Kriminalitas berasal dari kata "crimen" yang berarti kejahatan.
Berikut pengertian kejahatan dipandang dalam berbagai segi:
* Secara yuridis, kejahatan berarti segala tingkah laku manusia yang dapat dipidana,yang diatur dalam hokum pidana.
* Dari segi kriminologi,setiap tindakan Dari segi kriminologi setiap tindakan atau perbuatan tertentu yang tindakan disetujui oleh masyarakat diartikan sebagai kejahatan. Ini berarti setiap kejahatan tidak harus dirumuskan terlebih dahulu dalam suatu peraturan hokum pidana. Jadi setiap perbuatan yang anti social,merugikansertab menjengkelkan masyarakat,secara kriminologi dapat dikatakan sebagai kejahatan
* Arti kejahatan dilihat dengan kaca mata hokum, mungkin adalah yang paling mudah dirumuskan secara tegas dan konvensional. Menurut hokum kejahatan adalah perbuatan manusia yang melanggar atau bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah hokum; tegasnya perbuatan yang melanggar larangan yang ditetapkan dalam kaidah hokum,dan tidak memenuhi atau melawan perintah-perintah yang telah ditetapakan dalam kaidah hokum yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan bertempat tinggal.(Soedjono. D,S.H.,ilmu Jiwa Kejahatan,Amalan, Ilmu Jiwa Dalam Studi Kejahatan,Karya Nusantara,Bandung,1977,hal 15).
Dari segi apa pun dibicarakan suatu kejahatan,perlu diketahui bahwa kejahatan bersifat relative. Dalam kaitan dengan sifat relatifnya kejahatan, G. Peter Hoefnagels menulis sebagai berikut : (Marvin E Wolfgang et. Al., The Sociology of Crime and Delinquency,Second Edition,Jhon Wiley,New York,1970,hlm. 119.)
We have seen that the concept of crime is highly relative in commen parlance. The use of term "crime" in respect of the same behavior differs from moment to moment(time), from group to group (place) and from context to (situation).
Relatifnya kejahatan bergantung pada ruang,waktu,dan siapa yang menamakan sesuatu itu kejahatan. "Misdad is benoming", kata Hoefnagels; yang berarti tingkah laku didefenisikan sebagai jahat oleh manusia-manusia yang tidak mengkualifikasikan diri sebagai penjahat. (J.E. Sahetapy, Kapita Selekta Kriminologi,Alumni, Bandung, 1979,hlm.67.)
Dalam konteks itu dapat dilakukan bahwa kejahatan adalah suatu konsepsi yang bersifat abstrak. Abstrak dalam arti ia tidak dapat diraba dan tidak dapat dilihat,kecuali akibatnya saja.
http://pendidikantech.blogspot.com/2010/05/pengertian-kriminalitas.html
A. Definisi Kejahatan
Secara yuridis formal, kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asocial sifatnya dan melanggar hukum serta undang-undang pidana didalam perumusan pasal-pasal kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) jelas tercantum: kejahatan adalah semua bentuk perbuatan yang memenuhi perumusan ketentuan-ketentuan KUHP. Ringkasnya, secara yuridis formal, kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Selanjutnya semua tingkah laku yang dilarang oleh undang-undang, harus disingkiri. Barang siapa melanggarnya, dikenai pidana. Maka larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara itu tercantum pada undang-undang dan peraturan-peraturan pemerintah, baik yang dipusat maupun pemerintah daerah.
Secara sosiologis, kejahatan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan, dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis dan social psikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma-norma susila, dan menyerang keselamatan warga masyarakat (baik yang telah tercakup dalam undang-undang, maupun yang belum tercantum dalam undang-undang pidana).
Selanjutnya, penjelmaan atau bentuk dan jenis kejahatan itu dapat dibagi-bagikan kedalam beberapa kelompok, yaitu:
a) Rampok dan gangsterisme, yang sering melakukan operasi-operasinya bersama-sama dengan organisasi-orgnisasi legal.
b) Penipuan-penipuan: permainan-permainan penipuan dalam bentuk judi dan peranrata-perantara "kepercayaan," pemerasan (blackmailing), ancaman untuk mempublisir skandal dan perbuatan manipulative.
c) Pencurian dan pelanggaran; perbuatan kekerasan, pembegalan, penjambretan/pencopetan, perampokan; pelanggaran lalu lintas, ekonomi, pajak, bea cukai, dan lain-lain.
Menurut cara kejahatan dilakukan, bisa dikelompokkan dalam:
a) Menggunkan alat-alat bantu: senjata, senapan, bahan-bahan kimia dan racun, instrument kedokteran, alat pemukul, alat jerat, dan lain-lain.
b) Tanpa menggunakan alat bantu, hanya dengan kekuatan fisik belaka, bujuk rayu dan tipu daya.
c) Residivis, yaitu penjahat-penjahat yang berulang-ulang ke luar masuk penjara. Selalu mengulangi perbuatan jahat, baik yang serupa ataupun yang berbeda bentuk kejahatannya.
d) Penjahat-penjahat berdarah dingin, yang melakukan tindak durjana dengan pertimbangan-pertimbangan dan persiapan yang matang.
e) Penjahat kesempatan atau situasional, yang melakukan kejahatan dengan menggunakan kesempatan-kesempatan kebetulan.
f) Penjahat dengan dorongan impuls-impuls yang timbul seketika. Misalnya berupa "perbuatan kortsluiting," yang lepas dari pertimbangan akal, dan lolos dari tapisan hati nurani.
g) Penjahat kebetulan, misalnya karena lupa diri, tidak disengaja, lalai, ceroboh, acuh tak acuh, sembrono, dan lain-lain.
Sarjana Capelli membagi type penjahat sebagai berikut:
1) Penjahat yang melakukan kejahatan didorong oleh factor psikopatologis, dengan pelaku-pelakunya:
a. Orang yang sakit jiwa.
b. Berjiwa abnormal, namun tidak sakit jiwa.
2) Penjahat yang melakukan tindak pidana oleh cacat badani-rohani, dan kemunduran jiwa-raganya.
a. Orang-orang dengan gangguan jasmani-rohani sejak lahir dan pada usia muda, sehingga sukar dididik, dan tidak mampu menyesuaikan diri terhadap pola hidup masyarakat umum.
b. Orang-orang dengan gangguan badani-rohani pada usia lanjut (dementia senilitas), cacat/invalid oleh suatu kecelakaan, dan lain-lain.
3) Penjahat karena faktor-faktor social, yaitu:
a. Penjahat kebiasaan.
b. Penjahat kesempatan oleh kesulitan ekonomi atau kesulitan fisik.
c. Penjahat kebetulan, yang pertama kali melakukan kejahatan kecil secara kebetulan; Kemudian berkembang lebih sering lagi, lalu melakukan kejahatan-kejahatan besar.
d. Penjahat-penjahat berkelompok seperti melakukan penebangan kayu dan pencurian kayu di hutan-hutan pencurian massal di pabrik-pabrik pembantaian secara bersama, penggarongan, perampokan dan sebagainya.
Seelig membagi type penjahat atas dasar struktur kepribadian pelaku, atau atas dasar konstitusi jiwani/psikis pelakunya, yaitu:
1) Penjahat yang didorong oleh sentiment-sentimen yang sangat kuat dan pikiran yang naïf-primitif. Misalnya membunuh anak dan isteri, karena membayangkan mereka itu akan hidup sengsara di dunia yang kotor ini; sehingga perlulah nyawa mereka itu dihabisi.
2) Penjahat yang melakukan tidak pidana didorong oleh satu ideology dan keyakinan kuat; baik yang fanatic kanan (golongan agama), maupun yang fanatic kiri (golongan sosialis dan komunis), Misalnya gerakan "jihad," membunuh pemimpin-pemimpin dan kepala Negara, membantai lawan-lawan politik, menculik dan menteror lingkungan dengan sengaja, dan lain-lain.
Menurut obyek hukum yang diserangnya, kejahatan dapat dibagi dalam:
1) Kejahatan ekonomi: fraude, penggelapan, penyeludupn, perdagangan, barang-barang terlarang (bahan narkotik, buku-buku dan bacaan pornografis, minuman keras, dan lain-lain), penyogokan dan penyuapan untuk mendapatkan monopoli-monopoli tertentu, dan lain-lain.
2) Kejahatan politik dan pertahanan-keamanan, pelanggaran ketertiban umum, penghianatan, dan penjualan rahasia-rahasia Negara pada agen-agen asing, berfungsi sebagai agen-agen subversi, pengacauan, kejahatan terhadap keamanan Negara dan kekuasaan Negara, penghinaan terhadap martabat pemimpin-pemimpin Negara, kolaborasi dengan musuh, dan lain-lain.
3) Kejahatan kesusilaan: pelanggaran seks, perkosaan, fitnahan.
4) Kejahatan terhadap jiwa orang dan harta benda.
Jika yang dipakai sebagai criteria adalah motif atau alasan-alasannya, maka kejahatan bisa berlandaskan pada motif-motif: ekonomis, politis, dan etis atau kesusilaan.
Pembagian kejahatan menurut type penjahat, yang dilakukan oleh Cecaro Lombroso, ialah sebagai berikut:
1) Penjahat sejak lahir dengan sifat-sifat heredriter (born criminals) dengan kelainan-kelainan bentuk jasmani, bagian-bagian badan yang abnormal, stik mata atau roda fisik, anomaly/cacat dan kekurangan jasmaniah. Misalnya bentuk tengkorak yang luar biasa, dengan keanehan-keanehan susunan otak mirip dengan binatang.
2) Penjahat dengan kelainan jiwa, misalya: gila, setengah gila, idiot, debil, imbesil, dihinggapi hysteria, melankolis, epilepsy atau ayan, dementia yaitu lemah pikiran, dementia peraicok atau lemah fikiran yang sangat dini, dan lain-lain.
3) Penjahat dirangsang oleh dorongan libido seksualis atau nafsu-nafsu seks.
4) Penjahat karena kesempatan. Misalnya terpaksa melakukan kejahatan karena keadaan yang luar biasa, dalm bentuk pelanggaran-pelanggran kecil. Dia membaginya dalam: pseudo-kriminal (pura-pura) dan kriminaloids.
5) Penjahat dengan organ-organ jasmani yang normal, namun mempunyai pola kebiasaan buruk, asosiasi social yang abnormanl atau menyimpang dari pola kelakuan umum, sehingga sering melanggar undang-undang dan norma susila, lalu banyak melakukan kejahatan.
Aschaffenburg membagi type penjahat sebagai berikut:
1) Penjahat professional: kejahatan sebagai "penggaotan" atau pekerjaan sehari-hari, karena sikap hidup yang keliru.
2) Penjahat oleh kebiasaan, disebabkan oleh mental yang lemah, sikap yang pasif, pikiran yang tumpul, dan apatisme.
3) Penjahat tanpa/kurang memiliki disiplin kemasyarakatan. Misalnya para pengemudi mobil dan sepeda motor yang tidak bertanggung jawab, tidak menghiraukan etik lalu lintas dan peraturan-peraturan keamanan lalu lintas.
4) Prnjahat-penjahat yang memiliki krisis jiwa, misalnya kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak puber, membakar rumah sendiri karena ingin mendapatkan uang asuransi; membunuh pacar sendiri karena sudah dihamilli,atau karena cintanya tidak terbalas. Ibu muda yang membunuh bayinya karena tidak kawin; membunuh orang lain atau melakukan bunuh diri, karena tidak mampu krisis jiwanya, dan lain-lain.
5) Penjahat yang melakukan kejahatan oleh dorongan-dorongan seks yang abnormal. Misalnya homo seks, sadisme, sadomasokhisme,[2] pedofilia,[3] lesbianism, perkosaan, dan lain-lain.
6) Penjahat yang sangat agresif dan memiliki mental yang sangat labil, yang sering melakukan penyerangan, penganiayaan dan pembunuhan. Juga selalu melontarkan pernyataan-pernyataan ovensif/penyerangan, melalui ucapan atau tulisan-tulisan penghinaan dan fitnahan. Mereka itu biasanya memiliki rasa social yang tipis sekali, dan jiwanya sangat tidak stabil. Pemakaian minuman keras dan bahan-bahan narkotika memperbesar nafsu-nafsu agresifnya.
B. Beberapa Teori Mengenai Kejahatan
1. Teori theologis
Teori ini menyatakan kriminalitas sebagai perbuatan dosa yang jahat sifatnya. Setiap orang normal bisa melakukan kejahatan sebab didorong oleh roh-roh jahat dan godaan "syetan/iblis" atau nafsu-nafsu durjana angkara, dan melanggar kehendak Tuhan. Dalam keadaan setengah atau tidak sadar terbujuk oleh godaan iblis, orang baik-baik bisa menyalahi perintah-perintah Tuhan dan melakukan kejahatan. Maka, barang siapa melanggar perintah Tuhan, dia harus mendapat hukuman sebagai penebus dosa-dosanya.
2. Teori filsafat tentang manusia (antropologi transcendental)
Menyebutkan adanya dialektika antar pribadi/personal jasmani dan pribadi rohani. Personal rohani disebut pula sebagai JIV atau jiwa, yang berarti "lembaga kehidupan" atau "daya kurang hidup." Jiwa ini merupakan prinsip keselesain dan kesempurnaan, dan sifatnya baik, sempurna serta abadi tidak ada yang perlu diperbaiki lagi. Oleh karena itu jiwa mendorong manusia kepada perbuatan-perbuatan yang baik dan susila, mengarahkan manusia pada usaha transendensi-diri[4] dan konstruksi diri.
3. Teori kemauan bebas (free will)
Teori ini menyatakan, bahwa manusia itu bisa bebas berbuat menurut kemauannya. Dengan kemauan bebas dia dia berhak menentukan pilihan dan sikapnnya. Untuk menjamin agar supaya setiap perbuatan berdasarkan kemauan bebas itu cocok dengan keinginan masyarakat, maka manusia harus diatur dan ditekan, yaitu dengan: hukum, norma-norma social dan pendidikan.
Teori kemauan bebas tidk menyebutkan roh-roh jahat sebagai sebab kurang musabab kejahatan. Akan tetapi sebab kejahatan adalah kemauan manusia itu sendiri. Jika dia dengan sadar benar berkeinginan melakukan perbuatan durjana, maka tidak ada seorangpun, tidak satu dewapun, bahkan tidak bisa Tuhan dan sebuah kitab sucipun yang bisa melarang perbuatan kriminalnya. Orang-orang jahat yang sering melakukan tindak durjana, bikin onar dan kesengsaraan pada orang lain itu perlu ditindak, dihukum dan dididik kembali oleh masyarakat.
4. Teori penyakit jiwa
Teori ini menyebutkan adanya kelainan-kelainan yang bersifat sikis, sehingga individu yang berkelainan ini sering melakukan kejahatan-kejahatan. Penyakit jiwa tersebut berupa: psikopat dan defekt moral.
Psikopat adalah bentuk kekalutan mental yang ditandai dengan tidak adanya pengorganisasian dan pengintegrasian pribadi, orangnya tidak pernah bisa bertanggung jawab secara moral, dan selalu berkonflik dengan norma-norma social serta hukum, dan biasanya juga bersifat immoral.
Defect moral (defisiensi moral)[5] dicirikan dengan: individu-individu yang hidupnya delinquent/jahat, selalu melakukan kejahatan kedurjanaan, dan bertingkah laku a-sosial atau anti social, walaupun pada dirinya tidak terdapat penyimpangan atau gangguan intelektual (tapi ada disfungsi atau tidak berfungsinya intelegensi).
5. Teori fa'al tubuh (fisiologis)
Teori ini menyebutkan sumber kejahatan adalah: ciri-ciri jasmaniah dan bentuk jasmaniah. Yaitu pada bentuk tengkorak, wajah, dahi, hidung, mata, rahang, telinga, leher, lengan, tangan, jari-jari, kaki dan anggota badan lainnya. Semua ciri fisik itu mengkonstituir kepribadian seseorang dengan kecendrungan-kecendrungan criminal. Penganut-penganut teori ini antara lain ialah Dr.G.Frans joseph Call (sosiolog), August Comte dan M.B.Samson.
Sebenarnya, pelopor-pelopor dari terminology modren: Cecare Lombroso, Enrico Ferri (1856-1928) dan Refaelle Garofalo, yang secara bersama-sama membangun "sekolah italia" (mashab italia).Lombroso berkeyakinan, bahwa orang-orang kriminil itu mempuyai konstitusi psikofisik dan type kepribadian yang abnormal, yang jelas bisa dibedakan dari orang-orang normal. Mereka itu memiliki stigmata (ciri-ciri, tanda selar) karakteristik, yang sifatnya bisa:
a) Fisiologos-anatomis: dengan ciri-ciri khas pada tubuh dan anggota serta anomaly/kelainan jasmaniah.
b) Psikologis: dengan ciri-ciri psikopatik, neurotic, atau gangguan system syaraf, psikotik atau gila, dan defect moral.
c) Social: bersifat a-sosial, anti-sosial, dan mengalami disorientasi social.
Jumlah pembunuh-pembunuh kejam yang moral defisien, yang tidak memiliki perasaan belas kasihan dan prikemanusiaan,ada dua kali lipat banyaknya dari pada pembunuh-pembunuh normal. Juga pembakar-pembakar kronis, yaitu orang-orang yang dihinggapi pyromania [6] lebih banyak yang defect/difisien moralnya. Pemerkosa-pemerkosa terhadap anak-anak kecil, dan mereka yang melakukan pemerkosaan seksuil tidak wajar, pada umumnya adalah defect moralnya.
Pengikut-pengikut Lombroso kemudian menjelaskan type-type kriminal dengan prinsip-prinsip atafisme. Prinsip ini menyatakan adanya proses kemunduran kepada pola-pola primitive dari speciesnya [7] yaitu tiba-tiba muncul ciri-ciri milik nenek moyang, yang semula lenyap selama berabad-abad, dan kini timbul kembali. Teori atafisme ini mencoba membuktikan dan membandingkan ciri-ciri karakteristik yang anatomis dan organic, diantara penjahat-penjahat dengan orang-orang primitive. Tenyata, bahwa ciri-ciri dan tingkah laku kaum kriminil itu mirip sekali dengan tingkah laku orang primitive yang liar-kejam dan berbarik, bengis lalim.
Menurut Esquirol, Pritchard, Despine, dan Maudsley, perangi dan tingkah laku kaum penjahat itu pada hakikatnya merupakan peristiwa moral insanity (kegilaan moral). Lombroso dan pengikut-pengikutnya dengan tegas menyatakn adanya "born criminals", criminal sejak lahir dengan basis psiko-fisik yang epileptic. Dalam hal ini gejala moral insanity merupakan manifestasi primernya, sedang gejala epileptic/ayan adalah manifestasi sekundar, Keduanya merefeksikan prinsip atafisme. Pada umumnya, born criminals ini mempunyai stigmata jasmaniah yang menyolok.
Enrico ferri dengan pandangan sosiologisnya menyebutkan tiga factor penyebab kejahatan, yaitu:
1) Individual (antropologis) yang meliputi: usia, seks atau jenis kelamin, status sipil, profesi atau pekerjaan, tempat tinggal/domisili, tingkat social, pendidikan, konstitusi organis dan psikis.
2) Fisik (natural, alam): ras, suku, iklim, fertilitas, disporsisi bumi, keadaan alam diwaktu malam hari dan siang hari, musim, kondisi meteoric atau keruang angkasaan, kelembaban udara dan suhu.
3) Sosial: antara lain: kepadatan penduduk, susunan masyarakat, adat istiadat, agama, orde pemerintah. Kondisi ekonomi dan indutri, pendidikan, jaminan social, lembaga legislative dan lembaga hukum, dan lain-lain.
6. Teori yang menitik beratkan pengaruh anthropologis
Teori ini menyatakan adanya ciri-ciri individual yang karakteristik, dan ciri anatomis yang khas menyimpang dalam kelompok ini dimasukkan teori atafisme. Sarjana ferrero berpendapat, bahwa teori atafisme itu memang mempunyai segi-segi kebenarannya, yaitu: orang-orang criminal itu mempunyai ciri-ciri psikis yang sama dengan orang-orang primitive, dalam hal: kemalasan, impulsifitas, cepat naik darah dan kegelisahan psiko- fisik. Semua sifat karakteristik ini menghambat mereka untuk mengadakan penyesuain diri terhadap peraturan-peraturan peradaban dan uniformitas kesusilaan.
7. Teori yang menitik beratkan factor social dari sekolah sosioligi perancis
Mashab ini dengan tegas menyatakan, bahwa pengaruh paling menentukan yang mengakibatkan kejahatan ialah: faktor-faktor eksternal atau lingkungan social dan kekuatan-kekuatan social. Gabriel Tarde dan Emile Durkheim menyatakan: kejahatan itu merupakan insiden alamiah. Merupakan gejala social yang tidak bisa dihindari dalam refolusi social, dimana secara mutlak terdapat satu minimum kebebasan individual untuk berkembang, juga tedapat tingkah laku masyarakat yang tidak bisa diduga-duga untuk mencuri keuntungan dalam setiap kesempatan. Dengan demikian ada fleksibilitas atau kecenderungan untuk melakukan kejahatan.
8. Mashab bio-sosiologis
Ringkasannya, pada saat sekarang ini, pendapat-pendapat yang menyatakan " factor tunggal sebagai penyebab timbulnya kejahatan," sudah banyak ditingalkan. Orang lebih banyak bertumpu pada prinsip "factor jamak sebagai penyebab kejahatan."
9. Teori susunan ketatanegaraan
Beberapa filsuf dan negarawan, yaitu Plato (427-347 S.M), Aristoteles ( 384-322 S.M.) dan Thomas More dari Inggris ( 1478- 1535) Beranggapan, bahwa struktur ketatanegaraaan dan falsafah Negara itu turut menentukan ada dan tidaknya kejahatan. Jika susunan Negara baik dan pemerintahannya bersih, serta mampu melaksanakan tugas memerintah rakyat dengan adil, maka banyak orang memenuhi kebutuhan vitalnya dengan cara masing-masing yang inkonvensional dan jahat atau kriminil.
10. Mashab spiritualis dengan teori non-religiusitas
Setiap agama mempunyai keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa itu selalu mengutamakan sifat-sifat kebaikan dan kebajikan, dan dengan sendirinya menjauhi kejahatan serta kemunafikan. Terutama kebajikan berdasarkan kasih sayang terhadap sesama makhluk. Maka, agama itu mempunyai pengaruh untuk mengeluarkan manusia dari rasa egoisme. Agama juga membukakan hati manusia kepada pengertian-pengertian absolute dan altruistis (cinta pada sesama manusia), dan melarang orang-orang melakukan kejahatan. Agama memperkenalkan nilai-nilai absolute dan nilai kemanusiaan yang luhur, yang besar sekali artinya bagi pengendalian diri dan penghindaran diri dari perbuatan angkara serta durjana.
Maka, adanya kejahatan tersebut merupakan tantangan berat bagi para anggota-anggota masyarakat. Sebabnya ialah:
a) Kejahatan yang bertubi-tubi itu memberikan efek yang mendemoralisir/merusak terhadap orde social.
b) Menimbulkan rasa tidak aman, kecemasan, ketakutan dan kepanikan ditengah masyarakat.
c) Banyak materi dan energy terbuang dengan sia-sia oleh gangguan-gangguan kriminalitas.
d) Menambah beban ekonomis yang semakin besar kepada sebagian besar masyarakatnya.
Semua ini dapat disebut sebagai disfungsi social dari kejahatan. Selain itu ada juga fungsi social dari kejahatan yang dapat memberikan dampak positif, yaitu:
1) Menumbuhkan rasa solidaritas dalam kelompok-kelompok yng tengah diteror oleh para penjahat.
2) Muncullah kemudian tanda-tanda baru, dengan norma-norma susila yang lebih baik, yang diharapkan mampu mengatur masyarakat dengan cara yang lebih baik dimasa-masa mendatang.
3) Orang berusaha memperbesar kekuatan hukum, dan menambah kekuatan fisik lainnya untuk memberantas kejahatan.
http://rumahasty.blogspot.com/2011/06/contoh-makalah-tentang-kriminalitas.html
Secara harfiah kriminologi berasal dari kata "crimen" yang berarti kejahatan atau penjahat serta "logos" yang berarti ilmu pengetahuan, jadi kriminologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kejahatan atau suatu pengetahuan tentang kejahatan, namun hal tersebut dapat memberikan kita suatu persepsi yang sempit terhadap kriminologi itu sendiri bahkan suatu pengertian yang salah. Pengertian kriminologi sebagai suatu ilmu tentang kejahatan akan menimbulkan suatu persepsi bahwa pembahasan yang akan dibahas di dalam kriminologi hanya kejahatan semata.
Berikut beberapa definisi tentang kejahatan menurut para tokoh :
Paul W Tappan menyatakan bahwa kejahatan adalah The Criminal Law (statutory or case law), commited without defense or excuse, and penalized by the state as a felony and misdemeanor.
Huge D Barlow juga menyatakan bahwa definisi dari kejahatana adalah a human act that violates the criminal law.
Sutherland menekankan bahwa ciri pokok dari kejahatan adalah perilaku yang dilarang oleh negara karena merupakan perbuatab yang merugikan negara dan terhadap perbuatan itu negara bereaksi dengan hukuman sebagai pamungkas.
Bonger menayatakan bahwa kejahatan adalah merupakan perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari negara berupa berupa pemberian derita dan kemudian sebagai reaksi terhadap rumusan-rumusan hukum (legal definitions) mengenai kejahatan.
R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara juridis
dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian
kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undangundang.
Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.
J.M. Bemmelem memandang kejahatan sebagai suatu tindakan anti sosial
yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan dalam masyarakat, sehingga dalam
masyarakat terdapat kegelisahan, dan untuk menentramkan masyarakat, negara
harus menjatuhkan hukuman kepada penjahat.
M.A. Elliot mengatakan bahwa kejahatan adalah suatu problem dalam
masyarakat modem atau tingkah laku yang gagal dan melanggar hukum dapat
dijatuhi hukurnan penjara, hukuman mati dan hukuman denda dan seterusnya.
Menurut Paul Moedikdo Moeliono kejahatan adalah perbuatan pelanggaran
norma hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan masyarakat sebagai perbuatan
yang merugikan, menjengkelkan sehingga tidak boleh dibiarkan (negara bertindak).
J.E. Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro dalam bukunya Paradoks Dalam
Kriminologi menyatakan bahwa, kejahatan mengandung konotasi tertentu,
merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung variabilitas
dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun
pasif), yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu
perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan
hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu.
http://wahyoeartikel.blogspot.com/2011/12/manusia-adalah-makhluk-sosial-yang.html
Teori kriminologi sendiri kejahatan terbagi ke dalam tiga perspektif yaitu:
a. Teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif Biologis dan Psikologis
b. Teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif Sosiologis
c. Teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif lain
Namun dalam pembahasan kali ini kami hanya akan menganalisis teradap teori kejahatan yang menjelaskan kejahatan dari perspektif sosiologis, dihubungkan dengan perkembangan kejahatan yang terjadi dewasa ini.
B. Kejahatan dari Perspektif Sosiologis
Pada teori kejahatan dari perspektif sosiologis berusaha mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal angka kejahatan di dalam lingkungan sosial. Teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori umum yaitu : strain, cultural deviance (penyimpangan budaya), dan social control.
Perspektif strain dan penyimpangan budaya memusatkan perhatianya pada kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal. Sebaliknya pada teori kontrol sosial mempuyai pendekatan berbeda. Teori ini berdasarkan asumsi bahwa motivasi untuk melakukan kejahatan merupakan bagian dari umat manusia. Sebagai konsekuensinya, teori kontrol sosial mencoba menemukan jawaban mengapa orang tidak melakukan kejahatan. Selain itu teori ini mengkaji kemampuan kelompok-kelompok dan lembaga sosial membuat aturan yang efektif. Teori strain dan penyimpangan budaya keduanya berasumsi bahwa kelas sosial dan tingkah laku kriminal berhubungan, tetapi berbeda dalam hal sifat hubungan tersebut. Para penganut teori strain beranggapan bahwa seluruh anggota masyarakat mengikuti satu set nilai-nilai budaya yaitu nilai-nilai budaya dari kelas menengah. Satu nilai budaya terpenting adalah keberhasilan ekonomi, karena orang-orang kelas bawah tidak mempunyai sarana-sarana yang sah untuk mencapai tujuan tersebut, mereka menjadi frustasi dan beralih menggunakan sarana yang tidak sah. Pada teori penyimpangan budaya menyatakan bahwa orang-orang dari kelas bawah memiliki satu set nilai-nilai yang berbeda, yang cenderung konflik dengan nilai-nilai dari kelas menengah. Sebagai konsekuensinya manakala orang-orang kelas bawah mengikuti sistem nilai mereka sendiri, mereka mungkin telah melanggar norma-norma konvensional.
Sudah umum diterima bahwa objek kriminologi adalah norma-norma kelakuan (tingkah laku) yang tidak disukai oleh kelompok-kelompok masyarakat, tetapi kejahatan (crime) sebagai salah satu dari padanya masih merupakan bagian yang terpenting. Dari sudut pandang sosiologi maka dapatlah dikatakan bahwa kejahatan adalah salah satu persoalan yang paling serius dalam hal timbulnya Disorganisasi sosial,karena penjahat-penjahat itu sebenarnya melakukan perbuatan-perbuatan yang mengancam dasar-dasar dari pemerintahan, hukum, ketertiban dan kesejahteraan umum. Beberapa kejahatan menunjukkan sifat-sifat egoistis,ketamakan dari pelaku kejahatan, sama sekali tidak mempedulikan keselamatan, kesejahteraan ataupun barang milik orang lain. Pelaku kejahatan yang lebih besar lagi dan lebih berkuasa umumnya bersatu dan bergabung dengan pegawai-pegawai pemerintah yang korup dan dengan demikian mencoba untuk mencapai tujuan-tujuan mereka dengan melalui saluran pemerintahan.
Sosiologi modern sangat menekankan pada mempelajari struktur dan jalanya masyarakat sekarang ini. Bila dilihat dari sosiologi maka kejahatan adalah salah satu masalah yang paling gawat dari disorganisasi sosial. Karena pelaku kejahatan bergerak dalam aktivitas-aktivitas yang membahayakan bagi dasar-dasar pemerintahan, hukum, Undang-Undang, Ketertiban dan Kesejahteraan sosial. dan oleh karena itulah kejahatan merupakan salah satu bagian dari disorganisasi sosial yang perlu diperhatikan. Dalam culture conflict theory Thomas Sellin menyatakan bahwa setiap kelompok memiliki conduct morm-nya sediri dan dari conduct norms dari satu kelompok mungkin bertentangan dengan conduct norms kelompok lain. Seorang individu yang mengikuti norma kelompoknya mugkin saja dipandang telah melakukan suatu kejahatan apabila norma-norma kelokpoknya itu bertentangan dengan norma-norma dari masyarakat dominan. Menurut penjelasan ini perbedaan utama antara seorang kriminal dengan seorang non kriminal adalah bahwa masig-masing menganut conduct norms yang berbeda. Sebaliknya dalam teori kontrol sosial memfokuskan diri pada teknik-teknik dan strategi-strategi yang mengatur tingkah laku manusia dan membawanya kepada penyesuaian atau ketaatan kepada aturan-aturan masyarakat.
http://click-gtg.blogspot.com/2008/08/teori-kejahatan-dari-aspek-sosiologis.html
Teori-Teori Dalam Kriminologi
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Nama kriminologi yang ditemukan oleh P. Tonipard (1830-1911) seorang ahli antropologi Perancis, secara harfiah berasal dari kata "crimen" yang berarti kejahatan atau penjahat dan "logos" yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat. (Toto Santoso, Achyani Zulfa, 2002: 9).
Ada beberapa penggolongan teori dalam kriminologi antara lain(Soedjono Dirdjosisworo, 1994: 108-143) :
1. Teori Asosiasi Diferensial (Differential Association Theory)
Sutherland menghipotesakan bahwa perilaku kriminal itu dipelajari melalui asosiasi yang dilakukan dengan mereka yang melanggar norma-norma masyarakat termasuk norma hukum. Proses mempelajari tadi meliputi tidak hanya teknik kejahatan sesungguhnya, namun juga motif, dorongan, sikap dan rasionalisasi yang nyaman yang memuaskan bagi dilakukannya perbuatan-perbuatan anti sosial.
Theori asosiasi differensial Sutherland mengenai kejahatan menegaskan bahwa :
a. Perilaku kriminal seperti halnya perilaku lainnya, dipelajari.
b. Perilaku kriminal dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi.
c. Bagian penting dari mempelajari perilaku kriminal terjadi dalam pergaulan intim dengan mereka yang melakukan kejahatan, yang berarti dalam relasi langsung di tengah pergaulan.
d. Mempelajari perilaku kriminal, termasuk didalamnya teknik melakukan kejahatan dan motivasi/ dorongan atau alasan pembenar.
e. Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas peraturan perundang-undangan; menyukai atau tidak menyukai.
f. Seseorang menjadi deliquent karena penghayatannya terhadap peraturan perundangan lebih suka melanggar daripada mentaatinya.
g. Asosiasi diferensial ini bervariasi tergantung dari frekuensi, durasi, prioritas dan intensitas.
h. Proses mempelajari perilaku kriminal melalui pergaulan dengan pola kriminal dan anti kriminal melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar.
i. Sekalipun perilaku kriminal merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai, akan tetapi tingkah laku kriminal tersebut tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai tadi, oleh karena perilaku non kriminal pun merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama.
2. Teori Tegang (Strain Theory)
Teori ini beranggapan bahwa manusia pada dasarnya makhluk yang selalu memperkosa hukum atau melanggar hukum, norma-norma dan peraturan-peraturan setelah terputusnya antara tujuan dan cara mencapainya menjadi demikian besar sehingga baginya satu-satunya cara untuk mencapai tujuan ini adalah melalui saluran yang tidak legal. Akibatnya, teori "tegas" memandang manusia dengan sinar atau cahanya optimis. Dengan kata lain, manusia itu pada dasarnya baik, karena kondisi sosiallah yang menciptakan tekanan atau stress, ketegangan dan akhirnya kejahatan.
3. Teori Kontrol Sosial (Social Control Theory)
Landasan berpikir teori ini adalah tidak melihat individu sebagai orang yang secara intriksik patuh pada hukum, namun menganut segi pandangan antitesis di mana orang harus belajar untuk tidak melakukan tindak pidana. Mengingat bahwa kita semua dilahirkan dengan kecenderungan alami untuk melanggar peraturan-peraturan di dalam masyarakat, delinkuen di pandang oleh para teoretisi kontrol sosial sebagai konsekuensi logis kegagalan seseorang untuk mengembangkan larangan-larangan ke dalam terhadap perilaku melanggar hukum.
Terdapat empat unsur kunci dalam teori kontrol sosial mengenai perilaku kriminal menurut Hirschi (1969), yang meliputi :
a. Kasih Sayang
Kasih sayang ini meliputi kekuatan suatu ikatan yang ada antara individu dan saluran primer sosialisasi, seperti orang tua, guru dan para pemimpin masyarakat. Akibatnya, itu merupakan ukuran tingkat terhadap mana orang-orang yang patuh pada hukum bertindak sebagai sumber kekuatan positif bagi individu.
b. Komitmen
Sehubungan dengan komitmen ini, kita melihat investasi dalam suasana konvensional dan pertimbangan bagi tujuan-tujuan untuk hari depan yang bertentangan dengan gaya hidup delinkuensi.
c. Keterlibatan
Keterlibatan, yang merupakan ukuran kecenderungan seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan konvensional mengarahkan individu kepada keberhasilan yang dihargai masyarakat.
a. Kepercayaan
Akhirnya kepercayaan memerlukan diterimanya keabsahan moral norma-norma sosial serta mencerminkan kekuatan sikap konvensional seseorang. Keempat unsur ini sangat mempengaruhi ikatan sosial antara seorang individu dengan lingkungan masyarakatnya.
4. Teori Label (Labeling Theory)
Landasan berpikir dari teori ini diartikan dari segi pandangan pemberian norma, yaitu bahwa sebab utama kejahatan dapat dijumpai dalam pemberian nama atau pemberian label oleh masyarakat untuk mengidentifikasi anggota-anggota tertentu pada masyarakatnya. (Gibbs dan Erickson, 1975; Plummer 1979; Schur 1971).
Terdapat banyak cara dimana pemberian label itu dapat menentukan batas bersama dengan perilaku kriminal telah dijadikan teori, misalnya bahwa pemberian label memberikan pengaruh melalui perkermbangan imajinasi sendiri yang negatif. Menurut teori label ini maka cap atau merek yang dilekatkan oleh penguasa sosial terhadap warga masyarakat tertentu lewat aturan dan undang-undang sebenarnya berakibat panjang yaitu yang di cap tersebut akan berperilaku seperti cap yang melekat itu. jadi sikap mencap orang dengan predikat jahat adalah kriminogen.
5. Teori Psikoanalitik (Psyco Analytic Theory)
Menurut Sigmund Freud, penemu psikonanalisa, hanya sedikit berbicara tentang orang-orang kriminal. Ini dikarenakan perhatian Freud hanya tertuju pada neurosis dan faktor-faktor di luar kesadaran yang tergolong kedalam struktur yang lebih umum mengenai tipe-tipe ketidakberesan atau penyakit seperti ini. Seperti yang dinyatakan oleh Alexander dan Staub (1931), kriminalitas merupakan bagian sifat manusia. Dengan demikian, dari segi pandangan psikoanalitik, perbedaan primer antara kriminal dan bukan kriminal adalah bahwa non kriminal ini telah belajar mengontrol dan menghaluskan dorongan-dorongan dan perasaan anti-sosialnya.
1. Teori Rancangan Pathologis (Pathological Simulation Seeking)
Menurut Herbert C. Quay (1965) mengemukakan teori kriminalitas yang didasarkan pada observasi bahwa banyak kejahatan yang nampak memberikan seseorang perasaan gempar dan getaran hati atau sensasi. Kriminalitas merupakan manifestasi "banyak sekali kebutuhan bagi peningkatan atau perubahan-perubahan dalam pola stimulasi si pelaku". Abnormalitas primer oleh karenanya dianggap sebagai sesuatu yang terletak dalam respon psikologis seseorang pada masukan indera. Berarti perilaku kriminal merupakan salah satu respon psikologis sebagai salah satu alternatif perbuatan yang harus ditempuh. Lebih spesifik lagi telah dihipotesakan bahwa para kriminal memiliki sistem urat syarat yang hiporeaktif terhadap rangsangan.
Beberapa bahasan dari teori rangsangan pathologis yang perlu mendapat perhatian :
a. Kriminal dilakukan dengan sistem urat syarat yang diporeaktif dan otak yang kurang memberi respon, keadaan demkian tidak terjadi dalam vakum, melainkan berinteraksi dengan tujuan tempat tinggal tertentu dimana individu hidup dalam pergaulan.
b. Anak-anak pradelinkuen cenderung membiasakan diri terhadap hukuman yang diterimanya dan rangsangan ini dengan mudah menambah frustasi dikalangan orang tua. Pola ini kemudian bergerak dalam lingkungan interaksi negatif "orang tua dan anak" yang pada gilirannya membentuk remaja dan orang dewasa yang bersifat bermusuhan, memendam rasa benci dan anti sosial. Kecenderungan mencuri rangsangan pathologis ini merupakan bagian dari gambaran kriminal.
c. Interaksi orang-orang keadaan meliputi hipotesa :
1) Bahwa respon parental yang negatif dan tidak konsisten terhadap perilaku mencari rangsangan atau stimuli sang anak, merupakan daya etiologis dalam perkembangan kecenderungan-kecenderungan kriminalitas selanjutnya.
2) Bahwa abnormalitas psikologis sang anak akan menyulitkan baginya mangantisapasi konsekuensi yang menyakitkan atas perbuatannya.
Kedua faktor di atas merupakan faktor yang memberi kontribusi kepada siklus yang merugikan dalam interkasi orang tua anak yang bersifat negatif yang pada gilirannya berkulminasi pada pola kriminalitas berat. Christopher Mehew dalam penelitiannya mengenai kriminal dan prikologis menemukan adanya pengaruh kejiwaan terhadap perilaku jahat yang disimpulkan sebagai tingkat kedewasaan yang terhambat (emotional-immaturity) dan ternyata kondisi ini dipengaruhi oleh masalah-masalah keluarga yaitu disharmonie home dan broken home.
2. Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory)
Landasan berpikir teori ini menitikberatkan pada utilitas atau pemanfaatan yang diantisipasi mengenai taat pada hukum lawan perilaku melawan hukum. Pendukung semula teori pilihan rasional, Gary Becker (1968) menegaskan bahwa akibat pidana merupakan fungsi, pilihan-pilihan langsung serta keputusan-keputusan yang dibuat relatif oleh para pelaku tindak pidana bagi yang terdapat baginya. Pilihan rasional berarti pertimbangan-pertimbangan yang rasional dalam menentukan pilihan perilaku yang kriminal atau non kriminal, dengan kesadaran bahwa ada ancaman pidana apabila perbuatannya yang kriminal diketahui dan dirinya diprotes dalam peradilan pidana. Apabila demikian seolah-olah semua perilaku kriminal adalah keputusan rasional.
A. Teori-Teori Sebab Terjadinya Perilaku Jahat
Perilaku jahat anak merupakan gejala penyimpangan dan patologis secara sosial itu juga dapat dikelompokkan dlam satu kelas defektif secara sosial, dan mempunyai sebab-musabab yang majemuk, jadi sifatnya multi-kausal.
Ada beberapa penggolongan teori mengenai sebab terjadinya perilaku jahat meliputi : (Kartini Kartono, 1985: 25-35).
1. Teori biologis
2. Teori psikogenesis (psikologis dan psikiatris)
3. Teori sosiogenesis
4. Teori subkultural
Ad.1.1. Teori Biologis
Tingkah laku sosiopatik atau delikuen pada anak-anak dan remaja dapat muncul karena faktor-faktor fisiologis dan struktur jasmaniah seseorang, juga dapat oleh cacat jasmani yang dibawa sejak lahir. Kejadian ini berlangsung :
a. Melalui gen atau plasma pembawa sifat dan keturunan, atau melalui kombinasi gen, dapat juga disebabkan oleh tidak adanya gen tertentu, yang semuanya bisa memunculkan penyimpangan tingkah laku, dan anak-anak menjadi delikuen secara potensial.
b. Melalui pewarisan tipe-tipe kecenderungan yang luar biasa (abnormal), sehingga membuahkan tingkah laku delikuen.
c. Melalui pewarisan kelemahan konstitusi anal jasmaniah tertentu yang menimbulkan tingkah laku delikuen atau sosiopatik. Misalnya cacat bawaan brachy-dactylisme (berjari-jari pendek) dan diabetes insipidus (sejenis penyakit gula) itu erat berkorelasi dengan sifat-sifat kriminal serta penyakit mental.
Ad.1.2. Teori Psikogenesis
Teori ini menekankan sebab-sebab tingkah laku delikuen anak-anak dari aspek psikologis atau isi kejiwaannya. Antara lain faktor intelegensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi, internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversal, kecenderungan psikopatologis, dll. Kurang lebih 90 % dari jumlah anak-anak berperilaku jahat berasal dari kalangan keluarga berantakan (broken home). Kondisi keluarga yang tidak bahagian dan tidak beruntung, jelas membuahkan masalah psikologis personal dan adjusment (penyesuaian diri) yang terganggu pada diri anak, sehingga mereka mencari kompensasi di luar lingkungan keluarga guna memecahkan kesulitan batinnya dalam bentuk perilaku jahat. Ringkasnya, perilaku jahat anak-anak merupakan reaksi terhadap masalah psikis anak-anak itu sendiri.
Ad.1.3. Teori Sosiogenesis
Landasan berpikir teori ini menyatakan bahwa penyebab tingkah laku jahat pada anak-anak adalah murni sosiologis atau sosial-psikologis sifatnya. Misalnya disebabkan oleh pengaruh struktur sosial yang deviatif, tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial atau internalisasi simbolis yang keliru. Jadi sebab-sebab perilaku jahat itu tidak hanya terletak pada lingkungan familial dan tetangga saja, akan tetapi terutama sekali, disebabkan oleh konteks kulturalnya. Maka perilaku jahat anak-anak itu jelas di pupuk oleh lingkungan sekitar yang buruk dan jahat, ditambah kondisi sekolah yang kurang menarik bagi anak-anak bahkan adakalanya justru merugikan perkembangan pribadi anak. Karena itu, konsep-kunci untuk dapat memahami sebab-sebab terjadinya kejahatan anak itu ialah pergaulan dengan anak-anak muda lainnya yang sudah berperilaku jahat.
Ad.1.4. Teori Subkultural Delikuensi
Menurut teori subkultural ini, perilaku jahat ialah sifat-sifat suatu struktur sosial dengan pola budaya (subkultural) yang khas dari lingkungan familial, tetangga dan masyarakat yang dialami oleh para anak yang berperilaku jahat tersebut.
Sifat-sifat masyarakat tersebut antara lain ialah :
a. Punya populasi yang padat
b. Status sosial-ekonomis penghuninya rendah
c. Kondisi fisik perkampungan yang sangat buruk
d. Banyak disorganisasi familial dan sosial bertingkat tinggi
Karena itu sumber utama kemunculan perilaku jahat anak adalah subkultural-subkultural perilaku jahat dalam konteks yang lebih luas dari kehidupan masyarakat. Ringkasnya, ditengah masyarakat modern sekarang, saat tidak semua kelompok sosial mendapatkan kesempatan yang sama untuk menapak jalan masuk menuju kekuasaan-kekayaan dan berbagai previlage, anak-anak dari kelas ekonomi terbelakang dan lemah mudah menyerap etik yang kontradiktif dan kriminal, lalu menolak konvensi umum yang berlaku, mereka menggunakan respon kriminal. Maka tingkah laku jahat anak-anak itu merupakan reaksi terhadap kondisi sosial yang ada.
http://bahtiarstihcokro.blogspot.com/2011/03/teori-teori-dalam-kriminologi.html
2.1. Pengertian Kejahatan
Pengertian kejahatan dapat dilihat dari beberapa segi pandang yaitu:
1. Dipandang dari segi sosiologis
Dipandang dari segi sosiologis, kejahatan adalah salah satu jenis gejala sosial,
yaitu suatu kelakuan yang asosial dan amoral yang tidak dikehendaki oleh kelompok
pergaulan dan secara sadar ditentang oleh pemerintah (Bonger, 1981).
2. Dipandang dari segi hukum
Dipandang dari segi hukum, kejahatan adalah perbuatan yang dilarang oleh
undang–undang dan barang siapa yang melakukan sesuatu perbuatan bertentangan
dengan undang–undang tersebut, maka ia akan dihukum. Jadi, tegasnya kejahatan disini
adalah setiap perbuatan yang telah ditetapkan atau dirumuskan dalam suatu peraturan
misalnya:"penipuan", menurut pasal 378 K.U.H.P, yaitu:
" Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat (hoedanigheid)
palsu, dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan penjara paling lama 4 tahun.
3. Dipandang dari segi kejiwaan
Dipandang dari segi kejiwaan ( psikologi) setiap perbuatan manusia adalah
dicerminkan oleh kejiwaan dari manusia bersangkutan, yang dalam tindakannya sampai
mana manusia tersebut dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma yang terdapat
dalam masyarakatnya. Jadi dapat dikatakan bahwa perbuatan jahat (kejahatan) adalah
satu tindakan atau perbuatan yang tidak sesuai kesadaran hokum masyarakat tertentu
tersebut yang oleh karena itu pula perbuatan itu dapat dikatakan adalah tidak normal
(abnormal).
2.2 Akibat-Akibat Kejahatan
Sudah jelas akibat dari kejahatan adalah negatif, sesuatu yang tidak dikehendaki
masyarakat, akibat dapat tertuju kepada:
1. Manusia
Perorangan (individu) sebagai korban yang dapat berupa kejiwaan, korban nama
baik, dan korban harta (vermogeen) yang menjadi milik manusia sebagai subjek
hokum (pendukung hak dan kewajiban).
2. Masyarakat
Diketahui bahwa masyarakat adalah kumpulan dari individu-individu, sehingga
seseorang atau beberapa orang yang menjadi korban tindak kejahatan bukan tidak
mungkin masyarakat sekitarnya ikut-ikutan menjadi korban, paling sedikit
timbulnya keresahan.
3. Diri Si Pelaku Tindak Kejahatan
Si pelaku tindak kejahatan sendiri dapat menjadi korban dari perbuatannya sendiri,
yang jelas ia akan disingkirkan oleh masyarakat dan mungkin sekali dihukum pidana
untuk diambil nyawanya atas dirampas kemerdekaannya.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14013/1/09E00413.pdf
A. Pengertian Kriminalitas/Kejahatan
Crime atau kejahatan adalah tingkah laku yang melanggar hukum dan melanggar norma-norma sosial, sehingga masyarakat menentangnya. Lalu krimonologi adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan, Kartono (1999: 122).
Definisi kejahatan secara yuridis adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, a-sosial sifatnya dan melanggar hokum serta undang-undang pidana. Di dalam KUHP jelas tercantum bahwa "kejahatan adalah semua bentuk perbuatan yang memenuhi perumusan ketentuan-ketentuan KUHP". Missal pembunuhan pasal memenuhi 338 KUHP, mencuri memenuhi pasal 362 KUHP, penganiayaan memenuhi pasal 351 KUHP.
Secara sosiologis, kejahatan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan, dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis, dan sosial-psikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma-norma susila, dan menyerang keselamatan warga masyarakat (baik yang tercantum maupun yang belum tercantum pada undang-undang pidana).
B. Teori mengenai Kejahatan
Teori mengenai kejahatan adalah sebagai berikut, Kartono (1999: 136-150):
Teori Teologis, menurut teori ini kriminalitas sebagai perbuatan dosa yang jahat sifatnya, setiap orang dapat melakukan kejahatan kerena didorong oleh roh-roh jahat, godaan setan/iblis, nafsu, sehingga ia melanggar kehendak Tuhan.
Teori filsafat tentang Manusia (Antropologi Transedental).
Teori ini menyebutkan adanya dialektika antara jasmani dan rohani. Rohani atau jiwa mendorong masnusia kepada perbuatan-perbuatan baik dan susila, mengarahkan manusia pada usaha transedensi dan konstruksi diri. Selanjutnya jiwa diwujudkan dalam perbuatan jasmani. Jasmani manusia merupakan prinsip ketidakselesaian atau perubahan, sifatnya tidak sempurna. Prinsip ini mengarahkan manusia kepada destruksi, kerusakan, kejahatan, dll.
Jadi karena sifat-sifat jasmaninya, seseorang mempunyai kecenderungan mengarah ke kejahatan jika kecenderungan tersebut tidak dapat dikendalikan oleh jiwa. Kecenderungan mengarah kepada kejahatan berlangsung dengan mudah/otomatis, sedangkan kecenderungan usaha transedensi atau konstruksi diri adalah usaha yang sulit.
Teori kemauan bebas (free will), menyatakan bahwa manusia itu bebas berbuat menurut kemauannya, berhak menentukan pilihan dan sikapnya. Teori ini menyebutkan sebab kejahatan adalah kemauan manusia itu sendiri.
Teori penyakit jiwa, teori ini menyebutkan adanya kelainan-kelainan jiwa yang bersifat psikis sehingga individu sering melakukan kejahatan. Penyakit jiwa ini berupa psikopat dan defect moral.
Psikopat adalah bentuk kekalutan mental, yang ditandai dengan tidak adanya pengorganisasia dan pengintegrasian pribadi, ridak pernah bertanggung jawab secara moral, selalu berkonflik dengan norma sosial serta hokum, dan biasanya juga bersifat immoral. Defect moral dicirikan dengan individu yang hidupnya jahat, selalu melakukan kejahatan, bertingkah laku anti sosial, ada disfungsi intelegensi.
Teori fa'al tubuh (fisiologis), teori ini menyebutkan sumber kejahatan adalah: cirri-ciri jasmaniah dan bentuk jasmaniahnya. Pada bentuk tengkorak, wajah, dahi, hidung, mata, rahang, telinga, leher, lengan, tangan, jari, kaki, dan anggota badan lainnya. Pendukung teori ini yang terkenal adalah Cecare Lambroso, Enrico Ferri, dan Garofalo yang secara bersama-sama membangun mahzab Italia.
Lombroso berkeyakinan bahwa para criminal mempunyai konstitusi psikofisik dan tipe kepribadian yang abnormal, yang jelas bisa dibedakan dengan orang-orang normal. Karakteristik tersebut sifatnya bisa:
Fisiologis-anatomis: dengan cirri khas pada tubuh, dan anggota, serta kelainan jasmaniah.
Psikologis: dengan cirri psikopatik, gangguan system syaraf, gila dan defect moral.
Sosial: bersifat a-sosial, dan mengalami disorientasi sosial.
Pengikut Lombroso menjelaskan tipe-tipe criminal dengan prinsip-prinsip atavisme, yang menyatakan adanya proses kemunduran kepada pola-pola primitive dan speciesnya yaitu tiba-tiba muncul cirri nenek moyang kini timbul kembali. Cirri tingkah laku orang criminal mirip sekali denga tingkah laku orang primitive yang liar-kejam dan bengis.
Teori yang menitikberatkan pengaruh antropologis (dekat sekali degan teori fisiologis). Teori ini menyatakan adanya cirri-ciri individual yang karakteristik, dan cirri anatomis yang menyimpang. Dalam kelompok ini dimasukkan teori atavisme. Sarjana Ferrero berpendapat bahwa teori atavisme itu memang mempunyai segi kebenaran, yitu orang-orang criminal mempunyai cirri psikis yang sama dengan orang primitive, dalam hal: kemalasan, impulsivitas, cepat marah dan kegelisahan psikofisik. Semua karakteristik itu menghambat mereka dalam menyesuaikan diri dengan peraturan peradaban dan kesusilaan.
Teori yang menitikberatkan factor sosial, Mahzab Perancis. Teori ini menyatakan bahwa yang paling menentukan kejahatan adalah factor eksternal/lingkungan sosial.gabriel tarde dan Emile Durkheim menyatakan bahwa kejahatan merupakan insiden alamiah. Merupakan gejala sosial yang tidak bisa dihindari dalam revolusi sosial, di mana secara mutlak terdapat satu minimum kebebasan individual untuk berkembang, juga terdapat tingkah laku masyarakat yang tidak bisa diduga-duga untuk mencuri keuntungan dalam setiap kesempatan, dengan demikian ada kecenderungan untuk melakukan kejahatan. Pada intinya kesmiskinan dan kesesngasaraan menjadi sumber utama kejahatan. Kemiskinan tanpa jalan keluar menyebabkan orang putus asa, sehingga kejahatan merupakan satu-satunya jalan menolong kehidupan.
Mahzab bio-sosiologis. Ferri pengikut Lombroso menjadi pelopor mahzab ini, ia mengkombinasikan Mahzab Italia dan Mahzab Perancis. Ia menyatakan bahwa kejahatan itu tidak hanya disebabkan oleh keadaan biologis tetapi juga oleh factor sosial. Ringkasnya saat ini pendapat yag menyatakan factor tunggal sebagai penyebab kejahatan sudah sangat jarang. Lebih banyak yang bertumpu pada factor jamak.
Teori susunan ketatanegaraan. Plato, Aristoteles, dan Thomas More beranggapan bahwa struktur ketatanegaraan dan falsafah negara turut menentukan ada dan tidaknya kejahatan. Jika susunan negara baik dan pemerintahannya bersih, serta mampu melaksanakan tugas memerintah rakyat dengan adil maka kejahatan tidak akan bisa berkembang. Sebaliknya jika pemerintahan korup, tidak adil, maka banyak orang memenuhi kebutuhannya dengan dengan cara kejahatan.
Mahzab Spiritualis dengan teori Non-Religiusitas (tidak beragamnya individu). Agama memperkenalkan nilai-nilai luhur yang besar sekali artinya bagi oengendalian diri dari perbuatan kejahatan, mengeluarkan manusia dari rasa egois. Orang yang tidak beragama dan tidak percaya kepada nilai-nilai agama umumnya egois, sombong, dan harga diri berlebihan. Sifatnya menjadi ganas, bengis terhadap sesame makhluk. Ketiadakpercayaan kepada Tuhan juga menyebabkan ketakutan, kecemasan, dan kebingungan, sehingga sering timbul agresivitas dan sifat a-sosial, yang mudah menjerumuskan manusia kepada kejahatan.
C. Faktor Penyebab Kriminalitas
Biologik
Genothype dan Phenotype
Stephen Hurwitz (1986:36) menyatakan perbedaan antara kedua tipe tersebut bahwa Genotype ialah warisan sesungguhnya, Phenotype ialah pembawaan yang berkembang. Perbedaan antara genotype dan phenotype bukanlah hanya disebabkan karena hukum biologi mengenai keturunan saja.
Sekalipun sutu gen tunggal diwariskan dengan cara demikian hingga nampak keluar, namun masih mungkin adanya gen tersebut tidak dirasakan. Perkembangan suatu gen tunggal adakalanya tergantung dari lain-lain gen, teristimewanya bagi sifat-sifat mental. Di samping itu, nampaknya keluar sesuatu gen, tergantung pula dari pengaruh-pengaruh luar terhadap organism yang telahatau belum lahir.
Apa yang diteruskan seseorang sebagai pewarisan kepada genrasi yang berikutnya semata-mata tergantung dari genotype. Apa yang tampaknya keluar olehnya, adalah phenotype yaitu hasil dari pembawaan yang diwaris dari orang tuanya dengan pengaruh-pengaruh dari luar.
Pembawaan dan Kepribadian
Berdasarkan peristilahan teori keturunan, pembawaan berarti potensi yang diwariskan saja, dan kepribadian berarti propensity/bakat-bakat yang dikembangkan.
Kinberg (dalam Stephen Hurwitz, 1986:36) menyatakan: Individuality – factor I – bukan fenomena/gejala endogenuous yang datang dari dalam semata-mata, tapi hasil dari pembawaan dan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi dan membentuk pembawaan sepanjang masa.
Pembawaan dan Lingkungan
Menurut istilah, pembawaan dan lingkungan merujuk kepaa pembawaan yang dikembangkan. Mahzab lingkungan pada mulanya hanya memperhatikan komponen-komponen di bidang ekonomi, akan tetapi konsepsi itu meliputi seluruh komponen baik yang materiil maupun yang spiritual.
Lingkungan merupakan factor yang potensial yaitu mengandung suatu kemungkinan untuk memberi pengaruh dan terujudnya kemungkinan tindak criminal tergantung dari susunan (kombinasi) pembawaan dan lingkungan baik lingkungan stationnair (tetap) maupun lingkungan temporair (sementara).
Faktor-faktor pembawaan dan lingkungan selalu saling mempengaruhi timbal balik, tak dapat dipisahkan satu sama lain. Lingkungan yang terdahulu, karena pengaruhnya yang terus menerus terhadap pembawaan, mengakibatkanterwujudnya sesuatu kepribadian dan sebaliknya factor lingkungan tergantung dari factor-faktor pembawaan. Oleh karena:
1) Lingkungan seseorang ini dalam batas-batas tertentu ditentukan oleh pikirannya sendiri.
2) Orangnya dapat banyak mempengaruhi dan mengubah factor-faktor lingkungan ini.
Menurut Kinberg (dalam Stephen Hurwitz, 1986:38) menyatakan bahwa pengaruh lingkungan yang dahulu sedikit banyak ada dalam kepribadian seseorang sekarang. Dalam batas-batas tertentu kebalikannya juga benar, yaitu lingkungan yang telah mengelilingi seseorang untuk sesuatu waktu tertentu mengandung pengaruh pribadinya. Faktor-faktor dinamik yang bekerja dan saling mempengaruhi adalah baik factor pembawaan maupun lingkungan.
Sedangkan Exner (dalam Stephen Hurwitz, 1986:39) menyebutkan 2 doktrin, antara lain:
1) Bagaimana perkembangan pembawaan dalam batas-batas tertentu tergantung dari lingkungan.
2) Lingkungan seseoprang dan pengaruh lingkungan ini terhadapnya dalam sesuatu batas tertentu, tergantung dari pembawaannya.
Pembawaan criminal
Stephen Hurwitz (1986:39) menyatakan bahwa tidaklah masuk akal untuk menghubungkan pembawaan yang ditentukan secara biologic dengan suatu konsepsi yuridik yang berdeda menurut waktu dan tempat.
Setiap orang yang melakukan kejahatan mempunyai sifat jahat pembawaan, karena selalu ada interaksi antara pembawaan dan lingkungan. Akan tetapi hendaknya jangan memberi cap sifat jahat pembawaan itu, kecuali bila tampak sebagai kemampuan untuk melakukan susuatu kejahatan tanpa adanya kondisi-kondisi luar yang istimewa dan luar biasa. Dengan kata lain, harus ada keseimbangan antara pembawaan dan kejahatan.
Sosiologik
Ada hubungan timbal-balik antara factor-faktor umum social politik-ekonomi dan bangunan kebudayaan dengan jumlah kejahatan dalam lingkungan itu baik dalam lingkungan kecil maupun besar. Stephen Hurwitz (1986:86-102) menyatakan tinjauan yang lebih mendalam tentang interaksi ini, antara lain yaitu:
Faktor-faktor ekonomi
1) Sistem ekonomi
Sistem ekonomi baru dengan produksi besar-besaran, persaingan bebas, menghidupkan konsumsi dengan jalan periklanan, cara penjualan modern dan lain-lain, yaitu menimbulkan keinginan untuk memiliki barang dan sekaligus mempersiapkan suatu dasar untuk kesempatan melakukan penipuan-penipuan.
2) Harga-harga, Perubahan Harga Pasar, Krisis (Prices, market fluctuations, crisis)
Ada anggapan umum, bahwa ada suatu hubungan langsung antara keadaan-keadaan ekonomi dan kriminalitas, terutama mengenai kejahatan terhadap hak milik dan pencurian (larceny). Dalam penelitian tentang harga-harga (prices) maka hasilnya menunjukkan bahwa kenaikan harga rata-rata diikuti dengan kenaikan pencurian yang seimbang.
Suatu interaksi yang khas antara harga-harga barang (contoh: gandum, dan sebagainya) dari kriminalitas ternyata dan terbukti dari fakta-fakta, yaitu bahwa jumlah kebakaran yang ditimbulkan yang bersifat menipu mengenai hak milik tanah menjadi tinggi, bila harga tanah turun dan penjualannya sukar. Alasannya ialah karena keadaan-keadaan ekonomi menimbulkan suatu kepentingan khusus untuk memperoleh jumlah asuransi kebakaran untuk rumah dan pekarangan serta tanaman, (premises = rumah dan pekarangan).
3) Gaji atau Upah.
Dalam keadaan krisis dengan banyak pengangguran dan lain-lain gangguan ekonomi nasional, upah para pekerja bukan lagi merupakan indeks keadaan ekonomi pada umumnya. Maka dari itu perubahan-perubahan harga pasar (market fluctuations) harus diperhatikan.
Banyak buku telah menulis tentang artinya goncangan harga-harga dan upah. Juga banyak penelitian telah diadakan berdasarkan indeks-indeks kombinasi, termasuk pengangguran dan lain-lain, sehingga masalah beralih dari pengaruh turun naiknya harga, kepada goncangan harga pasar yang sangat kuat, sehubungan dengan kejahatan. Dari penelitian yang belakangan dan paling menarik perhatian ialah mengenai pengaruh dari waktu-waktu makmur (prosperity) diselingi dengan waktu-waktu kekurangan (depression) dengan kegoncangan harga-harga pasar, krisis dan lain-lain terhadap kejahatan.
4) Pengangguran
Di antara factor-faktor baik secara langsung atau tidak, mempengaruhi terjadinya kriminalitas, terutama dalam waktu-waktu krisis, pengangguran dianggap paling penting. 18 macam factor ekonomi yang berbeda dapat dilihat dari statistic-statistik tersebut, bekerja terlalu muda, tak ada pengharapan maju, pengangguran berkala yang tetap, pengangguran biasa dan kekhawatiran dalam hal itu, berpindahnya pekerjaan dari satu tempat ke tempat yang lain, perubahan gaji sehingga tidak mungkin membuat anggaran belanja, kurangnya libur, sehingga dapat disimpulkan bahwa pengangguran adalah factor yang paling penting.
Faktor-faktor mental
1) Agama
Kepercayaan hanya dapat berlaku sebagai suatu anti krimogemis bila dihubungkan dengan pengertian dan perasaan moral yang telah meresap secara menyeluruh. Dan kepercayaan tidak boleh berubah dari sikap hidup moral keagamaan, merosot menjadi hanya suatu tata cara dan bentuk-bentuk lahiriah oleh orang dengan tasbeh di satu tangan, sedang tangan lainnya menusuk dengan pisau. Meskipun adanya factor-faktor negative demikian, memang merupakan fakta bahwa norma-norma etis yang secara teratur diajarkan oleh bimbingan agama dan khususnya bersambung pada keyakinan keagamaan yang sungguh, membangunkan secara khusus dorongan-dorongan yang kuat untuk melawan kecenderungan-kecenderungan kriminil.
2) Bacaan, Harian-harian, Film
Sering orang beranggapan bahwa bacaan jelek merupakan factor krimogenik yang kuat, mulai dengan roman-roman dari abad ke-18, lalu dengan cerita-cerita dan gambar-gambar erotis dan pornografik, buku-buku picisan lain dan akhirnya cerita-cerita detektif dengan penjahat sebagai pahlawannya, penuh dengan kejadian berdarah.
Pengaruh crimogenis yang lebih langsung rari bacaan demikian ialah gambaran sesuatu kejahatan tertentu dapat berpengaruh langsung dan suatu cara teknis tertentu kemudian dapat dipraktekkan oleh si pembaca.
Harian-harian yang mengenai bacaan dan kejahatan pada umumnya juga dapat dikatakan tentang koran-koran. Di samping bacaan-bacaan tersebut di atas, film (termasuk TV) dianggap menyebabkan pertumbuhan kriminalitas tertutama kenakalan remaja akhir-akhir ini. Dan film ini oleh kebanyakan orang dianggap yang paling berbahaya. Memang disebabkan kesan-kesan yang mendalam dari apa yang dilhat dan didengar dan cara penyajiannya yang negative.
Kita harus hati-hati dalam memberikan penilaian yang mungkin berat sebelah mengenai hubungan antara bacaan, harian, film dengan kejahatan. Tentu saja ada keuntungan dan kerugian yang dapat dilihat disamping kegunaan pokok bacaan, harian, dan film tersebut.
Faktor-faktor Pisik: Keadaan Iklim dan lain-lain
Pada permulaan peneliti mengadakan statistic tentang keadaan iklim, hawa panas/dingin, keadaan terang atau gelap, sinar bumi dan perubahan-perubahan berkala dari organism manusia yang dianggap sebagai penyebab langsung dari kelakuan manusia yang menyimpang dan khususnya dari kriminalitas. Para peneliti belakangan pada umumnya mengakui kekeliruan dari anggapan tersebut, karena hanya semacam korelasi jauh dapat diketemukan antara kriminalitas sebagai suatu fenomena umum dan factor-faktor pisik.
Faktor-faktor Pribadi
1) Umur
Meskipun umur penting sebagai factor penyebab kejahatan, baik secara juridik maupun criminal dan sampai sesuatu batas tertentu berhubungan dengan factor-faktor seks/kelamin dan bangsa, tapi seperti factor-faktor tersebut akhir merupakan pengertian-pengertian netral bagi kriminologi. Artinya: hanya dalam kerjasamanya dengan factor-faktor lingkungan mereka baru memperoleh arti bagi kriminologi.
Kecenderungan untuk berbuat antisocial bertambah selama masih sekolah dan memuncak antara umur 20 dan 25, menurun perlahan-lahan sampai umur 40, lalu meluncur dengan cepat untuk berhenti sama sekali pada hari tua. Kurve/garisnya tidak berbeda pada garis aktivitas lain yang tergantung dari irama kehidupan manusia.
2) Ras dan Nasionalitas
Konsepsi ras adalah samar-samar dan kesamaran pengertian itu, merupakan rintangan untuk mengadakan penelitian yang jitu. Pembatasan ras berdasarkan sifat-sifat keturunan yang umum dari bangsa-bangsa atau golongan-golongan orang yang memiliki kebudayaan tertentu dan bukan berdasarkan sifat-sifat biologis, membuka kesempatan untuk berbagai keraguan.
3) Alkohol
Dianggap factor penting dalam mengakibatkan kriminalitas, seperti pelanggaran lalu lintas, kejahatan dilakukan dengan kekerasan, pengemisan, kejahatan seks, dan penimbulan pembakaran, walaupun alcohol merupakan factor yang kuat, masih juga merupakan tanda tanya, sampai berapa jauh pengaruhnya.
4) Perang
Memang sebagai akibat perang dan karena keadaan lingkungan, seringkali terjadi bahwa orang yang tadinya patuh terhadap hukum, melakukan kriminalitas. Kesimpulannya yaitu sesudah perang, ada krisis-krisis, perpindahan rakyat ke lain lingkungan, terjadi inflasi dan lain-lain rvolusi ekonomi. Di samping kemungkinan orang jadi kasar karena perang, kepemilikan senjata api menambahbahaya akan terjadinya perbuatan-perbuatan criminal.
D. Jenis Kriminalitas
Jenis-jenis kriminalitas adalah sebagai berikut, Kartono (1999: 130-136):
Jenis-jenis kejahatan secara umum:
Rampok dan gangsterisme, yang sering melakukan operasi-operasinya bersama-sama dengan organisasi-organisasi illegal.
Penipuan-penipuan: permainan-permainan penipuan dalam bentuk judi dan perantara-perantara "kepercayaan", pemerasan (blackmailing), ancaman untuk memplubisir skandal dan perbuatan manipulative.
Pencurian dan pelanggaran: perbuatan kekerasan, perkosasan, pembegalan, penjambreta/pencopetan, perampokan, pelanggaran lelu lintas, ekonomi, pajak, bea cukai, dan lain-lain.
F. Penanggulangan terhadap Kriminalitas
Tahap-tahap penanganan kriminalitas, Soetomo (2008: 33-63):
Tahap identifikasi, indicator sederhana untuk tahap identifikasi adalah memanfaatkan angka-angka statistic yang tersedia bagi daerah tertentu. Pada data tersebut kita dapat mengetahui insidensi (jumlah kejadian dalam kurun waktu tertentu dalam suatu daerah), dan prevalensi (jumlah pelaku kejahatan).
Tahap diagnosis, yaitu mencari sifat, eskalasi dan latar belakang kriminalitas terjadi untuk membantu menentukan tindakan sebagai upaya pemecahan masalah.
Tahap treatment, adalah upaya pemecahan masalah yang ideal pada suatu kondis tertentu, terdiri dari:
Usaha rehabilitative, focus utamanya pada kondisi pelaku kejahatan, terutama upaya untuk melakukan perubahan atau perbaikan perilakunya agar sesuai dengan standar atau norma sosial yang ada.
Usaha preventif, focus pada pencegahan agar tindak kejahatan tidak terjadi. Dapat dilakuakan pada level individu, kelompok, maupun masyarakat, seperti
1) Selektif terhadap budaya asing yang masuk agar tidak merusak nilai budaya bangsa sendiri.
2) Mengenakan sanksi hukum yang tegas dan adil kepada para pelaku kriminalitas tanpa pandang bulu atau derajat.
3) Mengontrol atau memberikan arah pada proses pada proses sosialsisasi termasuk lingkungan interakasi sosial.
4) Mengaktifkan peran serta orang tua dan lembaga pendidikan dalam mendidik anak.
5) Menjaga kelestarian dan kelangsungan nilai norma dalam masyarakat dimulai sejak dini melalui pendidikan multi kultural, seperti sekolah, pengajian dan organisasi masyarakat.
6) Untuk pengawasan kejahatan secara efektif kita memerlukan hukum yang berwibawa. Dipandang dari sudut perlindungan terhadap masyarakat, hukum yang bersifat ideal mengenai hukuman yang tidak ditentukan yang dapat diteruskan kepada semua pelanggar-pelanggar, misalkan setahun sampai seumur hidup dan yang diatur oleh komite yang tergolong ahli dalam system kepenjaraan (tahanan) akan memungkinkan penguasa-penguasa yang membawahi lembaga-lembaga untuk menangkap pelanggar-pelanggar yang berbahaya, agresif, tidak dapat diperbaiki selama jangka waktu lebih lama daripada sekarang dengan hukuman yang ditetapkan atau yang ditetapkan dengan maksimum.
Usaha pencegahan adalah lebih ekonomis bila dibandingkan dengan usaha represif dan rehabilitasi. Untuk melayani jumlah orang yang lebih besar jumlahnya tidak diperlukan banyak tenaga seperti pada usaha represif dan rehabilitasi menurut perbandingan. Usaha pencegahan juga dapat dilakukan secara perorangan dan tidak selalu memerlukan keahlian seperti pada usaha represif dan rehabilitasi. Misalnya, menjaga diri jangan sampai menjadi korban kriminalitas, tidak lalai mengunci rumah/kendaraan, memasang lampu di tempat gelap dan lain-lain. Usaha pencegahan juga tidak selalu memerlukan suatu organisasi yang rumit dan birokratis yang dapat menjurus ke arah birokratisme yang menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan/wewenang, N. Widiyanti dan Y. Waskita (1987:154-155).
Usaha developmental, dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan atau kapasitas sesorang atau sekelompok orang agar dapat memenuhi kehidupan yang lebih baik dan tercipta iklim kondusif bagi masyarakat. Usaha ini mendukung langkah preventif dan rehabilitative. Usaha ini dapat dilakukan dengan menumbuhkan rasa saling percaya,asas timbale balik, solidaritas, penghargaan harkat martabat manusia, dan pemenuhan hak dasar manusia, sehingga mewujudkan kearifan local yang tumbuh dan berkembang dalam dinamika kehidupan masyarakatnya.
http://ittemputih.wordpress.com/2012/04/27/kriminalitas/
Teori Differential Association / Asosiasi Diferensial
Label: Hukum
Terminologi atau istilah kriminologi pertama kali dipergunakan antropolog Prancis, Paul Topiward dari kata crimen (kejahatan/penjahat) dan logos (ilmu pengetahuan). Kemudian Edwin H. Sutherland dan DonaldR. Cressey menyebutkan kriminologi sebagai :
".... the body of knowledge regarding delinquency and crime as social phenomenon. It includes within its scope the process of making law,the breaking of laws, and reacting to word the breaking of laws ..." (".... tubuh pengetahuan tentang kenakalan dan kejahatan sebagai fenomena sosial. Ini termasuk dalam ruang lingkup proses pembuatan hukum, melanggar hukum, dan bereaksi terhadap kata melanggar hukum ... ")
Melalui optik tersebut maka kriminologi berorientasi pada:
Pertama, pembuatan hukum yang dapat meliputi telaah konsep kejahatan, siapa pembuat hukum dengan faktor-faktor yang harusdiperhatikan dalam pembuatan hukum.
Kedua, pelanggaran hukum yangdapat meliputi siapa pelakunya, mengapa sampai terjadi pelanggaran hukum tersebut serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Ketiga, reaksi terhadap pelanggaran hukum melalui proses peradilan pidana dan reaksimasyarakat.
Kemudian dalam perkembangannya, guna membahas dimensi kejahatan/penjahat, dikenal teori-teori kriminologi. Menurut Williams III dan Marilyn Mc Shane teori itu diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu :
golongan teori abstrak atau teori-teori makro (macrotheories). Pada asasnya, teori-teori dalam klasifikasi inimendeskripsikan korelasi antara kejahatan dengan struktur masyarakat. Termasuk ke dalam macrotheories ini adalah teori Anomie dan Teori Konflik.
teori-teori mikro (microtheories) yang bersifat lebih konkret. Teori ini ingin menjawab mengapa seorang/kelompok orang dalam masyarakat melakukan kejahatan atau menjadi kriminal (etiology criminal). Konkritnya, teori-teori ini lebih bertendensi pada pendekatan psikologisatau biologis. Termasuk dalam teori-teori ini adalah Social Control Theory dan Social Learning theory.
Beidging Theories yang tidak termasuk ke dalam kategori teori makro/mikro dan mendeskripsikan tentangstruktur sosial dan bagaimana seseorang menjadi jahat. Namun kenyataannya, klasifikasi teori-teori ini kerap membahas epidemiologi yang menjelaskan rates of crime dan etiologi pelaku kejahatan. Termasuk kelompok ini adalah Subculture Theory dan Differential Opportunity Theory.
Selain klasifikasi di atas, Frank P. William III dan Marilyn McShane juga mengklasifikasikan berbagai teori kriminologi menjadi 3 (tiga) bagian lagi, yaitu:
1. Teori Klasik dan Teori Positivis
Asasnya, teori klasik membahas legal statutes, struktur pemerintahan dan hak asasi manusia (HAM). Teori positivis terfokus pada patologi kriminal,penanggulangan dan perbaikan perilaku kriminal individu.
2. Teori Struktural dan Teori Proses
Teori struktural terfokus pada cara masyarakat diorganisasikan dan dampak dari tingkah laku. Teori struktural juga lazim disebut StrainTheories karena, "Their assumption that a disorganized society createsstrain which leads to deviant behavior". Tegasnya, asumsi dasarnya adalah masyarakat yang menciptakan ketegangan dan dapat mengarah pada tingkah laku menyimpang. Sementara teori Proses, membahas, menjelaskan dan menganalisis bagaimana orang menjadi penjahat.
3. Teori Konsensus dan Teori Konflik
Teori Konsensus menggunakan asumsi dasar bahwa dalam masyarakat terjadi konsensus/ persetujuan sehingga terdapat nilai-nilai bersifat umum yang kemudian disepakati secara bersama. Sedangkan teori konflik mempunyai asumsi dasar yang berbeda yaitu dalam masyarakat hanya terdapat sedikit kesepakatan dan orang-orang berpegang pada nilai pertentangan. Selain itu, sebagai perbandingan John Hagan mengklasifikasikan teori-teori kriminologi menjadi :
Teori-teori Under Control atau Teori-teori untuk mengatasi perilaku jahat seperti teori Disorganisasi Sosial, teori Netralisasi dan teori Kontrol Sosial. Pada asasnya, teori-teori ini membahas mengapa ada orang melanggar hukum sedangkan kebanyakan orang tidak demikian.
Teori-teori Kultur, Status dan Opportunity. seperti teori Status Frustasi, teori Kultur Kelas dan teori Opportunity yang menekankan mengapa adanya sebagian kecil orang menentang aturan yang telah ditetapkan masyarakat dimana mereka tinggal/hidup.
Teori Over Control, yang terdiri dari teori Labeling, teori Konflik Kelompok dan teori Marxis. Teori-teori ini lebih menekankan pada masalah mengapa orang bereaksi terhadap kejahatan.
Dari klasifikasi di atas, dapat ditarik konklusi bahwa antara satu klasifikasi dengan klasifikasi yang lain tidaklah identik/sama. Aspek initeoritisi utama (dramatis personal) yang mencetuskannya. Selain itu, pengklasifikasian teori juga dipengaruhi adanya subyektivitas orang yang melakukan klasifikasi sehingga relatif menimbulkan dikotomi dan bersifat artifisial.
TEORI DIFFERENTIAL ASSOCIATION/ASOSIASI DIFERENSIAL
Pada hakikatnya, teori Differential Association lahir, tumbuh dan berkembang dari kondisi sosial (social heritage) tahun 1920 dan 1930 dimana FBI (Federal Bureau Investigation-Amerika Serikat) memulai prosedur pelaporan tahunan kejahatan kepada polisi. Kemudian, sejak diperhatikannya data ekologi mazhab Chicago (Chicago School) dan data statistik, dipandang bahwa kejahatan merupakan bagian bidang sosiologi, selain bidang biologi atau psikologi.
Konkritnya, teori Differential Association berlandaskan kepada : "Ecological and Cultural Transmission Theory, Symbolic Interactionismdan Culture Conflict Theory". Teori Differential Association terbagi dua versi. Dimana versi pertama dikemukakan tahun 1939, versi kedua tahun 1947. Versi pertama terdapat dalam buku Principle of Criminology, edisi ketiga yang menegaskan aspek-aspek berikut :
Pertama, setiap orang akan menerima dan mengikuti pola-pola prilaku yang dapat dilaksanakan.
Kedua, kegagalan untuk mengikuti pola tingkah laku menimbulkan inkonsistensi dan ketidakharmonisan.
Ketiga, konflik budaya merupakan prinsip dasar dalam menjelaskan kejahatan.
Selanjutnya, Edwin H. Sutherland mengartikan Differential Association sebagai "the contens of the patterns presented inassociation". Ini tidak berarti bahwa hanya pergaulan dengan penjahat yang akan menyebabkan perilaku kriminal, akan tetapi yang terpenting adalah isi dari proses komunikasi dari orang lain.
Kemudian, pada tahun 1947 Edwin H. Sutherland menyajikan versi kedua dari teori Differential Association yang menekankan bahwa semua tingkah laku itu dipelajari,tidak ada yang diturunkan berdasarkan pewarisan orang tua. Tegasnya, pola perilaku jahat tidak diwariskan tapi dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab. Untuk itu, Edwin H. Sutherland kemudian menjelaskan proses terjadinya kejahatan melalui 9 (sembilan) proposisi sebagai berikut :
Perilaku kejahatan adalah perilaku yangdipelajari. Secara negatif berarti perilaku itu tidak diwariskan.
Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi. Komunikasi tersebut terutama dapat bersifat lisanataupun menggunakan bahasa tubuh.
Bagian terpenting dalam proses mempelajari perilaku kejahatan terjadi dalam kelompok personal yang intim. Secaranegatif ini berarti bahwa komunikasi interpersonal seperti melaluibioskop, surat kabar, secara relatif tidak mempunyai peranan pentingdalam terjadinya kejahatan.
Ketika perilakukejahatan dipelajari, maka yang dipelajari termasuk : (a) teknik melakukan kejahatan, (b) motif-motif, dorongan-dorongan, alasan-alasan pembenar dan sikap-sikap tertentu.
Arah dan motif dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi dari peraturan hukum. Dalam suatu masyarakat,kadang seseorang dikelilingi orang-orang yang secara bersamaanmelihat apa yang diatur dalam peraturan hukum sebagai sesuatu yangperlu diperhatikan dan dipatuhi, namun kadang ia dikelilingi orang-orang yang melihat aturan hukum sebagai sesuatu yang memberikan peluang dilakukannya kejahatan.
Seseorang menjadi delinkuen karena ekses pola-pola pikir yang lebih melihat aturan hukum sebagai pemberi peluang melakukan kejahatan daripada melihat hukum sebagai sesuatu yang harus diperhatikan dan dipatuhi.
Asosiasi Diferensial bervariasi dalam frekuensi, durasi,prioritas serta intensitasnya.
Proses mempelajari perilaku jahat diperoleh melalui hubungan dengan pola-pola kejahatan dan mekanisme yang lazim terjadi dalam setiap proses belajar secara umum.
Sementara perilaku jahat merupakan ekspresi dari kebutuhan nilai umum, namun tidak dijelaskan bahwa perilaku yang bukan jahat pun merupakan ekspresi dari kebutuhan dan nilai-nilai umum yang sama.
Dengan diajukannya teori ini, Sutherland ingin menjadikan pandangannya sebagai teori yang dapat menjelaskan sebab-sebab terjadinya kejahatan. Dalam rangka usaha tersebut, Edwin H. Sutherland kemudian melakukan studi tentang kejahatan White-Collar agar teorinya dapat menjelaskan sebab-sebab kejahatan, baik kejahatan konvensial maupun kejahatan White-Collar.
Terlepas dari aspek tersebut, apabila dikaji dari dimensi sekarang, temyata teori Differential Association mempunyai kekuatan dan kelemahan tersendiri. Adapun kekuatan teori Differential Association bertumpu pada aspek-aspek :
Teori ini relatif mampu untuk menjelaskan sebab-sebab timbulnya kejahatan akibat penyakit sosial ;
Teori ini mampu menjelaskan bagaimana seseorang karenaadanya/melalui proses belajar menjadi jahat ;
Ternyata teori ini berlandaskan kepada fakta dan bersifat rasional.
Sedangkan kelemahan mendasar teori ini terletak pada aspek :
Bahwa tidak semua orang atau setiap orang yang berhubungan dengan kejahatan akan meniru/memilih pola-pola kriminal. Aspek ini terbukti untuk beberapa golongan orang, seperti petugas polisi, petugas pemasyarakatan/penjara atau krimilog yang telah berhubungan dengan tingkah laku kriminal secara ekstensif, nyatanya tidak menjadipenjahat.
Bahwa teori ini belum membahas, menjelaskan dan tidak peduli pada karakter orang-orang yang terlibat dalam proses belajar tersebut.
Bahwa teori ini tidak mampu menjelaskan mengapa seseorang suka melanggar daripada menaati undang-undang dan belum mampu menjelaskan causa kejahatan yang lahir karena spontanitas.
Bahwa apabila ditinjau dari aspek operasionalnya ternyata teori iniagak sulit untuk diteliti, bukan hanya karena teoritik tetapi juga harus menentukan intensitas, durasi, frekuensi dan prioritasnya.
http://zriefmaronie.blogspot.com/2012/03/teori-differential-association-asosiasi.html