Nama : Nur Fauziah Rani Nim : I011171536 Kelas : B1 UPAYA untuk MENGEMBANGKAN KELEMBAGAAN PETANI
Kelembagaan petani merupakan lembaga yang ditumbuh kembangkan dari, oleh dan untuk petani, yang dibentuk atas dasar sesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan social, ekonomi, dan sumberdaya, kesamaan komoditas dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota yang dinamakan dengan kelompok tani (poktan), gabungan kelompok tani (gapoktan), dan kelembagaan petani lainnya. Penumbuhan dan pengembangan kelembagaan petani dilakukan melalui pemberdayaan petani untuk mengubah pola fikir petani agar mau meningkatkan usaha taninya dan meningkatkan kemampuannya kemampuannya dalam melaksanakan fungsinya yaitu, kelas belajar, wahana kerjasama, dan unit produksi. Kelembagaan petani yang telah terbentuk memiliki beberapa permasalahan antara lain yaitu : 1. Masih rendahnya kualitas dalam mengelola usaha tani secara efisien, 2. Rendahnya kemampuan dalam menjalin kerjasama dengan pelaku agribisnis dan kelembagaan ekonomi pedesaan lainnya, 3. Masih lemahnya kapasitas kelembagaan petani dan kelembagaan ekonomi petani (belum berbadah hukum), 4. Masih terbatasnya kases petani terhadap seumber pembiayaan/ ppermodalan dan pemasaran, 5. Masih terbatasnya akses petani terhadap IPTEK dan informasi. Seperti cerita singkat kelompok tani ternak “Bukit sapa bintoeng” bintoeng” Desa Bonto Daeng, Kec. Ulu Ere, Kab. Bantaeng: Salimah, wanita tani yang berharap penuh dengan usaha ternak sapinya bisa membawa perbaikan ekonomi keluarganya. Senja mulai merayapi Desa Bonto Daeng, Kecamatan Ulu Ere, Kab. Bantaeng – Sulsel, Sulsel, Jumat (05/10) petang. Hawa dingin yang disertai kabut juga mulai terlihat menyelimuti alam Desa tersebut. Terlihat beberapa petani baik laki dan perempuan serta anak-anak menggiring ternak sapinya yang habis digembalakan sejak siang menuju kandang kolektif yang memang sengaja mereka buat sebagai wadah kelompok dan memudahkan pengontrolan. Suara canda tawa mereka m ereka menghangatkan hawa dingin yang kian menusuk tulang. Suasana itu saban hari rutin terlihat terl ihat di Desa Bonto Daeng, yang berdekatan dengan kawasan wisata loka, Bantaeng, Sulawesi Selatan. Gambaran khas desa pertanian dan peternakan yang merupakan mata pencaharian utama masyarakat di dataran tinggi bukit sapa bintoeng, Bantaeng utara.
Bagi petani, bercocok tanam dan beternak sapi merupakan tumpuan hidup dalam memperbaiki taraf hidup mereka. untuk itu, seluruh anggota keluarga terlibat di dalam usaha taninya. “Biasanya yang mencari pakan rumput selain bapak, paman saya. Kalau ibu membersihkan kandang dan memberi pakan. Kadang saya juga ikut membantu membawa pakan rumput gajah dan memberi pakan sapi”, tutur Hikmah, perempuan Hikmah, perempuan anak petani di desa Bonto Daeng. Daeng Nyanrang, yang telah sekitar 20 tahun bergantung hidup dari petani kebun dan peternak sapi tradisional mengatakan, memelihara sapi memang harus memiliki keterampilan disamping harus tekun dalam merawatnya hingga berkembang biak dan bisa melahirkan anak setiap tahun. Daeng Nyanrang yang merupakan anggota kelompok tani ternak “Bukit sapa bintoeng” ini, s emula hanya memiliki 2 ekor sapi betina diberikan pemerintah melalui program bantuan sosial pada 2011. Berkat ketekunannya, ia kini memiliki empat ekor sapi, dua hektar kebun, dan bisa menyekolahkan anak. Untuk mendapatkan ternak sehat, Daeng Nyanrang sangat s angat memperhatikan pakan dan kebersihan ternak serta kandangnya. Pakan sapi potong yang ia pelihara adalah hijauan rumput gajah. Untungnya ia tidak repot memikirkan ketersediaan pakan rumput gajah ini apalagi membeli, karena banyak lahan yang masih terlantar di perbukitan ditanami rumput gajah yang mirip pohon tebu tersebut. Jika seekor sapinya yang induk bisa melahirkan anak setiap tahun saja, penghasilan Daeng Nyanrang dalam menghidupi ekonomi keluarganya bisa tercukupi dalam beberapa tahun ke depan, setidaknya Daeng Nyanrang bisa menjual ternak sapinya jika saatnya tiba per ekor Rp. 7-8 juta di umur 1.5 tahun. Nilai ekonomi yang terbilang lumayan lumayan bagi ukuran seorang petani. “Asal rajin dan ditekuni, dari memelihara sapi bisa buat menabung, menabung, kalau ada teman peternak tidak juga bisa berkembang biasanya karena malas memelihara pedetnya (anak sapi). Padahal, memelihara pedet sama saja kita menabung,” tutur Daeng Nyanrang. Sejak 20 tahun lalu, Desa Bonto Daeng sudah menjadi salah satu sentra pengembangan ternak sapi potong di Kab. Bantaeng. Kepala Bidang Peternakan, Pete rnakan, Dinas Pertanian dan Peternakan Kab. Bantaeng, Rita S. Pasa menyebutkan, sejak awal tahun 1990-an, sapi-sapi jenis bali unggul mulai didatangkan dari Mataram, Lombok, yang diken al sebagai “bumi sejuta sapi” di Prop. NTB. Di Desa Bonto Daeng pemeliharaan sapi yang dilakukan petani pengelolaanya umumnya masih tradisional. Sentuhan teknologi belum
sepenuhnya dirasakan oleh sebagian petani yang rata-rata berpendidikan yang sangat rendah. Meski diantara mereka sudah pernah dilatih inseminasi buatan atau kawin suntik, namun mereka umumnya mengawinkan ternaknya secara alami (nature mating). Sejak dua tahun terakhir ini, para petani dengan skala pemilikan ternak sapinya dua sampai empat ekor menyatukan diri dengan merintis kelompok tani ternak “bukit sapa bintoeng” agar mereka mampu menjalani aktifitas mereka dengan solid seperti tujuan mereka ini maju secara bersama dalam wadah kelompok. Ketua Kelompok tani ternak “bukit sapa bintoeng” me ngatakan, populasi sapi milik anggota bertambah dari 32 ekor pada tahun 2011, menjadi 35 ekor. 2 ekor diantaranya adalah sapi jantan atau pemacek yang siap melayani sapi betina jika ada yang berahi untuk dilakukan perkawinan alam. Demikian halnya, dengan luas hamparan rumput gajah. Saat ini petani yang tergabung dalam kelompok ternak secara bergotong royong membudidayakan rumput gajah untuk persediaan sepanjang tahun. Walau begitu, geliat peternakan sapi potong di dataran tinggi loka yang dikelola kelompok ternak bukannya tak meninggalkan persoalan lingkungan. Jumlah populasi sapi yang ada di Kec. Ulu Ere mencapai 5.000 ekor ternyata belum dibarengi dengan manajamen pengelolaan limbah yang memadai. Keterbatasan lahan dan kurangnya bimbingan dan arahan dari Dinas peternakan setempat menyebabkan para petani ternak berpikir pendek dan membuangnya begitu saja ke aliran sungai tanpa diolah.