ESTETIKA Estetika ( juga dieja estetika atau estetika) adalah cabang filsafat yang berhubungan dengan sifat keindahan , seni, dan rasa, dan dengan penciptaan dan apresiasi terhadap keindahan. Hal ini lebih ilmiah didefinisikan sebagai studi tentang sensor atau sensori nilai - nilai emosional, kadangkadang disebut penilaian terhadap sentimen dan rasa. Lebih luas, para sarjana di lapangan mendefinisikan estetika sebagai "refleksi kritis pada seni, budaya dan alam . " adalah sebuah Estetika vak dari aksiologi , cabang dari filsafat , dan erat terkait dengan filosofi seni . Studi Estetika cara baru dalam melihat dan mengamati dunia. Definisi EstetikaIstilah Estetika dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714 - 1762) melalui beberapa uraian yang berkembang menjadi ilmu tentang keindahan.(Encarta Encyclopedia 2001, 1999)Baumgarten menggunakan instilah estetika untuk membedakan antara pengetahuan intelektual dan pengetahuan indrawi. Dengan melihat bahwa istilah estetika baru muncul pada abad 18, maka pemahaman tentang keindahan sendiri harus dibedakan dengan pengertian estetik. Jika sebuah bentuk mencapai nilai yang betul, maka bentuk tersebut dapat dinilai estetis, sedangkan pada bentuk yang melebihi nilai betul, hingga mencapai nilai baik penuh arti, maka bentuk tersebut dinilai sebagai indah. Dalam pengertian tersebut, maka sesuatu yang estetis belum tentu indah dalam arti sesungguhnya, sedangkan sesuatu yang indah pasti estetis. Terhadap hal ini, tugas tugas yang diberikan pada perkuliahan Nirmana 3 Dimensi adalah bentuk bentuk yang memiliki nilai betul, walaupun pada beberapa tugas tertentu sebagian siswa dapat mencapai nilai indah. Banyak pemikir Seni berpendapat bahwa keindahan berhubungan dengan rasa yang menyenangkan seperti Clive Bell, George Santayana, dan R.G Collingwood.(Sutrisno,1993) Terdapat beberapa pendapat mengenai definisi dari estetika sendiri, salah satu definisi yang cukup lengkap diberikan oleh Hospers, "aesthetics is the branch of philosophy that is concerned with the analysis of concepts and the solutions of problems that arise when one contemplates aesthetic objects. Aesthetic objects, in turn, comprise all the objects of aesthetic experience; thus, it is only after aesthetic experience has been sufficiently characterized that one is able to delimit the class of aesthetic objects"( Sutrisno,1993. Hal 16) Menurut para ahli definisi estetika adalah : -
-
Pendapat Herbert ReadHerbert Read mendefinisikan bahwa keindahan adalah kesatuan dan hubungan-hubungan bentuk yang terdapat diantara pencerapan - pencerapan inderawi kita. Pada umumnya orang beranggapan bahwa yang indah adalah seni atau bahwa seni adalah selalu indah, dan bahwa yang tidak indah bukanlah seni. Pandangan semacam ini akan menyulitkan masyarakat dalam mengapresiasi seni sebab ini tidak harus selalu indah, menurut pendapat Herbert Read. Bruce Allsopp (1977) Estetika adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari proses-proses penikmatan dan aturan-aturan dalam menciptakan rasa kenyamanan. J.W. Moris (1985) Estetika estetika dikenakan pada obyek yang memiliki nilai indah atau tidak indah. (sering diperukarkan dengan seni/art). Estetika = Aesthetics Seni = Art
Sejarah Estetika Pengertian estetika dari suatu masa ke masa yang lain selalu mengalami perubahan. Beberapa pemikir estetika yang terkenal antara lain adalah Aristoteles dan Immanuel Kant. Aristoteles dalam Poetics menyatakan bahwa sesuatu dinyatakan indah karena mengikuti aturanaturan (order), dan memiliki magnitude atau memiliki daya tarik. Immanuel Kant dalam The Critique of Judgement (1790) yang dikutip oleh Porphyrios (1991) menyatakan bahwa suatu ide estetik adalah representasi dari imajinasi yang digabungkan dengan konsep-konsep tertentu. Kant menyatakan adanya dua jenis keindahan yaitu keindahan natural dan keindahan dependen. Keindahan natural adalah keindahan alam, yang indah dalam dirinya sendiri, sementara keindahan dependen merupakan keindahan dari objek-objek ciptaan manusia yang dinilai berdasarkan konsep atau kegunaan tertentu. Kedua pendapat tersebut di atas menunjukkan perhatian yang besar pada objek, di mana keindahan didapatkan karena suatu objek memiliki karakter tertentu sehingga layak untuk dinyatakan sebagai indah. Perhatian yang besar terhadap objek dalam pemikiran tentang estetika tersebut memberikan pengaruh pada arsitektur. Pengaruh tersebut mengakibatkan munculnya aturan-aturan sebagai patokan untuk menyatakan keindahan suatu bangunan. Alberti yang hidup pada masa Renaissance, dalam Ten Books on Architecture menyatakan bahwa keindahan suatu bangunan ditentukan oleh beberapa faktor (Porphyrios, 1991) seperti jumlah komponen (number) misalnya jumlah kolom, pelubangan dan sebagainya yang dinyatakan harus meniru alam, congruity, yaitu bagaimana menempatkan suatu komponen untuk membentuk keindahan secara keseluruhan, finishing dan collocation. Pada intinya Alberti menyatakan sesuatu disebut indah karena meniru alam, dalam hal ini bukan hanya alam secara fisik, tetapi juga hukumhukum alam. Hal ini dapat dilihat pada kolom-kolom Yunani yang berbentuk mengecil ke atas, yang dianggap sesuai dengan hukum alam. Alberti bukanlah satu-satunya orang yang mencetuskan standar dalam estetika arsitektur. Andrea Palladio dan Brunelleschi juga banyak memberikan kontribusi bagi standar estetika dalam arsitektur masa Renaissance. Kebanyakan aturan-aturan yang berlaku pada masa tersebut menyebutkan aturan proporsi dalam angka-angka. Golden section merupakan salah satu aturan proporsi dalam angka yang banyak digunakan dan dianggap sebagai representasi dari alam pada sekitar abad ke-18. Aturan-aturan yang populer pada masa setelah Renaissance dijiwai oleh semangat akan perkembangan sains. Perez-Gomez dalam Architecture and The Crisis of Modern Science (1990) menyatakan bahwa terdapat dua transformasi yang menjadi penyebab hal tersebut di atas, yaitu revolusi Galileo yang menggantikan kosmologi Renaissance dengan sains yang bersifat universal, serta transformasi kedua yang berlangsung pada tahun 1800 yang semakin memantapkan sains sebagai satu-satunya cara melakukan interpretasi terhadap realitas. Karena itu estetika yang digunakan dalam arsitektur menjadi estetika yang bersifat matematis. Proporsi yang matematis dan geometri mendominasi konsep estetika pada masa tersebut. Penggunaan geometri dan angka dalam arsitektur terus berlangsung hingga awal abad ke-20 saat berkembangnya Arsitektur Modern. Pada masa Arsitektur Modern, proporsi golden section diadaptasi oleh Le Corbusier dalam teori Modulornya. Perbedaannya dengan penggunaan geometri dan angka pada masa sebelumnya adalah bahwa dalam Arsitektur Modern, pengaruh geometri dan angka berakibat pada tujuan penataan ruang yang semata-mata untuk alasan efisiensi dan ekonomi.
Perez-Gomez (1990) menyatakan bahwa paradigma efisiensi dan ekonomi dalam Arsitektur Modern merupakan akibat dari pendekatan rasional absolut sehingga arsitektur direduksi hanya sebagai teori yang rasional dengan menolak keterhubungannya dengan filosofi dan kosmologi. Selain mendasarkan diri pada perhitungan rasional, Arsitektur Modern merupakan suatu bentuk arsitektur yang mengidekan suatu universalitas dan objektivitas. Hal ini merupakan konsekuensi dari konsep yang hanya didasarkan pada objek semata. Mendasarkan pada objek dan meniadakan kemungkinan subjektif dengan meniadakan faktor pengamat berarti mencari sesuatu yang objektif dan universal. Kita dapat melihat hubungan erat antara Arsitektur Modern dengan arsitektur masa Renaissance yang tumbuh dalam masa euforia terhadap sains dan pemikiran rasional, yakni bersifat objektif dan universal. Perkembangan filsafat fenomenologi pada masa awal abad keduapuluh yang mengkritisi pendekatan matematis dari modernisme kemudian membawa suatu pendekatan baru dalam estetika. Dalam fenomenologi, perhatian lebih diarahkan kepada keberadaan subjek yang mempersepsi objek daripada kepada objek itu sendiri. Dengan kata lain hal ini dapat dikatakan sebagai: membuka kemungkinan adanya subjektivitas. Hal ini menimbulkan kesadaran akan adanya konteks ruang dan waktu; bahwa pengamat dari tempat yang berbeda akan memiliki standar penilaian yang berbeda, dan begitu pula dengan pengamat dari konteks waktu yang berbeda. Pemikiran inilah yang kemudian akan berkembang menjadi postmodernisme.Terbukanya kemungkinan untuk bersifat subjektif memberi jalan bagi keberagaman dalam estetika, dan memberikan banyak pengaruh pada arsitektur. Pengaruh-pengaruh tersebut antara lain adalah: Wajah arsitektur yang semakin beragam dan semakin kompleks, tidak seperti wajah Arsitektur Modern yang selalu polos. Ide akan kompleksitas dalam arsitektur pertama kali dicetuskan oleh Robert Venturi dari Amerika dalam bukunya Complexity and Contradiction in Architecture (1962) yang kemudian mengawali postmodernisme dalam arsitektur. Dalam buku tersebut terlihat adanya pergeseran estetika yang sangat besar. Venturi mendukung penggunaan kompleksitas dan kontradiksi dalam arsitektur dan mencanangkan slogan less is bore yang merupakan penyerangannya terhadap slogan less is more dari Arsitektur Modern. Dengan terbukanya subjektivitas, maka timbul kecenderungan untuk memberikan identitas pada arsitektur, baik berupa identitas pemilik ataupun identitas si arsitek. Akibat dari kecenderungan ini, terjadilah fenomena berlomba-lomba untuk membuat monumen-monumen yang dipergunakan untuk menunjukkan jatidiri. Pada titik ini terjadi tumpang-tindih antara estetika dengan simbolisme, karena estetika dipergunakan sebagai sarana untuk menunjukkan identitas. Ide ini bukanlah ide baru, karena arsitektur pada masa sebelum masa Arsitektur Modern juga telah banyak menggunakannya, akan tetapi yang terjadi pada postmodernisme adalah pluralisme yang berlebihan karena setiap individu berusaha untuk memiliki jatidiri sendiri (Piliang, 1998). Adanya kesadaran akan kontekstualitas membuka pikiran akan tidak adanya universalitas dan objektivitas. Hal ini menuju pada pengakuan akan adanya (pengetahuan) konsep estetika arsitektur lain di luar arsitektur barat. Akibatnya terjadi perkembangan ilmu estetika arsitektur yang merambah ke arsitektur selain Barat yang sebelumnya dianggap sebagai oriental, termasuk juga arsitektur di Indonesia.
Sejarah Estetika di Indonesia Yuswadi Saliya (1999) menyatakan adanya empat ciri arsitektur tradisional di Indonesia, yaitu pertama, semuanya sarat dengan makna simbolik, kedua, rumah menjadi simpul generasi masa lalu dengan generasi masa datang, ketiga pemenuhan kebutuhan spiritual lebih diutamakan daripadda kebutuhan badani, keempat, dikenalnya konsep teritorialitas dan kemudian mengejawantah menjadi batas. Ciri pertama dan kedua menunjukkan adanya kosmologi dan orientasi non badaniah, dan karena spiritual-lah yang diutamakan, maka kebutuhan badaniah cenderung akan dikorbankan demi kepentingan spiritual. Dalam hal ini manusia merupakan pihak yang harus melakukan penyesuaian diri terhadap bentukan arsitektur (Soemardjan, 1983). Orientasi terhadap kosmologi ini masih banyak dijumpai di Indonesia hingga masa kini, terutama pada arsitektur tradisional. Hal ini bukan berarti bahwa semua arsitektur di Indonesia berorientasi pada kosmologi. Indonesia tidak terlepas dari pengaruh globalisasi. Pemikiran akan universalitas dan objektivitas Arsitektur Modern juga melanda arsitektur Indonesia. Seperti juga di Barat, fenomena arsitektur yang polos, tanpa ornamen dan tanpa konteks juga terjadi di Indonesia. Seperti juga arus modernisme, arus Postmodernisme juga melanda Indonesia. Sebagai akibatnya, terjadi kesadaran akan konteks dan perlunya identitas.Hadirnya Arsitektur Modern dan Postmodern secara bersamaan dengan (masih) hadirnya arsitektur tradisional menunjukkan adanya dualisme dalam arsitektur Indonesia. Arsitektur Modern dan Postmodern menunjukkan arsitektur yang berorientas pada kebutuhan badaniah manusia, sementara arsitektur tradisional Indonesia berorientasi kepada kosmologi dan spiritual.
Estetika dalam Arsitektur Dalam arsitektur, estetika adalah sebuah bahasa visual, yang tidak sama dengan beberapa bahasa estetika yang tidak visual, seperti bahasa itu sendiri. Estetika dalam arsitektur memiliki banyak sangkut paut dengan segala yang visual seperti permukaan, volume, massa, elemen garis, dan sebagainya, termasuk berbagai order harmoni, seperti komposisi.Teori Estetika Teori Estetika SubyektifMenurut Herbert Read teori subyektif menyatakan bahwa sesungguhnya yang menyatakan ciri-ciri yang menimbulkan keindahan adalah tidak ada. Yang ada hanyalah tanggapan persaaan dalam diri seseorang dalam mengamati sesuatu benda.Keindahan memang subyektif, dalam diri setiap orang, pendapat tentang nilai estetika sebuah bangunan dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain:Subyektifitas diri sendiri. Sensasi hanya dimungkinkan bila fungsi biologis tubuh kita yang berkaitan dengan fungsi sensasi dan persepsi dalam keadaan normal; misalnya mata bisa melihat, hidung bisa mencium, pikiran dalam keadaan normal/perseptif. Mampukah suatu obyek menggairahkan 'limbic' dalam otak kita sehingga merasa adanya kenikmatan saat berkontak dengan sebuah obyek arsitektural. Kenikmatan yang didapatkan itu menjadikan otak kita mengatakan sesuatu itu 'indah'.
Pengaruh dari lingkungan/masyarakat tentang apa yang disebut indah. Antara lain:
Pendidikan; apa yang ditanamkan dunia edukasi tentang keindahan, mungkin merupakan suatu pandangan yang ditekankan terus-menerus dan boleh jadi mengakar pada diri kita, serta metode untuk mengapresiasi suatu obyek juga merupakan suatu metode yang ditekankan secara terus-menerus. Opini yang berkembang di masyarakat. Kebanyakan melalui media, estetika diperkenalkan sebagai konsensus dalam skala tertentu, apakah regional, kolonial, dan disebarluaskan dengan berbagai cara. Terkadang estetika yang diperkenalkan dimaksudkan untuk mendukung sebuah industri terkait tren arsitektur, seperti industri perumahan. Estetika yang merupakan ideal suatu teritorial berbasis tradisi juga dapat memberi pengaruh teramat besar. Pilihan yang diberikan oleh situasi, hanya pilihan yang memungkinkan akan dipilih digunakan dalam rancangan. Teori Estetika ObjektifTeori Objektif berpendapat bahwa keindahan atau ciri – ciri yang menciptakan nilai estetik adalah sifat (kualitas) yang memang telah melekat pada bentuk indah yang bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya.Kajian mengenai keindahan sebagai kualitas objek Seni telah dilanjutkan lebih sistematis dalam pendekatan modern tahun 1928 ketika matematikawan Amerika George David Birkhoff mempresentasikan persamaannya;M = O / CNilai keindahan = hasil dari keberaturan dibagi kompleksitas M = ( measure )Nilai keindahanO = ( order )KeberaturanC = ( complexity )KompleksitasDua elemen terakhir dari persamaan Birkhoff memang dapat dihitung dan diberi angka. Seperti yang dipakai oleh Birkhoff sendiri, dimana ia menguji persamaannya pada suatu vas bunga, dengan jumlah elemen yang terbatas ( hanya terdiri dari tiga garis lengkung), tingkat keberaturan yang rendah (disusun secara simetris saja), maka nilai keindahan dari vas menjadi tidak tinggi ( angka kecil dibagi tiga ). Teori Estetika Proporsi dan Teori MatematisDapat ditelusuri sejak awal masa filsafat Yunani yang berupaya untuk menmukan hukum-hukum geometri dalam estetika, karena keindahan adalah harmoni, sedang harmoni adalah proporsi yang cocok dari hasil pengamatan.Pada kebudayaan Yunani, definisi definisi nominal sudah banyak digunakan seperti pada tulisan Plato "Dialog", dimana terdapat beberapa bagian yang mencoba untuk memperjelas pengertian kata "keindahan". Metoda yang dilakukan tidak benar-benar empirik; metoda yang digunakan pada jaman ini mirip dengan fenomenologi modern yang menekankan terjadinya ilham Seni dalam penciptaan karya Seni itu sendiri dan juga menekankan kesinambungan pengamatan karya Seni dengan muncul dan berkembangnya rasa keindahan atau pengalaman estetis. (Sutrisno,hal 34)Tulisan tulisan Plato mengenai keindahan banyak didasari pada doktrinnya mengenai "idea". Menurut Plato segala kenyataan yang ada di dunia ini merupakan peniruan (mimesis) dari yang asli, dan yang asli menurutnya adalah yang terdapat didunia atas saja idea bukan di dunia nyata ini dan adalah jauh lebih unggul daripada kenyataan didunia ini.Selanjutnya Plato berpendapat bahwa seseorang seharusnya mencoba menemukan pengetahuan dibelakang segalanya, yaitu pengetahuan tentang yang nyata dan permanen ( Yunani ; episteme = pegetahuan ) yang hadir sebagai pengertian tentang 'idea'. Satu dari unsur/ciri 'idea' itu adalah keindahan ( Yunani ; to kalon ), sifat permanen yang dimiliki oleh semua objek objek yang indah. Plato menitik beratkan pada pengalaman awal dari dirinya dan muridnya ( audience ), dan juga pada maksud-maksud yang diakumulasikan pada kata kata dari bahasa konvensional. Ketika memahami kata Yunani untuk indah, kalos, Plato mencatat bahwa kata ini pertama bermaksud 'baik' dan 'pantas'. Dari "Timaeus" dapat
dikutip bahwa sesuatu yang dipahami oleh akal dan pengetahuan akan tetap, akan tetapi sesuatu yang dipahami oleh pendapat yang menolong sensasi, dan tanpa pengetahuan, akan selalu dalam proses menjadi dan binasa yang tidak pernah mencatat hal-hal yang benar benar ada. Esensi yang tetap dari keindahan akibat dari proporsi proporsi yang tepat yaitu dari perbandingan ukuran. Gagasan ini dihubungkan pada penelitian dan falsafah Pytagoras ( 532 SM ) yang telah mengembangkan sistem proporsi-proporsi aritmatika tertentu dalam instrumen musik, seperti panjang string, menghasilkan harmoni nada. Berdasarkan pada harmoni musik ini masyarakat Yunani mencoba untuk menerangkan juga keindahan dalam proporsi-proporsi tubuh manusia, Arsitektur, dan objek-objek lain. Selama abad-abad pertengahan, proporsi-proporsi dan perbandingan-perbandingan ukuran diperhatikan sebagai atribut yang penting bagi keindahan objek-objek. Renaissance membangkitkan kembali pengkajian dari proporsi Pythagoras yang menggunakan bentuk bentuk geometris melalui perbandingan matematis.Seorang arsitek besar pada masa Renaissance, Leon Battista Alberti (1404 -1472), menekankan pada aspek formal dari bangunan dan detailnya, proporsi dan ornamen. Ia menyelidiki syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam karya Seni lukis, Seni pahat dan Arsitektur dari sudut pengolahan materi, untuk mencapai kesatuan dari bagian bagian karya Seni sehingga menjadi utuh. Keindahan (lat. Pulchritrudo) adalah 'harmoni dari semua bagian, dalam bentuk apapun, dipasangkan bersama dalam proporsi dan hubungan yang tepat, sehingga tidak ada lagi yang dapat ditambahkan, dikurangi atau dirubah, selain untuk bertambah buruk', hal inilah yang dicari melalui bentuk bentuk pada latihan latihan Nirmana Ruang . Hal ini sebagai perkataan bahwa sesuatu supaya menyenangkan harus harmonis, proporsional, dan hubungan antara bagian bagian dari objek tersebut harus seimbang. Dasar yang disusun oleh Alberti kemudian dielaborasi lebih luas sebagai teori Desain Arsitektur oleh generasi generasi berikutnya hingga sekarang, seperti dapat dilihat pada materi tugas Nirmana Ruang di pendidikan Arsitektur dan Desain.( Fundamental Principles of Architecture)Selanjutnya, dikenal juga Leonardo da Vinci yang secara khusus menyinggung mengenai ketelitian dalam pelaksanaan, hingga unsur terkecil pada satu karya, perlu disempurnakan. Sikap ini kemudian menjadi ciri karya karya abad pertengahan.Ajaran Leonardo da Vinci dan kemudian Buonarotti Michelanggelo diperdalam dengan studi tentang perspektif geometris serta proporsi tubuh manusia dan studi anatomi.
KESEIMPULAN Estetika adalah sebagai filsafat keindahan Estetika adalah erat sekali dengan seni bangunan Estetika adalah apa yang mendatangkan kesenangan dengan menyeluruh dan tidak berkonsepsi Estetika adalah bahwa “ Konsepsi tentang adanya tujuan pada objek tapi tujuan itu tidak terwujud dengan tegas “. Estetika adalah apa yang di akui sebagai obyek pemuasan darurat yang tidak berkonsep. Estetika adalah idea yang terwujud di dalam indera. Estetika adalah berada pada keselarasan pikiran di imajinasi (dengan dasar bebasnya kerja imajinasi). Estetika menurut Hegel adalah pujian yang mengibuli seni. Estetika adalah bergantung pada ilmu seni, maka estetika adalah hasil-hasil eksperimen yang tercipta dan meyakinkan. Estetika adalah bahasa orang banyak atau ilmu untk mengeluarkan isi hati. Estetika adalah tidak selalu berpangkal pada pengetahuan atau kemauan tetapi pada rasa senang dan sedih