PENDAHULUAN SEJARAH SINGKAT
Pemahaman
tentang
bagaimana
terjadinya
menjadi
sangat
penting
untuk
mendefinisikan tiga tahap dalam perkembangan seni Islam. Tahap pertama adalah periode awal pembentukannya, ketika gagasan tentang seni Islam mulai berkembang di negeri-negeri Muslim. Secara umum, waktu seri pertama penaklukan Islam di luar Semenanjung Arab antara 634 dan 751 telah diterima sebagai saat pengembangan awal dari sistem asli bentuk bentuk yang dapat diidentifikasi sebagai Islam. Ini adalah saat ketika inti dari tanah yang tetap muslim sampai hari ini ditaklukkan. Tahap kedua, dimulai pada abad kesembilan, menandai periode ketika estetika Islam terbentuk dan menjadi diterima secara luas dan tumbuh untuk mendominasi budaya. Selama fase ini, aspek legalistik Islam menjadi perhatian mengingat dikompilasi koleksi baru hadits, yang menyebabkan larangan yang lebih spesifik terhadap seni. Adalah tubuh tradisi menggambarkan kehidupan Nabi, yang tidak dikumpulkan dan diberikan status hukum sampai pertengahan abad kesembilan. Tradisi ini adalah cerita-cerita dan pendapat dimulai sebagai respon terhadap insiden tertentu, dan tidak pernyataan umum. Sebuah revolusi estetika yang dihasilkan benar-benar seni Islam dengan esensi otonomi, ia mencapai puncaknya antara abad ketiga belas dan ketujuh belas. Tahap ketiga, dari akhir abad ketujuh belas dan seterusnya, adalah periode ketika estetika Islam berhenti mengatur seni yang dihasilkan di negeri-negeri Muslim; seni ini berhenti untuk menaati estetika Islam sejati dan diizinkan untuk meningkatkan pengaruh Eropa. SENI SEBAGAI EKSPRESI AGAMA, BUKAN BUDAYA
Sebuah budaya Islam yang baru dibentuk dengan kebiasaan dan pikiran yang dapat diidentifikasi berdasarkan kepercayaan tanpa kompromi dalam kemutlakan dan keesaan Allah. Dinamis Dina mis ini berbeda dari t ampilan ilahi Kristen. Masyarakat Muslim Musli m menekankan totalitas eksistensi dan integrasi lengkap dari sekuler dan spiritual. Mereka mudah diterima semua elemen dalam peradaban, budaya, dan tradisi bangsa-bangsa mereka kuasai, selama mereka
tidak
bertentangan
langsung
dengan
ajaran-ajaran
Islam.
Namun,
untuk
mempertahankan kualitas yang unik dan mempertahankan integritas identitas, budaya Islam secara sadar menolak kebiasaan dan praktek prakt ek-praktek tradisi diganti dan akibatnya menolak representasi sebagai ekspresi budaya.
Pada saat yang sama, ini budaya baru memahami kebutuhan akan seni unik muslim yang bisa menerjemahkan diidentifikasi kebiasaan mereka dan berpikir ke dalam bentuk visual jelas. seni Islam, pada awalnya, bukan hasil dari penciptaan bentuk-bentuk baru atau teknik. Sebaliknya, bekerja dan disesuaikan bentuk-bentuk lokal, gaya, dan teknik milik peradaban lain dan terpadu mereka, dalam berbagai kombinasi, untuk mengungkapkan nilainilai Islam dan ide-ide. Sebagian besar unsur dalam kosa kata artistik awal Islam merupakan kelanjutan dari tradisi yang lebih tua, dengan beberapa pengecualian yang dapat diidentifikasi, seperti menulis bahasa Arab, yang menjadi aspek penting dari seni Islam dan perangkat ikonografi ikonografi dan hias utama. Pada abad kesembilan teolog Muslim dikembangkan lebih lanjut tentang pembatasan dan perlawanan terhadap penggunaan gambar atau representasi dalam seni. Teolog ini dianggap sebagai mimesis seni dalam arti Aristotelian, yang mungkin paling sempurna imitasi alam. Oleh karena itu larangan lara ngan yang dikeluarkan pada pa da setiap representasi r epresentasi makhluk bernyawa dalam lukisan atau patung, mendorong perubahan drastis dalam estetika. Semua penampilan nyata dari alam harus ditinggalkan, termasuk perspektif, chiaroscuro, dan pemodelan. larangan ini disajikan sebuah tantangan bagi seniman Muslim, dan mereka harus mencari sebuah domain baru dalam rangka menciptakan dalam kerangka mengenakan semesta asli dari bentuk dan warna. seniman muslim tidak meninggalkan lukisan figuratif melainkan menemukan cara sekitar larangan tersebut. Mereka memastikan bahwa pekerjaan rjaa n mereka tidak muncul "nyata." Dengan mengabaikan prinsip imitasi alam, miniatur itu sesuai diperlakukan sebagai ruang gambar dua dimensi dengan bentuk dan warna berkumpul dalam urutan tertentu. Sebuah revolusi estetika mirip lukisan berubah menjadi sebuah dunia otonom dalam periode yang lebih modern, seperti yang didefinisikan untuk tujuan yang berbeda dengan kesembilan belas dan kedua puluh seniman-abad seperti Henri Matisse, Maurice Denis, atau Pablo Picasso. Dengan merujuk pada sejarah, seni, filsafat, teologi, tasawuf, dan artefak-artefak di Dunia Islam, sang pengarang mengkritisi beberapa isu penting dalam lanskap estetika Islam: * Al Quran * Sastra * Kaligrafi * Arsitektur * Taman * Lukisan * Film * Musik Sebuah contoh yakni dalam lukisan, dalam lukisan Islam tidak bahwa subjek diwakili seperti yang muncul dalam alam, melainkan bahwa alam semesta diciptakan oleh seniman
otonom, dengan struktur sendiri, bahasa, dan hukum, menjadi jelas bagi pemirsa. Itu dilarang untuk mewakili individu tertentu melalui potret. makhluk bernyawa dan kehidupan diidentifikasi dengan individualitas, bukan dengan bentuk, membuat mereka sebuah gagasan atau konsep daripada representasi beton. Untuk seniman Islam, Allah menciptakan kehidupan dengan memberikan sebuah individualitas tanpa bentuk yang tidak dapat hidup. Seniman hanya bisa mereproduksi sifat yang paling umum karakteristik seseorang tanpa bestowing pada gambar individualitas apapun, dan dengan demikian tidak takut bersaing dengan tindakan kreatif Allah. Kedua tokoh dan hewan dicat sebagai abstraksi datar dan dua dimensi, hanya ide mereka wujudkan. Semuanya dibawa ke depan segera. Tidak adanya dimensi ketiga melambangkan realitas permukaan dan menekankan dunia fantasi lukisan. Daripada perspektif linear digunakan kemudian di Barat untuk mengatur ruang, seniman Muslim dimanfaatkan apa yang mungkin disebut perspektif spiritual. perspektif ini mengikuti aturan rohani diatur dengan pemahaman atas hubungan antara eksistensi Allah yang kekal dan keberadaan sementara dunia pada umumnya. Oleh karena itu, seniman Muslim dapat menunjukkan bagian dalam dan luar bangunan sekaligus, dan tidak perlu mematuhi hukum alam dalam penggunaan cahaya dan bayangan. seni Islam adalah seni intuitif yang bertujuan untuk memahami esensi kekal, dengan memberikan bukti bahwa kedua Kecantikan, dan Tuhan, ada. Ini adalah seni merenungkan merenungkan kemuliaan Allah. Tujuan dari tinjauan singkat tentang sejarah seni Islam telah menentukan dengan jelas dan tepat estetika Islam dan keadaan sejarah khusus yang menyebabkan perkembangan mereka. Definisi ini akan memungkinkan untuk lebih memahami totalitas karya seni berlabel Islam, serta membenarkan penggunaan istilah "seni Islam." Sebagian besar semua, itu akan mematahkan mitos bahwa lukisan tidak termasuk dalam seni Islam, dan bahwa agama Islam tidak mengizinkan representasi figuratif.
Estetika menurut al-Farabi
Gagasan keindahan dipahami disertakan dalam pembahasan nama dan sifat-sifat Allah yang terkandung dalam al-Farabi al-Madinah al-fadila (Kota Utama). Di antara namanama Tuhan-Farabi daftar 'keindahan al' (al-Jamal), 'kecerdasan' (al-Baha '), dan' kemegahan '(al-zina). Meskipun konotasi dari istilah-istilah ini terutama visual dan karenanya masuk
akal, al-Farabi berpendapat bahwa kecantikan dalam segala hal terutama ontologis: semakin ada yang mencapai kesempurnaan akhir, semakin indah itu. Dari ini dia alasan bahwa Allah, yang keberadaannya paling baik, adalah makhluk yang paling indah. Selain itu, keindahan Allah melampaui semua keindahan lain karena itu sangat penting, tidak disengaja: sumber keindahan Allah a dalah substansi sendiri sebagaimana ya ng didefinisikan didefinisikan sendiri kontemplasi dirinya, sedangkan keindahan yang diciptakan berasal dari kualitas kebetulan dan jasmani yang tidak satu dengan zat mereka sendiri . Akhirnya, al-Farabi berpendapat bahwa kesenangan kesena ngan dan keindahan keindaha n sangat erat terkait, dan bahwa oleh karena kesenangan kese nangan Allah, Alla h, seperti kecantikan nya, berada di luar pemahaman kita. Kesenangan adalah petugas pada persepsi atau ketakutan (idrak) keindahan, dan peningkatan proporsi keindahan dari apa yang dirasakan. Karena Tuhan adalah yang paling indah makhluk, dan karena aktivitas yang tepat nya terdiri dari suatu tindakan diri-kontemplasi di mana MahaMengetahui dan diketahui benar-benar satu, intensitas dan kepastian persepsi Allah keindahan sendiri, al-Farabi alasan, harus menghasilkan senang intensit int ensitas as yang sa ma. Selain itu, karena persepsi keindahan Allah sendiri adalah fungsi dari suatu tindakan yang kekal dan tanpa gangguan kontemplasi, kesenangan-Nya, tidak seperti kita, yang terus-menerus daripada berselang. Sementara pengobatan al-Farabi keindahan dalam konteks ini adalah terutama perpanjangan dari rekening umum tentang transendensi ilahi dan kesempurnaan sepanjang garis Neoplatonic standar, pengembangan hubungan antara keindahan, persepsi dan kesenangan memperkenalkan elemen el emen estetik lebih baik ke bank. Kecantikan dalam Allah, seperti keindahan dalam dunia sublunar, ditemukan terutama dalam hal-hal -hal sejauh mereka mencapai kesempurnaan yang tepat; ketika keindahan itu, baik masuk akal atau dipahami, menjadi objek kontemplasi, pada gilirannya menjadi sumber kesenangan untuk a mati satu itu.
Estetika menurut Ibnu Sina
Kontras antara yang masuk akal dan dimengerti kecantikan dan kenikmatan afektif yang tepat untuk masing-masing dikembangkan lebih terinci dalam Risalah fi al-'ishq (Treatise on Love) oleh Ibnu Sina . Dalam bab kelima dari pekerjaan ini, Ibnu Sina membahas cinta muda dari eksternal, kecantikan tubuh. Dia membuka diskusi tentang cinta keindahan dengan pertimbangan empat prinsip, tiga di antaranya berkaitan dengan psikologi jiwa manusia. Yang pertama adalah berdasarkan pandangan Ibn Sina's karakteristik jiwa sebagai satu kesatuan substansial yang terdiri dari hirarki kekuasaan yang berbeda. Entah
kekuatan ini dapat bekerja bersama secara harmonis, dalam hal mana yang lebih rendah akan ennobled oleh kerjasama mereka dengan fakultas tertinggi, yaitu alasan, atau kekuasaan yang lebih rendah bisa memberontak. Kedua kemungkinan sangat jelas dalam hubungan antara akal dan imajinasi (al-takhayyul) dan keinginan penjaga atas mereka. Prinsip kedua adalah elaborasi atas pertama: ada beberapa tindakan manusia yang berhubungan hanya untuk tubuh itu, 'binatang' fakultas dalam hirarki ini, termasuk sensasi, imajinasi, hubungan seksual, keinginan dan agresi. Entah Enta h tindakan ini dapat dilakukan secara murni hewan, atau mereka dapat berubah menjadi sesuatu yang unik manusia dibawah bimbingan alasan. Ibnu Sina Prinsip ketiga adalah bahwa segala sesuatu telah ditahbiskan oleh Allah kebaikan yang tepat dan karenanya merupakan objek dari beberapa keinginan yang sah, tetap saja, keinginan bawah dapat mengganggu lebih tinggi, sehingga pengejaran mereka tidak terbatas harus dihindari. Akhirnya, keempat prinsip Sina Ibnu menyajikan definisinya tentang kecantikan sejauh ini adalah objek cinta untuk kedua dan hewan jiwa rasional: keindahan (alhusn) terdiri dalam rangka (al-nazm), komposisi, (al-ta 'LIF) dan simetri (al-i'tidal). Dalam jiwa hewani, cinta keindahan adalah murni alami, baik yang timbul dari naluri atau dari kesenangan sederhana persepsi yang masuk akal. Dalam jiwa rasional, bagaimanapun, cinta keindahan lebih reflektif, akhirnya beristirahat di atas pengakuan kedekatan dari objek yang dicintai kepada Allah, Sang Kekasih Pertama. Dalam menerapkan prinsip-prinsip ini, Ibnu Sina berpendapat bahwa ada apa yang kita sebut rasa estetika bawaan ditanamkan dalam setiap intelektual yang (al-'aqil) (al-'aqil) yang di dalamnya menyalakan hasrat gairah untuk apa yang indah untuk dilihat (al-manzar al-husn ). Meskipun orientasi keseluruhan diskusi untuk keinginan untuk keindahan supra-masuk akal dan dipahami murni Allah, ucapan Ibnu Sina di sini jelas berkaitan dengan bidang penilaian yang masuk akal. Bahkan, Ibnu Sina bahkan berargumen bahwa seperti keinginan untuk kecantikan yang masuk akal pada bagian dari intelektual yang dapat menjadi menjadi sesuatu yang mulia, asalkan aspek murni keinginan hewan adalah subordinasi dan dimengerti diizinkan untuk mempengaruhi masuk akal: seperti dimurnikan keinginan estetika, menurut Ibn Sina, hasil dalam sebuah kemitraan (al-shirka) antara hewan dan jiwa rasional. Sebagai bukti klaim ini lebih umum, Ibnu Sina mencatat bahwa bahkan yang paling bijaksana manusia dapat disibukkan dengan 'bentuk manusia yang indah ", dan ia menyiratkan bahwa seperti keasyikan yang dibenarkan tidak hanya oleh prinsip-prinsip estetika intrinsik ia telah menggariskan, tapi juga pada asumsi bahwa kecantikan internal dan eksternal dan harmoni cermin satu sama lain, kecuali keindahan eksternal telah sengaja dirugikan atau karakter
internal telah diubah (untuk lebih baik atau lebih buruk) dengan pembiasaan. Akhirnya, Ibnu Sina juga membela keinginan untuk semacam serikat fisik dengan seperti tercinta, melalui berciuman dan membelai, meskipun ekspresi seperti i mpuls mpuls estetik melalui hubungan seksual dianggap tidak pantas kecuali untuk tujuan tujuan prokreasi, dan di mana sanksi oleh aga ma hukum.
Estetika menurut Ismail Raji al-Faruqi
Ismail Raji al-Faruqi adalah intelektual muslim yang berasal dari Palestina. Ia dilahirkan pada tanggal 1 Januari 1921 di Jaffa, Paletina. P endidikan awalnya ditempuh ditempuh di lembaga pendidikan yang bernama College de Fereres di Lebanon (1926-1936). Kemudian, ia melanjutkan studinya ke sebuah perguruan tinggi di Beirut, yaitu American University, sampai mencapai gelar sarjana muda pada tahun 1941. Setelah itu ia menjadi pegawai pemerintah Palestina, yang ketika itu berada di bawah mandat Inggris, selama empat tahun. Selanjutnya, ia diangkat menjadi gubernur Galilea yang terakhir karena pada tahun 1947 propinsi yang dipimpinnya jatuh ke tangan Israel. Kondisi tersebut memaksanya untuk pindah ke Amerika Serikat. Seni Islam: Ekspresi Estetis al-Qur¶an
Sebagai fenomena fenomena universal universal dan monoteistik, monoteistik,
dengan meminjam meminjam istilah Wilfred Wilfred
Cantwell Smitt, tradisi kumulatif kumulatif Islam dicirikan dengan adanya teks sakral (al-Qur¶an (al-Qur¶an dan Hadis), yang secara natural berposisi sebagai jantungnya. Sepanjang sejarah Islam, keduanya berinteraksi untuk menjawab persoalan yang sesuai dengan situasi umat Islam. Dari sinilah tercipta norma doktrin doktrin Islam, sistem filsafat, etika, norma sosial, hukum, seni, dan lainnya Tradisi kumulatif Islam membentuk sebuah konstruksi religio-historis yang struktur dasarnya terbentuk berdasarkan teks al-Qur¶an al-Qur¶an sehingga tidak mengherankan kalau al-Faruqi al-Faruqi menyebut menyebut kebudayaan Islam s ebagai budaya Qur¶ani. Hal ini karena definisi, struktur, struktur, tujuan, maupun metode untuk membentuk kebudayaan Islam diambil dari al-Qur¶an. al-Qur¶an. Dari a l-Qur¶an, orang Islam tidak hanya menemukan pengetahuan tentang Realitas transenden, melainkan juga pengetahuan tentang alam, manusia dan makhluk hidup lainnya, ilmu pengetahuan, berbagai institusi sosial, politik, sosial, politik, dan ekonomi. Ini tidak berarti bahwa semua aspek tersebut dijelaskan secara lengkap dalam al-Qur¶an layaknya sebuah ensiklopedi. Akan tetapi, alQur¶an hanya menyediakan prinsip-prinsip dasar untuk membentuk sebuah kebudayaan. Jika semua aspek kebudayaan Islam termotivasi, terinspirasi, serta didasarkan pada al-Qur¶an, al-Qur¶an,
maka demikian juga dengan aspek seni Islam. Seni Islam harus dilihat dari Qur¶anic framework sebagai ekspresi estetis al-Qur¶an. al-Qur¶an.
Level I: al-Qur¶an sebagai Penjelas Tauhid atau Transendensi
Al-Qur¶an adalah wahyu yang diturunkan kepada umat manusia dengan tujuan untuk mengajarkan kembali doktrin monoteisme, ajaran yang sudah pernah dibawa oleh para Nabi Semit seperti Ibrahim, Nuh, Musa dan Isa. Allah menurut al-Qur¶an adalah Wujud Transenden yang ³Tidak ada pandangan yang dapat melihat-Nya « Ia berada di atas segala perbandingan (6:103), « Tidak ada sesuatu yang seperti Dia´ (42:11). Ia berada di luar jangkauan deskripsi apapun, dan tidak mungkin direpresentasikan melalui penggambaran (image) antropomorfis maupun zoomorfis. Bangkit di tengah p engaruh tradisi asing (YunaniRomawi dan dan sumber Helenistik) Helenistik) yang telah berakar selama beberapa abad
di berbagai berbagai
wilayah Semit Timur, Islam membawakan sebuah tuntutan baru bagi ekspresi estetis. Kaum Muslim memerlukan pola estetis yang dapat menyediakan objek bagi kontemplasi estetis yang akan menyokong ideologi dasar dan struktur masyarakat menjadi sarana yang secara kontinyu mengingatkan kepada prinsip-prinsip Islam. Karya seni semacam ini akan meneguhkan kesadaran terhadap adanya Wujud Transenden, yang menjadi raison d¶etre bagi eksistensi manusia.Orientasi dan tujuan estetika Islam ini tidak dapat dicapai dengan penggambaran melalui manusia dan alam. Ia hanya dapat direalisasikan melalui kontemplasi terhadap kreasi artistik yang dapat membawa pengamatnya kepada intuisi tentang kebenaran itu sendiri bahwa Allah sangat
berbeda dengan ciptaan-Nya dan tidak
dapat
direpresentasikan at au diekspresikan. diekspresikan. Seni Islam didasarkan pada pernyataan pernyataan ³negatif´ La ilaha illa Allah Allah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Ia sepenuhnya berbeda dengan manusia dan alam. Namun, ia juga mengekspresikan mengekspresikan dimensi positif tauhid yang menekankan menekankan bukan apa yang yang Tuhan, melainkan apa yang
bukan
merupakan sifat-sifat sifat-sifat Tuhan. Aspek paling mendasar yang yang
diajarkan oleh doktrin Islam bahwa Tuhan bersifat tak terhingga dalam segala sesuatunya. Pola-pola yang tidak memiliki awal dan akhir, yang memberikan memberikan kesan ketakterhinggaan erhinggaan (infinitas) merupakan cara terbaik untuk mengekspresikan ajaran tauhid melalui seni. Pola infinit dalam keragaman asli mereka menjadi terobosan positif estetika Muslim dalam sejarah seni. Melalui pola-pola infinit juga kandungan subtil ajaran Islam dapat dialami dan dirasakan.Seni kaum Muslim sering disebut dengan seni pola infi nit atau ³seni infinit´.
Ekspresi estetis ini juga dinamakan arabesk (arabesque). (arabesque). Arabesk mencakup dua bentuk pokok, yaitu stilisasi tumbuhan, dan pola geometris. Ia bukan merupakan bentuk tiruan naturalis, tetapi ²karena pandangan tauhid yang dipegang oleh kaum muslim² arabesk merupakan ornamen dalam bentuk flora dan geometris yang abstrak nonfiguratif,yang memberi kesan ketakterhinggaan dan ketakterbatasan (infinit). Melalui kontemplasi pola infinit ini, jiwa pengamat a kan diarahkan kepada kepada transendensi Tuhan.
KARAKTERISTIK EKSPRESI ESTETIS TAUHID
Ada beberapa sifat estetis estetis yang diciptakan oleh kaum muslim guna memunculkan memunculkan kesan infinitas dan transendensi yang dituntut oleh ajaran tauhid dalam al-Qur¶an, baik melalui bentuk maupun isi, sebagai berikut. Abstraksi. Pola infinit seni Islam adalah sifat abstrak. Meskipun representasi figuratif tidak
sepenuhnya dihilangkan, namun mereka sangat jarang jara ng digunakan dalam tradisi seni Islam, bahkan ketika figur-figur natural itu digunakan, mereka mengalami denaturalisasi dan teknik stilisasi agar lebih sesuai dengan perannya sebagai pengingkar naturalisme dan bukan sebagai representasi natural. Struktur Modular .
Karya seni Islam tersusun atas berbagai bagian atau modul yang dikombinasikan untuk membangun rancangan atau kesatuan yang lebih besar. Masing-masing modul ini adalah sebuah entitas yang memiliki keutuhan dan kesempurnaan diri, yang memungkinkan mereka untuk diamati sebagai sebuah unit ekspresif dan mandiri dalam dirinya sendiri maupun sebagai bagian penting dari kompleksitas yang lebih besar. Kombinasi Suksesif .
Pola infinit dalam seni Islam menunjukkan adanya kombinasi keberlanjutan (suksesif) dari modul dasar penyusunnya. Elemen-elemen tersebut disusun untuk membangun sebuah desain yang lebih besar, utuh dan independen tanpa harus menghilangkan identitas dan karakteristik unit-unit penyusunnya sehingga dalam pola infinit tidak hanya ada satu fokus perhatian estetis, melainkan terdapat sejumlah ³penglihatan´ yang harus dialami ketika mengamati modul, entitas atau motif-motif yang lebih kecil. Desain Islami selalu memiliki titik pusat
yang tak terhitung jumlahnya, dan sebuah gaya persepsi internal yang menghilangkan kesan adanya permulaan maupun akhir yang konklusif.
Repetisi.
Kesan infinitas dalam seni Islam diekspresikan melalui pola pengulangan (repetisi) dalam intensitas yang cukup tinggi. Kombinasi aditif (penambahan) dalam seni Islam dilakukan dengan pengulangan terhadap motif, modul, struktur maupun kombinasi suksesif mereka yang tampak terus berlanjut berlanjut
ad infinitum. Kesan Kesan abstrak diperkuat dengan pengekangan pengekangan
terhadap individuasi bagian-bagian penyusunnya. Ia juga mencegah modul manapun dalam desain tersebut untuk lebih menonjol dibanding yang lain. Dinamis.
Desain Islam bersifat ³dinamis´, ia merupakan desain yang harus dialami melalui waktu. Menurut Boas, seni terbagi menjadi dua kategori, yaitu seni yang mendasarkan diri pada ruang misalnya seni rupa dan arsitektur, dan seni yang mendasarkan diri pada waktu misalnya sastra dan musik. Meskipun klasifikasi ini tampak sangat berguna untuk melihat seni dalam kebudayaan Barat, namun menurut al-Faruqi kurang tepat jika digunakan untuk memahami seni Islam. Memang, aspek ruang dan waktu benar-benar berperan dalam seni Islam. Sebuah komposisi sastra atau musik, misalnya, secara normal dialami dalam suatu rangkaian momen estetis-temporal. Di sisi lain, seni rupa dan arsitektur bangunan semuanya menggunakan seni ruang. Namun, karakteristik yang ya ng dianggap relevan secara universal yang dimiliki dimiliki oleh semua jenis seni Islam dalam level yang paling subtil adalah orientasinya yang kuat, bahkan unik, kepada faktor temporal. Dalam kenyataannya, seni rupa dalam budaya Islam, meskipun melibatkan elemen spasial, tidak dapat dialami secara memadai, kecuali melalui waktu. Pola pola infinit tidak pernah dapat dialami hanya melalui satu tatapan tunggal, dalam momen tunggal dengan sebuah sebuah penglihatan tunggal terhadap berbagai bagian bagian yang ada. Tetapi, ia menarik mata dan jiwa melalui serangkaian pengamatan atau persepsi yang harus ditangkap secara serial. Arsitektur bangunan juga dialami dalam gerakan suksesif melalui ruanganruangan, lorong-lorong, lorong-lorong, ruang kubah, ata u unit-unit bagian. Bahkan, s ebuah gedung atau unit gedung tidak akan dapat dipahami dari kejauhan sebagai sebuah totalitas, melainkan harus dialami dalam waktu ketika sang Pengamat bergerak melalui berbagai bagian dan sudut yang
ada padanya. Karakteristik inilah yang kemudian dikenal dengan ³arsitektur tersembunyi´ (hidden architecture), yakni arsitektur yang menjadi ada hanya ketika dimasuki, dilihat, dilihat, dan dialami dialami dari dalam. dalam. Begitu juga juga seni miniatur miniatur dan
arabesk harus
dialami secara suksesif dan sekuensial (berurutan) seperti halnya seni waktu (sastra, musik, dan tari). Kerumitan.
Detail yang rumit rumit memperkuat kemampuan kemampuan suatu pola pola arabesk untuk menarik perhatian pengamat dan mendorong konsentrasi kepada entitas struktural yang direpresentas ikan. Level II: al-Qur¶an sebagai Model Seni
Selain ditentukan oleh ajaran al-Qur¶an, seni Islam juga bersifat ³Qur¶ani´ dalam arti bahwa kitab suci al-Qur¶an menjadi model utama dan tertinggi bagi kreativitas dan produksi estetis. Al-Qur¶an dinyatakan sebagai ³karya seni pertama dalam Islam´. Bukan berarti bahwa alQur¶an dianggap sebagai karya sastra jenius dari Nabi Muhammad, sebagaimana yang seringkali dinyatakan oleh kalangan non-muslim. non-muslim. Sebaliknya, orang muslim meyakini isi dan bentuknya bersifat Ilahi yang merupakan representasi pola-pola infinit dari seni Islam. AlQur¶an menjadi contoh yang paling sempurna dari pola infinit yang mempengaruhi segala kreasi selanjutnya dalam seni sastra, seni rupa (baik dekoratif maupun arsitektur), bahkan seni suara dan seni gerak. Al-Qur¶an menjadi dasar bagi keenam karakteristik seni Islam yang telah kita uraikan di atas. Pertama, al-Qur¶an tidak pernah melakukan penghadiran realistis dan naturalistik terhadap
alam, serta menolak perkembangan naratif sebagai prinsip organis sastra. Rujukan kepada berbagai fakta tertentu dilakukan secara segmental dan dilakukan secara berulang-ulang sehingga pembaca pembaca menjadi akrab dengan cerita-cerita cerita-cerita tersebut, dan dapat mengambil mengambil pesan moral yang ada di dalamnya. berbagai modul sastrawi Kedua, al-Qur¶an sebagai karya seni Islam juga terbagi ke dalam berbagai (ayat dan surat), yang muncul sebagai segmen yang utuh dalam dirinya sendiri. Ketiga, baris dan ayat al-Qur¶an bergabung membentuk entitas-entitas yang lebih besar
dalam kombinasi suksesif. Ia bisa berupa surat-surat pendek maupun bagian-bagian dalam surat yang lebih panjang.
Keempat, karakteristik yang dapat dapat ditemukan dalam setiap seni kebudayaan kebudayaan Islam intensitas intensitas
pengulangan yang tinggi±juga ditemukan dalam prototipe al-Qur¶an. Di samping contoh akhiran tunggal maupun ganda yang sering muncul, al-Qur¶an juga banyak mengandung berbagai ritme yang internal interna l di dalam dala m baris-barisnya. baris-barisnya. al-Qur¶an. Dalam hal ini, sebagaimana sebagai mana dalam semua Kelima, adanya dimensi temporal dala m al-Qur¶an. seni Islam yang lain, terdapat serangkaian proses persepsi dan apresiasi yang mencegah adanya perkembangan kepada sebuah klimaks atau kesimpulan tunggal. Pendengar harus mengalami bagian-bagian individualnya secara suksesif untuk dapat menangkap makna keseluruhannya. Keenam, kerumitan dalam seni Islam juga dikonstruksi mengikuti apa yang ada dalam al-
Qur¶an. Paralelisme, antitesis, repetisi, metafor, perumpamaan dan alegori adalah beberapa di antara berbagai sarana sara na puitis al-Qur¶an. al-Qur¶an. Pemaduan Pema duan elemen-elemen elemen-elemen ini i ni menyebabkan pembaca atau pendengar al-Qur¶an menjadi terkesan t erkesan dengan keindahan dan kesempurnaannya. Level III: al-Qur¶an sebagai Ikononografi Artistik
Bagi kebudayaan Islam, al-Qur¶an tidak hanya menyediakan ideologi untuk diekspresikan dalam seni, ia tidak hanya menjadi model bagi bentuk maupun isi seni, melainkan memberikan bahan terpenting bagi ikonografi seni Islam. Bangsa-bangsa Semit memiliki tradisi sastra tingkat tinggi yang sudah berusia sangat panjang. Bersamaan dengan itu, tradisi tulisan juga sudah berkembang di kalangan bangsa Semit semenjak masa yang sangat awal. Tulisan telah digunakan ribuan tahun sebelum Islam oleh orang-orang Mesopotamia sebagai komponen seni rupa. Tulisan digunakan sebagai pelengkap logis untuk menjelaskan representasi visual yang ditampilkan. Penggunaan tulisan dalam karya seni semacam itu berlanjut di jaman Byzantium, sedangkan di jaman Islam, tulisan dan kaligrafi mengalami metamorfosis dari sekadar simbol diskursif menjadi bahan estetis dan sepenuhnya ikonografis. Al-Qur¶an adalah bahan ikonografis par excellence bagi karya seni Islam. Tendensi ini telah tumbuh sejak masa daulah Umayyah di Damaskus. Dengan berpindahnya pusat kekuasaan Islam ke Baghdad, proyek penerjemahan karya klasik Yunani tidak hanya berpengaruh terhadap minat keilmuan secara umum, melainkan juga merangsang tumbuhnya kelompok studi bahasa dan kaligrafi. Yang sangat monumental dalam perkembangan kaligrafi di Baghdad adalah dirumuskannya kaidah penulisan kaligrafi berdasarkan rumusan
geometri, dengan tokohnya yang sangat berpengaruh, yakni Ibnu Muqlah dan dilanjutkan oleh Ibnu Bawwab. Ayat-ayat Ayat-a yat al-Qur¶an telah tela h diguna digunakan kan sebagai sebaga i motif dekorasi tidak hanya pada benda benda yang memiliki fungsi religius, namun juga dalam barang tenunan, garmen, bejana dan nampan, peti nampan, peti dan mebeler, dinding dan bangunan, bahkan panci untuk memasak. Dengan adanya penggunaan ayat-ayat al-Qur¶an sebagai kaligrafi, karya seni Islam tidak hanya mengambil pengaruh diskursif, melainkan juga nilai-nilai nilai-nilai estetisnya. Karenanya, Karenanya, kaligrafi sering disebut sebagai ³seninya seni Islam´ karena kaligrafi mencerminkan kedalaman makna seni, yang esensinya berasal dari nilai dan konsep keimanan yang tertanam dalam ayat-ayat al-Qur¶an. Oleh sebab itu, kaligrafi sangat berpengaruh terhadap bentuk ekspresi seni lain atau ekspresi kultural secara umum, sebagaimana diakui oleh para sarjana Barat yang banyak mengkaji seni Islam, seperti Martin Lings, Titus Burckhardt, Annemarie Schimmel, dan Thomas W. Arnold. Ketiga level Qur¶anic framework framework di atas menampilkan pengaruh pengaruh dominan dominan al-Qur¶an al-Qur¶an dalam ekspresi estetis seni Islam. Ekspresi dan ajaran al-Qur¶an al-Qur¶an mengkonstruksikan mengkonstruksikan sebuah world view yang mendasari terciptanya seni Islam yang berbeda dengan seni kebudayaan lain. Seni Islam tidak tida k menganut semboyan l¶art pour l¶art (seni untuk seni) seni) seperti sepert i yang berkembang dalam seni Barat, melainkan seni yang membawa kesadaran pengamat kepada ide transendensi transendensi Tuhan. Tuhan. Bahkan, Rasjidi Rasjidi memasukkan pengalaman pengalaman keindahan atau estetika bersama-sama dengan pengalaman ilmiah, il miah, pengalaman moral, pengalaman dalam dalam sejarah dan pengalaman keagamaan, sebagai salah satu bukti yang kuat tentang keberadaan Tuhan. Artinya, wilayah ontologis-metafisis mampu dicapai seseorang melalui pengalaman estetik.
Namun, ini ini tidak berarti berarti bahwa seni Islam Islam tidak terpengaruh oleh seni-seni
kebudayaan non-Islam. Secara historis, dengan meminjam ungkapan Richard Ettinghausen, seni Islam mengalami interaksi dan integrasi. Artinya, dengan perkembangan wilayah Islam, seni Islam banyak ba nyak bersentuhan dan berinteraksi dengan kebudayaan lain dan memunculkan keanekaragaman ekspresi seni. Akan tetapi, keragaman ini selalu terintegrasikan dalam sebuah world view Islam yang memiliki karakt eristik partikular yang membedakan seni Islam dengan seni-seni lain. lain. Formulasi seni Islam Islam yang ditawarkan al-Faruqi al-Faruqi merupakan starting point guna mengkonstruksi konsep estetika Islam secara komprehensif. Hal ini sangat urgen dilakukan agar seni Islam sebagai produk historis yang didasarkan pada konsep estetika Islam dapat berkembang dengan baik, seperti halnya seni lain dalam kebudayaan Barat yang telah
mendominasi peradaban dunia. Seni Islam juga dapat berinteraksi dengan seni lain guna mengambil unsur unsur positifnya positifnya tanpa harus menanggalkan menanggalkan jati dirinya. dirinya. Selain itu, itu,
stagnasi
perkembangan seni Islam seperti yang dikhawatirkan Kuntowijoyo, karena adanya subordinasi agama terhadap seni, atau sebaliknya, subordinasi seni terhadap agama, tidak akan terjadi.
KESIMPULAN
Sepanjang sejarah Islam, kita belum memiliki konsep estetika Islam yang mapan, komprehensif, dan applicable, sebagaimana yang dimiliki oleh peradaban Barat. Pemikiran tentang estetika atau seni Islam hanya muncul secara sporadis dan marginal. Akibatnya, perkembangan seni Islam berjalan terseok-seok di antara hiruk-pikuk perkembangan aspek pemikiran Islam yang lain. Ismail Raji al-Faruqi adalah salah satu intelektual Islam yang memiliki concern terhadap aspek estetika Islam ini yang terlewatkan karena kelengahan sejarah. Baginya estetika Islam adalah pandangan tentang keindahan yang muncul dari pandangan dunia Islam, dan da n termotivasi oleh ajaran dan ekspresi estetis al-Qur¶an. Sementara itu, seni Islam merupakan segala produk historis yang memiliki nilai estetis yang didasarkan pada konsep estetika Islam. Islam. Karenanya, seni Islam Islam tidaklah l¶art pour pour l¶art, melainkan seni yang mengantarkan kepada kesadaran ide transendensi Tuhan. Upaya konseptualisasi konseptualisasi al-Faruqi al-Faruqi ini merupakan langkah awal yang sangat sangat signifikan bagi upaya perumusan konsep estetika Islam yang lebih komprehensif, dan tentu saja untuk pengembangan seni Islam di masa mendatang. Walhasil, proyek ini merupakan pekerjaan yang harus segera dilakukan, dan tugas yang harus dipikirkan bersama-sama sebab kita tentu tidak menginginkan kelengahan historis di masa lampau akan terjadi lagi pada saat ini.
Sumber Pustaka
- Jurnal Studi Islam dan Budaya STAIN - Nada Shabout University of Texas Utara Denton, Texas - http://www.muslimphilosophy.com http://www.muslimphilosophy.com