Tafsir Baru Kompetensi Kader IMM Oleh, Muh. Azhar Syafrudin --------------------------------------------
“Kami melahirkan dan membina IMM dengan maksud mempersiapkan masa depan Muhammadiyah dengan tenaga yang terlatih, baik dalam bidang ilmiah maupun dibidang amaliah, namun Muhammadiyah sebagai predikat IMM itu sendiri adalah sebagai jaminan bahwa IMM bukanlah suatu organisasi yang berdiri sendiri. Ia adalah organisasi yang seazaz, tidak terpisah dan tidak dapat dipisahkan dari Muhammadiyah. Ia merupakan organisasi yang bertindak mengatur, menertibkan dan menyalurkan aktifitas mahasiswa anggota-anggotanya dalam kedudukan sebagai organisasi kader Muhammadiyah (Alm. Djasman Al-Kindi, Ketua Utama DPP IMM Pertama - Cucu Kyai Dahlan).” Dahlan).” Agen perubahan atau agent of social change, change , demikian julukan yang diberikan masyarakat terhadap mahasiswa. Dengan julukan seperti itu barangkali menjadikan aktifis IMM, sebagai bagian dari mahasiswa merasa bangga. Julukan seperti itu, dalam konteksnya yang tersendiri, tentu diberikan oleh masyarakat dengan melihat realitas historis masa lampau mahasiswa. Artinya, mahasiswa dalam sejarahnya, sejak masa perang kemerdekaan hingga penggulingan orde baru (serta reformasi) memiliki peran yang signifikan, untuk tidak mengatakan paling penting. Tentunya peran perubahan tersebut tidak semata-mata terjadi secara alamiah dan tanpa rekayasa. Dalam sejarahnya, untuk dimilikinya julukan seperti diatas, mahasiswa harus melalui proses penempaan potensi yang panjang. Proses ini tentunya mutlak memerlukan wadah, yang sering kita sebut organisasi. Dengan inilah gerakkan Mahasiswa menjadi lebih terarah. Sebab, dalam organisasilah, sang mahasiswa dididik untuk secara langsung merasakan dan berhadapan dengan realitas problem kemasyarakatan sekaligus ditumbuhkan nalar dan keterlibatannya untuk turut, secara terorganisir memberikan solusinya. Oleh karena itu dapat diyakini, secara historis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) juga memiliki nada gerakkan yang sebangun dengan pendahuluan yang dikemukakan diawal dia wal tulisan. Ya, alasan rasional dan logis kelahiran IMM, termasuk ORTOM yang lain, adalah untuk mewadahi aspirasi perjuangan dalam upaya menghimpun, menggerakkan serta menggembleng potensi kaum muda Muhammadiyah, guna meningkatkan peran dan tanggungjawabnya sebagai kader persyarikatan, kader umat dan kader bangsa. Dari sini diharapkan, organisasi ini mampu menyemaikan kader-kader bangsa yang memancarkan kepribadian Muhammadiyah dengan kerangka pikir ilmu yang amaliyah, amaliyah , dan amal yang ilmiah. ilmiah . Sebuah cara pandang gerakkan intelektual dan kecendekiaan yang mempertautkan gerakkan ilmu dengan gerakkan sosial, yang memiliki orientasi dan kepentingan sesuai tuntutan zaman. Oleh karenanya, wajib kiranya bagi kader-kader Muhammadiyah yang bergerak melalui IMM, mengerti dan memahami betul profil dari aktifis gerakkan ini (IMM) yang akan mengarahkan langkahnya menuju gerakkan seperti yang dicita-citakan diatas. Mengingat sejarah Untuk memahami cita-cita mendasar didirikannya IMM tersebut kita dapat memahami penjelasan-penjelasan berikut, yang penulis sarikan dari penelusuran singkat kepustakaan yang dilakukan oleh Ahmad Furqany (mantan aktifis IMM dilingkup Jawa Tengah) dan didasarkan pada buku “resmi” “ resmi” IMM, yakni; Kelahiran yakni; Kelahiran Yang di Persoalkan, Persoalkan , karya Kanda Farid Fathoni serta Profil Kader IMM , yang terdapat dalam salah satu pedoman kader ka der IMM (Jawa Tengah). Ada beberapa asumsi yang sering dikemukakan diseputar kelahiran IMM, mulai dari yang bersifat “positif” sampai yang bernada “negatif”. Tetapi, yang sangat mengganjal dihati kita adalah pernyataan, bahwa kelahiran IMM sejatinya patut dipersoalkan, karena peristiwa sejarah yang melingkupi kelahirannya hanya merupakan peristiwa kebetulan saja, yang kemudian membuka peluang bagi sekelompok Mahasiswa (“dipimpin” oleh Djasman Djasm an Alkindi) dan berafiliasi terhadap Muhammadiyah, untuk mendirikan IMM.
1
Peristiwa itu adalah, adanya isu yang menyebutkan bahwa HMI akan dibubarkan oleh PKI pada menjelang peristiwa meletusnya G 30 S/ PKI, yang sekarang terkuak banyak persoalan didalamnya. Oleh karenanya, ketika HMI tidak jadi bubar, maka semestinya IMM juga tidak perlu lahir. Sebab pada waktu itu, dan kita juga harus jujur mengakui, hingga saat ini, banyak kader-kader mahasiswa Muhammadiyah yang berproses melalui HMI. Jika dilihat secara historis ide dan gagasan kelahiran IMM, mestinya asumsi yang mengatakan hal tersebut, walaupun juga didasari bukti-bukti seperti yang terdapat dalam beberapa sumber, mudah sekali untuk dipatahkan argumennya. Karena, disamping HMI sejak dahulu hingga sekarang memang tidak pernah menyebutkan sebagai organisasi berafiliasi ke Muhammadiyah (walau juga secara ideasional banyak kesamaannya), analisis tersebut jauh dari fakta-fakta yang dimiliki oleh dokumen-dokumen resmi Muhammadiyah, diantaranya yang menyebutkan bahwa kelahiran IMM sudah mulai dibicarakan jauh sebelum tahun 1964. IMM, yang pada waktu didirikan jatuh pada tanggal 29 Syawal 1384 H atau bertepatan dengan 14 Maret 1964 M, di Yogyakarta, merupakan organisasi gerakkan mahasiswa Islam yang secara struktural tidak berbeda jauh dengan organisasi otonom dibawah naungan Muhammadiyah (ORTOM) lainnya. Berdasarkan tilikan historis, kelahiran IMM bukanlah kebetulan sejarah yang tidak memiliki landasan, karena sejatinya ia adalah satu proses yang tumbuh dan bertumpu pada perwujudan sikap serta kesadaran akan makna dan tanggungjawab perjuangannya dalam melaksanakan dan mengemban misi Persyarikatan Muhammadiyah. Kelahirannya sudah mulai dibicarakan mulai tahun 1936 melalui keputusan Muktamar Muhammadiyah yang ke-25 (kongres seperempat abad Muhammadiyah) di Jakarta. Pada saat itu, Muhammdiyah berkeinginan mengadakan pembinaan kader dilingkungan mahasiswa berupa pendirian perguruan tinggi. Lantas bagaimana pembinaan mahasiswa untuk Muhammadiyah ? Muhammadiyah pada waktu itu merasa dan menganggap bahwa Pemuda Muhammadiyah dan Nasyiatul ‘Aisyiyah masih mampu mewadahi untuk penumbuhan kader -kader dilingkup Mahasiswa. Pada sisi lain, memang ada sekelompok orang-orang Muhammadiyah yang merasa, bahwa HMI juga dapat mewadahi keinginan untuk pembinaan dikalangan mahasiswa Muhammadiyah, terutama yang memang waktu mudanya dibesarkan oleh HMI. Memang, HMI dan Muhammadiyah sebelum kelahiran IMM secara resmi, ada hubungan tidak kentara, disamping realitas bahwa, Lafran Pane ketika mau mendirikan HMI, bertukar pikiran dahulu dengan Prof. Abdul Kahar Muzakir (tokoh Muhammadiyah ditingkat pusat) dan beliau pun setuju. Disisi lain, diantara penggagas pendirian HMI terdapat nama-nama seperti Maesaroh Hilal aktifis NA. (cucu Kyai Dahlan juga), Yusdi Ghozali, Anton Timur Jaelani. Pada tahun 1956 pada Muktamar Muhammadiyah yang ke-33 di Palembang disetujui untuk didirikan Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Hanya pada saat itu IMM belum mampu untuk dilahirkan, karena berbagai alasan diantaranya seperti yang telah dijelaskan, serta dikhawatirkan terjadinya dualisme. Tetapi, melihat situasi yang mengkotak-kotakkan mahasiswa (terutama dalam kehidupan kampus) yang berorientasi politik praktis, maka Muhammadiyah perlu membentuk Badan Pendidikan Kader (BPK) yang salah satunya diberi tugas untuk menyelenggarakan pengajian bagi para mahasiswa yang dimulai pada bulan Juli 1958 di gedung Balai Muhammadiyah, Yogyakarta. Inilah yang menjadi embrio awal dari berdirinya IMM. Akhirnya, pada tahun 1961, yaitu pada saat menjelang Muktamar Muhammadiyah ketika itu, diadakan kongres mahasiswa Muhammadiyah di Yogyakarta. Maka dihembuskanlah sekuatkuatnya gagasan pendirian IMM, akhirnya lahirlah Lembaga Dakwah Muhammadiyah (LDM) yang dikoordinir oleh Ir. Margono (UGM), dr. Sudibyo Markus (UGM), Drs. Rosyad Sholeh (IAIN) dan Djasman Al Kindi (UGM). LDM inilah merupakan embrio operasional akhir yang bertugas mempersiapkan dan membidani lahirnya IMM dan dimotori oleh Djasman Al Kindi sebagai founding fathers IMM. Maka, pada tahun 1964 lahirlah IMM. Pada saat didirikan itulah IMM kembali menegaskan kesejatian dirinya, yakni ingin “mengusahakan terbentuknya akademisi Islam dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah ”. Tetapi setelah muktamar IMM ke-5 di Padang, Sumatra Barat pada tanggal 14-18 April 1986
2
tujuannya kemudian diubah menjadi “Mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah ” (Bab II pasal 6 AD IMM). Selain itu, identitas diri IMM juga telah dideklarasikan, yang kemudian semangat dan inspirasinya terus menerus dideklarasikan pada berbagai “manifesto” sejarah perjalanan (baca; perjuangan) IMM. Identitas tersebut yakni, IMM adalah organisasi yang bergerak dibidang keagamaan, kemasyarakatan, dan kemahasiswaan dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah. Maka, penegasan identitas tersebut mengandaikan sebuah imajinasi intelektual, melalui pendekatan triadik, bahwa akhirnya kader IMM harus memiliki profil yang menggambarkan terinternalisasinya kompetensi-kompetensi yang memenuhi peran pemenuhan identitas IMM. Akhirnya, Imajinasi wujud kader itu tergambarkan memiliki tiga kompetensi, sebagai pengandaian identitas, yakni Religiusitas, Intelektualitas dan Humanitas. Demikianlah jika kita ingin mengetahui sejarah kemunculan identitas dan profil kader IMM. Kompetensi Kader Berikut ini akan dijabarkan pemahaman tiga kompetensi diatas, dengan upaya pembacaan yang “lebih baru”. Apalagi, secara teoritik IMM sekarang telah memiliki “panduan ideologis” baru yang, secara jujur membuat penulis tersenyum dan mantap melihat masa depan IMM, dengan terbitnya buku berjudul, Manifesto Gerakkan Intelektual Profetik IMM . Kebetulan penulisnya, Abdul Halim S. adalah adik dari rekan penulis sewaktu berproses di Pimpinan Cabang IMM Sukoharjo, sekaligus berasal dari kota yang sama, yakni Cilacap. PC IMM Sukoharjo adalah sebuah cabang, yang karena paradigma keilmuan gerakkannya telah terbangun dengan cukup baik, berhasil melahirkan beberapa cendekiawan muda Muhammadiyah yang berintegritas seperti, kanda Zakiyuddin B., Syamsul H., Ahmad Norma P., Fajar R., dan M. Jinan. Hal Ini dimaksudkan supaya pemahaman tiga kompetensi yang ada dapat lebih memberi landasan nilai-nilai untuk kemudian diimplementasikan dalam realitas sosial, sehingga kader pada akhirnya akan mencirikan wujudnya yang memang punya ciri khas sebagai identitas “orisinil”nya. Pertama, Religiusitas. Dalam ranah ini dikandung maksud, bahwa seorang kader IMM dituntut untuk mampu memformulasikan nilai-nilai kehidupan yang berjiwa Tauhid. Kader harus sadar bahwa dirinya adalah seorang pejuang yang memperjuangkan nilai-nilai kebaikan universal dan kebenaran, dengan genre-nya yang tersendiri. Maka, dengan semangat Tauhid pada Tuhannya sajalah, sebagai pondasi dasar masuk ke laboratorium penempaan diri dengan segala kerendahan hati sebagai khalifah Allah T a’ala di bumi. Ia harus sadar, fitrah nuraninya adalah meng- Esakan Nya. Ini penting, sebab, dari sini akan memancar berbagai energi positif gerakkan yang tidak akan pernah habis-habisnya bagi seorang kader IMM. Prof. DR. Amien Rais (1998) menjabarkan, bahwa efek lanjut bagi seorang yang telah terinternalisasasi oleh spirit diatas (baca, Tauhidullah), akan mewujud menjadi lima paket implikasinya dalam bidang sosial. Pertama, unity of godhead atau kesatuan ketuhanan. Kedua, unity of creation atau kesatuan penciptaan. Ini mengandung arti, bahwa kita adalah saudara semua sebagai manusia dan ciptaan-Nya. Ketiga, unity of mankind atau kesatuan kemanusiaan. Keempat, unity of guidance atau kesatuan pedoman hidup. Kelima, unity of the purpose of life, atau satu kesatuan tujuan hidup. Dari sini jelas diketahui, bahwa seorang kader yang mendasari dirinya dengan bangunan ilmu Islam yang memfitrah-tauhidkan rasio dan akalnya, akan sangat dahsyat efeknya. Analisisanalisis permasalahan terhadap lingkungan sekitarnya akan selalu membawanya memantapkan keimanan. Dia tidak akan pernah takut pada siapapun kecuali pada-Nya. Ia sangat yakin bahwa yang ia perjuangkan adalah kebenaran. Disisi lain, jiwanya akan selalu berontak pada setiap ketidakadilan dan kesenjangan yang ada. Hal yang telah tertulis, akan menyebabkan selalu mendorong seorang kader untuk terus tanpa mengenal lelah melakukan pendampingan-pendampingan, menurut genre dan kemampuannya tersendiri, terhadap rakyat dilapisan bawah. Ia akan selalu melakukan pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh para “ f ir’aun modern”, mulai dari yang sifatnya Individual dan ideologis hingga institusional, khususnya dalam konteks lokal dimana ia berada.
3
Disisi lain, walau pemahaman keagamaannya (nilai-nilai Islam) demikian kokoh dan ideologis, seorang kader harus memiliki sikap yang terbuka, dalam pengertian matang, dengan disemangati akhlak agama dan keyakinan, agar tidak tercerabut dari identitasnya sebagai seorang yang menganut keyakinan, yakni nilai agama yang universal (rahmatan lil’alamin). Artinya, sikap religius seorang kader IMM harus dijadikan simbol revolusi yang mengekspresikan komitmen yang kuat untuk selalu memperjuangkan keadilan sosial terwujud dalam bumi, khususnya bumi pertiwi yang sedang terjangkiti penyakit sosial secara akut ini. Sebagai orang yang religius, mestinya kader harus berpandangan radikal terhadap keyakinannya tersebut. Bukankah ideologi-ideologi selain kapitalisme saja mampu merumuskan asumsi-asumsi dasar teoritik guna dimunculkannya secara radikal teori-teori perlawanan, dan telah mampu dalam satu sudut pandang untuk diterapkan, seperti marxisme dengan dialektika meaterialismenya. Maka sudah selayaknya ada tafsir baru, bahwa sikap religius harus menjadi kesadaran kolektif yang tumbuh dari rasa keberagamaan yang radikal dan mantap. Tafsir baru tersebut mestinya, paling tidak, harus mewujud dalam dua gerakkan. Pertama, iman sebagai dasar sikap religius, yang seorang kader anut harus menumbuhkan sikap revolusi individu kader agar merdeka dari jeratan individualisme kereligiusan melalui vitasilasi konsep pembacaan keimanan yang kokoh dan berlandaskan pada nilai-nilai adiluhung Islam. Kedua, diperlukan revolusi kesadaran kolektif IMM yang memberikan dorongan gerakkan akibat dimilikinya kesadaran religiusitas tersebut. Sudah tentu pandangan itu lebih menekankan kesadaran yang menurut wataknya bersifat kolektif dibanding dengan kesadaran individual. Maka, sikap religius dalam konteks sosial juga harus dipandang sebagai perspektif ideologis ketimbang hanya menjadikannya wacana teologis semata. Maksudnya, pemahaman kereligiusan yang selama ini terinternalisasi pada kita, harus dikontekstualisasikan kembali dengan pembacaan yang lebih peka terhadap realitas sosia l. Karena, seperti yang telah disebutkan, sikap religius (baca; iman), menurut watak teologisnya sudah memiliki pemihakan yang jelas terhadap realitas sosial yang timpang dan kesenjangan kehidupan. Ketimpangan tersebut merentang mulai dari aspek ekonomi, sosial dan bahkan keagamaan. Demikian, mestinya keimanan dalam Islam mampu menjadi spirit pembebasan bagi kader IMM untuk secara radikal mampu menggerakkan jiwa-jiwa sosial bagi dirinya. Hanya, yang perlu dicatat, revolusi yang demikian tidak akan mungkin dapat diwujudkan, manakala tidak ada artikulator pembentuk opini publik yang “seragam”, dengan mengkampanyekan tema -tema tentang proyeksi sikap keberagamaan atau kereligiusan yang lebih memihak. Disinilah letak pentingnya sikap kolektifitas diri dalam menggerakkan IMM. Kompetensi kedua, Intelektualitas. Hal kedua dan mendasar yang harus dimiliki oleh seorang kader IMM adalah, memenuhi otaknya dengan ilmu dan pengetahuan (wacana-wacana) terlebih dahulu. Kepala seorang kader harus terpenuhi, paling tidak secara minimal dengan kerangka-kerangka ilmu, kerangka-kerangka cara pandang, serta cara menganalisis masalah yang tajam. Tentu saja, semua itu harus dibarengi dengan sikap keterbukaan yang baik, untuk menerima segala masukan yang diberikan oleh orang lain. Sebab, sebaik apapun analisis dari seorang kader pastinya merupakan refleksi dari pengalaman pribadinya, baik dari referensi tertulis maupun realitas sosial sekitarnya, yang semua itu akan terdapat kekurangan pada berbagai sisi-sisinya. Berdasar hal ini pulalah, seorang kader IMM harus ingat, bahwa segala ilmu dan pengetahuan yang dicari olehnya, haruslah diniatkan dalam kerangka meningkatkan keimanan dirinya pada Tuhannya yang Esa. Potensi akal dan kemampuan-kemampuan lain yang mencirikan keberbedaaan dengan makhluk lain harus dimanfaatkan sekuat-kuatnya untuk kepentingan penemuan-penemuan ilmu dan pengetahuan. M. Hamdani (2001) mengatakan, sebagai suatu indikasi bahwa suatu karya, pemahaman atau penemuan-penemuan ilmiah, baik yang berkaitan dengan sains, teknologi ataupun agama merupakan suatu produk yang sia-sia jika segala apa yang diketemukannya itu tidak mendatangkan kebenaran aplikasi imannya, tidak memfitrah-tauhidkan rasio, qalbu dan fisiknya.
4
Kompetensi ketiga, Humanitas. Seorang kader tidak boleh melupakan masyarakat disekitar dirinya. Ia harus bersifat populis, yakni keberpihakan pada masyarakat dan orang-orang yang terdzalimi. Pendeknya, justru pilihannya untuk menjadi seorang kader IMM disebabkan, karena keterkaitannya dengan masyarakat disekitarnya. Ia selalu memliliki sikap simpati dan empati, dan mencari solusi problem-problem yang ada, sekaligus turut terjun menyelesaikannya. Paradigma keberpihakan ini oleh Muh. Iqbal dan Kuntowijoyo sering diistilahkan dengan paradigma profetik. Sebuah paradigma yang sekarang telah menjadi kajian hangat dalam rangka mencari peran kecendekiaan kaum intelektual Islam, ditengah problematika sosial yang semakin komplek, tak terkecuali IMM. Kita dapat belajar dari para Nabi dan Rasul. Beliau senantiasa lahir ditengah-tengah masa, sekaligus sebagai pembebas pula. Nabi Ibrahim berdiri menentang raja Namrudz. Nabi Musa membela Bani Israil yang lemah melawan Fir’aun yang perkasa. Nabi Isa datang menggembirakan kaum fuqara dan melecehkan kaisar. Sedang Nabi kita, Rasulullah Muhammad shallu’alaih duduk disamping orang miskin dan budak belian, lalu membimbing mereka kearah kebebasan, keadilan, kesetaraan dan fitrahnya untuk bertauhid pada Allah Ta’ala. Demikian, sesungguhnya para Nabi dan Rasul secara implisit telah memberikan basis epistemologi yang jelas dan gamblang dalam peranannya mencari kebenaran dan merubah masyarakat menjadi lebih tercerahkan, yakni bertauhid dengan segala implikasinya dalam kehidupan sosial. Sebagaimana dinyatakan oleh M. Iqbal, seorang pemikir dan pembaharu asal Pakistan, bahwa Nabi Muhammad telah menyediakan “paradigma profetik”. Iqbal menjelaskan perbedaan antara cara berpikir dan bertindak yang khas kenabian, yang lebih disebut sebagai kesadaran profetik , dengan kesadaran mistik (Zakiyuddin Baidhawy, t.t.). Mi’raj Nabi tidak menjadikan Beliau menjadi mistikus yang tenggelam dengan perjumpaan terhadap Tuhan dan tidak kembali ke Bumi. Tapi, beliau kembali ke Bumi untuk melakukan perubahan sosial guna mengemban amanah mengubah jalannya sejarah (agar sesuai dengan aturan Allah T a’ala). Inilah dasar utama basis epistemologi baru bagi kader-kader IMM dalam melakukan peranannya sebagai agen perubahan dalam masyarakat. Menurut Farid Fathoni (t.t.) yang juga tokoh IMM, ser aya mengutip Ali Syari’ati, seorang pemikir dan pembaharu kaitannya Islam VS hegemoni Barat asal Iran, menyebutkan; para Nabi dan Rasul adalah orang-orang yang lahir dari tengah-tengah massa (ummi), lalu memperoleh tingkat kesadaran (hikmah) yang sanggup mengubah satu masyarakat yang korup dan beku menjadi kekuatan yang bergejolak dan kreatif, yang pada gilirannya melahirkan peradaban, kebudayaan dan pahlawan. Kekuatan-kekuatan itu menjadi perlawanan yang tak pernah kalah, yang pada gilirannya menjadikannya pondasi-pondasi kokoh sejarah kehidupan manusia, yang getarannya telah mengguncangkan sanubari setiap orang, serta kebanggaannya telah meneteskan air mata setiap umat yang telah mengerti sejarahnya. Dalam berbagai karyanya, Syariati mengistilahkan rausan fikr bagi orang yang akal fikiran, hati dan amalnya sangat mendalam. Maksudnya adalah, para intelektual atau cendekiawan, kyai, kaum profesional yang tidak hanya berpangku tangan melihat segala macam penindasan yang ada disekitarnya. Rausan fikr adalah para minoritas kreatif (creative minority), yang selalu rindu perubahan. Ia merindukan keadilan, sebagai salah satu prinsip Islam, untuk hadir ditengah-tengah dunia. Baginya, hidup adalah perjuangan menuju makna. Makna untuk menjadi kesejatian, sebab ia adalah penerus pembebasan dan kesadaran para Nabi dan Rasul. Ia berjuang dengan tulusnya, muncul dan membela kaum tertindas bukan untuk terkenal, bukan untuk diekspos, bukan pula untuk dikatakan pahlawan. Tetapi, juga sudah kepastian, seorang rausan akan dapat pahala dari Rab-nya. Paling tidak pahala keabadian, yang dengannya akan selalu dikenang sepanjang masa, sampai akhirnya akan berjumpa dengannya. Hanya saja seorang rausan “pasti” lebih tinggi derajatnya dari orang-orang kebanyakan. Paradigma seorang rausan adalah menjadi “penerus cita para nabi” yang senantiasa
5
berpikir dan bergerak ala nabi, khususnya dalam melakukan peranannya sebagai kelompok minoritas yang memiliki kesadaran pembelaan tulus. Ia adalah insan kamil , yang memiliki hikmah-hikmah akan realitas yang sangat mendalam sehingga dijuluki, diantaranya ulul al-Bab, sebagaimana dapat dilihat dalam al-Qur’an Surat Ali‘imran ayat 7 dan 190 serta Surat An- Nisa’ ayat 4. Landasan berpikir kenabian seperti inilah yang harus menjadi dasar guna digerakkannya roda perjuangan IMM. Zakiyuddin, seorang pakar yang juga alumni IMM menjabarkan operasionalisasi paradigma kenabian tersebut dengan tiga aras gerakkan sebagai perwujudan praksis profetis. Pertama, teori kritik masyarakat. Yakni suatu kritik yang konsisten dan kohern terhadap masyarakat yang ada. Masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat muslim dilapisan kehidupan sosial, ekonomi dan politik harus dikritik secara menyeluruh, sistematik dan kohern. Kedua, teori normatif masyarakat, yakni suatu model masyarakat dimana penyakit-penyakit sosial dapat dieliminasi. Kesalahan-kesalahan masyarakat ditunjukkan dan diberikan pedoman yang benar atas masyarakat yang ada. Ketiga, revolusi praksis, suatu strategi aksi sosial yang bertujuan untuk mengubah, mereformasi atau memetamorfosa masyarakat. Dalam tahap ini dibutuhakn teori aksi sosial atau praksis yang mengandaikan sarana yang praktis, visible dan viable untuk mencapai tujuan perubahan, reformasi dan transformasi masyarakat secara rasional, adil, dan benar. Demikianlah kompetensi dasar yang dimiliki IMM. Tiga kompetensi dasar tersebut, apabila benar-benar terinternalisasi pada seorang kader, akan menjadikan kader IMM adalah kelompok minoritas kreatif (creative minority) yang selalu mencari dan memihak pada kebenaran dan kebaikan. Oleh karenanya, ia selalu melakukan pembelaan terhadap siapapun yang terdzalimi, tertindas atau diperlakukan tidak adil, baik oleh sistem ataupun perorangan, tanpa memandang pemahaman keagamaan, hubungan organisasionalnya, atau bahkan agamanya. Gambaran seperti itu sejatinya adalah wujud ideal kekaderan yang bersifat normatifideologis. Oleh karenanya, perwujudan real dalam wajah kenyataan kontemporer harus dikontekstualisasikan dengan berbagai problem yang terdapat dalam realitas masyarakat sehari-hari kader-kader IMM. Tanpanya, upaya menjadikan IMM agar selalu terikat dengan alam kebumian menjadi angan-angan kosong belaka. Berangkat dari sini, upaya membaca problematika kontemporer adalah kemestian, yang menjadi kewajiban IMM agar, sekali lagi, mampu mewujudkan cita-cita kekaderan IMM di era kontemporer. Berikut digambarkan secara singkat realitas problem kontemporer yang mengemuka dihadapan kita. Problem Kontemporer Sangat panjang sejatinya jika ingin mengkaji problem kontemporer untuk dilihat secara obyektif sisi-sisi positif dan negatifnya secara mendalam, berkaitan dengan dampaknya, khususnya tentang keyakinan kita, bahwa problem kontemporer kita disebabkan oleh ideologi “kolonialisme” yang telah bermetamorfosa sekaligus bermimikri terhadap bangsa-bangsa di dunia ketiga atau negara berkembang, termasuk negeri kita Indonesia. Sehingga, tanpa bermaksud melakukan simplifikasi atau penyederhanaan masalah, peran peran kesejarahan IMM dapat digagas dengan cerdas. Ini sangat penting, sebab dipundak IMM juga diletakkan, sebagai bagian “orang”, yang bertanggungjawab guna terbangunnya umat secara khusus dan bangsa Indonesia secara umum agar lebih berdaya manghadapi tantangan-tantangan kontemporer yang sangat rumit untuk dipetakan. Tidak sesederhana problem-problem masa lalu yang pernah menghadang umat, yang dalam satu sudut pandang “berhasil” dilawan. Sejak Adam Smit mulai menggulirkan paham liberalismenya dalam the Wealth of Nations (1776), maka mulai saat itu, pelan-pelan pada awalnya tapi pasti pergerakkannya, kapitalisme telah muncul sebagai ideologi pembangunan yang pilih tanding. Ia telah mampu memberikan dasar guna terbangunnya tata kehidupan ekonomi yang baru dan lebih mengarah pada keberhasilan manusia meningkatkan kesejahteraan bagi dirinya tanpa batas. Teori Adam Smit itu lebih dikenal dengan teori ekonomi liberal. Teori yang didasarkan pada capital , bukan dalam pengertian sempit uang semata, sebagaimana sering dipahami oleh kebanyakan orang, dan sering disebut kapitalisme, ditujukan
6
sebagai maksud agar kesejahteraan dan kemakmuran bagi manusia dapat segera tercapai dengan cepat. Diantara prinsip-prinsip mendasar kapitalisme-liberal ini adalah, bahwa pasar, berdasar pada prinsip-prinsip penawaran dan permintaan, sejatinya dapat mengatur dirinya sendiri yang berlandaskan pada titik keseimbangan penawaran dan permintaan. Oleh karenanya, sebagai prinsip yang lebih lanjut, mekanisme ini, menuntut tidak adanya campur tangan oleh siapapun, terutama oleh campur tangan pemerintah (atau negara). Pemerintah dalam konteks liberalisasi tidak diperkenankan menginfiltrasi pasar dengan membuat regulasiregulasi tertentu, sehingga mampu mempengaruhi prinsip-prinsip keseimbangan pasar dalam kehidupan berekonomi. Dari sinilah kemudian, dalam sejarahnya prinsip-prinsip yang lebih dikenal sebagai demokrasi ekonomi liberal terus berkembang menjadi ideologi kapitalisme yang sangat kuat, karena secara terus menerus mengalami penyempurnaan. Mansour Fakih (2002), menganalisis, proses perkembangan kapitalisme pada da sarnya dapat dibagi menjadi tiga periode formasi sosial. Fase itu adalah kolonialisme, neo kolonialisme, dan terakhir (hingga sekarang), adalah globalisasi. Ketiga-tiganya adalah fase-fase formasi sosial yang merupakan proses berkembangnya ideologi kapitalisme, dan telah menyebabkan, hingga saat ini, krisis pembangunan yang luar biasa bagi negara-negara berkembang dan miskin. Sebab, sejatinya ideologi ini berprinsip ala hutan rimba, sebagai perwujudan dominsi manusia atas manusia yang berlandaskan pada kebebasan pasar. Berikut penjelasan secara singkat dari masing-masing formasi sosial itu. Pertama, periode kolonialisme. Periode ini merupakan fase dimana perkembangan kapitalisme di Eropa mengharuskan ekspansi secara fisik untuk memastikan perolehan bahan baku mentah. Melalui fase kolonialisme inilah, proses dominasi manusia dengan segenap teori perubahan sosial yang mendukungnya telah terjadi dalam bentuk penjajahan secara langsung selama ratusan tahun. Kolonialisme dengan jenis fisik ini berjalan sangat lama hingga berakhir sekitar lima puluh tahun, segera setelah berakhirnya perang dunia II yang ditandai juga berakhirnya kolonialisme fisik dengan revolusi di negara jajahan. Walaupun sesungguhnya masih banyak negara Afrika, pada saat itu, yang baru dapat merdeka tahun tujuh puluhan. Kedua, berakhirnya era kolonialisme, dunia memasuki era neo kolonialisme, dimana modus dominasi dan penjajahan tidak lagi fisik dan secara langsung, sebagaimana terjadi pada periode kolonialisme, melainkan melalui penjajahan yang lebih bersifat teori dan ideologi. Fase ini lebih dikenal sebagai era developmentalisme (pembangunanisme). Periode ini ditandai dengan masa kemerdekaan negara-negara Dunia Ketiga secara fisik. Namun pada era ini dominasi negara-negara bekas penjajah terhadap bekas koloni mereka tetap dilanggengkan melalui kontrol terhadap teori dan proses perubahan sosial. Orde Baru sangat mengagumi mazhab ini dengan berbagai pola-pola modernisasi secara utuh sebagai dasarnya. Padahal, sesungguhnya teori pembangunan ataupun paham developmentalisme menjadi bagian dari media dominasi, karena pendirian neoliberalisme ini pada prinsipnya tidak bergeser dari liberalisme yang dipikirkan Adam Smit seperti tersebut sebelumnya, sehingga masa ini, dan pada titik tertentu sekarang, sering disebut sebagai neoliberal sebagai ideologinya. Akan tetapi, krisis berkepanjangan menimpa kapitalisme awal abad XIX, yang berdampak depresi ekonomi tahun tiga puluhan. Ketiga, perjalanan kapitalisme selanjutnya sampai di akhir abad XX, yang ditandai dengan pertumbuhan dan akumulasi kapital dari golongan kapitalis semakin melambat. Salah satu sebabnya adalah, paham keadilan sosial, proteksi, kesejahteraan bagi rakyat, berbagai tradisi adat pengelolaan sumber daya alam berbasis rakyat, dan sebagainya. Oleh karenanya, kapitalisme memerlukan strategi baru untuk menyingkirkan penghalang pertumbuhan dari akumulasi modal. Untuk itu, diperlukan suatu tatanan perdagangan global, maka sejak itulah gagasan globalisasi dimunculkan. Dari paparan yang telah dijelaskan sebelumnya, sangat jelas diketahui, hakekat globalisasi sesungguhnya adalah perkembangan yang lebih lanjut dari kapitalisme awal yang pada dasarnya berpijak pada kebangkitan kembali liberalisme, suatu paham yang dikenal sebagai neoliberalisme (kapitalisme) yang sangat individualistik dan eksploitatif. Mengapa demikian, sebab pada hakekatnya, semua yang berkepentingan dengan hal diatas hanyalah segelintir orang yang memiliki 7
modal besar (kapital) seperti yang terdapat dalam jaringan TNCS (Trans National corporation) dan NCS (National Corporation). Disamping itu, sebelum berubah menjadi globalisasi, paham developmentalisme mengalami berbagai paradoks menjelang masa metamorfosanya. Paradoks yang dimaksud bisa digambarkan pada perubahan mendasar yang terjadi pada struktur kehidupan manusianya, termasuk di Indonesia, yang merentang dari aspek ekonomi, politik, sosial-budaya, termasuk aspek terdalam dari kehidupannya, yakni agama. Kita dapat melihat, hingga hari ini, kehidupan masyarakat berjalan tidak mensejarah, individualisme telah muncul. Mereka lebih suka menonton layar kaca, ke bioskop, pergi berbelanja (konsumerisme) dan hura-hura. Budaya pop merambah, termasuk juga free sex muncul sebagai sebuah ideologi baru. Individualisme teknologi komunikasi telah menjadikan komunikasi menjadi maya, sehingga realitas masyarakat yang sebelumnya bergerak secara historis berubah, untuk akhirnya realitas masyarakat berubah menjadi hiper . Modernisasi telah membuldozer segala yang tidak sesuai dengan jalannya. Contoh kecil saja, pola-pola kehidupan kultural pertanian dengan local geniusnya yang telah berhasil memberi makan manusia selama ribuan tahun, tergusur oleh pola teknologi modern, dan menganggapnya telah usang dan tradisional, sehingga harus dibuang. Bahkan sampai pada agamapun dikesampingkan, yang mengakibatkan tidak dimilikinya nilai-nilai yang bersifat universal, sebab apapun yang dilakukan orang memiliki justifikasi sebagai kebebasan (dan sekaligus kebenaran menurut mereka). Manusia yang kuatlah yang akhirnya menang, yakni yang memiliki modal, akses jaringan, informasi dsb. Alam telah rusak karena dieksploitasi tanpa pertimbangan nilai-nilai. Demikianlah, paradoks yang terjadi pada kapitalisme dan liberalisme yang telah berubah ke fase developmentalisme pada akhir abad ke-20. Tetapi, hemat penulis bukan karena hal itu saja sebagai alasan (yang terpenting) dari ideologi kapitalisme klasik, untuk bermetamorfosa lagi menjadi globalisasi. Namun, lebih disebabkan karena menurunnya akumulasi capital (keuntungan) para perusahaan-perusahaan raksasa sebagai penopang utama isu globalisasi. Krisis moneter era kontemporer juga menjadi starting point bagi semakin digulirkannya paradigma globalisasi yang masih berpijak pada ideologinya Adam Smith itu. Walau sejatinya, menurut Mansour Fakih (2002), globalisasi kapitalisme atau globalisasi korporasi terjadi sejak diberlakukannya secara global suatu mekanisme perdagangan melalui penciptaan kebijakan “free trade”, yakni berhasil ditandatanganinya kesepakatan internasional tentang perdagangan, pada bulan April 1994, setelah melalui proses yang sangat sulit di Marrakesh, Maroko, yakni suatu perjanjian internasional perdagangan yang dikenal dengan GATT. Ia sesungguhnya merupakan suatu kumpulan aturan internasional yang mengatur perilaku perdagangan antar pemerintah, serta merupakan pengadilan dimana jika terjadi perselisihan dagang antara bangsa-bangsa bisa diselesaikan. Pada tahun 1995 suatu organisasi pengawasan perdagangan dan kontrol perdagangan dunia yang dikenal dengan WTO didirikan, dan sejak saat itu dia mengambil alih fungsi GATT. Sejak saat itulah kemudian muncul forum-forum serupa yang lebih rendah tingkatnya, sebagai tiang globalisasi, diantaranya NAFTA (North American Free Trade Agreement), APEC (Asia Pacific Economic Conference), SIJORI (Singapore, Johor, and Riau) , BIMPEAGA (Brunei, Indonesia, Malaysia, and Philipines East Growth Area), dll. Dari sini terkandung arti, pada dasarnya globalisasi merupakan proses pesatnya perkembangan kapitalisme, yang ditandai dengan globalisasi pasar, investasi dan proses produksi dari perusahaan-perusahaan Trans Nasional (TNCS/ Trans national Corporatioan) dengan dukungan lembaga-lembaga finansial internasional (IFIS/ International Financial Institutions) semacam World Bank dan IMF. Melihat gambaran formasi sosial globalisasi diatas, nampaknya globalisasi melahirkan kecemasan bagi negara-negara yang, dengan kemunculannya sangat tidak diuntungkan seperti Indonesia. Sebab, negara-negara miskin di muka bumi ini masih menghadapi warisan mazhab pembangunanisme era 80-an yang lebih meninggalkan beban hutang luar biasa besarnya, karena biaya mazhab pembangunan model trickle down effect , suatu paradigma mainstream yang berakar pada paradigma dan teori ekonomi neoklasik dan modernisasi, seperti ditemukan oleh ekonom 8
W.W. Rostow dengan growth theory dan Mc Clelland serta Inkeles yang mengembangkan teori modernisasi. Permasalahan diseputar kemiskinan dan marginalisasi rakyat, serta persoalan disekitar keadilan sosial juga masih tersisa. Maka, metamorfosa developmentalisme ke globalisasi, alih-alih menjawab dan menyelesaikan persoalan, malahan semakin memperbesarnya dan bahkan menambahnya menjadi lebih berat. Seperti, persoalan penyeragaman kebudayaan manusia, hilangnya batas negara-bangsa secara politik, ekonomi dan sosial, jurang kemiskinan antara pusat-pusat kemakmuran dan pinggiran, yang semakin lebar. Disisi lainnya, globalisasi justru berubah menjadi imperialisme gaya baru yang lebih berekses negatif bagi negara-negara yang tidak siap menerimanya. Bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, imperialisme baru ini hanya menyisakan wajah masyarakat tertindas dalam segala aspek kehidupan. Keterbelakangan, kemiskinan, ketidakberdayaan dan kebodohan telah menjadi wajah sehari-harinya. Ini merupakan kejahatan terbesar kaum kolonialis, kaum yang dinamakan sebagi pelayan agung bagi manusia modern, yang sekular, menderita dan sedih secara spiritual dan kemanusiaan. Kontekstualisasi Itulah tantangan-tantangannya. Ia merentang, sebagaimana kita lihat, dari yang bersifat dalam, seperti spiritualitas, hingga ke ranah yang paling luar, seperti kehidupan sosial dan ekonomi kita. Maka tafsir baru kita adalah implementasi sifat liberatif gerakkan. Seluruh kader-kader IMM karena sadar akan identitas dan profilnya, wajib melakukan pembebasan, baik untuk dirinya sendiri, termasuk juga terhadap masyarakat sekitarnya. Globalisasi (dapat dibaca; kolonialisme baru), sebagai kelanjutan kolonialisme klasik harus “dilawan”. Perlawanan disini tidak serta-merta dengan menolak keseluruhan globalisasi. Penulis dalam konteks wacana globalisasi sepakat dengan pemikiran Mansour Fakih (2002) yang menginginkan wacana tanding terhadap globalisasi, dan dalam hal ini adalah globalisasi korporasi yang didasarkan pada prinsip neoliberalisme serta paham pasar bebas, yang lebih tepat disebut globalisasi korporasi liberalisme ekonomi. Kita memerlukan wacana tanding terhadap paham globalisasi korporasi - pasar liberal dominan ini, yakni globalisasi dari perspektif rakyat miskin, petani kecil, kaum perempuan, penderita AIDS dan kaum marginal lainnya, termasuk IMM (bukankah keberpihakan pada kebenaran dan keadilan sosial di era sekarang adalah marginal ?) dan juga barangkali para guru yang tidak mendapatkan penghargaan sebagaimana mestinya masuk didalamnya. Globalisasi yang dimaksud adalah suatu model ekonomi yang mengembalikan peran negara untuk mengatur ekonomi dan politik. Perusahaan TNCs harus dibatasi dan kebebasan justru harus diberikan kepada rakyat. Pajak harus dipindahkan dari membebani rakyat miskin agar bergeser pada mereka yang kaya, sementara subsidi harus diberikan pada rakyat. Disinilah letaknya implementasi dari kontekstualisasi identitas dan profil kader IMM di negeri ini, yakni menjadi partnership kritis pada elit pemerintah, sekaligus menjadi pembela yang cerdas terhadap kepentingan kaum marginal, yang merentang dari petani penggarap miskin hinggga buruh pabrik yang tereksploitasi. Lihatlah satu contoh mengenaskan, betapa pemilu kita “sudah” demokratis dipilih oleh rakyat, yang semestinya bekerja untuk dan mengabdi pada kepentingan rakyat, tetapi malah yang ditakuti adalah kekuatan asing melalui perusahaan -perusahaan TNCs yang eksploitatif melalui dua kaki globalisasi korporasinya, yaitu IMF dan World Bank. Kita dapat melihat seringkali kita bagaikan “kerbau dicocok hidungnya” bila berhadapan dengan kekuatan asing. Kita tidak menyalahkan sepenuhnya. Sebab, langkah-langkah yang dilakukan seperti penghapusan subsidi BBM, privatisasi BUMN dan kebijakan tak membela kaum marginal lainnya pasti sudah atas pertimbangan yang matang. Justru disinilah letaknya, pembelaan secara kritis yang dapat dilakukan para kader-kader IMM di negeri ini. Dari sinilah, paling tidak ada tiga peran pokok yang dapat dilakukan para cendekiawan (atau intelektual) kita, disamping secara terus menerus memberikan wacana tanding globalisasi korporasi yang berpijak pada kapitalisme liberalnya. Untuk implementasinya secara lebih spesifik, tentunya kawan-kawan IMM lebih pandai melakukan pembacaan.
9
Pertama, karena globalisasi mencoba meminggirkan peran-peran agama atau keyakinankeyakinan yang didasarkan pada sesuatu yang “diluar sana”, dan menganggapnya sebagai suatu tahap perkembangan masyarakat yang “paling primitif”, maka para kader-kader IMM harus mampu merumuskan formula-formula yang membuktikan manusia tidak akan dapat lepas dari agama. Baik dalam pengertian institusional maupun substansial (spiritual). Lihatlah kredo bahwa masyarakat berkembang paling tidak pada tiga tahapan, yakni; mistis, ideologis, ilmiah dalam pengertian kaku bahwa setelah dari tahap agama, kemudian ideologi, dan terakhir adalah rasionalitas-empiris pada akhirnya, sebagi tahap terbaik dari perkembangan manusia, seperti diyakini para pendukung era globalisasi secara umum. Dengan memberikan penekanan yang berimbang pada aspek formal dan spiritual, agama (Islam) akan menjadi alternatif jawaban dari gerakkan new age, sebagai misal. Sebagaimana diketahui, gerakkan new age sebagai pseudo-religion, sesungguhnya sebentuk pelarian kaum modern yang telah merasa kekeringan fitrah spiritualnya, tetapi tidak mau terikat dengan sesuatu yang begitu establish atau institustional. Tawaran-tawaran agama yang lebih memperhatikan isu-isu kontemporer dan mampu memberikan kepastian akan penyelesaian problem-problem kekinian seperti ekologi, kemiskinan, keterpinggiran kaum kecil dan sebagainya, akan lebih menguatkan peran agama sebagai sesuatu yang mesti dijadikan pijakan dalam menjalani hidup dan kehidupan para manusia modern. Disamping itu, tawaran-tawaran agama “mapan” akan spiritualitasnya, dibanding dengan, jika hanya menonjolkan aspek formalnya, menyebabkan agama lebih mudah diterima. Kerena, kemanfaatannya dapat dirasakan oleh seluruh umat manusia walaupun ia diluar agama tersebut, yang dalam Islam sering disebut sebagai rahmatan lil’aalamin. Kedua, ikut meningkatkan kualitas masyarakat lokal dan mengembangkan berbagai macam kebudayaan positif yang mereka miliki. Ini diperuntukkan agar warga negara kita punya visi yang sejalan, bahwa untuk menjawab aspek negatif globalisasi budaya modernis-sekularis yang mengarah pada penyeragaman, diperlukan sikap kreatif agar keberagaman kebudayaan positif “agamis” dapat terjaga. Hanya saja, yang perlu diperhatikan adalah, penonjolan aspek lokalitas kebudayaan tersebut tidak boleh mengarah menjadi paham partikularisasi. Artinya, pandangan menjaga perbedaan demi perbedaan itu sendiri mesti tidak boleh ada. Sebab, hal ini justru akan menimbulkan masalah baru seperti disintegritas, konflik antar etnis dan sebagainya. Setiap kebudayaan manusia haruslah berani berdialog dengan berbagai kebudayaan positif diluar dirinya. Karena ini sesuai dengan watak manusia itu sendiri yang selalu berkembang berdasar pada problem-problem kontemporer yang melingkupi dirinya. Ketiga, dikarenakan globalisasi juga semakin memperlebar jurang-jurang antar berbagai kelompok dan kelas, seperti yang kaya dan yang miskin, atau yang diuntungkan dengan globalisasi dan yang dirugikannya, maka orientasi-orientasi amal praksis IMM (kader) harus memihak pada para korban, atau pihak yang dirugikan dengan adanya globalisasi ekonomi arus uang atau korporasi tersebut. Mengapa demikian, sebab salah satu efek dari globalisasi adalah tercerabutnya akar-akar lembaga sosial seperti, perilaku saling menjamin dalam gotong royong, kemudian runtuhnya bangunan penjamin dalam keluarga karena seluruh keluarga, terutama ayah dan ibu beraktifitas sangat padat yang tanpa memiliki waktu untuk membangun pondasi rumah tangganya. Kedua contoh peristiwa tersebut merupakan dampak dari individualisasi dalam kultur globalisasi kapitalisme liberal . Padahal, sebelumnya orang-orang yang terpinggirkan, seperti si miskin, dijamin oleh keluarga atau masyarakat sekitarnya. Sedangkan hari ini, pelan tapi pasti para korban sudah tidak dapat lagi mengharap bantuan dari mereka yang dahulu menolongnya seperti lembaga-lembaga sosial diatas. Setiap kita, dalam globalisasi mainstream dipaksa menjalani biografinya sendirisendiri dan “tidak begitu” terikat dengan lembaga-lembaga sosial yang ada. Dengan melakukan hal-hal mendesak seperti tersebut diatas, insya Allah masyarakat tidak akan gagap dengan datangnya globalisasi yang telah membuat sejarah kehidupan manusia tidak dapat lagi diprediksikan secara tepat. Karena, disatu sisi memberikan perlawanan terhadap globalisasi dengan merebut makna dan memberikan wacana tanding globalisasi yang memihak 10
kaum marginal, disisi lain melakukan upaya “pemberdayaan” yang muncul dari efek keasadaran kritis pribadi dari individu-individu dalam masyarakat. Dalam posisi-posisi yang seperti inilah kader-kader IMM dapat melakukan peranan peranannya. Bukankah wacana Intelektual Profetik IMM yang sekarang diusung sebagai garis ideologis perjuangan mengandaikan praksisme peran menuju terbebasnya masyarakat, dan kita, dari jeratan kolonialisme dalam berbagai wajahnya, sehingga keadilan sosial dan kesejahteraan sosial dapat terwujud. Dan jika demikian, mestinya kader-kader IMM tanggap, bahwa untuk menuju kearah itu, institusi harus melahirkan penggerak-penggerak yang tekun dalam mengembangkan diri, terutama dalam ranah ilmu. Hal ini juga tidak akan terwujud apabila di tubuh IMM sendiri hanya ada sedikit orang-orang yang bisa tekun berjuang dalam kesendirian seperti membaca, berkontemplasi dan terutama menulis. Maka, turut gembira dengan kehadiran buku Manifesto Gerakkan Intelektual Profetik IMM, penulis menyarankan jadikan slogan Aku Menulis Maka Aku Ada merupakan slogan pelengkap dari semboyan IMM, Unggul dalam Intelektual, Anggun dalam Moral, dan Radikal dalam Gerakan. Abadi perjuangan, semoga.
Penulis adalah alumni SMPM 1 & SMAM 1 Cilacap, lulus “nyantri” di pondok Shabran UMS. M antan PW I PM & DPD I M M J awa Tengah (2000-2002). Ki ni mengabdi di STI E M uhammadiyah Cil acap dan masj i d-mushall a M uhammadiyah di wil ayah Cil acap Selatan.
11