tahun 1934, Dikshit menginduksi tidur dengan injeksi asetilkolin intra hipotalamus yang menunjukkan adanya pusat tidur di hipotalamus. Teori kontemporer menunjukkan bahwa neuron yang
mengaktivasi tidur NREM diperkirakan berada di area VLPO hipotalamus anterior serta di wilayah nukleus traktus solitarius di medula. Teori kontemporer mengenai mekanisme tidur NREM menunjukkan kemungkinan adanya interaksi timbal balik antara dua neuron antagonis di area VLPO hipotalamus anterior dan neuron pembangkit di nukleus tuberomammillary hipotalamus posterior, locus coeruleus, dorsal raphe, basal forebrain, dan tagmentum mesopontine. Interaksi timbal balik antara neuron yang mengaktifasi tidur di daerah nukleus traktus solitarius dan neuron yang mengaktifasi kondisi terjaga dalam ARAS batang otak dan interaksi timbal balik dari neuron di forebrain juga memainkan peran dalam tidur NREM. Ada banyak pertanyaan penting yang belum terjawab mengenai mekanisme tidur. Mengapa neuron VLPO aktif saat onset tidur? Apa yang memulai cascade dysfasilitation pada neuron aktifasi terjaga dalam batang otak? Apa yang memulai aktivasi neuron LDT-PPT di onset REM? Apa yang menyebabkan aktivasi neuron GABAnergik di pons pada awal tidur REM? Apa yang
menyebabkan
aktivasi
neuron
yang
mengaktifasi
kondisi
terjaga
mempromosikan di akhir tidur? Dan apa yang mempertahankan siklus NREMREM? Perubahan fisiologis tidur
Berbagai perubahan fisiologis dan perilaku terjadi selama kondisi terjaga, tidur NREM, dan tidur REM (Tabel II). Perubahan yang paling terlihat adalah pada sistem
saraf somatik dan otonom; pada sistem
respirasi,
sistem
kardiovaskuler, dan sistem gastrointestinal; di endokrin, pada fungsi ginjal dan fungsi seksual; serta termoregulasi. Peningkatan aktivitas parasimpatis dan penurunan aktivitas simpatis selama tidur NREM dengan peningkatan lebih lanjut dari aktivitas parasimpatis dan penurunan aktivitas simpatis selama tidur REM merupakan dasar perubahan sistem saraf somatik dan otonom. Selama tidur REM, aktivitas simpatis meningkat secara intermiten. Aktivitas saraf simpatis pada otot dan pembuluh darah di kulit yang diukur dengan teknik mikroneurografik berkurang selama tidur NREM, tetapi meningkat selama tidur REM.
Neuron pernapasan di wilayah ponto-meduler menunjukkan penurunan firing rate selama tidur NREM dan tidur REM. Tonus otot di saluran napas bagian atas menurun sedikit saat tidur NREM dan menurun tajam hingga menghilang saat tidur REM, mengakibatkan peningkatan resistensi saluran napas bagian atas. Selama tidur NREM, respon ventilasi hiperkapnia dan hipoksia sedikit berkurang, dan menurun secara tajam saat tidur REM. Volume tidal dan alveolar menurun selama tidur; tekanan O2 arteri sedikit menurun dan tekanan CO2 arteri sedikit meningkat selama tidur NREM dan tidur REM. Dengan demikian, sistem respirasi rentan selama proses tidur normal dan beberapa periode apnea dapat terjadi, terutama saat onset tidur dan selama tidur REM. Hipoventilasi alveolar terkait tidur dan peningkatan resistensi saluran napas bagian atas dapat mempengaruhi individu yang rentan terhadap oklusi saluran napas atas dan apnea obstruktif. Pasien dengan gangguan neuromuskuler, penyakit paru obstruktif kronik dan asma bronkial dapat terpengaruh proses hipoventilasi ini. Serangan asma dapat diperburuk pada malam hari sebagai akibat dari bronkokonstriksi selama tidur. Denyut jantung, tekanan darah, curah jantung, dan resistensi pembuluh darah perifer menurun selama tidur NREM dan menurun lebih jauh selama tidur REM. Aliran darah otak dan tingkat metabolisme otak untuk glukosa dan oksigen menurn selama tidur NREM, tetapi selama tidur REM nilainya meningkat hingga melebihi nilai saat terjaga. Perubahan hemodinamik (tekanan darah dan denyut jantung yang tidak stabil, penurunan progresif curah jantung menyebabkan desaturasi oksigen maksimum dan pernapasan periodik dan peningkatan aktivitas simpatis secara intermiten selama tidur REM) dapat menjelaskan peningkatan insidens kematian di pagi hari, terutama pada penderita penyakit kardiopulmoner. Perubahan hemodinamik dan saraf simpatis dapat memicu peningkatan agregasi platelet, ruptur plak dan spasme arteri koroner yang dapat memicu peristiwa trombotik yang menyebabkan infark miokard, ventricular aritmia, hingga kematian jantung mendadak dan stroke.
Sekresi hormon pertumbuhan menunjukkan peningkatan pulsasif selama tidur NREM di sepertiga awal periode tidur normal. Sekresi prolaktin juga naik 30 sampai 90 menit setelah onset tidur. Tidur menghambat sekresi kortisol. Sekresi thyroid stimulating hormones (TSH) mencapai puncaknya pada malam hari dan kemudian menurun sepanjang sisa malam. Selama tidur, kadar testosteron pada pria naik dari kadar awal 2000 h ke kadar puncak pada 0800 h, tetapi tidak ada hubungan yang jelas antara kadar hormon gonadotropin dan siklus tidur-terjaga pada anak-anak atau orang dewasa. Melatonin yang dikeluarkan oleh kelenjar pineal mencapai tingkat sekresi tertinggi antara 0300 h dan 0500 h, kemudian menurun ke tingkat rendah selama siang hari. Suhu tubuh mulai turun pada awal tidur dan mencapai titik terendah selama siklus tidur ketiga. Termoregulasi dipertahankan selama tidur NREM, tetapi tidak ada termoregulasi saat tidur REM. Ereksi penis dan pembengkakan klitoris terjadi selama tidur REM. Tabel II. Perubahan fisiologis selama terjaga, tidur NREM, tidur REM
Fisiologi Aktivitas
Terjaga
Tidur NREM
Tidur REM
++
+++
++++
++
+
Menurun atau
Parasimpatis Aktivitas Simpatis
bervariasi (++) Denyut Jantung
Normal sinus
Bradikardi
Braditakiaritmia
rhytm Tekanan Darah
Normal
Menurun
Bervariasi
Curah Jantung
Normal
Menurun
Semakin menurun
Resistensi
Normal
Normal atau
Semakin menurun
Vaskular Perifer Tonus Otot Pernafasan Atas
sedikit menurun ++
+
Menurun atau menghilang
Resistensi Otot
++
+++
++++
Normal
Menurun
Semakin menurun
++
±
++++
Termoregulasi
++
+
-
Sekresi Asam
Normal
Bervariasi
Bervariasi
Normal
Menurun
Menurun
Mengunyah
Normal
Menurun
Menurun
Ludah
Normal
Menurun
Menurun
Kecepatan rendah
Kecepatan rendah
Normal
Meningkat drastis
Pernapasan Atas Respon Ventilasi Hipoksia dan Hiperkapnea Aliran Darah Cerebral
Lambung Motilitas Lambung
Kompleks migrasi Normal motorik (tipe aktivitas motorik intestinal) Ereksi Penis atau
Normal
Pembengkakan klitoris Keterangan: NREM : Non Rapid Eye Movement
+++
:
Tinggi
REM
: Rapid Eye Movement
++++
:
Sangat Tinggi
+
: Ringan
-
: Menghilang
++
: Sedang
: Menurun
Fungsi Tidur
Fungsi biologis tidur tetap menjadi misteri terbesar sepanjang masa, meskipun diketahui bahwa tidur sangat penting dan bahwa kurang tidur, baik akibat gangguan gaya hidup atau ganggian tidur (misalnya, apnea saat tidur, insomnia, gangguan medis, gangguan psikologis, gangguan psikiatri, gangguan tidur terkait obat atau gangguan neurologis) akan menyebabkan konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang. Konsekuensi jangka pendek yaitu gangguan perhatian dan konsentrasi, gangguan kualitas hidup, peningkatan tingkat ketidakhadiran dengan berkurangnya produktivitas dan kecelakaan di tempat kerja, rumah atau di jalan. Konsekuensi jangka panjang dari kurang tidur meliputi peningkatan morbiditas dan mortalitas dari peningkatan insidensi kecelakaan lalu lintas, penyakit arteri koroner, gagal jantung, tekanan darah tinggi, obesitas, diabetes mellitus tipe 2, stroke dan gangguan memori, serta depresi. Namun, konsekuensi jangka panjang ini masih kontroversial. Tidur dianggap memliki fungsi restoratif, konservatif, adaptif, termoregulasi dan konsolidasi memori. Walker et al. menyimpulkan bahwa tidur sebelum belajar sangat penting untuk konsolidasi memori manusia. Berbeda dengan semua pernyataan di atas, Vertes dan Siegel berpendapat bahwa tidur REM tidak terlibat dalam konsolidasi memori, setidaknya tidak pada manusia, dengan mengutip beberapa kalimat dari penelitian sebelumnya, yaitu termasuk contoh pada individu dengan lesi batang otak yang tidak mengalami tidur REM atau pada individu dalam pengobatan antidepresan sehingga menekan tidur REM tidak menunjukkan adanya defisit kognitif yang jelas. Mereka menyimpulkan bahwa tidur REM tidak terlibat dalam konsolidasi memori dan tidur REM tidak signifikan untuk proses kognitif dan tidur. Apakah NREM penting untuk konsolidasi memori masih merupakan hal yang kontroversial. PENDEKATAN PADA PENDERITA GANGGUAN TIDUR
Beberapa penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa gangguan yang sangat sering terjadi di populasi umum. Menurut laporan dari National Center of Sleep Disorders Reseach, lebih dari 40 juta orang di Amerika Serikat menderita
gangguan tidur yang kronis. Sekitar 35% dari populasi mengeluh mengalami kesulitan tidur, kesulitan mempertahankan tidur, terbangun pada dini hari, atau mengalami tidur non-restoratid dan dalam 10% populasi yang mengalami kesulitan tidur ini timbul masalah yang terus-menerus mengganggu fungsi keseharian. Sleep apnea atau apnea saat tidur mempengaruhi 3%-4% populasi, yang berarti jutaan individu. Young melaporkan dalam penelitian-berbasis populasi-nya bahwa rasa kantuk berlebih di siang hari (excessive day sleepiness), dialami oleh 1 dari 5 orang dewasa. Beberapa faktor epidemiologis penting yang muncul dalam berbagai penelitian mengenai gangguan tidur antara lain usia tua, jenis kelamin perempuan, pendidikan rendah dan status sosial ekonomi, stres akut, depresi, kecemasan, alkohol, penyalahgunaan obat atau penyakit fisik. Penting bagi dokter untuk menyadari tingginya prevalensi gangguan tidur yang dapat menyebabkan stres fisik dan psikologis yang cukup bermaknsa. Empat keluhan utama terkait gangguan tidur yang membuat pasien datang ke pelayanan kesehatan adalah rasa kantuk berlebih di siang hari ( excessive day sleepiness = EDS), insomnia, gerakan atau perilaku abnormal selama tidur, dan ketidakmampuan untuk tidur pada waktu yang diinginkan. Penderita Insomnia mungkin mengeluhkan beberapa atau semua hal berikut ini: kesulitan memulai atau mempertahankan tidur, terbangun berulang atau terbangun pada dini hari, tidur non-restoratif, kelelahan di siang hari, kurang konsentrasi, mudah marah, kecemasan, depresi, dan rasa nyeri otot dan/atau nyeri di seluruh tubuh. Insomnia dapat bersifat primer (tidak ada penyebab yang ditemukan) atau menjadi komorbid dengan kondisi lain. Pasien dengan hipersomnia mengeluhkan EDS, dengan gejala yang tidak berkurang setelah penambahan waktu tidur malam hari, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi dan gangguan kognisi dan keterampilan motorik. Penyebab EDS yang paling umum adalah sindrom kurang tidur yang diinduksi
perilaku
(behaviourally-induced
insufficient
sleep
syndrome).
Pendekatan pada pasien dengan keluhan tidur harus dimulai dengan pengetahuan yang komprehensif tentang gangguan tidur yang tercantum dalam edisi terbaru dari International Classification of Sleep Disorders (ICSD-2), sehingga pasien dapat dievaluasi dengan cara yang tepat, dengan perhatian khusus pada riwayat
dan temuan fisik sebelum dilakukan pemeriksaan penunjang. ICSD-2 mendaftar 8 kategori gangguan tidur dengan beberapa subkategori di bawah setiap kategori serta lampiran A dan B. Metode Pemeriksaan Klinis
Langkah pertama dalam menilai pasien dengan gangguan tidur adalah pengamatan klinis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik sebelum melakukan pemeriksaan penunjang. Anamnesis harus mencakup rincian tentang kebiasaan tidur; riwayat penyakit medis, neurologis dan psikiatris saat ini atau sebelumnya; obat dan konsumsi alkohol serta riwayat keluarga. Seluruh aktivitas selama 24 jam harus disertakan dalam
anamnesis, bukan hanya gejala yang
terjadi pada onset tidur atau saat tidur di malam hari. Perhatian khusus harus diberikan pada frekuensi, jenis, dan onset gejala. Parasomnia, gangguan perilaku REM ( REM Behaviour Disorder = RBD), dan gangguan transisi tidur-terjaga muncul di waktu tertentu pada malam hari atau selama tahap-tahap tertentu tidur. Gejala yang terjadi di sore hari ketika pasien berbaring di tempat tidur atau saat onset tidur mungkin mengarah ke diagnosis restless legs syndrome (RLS). Gejala seperti Berkali-kali terbangun di malam hari, mendengkur, dan henti napas saat tidur mungkin mengarah ke diagnosis obstructive sleep apnea syndrome (OSAS). EDS dan kelelahan di siang hari juga dapat mengarah ke diagnosis OSAS. Selain itu, kantuk yang berlebihan di siang hari dan keinginan tak tertahankan untuk tidur dan perasaan segar setelah tidur siang adalah gejala khas dari narkolepsi. Jika pasien menunjukkan gerakan dan perilaku abnormal selama sepertiga awal periode
tidur,
kemungkinan mengarah
ke
diagnosis
parasomnia
parsial
(somnambulisme, teror tidur, arousal confusional). Sebaliknya, adanya aktivitas motorik yang kompleks dan perilaku dengan atau tanpa mencederai diri sendiri atau orang lain selama tengah dan sepertiga akhir malam akan mengarahkan ke diagnosis RBD. Sentakan kaki sepanjang malam mengarah ke periodic limb movements in sleep (PLMS). Penting untuk melakukan wawancara dengan orang lain yang tidur dengan pasien atau pengasuh (atau orang tua dalam kasus gangguan tidur pada anak) untuk mendiagnosis gerakan dan perilaku abnormal
serta gangguan pernapasan saat tidur. Orang lain yang tidur dengan pasien juga perlu dianamnesis tentang kebiasaan tidur pasien, riwayat penggunaan narkoba, riwayat stres di rumah, tempat kerja atau sekolah, dan perubahan kebiasaan tidur. Mengisi kuesioner tidur atau menulis jurnal harian tentang tidur selama 2 minggu dapat menunjukkan kebiasaan dan kondisi tidur. Riwayat keluarga penting dalam gangguan tidur tertentu seperti narkolepsi, RLS, OSAS dan parasomnia parsial. Anamnesis harus diikuti dengan pemeriksaan fisik yang cermat untuk mendokumentasikan bukti ada tidaknya gangguan kesehatan pada sistem pernapasan, jantung, endokrin, atau gangguan neurologis, terutama gangguan kesehatan yang mempengaruhi daerah batang otak atau sistem neuromuskuler. Pemeriksaan fisik juga dapat mengungkap ada tidaknya kelainan anatomi saluran napas bagian atas, yang sering terjadi pada kasus OSAS. Ada juga beberapa penilaian yang tersedia untuk menilai rasa kantuk, seperti Stanford Sleepiness Scale, Visual Analog Scale, dan Epworth Sleepiness Scale. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik akan dijelaskan di bawah. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang harus dianggap sebagai perpanjangan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang harus mencakup penegakan diagnosis kondisi utama yang menyebabkan gangguan tidur sekunder atau komorbid gangguan tidur itu sendiri (Tabel III). Dua pemeriksaan penunjang yang paling penting adalah polisomnografi (PSG) dan uji latensi tidur multipel (multiple sleep latency test = MSLT). Pemeriksaan PSG sekaligus merekam beberapa variabel fisiologis (EEG, EMG, EOG, EKG, aliran udara di hidung dan mulut,
upaya
pernapasan
dan
saturasi
oksigen)
dan
penting
dalam
mengkonfirmasi diagnosis OSAS serta mendokumentasikan seberapa parah derajat sleep apnea, hipoksemia dan fragmentasi tidur. Rekaman PSG juga harus mencakup pemantauan posisi tubuh saat tidur dan rekaman dengkuran. PSG menentukan tekanan optimal untuk continuous positive airway pressure (CPAP) tatalaksana OSAS - dan juga membantu mendukung diagnosis narkolepsi dan
parasomnia. PSG dengan perekaman video dapat mengkonfirmasi gangguan perilaku tidur REM dan sangat berguna untuk mendokumentasi gerakan dan perilaku abnormal selama durasi tidur malam hari pada pasien dengan parasomnia dan kejang nokturnal. MSLT sangat penting untuk mendokumentasikan rasa kantuk patologis (misalnya, onset latensi tidur kurang dari 8 menit) dan ketika mendiagnosis narkolepsi. Kehadiran dua onset tidur REM dalam empat atau lima tes tidur siang dan onset latensi tidur kurang dari 8 menit sangat menunjukkan diagnosis narkolepsi. Maintenance of wakefulnes test (MWT) adalah varian dari MSLT untuk mengukur kemampuan subjek untuk tetap terjaga. MWT terdiri dari 4 sampai 5 uji tetap terjaga dengan interval pengulangan setiap 2 jam. Setiap uji dihentikan jika tidak ada onset tidur setelah 40 menit atau segera setelah 3 interval pertama dari siklus 1 tidur NREM atau interval pertama dari setiap tahap tidur. Jika ratarata latensi tidur kurang dari 8 menit, maka dianggap abnormal. Sebagai tes diagnostik untuk narkolepsi, MWT kurang sensitif jika dibandingkan dengan MSLT, tetapi MWT lebih sensitif dalam menilai efek pengobatan (misalnya, titrasi CPAP di OSAS dan stimulan terapi pada narkolepsi). Uji laboratorium lain yang penting untuk menilai gangguan tidur adalah actigraphy. Teknik ini menggunakan sebuah actigraph yang dipasang pada pergelangan tangan atau pergelangan kaki untuk merekam percepatan atau perlambatan gerakan tubuh yang secara tidak langsung menunjukkan tidur-terjaga. Actigraphy selama berhari-hari atau berminggu-minggu adalah pemeriksaan penunjang yang berguna pada pasien dengan insomnia dan gangguan tidur yang disebabkan gangguan ritme sirkadian serta pada beberapa pasien EDS. MRI dan teknik neuroimaging lainnya harus dilakukan untuk menyingkirkan lesi neurologis struktural. Pemeriksaan penunjang lain yang sesuai termasuk tes fungsi paru juga harus dilakukan untuk menyingkirkan dugaan adanya gangguan medis lain yang mungkin menjadi penyebab pasien insomnia atau hipersomnia.
Tabel III. Pemeriksaan Penunjang untuk Gangguan Tidur o
Pemeriksaan
penunjang
untuk
kondisi
primer
atau
komorbid
yang
menyebabkan gangguan tidur o
Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis dan pemantauan gangguan tidur
o
Polisomnografi semalam (PSG)
o
Tes latensi tidur multipe (multiple sleep latency test = MSLT)
o
Uji Pemeliharaan Fase Terjaga ( Maintenance of Wakefulness Test )
o
Actigraphy
o
Video-PSG
o
Standard electroencephalography (EEG) dan pemantauan video-EEG untuk gangguan kejang yang dicurigai
o
Pemeriksaan Radiologi
o
Pemeriksaan Radiologi saluran napas atas untuk Obstruktive sleep apnea syndrome
o
Neuroimaging (misalnya,
computed tomography,
magnetic resonance
imaging ) dan angiografi serebral pada kasus yang diduga sebagai gangguan tidur yang disebabkan penyakit neurologis. o
Positron
Emission
tomografi dan
Single-photon
emission
computed
tomography pada situasi khusus o
Tes fungsi paru pada kasus yang diduga sebagai gangguan tidur yang disebabkan gangguan bronkopulmonalis dan gangguan neuromuskuler pernapasan
o
Histocompatibility antigen leukosit untuk pasien yang diduga menderita narkolepsi
o
Kadar hypocreatin LCS pada pasien yang diduga menderita narkolepsi
o
Kadar serum besi dan feritin untuk pasien dengan restless legs syndrome
o
Elektromiografi (EMG) dan studi konduksi saraf untuk menyingkirkan kondisi sekunder atau komorbid restless leg syndrome
Gangguan Klinis Obstr ucti ve Sl eep Apn ea Syndr ome (OSAS)
Dengan definisi minimal lima apnea atau hypopnea per jam tidur disertai EDS, prevalensi OSAS adalah 4% pada pria dan 2% pada wanita berusia 30 – 60 tahun. Didapatkan hubungan yang kuat antara OSAS dan jenis kelamin laki-laki, bertambahnya usia, dan obesitas. Kondisi ini sering terjadi pada pria berusia lebih dari 40 dan pada perempuan kejadian OSAS lebih besar setelah menopause. Sekitar 85% penderita OSAS adalah laki-laki dan sekitar 70% pasien OSAS mengalami obesitas. Gejala OSAS dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu gejala yang terjadi selama tidur dan gejala yang terjadi selama terjaga (Tabel IV). Gejala yang terjadi selama tidur termasuk kebiasaan mendengkur keras, tersedak saat tidur, dan henti napas dan aktivitas motorik abnormal selama tidur (misalnya, gemetar dan gerakan menyentak, arousals confusional atau somnambulisme), gangguan tidur yang parah, nyeri ulu hati akibat reflux gastroesophageal, nokturnal enuresis yang sebagian besar terjadi pada anak-anak, dan berkeringat banyak di malam hari. Gejala di siang hari termasuk EDS, ditandai dengan serangan tidur yang berlangsung 0,5-2 jam dan terjadi terutama ketika pasien sedang santai (misalnya, duduk atau menonton televisi). Durasi tidur yang berkepanjangan dan sifat tidur yang non-restoratif membedakan gejala ini dari gejala narkolepsi. Pada pria, impotensi sering dikaitkan dengan kasus OSAS yang parah dan lama. Pemeriksaan fisik mungkin mengungkap obesitas pada sekitar 70% kasus, selain kelainan anatomi di saluran napas bagian atas. Dalam kasus yang parah, dapat ditemukan polisitemia dan gagal jantung, hipertensi pulmonal, dan aritmia. OSAS berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas sebagai akibat dari konsekuensi jangka pendek (penurunan kualitas hidup, peningkatan kecelakaan lalu lintas, dan kecelakaan yang berhubungan dengan pekerjaan) dan konsekuensi jangka panjang akibat kondisi terkait dan komorbiditas seperti hipertensi, gagal jantung, infark miokard, aritmia, stroke karena infark supratentorial dan/atau infratentorial, transient ischemic attactk serta disfungsi kognitif, depresi dan
insomnia. Beberapa penelitian prospektif longitudinal telah menunjukkan hubungan yang jelas antara OSAS dan hipertensi sistemik pada sekitar 45% pasien dengan OSAS. Sebaliknya, sekitar 30% penderita hipertensi esensial juga mengalami OSAS. Beberapa penelitian telah menunjukkan perbaikan hipertensi atau pengurangan kebutuhan obat antihipertensi setelah pengobatan OSAS yang efektif dengan titrasi CPAP. Hipertensi pulmonal terjadi pada 15 - 20 % kasus OSAS. Aritmia dalam bentuk premature ventricular contraction, vetricular takikardia, jeda sinus dan AV block derajat III, serta kematian jantung mendadak dikaitkan dengan OSAS. Gagal jantung, sebagian besar gagal jantung sistolik namun bisa juga terjadi gagal jantung diastolik (di mana penelitian yang ada masih terbatas) dikaitkan dengan obstructive sleep apnea dan central spleep apnea, namun sebagian besar central sleep apnea (termasuk pernapasan CheyneStokes). Central sleep apnea termasuk pernapasan cheyne-Stokes meningkatkan kematian penderita gagal jantung. Disfungsi kognitif dapat terjadi pada pasien OSAS berat, tetapi menunjukkan perbaikan setelah pengobatan dengan titrasi CPAP. Didapatkan peningkatan depresi dan insomnia pada penderita OSAS tetapi belum ada penelitian yang memadai mengenai prevalensi dan dampak dari kondisi ini pada OSAS. Ada juga hubungan antara OSAS dan sindrom metabolik (kombinasi dari hipertensi, peningkatan resistensi insulin dengan diabetes tipe II mellitus, hipertrigliseridemia, dan obesitas). Tabel IV. Tanda dan Gejala Obstructive Sleep Apnea Syndrome
Gejala nokturnal saat tidur: o
Mendengkur keras
o
Tersedak saat tidur
o
Henti napas (apnea yang disaksikan oleh teman tidur)
o
Duduk tegak atau perjuangan untuk bernapas
o
Aktivitas motorik abnormal (misalnya, meronta-ronta di tempat tidur)
o
Gangguan tidur parah
o
Reflux Gastroesophageal
o
Nokturia dan enuresis nokturnal (kebanyakan pada anak-anak)
o
Insomnia (pada beberapa pasien)
o
Keringat yang berlebih pada malam hari (pada beberapa p asien)
Gejala di Siang Hari: o
Rasa kantuk yang berlebihan di siang hari ( Excessive Daytime Somnolence)
o
Pelupa
o
perubahan kepribadian
o
Penurunan libido dan impotensi pada pria
o
Mulut kering saat Terbangun
o
Sakit kepala di pagi hari (pada beberapa pasien)
o
Perilaku otomatisasi dengan amnesia retrograde
o
Hiperaktif pada anak-anak
o
Tunarungu (pada beberapa pasien)
Sindrom narkolepsi-katapleksi
Onset sebagian besar kasus narkolepsi-catapleksi terjadi pada remaja dan dewasa muda dengan puncaknya pada usia antara 15-30 tahun. ICSD 2 membagi narkolepsi menjadi tiga jenis: narkolepsi dengan katapleksi, narkolepsi tanpa katapleksi, dan narkolepsi sekunder. Manifestasi klinis utama dari narkolepsi meliputi serangan tidur narkolepsi (100%); katapleksi (60-70%); kelumpuhan tidur (25-50%); halusinasi hypnagogic (20-40%); tidur malam terganggu (7080%); dan perilaku otomatis (20-40%). Selain manifestasi utama, pasien dengan narkolepsi juga mungkin memiliki empat kondisi komorbid penting: sleep apnea, periodic limb movement in sleep (PLMS), gangguan perilaku REM ( Behavioural REM Disorder = RBD), dan gangguan makan malam hari ( nocturnal eating disorder ). Serangan narkolepsi klasik adalah keinginan tak tertahankan untuk jatuh tertidur dalam keadaan yang tidak pantas dan di tempat-tempat yang tidak pantas (misalnya, saat berbicara, mengemudi, makan, bermain, berjalan, berlari, bekerja, duduk, mendengarkan ceramah, menonton televisi atau film, saat melakukan hubungan seks, atau ketika terlibat dalam situasi membosankan atau
monoton). Kondisi tersebut berlangsung dari beberapa menit hinga 20 - 30 menit, dan biasanya penderita merasa segar setelah bangun. Frekuensi serangan bervariasi, mulai dari harian, mingguan, bulanan atau setiap beberapa minggu hingga bulan. Serangan umumnya bisa muncul sewaktu-waktu sepanjang hidup pasien meskipun fluktuasi dan remisi sementara dapat terjadi. Pasien sering menunjukkan penurunan kinerja di sekolah dan di lingkungan kerja serta menghadapi kesulitan psikososial dan sosial-ekonomi sebagai akibat dari narkolepsi dan EDS. Serangan tidur ini sering disertai dengan katapleksi yang ditandai dengan hilangnya tonus pada semua otot volunter kecuali otot pernapasan dan okuler secara mendadak. Sembilan puluh lima persen serangan dipicu oleh faktor-faktor emosional seperti tertawa, mengamuk, atau marah. Serangan biasanya bersifat parsial dan jarang unilateral. Biasanya, pasien menganggukanggukkan kepala, mengendurkan rahang, menekuk lutut, menjatuhkan benda dari tangan, disatria atau kehilangan suara, tapi kadang-kadang mereka dapat merosot atau jatuh terjerembab selama beberapa detik. Serangan berlangsung selama beberapa detik sampai menit dan pasien masih tetap sadar selama serangan. Umumnya, serangan katapleksi terjadi beberapa bulan - tahun setelah onset narkolepsi, tetapi kadang-kadang katapleksi menjadi manifestasi awal. Kondisi ini berlangsung seumur hidup, tetapi tidak bersifat parah dan bahkan mungkin menghilang di usia tua. Terkadang status katapleksikus dapat terjadi terutama setelah penghentian obat anti-katapleksi. Lumpuh saat tidur ( sleep paralysis), halusinasi hypnagogic, tidur malam yang terganggu, dan perilaku otomatisasi adalah manifestasi lain dari sindrom narkolepsi-kataplesi. Narkolepsi-katapleksi sekunder bisa diakibatkan tumor diensefalik dan tumor midbrain, multiple sclerosis, stroke, malformasi pembuluh darah, ensefalitis, trauma otak dan sindrom parapnyoplastic dengan antibodi anti-MA 2 yang timbul saat narkolepsi dan manifestasi lainnya. Narkolepsi simptomaik dikaitkan dengan katapleksi dan berkembang pada anak-anak dengan penyakit Niemann-Pick tipe C.
Hipersomnia Idiopatik dengan atau tanpa Waktu Tidur yang Panjang
Hipersomnia idiopatik hampir serupa dengan sindrom narkolepsi. Gangguan ini ditandai dengan EDS dengan durasi tidur normal (6-10 jam) atau berkepanjangan (lebih dari 10 jam) yang dibuktikan melalui sejarah, actigraphy, jurnal harian tidur atau PSG. Onset penyakit ini umumnya pada rentang usia yang sama seperti narkolepsi (15 - 30 tahun). Namun, pola tidur hipersomnia idiopatik berbeda dengan narkolepsi. Penderita biasanya tidur selama berjam-jam tapi tidur bersifat non restoratif. Karena EDS, kondisi ini mungkin salah dikira sebagai sleep apnea. Namun, dari anamnesis tidak didapatkan adanya katapleksi, mendengkur, atau sering terbangun di malam hari. Beberapa pasien mungkin memiliki perilaku otomatisasi dengan amnesia. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan adanya temuan neurologis abnormal. Kondisi ini harus dibedakan dari penyebab lain EDS. Tidak ada hubungan yang jelas antara hipersomnia idiopatik dan antigen HLA. Pemeriksaan MSLT menunjukkan adanya rasa kantuk patologis tanpa onset tidur REM. Insomnia
Insomnia adalah gangguan tidur yang paling umum dan penyakit yang paling sering ditemui oleh dokter. Penderita insomnia mengeluhkan kesulitan memulai dan mempertahankan tidur, termasuk terbangun pada dini hari dan tidur non-restoratif yang terjadi 3-4 kali per minggu dan bertahan selama lebih dari satu bulan serta terkait dengan gangguan fungsi aktivitas sehari-hari. Insomnia akut kemungkinan berhubungan dengan situasi stres yang dapat diidentifikasi. Sebagian besar kasus insomnia bersifat kronis dan komorbid dengan gangguan lain yang meliputi gangguan kejiwaan, gangguan medis dan neurologis, atau penyalahgunaan obat dan alkohol. Dalam beberapa kasus, tidak ada penyebab yang ditemukan, sehingga kondisi ini didisebut insomnia idiopatik atau insomnia primer atau insomnia psikofisiologis.
Restl ess Leg Syndr ome
Restless Legs Syndrome (RLS) adalah gangguan gerakan yang paling sering terjadi tetapi jarang dikenali dan diobati, meskipun deskripsi kondisi ini sudah jelas sejak pertengahan abad terakhir. Tidak ada tes diagnostik tunggal untuk RLS dan karenanya penegakan diagnosis sepenuhnya didasarkan pada gejala klinis dan kriteria dari International Restless Legs Syndrome Study Group (IRLSSG) yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1995 dengan sedikit revisi pada tahun 2003. RLS adalah gangguan saraf sensoris-motoris yang dialami seumur hidup, biasanya pertama kali muncul pada usia yang sangat muda, tetapi sebagian besar didiagnosis pada usia-usia pertengahan atau usia yang lebih tua. Prevalensi meningkat seiring dengan usia, dan peningkatan drastis, untuk beberapa alasan yang tidak diketahui, pada usia 85 sampai 90 tahun. Empat kriteria diagnosis penting diperlukan untuk menegakkan diagnosis RLS. Prevalensi keseluruhan diperkirakan mencapai sekitar 10% dari populasi orang dewasa, tetapi prevalensi kasus RLS yang berat adalah sekitar 2,5 persen. Prevalensi RLS lebih besar pada wanita dibandingkan pada pria, dan penyakit ini kronis dan progresif. Penyelidikan riwayat penyakit keluarga RLS menunjukkan peningkatan kejadian kasus idiopatik (sekitar 40-50%) pada keturunan pertama. Sebuah konkordansi yang tinggi (83%) pada kembar monozigot dan analisis segregasi menunjukkan mode pewarisan dominan autosomal. Analisis linkage mendokumentasikan hubungan yang signifikan untuk setidaknya lima kromosom yang berbeda (12Q, 14q, 9P, 2P dan 22P). Penelitian mengenai hubungan genom dengan RLS baru-baru ini telah mengidentifikasi varian umum di area genom tertentu yang menyumbangkan lebih dari 50 persen peningkatan risiko untuk RLS. Hasil ini menunjukkan dasar biologis untuk kondisi RLS. Manifestasi sensorik RLS mencakup perasaan tidak menyenangkan yang intens, digambarkan sebagai rasa merayap, merangkak, kesemutan, terbakar, sakit, kram, seperti diiris pisau, atau sensasi gatal. Sensasi ini terjadi terutama antara lutut dan pergelangan kaki sehingga menyebabkan dorongan kuat untuk menggerakkan anggota tubuh dan meringankan perasaan ini. Kadang-kadang gejala yang sama terjadi pada lengan atau bagian lain dari tubuh, terutama dalam tahap lanjut penyakit atau
ketika pasien mengalami augmentasi (sindrom hipermotor dengan gejala yang muncul kurang lebih 2 jam lebih awal dari periode awal RLS dengan intensifikasi dan penyebaran ke bagian tubuh lainnya) yang disebabkan karena pemberian obat dopaminergik dalam waktu lama. Sebagian besar gerakan, terutama pada tahap awal, terjadi saat malam hari ketika pasien sedang beristirahat di tempat tidur. Dalam kasus yang parah, gerakan tersebut dapat terjadi di siang hari ketika pasien duduk atau berbaring. Setidaknya 80% penderita RLS mengalami gerakan tungkai periodik saat tidur ( Periodic Limb Movement in Sleep = PLMS) dan mungkin juga mengalami gerakan tungkai periodik saat terjaga ( Periodic Limb Movement in wakefulness = PLMW). Kondisi ini umumnya memiliki dampak yang besar pada tidur dan biasanya pasien datang ke pelayananan kesehatan karena keluhan gangguan tidur yang merupakan masalah awal, meskipun keluhan tersebut juga terjadi karena PLMS. Parasomnia
Parasomnia merupakan gerakan atau perilaku abnormal yang terjadi selama tidur atau saat bangkit dari tidur, bersifat intermiten atau episodik, tanpa mengganggu struktur tidur. ICSD 2 menuliskan 15 macam parasomnia, dengan beberapa entitas diantaranya jarang terjadi. Beberapa parasomnia mungkin disalahartikan sebagai kejang, terutama kejang parsial kompleks dan nocturnal frontal lobe epilepsy. Somnambulisme, teror malam (night terror ), arousal confusional, sleep enuresis, gangguan perilaku tidur REM ( REM sleep behaviour disorder = RBD), dan mimpi buruk adalah beberapa parasomnia yang bisa disalahartikan sebagai kejang. Karakteristik gejala klinis yang dikombinasikan dengan rekaman EEG dan PSG sangat penting untuk membedakan kondisi tersebut. Sleep-walking (somnambulisme)
Somnambulisme biasanya terjadi pada anak-anak berusia sekitar 5 - 12 tahun dan terkadang berlanjut sampai usia dewasa. Somnambulisme jarang terjadi pertama kali pada usia dewasa. Somnambulisme dimulai dengan adanya aktivitas motorik yang mendadak yang timbul dari gelombang tidur lambat selama
sepertiga awal durasi tidur. Episode ini biasanya berlangsung kurang dari 10 menit. Biasanya pada penderita somnambulisme, ada riwayat keluarga yang menderita
somnambulisme
juga.
Cedera
dapat
terjadi
selama
episode
somnambulisme tetapi biasanya pasien dapat mengetahui jalan mereka di sekitar ruangan. Pada kejadian yang amat langka, dapat terjadi pembunuhan dan perilaku seksual yang abnormal saat episode somnambulisme; kurang tidur, kelelahan, gagguan medis, dan penggunaan obat penenang-hipnotik merupakan faktor pencetus. (Pavor nocturnus) Sl eep Terr or
Sleep terror juga terjadi selama fase tidur gelombang lambat. Puncak onset sleep terror adalah pada anak berusia sekitar 5 - 7 tahun. Seperti somnambulisme, ada riwayat keluarga yang juga mengalami sleep terror . Episode sleep terror ditandai dengan gejala otonom dan motorik yang intens, seperti menjerit dengan keras. Pasien terbangun dengan kondisi bingung dan ketakutan. Pada kebanyakan pasien juga didapatkan riwayat somnambulisme. Faktor pencetusnya sama seperti yang telah dijelaskan dalam somnambulisme. Ar ousal Conf usional
Arousal confusional biasanya terjadi pertama kali sebelum usia 5 tahun. Seperti dalam pada somnambulisme dan sleep terror , ada insiden tinggi kasus familial dan episode muncul saat fase tidur gelombang lambat, tapi kadangkadang juga dapat terjadi di Tahap 2 tidur NREM. Pasien mungkin memiliki beberapa perilaku otomatisasi dan tidak pantas, termasuk perilaku seksual yang abnormal (sex-somnia atau seks tidur) ketika episode ini terjadi pada orang dewasa. Mayoritas bersifat jinak, tapi kadang-kadang episode kekerasan pada orang dewasa bisa terjadi. Faktor pemicu sama seperti dalam somnambulisme atau sleep terror . REM Sleep Behaviou r D isorder (RBD)
RBD merupakan parasomnia yang terjadi selama tidur REM dan sering terjadi pada lansia. Gejala khas RBD adalah berkurangnya tidur REM secara
intermiten, terutama terkait dengan hipotonia atau atonia otot selama tidur REM, karena munculnya berbagai gerakan motorik abnormal selama tidur. Pasien mengalami perilaku kekerasan dalam mimpi selama tidur REM yang sering menyebabkan cedera pada diri sendiri atau orang lain yang tidur disamping penderita. RBD bisa idiopatik atau sekunder; kebanyakan kasus RBD dianggap sekunder dan berhubungan dengan penyakit neurodegeneratif. Hal ini terlihat dengan meningkatnya prevalensi RBD pada penderita Parkinson, multiple system atrophy (MSA), penyakit Lewy-Body difus dengan demensia ( Diffuse Lewy-Body Disease
with
Dementia
=
DLBD),
degenerasi
kortikobasal,
atrofi
olivopontocerebellar, dan progresif supranuclear palsy (PSP). Banyak pasien dengan narkolepsi, penyakit degeneratif yang kemungkinan disebabkan adanya neuron yang mengandung hypocreatin di hipotalamus lateral, juga mengalami RBD. Beberapa penulis menyatakan bahwa RBD mungkin merupakan gangguan alphasynucleinopathy karena inklusi alpha-synucleine telah diamati di banyak penyakit neurodegeneratif yang (misalnya, parkinson, MSA, DLBD). RBD mungkin mendahului banyak penyakit degeneratif ini. RBD kadang terjadi karena induksi diinduksi (misalnya, obat sedative-hypnotics, antidepresan trisiklik, antikolinergik, selective serotonin reuptake inhibitor - SSRI) atau berhubungan dengan alkoholisme dan lesi struktural batang otak. RBD dikaitkan dengan disfungsi dopamin, berdasarkan temuan berkurangnya transporter striatal prasinaptik dopamin yang tampak pada PET scan dan temuan berkurangnya reseptor D2 dopamin pasca-sinaptik. Tidur REM tanpa atonia otot adalah temuan PSG yang paling penting. Secara eksperimental perilaku serupa didapatkan setelah lesi bilateral perilokus seruleus pada kucing. Mimpi buruk
Mimpi buruk merupakan mimpi menakutkan yang intens diikuti oleh terbangun mendadak dan ingatan yang jelas tentang mimpi, mimpi buruk terjadi selama tidur REM. Mimpi buruk paling sering terjadi di tengah malam hingga akhir malam. Mimpi buruk biasanya merupakan fenomena normal. Sekitar 50% anak-anak mengalami mimpi buruk yang dimulai pada usia 3-5 tahun. Insiden
mimpi buruk menurun seiring pertumbuhan usia, lansia mengalami sedikit hingga tidak ada mimpi buruk. Mimpi buruk biasanya terjadi setelah obat penekan REM secara tiba-tiba dan dapat juga terjadi sebagai efek samping obat tertentu, seperti obat antiparkinson, antikolinergik, dan beta blocker. Sl eep-r elated Eati ng Di sorders
Gangguan makan terkait tidur sering terjadi pada wanita antara usia 20-30 tahun, terdiri dari episode makan dan minum berulang selama terbangun parsial dari tidur. Kadang-kadang pasien menampilkan perilaku makan yang aneh (misalnya, konsumsi zat yang tidak dapat dimakan atau beracun seperti pizza beku, daging mentah, dan makanan kucing). Episode ini menyebabkan gangguan tidur dan penambahan berat badan; kadang-kadang dapat terjadi cedera. Kondisi ini bisa berupa idiopatik atau komorbid dengan gangguan tidur lainnya (misalnya, somnambulisme, RLS-PLMS, OSAS, gangguan ritme sirkadian, dan penggunaan obat-obatan seperti triazolam, zolpidem dan agen psikotropika lainnya). Temuan PSG adalah arousal confusional dengan atau tanpa aktivitas makan, timbul terutama saat tidur gelombang lambat, tetapi bisa juga timbul saat tidur NREM dan kadang-kadang dari tidur REM. Catathrenia
Parasomnia ini ditandai dengan episode berulang dari erangan saat ekspirasi (bernada tinggi, berdengung keras, atau seperti suara menderu) dan terjadi terutama selama tidur REM, tetapi juga dapat terjadi selama tidur NREM. Temuan
PSG
menyerupai
central
apnea dengan
ekspirasi
bradypnoea
berkepanjangan tanpa desaturasi oksigen. Rekaman audio simultan akan menunjukkan karakteristik erangan. Relevansi klinis dan patofisiologi kondisi ini masih belum diketahui. Sl eep Rel ated M ovement D isor der
Kondisi ini merupakan kategori baru dari gangguan gerak yang berkaitan dengan tidur dalam ICSD 2 gerakan ini terdiri dari gerakan stereotip sederhana
yang mengganggu tidur. RLS, PLMS, gangguan gerakan ritmis, bruxism dan nocturnal leg cramps termasuk dalam kategori ini. Gangguan Gerakan Ritmis
Gangguan gerakan ritmis sebagian besar terjadi pada usia kurang dari 18 bulan dan terkadang dikaitkan dengan keterbelakangan mental. Kondisi ini adalah gangguan transisi tidur-terjaga dengan tiga gerakan khas: membenturkan kepala, kepala berputar, dan tubuh bergoyang. Gangguan gerakan berirama adalah kondisi yang ringan dan biasanya menghilang seiring usia. Nocturn al L eg Cramps
Kondisi ini merupakan keadaan yang menyakitkan disertai dengan kekakuan otot yang terjadi selama tidur. Kekakuan biasanya berlangsung selama beberapa detik tapi kadang-kadang bertahan selama beberapa menit. Kram saat tidur umumnya terkait dengan fase terjaga. Banyak orang normal mengalami nocturnal leg cramps; penyebabnya masih belum diketahui. Pijat di area kram atau menggerakan anggota badan biasanya dapat mengurangi kram. Bruxism (Gigi Grinding)
Bruxism sering muncul pada usia 10 – 20 tahun, tetapi dapat bertahan sepanjang hidup, yang sering menimbulkan masalah sekunder seperti disfungsi sendi temporomandibular. Bruxism diurnal dan nokturnal mungkin berhubungan dengan berbagai gerakan dan gangguan degeneratif seperti distonia oromandibular dan penyakit Huntington. Bruxism juga sering terjadi pada anak-anak dengan keterbelakangan mental atau cerebral palsy. Bruxism Nocturnal paling sering terjadi selama tahap 1 dan 2 tidur NREM dan tidur REM. Episode ini ditandai dengan menggrindingkan gigi (khas) dan bisa disebabkan karena kecemasan, stres, dan penyakit gigi. Kadang-kadang, didapatkan riwayat keluarga yang juga mengalami bruxism. Injeksi lokal toksin botulinum ke otot masseter dapat digunakan untuk mencegah komplikasi penyakit gigi dan gangguan sendi temporomandibular.