BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stroke termasuk penyakit serebrovaskuler penyakit serebrovaskuler (pembuluh (pembuluh darah otak) yang ditandai dengan kematian jaringan otak (infark (infark serebral ) yang terjadi karena berkurangnya aliran alira n darah dan oksigen ke otak. WHO mendefinisikan mendefini sikan bahwa str oke adalah gejalagejalagejala defisit fungsi susunan saraf yang diakibatkan oleh penyakit pembuluh darah otak dan bukan oleh yang lain dari itu. Di Indonesia, stroke merupakan penyakit nomor tiga yang mematikan setelah jantung dan kanker. Bahkan, menurut survei tahun 2004, stroke merupakan pembunuh no.1 di RS Pemerintah di seluruh penjuru Indonesia. Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang terkena stroke. Dari jumlah tersebut, sepertiganya bisa pulih kembali, sepertiga lainnya mengalami gangguan fungsional ringan sampai sedang dan sepertiga sisanya mengalami gangguan fungsional berat yang mengharuskan penderita penderita terus menerus di tempat tidur. Stroke merupakan suatu kondisi yang mempengaruhi jutaan orang Amerika bahkan dunia dan dapat mengakibatkan keterbatasan fungsional kronis secara signifikan dan terjadi penurunan kualitas hidup. Perawat harus terus memantau tren dalam penelitian berkaitan dengan perawatan stroke dan dampak lain dari penyakit tersebut serta mendidik pasien dan keluarga tentang proses pemulihan.
B. Tujuan
1. Mengetahui
vidence E vidence
manajemen
BAK
Based Nursing pada penyakit stroke khususnya dalam
sehingga
dapat
diterapkan
dalam
menerapkan
asuhan
keperawatan serta meningkatkan kualitas hidup pasien. 2. Mengetahui penyebab terjadinya penyakit stroke serta cara penanganannya.
C. Manfaat
1. Bagi Perawat a. Menambah pengetahuan pengetahuan tentang stroke khususnya khususnya penanganan BAK pasie pasien n stroke yang juga terdapat inkontinensia urin berdasarkan
vidence E vidence
Based
Nursing. 1
b. Dapat memberikan intervensi pada klien dengan penyakit penyakit stroke pada lansia. c. Dapat mengetahui prosedur dalam melakukan intervensi pada klien dengan stroke. 2. Bagi Masyarakat Dapat menambah pengetahuan tentang stroke pada lansia. 3. Bagi Klien dan Keluarga Dapat tanggap terhadap t erhadap gejala-gejala gejala-gejala atau faktor r esiko dari penyakit stroke. stroke.
2
BAB II LITERATUR REVIEW
A. Lansia a. Definisi Lanjut
usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Secara biologis
penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ. Secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga dan masyarakat. Menurut Bernice Neugarten (1968) James C. Chalhoun (1995) masa tua adalah suatu masa dimana orang dapat merasa puas dengan keberhasilannya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu : usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun, lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun, lanjut usia tua (old ) 75 ± 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
b. Perubahan pada Lansia
Banyak kondisi dan penyakit yang berkaitan dengan sistem kardiovaskular yang umum di kalangan lansia. Stroke merupakan salah satu penyakit kardiovaskular pada lansia selain infark miokard, hipertensi, angina pektoris, gagal jantung kongestif, penyakit jantung koroner, dan penyakit pada pembuluh darah perifer.
Adapun perubahan yang terjadi pada lansia adalah sebagai berikut: 1. Integumen Warna Kulit
Pigmentasi berbintik/bernoda di area yang terpajan sinar matahari, pucat walaupun tidak ada anemia
3
Kelembaban
Kering, kondisi bersisik
Suhu
Ekstremitas lebih dingin, penurunan perspirasi
Tekstur
Penurunan elastisitas, kerutan, kondisi berlipat dan kendur
Distribusi lemak
Penurunan jumlah lemak pada ekstremitas, peningkatan jumlahnya pada abdomen
2. Rambut Penipisan dan beruban pada kulit kepala, penurunan jumlah rambut aksila dan pubis serta rambut pada ekstremitas, penurunan rambut wajah pada pria, kenungkinan rambut dagu dan di atas bibir pada wanita 3. Kuku Penurunan laju pertumbuhan 4. Kepala Tulang nasal dan wajah menajam dan angular, hilangnya rambut alis mata pada wanita, alis mata tebal pada pria 5. Mata Penurunan ketajaman penglihatan, penurunan akomodasi, penurunan adaptasi dalam gelap, sensitivitas terhadap cahaya yang menyilaukan 6. Telinga Penurunan membedakan nada, berkurangnya refleks ringan, berkurangnya ketajamna pendengaran 7. Hidung dan sinus Peningkatan rambut nasal, penurunan indra pengecapan, atropi papila ujung lateral lidah 8. Mulut dan faring Penggunaan jembatan atau gigi palsu, penurunan indra pengecap, atrofi papila tepi lateral lidah 9.
Leher
Kelenjar tiroid nodular, deviasi trakea ringan akibat atofi otot 10. Toraks dan paru-paru Peningkatan diameter antero-posterior, peningkatan rigiditas dada, peningkata frekuensi pernafasan dengan penurunan ekspansi paru, peningkatan resistansi jalan nafas 11. Sistem jantung dan vaskular Peningkatan signifikan pada tekanan sistolik dengan peningkatan ringan pada tekanan diastolik, biasanya terjadi perubahan yang tidak signifikan pada denyut jantung saat 4
istirahat, murmur diastolik umum, nadi perifer mudah dipalpasi, nadi kaki lebih lemah dan ekstremitas bawah lebih dingin, t erutama pada malam hari 12. Payudara Berkurangnya jaringan payudara, kondisi menggantung dan kendur 13. Sistem gastrointestinal Penurunan sekresi saliva yang dapat menyebabkan kesulitan menelan, penurunan peristaltik, penurunan produksi enzim digestif, termasuk asam hipoklorit, pepsin dan enzim pankreatik, konstipasi, penurunan motilitas 14. Sistem reproduksi Wanita : penurunan estrogen, penurunan ukuran uterus, penurunan sekresi, atrofi linea, epitel vagina Pria : penurunan kadar t estosteron, penurunan jumlah sperma, penurunan ukuran testis
15. Sistem perkemihan Penurunan filtrasi renal dan efisiensi renal, hilangnya protein terus-menerus dari ginjal, nokturia, penurunan kapasitas kandung kemih, peningkatan inkontinensia Wanita : inkontinensia urgensi dan stres akibat penurunan tonus otot perineal Pria : sering berkemih dan retensi urin akibat pembesaran prostat 16. Sistem muskuloskeletal Penurunan massa dan kekuatan otot, demineralisai tulang (lebih jelas pada wanita), pemendekan fosa akibat penyempitan rongga interavertebral, penurunan mobilitas sendi, penurunan rentang gerak sendi, tonjolan tulang lebih meninggi (terlihat) 17. Sistem neurologis Penurunan laju refleks atau otomatik volunter, penurunan kemampuan berespons terhadap stimulasi ganda, insomnia, periode tidur lebih singkat
B. Bladder Training
Bladder training adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik (UMN atau LMN), dapat dilakukan dengan pemeriksaan refleks-refleks:
5
1. Refleks otomatik
Refleks melalui saraf parasimpatis S2-3 dan simpatis T12- L1,2, yang bergabung menjadi n.pelvikus. Tes untuk mengetahui refleks ini adalah tes air es ( ice water test ). Test positif menunjukkan tipe UMN sedangkan bila negatif (arefleksia) berarti tipe LMN.
2. Refleks somatic
Refleks melalui n.pudendalis S2-4. Tesnya berupa tes sfingter ani eksternus dan tes refleks bulbokarvernosus. Jika tes-tes tersebut positif berarti tipe UMN, sedangkan bila negatif berarti
LMN
atau tipe UMN fase syok spinal.
Langkah-langkah Bladder Training:
1. Tentukan dahulu tipe kandung kemih neurogeniknya apakah UMN atau
LMN
2. Rangsangan setiap waktu miksi 3. Kateterisasi: a. Pemasangan indwelling cathether (IDC)=dauer cathether
IDC dapat dipasang dengan sistem kontinu ataupun penutupan berkala (clamping). Dengan pemakaian kateter menetap ini, banyak terjadi infeksi atau sepsis. Karena itu kateterisasi untuk bladder training adalah kateterisasi berkala. Bila dipilh IDC, maka yang dipilih adalah penutupan berkala oleh karena IDC yang kontinu tidal fisiologis dimana kandung kencing yang selalu kosong akan mengakibatkan kehilangan potensi sensasi miksi serta terjadinya atrofi serta penurunan tonus otot. b.
K ateterisasi
berkala
Keuntungan kateterisasi berkala antara lain: y
Mencegah terjadinya tekanan intravesikal yang tinggi/overdistensi yang mengakibatkan aliran darah ke mukosa kandung kencing dipertahankan seoptimal mungkin.
y
Kandung kencing dapat terisi dan dikosongkan secara berkala seakan-akan berfungsi normal.
y
Bila dilakukan secara dini pada penderita cedera medula spinalis, maka penderita dapat melewati masa syok spinal secara fisiologis sehingga fedback ke medula spinalis tetap terpelihara.
y
Teknik yang mudah dan penderita tidak t erganggu kegiatan sehari-harinya 6
4. Penatalaksanaan gangguan fungsi miksi pada lesi medula a. Lesi kauda Ekuina
Penatalaksanaan pada pasien dengan lesi kauda ekuina memerlukan perhatian khusus. Pada umumnya ditemukan kandung kencing yang arefleksi (nonkontraktil) dan miksi dilakukan dengan bantuan manipulasi Crede atau Valsava.
Lesi
umumnya
inkomplit atau tipe campuran dan berpotensi untuk mengalami penyembuhan. Pemeriksaan urodinamik mungkin menunjukkan sfingter uretral eksternal yang utuh dan demikian dengan lesi suprakonus mungkin mengalami kesulitan dalam miksi kecuali bila terdapat tekanan intravesikal yang penuh yang dapat mengakibatkan refluksi vesikoureteral. Pada pasien ini didapatkan kerusakan pada persarafan parasimpatis dengan persarafan simpatis yang utuh atau mengalami reinervasi dimana leher kandung kencing mungkin tidak dapat membuka dengan baik pada waktu miksi. b.
Sindroma
Medula Spinalis Sentral
Neurogenic bladder akibat lesi inkomplit seperti lesi medula spinalis sentral dapat diperbaiki pada lebih dari 50% pasien. Disamping disfungsi neurologis yang berat dalam minggu-minggu pertama, pemulihan fungsi kandung kencing dapat terjadi terutama karena serabut kandung kencing terletak perifer pada medula spinalis.
C.
Stroke
a. Definisi
Stroke didefinisikan sebagai suatu manifestasi klinik gangguan peredaran darah otak yang menyebabkan defisit neurologik (WHO, 1971). Stroke atau juga dikenal dengan cedera serebrovaskular (CVS) merupakan kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak. Individu yang terutama
beresiko
mengalami
CVS
adalah
lansia
dengan
hipertensi,
diabetes,
hiperkolesterolemia, atau penyakit jantung. Pada CVS, hipoksia serebral yang menyebabkan cedera dan kematian sel neuron.
b. Epidemiologi
Di seluruh bagian dunia, stroke merupakan penyakit yang terutama mengenai populasi usia lanjut. Insidensi pada usia 75-84 tahun sekitar 10 kali dari populasi 5564 tahun. Di Inggris stroke merupakan penyakit kedua setelah infark miokard akut 7
(AMI) sebagai penyebab kematian utama usia lanjut, sedangkat di Amerika stroke masih
merupakan
penyebab
kematian
usia
lanjut
ketiga.
Dengan
makin
meningkatnya upaya pencegahan terhadap penyakit hipertensi, diabetes mellitus, dan gangguan lemak, insiden stroke di Negara-negara maju makin menurun. Di Perancis stroke disebut sebagai serangan otak yang menunjukkan analogi kedekatan stroke dengan serangan jantung.
c. Penyebab
Stroke biasanya disebabkan karena salah satu dari 4 kejadian berikut : 1. Thrombosis. Aterosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah penyeban utama thrombosis serebral dan merupakan penyebab yang paling umum terjadi. Tanda-tanda thrombosis serebral ini bervariasi. Sakit kepala merupakan awitan yang tidak umum terjadi. Beberapa pasien mengalami pusing, perubahan kognitif, atau kejang, dan beberapa mengalami awitan yang tidak dapat dibedakan dari hemoragi intraserebral atai embolisme serebral. Secara umum thrombosis serebral tidak terjadi secara tiba-tiba, dan kehilangan bicara sementara, hemiplegia, atau parastesia pada setengah tubuh dapat menjadi awitan paralisis berat pada beberapa jam atau hari. Thrombosis ini tidak hanya terjadi pada pembuluh darah otak tetapi dapat juga terjadi di pembuluh darah leher. 2. Embolisme serebral (bekuan darah ata u material lain yang dibawa ke otak dari bagian tubuh yang lain). Abnormalitas patologik pada jantung kiri, seperti endocarditis infektif, penyakit jantung reumatik, dan infark miokard, serta infeksi pulmonal, adalah tempat-tempat asal emboli. Embolus biasanya menyumbat arteri serebral tengah, atau cabang-cabangnya yang merusak sirkulasi serebral. 3. Iskemia serebral Iskemia serebral (insufisiensi suplai darah ke otak) terutama karena konstriksi atheroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak. 4. Hemoragi serebral Hemoragi dapat terjadi diluar durameter (ekstradural atau epidural), dibawah durameter (subdural), diruang subarachnoid (hemoragi subarakhnoid), atau dalam substansia otak (hemoragi intraserebral). Hemoragi intraserebral merupakan yang paling umu terjadi pada pasien dengan hioertensi dan aterosklerosis serebral, 8
karena perubahan degenerative menyebabkan terjadinya rupture pembuluh darah. Stroke sering terjasi pada kelompok usia 40-70 tahun.
d. Jenis Stroke
Berdasarkan proses patologi dan gejala klinisnya stroke dapat diklasifikasikan menjadi : 1. Stroke hemoragik Terjadi perdarahan cerebral dan mungkin juga perdarahan subarachnoid yeng disebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Umumnya terjadi pada saat melakukan aktifitas, namun juga dapat terjadi pada saat istirahat. Kesadaran umumnya menurun dan penyebab yang paling banyak adalah akibat hipertensi yang tidak terkontrol.
2. Stroke non hemoragik Dapat berupa iskemia, emboli, spasme ataupun thrombus pembuluh darah otak. Umumnya terjadi setelah beristirahat cukup lama atau angun tidur. Tidak terjadi perdarahan, kesadaran umumnya baik dan terjadi proses edema otak oleh karena hipoksia jaringan otak. Stroke non hemoragik dapat juga diklasifikasikan berdasarkan perjalanan penyakitnya, yaitu : 1. TIA¶S (Trans Ischemic Attack) yaitu gangguan neurologist sesaat, beberapa menit atau beberapa jam saja dan gejala akan hilang sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam. 2. Rind (Reversible Ischemic Neurologis Defict) Gangguan neurologist setempat yang akan hilang secara sempurna dalam waktu 1 minggu dan maksimal 3 minggu.. 3. Stroke in Volution Stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan yang muncul semakin berat dan bertambah buruk. Proses ini biasanya berjalan dalam beberapa jam atau beberapa hari. 4. Stroke Komplit Gangguan neurologist yang timbul bersifat menetap ata u permanent.
9
e. Faktor Resiko Faktor
yang dapat dikendalikan:
a. Hipertensi, faktor resiko utama. Pengendalian stroke merupakan kunci untuk mencegah stroke b. Kolesterol tinggi c. Penyakit Jantung, serebral berasal dari jantung. Penyakit arteri koronaria, gagal jantung kongestif, hipertofi ventrikel kiri, abnormalitas irama, penyakit jantung kongestif d. Merokok e. Obesitas f. Stress g. Diabetes h. Peningkatan hematocrit mengingkatkan resiko infark serebral i.
Diabetes, dikaitkan dengan aterogenesis terakselerasi
j.
Kontrasepsi oral (khususnya dengan disertai hipertensi, merokok, dan kadar esterogen tinggi)
k. Merokok l.
Penyalahgunaan obat
m. Konsumsi alcohol Faktor
yang tidak dapat dikendalikan:
a. Pertambahan usia b. Keturunan
f.
1.
Manifestasi K linis
Deficit neurologis
Manifestasi
Deficit
Homonimus
-
lapang
hemianopsia
penglihatan
Tidak menyadari orang atau objek tempat kehilangan penglihatan
-
Mengabaikan salah satu sisi tubuh
-
Kesulitan menilai jarak
10
2.
Deficit
Kehilangan
-
Kesulitan melihat pada malam hari
penglihatan
-
Tidak menyadari objek atau batas objek
perifer
-
Penglihatan ganda
diplopia
Penglihatan ganda
hemiparises
Kelemahan wajah, lengan, dan kaki pada sisi yang
motorik
sama (karena lesi pada hemisfer yang berlawanan) hemiplegia
Kelemahan wajah, lengan, dan kaki pada sisi yang sama (karena lesi pada hemisfer yang berlawanan)
Ataksia
-
Berjalan tidak tegak
-
Tidak mampu menyatukan kaki, perlu pijakan yang luas untuk berdiri
3.
Deficit
disartria
Kesulitan dalam membentuk kata
disfagia
Kesulitan dalam menelan
Parestesia
-
Kebas dan kesemutan pada bagian tubuh
-
Kesulitan dalam propriosepsi
sensori 4.
Deficit
Afasia ekspresif
verbal
Tidak mampu membentuk kata yang dapat dipahami ; mungkin mampu berbicara dalam respon kata tunggal
5.
6.
Afasia represtif
Tidak mampu memahami kata yang dibicarakan
Afasia global
Kombinasi dari afasia reseptif dan afasia ekspresif
Deficit
-
Kehilangan memori jangka pendek dan panjang
kognitif
-
Penurunan lapang panjang perhatian
-
Kerusakan kemampuan untuk berkonsentrasi
-
Perubahan penilaian
Deficit
-
Kehilangan kontrol diri
emosional
-
Labilitas
-
Penurunan
emosional toleransi
pada
situasi
yang
menimbulkan stress -
Depresi
-
Menarik diri
-
Rasa takut, bermusuhan dan marah
-
Perasaan isolasi
11
Selain defisit neurologis yang sudah dijelaskan diatas, pasien stroke juga mengalami disfungsi kandung kemih. Setelah stroke pasien mungkin mengalami inkontinensia urinarius sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal/bedpan, karena kerusakan control motoric dan postural. Kadang-kadang setelah stroke kandung kemih menjadi atonik, dengan kerusakan sensasi dalam pengisian kandung kemih. Kadang-kadang control spinkter urinarius eksternal hilang atau berkurang. Perbandingan stroke hemisfer kiri dan kanan Hemisfer kiri
Hemisfer kanan
y
Paralisis pada tubuh kanan
y
Paralisis pada sebelah kiri tubuh
y
Defek lapang pandang kanan
y
Defek lapang penglihatan kiri
y
Afasia
y
Deficit persepsi
y
Perubahan kemampuan intelektual
y
Peningkatan distrakbilitas
y
Perilaku lambat dan kewaspadaan
y
Perilaku impulsive dan penilaian buruk
y
Kurang kesadaran
Tanda bahaya stroke:
Tiba-tiba mati rasa atau kelemahan pada wajah, lengan, atau kaki, terutama pada satu sisi tubuh
Kebingungan tiba-tiba, kesulitan berbicara atau pemahaman
Mendadak kesulitan untuk melihat pada satu atau kedua mata
Tiba-tiba kesulitan berjalan, pusing, kehilangan keseimbangan atau koordinasi
Mendadak sakit kepala parah dan tidak diketahui penyebabnya
g. Patofisiologi
Cedera vascular serebral (CVS), yang sering disebut dengan stroke, adalah cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak. 1. Stroke Hemoragik Stroke Hemoragik terjadi apabila pembuluh darah di otak pecah sehingga menyebabkan iskemia dan hipoksia si sebelah hilir. Penyebab stroke hemoragi 12
antara lain: hipertensi, pecahnya aneurisma, malformasi arteri venosa. Pembuluh darah otak yang pecah menyebabkan darah mengalir ke substansi atau ruangan subarachnoid yang menimbulkan perubahan komponen intracranial yang seharusnya konstan. Adanya perubahan komponen intracranial yang tidak dapat dikompensasi tubuh akan menimbulkan peningkatan TIK yang bila berlanjut akan menyebabkan herniasi otak sehingga timbul kematian. Di samping itu, darah yang mengalir ke substansi otak atau ruang subarachnoid dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh darah otak dan penekanan pada daerah tersebut menimbulkan aliran darah berkurang atau tidak ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak. 2. Stroke Iskemik Penyumbatan arteri yang menyebabkan stroke iskemik dapat terjadi akibat thrombus (bekuan darah di arteri serebri) atau embolus (bekuan darah yang berjalan ke otak dari tempat lain di tubuh). a. Stroke Trombotik Stroke trombotik terjadi akibat onklusi aliran darah, biasanya karena aterosklerosis berat. Sering kali individu mengalami satu atau lebih serangan iskemik sementara (transient ischemic attack, TIA) sebelum stroke trombotik yang sebenarnya terjadi. TIA adalah gangguan fungsi otak singkat yang reversible akibat hipoksia serebral. TIA mungkin terjadi ketika pembuluh darah aterosklerosis mengalami spasme, atau saat kebutuhan oksigen otak meningkat dan kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi karena aterosklerosis yang berat. Trombus umumnya terjadi karena berkembangnya aterosklerosis pada dinding pembuluh darah, sehingga arteri menjadi tersumbat, aliran darah ke area thrombus menjadi berkurang, menyebabkan iskemia kemudian menjadi kompleks iskemia akhirnya terjadi infark pada jaringan otak. Berdasarkan definisi TIA berlangsung kurang dari 24 jam. TIA yang sering terjadi menunjukkan kemungkinan terjadinya stroke trombotik yang sebenarnya. Stroke trombotik biasanya berkembang dalam periode 24 jam. Selama periode perkambangan stroke, individu dikatakan mengalami stroke in evolution. Pada akhir periode tersebut, individu dikatakan mengalami stroke lengkap (completed stroke).
13
b. Stroke Embolik Stroke Embolik berkembang setelah oklusi arteri oleh embolus yang terbentuk di luar otak. Sumber umum embolus yang menyebabkan stroke adalah jantung setelah infark miokardium atau fibrilasi atrium, dan embolus yang merusak arteri karotis komunis atau aorta. Emboli disebabkan oleh embolus yang berjalan menuju arteri serebral melalui arteri karotis. Terjadinya blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia yang tiba-tiba berkembang cepat dan terjadi gangguan neurologist fokal. Perdarahan otak dapat disebabkan oleh pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli.
h. Penatalaksanaan
1. Pada pasien yang CVSnya dapat diidentifikasi bersifak iskemik, agen trombolitik, seperti aktivatorplasminogen jaringan (tissueplasminogen activator, TPA) dapat diberikan. TPA harus diberikan sedini mungkin (minimal 3 jam pertama serangan) agar lebih efektif dalam mencegah kerusakan jangka panjang. Akantetapi berbahayajika mengatasi stroke hemoragik dengan trombolitik karena agen ini dapat meningkatkan perdarahan dan memperburuk hasil 2. Stroke hemoragik dapat diatasi dengan penekanan pada perhentian perdarahan dan pencegahan kekambuhan. Mungkin diperlukan pembedahan 3. Terapi obat yang menghambat saluran ion yang mendeteksi asam dikembangkan untuk membatasi kerusakan akibat stroke 4. Semua pasien stroke diterap dengan tirah baring dan penurnan stimulus eksernal untuk mengurangi kebutuhan oksigen serebral. Tindakan untuk menurunkan tekanan dan edema intracranial dapat dilakukan 5. Terapi fisik, bicara, dan okupasional sering perlu dilakukan.
i.
Pemeriksaan Diagnosis y
Diagnosis CVS yang cepat sangat penting untuk meminimalkan kerusakan. CT scan adalah metode pilihan untuk penkajian tanda akut CVS. CT sangat sensitive terhadap hemoragik, suatu pertimbangan penting karena ada perbedaan vital pada terapi stroke iskemik versus stroke hemoragik. CT scan berfungsi untuk melihat jenis patologi, lokasi lesi, ukuran lesi, menyingkirkan lesi non vaskuler.
y
MRI lebih sensitif dalam mengidentifikasi kerusakan otak
dari pada CT scan,
tetapi MRI lebih lambat dari pada CT scan. Jadi dalam keadaan darurat lebih di 14
pilih memakai CT scan. Akan tetapi, setelah penggunaan awal memakai CT scan, MRI direkomendasikan untuk menentukan lokasi kerusakaan
yang tepat dan
memantau lesi. y
Hitung darah tepi lengkap: diskrasia darah, polisitemia, trombositopenia atau trombositosis atau infeksi sebagai faktor risiko stroke.
y
Waktu protrombin, waktu protrombin parsial: ditujukan kepada penderita dengan antibodi antifosfolipid (waktu protrombin parsial memanjang).
y
Analisa urin: hematuria terjadi pada endokarditis bakterialis subakut (SBE) dengan stroke iskemik oleh karena emboli.
y
Kecepatan sedimentasi (LED): peningkatan
LED
menunjukkan kemungkinan
adanya vaskulitis, hiperviskositas atau (SBE) sebagai penyebab stroke. y
Kimia darah: peningkatan kadar glukosa, kolesterol atau trigliserida dalam darah.
y
Foto
rontgen dada: pelebaran ukuran jantung sebagai suatu sumber emboli pada
suatu stroke atau akibat hipertensi lama; dapat menemukan suatu keganasan yang tidak diduga sebelumnya. y
Elektrokardiogram: dapat menunjukkan adanya aritmia jantung, infark miokard baru, atau pelebaran atrium kiri.
j.
K omplikasi 1.
Individu yang mengalami CVS mayor pada bagian yang mengontrol respon pernapasan atau kardiovaskuler dapat menyebabkan kematian. Destruksi area ekspresif atau represif pada otak akibat hipoksia dapat menyebabkan kesulitan komunikasi. Hipoksia pada area motoric otak dapat paresis. Perubahan emosional dapat terjadi pada kerusakan korteks yang mencakup system limbic.
2.
Hematoma intraserebral dapat disebabkan oleh pecahnya aneurisma atau strok hemoragik yang menyebabkan cedera otak sekunder ketika tekanan intracranial meningkat.
15
BAB III ISI JURNAL
A. Jurnal
Judul
: Bladder management and the functional outcome of elderly ischemic
stroke patients
B.
Pengarang
: E.H. Mizrahi , A.Waitzman , M.Arad , T.Blumstein , A.Adunksy
Tahun terbit
: 2010
K asus
Tn. M (62 tahun) didiagnosis stroke non hemoragik sejak 3 bulan yang lalu. Tn. M mengalami hemiparese dextra, sehingga harus bedrest di rumah, dan juga afasia. Sepuluh hari yang lalu Tn. M mengalami serangan stroke kembali dan dibawa ke rumah sakit, namun saat ini Tn. M sudah kembali ke rumahnya. Tn. M hanya tinggal berdua dengan istrinya Ny. P (58 th), anaknya hanya sesekali datang menengoknya. Sudah 3 hari terakhir ini Tn. M sering ngompol, sehingga Ny. P kelelahan untuk membersihkan dan mengganti sprei. Ny. P bingung harus bagaimana lagi dan menanyakan masalah ini ke Ns. A yang bekerja sebagai perawat home care yang bertugas di rumah Tn. M, kemudian Ns. A mencari solusi yang tepat untuk masalah Tn. M.
PICO : P : Pasien lansia stroke dengan inkontinensia urin I : Bladder Manajemen C:O : Peningkatan pasien dala m menahan BAK
Pertanyaan klinis : Adakah terapi untuk mengatasi masalah inkontinensia urin pada pasien stroke ?
16
C. Isi Jurnal
Latar Belakang Jurnal
Dahulu para ilmuan telah membuat teori tentang penuaan seperti Aristoteles dan Hipocrates yang berisi tentang suatu penurunan suhu tubuh dan cairan secara umum. Sekarang dengan seiring jaman banyak orang yang melakukan penelitian dan penemuan dengan tujuan supaya ilmu itu dapat semakin jelas, komplek dan variatif. Ahli teori telah mendeskripsikan proses biopsikososial penuaan yang kompleks. Tidak ada teori yang menjelaskan teori penuaan secara utuh. Semua teori masih dalam berbagai tahap perkembangan dan mepunyai keterbatasan. Namum perawat dapat menggunakannnya untuk memahami fenomena yang mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan klien lansia. Proses menjadi tua itu pasti akan dialami oleh setiap orang dan menjadi dewasa itu pilihan.penuaan bukan progresi yang sederhana, jadi tidak ada teori universal yang diterima yang dapat memprediksi dan menjelaskan kompleksitas lansia. Stroke merupakan penyebab utama ketidakmampuan secara meyeluruh pada tubuh seseorang (Murray dan
Lopez,
1997) dan penyebab kedua pemicu kematian.
Masalah inkontinensia urin dan bladder management merupakan masalah yang terjadi setelah stoke dan 60 % dari pasien membutuhkan rehabilitasi lingkungan. (Borrie et al). Secara umum, prediksi pada pasien yang mengalami pemburukan fungsi tubuh setelah terjadinya stroke akut antara lain dapat diidentifikasi pada usianya, inkontinensia urin, kelemahan kognitif, delirium dan tingkat dukungan sosial (Wilkinson et al 1997). Contoh pada komunitas pasien lansia yang terkena stroke dan dengan kondisi kelemahan kognitif dan inkontinensia urin mereka lebih menderita kemunduran fungsi tubuh. Pasca-Stroke yang mengalami masalah pada kandung kemih merupakan resiko tinggi ketidakmampuan, kematian, dan memerlukan
perawatan institusional secara
menyeluruh. Dalam studi pencarian sumber dengan menggunakan kriteria kolaborasi Cohrane, manajemen masalah kandung kemih hasil dari inkontinensia urin yang terjadi selama kurun waktu 6-12 bulan setelah onset stroke. Beberapa penyebab dari kelemahan kandung kemih tidak hanya terjadi setelah stroke, pada otot dekstruktor yang bergerak hiperaktif, namun kondisi tersebut mengalami kesalahan sehingga menyebabkan ketidakmampuan neuron motorik atas, tetapi juga gabungan dari kondisi hypoactive detrusor atau kondisi ketidaknormalan urodinamik. Dalam kondisi ini, otot yang lain seperti kemampuan bahasa dan beberapa dampak dari stroke secara spesifik 17
seperti kelemahan kognitif memyebabkan kemampuan pemenuhan basal melemah, hasil berbeda pada tingkatan kelemahan bladder. Dari sini kondisi klinis inkontinensia urin dapat teridentifikasi, hal kecil yang dapat kita tahu tentang hubungan yang mungkin terjadi antara level bladder manajement dan hasil dari fungsi tubuh dalam FIM
score. Inkontinensia urin mungkin tidak relevan terhadap ketidakmampuan pasien
mengatur kondisi tersebut. Tujuan dari penelitian dalam jurnal ini adalah mengevaluasi kondisi, dan mengetahui apakah tingkatan perawatan manajemen kandung kemih berhubungan terhadap fungsi tubuh secara umum pada pasien lansia yang terkena stroke. Pada penelitian ini juga mengkaji pada evaluasi rehabilitasi yang potensial dan mungkin dilakukan secara tidak realistik oleh staf medik dan car egiver.
Setting
Pusat rehabilitasi geriatri terdiri dari 36 unit tempat tidur. Departemen ini terdiri dari berbagai macam tim interdisiplin yaitu ahli geriatri, fisioterapi, perawat, terapis rehabilitasi (fisik, okupasi dan bicara), pelayanan sosial, dan psikolog yang bertemu 2 kali seminggu untuk megevaluasi status masing-masing pasien. Selama pertemuan ini ditetapkan rencana pengobatan dan integrasi staf serta promosi rehabilitasi yang efektif. Tipe pasien yaitu yang menjalani terapi fisik dan okupasi lebih dari 6 jam per minggu.
Management Bladder FIM
bladder score terdiri dari 5 point atau kurang mengidentifikasi management
level bladder yang tergantung (butuh bantuan : 1- bantuan total, 2- bantuan maksimal, 3- bantuan moderate, 4- kontak minimal, 5- perlu pengawasan) sedangkan score yang lebih
tinggi
(6-
modified
independence,
7-
com plete
independence ) yang
mengindikasikan level manajemen bladder pasien secara mandiri/tidak memerlukan bantuan. Analisis Data
Membandingkan antara 2 group pasien ( Low Bladder Manage ment Score dan High-BMS) yang didefinisikan berdasarkan data demografi dan karakteristik klinis, yang
dianalisis
menggunakan
t-tests,
chi-square
test,
dan
regresi
untuk 18
mengidentifikasi
adanya
bias.
Analisis
yang
terpisah
menunjukkan
adanya
penghitungan total dan motor FIM score, yang sama kecocokannya. Yang pada akhirnya didapatkan score management bladder dan kedua variabel yang berhubungan signifikan dengan score FIM. Statistik ini menggunakan p < 0.05. SPSS dan Windows versi 11.0 digunakan untuk menganalisis.
Hasil
Total pasien sejumlah 1187 dengan stroke akut. 268 pasien masuk dala m criteria eksklusi karena usia <60 tahun, stroke jenis hemorhagic, data yang hilang, rehabilitasi yang lebih pendek dari 7 hari dan meniggal di RS. Jumlah total pasien untuk analisis data sebanyak 919 orang dengan stroke iskemik selama 7 tahun. Tingkat manajemen kandung kemih ditentukan oleh F ungtional Independent Measure ment (FIM) sub-skala core relevan dengan control kandung kemih. Skor ( FIM) kurang dari 5 poin ditentukan sebagai rendahnya manajemen kandung kemih ( Low-BMS) sementara skor FIM lebih besar dari 5 ditentukan sebagai nilai manajemen kandung kemih tinggi ( High-BMS). Terdapat 594 pasien kandung kemih dengan skor manajemen bladder rendah ( Low-BMS) dan 325 pasien dengan skor manajemen bladder tinggi ( High-BMS), saat masuk. Dibandingkan dengan High-BMS, pasien 0,002), rata-rata usia pasien dengan
Low
Low-BMS
sedikit lebih tua (p =
BMS adalah 76,32 tahun sedangkan pada
pasien dengan High BMS adalah 74,59 tahun. Selain itu pasien dengan Low BMS menunjukkan rehabilitasi yang lebih lama (p <0,001) dan skor Mini Mental State Examination
pada
(MMSE) yang rendah (p <0,001). Total skor FIM saat masuk dan keluar
Low-BMS
lebih rendah, namun jumlah total skor FIM pada saat keluar lebih
tinggi, dibandingkan dengan High-BMS (19,5 Analisis regresi
16,46
vs 12,55
multiple linear menunjukkan bahwa total
FIM
17.59, p= 0,07). pada saat keluar
berbanding terbalik dikaitkan dengan Low-BMS saat masuk (beta =- 0,407; p <0,001) dan umur (beta = -0,127; p <0,001).
Skor tinggi MMSE (beta = 0,334; p <0,001)
muncul sebagai prediksi total skor FIM yang lebih tinggi pada saat keluar.
Low
BMS
secarain dependen prediktif untuk total skor FIM pada saat keluar (beta = 0,166; p <0,001). Temuan menunjukkan bahwa pasien dengan
Low-BMS
hasil rehabilitasi pada pasien stroke usia tua. Namun, pasien
dapat mempengaruhi
Low-BMS
memperoleh
keuntungan yang signifikan yaitu peningkatan skor FIM.
19
Pembahasan
Penelitian ini lebih menekankan pada tingkat manajemen bladder daripada inkontonensia post stroke. Disini ditunjukkan cara yang berbeda untuk mengamati fungsi blader yang menunjukkan kompleksivitas dalam mengevaluasinya yang banyak kesulitan dalam praktik sehari-hari yang dialami oleh pasien dan caregiver, selain itu juga kondisi lain yang menyertai terkait distress, frustasi dan rasa malu. Kondisi ini menunjukkan perbedaan perilaku pasien yang didiagnosis inkontinensia post stroke yang terkaji melalui klinik atau melalui tes urodinamik. Hal ini menjadi penting semenjak manajemen sindrom klinik tidak menujukan isu praktik yang baik, dihubungkan dengan kesulitan bladder manajemen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menunjukan pencapaian fungsional dari pasien stroke lebih baik ketika dilakukan penilaian dengan scoring bladder manajemen kepada mereka. Ada hubungan positif dari perbedaan level manajemen bladder dengan skor FIM, dengan skor bladder yang rendah memprediksikan penurunan pengeluaran total
FIM
dan total peningkatan FIM. Hubungan tersebut tidak tergantung pada faktor prognosis, tetapi tergantung pada pusat kognitif serta usia. Yang dikenal memerankan prognosis mayor pada rehabilitasi stroke. Secara umum penelitian ini menunjukkan secara signifikan outcome fungsional pasien yang merugikan ketika menunjukan skor bladder yang rendah. Efek merugikan ini juga dipengaruhi oleh indicator kunci lainnya dari kesuksesan rehabilitasi yang berhubungan dengan meningkatnya fasilitas reabilitasi pasca rumah sakit. Akhirnya penelitian ini kemungkingan dikritisi terkait tidak digunakannya analisis Rasch ; analisis linear ataupun interval penggunaan penelitian outcome
FIM
FIM
masih populer digunakan serta
untuk memonitor perubahan selama rehabilitasi
pasien, mudahnya karena kebanyakan data FIM terlihat tertutup pada model konvensional.
Disamping
keterbatasan
ini,
penelitian
selanjutnya
akan
lebih
menguntungkan jika menggunakan sampel pasien lebih banyak. Program rehabilitasi semacam ini dirancang untuk menangani pasien lansia yang mengalami strok, hal tersebut dapat menurunkan derajat seleksi bias serta meningkatkan validitas dari penelitian. Kesimpulan dari outcome fungsional pada pasien lansia yang mengalami stroke iskemi lebih menguntungkan dibandingkan dengan scoring tinggi manajemen bladder . Namun demikian, skor bladder yang rendah tidak seharusnya memegang efek samping 20
dari kurangnya keberhasilan peningkatan fungsional selama rehabilitasi. Percobaan klinis dibutuhkan untuk menilai kemungkinan efek dari perbedaan intervensi dari manajemen bladder atau outcome fungsional.
Penerapan di Indonesia
Intervensi Bladder Management untuk pasien pasca stroke dapat diterapkan di Indonesia.
21
BAB IV IMPLIK ASI K EPERAWATAN
1. Perawat sebagai pendidik Perawat dapat berperan memberikan pendidikan dan pengetahuan mengenai stroke
pada
lansia,
menghubungkannya
bagaimana dengan
EBN
asuhan terkait,
keperawatannya, khususnya
dan
intervensi
mampu atau
penanganannya.
2. Perawat sebagai klinisi -
Sebagai klinisi, perawat mampu menerapkan asuhan keperawatan yang tepat dan mampu memilih intervensi yang lebih efektif dan terbukti secara ilmiah kepada klien dengan gangguan inkontinensia urin pasca stroke.
-
Menerapkan management bladder training kepada pasien stroke sesuai dengan EBN.
3. Perawat sebagai advocator Perawat berperan sebagai melindungi hak-hak pasien untuk mendapatkan pengobatan yang tepat pada pasien.
4. Perawat sebagai peneliti Perawat mampu mengembangkan penelitian terkait masalah stroke maupun gejala sisa pasca stroke
22
BAB V PENUTUP
A.
K esimpulan
Dalam jurnal manajemen bladder diatas terdapat 594 pasien dengan Low-BMS dan 325 pasien dengan High-BMS. Rata-rata usia pasien Low-BMS sedikit lebih tua dibandingkan dengan pasien High-BMS, serta pasien dengan Low BMS menunjukkan rehabilitasi yang lebih lama dibandingkan dengan pasien High-BMS. Namun, jumlah total skor FIM pada pasien Low BMS saat keluar lebih tinggi, dibandingkan dengan pasien High-BMS. Pasien dengan
Low-BMS
dapat mempengaruhi hasil rehabilitasi
pada pasien stroke usia tua yang mempunyai score MMSE rendah. Na mun, pasien LowBMS memperoleh keuntungan yang signifikan yaitu peningkatan skor FIM.
B.
Saran
1. Bagi mahasiswa Meningkatkan pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan stroke khususnya penanganan BAK pasien stroke yang juga terdapat inkontinensia urin. 2. Bagi perawat Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan asuhan keperawatan bagi pasien stroke khususnya penanganan BAK pasien stroke yang juga terdapat inkontinensia urin. 3. Bagi masyarakat -
Ikut serta dalam upaya pencegahan stroke.
-
Mendukung keluarga yang menderita stroke dengan tanggap terhadap gejala dan faktor resikonya.
23
DAFTAR PUSTAK A
Corwin E.J, 2007, Buku Saku Patofisologi E disi 3, Jakarta : EGC http://rajawana.com/artikel/kesehatan/345-stroke.html akses 16 Mei 2011 http://www.damandiri.or.id/file/ratnasuhartiniunairbab2.pdf akses 15 Mei 2011 http://www.sciencedirect.com/science?_ob=ArticleUR L& _udi=B6T4H-50S2D4G2& _user=10& _coverDate=08%2F12%2F2010& _alid=1755420179 & _rdoc=1& _fmt=high& _o rig=search& _origin=search& _zone=rslt_list_item& _cdi=4975 & _docanchor=&view=c& _ct=8 37& _acct=C000050221 & _version=1 & _urlVersion=0& _userid=10 &md5=620f332ac6f72cb89 0c31e0714b00f9f &searchtype=a Mauk, Kristen
L.
2006. Gerontological Nursing: Competencies
For
Care. USA: Jones and
Bartlett Publishers, Inc. Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Volume 1. Jakarta : EGC
24