STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT DESA YOGYAKARTA
MAKALAH
diajukan untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester mata kuliah Landasan Sosiokultural yang diampu oleh Prof. Dr. H. Mustofa Kamil, M.Pd.
Oleh Winda Marlina Juwita 1402741
PROGRAM STUDI PEDAGOGIK SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2015
BAB I PENDAHULUAN Latar belakang Indonesia merupakan negara majemuk yang terdiri dari perbedaan-perbedaaan berdasarkan ras, suku, agama, dan lain-lain. Kemajemukan ini yang juga membentuk masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia terbentuk melalui adanya integrasi nasional. Sifat-sifat masyarakat majemuk akan membentuk integrasi sosial. Pluralitas masyarakat yang bersifat multi-dimensional itu akan dan telah menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horizontal, sementara stratifikasi sosial sebagaimana yang diwujudkan oleh masyarakat Indonesia akan memberi bentuk pada integrasi nasional yang bersifat vertikal (Anon : 61). Struktur sosial masyarakat seperti halnya yang telah diterangkan oleh para penganut kaum konflik dan juga pendekatan fungsionalisme struktural menjelaskan bahwa terdapat dua sisi yang selalu melekat dalam masyarakat yaitu konsensus dan konflik yang tidak mungkin dapat dihindari. Struktur sosial masyarakat ini juga berlangsung dalam fungsi peran yang terdapat dalam bangsa Indonesia. Struktur sosial masyarakat Desa di Yogyakarta pada tahun 1950-an terbagi berdasarkan luas kepemilikan lahan menjadi dua golongan besar yaitu buruh tani dan kraton yogyakarta. Buruh tani mempunyai kedudukan sosial yang paling bawah dengan aktivitas ekonomi yang terbatas pada pengerahan tenaga buruh upahan kepada kraton yogyakarta. Beberapa diantaranya mencoba untuk melakukan kegiatan ekonomi lainnya namun masih terbatas pada jenis perdagangan kecil. Perkembangan struktur sosial masyarakat Desa di Yogyakarta saat ini masih mengenal adanya dua strata tersebut, ters ebut, namun kegiatan ekonomi yang ada telah lebih berkembang sehingga kesejahteraan buruh tani dapat lebih meningkat. Pola kemitraan yang sejajar juga telah terbentuk antara buruh tani dan pemilik tanah, suatu yang tidak dijumpai pada tahun ta hun 1950-an.
Menurut Douglas (1973), mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan makrososiologi mempelajari struktur. George C. Homans yang mempelajari mikrososiologi dalam
mengaitkan
hubungan
sosial
struktur
dengan
sehari-hari,
perilaku
sedangkan
sosial
Gerhard
elementer
Lenski
lebih
menekankan pada struktur masyarakat yang diarahkan oleh kecenderungan jangka
panjang
pada
ranah
antar
manusia
yang menandai
makrososiologi dalam
sejarah.
menilai
suatu
sistem
Talcott
struktur sosial.
Parsons
sebagai Coleman
yang bekerja
kesalingterkaitan melihat
struktur
sebagai pola hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia atau masyarakat.
Kornblum
(1988)
menyatakan
struktur
merupakan
pola
perilaku berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat. Mengacu
pada
pengertian
struktur
sosial
menurut
Kornblum
yang
menekankan pada pola perilaku yang berulang, maka konsep dasar dalam pembahasan Perilaku
struktur sendiri
lingkungannya negosiasi.
yang
adalah
adanya
merupakan didalamnya
perilaku
hasil terdapat
individu
interaksi proses
atau
individu komunikasi
kelompok. dengan ide
dan
BAB II PEMBAHASAN A. STRUKTUR SOSIAL DALAM MASYARAKAT Secara umum istilah struktur dipahami sebagai “susunan”. Dalam Kamus Besar Indonesia, struktur berarti susunan, atau “cara sesuatu disusun atau dibangun”. Sedangkan
struktur sosial
diartikan sebagai “konsep perumusan asas-asas
hubungan antar individu dalam kehidupan masyarakat yang merupakan pedoman bagi tingkah laku individu”. Dalam Sosiologi, struktur sosial diartikan sebagai “pola yang mapan dari organisasi internal setiap kelompok sosial”. Dalam rumusan ini telah tercakup pengertian mengenai karakter atau pola dari semua hubungan yang ada antara anggota dalam suatu kelompok maupun antar kelompok. Konsep struktur sosial yang menggambarkan “pola hubungan antar individu dalam kelompok atau antar kelompok ini” untuk menjelaskannya sering dikaitkan dengan konsep-konsep norma, status, peran, dan lembaga (tercakup pula: asosiasi dan organisasi). Dalam setiap lembaga, setiap anggota pasti memiliki status tertentu. Status ini dilekati oleh nilai tertentu yang bersumber pada nilai kebudayaan. Dan setiap status memiliki peran (role). Hubungan atau interaksi antara anggota berdasarkan status dan peran yang dimilikinya itu telah ditentukan dan diatur oleh kompleks norma atau peraturan yang ada. Struktur sosial sangat erat kaitannya dengan kebudayaan. Eratnya dua fenomena ini digambarkan oleh J.B.A.F. Mayor Polak lewat pendapat bahwa antara kebudayaan dan struktur terdapat korelasi fungsional. Artinya, antara kebudayaan dan struktur dalam suatu masyarakat terjadi keadaan saling mendukung dan membenarkan. Ini berarti bahwa apabila terjadi perubahan dalam kebudayaan juga diikuti oleh perubahan dalam struktur. Demikian pula sebaliknya. Jadi, dapat dikatakan bahwa struktur sosial menunjukkan bahwa dalam suatu masyarakat terdapat unsur-unsur yang membentuk suatu kesatuan bermakna dan
berfungsi. Unsur-unsur tersebut berkaitan satu sama lain yang disebut dengan system. Bentuk-bentuk struktur sosial dalam masyarakat dibagi menjadi dua, yakni struktur sosial vertikal dan horizontal. a. Struktur sosial vertikal (sering disebut sebagai stratifikasi sosial atau pelapisan sosial) menggambarkan kelompok-kelompok sosial dalam susunan yang bersifat hierarkis dan berjenjang, sehingga dalam dimensi struktur ini kita melihat adanya kelompok masyarakat yang berkedudukan tinggi (lapisan atas), sedang (lapisan menengah), dan rendah (lapisan bawah). Atau, bisa lebih bervariasi dari sekedar tiga lapisan ini. Stratifikasi sosial terbentuk dari hasil kebiasaan manusia berhubungan antara satu dengan yang lain secara teratur dan tersusun, baik secara perorangan maupun kelompok. Akan tetapi, apapun dan bagaimanapun wujudnya kehidupan bersama membutuhkan penataan atau organisasi. Dalam rangka penataan kehidupan bersama inilah akhirnya terbentuk stratifikasi sosial.
b. Struktur sosial horizontal (sering disebut sebagai diferensiasi sosial), dilain pihak, menggambarkan kelompok-kelompok sosial tidak dilihat dari tinggi rendahnya kedudukan kelompok itu satu sama lain, melainkan lebih tertuju kepada variasi atau kekayaan pengelompokkan yang ada dalam suatu masyarakat. Sehingga lewat dimensi struktur horizontal ini yang kita lihat adalah kekayaan atau kompleksitas pengelompokkannya, bukan saja secara kuantitatif (jumlah) tetapi juga kualitatif (mutu/ kualitas). Diferensiasi
sosial
penggolongan warga
artinya
perbedaan-perbedaan
masyarakat secara
masyarakat
atau
horizontal (tidak bertingkat).
Perwujudannya adalah penggolongan penduduk atas dasar ras, etnis, agama, gender, bahasa, dan sebagainya. Diferensiasi sosial menunjukkan adanya keanekaragaman dalam masyarakat. Suatu masyarakat yang didalamnya terdiri atas berbagai macam unsur, menunjukkan perbedaan tidak bertingkat (horizontal) yang sering disebut sebagai masyarakat majemuk. Jadi, dalam diferensiasi sosial tidak membahas adanya perbedaan tingkatan atau kelas-kelas
sosial, seperti kelompok suku bangsa Jawa tidak lebih tinggi dari kelompok suku bangsa lainnya di Indonesia. Demikian pula tidak membedakan bahasa Jawa lebih tinggi dari bahasa daerah Nusantara lainnya dan sebaliknya. Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Ralph Linton dikenal adanya dua konsep yaitu status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan
kewajiban,
sedangkan
peran
adalah
aspek
dinamis
dari
sebuah
status. Menurut Linton (1967), seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. Tipologi lain yang
dikenalkan
oleh
Linton
yang
diperoleh
(ascribed
adalah
status)
pembagian
dan
status
status yang
menjadi diraih
status
(achieved
status). Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa memandang kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak
lahir.
yang
memerlukan
pada
Sedangkan
individu
status
kualitas sejak
ia
yang
diraih
didefinisikan
tertentu.
Status
seperti
lahir,
melainkan
ini
harus
sebagai tidak
status
diberikan
diraih
melalui
persaingan atau usaha pribadi. Merton (1964) mempunyai pandangan yang berbeda dengan Linton. Menurut Merton ciri dasar dari suatu struktur sosial adalah status yang tidak hanya
melibatkan
satu
peran,
melainkan
sejumlah
peran
yang
saling
terkait. Merton memperkenalkan konsep perangkat peran (role set). Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian suatu struktur
sosial
menjadi
beberapa
bagian
atau
lapisan
yang
saling
berkait. Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial
ada
ketidaksamaan
Terdapat
tiga
susunan
atau
dimensi
posisi
dimana
stratifikasi,
yaitu
sosial
suatu kelas,
antar
individu
masyarakat status
dan
terbagi
di
dalamnya.
dalam
kekuasaan.
suatu
Konsep
kelas, status dan kekuasaan merupakan pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Beteille, 1970).
Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan
yang
sama
dalam
proses
produksi,
distribusi
maupun
perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama (Beteille, 1970). B. STRUKTUR MASYARAKAT DESA DI YOGYAKARTA PADA TAHUN 1950-AN Kota Yogyakarta adalah kota yang hidup, terus berkembang, dan semarak sejak lahirnya sampai saat ini. Ditinjau dari segi kewilayahan, kota Yogyakarta juga mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Dari wilayah kota Yogyakarta lama yang diapit oleh Sungai Code dan Sungai Winanga, di antara Tugu Pal Putih dan Gedhong Panggung, melebar secara radial antara lain ke timur Sungai Code, ke utara Tugu Pal Putih, dan ke barat ke arah sungai Winanga. Letak wilayah Kota Yogyakarta terbentang antara 110”24”19” sampai 110” 28”53” Bujur Timur dan 07”15’24” sampai 07” 49’ 26” Lintang Selatan. Secara keseluruhan kota Yogyakarta berada di daerah dataran lereng gunung Merapi, dengan kemiringan yang relatif datar (antara 0-3 %) dan pada ketinggian 114 meter di atas permukaan air laut. Adapun wilayah kota yang luasnya 32,50 km2 di sebelah utara dibat asi oleh Kabupaten Sleman, di sebelah timur dibatasi oleh Kabupaten Sleman dan Bantul, di sebelah selatan oleh Kabupaten Bantul dan sebel ah barat oleh Kabupaten Bantul dan Sleman (Pemerintah Kota Yogyakarta, 2002, hlm. 3). Batas-batas kota tersebut sesungguhnya mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan jaman dari masa kerajaan, kolonial, kemerdekaaan dan masa-masa mutakhir. Kedudukan kota Yogyakarta sejak kemerdekaan hingga masa kini ialah menjadi Ibu Kota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang dipimpin oleh Gubernur, dan
masa kini dijabat oleh Sultan Hamengku Buwono X. Selain itu kota Yogyakarta pada masa kini juga menjadi Ibu Kota Pemerintah Kota Yogyakarta yang dipimpin oleh seorang Wali Kota. Wilayah Pemerintah Kota Yogyakarta terbagi atas 14 wilayah Kecamatan, 45 Kelurahan, 617 RW (Rukun Warga) dan 2.532 RT (Rukun Tangga). Makalah ini merupakan analisis dari hasil penelitian H ten Dam pada tahun 1950 hingga 1954. Dalam struktur masyarakat Desa di Yogyakarta terdapat dua kelompok sosial yang memiliki perbedaan mendasar. Perbedaan tersebut terdapat pada akses terhadap faktor produksi utama dalam pertanian, yaitu tanah. Kelompok sosial yang terbentuk di Desa adalah kel ompok buruh tani dan kelompok petani bebas. Selain akses terhadap tanah terdapat pula prinsip peran yang membagi masyarakat Desa menjadi dua kelompok sosial tersebut. Prinsip tersebut adalah salah satu kelompok memiliki peran sebagai "pengabdi" sedangkan kelompok lainnya sebagai "penguasa". Perbedaan akses serta prinsip peran kelompok sosial yang ada di Desa membawa berbagai implikasi dalam kehidupan sosial. Kedua kelompok sosial yang hidup bersama dalam satu tatanan masyarakat saling berinteraksi satu sama lain. Perbedaan satus sosial antara dua kelompok sosial tersebut membawa dampak pada peran masing-masing kelompok dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Buruh Tani Makalah ini mencoba untuk mengidentifikasi jumlah buruh tani yang ada di Desa. Keberadaan buruh tani dapat diidentifikasi dari jumlah penduduk yang tidak memiliki tanah pertanian. Keterbatasan informasi menyebabkan kepemilikan tanah dijadikan sebagai dasar penentuan status sebagai buruh tani. Namun perlu ditekankan bahwa ciri terpenting dari buruh tani bukan pada kepemilikan tanah tetapi pada sikapnya yang menyerahkan diri kepada orang lain, dalam hal ini keraton Yogyakarta. Sebanyak 43% keluarga yang ada di Desa tidak memiliki tanah. Tempat kediaman buruh tani yang tidak memiliki tanah terletak pada tanah orang lain, baik
tanah milik kerabat atau orang lain. Kompensasi yang diberikan bagi buruh tani yang tinggal diatas tanah milik orang lain bukan berupa uang, namun berupa peran dirinya sebagai "abdi". Dua puluh lima persen keluarga di Desa hanya memiliki tanah pekarangan di sekitar tempat tinggal mereka. Sedangkan 23% keluarga lainnya mempunyai tanah garapan dengan luas kurang dari 2,5 acre. Sebagian besar berupa tanah tegalan dengan produktivitas yang rendah. Letak tanah berada di l ereng perbukitan atau di bagian desa yang jauh terpencil. Tanah pertanian tersebut tidak mencukupi untuk menghidupi para pemiliknya. Secara kasar terdapat 90% dari keluarga yang ada di Desa merupakan buruh tani. Untuk mengkaji struktur sosial Desa
dipandang perlu untuk membagi
kelompok buruh tani ini menjadi dua subkelompok. Subkelompok pertama adalah mereka yang sama sekali tidak memiliki tanah pertanian atau hanya memiliki tanah pekarangan saja, untuk selanjutnya disebut buruh tani. Sedangkan subkelompok kedua adalah mereka yang memiliki tanah pertanian dengan luasan yang sempit yakni kurang dari 2,5 acre. Subkelompok ini disebut dengan petani tidak tetap (part time farmers). Buruh Tani dalam Arti Sebenarnya Buruh tani memperoleh penghasilan dari upah bekerja pada tanah pertanian milik orang lain atau petani penyewa tanah. Sebagian besar buruh tani bekerja lepas dengan upah harian, hanya sebagian kecil yang bekerja untuk jangka satu tahun atau lebih. Selain dari upah sebagai pekerja, buruh tani juga melakukan kegiatan dagang kecil-kecilan. Ada juga diantaranya yang menanami lahan hutan dengan perjanjian tertentu. Secara stratifikasi sosial buruh tani menempati posisi paling bawah pada lapisan masyarakat Desa di Yogyakarta. Secara ekonomi mereka sangat terbatas
sehingga
buruh
tani
sering
malkukan
kegiatan
migrasi
dari
desa ke desa lain. Tujuan utama mereka dalam bermigrasi adalah mencari
upah paling baik. Kebiasaan migrasi ini ditengarai merupakan bagian dari sisa-sisa perpindahan penduduk abad 18-19. Kegiatan ekonomi buruh tani berkisar pada pekerjaan pertanian yang mereka lakukan untuk tuan tanah besar dengan upah harian. Selepas masa panen, buruh tani dibebaskan untuk menanami tanah pertanian tersebut dengan sistem bagi hasil (maro). Sewaktu senggang ketika mereka tidak dipekerjakan
sebagai
buruh,
mereka
melakukan
usaha
perdagangan
kecil-kecilan dengan keuntungan yang kecil. Buruh tani yang menempati tingkatan paling rendah dalam lapisan masyarakat membawa konsekuensi bahwa kedudukan mereka tidak akan hilang. Mereka merasa tidak perlu berupaya mempertahankan kedudukannya tersebut, karena suatu yang mustahil mereka akan jatuh dari kedudukan sosialnya. Akibat dari kedudukan sosial yang mereka miliki, rasa ketenteraman yang mereka alami sangat berbeda dengan perasaan kaum pemilik tanah. Perasaan ini memunculkan nilai "nrimo ing pandum" sehingga rasa berserah diri kepada nasib sangatlah besar pada diri buruh tani. Keadaan ini menyebabkan timbulnya ketegangan sosial apabila terdapat tindakan-tindakan yang berasal dari luar untuk merubah nasib mereka. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan buruh tani melaui pemberantasan buta huruf sama sekali tidak mempengaruhi para buruh tani. Kemampuan buruh tani yang hanya sebatas pada pengerahan tenaga tanpa dibarengi dengan kemampuan manajerial menyebabkan ketidaksiapan mereka dalam mengelola tanah pertanian. Kebijakan land reform tanah bekas perkebunan
kepada
para
penduduk
yang
tidak
memiliki
tanah
tidak
membawa dampak terhadap peningkatan kesejahteraan mereka. Dalam waktu yang singkat tanah-tanah tersebut kembali dikuasai oleh sejumlah kecil orang sehingga buruh tani kembali pada posisi semula, sebagai kaum "abdi". Kebiasaan melakukan migrasi menyebabkan buruh tani tidak merasa "memiliki"
desa
dimana
mereka
tinggal.
Partisipasi
mereka
dalam
kegiatan sosial kemasyarakatan di tingkat desa sangat rendah. Mereka merasa tidak berkepentingan dengan desa. Pola pikir buruh tani hanya sebatas pada "besok mau makan apa?". Gagasan untuk mengajak mereka dalam koperasi akan sebatas pada sejauhmana koperasi dapat memenuhi kebutuhannya.
Koperasi
hanya
dipandang
sebagai
sarana
yang
dapat
memenuhi kebutuhan ekonomi mereka melalui kredit. Pengembalian kredit adalah persoalan nanti yang akan dipikirkan atau bahkan mungkin tidak terpikirkan sama sekali. Petani Tidak Tetap Bagian dari kelompok buruh tani adalah petani tidak tetap. Luas tanah pertanian
yang
mereka
kuasai
sebagian
besar
kurang
dari
berkisar
1,25
1-2,5
acre.
Suatu
acre
namun
luasan
yang
demikian terbatas
sehingga pendapatan yang mereka peroleh dari usahatani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, mereka
bekerja
sebagai
buruh
tani
dan
perdagangan
kecil-kecilan.
Petani jenis ini tidak memiliki akses terhadap modal sehingga mereka tidak dapat mengusahakan tanaman yang memerlukan modal besar seperti kentang dan kubis. Modal untuk melakukan usahatani mereka peroleh dari teman sedesa yang senasib dengannya. Sebagai gantinya, petani tidak tetap
mengusahakan
komoditas
padi
ladang,
jagung,
ketela
rambat,
bawang atau tembakau. Seperti juga dengan subkelompok buruh tani, petani tidak tetap sering menanam tanaman sampingan dengan cara bagi hasil setelah panen kentang dan kubis. Peran petani tidak tetap dalam masyarakat Desa di Yogyakarta adalah sebagai pekerja yang diupah secara harian oleh tuan tanah besar (kraton Yogyakarta). Pengusahaan komoditas juga terbatas pada komoditas yang tidak membutuhkan modal besar. Pola bagi hasil juga sering dilakukan dengan tuan tanah besar, walaupun pendapatan yang diperoleh sangat terbatas. Usaha perdagangan yang dijalankan lebih luas dan teratur dibandingkan dengan buruh tani. Terkadang
mereka
menjual
hasil
pertanian
hingga
ke
Bandung
dengan
menggunakan angkutan umum, namun lebih sering dibawa sendiri dengan dipikul. Walaupun beberapa petani tidak tetap mempunyai harga diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan buruh tani, namun kebanyakan sikap mental dan kecerdasannya serupa dengan buruh tani. Adanya sumber pendapatan lain
diluar
upah
sebagai
pekerja
membuat
petani
tidak
tetap
sedikit
terpengaruh dengan perubahan musim dan pasar tenaga kerja dibandingkan dengan
buruh
dibandingkan
tani.
buruh
Kondisi tani.
rumah
Pembagian
tinggal ruang
sedikit
menjadi
lebih
kokoh
beberapa
bagian
menurut fungsi sudah dilakukan. Petani tidak tetap sebagaimana buruh tani juga tidak tersentuh oleh pemerintahan desa, kecuali ketika mereka melanggar hukum. Petani tidak tetap semakin termarginalkan seiring perkembangan jaman. Kebutuhan untuk berhutang di musim paceklik membuat mereka menggadaikan atau menjual tanah mereka. Tanah pertanian tersebut pada akhirnya tetap terkumpul pada sebagian kecil masyarakat Desa di Yogyakarta. Hubungan kekeluargaan pada petani tidak tetap sebagaimana
buruh
tani,
tidak
mampu
menolong
mereka
memperkuat
kedudukan sosial dan ekonomi. Petani Bebas Petani bebas merupakan sebagian kecil masyarakat Desa di Yogyakarta. Sebagaimana dengan kelompok buruh tani, petani bebas dibedakan menjadi sua subkelompok yaitu petani bebas kecil dan tuan tanah besar. Dasar pembagian kelompok petani
bebas ini
adalah luas
kepemilikan
tanah.
Mereka yang memiliki tanah antara 2,5 hingga 12 acre digolongkan dalam petani bebas kecil. Petani Bebas Kecil
Secara kasar jumlah keluarga yang termasuk dalam subkelompok petani bebas
kecil
mencapai
6-8%
dari
keluarga
yang
ada
di
Desa.
Secara ekonomi kelompok ini tidak melakukan pekerjaan untuk mencari upah,
sebaliknya
bebas
kecil
sekaligus pertanian
mereka
juga
mengawasi miliki
mempekerjakan
turut
bekerja
pekerjaan
mereka
buruh
bersama-sama mereka.
sendiri,
terkadang
tani.
Biasanya
dengan
Selain
buruh
mengerjakan
mereka
juga
petani tani tanah
mengerjakan
tanah pertanian milik tuan tanah besar dengan cara bagi hasil. Jenis tanah yang mereka kerjakan adalah tanah sawah, berbeda dengan buruh tani yang mengerjakan tanah tegalan. Akses petani bebas kecil terhadap sarana produksi sangat terbatas. Mereka membeli dengan harga tinggi dari tuan tanah besar. Petani tidak bebas jarang atau bahkan tidak pernah menggunakan bibit kentang impor, mereka mendapatkan bibit dari hasil panen kentang tuan tanah besar. Hubungan keluarga antara petani bebas kecil dan tuan tanah besar sedikit membantu dalam akses terhadap sarana produksi. Pengetahuan mereka berkembang dan cenderung berusaha meniru praktik pertanian yang
diterapkan
oleh
tuan
tanah
besar,
yang
tentunya sesuai dengan batas kemampuan keuangan mereka. Perdagangan yang mereka lakukan selalu berbasis pada komoditas pertanian, mereka menjual sendiri hasil panen. Suatu hal yang berbeda dengan kegiatan perdagangan buruh tani yang menjual untuk memperoleh komisi atau pembayaran setelah barang yang mereka jual laku. Kedudukan sosial antara tuan tanah besar dan petani bebas kecil hanya terdapat
sedikit
perbedaan.
Petani
bebas
kecil
merupakan
cerminan
sejumlah kecil masyarakat Desa di Yogyakarta yang berhasil membebaskan diri dan meraih kekuasaan ekonomi yang lebih besar. Terdapat pula beberapa orang
yang
berhasil
"menjajah" sesamanya.
meraih
kekuasaan
ekonomi
tersebut
melalui
cara
Kepedulian petani bebas kecil terhadap pendidikan anak-anak lebih besar dibandingkan dengan buruh tani. Kondisi rumah tinggal mereka lebih tertutup rapat dan lebih besar ukurannya. Ibu biasanya tinggal di rumah untuk mengurus dapur dan anak-anak, beberapa diantaranya memiliki pembantu-pembantu untuk menolong tugas rumah tangga tersebut. Anak-anak
petani
bebeas
kecil
mendapatkan
peran
sebagai
"penerima
pengabdian", suatu hal yang berbeda dengan anak-anak buruh tani yang harus merawat diri mereka sendiri. Usaha mempersatukan kelompok buruh tani dan kelompok petani bebas dalam suatu kerangka organisasi bersama menimbulkan adanya ketegangan sosial. Ide penyatuan ini telah dilakukan dalam bentuk koperasi di D esa. Kedua kelompok memiliki ketidaksetaraan dalam intelektualitas dan kebudayaan. Dalam organisasi kepemudaan, pemuda dari kelompok petani bebas yang lebih berperan dalam kepemimpinan, sedangkan pemuda dari kelompok buruh tani sebatas pada anggota yang pasif saja. Anggota kelompok petani bebas kecil yang terkadang memiliki hubungan saudara jauh dengan tuan tanah besar mampu memainkan peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat. Mereka menempati posisi yang baik untuk mendapatkan pengakuan dan rasa hormat dari penduduk lain. Posisi yang
strategis
mempertahankan
tersebut status
merupakan sosial
wujud
sehingga
perjuangan
tidak
turun
ke
mereka lapisan
dalam buruh
tani. Ikatan keluarga memiliki peranan yang penting dalam kegiatan dan kesempatan ekonomi. Tanah biasanya dipindahtangankan kepada anak-anak sewaktu orang tua masih hidup. Bantuan modal untuk usahatani dapat dengan mudah diakses dari keluarga. Tuan Tanah Besar (kraton Yogyakarta) Secara kasar subkelompok tuan tanah besar hanya 1,5% dari keluarga di Desa.
Tanah
pertanian
yang
mereka
kuasai
sebagian
besar
adalah
tanah subur yang produktif. Kelompok ini terdiri dari sejumlah kecil keluarga besar
yang
lainnya
terikat adalah
dengan
perkawinan.
bangsawan.
Lima
Penguasaan
keluarga
modal
tuan
tanah
yang besar
serta
hubungan yang harmonis dengan tengkulak menyebabkan posisi secara ekonomi
tuan
memiliki
tanah
tanah
besar
pertanian
telah
menggunakan
telah
terbentang
di
sangat luar
teknik-teknik
luas
baik.
Beberapa
desa.
Petani
pertanian
melewati
batas
tuan
bebas
modern.
desa.
tanah
sedikit
banyak
Pandangan
mereka
Kehidupan
kota
seperti Yogyakarta merupakan suatu yang biasa bagi mereka. informasi
tentang
desa
sedikit
banyak
terhimpun
besar
dari
besar
Berbagai
kalangan
tuan
tanah besar. Informasi yang terkadang sangat jauh dari kenyataan yang sebenarnya.
Pemimpin
desa
biasanya
dari
kelompok
petani
bebas
ini
demikian pula orang-orang yang bekerja keras untuk gerakan koperasi desa. Secara ekonomi, dalam menjalankan usaha pertanian, tuan tanah besar menjalankan fungsi sebagai pengelola. Mereka jarang sekali mengerjakan pekerjaan
kasar
sendiri.
Komoditas
yang diusahakan adalah
komoditas
yang menjanjikan keuntungan besar walupun dengan modal yang besar. Beberapa
tuan
tanah
besar
berhasil
merubah
tegalan
menjadi
kebun
buah-buahan yang terawat dengan baik. Setelah panen, tuan tanah besar menyerahkan pengelolaan tanah pertaniannya kepada buruh tani dengan cara maro. Tanah sawah yang mereka miliki disewakan atas dasar bagi hasil. Hasil sewa tersebut mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan makan sedangkan keuntungan dari usahatani kentang dan kubis mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan kemewahan, seperti membangun rumah atau
membiayai
kuliah
anak-anak
mereka
di
Bandung.
Mereka
juga
menanamkan modal pada usaha dagang dan pengangkutan. C. DESA DI YOGYAKARTA SAAT INI Perubahan sangat pesat telah dialami oleh Desa di Yogyakarta seiring dengan semakin pesatnya pembangunan dan introduksi berbagai teknologi serta
informasi.
Perubahan
fisik
yang
terjadi
di
Desa
adalah
suatu
hal yang wajar sebagaimana yang terjadi di desa-desa lainnya terutama di
Jawa.
Semakin
terbukanya
akses
baik
berupa
transportasi
dan
komunikasi mau tidak mau akan membawa berbagai dampak bagi kehidupan sosial pedesaan. Desa di Yogyakarta kini dapat dengan mudah dicapai karena kini jalan desa telah diaspal, suatu yang tidak ditemukan ketika H ten Dam berkunjung di desa ini kurang lebih 50 tahun lalu. Rumah penduduk kini semua telah
berdinding
sangat lagi
pesat, sebagai
subsisten,
tembok terutama
desa
namun
dengan sistem
dengan
lantai
sektor
pertaniannya.
sistem
pertanian
keramik.
pertanian saat
ini
Kemajuan
Kini tradisional
telah
Desa
Desa
tidak
yang
bersifat
semi
komersial
atau dengan kata lain telah menerapkan prinsip agribisnis. Tanaman yang diusahakan masih berkisar pada tanaman hortikultura terutama sayur mayur, namun dengan jenis tanaman yang lebih bervariasi dan teknologi budidaya yang jauh berbeda dari tahun 1950-an, ketika H ten
Dam
kentang,
melakukan kubis,
penelitain
brokoli,
di
cabai
desa
merah,
ini.
Desa
daun
ini
bawang,
memproduksi seledri,
dan
berbagai jenis tomat. Ada juga paprika belanda yang gemuk dan besar seperti
apel.
Desa
di
Yogyakarta
saat
ini
telah
menjadi desa percontohan, bahkan sering disebut sebagai kampusnya para petani. Kemajuan ini tidak dapat lepas program Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) yang ada sejak tahun 1990-an. Program ini didirikan yang
dan
berusia
mempelajari
dikelola 40
tahun,
pertanian
di
Ishak, setelah Jepang.
seorang ia
petani
mendapat
Dukungan
dari
sayur
di
kesempatan berbagai
Desa magang
pemerintah,
pengusaha dan LSM yang bergerak di bidang pengembangan masyarakat pedesaan manjadikan program ini dapat berkembang dengan pesat dan merubah Desa di Yogyakarta.
Sebagian besar petani telah mampu mengembangkan pertanian dengan pola modern
mengikuti
tuntutan
pasar komoditas pertanian
teknologi
budidaya
pertanian.
Selain
itu,
di desa ini pun cukup berkembang. Hasil
produksi sayur di desa ini dipasarkan ke Singapura, Taiwan, dan dalam waktu dekat akan diekspor ke Korea Selatan. Selain itu, ada petani yang menjualnya ke supermarket di Jakarta, Denpasar, Surabaya, dan Bandung. Sisanya untuk pasar-pasar induk di Yogyakarta. Struktur Sosial Masyarakat Perubahan struktur sosial masyarakat Desa di Yogyakarta tidak berlangsung secara serta merta. Seperti yang telah disampaikan di depan, tentang kondisi Desa di Yogyakarta pada tahun 1950-an hingga 1990-an dengan segala keterbatasannya.
Fenomena
buruh
tani
dan
petani
bebas
pada
tahun
1950-an seperti yang diulas oleh H ten Dam seakan-akan melompat menuju "kenaikan derajat" pada saat ini. Tentu semuanya melalui proses atau masa transisi. Semakin pesatnya perkembangan pembangunan industri di perkotaan pada era orde baru yang memicu adanya disparitas desa-kota. Kondisi ini menyebabkan adanya fenomena urbanisasi besar-besaran, terlebih dengan semakin terdesaknya kaum buruh tani di pedesaan Jawa. Seiring dengan perkembangan pertanian Desa Cibodas yang telah berubah menjadi "industri pertanian", status buruh tani tidaklah seperti yang digambarkan oleh H ten Dam pada tahun 1950-an. Kesejahteraan buruh tani semakin meningkat, bahkan istilah buruh tani menjadi suatu yang dipaksakan apabila ingin diterapkan di Desa Cibodas saat ini. Istilah yang paling tepat untuk menyebut kelompok ini adalah "pegawai atau karyawan perkebunan". Banyak petani yang kini bernasib naas, hanya menjadi tukang tanam. Namun,
di
Desa
Cibodas
berhasil
memperlihatkan
Cirinya,
kehidupan
yang diri
mereka
ada
adalah
sebagai
tidak
hanya
petani
petani-petani modern
berkutat
di
yang
telah
yang
sukses.
kebun.
Mereka
memiliki banyak waktu untuk membagi ilmu kepada masyarakat lain seperti kesenian dan kerajinan tangan agar bisa menjadi le bih maju. Semua dimensi ini tampak menjadi keseharian para petani di Desa. Hampir seluruh
petani
di
desanya
memiliki
pegawai
di
kebun.
Jumlah pegawainya mencapai 4 hingga 50 orang. Mereka bekerja secara berkelompok untuk memenuhi permintaan pasar secara berkesinambungan. Kesinambungan
usaha
yang
dibangun
atas
dasar
kerja
sama
ini
mengakibatkan mereka bisa mendapatkan penghasilan Rp. 2.000.000,00 per bulan. Para petani juga bisa menabung untuk membangun rumah, juga menyekolahkan anak hingga ke perguruan tinggi. Rumah-rumah mereka umumnya bersih dan besar. Selain rumah untuk kepentingan keluarga, mereka juga bisa membangun rumah untuk kepentingan tamu. Petani di Desa
tidak
menghabiskan
waktu
mereka
di
kebun
untuk
bekerja.
BAB III PENUTUP Struktur sosial masyarakat Desa di Yogyakarta terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu kaum buruh tani dan kraton Yogyakarta. Pengelompokan tersebut didasarkan
pada
penguasaan
pertanian. Kedua
mereka
kelompok besar
ini
terhadap dapat
faktor
produksi
dibagi lagi
dalam
tanah empat
kelompok kecil yaitu buruh tani dalam artian sebenarnya, petani tidak tetap,
petani
merupakan paling
bebas mayoritas
bawah
menempati Jumlah
kecil
dalam
posisi
tuan
tuan
tanah
besar.
keluarga
di
Desa
menempati
pelapisan
sosial,
tertinggi
tanah
besar
dan
dalam hanya
sedangkan
piramida sebagian
Buruh
dari
yang
posisi
yang
tanah
besar
tuan
pelapisan kecil
tani,
sosial
tersebut.
keluarga
yang
tinggal di Desa. Walaupun sistem stratifikasi pada masyarakat Desa di Yogyakarta merupakan sistem stratifikasi terbuka, gerak sosial jarang dijumpai pada masyarakat Desa di Yogyakarta. Kelompok petani bebas berusaha untuk selalu mempertahankan kedudukan mereka, sedangkan kaum buruh tani cenderung untuk bertahan dengan keterbatasan yang ada. Sikap "nrimo" menjadi kendala untuk melakukan upaya memperbaiki kesejahteraan mereka. Gejala tersebut kini mengalami perubahan, seiring semakin pesatnya perkembangan Desa di Yogyakarta oleh "industrialisasi pertanian". Walaupun struktur sosial yang ada masih tampak adanya stratifikasi antara buruh tani dan tuan tanah, tetapi pola relasi antara dua kelompok sosial ini mengalami melalui
banyak
model
sejahteranya
kemajuan.
kelembagaan
buruh
tani
Pola
relasi
petani di
Desa.
yang
saling
menguntungkan
membawa
dampak
pada
semakin
Konsep
buruh
tani
manjadi
suatu yang dipaksakan, suatu istilah yang tepat adalah "pekerja atau karyawan perkebunan".
Namun demikian seiring masuknya investasi berupa modal dan teknologi di
Desa
membawa
kekhawatiran
ketika
suatu
saat
pola
kemitraan
yang ada akan berubah menjadi kapitalisme. Sesuatu yang telah menimpa saudara-saudara mereka yang berada di sektor industri perkotaan atau perkebunan
besar.
Semoga
pola
kemitraan
akan
dapat
memperkokoh
struktur sosial masyarakat Desa di Yogyakarta dan juga dapat ditiru oleh petani-petani lainnya,
sehingga petani
Indonesia akan semakin
berdaya
bukannya semakin tertindas oleh globalisasi dan kapitalisme. Kemajemukan masyarakat kota, pada satu segi dapat membuka kesempatan untuk saling mengenal berbagai latar belakang perbedaan masing-masing, saling memotivasi satu dengan lain, saling bertukar informasi dan pengetahuan serta kearifan yang pada gilirannya menjadikan masyarakat tersebut lebih dinamis dan terbuka. Namun di segi lain, masing-masing komponen masyarakat kota yang berbeda latar belakang itu memerlukan kemampuan penyesuaian diri satu sama lain untuk dapat membina keserasian sosial dalam kebersamaan dan kehidupan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Anon, N. D. Struktur Masyarakat Indonesia dalam Masalah Integrasi Nasional dalam Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Beteille, Andre. 1970. Social Inequality. Penguin Education. California. Dam, Ten H. 1998. Social Change in Yogyakarta. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Douglas, Jack D. 1981. Introduction Structures. The Free Press. New York.
to
Sociology
;
Situations
and
Linton, Ralph. 1967. "Status and Role" dalam Lewis A. Coser dan Bernard Rosenberg. Sociological Theory ; A Book of Reading . The Macmillan. New York. Merton, Robert K. 1964. Social Theory and Social Structure. The Free Press. New York. Pemerintah Kota Yogyakarta. 2000. Buku Saku Kota Yogyakarta 1995-1999. Yogyakarta : Buku Terbitan Pemerintah.