Portofolio (Kasus II) Nama Peserta: dr. Yumindra Pratama Nama Wahana: RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan Bun Topik: Status Asmatikus Tanggal (kasus): 26 April 2017 Nama Pasien: Ny . S
Nama Pendamping: dr. Juliana
Tanggal Presentasi:
Nama Pembimbing: dr. Novie Widjaja, Sp.PD
Tempat Presentasi: RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan Bun Obyektif Presentasi:
Keilmuan Diagnostik
Keterampilan
Penyegaran
Manajemen Bayi
Anak
Tinjauan Pustaka
Masalah
Istimewa
Remaja
Ne onat on at us
Lansia
Bumil
Dewasa
Deskripsi: Ny. S usia 29 tahun datang dengan keluhan sesak nafas.
Tujuan: melakukan tatalaksana yang tepat, mencegah komplikasi.
Bahan bahasan:
Riset
Tinjauan Pustaka Diskusi
Data pasien:
Presentasi dan diskusi
Ny . S (2 9 ta hun) hu n)
Na ma RS: RS : RSUD RS UD Sult Su lt an Imanuddin Pangkalan Bun
Kasus
Telp:
Audit
Email
No mor mo r Re gi st ra si : 0000 00 0077 7775 7518 18
Terdaftar sejak:
1
Pos
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Dia gnosi gno sis: s: Status Status Asmatik Asmatikus us Gambaran Klinis: Pasien datang dengan keluhan sesak nafas. Pasien datang rujukan dari Klinik Rawat Inap Kesuma Pangkalan Bun jam 22.30 WIB dengan keluhan sesak nafas dan hamil 7 bulan. Pasien mengeluh sesak nafas setiap malam sejak usia kehamilan 4 bulan dan berkurang jika siang hari. Sesak nafas dirasa sangat berat sehingga tidak bisa tidur. Sebelumnya pasien mengeluh demam dan pilek. Jika tidur, pasien biasa menggunakan satu bantal saja. Pasien sudah menggunakan obat semprot sejak usia kehamilan 4 bulan untuk mengurangi keluhan. Namun, sejak 1 hari SMRS, keluhan tidak berkurang dengan pemberian obat semprot tersebut. Sehingga, pasien dibawa ke Klinik Rawat Inap Kesuma. Sebelumnya pasien mempunyai riwayat asma sejak kecil dan kambuh jika sedang dalam kondisi sangat lelah dan pada cuaca dingin. Pasien sudah terbiasa menggunakan obat inhalasi jika sakit seperti ini sedang kambuh. 2. Riwayat Pengobatan: Pasien sudah dirawat di Klinik Rawat Inap Kesuma sejak jam 15.35 WIB, riw. Penggunaan obat semprot sebelumnya di rumah (+). 3. Riwayat kesehatan/Penyakit: kesehatan/Penyakit: Alergi obat (-), Alergi makanan (-), Alergi cuaca dingin (+), Asma (+), Riw. Penggunaan Penggunaan obat inhalasi (+), Riw.penyakit Riw.penyakit paru (-), Penyakit ba wa an (- ), Riw. Hipertensi (-), Riw. DM (-), Riw.penyakit jantung (-), Riw.penyakit ginjal (-) 4. Riwa yat keluarga: keluarga: Ibu pasien menderita penyakit penyakit Asma (+) 5. Kondisi lingkungan sosial dan fisik (RUMAH, LINGKUNGAN, PEKERJAAN): Pasien tinggal bersama suami dan adik di rumah. Pasien sebagai ibu rumah tangga. Biaya pengob pen gobata atan n dita d itanggu nggung ng s endiri end iri (umum) (um um).. 6. Lain-lain: Pemeriksaan Fisik Status Generalis Kepala Mata THT Mulut Leher Cor Pulmo Abdomen Ekstremitas
: KU/ Kes : tampak sakit berat / CM, GCS 15, TD 130/80 mmHg, Nadi : 143 x/mnt reguler, SaO2 : 94%, Suhu : 38,5 °C, RR : 32 x/mnt. : Normochepali. : CA -/-, SI -/-, pupil bulat isokor (2mm/2mm), reflek cahaya (+/+) : Faring Hiperemis (+), Tonsil T1 – T1 : Bentuk normal, bibir sianosis (-), pucat (-) : KGB tidak teraba membesar. : batas-batas jantung dalam batas normal, S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-). : Suara nafas vesikuler +/+, Rh -/-, Wh +/+ : Supel, nyeri tekan (-), H/L tidak teraba, BU (+), turgor kulit dbn. TFU ! dari Proc. Xiphoideus dengan Umbilikus, DJJ 134x/m. : Akral dingin (-/-), pucat (-), edema (+/+) 2
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Dia gnosi gno sis: s: Status Status Asmatik Asmatikus us Gambaran Klinis: Pasien datang dengan keluhan sesak nafas. Pasien datang rujukan dari Klinik Rawat Inap Kesuma Pangkalan Bun jam 22.30 WIB dengan keluhan sesak nafas dan hamil 7 bulan. Pasien mengeluh sesak nafas setiap malam sejak usia kehamilan 4 bulan dan berkurang jika siang hari. Sesak nafas dirasa sangat berat sehingga tidak bisa tidur. Sebelumnya pasien mengeluh demam dan pilek. Jika tidur, pasien biasa menggunakan satu bantal saja. Pasien sudah menggunakan obat semprot sejak usia kehamilan 4 bulan untuk mengurangi keluhan. Namun, sejak 1 hari SMRS, keluhan tidak berkurang dengan pemberian obat semprot tersebut. Sehingga, pasien dibawa ke Klinik Rawat Inap Kesuma. Sebelumnya pasien mempunyai riwayat asma sejak kecil dan kambuh jika sedang dalam kondisi sangat lelah dan pada cuaca dingin. Pasien sudah terbiasa menggunakan obat inhalasi jika sakit seperti ini sedang kambuh. 2. Riwayat Pengobatan: Pasien sudah dirawat di Klinik Rawat Inap Kesuma sejak jam 15.35 WIB, riw. Penggunaan obat semprot sebelumnya di rumah (+). 3. Riwayat kesehatan/Penyakit: kesehatan/Penyakit: Alergi obat (-), Alergi makanan (-), Alergi cuaca dingin (+), Asma (+), Riw. Penggunaan Penggunaan obat inhalasi (+), Riw.penyakit Riw.penyakit paru (-), Penyakit ba wa an (- ), Riw. Hipertensi (-), Riw. DM (-), Riw.penyakit jantung (-), Riw.penyakit ginjal (-) 4. Riwa yat keluarga: keluarga: Ibu pasien menderita penyakit penyakit Asma (+) 5. Kondisi lingkungan sosial dan fisik (RUMAH, LINGKUNGAN, PEKERJAAN): Pasien tinggal bersama suami dan adik di rumah. Pasien sebagai ibu rumah tangga. Biaya pengob pen gobata atan n dita d itanggu nggung ng s endiri end iri (umum) (um um).. 6. Lain-lain: Pemeriksaan Fisik Status Generalis Kepala Mata THT Mulut Leher Cor Pulmo Abdomen Ekstremitas
: KU/ Kes : tampak sakit berat / CM, GCS 15, TD 130/80 mmHg, Nadi : 143 x/mnt reguler, SaO2 : 94%, Suhu : 38,5 °C, RR : 32 x/mnt. : Normochepali. : CA -/-, SI -/-, pupil bulat isokor (2mm/2mm), reflek cahaya (+/+) : Faring Hiperemis (+), Tonsil T1 – T1 : Bentuk normal, bibir sianosis (-), pucat (-) : KGB tidak teraba membesar. : batas-batas jantung dalam batas normal, S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-). : Suara nafas vesikuler +/+, Rh -/-, Wh +/+ : Supel, nyeri tekan (-), H/L tidak teraba, BU (+), turgor kulit dbn. TFU ! dari Proc. Xiphoideus dengan Umbilikus, DJJ 134x/m. : Akral dingin (-/-), pucat (-), edema (+/+) 2
Daftar Pustaka:
Hasil Pembelajaran :
1. Penegakan status asmatikus 2. Penanganan status asmatikus
3
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio
1. SUBYEKTIF: Keluhan Utama Keluhan Tambahan
: sesak : demam, pilek
Pasien datang rujukan dari Klinik Rawat Inap Kesuma Pangkalan Bun jam 22.30 WIB dengan keluhan sesak nafas dan hamil 7 bulan. Pasien mengeluh sesak nafas setiap malam sejak usia kehamilan 4 bulan dan berkurang jika siang hari. Sesak nafas dirasa sangat berat sehingga tidak bisa tidur. Sebelumnya pasien mengeluh demam dan pilek. Jika tidur, pasien biasa menggunakan satu bantal saja. Pasien sudah menggunakan obat semprot sejak usia kehamilan 4 bulan untuk mengurangi keluhan. Namun, sejak 1 hari SMRS, keluhan tidak berkurang dengan pemberian obat semprot tersebut. Sehingga, pasien dibawa ke Klinik Rawat Inap Kesuma. Sebelumnya pasien mempunyai riwayat asma sejak kecil dan kambuh jika sedang dalam kondisi sangat lelah dan pada cuaca dingin. Pasien sudah terbiasa menggunakan obat inhalasi jika sakit seperti ini sedang kambuh. HPHT = ? – 09 – 2016 HPL = ? – 06 – 2017 2. OBJEKTIF : Status Generalis Keadaan Umum Kesadaran Tanda-Tanda Vital Tekanan Darah Nadi Suhu Pemeriksaan Fisik Kepala Mata THT Mulut Leher Dada
Abdomen Ekstremitas
: Tampak sakit berat, tampak sangat sesak : Compos Mentis, GCS 15 : 130/80 mmHg : 143x/menit : 38,5 oC
RR : 32 x/menit SaO2 : 94 %
: Normochepali : CA -/-, SI -/-, pupil bulat isokor (2mm/2mm), reflek cahaya (+/+) : Faring Hiperemis (+), Tonsil T1 – T1 : Bentuk normal, bibir sianosis (-), pucat (-) : KGB tidak teraba membesar. : Paru-paru : Inspeksi : bentuk simetris Palpasi : fremitus fokal simetris Ka/Ki Perkusi : Sonor seluruh lapang paru Auskultasi : suara dasar vesikuler(+/+), Ronkhi (+/+),Wheezing(+/+) Cor : Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat Palpasi : Apeks teraba lembut di ICS IV Midclavicula Sinistra, Perkusi : Batas Kanan : ICS IV parasternal dextra Batas Kiri : ICS IV Midclavicula Sinistra Auskultasi : Frekuensi : 143 x/menit, reguler, S1-S2, Bising(-) : Supel, nyeri tekan (-), H/L tidak teraba, BU (+), turgor kulit dbn. TFU ! dari Proc. Xiphoideus dengan Umbilikus, DJJ 134x/m. : Akral dingin (-/-), pucat (-), edema (+/+) 4
Pemeriksaan Penunjang ! Tanggal 26-04-2017
Pemeriksaan
Hasil
Nilai Normal
Hemoglobin
12,2 g/dl
P : 13-18 , W: 12-16
Leukosit
20.100 g/dl
5-10 ribu
Trombosit
291.000 g/ul
150-400 ribu
Hematokrit
36 %
P: 40-50% , W: 37-45%
Eritrosit
4,2 juta/ul
4,2 – 5,4
Segmen
91 %
50-70
Lymphocyt
4%
20-40
Monocyt
5%
2-8
Eosinofil
0%
0-4
Basofil
0%
0-1
MCV
86,2 fl
70 - 90
MCH
29 pg
26 - 32
MCHC
34
32 - 36
Gula Darah Sewaktu
142 mg/dl
< 140
3. ASSESSMENT (Penalaran Klinis) : Status Asmatikus
Status asmatikus adalah kegawatan medis di mana gejala asma tidak membaik pada pemberian bronkodilator inisial di unit gawat darurat. Biasanya, gejala muncul beberapa hari setelah infeksi virus di saluran napas, diikuti pajanan terhadap alergen atau iritan, atau setelah beraktivitas saat udara dingin. Seringnya, pasien telah menggunakan obat-obat antiinflamasi. Pasien biasanya mengeluh rasa berat di dada, sesak napas yang semakin bertambah, batuk kering dan mengi dan penggunaan beta-agonis yang meningkat (baik inhalasi maupun nebulisasi) sampai hitungan menit. Prevalensi dan severity kasus asma semakin meningkat, sejalan dengan peningkatan kasus asma yang membutuhkan perawatan rumah sakit dan kematian akibat status asmatikus. Status asmatikus biasanya lebih sering terjadi pada kelompok dengan sosial-ekonomi yang rendah, karena mereka jarang kontrol ke dr. spesialis, yang meningkatkan resiko status asmatikus. Pasien yang terlambat mendapatkan perawatan medis, khususnya perawatan dengan steroid sistemik, memiliki resiko kematian yang besar. Pasien dengan kondisi penyerta (misal: 5
penyakit paru restriksi, CHF, deformitas dinding dada) memiliki resiko kematian yang lebih besar karena status asmatikus, demikian juga perokok yang biasanya terkena PPOK. Gambaran klinis Status Asmatikus : •
Penderita tampak sakit berat dan sianosis.
•
Sesak nafas, bicara terputus-putus.
•
Banyak berkeringat, bila kulit kering menunjukkan kegawatan sebab penderita sudah jatuh dalam dehidrasi berat.
•
Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi lambat laun dapat memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah kemudian jatuh ke dalam koma.
ASMA A. Definisi
Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi jalan nafas kronik. Asma ditandai dengan riwayat gejala saluran pernapasan seperti wheezing , dispneu, dada terasa berat, dan batuk yang bervariasi diantara waktu dan intensitas, berasa dengan hambatan jalan nafas ekspirasi yang bervariasi. Variasi yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor misalnya olahraga, papatan alergen atau iritan, perubahan cuaca, atau infeksi viral pernapasan (GINA, 2016). Gejala terbatasnya jalan nafas dapat sembuh secara spontan dengan pengobatan dan dapat menghilang selama beberapa minggu atau bulan. Di sisi lain, pasien juga dapat mengalami beberapa periode serangan (eksaserbasi) asma yang dapat mengancam nyawa dan dapat memberikan beban yang signifikan bagi pasien dan komunitas. Asma biasanya dikaitkan dengan hiperesponsivitas jalan napas karena stimulus langsung dan tidak langsung, dan dengan inflamasi jalan nafas kronik. Karakteristik tersebut biasanya selalu ada, walapun tidak ada gejala dan fungsi paru normal, dan akan membaik dengan terapi (GINA, 2016).
B. Klasifikasi
Asma adalah penyakit yang heterogen dengan berbagai proses penyebab. Karakteristik demografis, klinis atau patofisiologis disebut sebagai fenotipe asma. Berikut ini adalah beberapa fenotipe asma : 1. Asma alergika Asma ini adalah asma yang paling mudah dikenali, yang biasanya muncul pada anakanak dengan riwayat alergi sebelumnya misalnya rhinitis alergi, eczema atau alergi makanan. Pemeriksaan sputum pada pasien tersebut sebelum terapi kadang menemukan inflamasi jalan 6
nafas eosinofilik. Pasien dengan asma tipe ini biasanya berespon baik terhadap terapi kortikosteroid inhalasi. 2. Asma non-alergika Asma ini terjadi pada sebagian orang dewasa dengan ciri sputumnya dapat ditemui neutrophil, eosinophil, atau hanya mengandung beberapa sel inflamasi. Asma jenis ini tidak berespon baik terhadap kortikosteroid inhalasi. 3. Asma onset lambat Beberapa orang dewasa, terutama wanita, mengalami asma pertama kali pada saat dewasa, biasanya non alergika, dan membutuhkan dosis kortikosteroid inhalasi yang lebih tinggi 4. Asma dengan hambatan jalan nafas paten Asma ini disebabkan diduga karena remodeling jalan nafas 5. Asma dengan obesitas Beberapa pasien obesitas dengan asma memiliki gejala pernapasan yang sangat menonjol dan sedikit inflamasi jalan nafas eosinofilik
C. Faktor Risiko
Berikut ini adalah faktor resiko asma yang dapat dimodifikasi (GINA, 2016): 1. Pasien dengan minimal 1 faktor risiko eksaserbasi 2. Minimal 1 periode eksaserbasi berat di tahun terakhir 3. Paparan tembakau dan rokok 4. Penurunan FEV 1, terutama kurang dari <60% prediksi 5. Permasalahan psikologis besar 6. Permasalahan sosioekonomik besar 7. Alergi makanan terkonfirmasi 8. Paparan allergen jika tersensitisasi 9. Eosinofilia pada sputum
D. Patogenesis
1. Hygiene Hypothesis Hubungan antara awal kehidupan dan perkembangan alergi sudah banyak diteliti. Strachan merupakan orang yang pertama kali mengemukakan teori hygiene hypothesis. Teori tersebut mengatakan infeksi dan kontak dengan lingkungan yang tak higienis dapat melindungi diri dari perkembangan alergi. Hipotesis tersebut berdasarkan pemikiran bahwa 7
sistem imun pada bayi didominasi oleh sitokin T helper (Th2). Setelah lahir pengaruh lingkungan akan mengaktifkan respons Th1 sehingga akan terjadi keseimbangan Th1/Th2. Beberapa bukti menunjukkan bahwa insidensi asma menurun akibat infeksi tertentu (M. tuberkulosis, measless atau hepatitis A) dan penurunan penggunaan antibiotik. Ketiadaan kejadian tersebut menyebabkan keberadaan Th2 menetap. Sehingga keseimbangan akan bergeser kearah Th2, merangsang produksi antibodi IgE untuk melawan antigen lingkungan seperti debu rumah dan bulu kucing. Sel Th1 dan Th2 menghambat perkembangan satu sama lain. Produksi IgE pada penderita
atopi
meningkat
sehingga
mempengaruhi
keseimbangan
Th2
dan
Th1.
Perkembangan sekresi Th2 memerlukan IL-4. Sitokin ini dihasilkan oleh plasenta untuk mencegah penolakan imunologis janin. Menetapnya Th2 plasenta berhubungan dengan perubahan nutrisi sehingga tidak terbentuk Th1, inimerupakan faktor utama peningkatan prevalensi penyakit alergi dalam 30 – 40 tahun terahir. Faktor lain adalah turunnya infeksi berat pada bayi dan interaksi antara alergen dan polusi udara yang cenderung untuk terjadi sensitisasi. Infeksi akan menyebabkan peningkatan respons Th1 dan akan menurunkan kecenderungan perkembangan penyakit yang berhubungan dengan Th 2. Sel Th2 akan meningkatkan sintesis IL-4 dan IL-13 yang pada akhirnya akan menaikkan produksi IgE. Sedangkan sel Th1 yang menghasilkan interferongama (IFN ") akan menghambat sel B untuk menghasilkan IgE. Sel efektor imun utama yang bertanggung jawab terhadap reaksi alergi baik di hidung maupun paru adalah sel mast, limfosit T dan, eosinofil. Setelah seseorang mengalami sensitisasi, IgE disintesis kemudian melekat ke target sel. Pajanan alergen mengakibatkan reaksi yang akan melibatkan sel-sel tersebut di atas. Sitokin atau kemokin yang berperan dalam perkembangan, recruitment dan aktivasi eosinofil adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, granulocyte-machrophage colony stimulating factor (GM-CSF), kemotaksin dan regulation on activation normal T cell expressed and secreted (RANTES). 2. Mekanisme Inflamasi Saluran Nafas Inflamasi mempunyai peran utama dalam patofisiologi rinitis alergi dan asma. Inflamasi saluran napas melibatkan interaksi beberapa tipe sel dan mediator yang akan menyebabkan gejala rinitis dan asma. Inhalasi antigen mengaktifkan sel mast dan sel Th2 di saluran napas. Keadaan tersebut akan merangsang produksi mediator inflamasi seperti histamin dan leukotrien dan sitokin seperti IL-4 dan IL-5. Sitokin IL-5 akan menuju ke sumsum tulang menyebabkan deferensiasi eosinofil. Eosinofil sirkulasi masuk ke daerah inflamasi alergi dan mulai mengalami migrasi ke paru dengan rolling (menggulir di endotel 8
pembuluh darah daerah inflamasi), mengalami aktivasi, adhesi, ekstravasasi dan kemotaksis (Kamen, 2006) Eosinofil berinteraksi dengan selektin kemudian menempel di endotel melalui perlekatannya dengan integrin di superfamili immunoglobulin protein adesi yaitu vascularcell adhesion molecule (VCAM)-1 dan intercellular adhesion molecule (ICAM)-1.
Gambar 1. Mekanisme masuknya leukosit ke daerah inflamasi
Eosinofil, sel mast, basofil, limfosit T dan sel Langerhan masuk ke saluran napas melalui pengaruh beberapa kemokin dan sitokin seperti RANTES, eotaksin, monocyte chemotactic protein (MCP)-1 dan macrofag inflamatory protein (MIP)-1# yang dilepas oleh sel epitel. Eosinofil teraktivasi melepaskan mediator inflamasi seperti leukotrien dan protein granul untuk menciderai saluran napas. Survival eosinofil diperlama oleh IL-4 dan GM-CSF, mengakibatkan inflamasi saluran napas yang persisten. Untuk keterangan lebih jelas tentang proses inflamasi saluran napas dapat dilihat pada gambar di bawah.
Gambar 2. Proses inflamasi pada saluran napas
Aspek dasar yang dibutuhkan untuk menghasilkan respons inflamasi yang dimediasi IgE di paru nampaknya sama pada pasien alergi dengan atau tanpa asma. Akan tetapi faktor yang bertanggung jawab untuk menentukan mengapa lebih banyak menderita rinitis saja dibanding rinitis dan asma masih belum diketahui secara pasti Akumulasi sel mast pada saluran napas merupakan patofisiologi penting baik pada asma maupun rinitis alergi. Efek biokimia spesifik akibat degranulasi sel mast hampir sama 9
pada saluran napas atas maupun bawah. Sedangkan efekfisiologis memiliki perbedaan. Edema mukosa yang dimediasi oleh sel mast terjadi baik di saluran napas atas maupun bawah, akan menyebabkan obstruksi. Sedangkan kontraksi otot polos saluran napas bawah lebih berat dalam merespons inflamasi dibanding saluran napas atas. Histamin tidak begitu kuat dalam menyebabkan bronkokonstriksi, sehingga perannya pada saluran napas atas dan bawah berbeda. Akibatnya efek antihistamin lebih bermakna pada rinitis alergi daripada asma. Imunoglobulin E menempel pada sel mast jaringan dan basofil sirkulasi melalui reseptor dengan afinitas tinggi yang diekspresikan oleh permukaan sel. Alergen menempel pada IgE spesifik dan merangsang aktivasi sel dengan melepas beberapa mediator seperti histamin, leukotrien, prostaglandin dankinins. Hal tersebut menyebabkan terjadi gejala rinitis dan asma melalui pengaruh langsung terhadap reseptor syaraf dan pembuluh darah pada saluran napas dan juga pada reseptor otot polos. Histamin dan leukotrien dilepas dari basofil maupun sel mast dan akan menyebabkan timbulnya gejala secara cepat dalam beberapa menit. Gejala pada saluran napas atas meliputi rasa gatal pada hidung, bersin dan rinorea. Sedangkan gejala pada saluran napas bawah meliputi bronkokonstriksi,hipersekresi kelenjar mukus, sesak napas, batuk dan mengi. Gejala rinitis maupun asma yang timbul akibat terlepasnya mediator bisa dilihat dalam tabel di bawah. Tabel 1. Pengaruh mediator terhadap gejala dan tanda penyakit
Respons berikutnya akibat degranulasi sel mast karena terinduksi antigen disebut reaksi tipe lambat. Baik pada saluran napas atas dan bawah, respons tipe lambat ini menimbulkan gejala obstruksi. Reaksi fase lambat diawali dengan pajanan alergen oleh antigen presenting cell (APC) ke sel Th2. Selanjutnya terjadi pengeluaran sitokin yaitu IL-3, 10
IL-5 dan GM-CSF. Interleukin 5 dan GM-CSF menyebabkan penarikan dan aktivasi eosinofil. Eosinofil yang teraktivasi mengeluarkan berbagai growth factor , enzim elastase dan metaloproteinase, kemokin (RANTES, MIP-1#, eotaksin), mediator lipid dan sitokin. Akibatnya terjadi edema submukosa dan hiperreaktivitas bronkus. Eosinofil menghasilkan mediator lipid, protein granul kristaloid, sitokin dan kemokin. Mediator lipid, protein granul kristaloid, sitokin dan kemokin mempunyai peran dalam patogenesis asma fase lambat.
Gambar 3. Peran eosinofil dalam reaksi asma tipe lambat.
Sel basofil memainkan peranan penting reaksi tipe lambat ini pada saluran napas atas tapi tidak pada saluran napas bawah. Meskipun demikian respons tipe lambat baik pada saluran napas atas maupun bawah diwujudkanoleh masuknya sel inflamasi terutama sel eosinofil ke dalam saluran napas dan peningkatan reaktifitas saluran napas. Infiltrasi eosinofil pada rinitis alergi dan asma dapat timbul akibat pelepasan berbagai mediator dan sitokin dari sel mast, limfosit T, sel epitel dan kalau dari saluran napas dari sel otot polos. Kerusakan jaringan baik pada rinitis maupun asma dimediasi oleh eosinophil. Manfaat leukotrien sebagai kemoatraktan untuk eosinofil dan mediator yang dihasilkan oleh eosinofil adalah terbatas. Leukotrien mempunyai banyak cara kerja biologis yang penting dalam menyebabkan patofisiologi asma dan rinitis. Salah satunya adalah mempunyai kemampuan menyebabkan atau meningkatkan kontraksi otot polos, sekresi mukus, permeabilitas pembuluh darah dan infiltrasi sel. Enzim 5-Lipooxygenase (5-LO) merupakan enzim penting dalam menghasikan leukotrien. Inhibisi kerja 5-LO atau antagonis kerja cysteinyl leukotrien pada reseptornya (cysteinil LT1) mempunyai efek yang bermakna pada penderita rinitis dan asma. Mekanisme aktivasi eosinofil pada saluran napas atas dan bawah masih belum banyak diketahui tetapi mekanisme utamanya tampak sama dan berhubungan dengan adhesi molekul. Molekul adhesi dapat meningkatkan proses sekresi eosinofil. Jadi sitokin, mediator, interaksi 11
matriks dan rangkaian utama saluran napas atas dan bawah adalah sama. Rangkaian utamanya adalah akibat melekatnya sel inflamasi pada endotel maupun protein matriks melalui matriks spesifik yang akan menyebabkan proses inflamasi seperti sekresi leukotriene. Eosinofil juga terlibat dalam airway remodelling yang akan menyebabkan refractory asthma. Akan tetapi masih sulit untuk mendefinisikan secara pasti apakah airway remodelling merupakan proses fisiologis, farmakologis atau anatomis. Fibrosis subendotel terlihat pada proses remodeling asma alergi tetapi bukan merupakan proses analog pada rinitis alergi. Hal tersebut akibat dari perbedaan respons end organ. Eosinofil menghasilkan sitokin, kemokin, mediator lipid dan growth factor dan mampu menyebabkan peningkatan sekresi mukus, menyebabkan fibrosis subepitel. Eosinofil teraktivasi melepaskan protein toksik yang mengakibatkan kerusakan jaringan saluran napas yaitu major basic protein (MBP) dan eosinophil cationic protein (ECP) yang merusak sel epitel dan syaraf, eosinophil-derived neurotoxin (EDN), eosinophil peroxidase dan mediator lipid. Eosinofil menghasilkan protein yang menyebabkan fibrogenesis dan angiogenesis yang dapat mengaktifkan sel mesenkim dan merangsang sintesis protein extracellular matrix (ECM). Aktivasi fibroblas dilakukan oleh IL-4, IL-6, IL-11, IL-13, IL-17, TGF- $, NGF dan PDGF. Sitokin tersebut akan menyebabkan diferensiasi dan migrasi fibroblast. Transforming growth factor (TGF)-$ dan fibroblast growth factor (FGF)-2 mempunyai pengaruh langsung terhadap otot polos saluran napas. Eosinofil menghasilkan angiogenic factor yaitu VEGF dan angiogenin. Sel endotel diaktifkan oleh FGF-2 dan tumor necrosis factor (TNF)-#. Aktivasi sel epitel,sintesis ECM dan hipersekresi mukus akibat pelepasan sitokin derivat eosinofil yakni TGF-$, IL-4, IL-13 dan TGF-#. Faktor lain yang menyebabkan perbedaan respons pada hidung dan paru adalah ukuran saluran napas, suplai darah permukaan dan pajanan lingkungan. Perbedaan penting lainnya adalah lamanya sel inflamasi, mediator dan sitokin tinggal dan mekanisme perbaikan epitel setelah proses inflamasi. Terdapat waktu tinggal sel inflamasi dan perbaikan kerusakan epitel yang lebih lama pada saluran napas bawah dibanding atas setelah terpajan antigen. Perbedaan epitel saluran napas atas dan bawah adalah dalam hal epithelial shedding dan heterogenitas epitel. Epithelial shedding pada asma lebih sering terjadi daripada rinitis alergi. Epitel saluran napas bawah menghasilkan zat yang menyebabkan bronkokonstriksi antara lain mediator lipid, endotelin dan sitokin yang akan menyebabkan perburukan gejala. Hal tersebut tidak terjadi pada saluran napas atas. Heterogenitas epitel saluran napas bawah yang lebih besar daripada atas akan menyebabkan durasi inflamasi yang lebih lama.
12
Perbedaan penting lainnya adalah keterlibatan otot polos. Otot polos saluran napas merupakan sel sekresi yang merupakan bagian dari proses autokrin. Saluran napas atas mempunyai sedikit otot polos berakibat terdapat perbedaan gejala rinitis alergi dan asma. Otot polos saluran napas dapat menghasilkan RANTES, eotaksin, GM-CSF dan prostaglandin E2 (PGE2) yangbisa berperan dalam bronkokonstriksi maupun bronkodilatasi. Hidung mempunyai perbedaan dalam hal banyaknya terpajan alergen dan iritan lingkungan. Demikian juga berbeda tingkatan dan mekanisme molekul efektor seperti histamin dan leukotrien yang menghasilkan efek patologis pada hidung dibandingkan pada paru. Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat persamaan dan juga perbedaan dalam hal tipe dan peran sel efektor dan mediator dalam patogenesis rinitis alergi dan asma. Hal tersebut akan menyebabkan persamaan dan perbedaan dalam hal tanda dan gejala rinitis alergi dan asma. 3. Sitokin pada Asma Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi tubuh sebagai respons terhadap rangsang mikroba dan antigen lainnya dan berperan sebagai mediator pada reaksi imun dan inflamasi. Sitokin dapat memberikan efek langsung dan tidak langsung. Efek langsung lebih dari satu efek terhadap berbagai jenis sel (pleitropi), autoregulasi (fungsi autokrin), terhadap sel yang letaknya tidak jauh (fungsi parakrin). Efek tidak langsung yaitu menginduksi ekspresi reseptor untuk sitokin lain dalam merangsang sel (sinergisme), mencegah ekspresi reseptor atau produksi sitokin (antagonisme). Sekresi sitokin terjadi cepat dan hanya sebentar. Kerjanya sering pleitropik (satu sitokin bekerja terhadap berbagai jenis sel yang menimbulkan berbagai efek) dan redundant (berbagai sitokin menunjukkan efek yang sama).Oleh karena itu efek antagonis satu sitokin tidak akan menunjukkan hasil nyatakarena ada kompensasi sitokin lain. Sitokin sering berpengaruh terhadap sintesis dan efek sitokin yang lain. Efek sitokin dapat lokal maupun sistemik. Sinyal luar mengatur ekspresi reseptor sitokin atau respons sel terhadap sitokin. Efek sitokin terjadi melalui ikatan dengan reseptornya pada membran sel sasaran. Respons seluler terhadap kebanyakan sitokin terdiri atas perubahan ekspresi gen terhadap sel sasaran yang menimbulkan ekspresi fungsi baru dan kadang proliferasi sel sasaran. Proses inflamasi saluran napas diatur oleh interaksi sitokin dan growth factor yang disekresi tidak hanya oleh sel inflamasi tetapi juga oleh komponen jaringan di antaranya sel epitel, fibroblas dan sel otot polos. Secara keseluruhan sitokin dapat dikelompokkan sebagai :
13
a. Sitokin Th2 seperti IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13, b. Sitokin proinflamasi di antaranya tumor necrosis factor-! (TNF-%) dan IL-1s, c. Kemokin seperti RANTES, eotaksin dan MCP-1, d. Growth factor seperti transforming growth factor –s dan epidermal growth factor.
E. Diagnosis
1. Anamnesis Diagnosis asma didasarkan pada karakteristik gejala pernapasan seperti wheezing , dispnea, dada terasa berat dan batuk, serta hambatan udara ekspirasi yang bervariasi. Berikut ini adalah penjelasan tentang diagnosis asma (GINA, 2016): a. Lebih dari satu gejala berikut ini (wheezing , dispnea, batuk, dada terasa berat), terutama pada dewasa b. Gejala memburuk pada malam hari atau pada awal pagi hari c. Gejala bervariasi dalam hal waktu dan internsitas d. Gejala dipicu oleh infeksi virus (flu), olahraga, paparan alergen, perubahan musim, atau iritan seperti asap, atau bau yang menyengat. Berikut ini adalah gejala-gejala yang menurunkan kemungkinan bahwa seseorang menderita penyakit asma (GINA, 2016): a. Batuk tanpa gejala respirasi lain b. Produksi sputum kronik c. Dispneu terkait dengan kepala pusing, kepala terasa ringan, dan parestesia perifer d. Nyeri dada e. Dispneu dengan inspirasi nyaring terkait olahraga
Tabel 2. Kriteria Diagnosis Asma (GINA, 2016) Fitur diagnosa Kriteria untuk membuat diagnosa Riwayat gejala asma yang bervariasi Mengi, sesak napas, Umumnya lebih dari 1 gejala •
dada terasa berat, dan
•
batuk
Gejala bervariasi dari waktu ke waktu dan juga intensitasnya
•
Gejala seringkali memburuk pada malam hari atau saat bangun
•
Gejala sering dipicu oleh latihan fisik, tertawa, alergen, udara 14
dingin •
Gejala sering muncul atau memburuk pada infeksi virus
Keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi Variabilitas fungsi paru Makin besar variasi/ makin sering, makin yang besar (1 atau lebih uji) besar kemungkinan. DAN keterbatasan aliran Penurunan FEV1/FVC >1 kali, saat udara FEV1 rendah (normal >0.75 – 0.80 pada dewasa sehat dan >0.90 pada anak)
Uji reversibilitas bronkus Dewasa : peningkatan FEV1 >12% dan positif >200mL dari nilai awal, 10-15 menit setelah pemberian 200-400 mcg albuterol atau setara; anak: peningkatan >12% prediksi) Variabilitas pengukuran Dewasa: rata-rata variabilitas harian PEF PEF 2x/hari selama 2 diurnal > 10% minggu Anak: > 13% Kenaikan fungsi paru Dewasa: peningkatan FEV1 > 12% dan setelah terapi anti-inflamasi 200 mgl (atau PEF > 200 ml) selama 4 minggu Uji ‘excersice challenge” Dewasa: tidak mencapai FEV1>10% dan 200 ml Anak : tidak mencapai FEV1>12% predicted/ PEF >15% Uji ‘bronchial challenge’ (umumnya hanya dilakukan pada dewasa) Variasi fungsi paru di antara kunjungan-kunjungan ke dokter (kurang reliable)
Tidak mencapai FEV1 >20% (methacholine, histamine); 15% (mannitol atau lainnya) Dewasa: variasi FEV1 >12% dan > 200 ml Anak: variasi FEV1 >12%
2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan pada pasien asma seringkali normal. Abnormalitas yang paling sering adalah wheezing ekspiratorik (ronkhi) pada auskultasi, tapi kadang tidak terdengar atau hanya terdengar pada ekspirasi kuat yang dipaksa. Wheezing juga bisa tidak ditemukan pada asma eksaserbasi berat, karena penurunan aluran udara yang sangat hebat (silent chest), akan tetapi biasanya tanda-tanda patologis lain muncul. Wheezing juga bisa ditemukan pada disfungsi jalan nafas atas, misalnya pada PPOK, infeksi saluran nafas, trakeomalasia, atau corpus alienum. Crackles atau wheezing inspiratorik bukan karakteristik asma. Perlu juga dilakukan pemeriksaan hidung untuk menemukan adanya rinitis alergi atau polip nasal (GINA, 2016). 3. Pemeriksaan Penunjang a. Spirometri 15
Fungsi normal paru diukur dengan spirometri. Forced expiratory volume in on 1 second (FEV1) lebih dipercaya daripada peak expiratory flow (PEF). Jika PEF dilakukan, maka alat yang sama harus digunakan tiap saat pemeriksaan, karena perbedaan sebesar 20% bisa terjadi jika dilakukan perubahan ukuran atau alat (GINA, 2016). Penurunan FEV1 dapat juga ditemukan pada penyakit paru lain, atau pengguaan spirometri yang tidak tepat, akan tetapi penurunan rasio FEV1/FVC menandakan adanya hambatan aliran jalan nafas. Rasio FEV1/FVC normal adalah 0.75-0.80 dan kadang 0.90 pada anak-anak, dan nilai di bawah batas normal tersebut menandakan hambatan aliran udara (GINA, 2016). Variabilitas adalah perbaikan atau perbukurukan gejala dan fugnsi paru. Variabilitas berlebihan dapat ditemukan dari waktu ke waktu dalam satu hari (variasi diurnal), dari hari ke hari, musiman, atau dari sebuah tes reversibilitas. Reversibilitas adalah perbaikan FEV1 atau PEF secara cepat setelah penggunaan bronkodilator kerja cepat seperti 200400 mikrogram salbutamol, atau peningkatan yang konsisten hari ke hari sampai minggu ke minggu setelah diberikan terapi kendali asma misanya dengan intranasal corticosteroid (ICS). Peningkatan atau penurunan FEV1 >12% dan >200 mL dari batas dasar, atau jika spirometri tidak ada, perubahan PEF minimal sebesar 20% dapat diterima sebagai asma. Akan tetapi, jika FEV1 tetap dalam batas normal saat pasien sedang mengalami gejala asma, maka kemungkinannya kecil bahwa kemungkinan penyakitnya adalah asma. Pengukuran FEV dan PEF dilakukan sebelum terapi dengan bronkodilator (GINA, 2016). b. Tes provokasi bronkus Pemeriksaan
ini
dilakukan
untuk
memeriksa
hiperesponsivitas
jalan
nafas.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan latihan inhalasi metakolin dan histamin, hiperventilasi eukapnik volunter atau manitol inhalasi. Tes ini cukup sensitif untuk diagnosis asma tapi kurang spesifik, karena bisa terjadi karena penyakit lain, misalnya rinitis alergika, fibrosis kistik, displasia bronkopulmoner, dan PPOK. Jadi, hasil negatif pada pasien yang tidak mengonsumsi ICS dapat mengeksklusi asma, akan tetapi hasil positif tidak selalu menandakan bahwa penyakit tersebut adalah asma, sehingga anamnesis perlu diperhatikan (GINA, 2016). c. Tes alergi Riwayat atopi meningkatkan probabilitas pasien dengan gejala pernapasan menderita asma alergika tapi hal ini tidak spesifik. Riwayat atopik dapat diperiksa dengan skin prick test dan pengukuran serum IgE. Skin prick test dengan bahan yang mudah ditemui di lingkungan sekitar adalah tes yang cepat, murah, dan sensitif jika dikerjakan secara 16
standar. Pengukuran sIgE tidak lebih sensitif dari skin prick test tapi lebih mahal dan digunakan untuk pasien dengan pasien tidak kooperatif. Akan tetapi, jika skin prick test dan pengukuran sIgE positif, hal ini tidak selalu menghasilkan gejala, karena itu perlu anamnesis yang cermat (GINA, 2016). d. Ekshalasi Nitrit Oksida Fractional concentration of Exhaled Nitric Oxide (FENO) dapat diperiksa di beberapa tempat. FENO dapat meningkat pada asma eosinofilik dan pada keadaan non asma misalnya rinits alergi, dan belum dipastikan bermanfaat untuk diagnosis asma. FENO menurun pada perokok dan saat terjadi bronkokonstriksi, dan meningkata jika terjadi infeksi pernafasan viral. Kadar FENO > 50 ppb terkait dengan respons jangka waktu singkat terhadap ICS. Saat ini pemeriksaan FENO belum bisa direkomendasikan (GINA, 2016).
F. Penegakkan Diagnosis Pada Kondisi Khusus
1. Pasien hanya dengan gejala batuk Pada kondisi ini, perlu dipikirkan cough variant asthma, batuk yang diinduksi terapi ACEI, GERD, chronic upper airway cough syndrome, sinusitis kronik dan disfungsi pita suara. Pasien dengan cough variant asthma memiliki gejala utama batuk kronik, jika tidak, mungkin gejala tersebut terkait dengan hiperresponsivitas. Hal ini paling sering terjadi pada anak-anak dan memberat saat malam hari dengan fungsi paru normal. Untuk pasien ini, penting untuk dicatat variablitis fungsi paru. Penyakit cough variant asthma harus dibedakan dengan bronkitis eosinofilik pada pasien yang batuk, hasil pemeriksaan sputum didapatkan eosinophil akan tetapi fungsi paru dan responsitivitas jalan nafas normal (GINA, 2016). 2. Asma terkait pekerjaan Asma jenis ini seringkali terlewat. Asma jenis ini diinduksi dan diperberat oleh adanya paparan alergen atau agen sensitizer di lingkungan kerja, kadang paparan bersifat tunggal, kadang masif. Rhinitis okupasional biasanya mendahului asma beberapa tahun sebelum asma, dan paparan yang berlanjut terkait dengan prognosis yang lebih buruk (GINA, 2016). Asma dengan onset pada usia dewasa memerlukan anamnesis yang cermat pada riwayat pekerjaan, paparan allergen, termasuk hobi. Perlu ditanyakan tentang apakah keluhan membaik jika pasien saati tidak bekerja. Pertanyaan tersebut penting dan mengarahkan kepada anjuran agar pasien mengganti tempat kerja atau pekerjaannya, yang tentunya akan berpengaruh pada aspek sosioekonomis pasien. Pada kondisi ini perujukan ke dokter spesialis
17
penting, dan monitoring PEF di tempat kerja dan jauh dari tempat kerja perlu dilakukan (GINA, 2016).
3. Atlet Diagnosis pada atlet harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan fungsi paru, biasanya dengan uji provokasi bronkus. Kondisi yang mirip dengan asma, misalnya rhinitis, penyakit laring (misal: disfungsi pita suara), gangguan pernafasan, gangguan jantung dan over-training harus disingkirkan (GINA, 2016). 4. Wanita hamil Wanita hamil atau wanita yang merencanakan hamil harus ditanyai mengenai riwayat asma dan diberikan edukasi tentang asma. Jika pemeriksaan objektif perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis, tidak dianjurkan untuk melakukan uji provokasi bronkus atau untuk menurunkan terapi controller sampai selesai persalinan (GINA, 2016). 5. Orang berusia tua Asma seringkali tidak terdiagnosis pada orang tua, karena persepsi orang tua tentang keterbatasan jalan nafas yang berkurang, anggapan bahwa sesak nafas adalah hal yang wajar, jarang olahraga dan kurang nya aktivitas. Keberadaan penyakit penyerta juga turut mempersulit diagnosis. Keluhan mengi, sesak nafas, dan batuk yang memberat dengan olahraga atau memberat saat malam juga bisa disebabkan oleh adanya penyakit jantung atau kegagalan ventrikel kiri. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat, ditambah dengna pemeriksaan EKG dan foto thorax dapat membantu diagnosis. Pemeriksaan brain natriuretic polypeptide (BNP) dan pemeriksaan fungsi jantung dengan ekokardiografi juga dapat membantu. Pada orang tua dengan riwayat merokok atau paparan bahan bakar fosil, PPOK dan Asthma–COPD overlap syndrome (ACOS) perlu disingkikan (GINA, 2016). 6. Perokok dan bekas perokok Asma dan PPOK sangat sulit untuk diberdakan, terutama pada orang berusia tua, pada perokok atau bekas perokok, dan keduanya dapat saling bertumpang tindih ( Asthma–COPD overlap syndrome (ACOS)). The Global Strategy for Diagnosis, Management and Prevention of COPD (GOLD) mendefinisikan PPOK berdasarkan gejala respiratorik kronik, paparan terhadap faktor risiko seperti merokok, dan FEV1/FVC paska bronkodilator <0.7. Reversibilitas bronkodilator (>12% dan >200 ml) dapat ditemukan dalam PPOK. Kapasitas difusi yang rendah biasanya ditemukan pada Asma. Riwayat penyakit dan pola gejala di masa lalu bisa membantu diagnosis. Ketidakpastian diagnosis membuat pasien dengan kondisi ini perlu dirujuk karena terkait dengan prognosis yang lebih buruk (GINA, 2016). 18
7. Pasien yang pernah menjalani terapi controller Jika diagnosis asma belum ditegakkan, konfirmasi diagnosis perlu dilakukan. Sekitar 2535% pasien dengan diagnosis asma di fasilitas kesehatan tingkat 1 tidak bisa terkonfirmasi diagnosis asma. Konfirmasi diagnosis asma tergantung pada gejala dan fungsi paru. Pada beberapa pasien, bisa disertakan percobaan untuk menurunkan atau menaikkan dosis controller . Jika diagnosis tetap tidak bisa ditegakkan, maka perlu dilakukan rujukan ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi (GINA, 2016). 8. Pasien obesitas Asma lebih sering ditemukan pada pasien dengan obesitas, gejala respiratorik yang terkait dengan obesitas dapat menyerupai asma. Pada pasien obes dengan adanya dispneu saat aktivitas, perlu dikonfirmasi diagnosis dengan pemeriksaan objektif untuk menemukan adanay hambatan jalan nafas (GINA, 2016). 9. Kondisi sumber daya kurang Pada kondisi sumber daya kurang, perlu dipertajam lagi proses penggalian gejala. Perlu ditanyakan durasi gejala, demam, batuk, menggigil, penurunan berat badan, nyeri saat bernafas dan adanya batuk darah yang membedakannya dengan infeksi kronik paru seperti TBC, HIV/AIDS dan infeksi parasite atau jamur. Variabilitas jalan nafas dapat dikonfirmasi dengan PEF meter dan perlu diperiksa sebelum diberikan terapi SABA atau ICS, atau bisa dilakukan bersamaan dengan pemberian 1 minggu kortikosteroid oral (GINA, 2016).
G. Diagnosis Banding
Berikut ini adalah diagnosis banding asma beserta gejala dan kategori usianya (GINA, 2016): 1. Usia 6-11 tahun a. Sindrom batuk kronik saluran nafas atas b. Inhalasi benda asing c. Bronkiektasis d. Diskinesia silier primer e. Penyakit jantung kongenital f. Displasia bronkopulmoner g. Kistik fibrosis 2. Usia 12-39 tahun a. Sindrom batuk kronik saluran nafas atas b. Disfungsi pita suara c. Hiperventilasi, pernafasan disfungsional 19
d. Bronkiektasis e. Kistik fibrosis f. Penyakit jantung kongenital g. Defisiensi alfa-1 antitripsin h. Inhalasi benda asing 3. Usia 40 tahun ke atas a. Disfungsi pita suara b. Hiperventilasi, pernafasan disfungsional c. PPOK d. Bronkiektasis e. Gagal jantung f. Batuk terkait obat g. Penyakit parenkim paru h. Embolisme pulmonary i.
Obstruksi saluran nafas sentral
H. Penilaian Asma
Untuk memprediksi risiko di masa depan, fungsi paru, terutama FEV1 perlu dinilai. Penilaian asma meliputi pengendalian gejala asma serta penilaian faktor risiko untuk eksaserbasi dan prognosis yang buruk. Tabel 3. Penilaian Kendali Asma dan Risiko Prognosis Buruk Asma (GINA, 2016) A. Kontrol Gejala Tingkat Kontrol Gejala Asma Dalam 4 minggu terkakhir
Terkontrol
Terkontrol
Tidak
apakah pasien memiliki :
Penuh
Sebagian
Terkontrol
Terdapat 1-2
Terdapat 3-
kriteria
4 kriteria
1. Gejala asma harian
lebih dari dua kali dalam 1 minggu
2. Terbangun di
malam hari karena asma
Ya (1 poin) Tidak ( 0 poin)
Tidak terdapat
Ya (1
satupun
poin)
kriteria
Tidak ( 0 poin)
20
3. Penggunaaan obat
pelega untuk
Ya (1
mengatasi gejala*
poin)
lebih dari dari dua
Tidak ( 0 poin)
kali dalam 1 minggu
Ya (1 4. Keterbatasan
poin)
aktifitas fisik
Tidak ( 0
karena asma
poin)
* Penggunaan obat pelega sebelum ‘exercise’ tidak termasuk, oleh karena banyak pasien menggunakannya secara rutin B. Faktor-faktor resiko untuk outcome asma yang buruk
•
•
Nilai faktor resiko saat penegakkan diagnosis dan secara berkala Pengukuran FEV1 pada saat mulai penggunaan obat, s etelah 3 - 6 bulan penggunaan obat, kemudian secara berkala untuk penilaian faktor risiko yang sedang dimiliki oleh pasien
Penilaian faktor risiko meliputi: Risiko eksaserbasi Keterbatasan aliran udara yang menetap Efek samping obat • • •
Faktor risiko independen terjadinya eksaserbasi yang dapat dimodifikasi: •
Asma yang tidak terkontrol
•
Penggunaan SABA yang tinggi (angka kematian meningkat jika >1x200 dosis canister/month)
•
Penggunaan ICS yang tidak memadai : tidak mendapat ICS, kepatuhan yang kurang, teknik penggunaan inhaler yang tidak tepat
•
Rendahnya FEV1, terutama jika < 60% prediksi
•
Masalah fisiologis atau sosioekonomi mayor
•
Paparan: merokok, paparan allergen
•
Ko-morbiditas: obesitas, rhinosinusitis, alergi makanan
•
Eosinophilia sputum atau darah
•
Kehamilan 21
Bila terdapat 1 atau lebih faktor risiko maka risiko eksaserbasi akan meningkat walaupun gejala asma terkontrol
Faktor risiko independen lain terjadinya eksaserbasi •
Pernah diintubasi atau dirawat di ICU oleh karena asma
•
> 1 eksaserbasi berat dalam kurun waktu 12 bulan terakhir
Faktor risiko terjadinya keterbatasan aliran udara yang menetap •
Terapi ICS yang tidak memadai
•
Paparan : tembakau, zat kimia berbahaya, paparan terkait pekerjaaan
•
FEV1 awal yang rendah, hipersekresi mucus kronik, eosinophilia sputum atau darah
Faktor risiko efek samping obat •
Sistemik : penggunaan OCS yang sering, jangka panjang, ICS dosis tinggi dan/atau potent; menggunakan inhibitor P450
•
Lokal : ICS dosis tinggi dan/atau poten, teknik inhalasi yang tidak tepat
I. Tatalaksana
1. Nonfarmakologis (GINA, 2016) a. Penghentian kebiasaan merokok dan paparan alergen b. Aktivitas fisik c. Penghindaran paparan alergen kerja d. Penghindaran obat-obatan yang dapat memicu asma e. Penghindaran alergen dalam ruangan f. Latihan bernafas g. Diet sehat dan Penurunan Berat badan h. Vaksinasi i.
Bronkial termoplasti 22
j.
Kontrol stress emosional
k. Imunoterapi alergen l.
Penghindaran alergen dan polutan di luar ruangan
m. Penghindaran makanan alergen dan makanan berkimiawi 2. Tatalaksana Farmakologis (GINA, 2016) Obat-obatan untuk terapi asma secara umum dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu: a. Controller medication, yaitu obat yang digunakan untuk pemeliharaan asma secara reguler. Obat ini menurunkan inflamasi jalan nafas, mengendalikan gejala dan menurunkan risiko eksaserbasi dan penurunan fungsi paru. Glukokortikosteroid inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualiti hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten (ringan sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan aman pada dosis yang direkomendasikan. Dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan potensi Dewasa
Dosis rendah
Dosis medium
Dosis tinggi
Beklometason dipropionat
200-500 ug
500-1000 ug
>1000 ug
Budesonid
200-400 ug
400-800 ug
>800 ug
Flunisolid
500-1000 ug
1000-2000 ug
>2000 ug
Flutikason
100-250 ug
250-500 ug
>500 ug
Triamsinolon asetonid
400-1000 ug
1000-2000 ug
>2000 ug
Anak
Dosis rendah
Dosis medium
Dosis tinggi
Beklometason dipropionat
100-400 ug
400-800 ug
>800 ug
Budesonid
100-200 ug
200-400 ug
>400 ug
Flunisolid
500-750 ug
1000-1250 ug
>1250 ug
Flutikason
100-200 ug
200-500 ug
>500 ug
Triamsinolon asetonid
400-800 ug
800-1200 ug
>1200 ug
Obat
Obat
23
Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena iritasi saluran napas atas. Semua efek samping tersebut dapat dicegah dengan penggunaan spacer , atau mencuci mulut dengan berkumur-kumur dan membuang keluar setelah inhalasi. Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten berat (setiap hari atau selang sehari), tetapi penggunaannya terbatas mengingat risiko efek sistemik. Harus selalu diingat indeks terapi (efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik daripada steroid oral jangka panjang. Jangka panjang lebih efektif menggunakan steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan saat memberi steroid oral : •
gunakan prednison, prednisolon, atau metilprednisolon karena mempunyai efek mineralokortikoid minimal, waktu paruh pendek dan efek striae pada otot minimal
•
bentuk oral, bukan parenteral
•
penggunaan selang sehari atau sekali sehari pagi hari
Efek samping sistemik penggunaan glukokortikosteroid oral/ parenteral jangka panjang adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal pituitari hipotalamus, katarak, glaukoma, obesiti, penipisan kulit, striae dan kelemahan otot. Perhatian dan supervisi ketat dianjurkan pada pemberian steroid oral pada penderita asma dengan penyakit lain seperti tuberkulosis paru, infeksi parasit, osteoporosis, glaukoma, diabetes, depresi berat dan tukak lambung. Glukokortikosteroid oral juga meningkatkan risiko infeksi herpes zoster. Pada keadaan infeksi virus herpes atau varisela, maka glukokortikosteroid sistemik harus dihentikan. Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
Mekanisme yang pasti dari sodium kromoglikat dan nedokromil sodium belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat penglepasan mediator dari sel mast melalui reaksi yang diperantarai IgE yang bergantung kepada dosis dan seleksi serta supresi sel inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil, monosit); selain kemungkinan menghambat saluran kalsium pada sel target. Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan. Studi klinis menunjukkan pemberian sodium kromoglikat dapat memperbaiki faal paru dan gejala, menurunkan hiperesponsif jalan napas walau tidak seefektif glukokortikosteroid inhalasi. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan
24
untuk menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak. Efek samping umumnya minimal seperti batuk atau rasa obat tidak enak saat melakukan inhalasi. Metilsantin
Teofilin
adalah
bronkodilator
yang
juga
mempunyai
efek
ekstrapulmoner
seperti
antiinflamasi. Efek bronkodilatasi berhubungan dengan hambatan fosfodiesterase yang dapat terjadi pada konsentrasi tinggi (>10 mg/dl), sedangkan efek antiinflamasi melalui mekanisme yang belum jelas terjadi pada konsentrasi rendah (5-10 mg/dl). Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat pengontrol, berbagai studi menunjukkan pemberian jangka lama efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. Preparat lepas lambat mempunyai aksi/waktu kerja yang lama sehingga digunakan untuk mengontrol gejala asma malam dikombinasi dengan antiinflamasi yang lazim. Efek samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi ( & 10 mg/kgBB/ hari atau lebih); hal itu dapat dicegah dengan pemberian dosis yang tepat dengan monitor ketat. Gejala gastrointestinal nausea, muntah adalah efek samping yang paling dulu dan sering terjadi. Efek kardiopulmoner seperti takikardia, aritmia dan kadangkala merangsang pusat napas. Intoksikasi teofilin dapat menyebabkan kejang bahkan kematian. Di Indonesia, sering digunakan kombinasi oral teofilin/aminofilin dengan agonis beta-2 kerja singkat sebagai bronkodilator; maka diingatkan sebaiknya tidak memberikan teofilin/aminofilin baik tunggal ataupun dalam kombinasi sebagai pelega/bronkodilator bila penderita dalam terapi teofilin/ aminofilin lepas lambat sebagai pengontrol. Perhatikan berbagai keadaan yang dapat mengubah metabolisme teofilin antara lain demam, hamil, penyakit hati, gagal jantung, merokok yang menyebabkan perubahan dosis pemberian teofilin/aminofilin. Selain itu perlu diketahui seringnya interaksi dengan obat lain yang mempengaruhi dosis pemberian obat lain tersebut misalnya simetidin, kuinolon dan makrolid. Agonis beta-2 kerja lama
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan basofil. Inhalasi agonis beta-2 kerja lama yang diberikan jangka lama mempunyai efek protektif terhadap rangsang bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis beta-2 kerja lama, menghasilkan efek bronkodilatasi lebih baik dibandingkan preparat oral. Onset dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis beta-2 Onset
Durasi (Lama kerja) 25
Cepat
Singkat
Lama
Fenoterol
Formoterol
Prokaterol Salbutamol/ Albuterol Terbutalin Pirbuterol Lambat
Salmeterol
Agonis beta-2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping sistemik (rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia) yang lebih sedikit atau jarang daripada pemberian oral. Bentuk oral juga dapat mengontrol asma, yang beredar di Indonesia adalah salbutamol lepas lambat, prokaterol dan bambuterol. Mekanisme kerja dan perannya dalam terapi sama saja dengan bentuk inhalasi agonis beta-2 kerja lama, hanya efek sampingnya lebih banyak. Efek samping berupa rangsangan kardiovaskular, ansieti dan tremor otot rangka. Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral. Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua leukotrin (contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien sisteinil pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Berbagai studi menunjukkan bahwa penambahan leukotriene modifiers dapat menurunkan kebutuhan dosis glukokortikosteroid inhalasi penderita asma persisten sedang sampai berat, mengontrol asma pada penderita dengan asma yang tidak terkontrol walau dengan glukokortikosteroid inhalasi. Efek samping jarang ditemukan. Zileuton dihubungkan dengan toksik hati, sehingga monitor fungsi hati dianjurkan apabila diberikan terapi zileuton. Tabel 4. Obat Controller asma Nama generik Nama dagang Sediaan Keterangan Golongan anti-inflamasi non-steroid Kromoglikat MDI Tidak tersedia lagi Nedokromil MDI Tidak tersedia lagi Golongan anti-inflamasi–steroid 26
Budesonid Flutikason
Pulmicort inflammide Flixotide
MDI, Turbuhaler MDI
Tidak tersedia lagi
Beklometason
Becotide MDI Golongan !-agonis kerja panjang Prokaterol Meptin Sirup tablet, MDI* Bambuterol Bambec Tablet Salmeterol Serevent MDI Klenbuterol Spiropent Sirup, tablet Golongan obat lepas lambat / lepas terkendali Terbutalin Kapsul Salbutamol Volmax Tablet Teofilin Tablet salut Golongan antileukotrien Zafirlukas Accolade Tablet -ada montelukas - belum ada Golongan kombinasi steroid + LABA Budesonid + Symbicort Turbuhaler formoterol seretide MDI Flukason + salmeterol
b. Reliever (rescue) medication, yaitu obat yang digunakan untuk meredakan gejala asma, misalnya saat perburukan atau eksaserbasi, atau saat terjadi brokonstriksi terkait olahraga. Agonis beta-2 kerja singkat
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat. Formoterol mempunyai onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping minimal/ tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast. Efek sampingnya adalah rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek samping daripada oral. Dianjurkan pemberian inhalasi, kecuali pada penderita yang tidak dapat/mungkin menggunakan terapi inhalasi. Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat. Aminofillin kerja singkat dapat dipertimbangkan untuk mengatasi gejala walau disadari onsetnya lebih lama daripada agonis beta-2 kerja singkat. Teofilin kerja 27
singkat tidak menambah efek bronkodilatasi agonis beta-2 kerja singkat dosis adekuat, tetapi mempunyai manfaat untuk respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernapasan dan mempertahankan respons terhadap agonis beta-2 kerja singkat di antara pemberian satu dengan berikutnya. Teofilin berpotensi menimbulkan efek samping sebagaimana metilsantin, tetapi dapat dicegah dengan dosis yang sesuai dan dilakukan pemantauan. Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak diberikan pada penderita yang sedang dalam terapi teofilin lepas lambat kecuali diketahui dan dipantau ketat kadar teofilin dalam serum. Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Efek bronkodilatasi tidak seefektif agonis beta-2 kerja singkat, onsetnya lama dan dibutuhkan 30-60 menit untuk mencapai efek maksimum. Tidak mempengaruhi reaksi alergi tipe cepat ataupun tipe lambat dan juga tidak berpengaruh terhadap inflamasi. Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide. Analisis meta penelitian menunjukkan ipratropium bromide mempunyai efek meningkatkan bronkodilatasi agonis beta-2 kerja singkat pada serangan asma, memperbaiki faal paru dan menurunkan risiko perawatan rumah sakit secara bermakna. Oleh karena disarankan menggunakan kombinasi inhalasi antikolinergik dan agnonis beta-2 kerja singkat sebagai bronkodilator pada terapi awal serangan asma berat atau pada serangan asma yang kurang respons dengan agonis beta-2 saja, sehingga dicapai efek bronkodilatasi maksimal. Tidak bermanfaat diberikan jangka panjang, dianjurkan sebagai alternatif pelega pada penderita yang menunjukkan efek samping dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi seperti takikardia, aritmia dan tremor. Efek samping berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit. Tidak ada bukti mengenai efeknya pada sekresi mukus.
Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak tersedia agonis beta-2, atau tidak respons dengan agonis beta-2 kerja singkat. Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut atau dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat (bedside monitoring). Nama generik
Tabel 5. Obat Reliever asma Nama Sediaan Keterangan dagang 28
Golongan !-agonis (kerja pendek) Terbutalin Bricasma Sirup, tablet, 0,05-0,1 Nairet turbuhaler sirup, mg/kgBB/kali Forasma tablet, ampul sirup, tablet Salbutamol Ventolin Sirup, tablet, MDI 0,05-0,1 mg/kgBB/kali Orsiprenalin Alupent Sirup, tablet, MDI Heksorenalin Tablet Fenoterol Berotec MDI Golongan santin Teofilin Sirup, tablet
c. Add-on therapy untuk pasien dengan asma berat, mulai dipertimbangkan jika pasien mengalami gejala persisten dan eksaserbasi yang terus menerus walaupun sudah diberikan terapi secara optimal. 3. Terapi pemeliharaan asma awal(GINA, 2016) Untuk hasil yang lebih baik, terapi pemeliharaan asma harian harus dimulai secepat mungkin setelah diagnosis asma dibuat, berdasarkan bukti klinis adalah sebagai berikut: a. Pemberian ICS dosis rendah dini pada pasien asma akan meningkatkan fungsi paru lebih baik dibandingkan jika pemberiannya dilakukan sudah muncul gejala selama 2-4 tahun. Jika telah berlangsung dalam waktu tersebut, dosis ICS lebih tinggi dibutuhkan, sedangkan fungsi paru sudah sangat lebih menurun. b. Pasien yang tidak mengonsumsi ICS dan mengalami eksaserbasi akan mengalami penurunan fungsi paru yang lebih hebat daripada pasien yang telah mulai menggunakan ICS c. Pada pasien dengan asma akibat pekerjaan, penghindaran dari agen iritan dan terapi dini dapat meningkatkan kemungkinan untuk sembuh.
29
Gambar 4. Tatalaksana Farmakologis Asma Bronkial (GINA, 2016)
4. Tatalaksana Lainnya a. Imunoterapi Alergen(GINA, 2016) Terapi alergen spesifik dapat menjadi pilihan jika alergi memerankan peran utama dalam asma, misalnya pada asma dengan rinokonjungtivitis alergika. Terdapat dua pendekatan utama, yaitu: 1) subcutaneous immunotherapy (SCIT) dan 2) sublingual immunotherapy (SLIT). Studi saat ini kebanyakan dilakukan pada asma ringan, dan sebagian lainnya. SCIT: pada pasien dengan sensitisasi alergi, SCIT terkait dengan penurunan gejala dan kebutuhan pengobatan, dan penurunan responsivitas terhadap alergen. Efek samping dari terapi ini adalah reaksi anafilaksis yang dapat mengancam jiwa. SLIT: Metode ini sangat bermanfaat pada dewasa dan anak-anak. Sebuah setudi SLIT pada rumah dengan tungau debu pada pasien dengan asma dan rinitis alergi menunjukan penurunan bermakna penggunaan ICS pada SLIT dosis tinggi. Efek samping yang terjadi akibat metode ini antara lain adalah gejala oral dan gastrointestinal ringan.
30
b. Vaksinasi(GINA, 2016) Influenza berkontribusi terhadap terjadinya eksaserbasi akut asma, dan pasien dengan asma sedang-berat disarankan untuk mendapatkan vaksinasi influenza setiap tahun. Akan tetapi, vaksinasi ini tidak dapat menurunkan frekuensi atau keparahan serangan asma. c. Termoplasti Bronkial (GINA, 2016) Terapi ini menjadi terapi potensial pada pasien dewasa dengan asma yang tetap tidak terkontrol walaupun dengan regimen terapi yang optimal. Terapi ini dilakukan melalui tiga bronkoskopi terpisah dengan gelombang radiofrekuensi lokal. Pada follow up jangka waktu sedang memang pasien yang diterapi dengan metode ini akan mengalami penurunan jumlah eksaserbasi. Akan tetapi, butuh studi yang lebih lama lagi untuk menjadi dasar bukti rekomendasi metode ini. d. Vitamin D(GINA, 2016) Beberapa studi cross-sectional telah memperlihatkan bahwa kadar serum vitamin D rendah terkait dengan penurunan fungsi paru, peningkatan frekuensi eksaserbasi dan penurunan respons kortikosteroid. Akan tetapi, sampai saat ini suplementasi vitamin D belum bisa dikaitkan secara kuat dengan peningkatan kontrol asma atau penurunan eksaserbasi. Indikasi merujuk ke fasilitas kesehatan lebih lanjut: 1) Kesulitan mengonfirmasi diagnosis asma 2) Curiga asma okupasional 3) Asma persisten tidak terkontrol dan eksaserbasi frekuent 4) Adanya faktor risiko asma yang mengancam nyawa 5) Bukti yang besar adanya risiko atau efek samping terapi 6) Adanya gejala yang menunjukkan komplikasi dari subtipe asma 7) Ragu tentang diagnosis asma 8) Gejala eksaserbasi tidak terkontrol walaupun dengan ICS dosis sedang dengan teknik yang benar dan kepatuhan yang cukup 9) Curiga efek samping terapi 10) Asma dan alergi makanan terkonfirmasi
Asma Eksaserbasi Akut
Berikut ini adalah beberapa hal yang menjadi poin-poin penting tentang asma eksaserbasi akut (GINA 2016) : 1. Eksaserbasi adalah perburukan akut atau subakut dalam hal gejala dan fungsi paru dari keadaan pasien biasanya, dan dalam beberapa kasus, gejala klinis pertama dari asma. 31
Istilah “episode”, “serangan”, atau “asma berat akut” sering digunakan, tapi pengertiannya berbeda. 2. Pasien dengan peningkatan risiko kematian terkait asma seharusnya dikenali, dan diperhatikan lebih dalam. Berikut ini adalah ciri-ciri pasien dengan risiko kematian akibat asma: a. Pernah mengalami asma berat yang hampir fatal dan membutuhkan intubasi dan ventilasi. b. Pernah dirawat inap atau perawatan IGD akibat asma dalam waktu 12 bulan terakhir. c. Sedang tidak menggunakan ICS, kepatuhan rendah dengan ICS. d. Saat ini menggunakan atau baru saja menghentikan oral kortikosteroid. e. Penggunaan SABA yang berlebihan, terutama jika menggunakan lebih dari
1
canister /bulan. f. Kurangnya rencana penanganan asma yang dibuat. g. Pernah mengalami penyakit psikiatrik atau masalah psikososial. h. Pasien asma dengan alergi makanan. 3. Tatalaksana perburukan dan eksaserbasi asma adalah bagian dari tatalaksana mandiri dan berkelanjutan dari pasien dengan sebuah rencana tertulis, melalui tatalaksana dari gejala yang lebih berat dalam fasilitas kesehatan tingkat awal, instalasi gawat darurat dan dalam rumah sakit. 4. Semua pasien seharusnya diberikan tatalaksana tertulis sesuai dengan derajat asma sehingga dapat memudahkan mengenali dan menangani asma. a) Rencana tatalaksana seharusnya termasuk kapan dan bagaimana mengganti obat controller dan reliever , penggunaan kortikosteroid oral, dan akses ke perawatan medis jika gejala tidak berespons dengan terapi. b) Pasien yang mengalami perburukan cepat seharusnya diarahkan untuk pergi ke instalasi medis akut atau untuk berobat ke dokter segera. c) Rencana tatalaksana dapat berdasar pada perubahan gejala atau PEF (pada dewasa). d) Pada pasien dengan gejala eksaserbasi akut pada fasilitas kesehatan tingkat pertama, berikut adalah tatalaksananya. e) Penilaian keparahan eksaserbasi seharusnya berdasarkan pada derajat sesak nafas, laju pernafasan, denyut nadi, saturasi oksigen dan fungsi paru, sambil memulai terapi short-acting beta2 agonist (SABA) dan terapi oksigen.
32
f) Pemindahan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan akut jika ditemui adanya tanda tanda eksaserbasi, atau ke ICU jika terdapat penurunan kesadaran atau silent chest . Saat pemindahan pasien, inhalasi SABA, ipratropium bromide, terapi oksigen terkendali dan kortikosteroid sistemik jika diperlukan. g) Terapi seharusnya dimulai dengan pemberian SABA berulang (dengan MDI atau spacer ), atau pemberian dini kortikosteroid oral, dan pemberian oksigen terkendali jika tersedia. Penilaian ulang respons gejala terhadap terapi, saturasi oksigen dan fungsi paru harus dilakukan tiap 1 jam. h) Ipratropium bromide direkomendasikan hanya jika terdapat eksaserbasi berat. i) Pemberian MgSO4 intravena seharusnya dipertimbangkan pada pasien dengan eksaserbasi berat yang tidak berespons terhadap terapi awal. j) Foto thorax tidak direkomendasikan secara rutin. k) Keputusan mengenai hospitalisasi seharusnya berdasarkan atas status klinis, fungsi paru, respons terhadap terapi, riwayat eksaserbasi dan kemampuan untuk mengendalikan asma di rumah. l) Sebelum pasien dipulangkan, harus direncanakan tatalaksana selanjutnya, termasuk pemulaian terapi controller atau penaikan dosis dari terapi controller untuk 2-4 minggu, dan penurunan reliever sesuai penggunaan sebutuhnya. m) Antibiotik seharusnya tidak secara rutin diberikan pada eksaserbasi asma. 5. Rencanakan pemantauan segera setelah setiap eksaserbasi meliputi : a) Penilaian ulang pengendalian gejala, faktor risiko untuk eksaserbasi selanjutnya. b) Untuk banyak pasien, berikan terapi controller regular untuk menurunkan risiko untuk eksaserbasi lebih lanjut. Lanjutkan peningkatan dosis controller untuk 2-4 minggu. c) Pantau terus teknik inhalasi dan kepatuhan.
33
Gambar 6. Tatalaksana Asma Eksaserbasi Akut di Fasilitas Kesehatan Pertama (GINA, 2016)
34
Gambar 7. Tatalaksana Asma Eksaserbasi Akut di Fasilitas Medis Akut (IGD) (GINA, 2016)
Kehamilan
Selama kehamilan berat penyakit asma dapat berubah sehingga penderita memerlukan pengaturan jenis dan dosis obat asma yang dipakai. Penelitian retrospektif memperlihatkan bahwa selama kehamilan 1/3 penderita mengalami perburukan penyakit, 1/3 lagi menunjukkan perbaikan dan 1/3 sisanya tidak mengalami perubahan. Meskipun selama kehamilan pemberian obat-obat harus hati-hati, tetapi asma yang tidak terkontrol bisa menimbulkan masalah pada bayi berupa 35
peningkatan kematian perinatal, pertumbuhan janin terhambat dan lahir prematur, peningkatan insidensi operasi caesar, berat badan lahir rendah dan perdarahan postpartum. Prognosis bayi yang lahir dari ibu menderita asma tapi terkontrol sebanding dengan prognosis bayi yang lahir dari ibu yang tidak menderita asma. Oleh sebab itu mengontrol asma selama kehamilan sangat penting untuk mencegah keadaan yang tidak diinginkan baik pada ibu maupun janinnya. Pada umumnya semua obat asma dapat dipakai saat kehamilan kecuali komponen % adrenergik, bromfeniramin dan epinefrin. Kortikosteroid inhalasi sangat bermanfaat untuk mengontrol asma dan mencegah serangan akut terutama saat kehamilan. Bila terjadi serangan, harus segera ditanggulangi secara agresif yaitu pemberian inhalasi agonis beta-2, oksigen dan kortikosteroid sistemik. Pemilihan obat pada penderita hamil, dianjurkan : 1. Obat inhalasi 2. Memakai obat-obat lama yang pernah dipakai pada kehamilan sebelumnya yang sudah terdokumentasi dan terbukti aman.
4. Planning !
O2 nasal kanul 2-7 lpm
!
Ivfd drip Aminophilin (0,8mg/kgBB/jam) dalam D5% 500ml " 10 tpm makro
!
Inj. Cefotaxim 2 g/12 jam
!
Inj. Dexamethasone 1 ampul/12 jam
!
Drip Paracetamol 500 mg (k/p) jika demam
!
Inj. Furosemide 1 ampul (extra)
!
Cetirizine tab 1-0-1 tab
!
Inhalasi/Nebulisasi " (Salbutamol 1 respul + Budesonide 1 respul)/8 jam
!
Konsul dr.SpOG
5. Prognosis
Quo Ad vitam
: dubia ad bonam
Quo Ad sanationam : dubia ad malam Quo Ad fungsionam : dubia ad malam
36
FOLLOW UP # Tanggal 27 – 04 - 2017
1 Hari setelah masuk Rumah Sakit (ruang Akasia) S : sesak (+), batuk kering (+), lemah (+), demam (+). 0
O : TD : 110/60 mmHg, HR : 120 x/mnt,
RR : 32 x/mnt, T : 37,5 C, SaO2 : 94 - 96%,
KU Kepala Mata THT Leher Mulut Cor Pulmo Abdomen
: tampak sakit berat, CM, tampak sangat sesak : Normochepali : CA -/-, SI -/-, pupil bulat isokor (2mm/2mm), reflek cahaya (+/+) : Faring Hiperemis (+), Tonsil T1 – T1 : KGB tidak teraba membesar. : Bentuk normal, bibir sianosis (-), pucat (-) : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-) : SNV +/+, Rh -/-, Wh +/+ : Supel, nyeri tekan (-), H/L tidak teraba, BU (+), turgor kulit dbn. TFU ! dari Proc. Xiphoideus dengan Umbilikus, DJJ 140x/m. Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan Ekstremitas : Akral dingin (-/-), edema +/+
A : 1. Asma Bronkial 2. G2P1A0 hamil ± 7 bulan, janin tunggal intrauterine P: !
O2 NRM 8-10 lpm
!
Ivfd NaCL 0,9 % 12 tpm
!
Inj. Ceftriaxone 1 g/12 jam
!
Inj. Gentamycin 1x1 amp / 24 jam
!
Inj. Methylprednisolone 62,5 mg/8 jam
!
Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
!
Inhalasi/Nebulisasi " (Salbutamol + Ipratropium bromide 1 respul)/8 jam
!
Monitoring VS
# Tanggal 28 – 04 - 2017
2 Hari setelah masuk Rumah Sakit (ruang Akasia) S : sesak (+), batuk kering (+), lemah (+), demam (+). RR : 30 x/mnt, T : 37,2 0C, SaO2 : 95 - 97%,
O : TD : 110/70 mmHg, HR : 110 x/mnt, KU Kepala Mata THT Leher Mulut
: tampak sakit berat, CM, tampak sesak : Normochepali : CA -/-, SI -/-, pupil bulat isokor (2mm/2mm), reflek cahaya (+/+) : Faring Hiperemis (-), Tonsil T1 – T1 : KGB tidak teraba membesar. : Bentuk normal, bibir sianosis (-), pucat (-) 37
Cor Pulmo Abdomen
: S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-) : SNV +/+, Rh -/-, Wh +/+ : Supel, nyeri tekan (-), H/L tidak teraba, BU (+), turgor kulit dbn. TFU ! dari Proc. Xiphoideus dengan Umbilikus, DJJ 136x/m. Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan Ekstremitas : Akral dingin (-/-), edema +/+ A : 1. Asma Bronkial 2. G2P1A0 hamil ± 7 bulan, janin tunggal intrauterine P: !
O2 NRM 8-10 lpm
!
Ivfd NaCL 0,9 % 12 tpm
!
Inj. Ceftriaxone 1 g/12 jam
!
Inj. Gentamycin 1x1 amp / 24 jam
!
Inj. Methylprednisolone 62,5 mg/8 jam
!
Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
!
Inhalasi/Nebulisasi " (Salbutamol + Ipratropium bromide 1 respul)/8 jam
!
Monitoring VS
!
Pasien pulang APS.
38