Stopsite Garam Desa Jono
Pada stopsite ke 12 ini merupakan tempat pembuatan garam yang apabila dilihat secara geologi merupakan suatu kenampakan air cebakan formasi ( connate water ) yang dimanfaatkan sebagai tambak garam darat dengan jenis garam berupa bleng atau atau cetitet.
Lokasi
Gambar. Lokasi pembuatan garam darat di Desa Jono.
Stopsite ini berada di Desa Jono, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan dengan koordinat: x: 497920 y: 9216494 z: 34
Aspek Geologi dan Geomorfologi
Proses geologi yang terjadi di daerah tambak garam Jono sama seperti proses geologi yang terjadi di daerah situs Sangiran. Di daerah ini pada saat zaman pleosen tengah kawasan sebelah utara masih berupa laut lepas yaitu berupa laut tertutup. Kemudian untuk beberapa kali mengalami suatu proses pengangkatan sehingga akhirnya terbentuk suatu daratan. Pada zaman pleosen atas terjadi proses pengangkatan.dan sangat intensif terjadi di utara. Pada saat itu antiklinarium Rembang, Gemolong sudah terbentuk, sedangkan Sangiran baru terbentuk. Zaman pleosen atas kemudian masa transgresi kemudian air laut jadi menggenang. Air laut
naik secara drastis. Transgresi menyebabkan air laut susut. Kemudian bakal Kendeng, Rembang, Gemolong dan Sangiran naik sehingga terjadi genangan atau danau-danau air asin. Merupakan sisir laut yang terjebak. Di utara dibatasi oleh antiklin Rembang. Selatan di batasi oleh igir Kendeng, sedangkan bagian timur oleh gunung Lawu. Dan akhirnya sedimentasi berjalan, sehingga danau-danau air asin terse but, sehingga air laut terjebak dalam sedimentasi tersebut dan menjadi air connate (air fosil) yang mempunyai kandungan garam tinggi. Sedangkan dari aspek geomorfologi merupakan Mintanat Randu Blantung yang merupakan suatu zona atau drepresi atau cekungan yang dibatasi di bagian selatan oleh igir Kendeng sedangkan di bagian utara oleh antiklinarium Rembang.
Hidrologi
Keadaan hidrologi atau kondisi air di daerah tambak garam Jono airnya termasuk air purba. Dimana terjadi jebakan (connate water), yaitu kubah garam besar yang merupakan hasil aktivitas laut pada zaman purba. Faktor penyebab terjadinya connate water: 1. Adanya faktor panas: yang disebabkan adanya kontak dengan magmatisme. 2. Adanya proses yang menyebabkan air naik ke atas karena adanya tekanan yang memanasi air connate atau air fosil tersebut yang mempunyai kandungan garam yang tinggi. 3. Suhu yang ada di bawah lebih tinggi dari suhu air maksimal yitu 45 C minimal
18 C.
Tanah
Jenis tanah di kawasan Jono adalah regosol dari bahan induk endapan pasir dari pantai dan endapan fluvial marin di dataran aluvial pantai. Tekstur tanah pasir hingga lempung berpasir, struktur berbutir tunggal, konsistensi lepas, drainase sedang hingga buruk, kandungan garam tinggi, kesuburan dan potensi tanah rendah. Tanah ini hanya cocok untuk lahan tambak, misal: tambak garam maupun tambak bandeng. Daerah ini mempunyai tingkat kesuburan tanah yang kurang karena tanahnya yang kembang kerut sulit mendapatkan permukaan tanah yang panas atau dengan suhu yang tinggi pada saat musim kemarau,sehingga produktifitas pertaniannya rendah.
Kondisi Sosial Masyarakat
Sebagian besar masyarakat di sini bermata pencaharian sebagai petani garam, tetapi ini bukan merupakan mata pencaharian mereka yang utama. Menurut mereka bertani garam hanya merupakan pekerjaan sampingan mereka. Pekerjaan mereka yang utama yaitu sebagai petani padi. Tetapi sebenarnya bidang ini kurang bisa diandalkan Karena tanah disini kurang subur karena disebakan oleh kandungan garamnya yang tinggi. Walaupun demikian sebenarnya bertani garam juga kurang bisa diandalkan karena ketersediaan air asin sebagai bahan baku utamanya tidak selamanya ada. Air asin ini seiring dengan waktu, lama -kelamaan pastilah akan habis.
Proses Pembuatan Garam
Sedangkan proses pembuatan garam yaitu dengan cara menjemur air asin yang diambil dari sumur-sumur connate water yang diambil dengan cara menimba kemudian dialihkan ke kolam-kolam kecil melalui bambu sebagai tempat penampungan sementara.
Gambar. Sumur penimbaan air garam
Kolam tersebut di tempatkan pada suatu rumah kecil yang sering disebut dengan klakah. Klakah-klakah ini merupakan milik perseorangan. Dahulunya di sini ada sekitar 400 klakah, tetapi sekarang sudah berkurang, hal ini disebabkan karena berkurangnya air asin yang merupakan bahan utama dalam pembuatan garam di daerah Jono ini.
Gambar. Klakah-klakah sebagai tempat penyimpanan dan pembuatan air garam.
Kemudian air yang ada di klakah dipindahkan ke bambu-bambu yang telah dipotong menjadi dua dan kemudian dijemur.
Gambar. Penjemuran air garam di bambu yang telah dipotong menjadi dua.
Kemudian setelah kering akan berubah menjadi kerak-kerak yang rasanya asin. Kerak-kerak itulah yang diambil atau sudah menjadi garam. Untuk menjemur garam digunakan media bambu karena harganya yang relatif murah, efisien dan ringan. Bambu bambu tersebut dapat dipakai selama satu tahun. Bambu tersebut dipotong menjadi tiga
bagian yaitu bagian atas, tengah, dan bagian bawah. Dalam pembuatannya juga diurutkan dari bagian bawah yang paling bawah dan s eterusnya.
Gambar. Air garam yang mulai mengkristal.
Bambu yang sudah rusak dan tidak dipakai lagi dapat direndam dan dimanfaatkan untuk membuat gedok. Garam tersebut dalam proses pembuatannya memakan waktu delapan sampai sepuluh hari menghasilkn kurang lebih 0,5 kwintal dengan harga jual Rp. 800,00 per kilo dalam keadaan basah. Distribusi penjualan garam ini di pasar sekitar sampai daerah Nggondong. Biasanya para petani garam disini menjual garam di suatu tempat penampungan kemudian didistribusikan sampai daerah Solo, Klaten, dan daerah sekitarnya. Dahulu disini ada suatu koperasi yang anggotanya para petani garam, tetapi sekarang hilang seiring dengan menyusutnya air asin.