DUALISME DEMOKRASI GAYA YOGYAKARTA Oleh Aprinus Salam
Di Indonesia, wacana dan operasi-operasi demokra(tisa)si memperlihatkan sosok yang semakin dapat dirasakan dan menyentuh kehidupan sehari-hari. Siapapun ia, saat ini, secara bermakna memperlihatkan aktivitas dan praktik atas nama demokrasi, sekaligus segala sesuatu mendapat gugatan atas nama demokrasi. Masalahnya adalah justru karena atas nama demokrasi mekanisme sosial yang berkaitan dengan urusan kebijakan publik sering terlihat berjalan rusuh, dan kekerasan muncul di mana-mana. Jika kita menyaksikan berbagai berita di media massa, tak pelak atas nama demokrasi dan HAM banyak orang menjadi "nekat" untuk melakukan apa saja. Artinya, tidak tertutup kemungkinan aktivitas atas nama demokrasi potensial mengandung otoriterisme dan anarki. Kemudian, selalu muncul pembelaan bahwa itu bukan demokrasi, melainkan permainan dan manuver segelintir pihak yang berkepentingan. Maksudnya, di balik banyak peristiwa kekerasan, permainan politik kekuasaan yang mengatasnamakan demokrasi, dijadikan kambing hitam (politik kambing hitam). Terlepas dari itu, yang ingin dikatakan adalah bahwa demokrasi pun tidak menjamin kehidupan menjadi tentram dan damai, penuh penghargaan terhadap HAM, orang mendapat keadilan dan jaminan hukum yang transparan, politik dijalankan secara jujur dan fair, dan segala tetek mbengek pengertian demokrasi bagi setiap orang yang berharap terhadap kehidupan yang demokratis itu. ***
2
Belakangan ini, akhirnya, semakin terbukti bahwa demokrasi bukan sesuatu yang bisa beroperasi secara universal. Ia selalu mengalami kontekstualisasi, tergantung dimana dan kapan konsep demokrasi tersebut diberlakukan dan didefinisikan. Oleh karenanya, jika demikian, jangan pernah berharap demokrasi dalam pengertian universal dan ideal diberlakukan di semua ruang publik. Amerika, misalnya, yang menganggap negaranya paling demokratis, yang merasa menerapkan demokrasi secara "murni",
dalam praktiknya selalu memiliki
standar ganda dalam mengelola definisi demokrasi sesuai dengan kepentingan negara dan rakyat Amerika. Tetapi, itulah demokrasi Amerika. Yang menggelikan, Amerika selalu mengklaim bahwa banyak negara tidak berjalan secara demokratis dan perlu belajar demokrasi ala Amerika. Memang, jaminan rakyat Amerika untuk mendapatkan hak-hak hukum yang demokratis dalam kehidupan sehari-harinya mungkin paling lumayan dibanding sejumlah negara lain. Tetapi itu tidak memberi jaminan bahwa negara Amerika bebas dari pelangaran-pelanggaran demokrasi dalam berbagai aspeknya. Yang pasti demokrasi ala Amerika itu sama sekali tidak mampu menjamin masyarakat dapat hidup tentram, damai, sejahtera, Itulah sebabnya, saya ingin mengatakan bahwa biarlah praktik demokrasi tidak harus diterapkan secara modern, tetapi cara-cara masyarakat, yang katakanlah "tradisional", memiliki cara tersendiri untuk menyebut dirinya domoktratis. Orang tua yang memiliki otoritas untuk mengatur anaknya, dan seorang anak selayaknya memiliki kepatuhan kepada orang tuanya, boleh saja dikatakan demokratis sejauh anak tersebut
3
merasa telah memberikan kebaktian kepada orang tuanya, dan kehidupan menjadi lebih nyaman dan tentram. Memang ada hegemoni di dalamnya, yakni keberpihakan kepada orang tua sebagai “penguasa”. Apalagi jika ditempatkan dalam pengertian anak harus berbakti, mengabdi, dan sebagainya, dan dalam posisi itu bahkan seorang anak dapat menikmatinya. Bagi saya itu tidak masalah. Karena saya justru ingin menekankan kehidupan yang tentram, nyaman, damai, dan bahagia. Kalau dengan cara itu justru bisa didapatkan. Apa sih yang dicari di dunia ini? *** Berangkat dari uraian di atas, barangkali yang paling menarik adalah demokrasi gaya Yogyakarta, yang saya sebut sebagai dualisme demokrasi. Basis konsep dualisme ini meminjam konsep Boeke, konsep dualisme ekonomi, yakni ketika sesuatu (mekanisme dan sistem ekonomi) modern dan tradisional berjalan berbarengan, saling melengkapi dan sinergis. Di Yogya, tampaknya, demokrasi modern dan tradisional berjalan bersamaan, dan itu pula mekanisme yang mampu mengamankan Yogya dari berbagai kekerasan dan kerusuhan massal. Jika ada kerusuhan dan kekerasan massal
yang rugi dan
terancam nyawanya adalah rakyat, bukan siapa-siapa. Yang saya maksud dengan dualisme demokrasi gaya Yogya adalah biarkan demokrasi modern berjalan di Yogya, misalnya tuntutan sistem pemerintahan dan pembuatan keputusan yang inklusif, penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel dan transparan, keberadaan lembaga-lembaga perwakilan yang representatif dan
4
responsif, kebebasan sipil dan media, partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan, kehidupan masyarakat yang pluralis dan damai, dan lain-lain. Tetapi, jangan dipaksakan pula kepada orang Yogya untuk tidak menghormati Sultannya, yang dalam kacamata demokrasi modern dianggap feodal dan tidak demokratis. Kita tidak bisa mengatakan bahwa orang yang “menyembah” Sultan lantas disebut tidak demokratis. Demokrasi tradisi Yogya punya cara sendiri. Kalau mereka percaya dengan cara manut apa kata Sultan, kenapa harus dipersalahkan. Itulah kontekstualisasi demokrasi. Sejarah modern Yogya telah membuktikan bahwa banyak operasi demokrasi modern berjalan rusuh, dan pada akhirnya yang dapat mengamankan Yogya adalah campur tangan demokrasi gaya Yogya itu. Yakni otoritas Sultan sebagai Bapak dan Orang Tua Yogya, dan dukungan orang Yogya yang menghormati Sultan. Tidak harus orang yang mengabdi kepada Sultan dianggap kuno dan tidak demokratis. Orang punya cara hidup sendiri-sendiri sesuai dengan apa yang mereka percaya. Toh kita tidak tahu apakah dengan cara itu mereka mungkin justru menjadi lebih bahagia. Namun, memang masih tersimpan pertanyaan penting ke mana arah proses demokrasi di Yogya, akankah pengaruh dan wibaya bayang-bayang kukuasaan Kesultanan Yogya akan semakin menguat, atau terdapat sejumlah proses lain sehingga tradisi itu akan semakin berkurang sehingga proses demokrasi-feodalisme gaya Yogya ini mengarah pada bentuk-bentuk baru. Kita tunggu dan lihat bersamasama. Akan tetapi, kalau sekedar boleh mengira-ngira, sejauh kesultanan Yogya mampu memberikan semacam rasa aman, kenikmatan, dan suaka perasaan merasa
5
lebih beradab untuk (menjadi) orang Yogya, maka dualisme demokrasi itu akan semakin menguat. Yang bisa dirasakan saat ini, dalam batas-batas tertentu, Yogya memberikan kenikmatan demokrasi modern dalam kontrol bayang-bayang kekuasaan Sultan yang mampu mengayomi masyarakat Yogya. Suatu kerja sama sinergis yang saling melengkapi. Apakah saya terhegemoni. Biarlah. Aprinus Salam, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM.