BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Suatu negara hukum atau Rule atau Rule of law sesungguhnya law sesungguhnya mempunyai sendi-sendi yang bersifatnya universal dan bahkan cukup mendasar, seperti pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi, adanya aturan-aturan hukum yang mengatur tindakan negara atau pemerintah dalam arti tindakan aparatur negara tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam hal ini tentunya, t entunya, akan membawa konsekuensi pada hukum pidana secara khusus.1 Hukum pidana mempunyai tujuan sebagai bentuk perlindunga dan penyelamatan individu atas adanya kejahatan dalam masyarakat, sehingga tujuan tersebut harus di jaga agar tidak dimungkinkan kejahatan yang lolos disebabkan kesalahan dalam penyidikan atau mungkin sebaliknya tidak ada kejahatan yang oleh karena cara penyidikan yang keliru menyebabkan orang yang tidak bersalah menderita dan dihukum tanpa salah karena dicap sebagai penjahat. Maka para ahli hukum pidana berpendapat sebagai berikut:2 1. Hukumlah penjahat, dan bebaskanlah yang tidak bersalah dari tindakan hukum karena kekeliriuan. 2. Lebih baik 10 penjahat lolos, daripada kekeliruan menghukum 1 orang yang tidak bersalah. Perlindungan terhadap hak asasi manusia, memiliki inti pada perlindungan terhadap korban termasuk korban salah tangkap merupakan salah satu bentuk
1
Prakoso Djoko, 1984, Upaya Hukum Yang Di Atur Dalam KUHAP, Jakarta: Ghalia, hlm. 51 Dirdjosisworo Soedjono, 1984, Filsafat Peradilan Pidana Dan Perbandingan Hukum, Bandung: Armico, hlm. 17 2
perwujudan atas penghormatan, penegakan, dan penjaminan atas hak asasi manusia. Dengan menunjukkan adanya persamaan prinsip dan ide hak asasi manusia, dapat digambarkan bahwa antara negara hukum dan penegakan hak asasi manusia merupakan satu mata uang dengan sisi yang berbeda. 3 Hal tersebut mengakibatkan upaya perlindungan hak asasi tersebut perlu adanya peraturan-peraturan larangan bagi sistem hukum dan keefektifan sistem peradilan pidana dalam rangka perlindungan hak asasi manusia. Kedudukan korban dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia ternyata relatif kurang diperhatikan, hal tersebut dikarenakan Sistem Peradilan Pidana Indonesia masih berorientasi pada perlindungan bagi pelaku (offender orientied ). Jika dilihat dari perspektif kriminologis dan hukum pidana, kejahatan merupakan suatu konflik yang menimbulkan kerugian kepada korban, masyarakat dan pelanggar sendiri. Perlindungan korban kejahatan masih bersifat perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung yang dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut sebagai KUHAP), serta Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut sebagai PP Pelaksanaan KUHAP). Salah satu masalah yang terjadi dalam Sistem Peradilan Pidana adalah terjadinya pelanggaran hak pada salah satu atau seluruh tingkat pemeriksaan. Pelanggaran tersebut dapat berupa pelanggaran prosedural, pelanggaran adminstratif, pelanggaran terhadap
3
Effendi Mansyur, 1993 , Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Hukum Internasional , Bogor: Ghalia Indonesia, hlm. 33
diri pribadi tersangka sampai pada pelanggaran berat seperti rekayasa saksi-saksi dan rekayasa bukti-bukti suatu perkara. 4 Apabila suatu keterangan tersangka yang diduga telah melakukan tindak pidana dipergunakan sebagai alat bukti bagi penyidik ternyata perolehannya atas dasar tekanan atau paksaan yang berakibat penderitaan secara psikis dan phisik dan menimbulkan rasa takut. Perolehan keterangan sebagai alat bukti tersebut harus dinyatakan tidak sah karena bisa saja ber isi suatu pengakuan yang terekayasa.5 Dimana permasalahan tersebut akan berbuntut pada perkara salah tangkap yang bukan merupakan cerita baru dalam dunia hukum di Indonesia. Pada tahun 2013 yang lampau misalnya Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) mencatat bahwa telah terjadi 31 kali kasus salah tangkap yang di Indonesia. Melalui prakteknya para korban salah tangkap tersebut telah mendapat kerugian yang luar biasa seperti hilangnya pendapatan maupun mata pencaharian, keluarga dalam hal ini menjadi korban secara tidak langsung karena dijauhi oleh lingkungan akibat label “kriminal” yang terlanjur disematkan, serta siksaan dan tekanan secara psikologis di dalam penjara yang sempit selama berhari-hari bahkan ada yang sampai bertahun-tahun. Semuanya itu tidak dapat langsung dipulihkan dengan embel-embel amar putusan
hakim “memulihkan harkat dan martabat, dan merehabilitasi terdakwa” .6 Mengenai salah tangkap terdapat instrumen peraturan ganti rugi salah tangkap terdapat dalam Pasal 95 KUHAP yakni: “Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa
4
Kaligis O.C, 2006, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka , Terdakwa Dan Terpidana, Bandung: Alumni, hlm. 233 5 Prakoso Djoko, Op.cit, hlm. 116 6 Tengens Jacky, Urgensi Ganti Kerugian Bagi Korban Salah Tangkap, diunduh dari, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55ff82a363340/urgensi-ganti-kerugian-bagi-korban-salah tangkap-broleh--jecky-tengens--sh-, Pada 5 November 2016 Pukul 3.29 WIB
alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan .” Perkara mengenai salah tangkap tersebut pernah terjadi dalam kasus LBH Mawar Saron Semarang dalam Perkara No. 49/Pid/2013/PT.SMG tertanggal 15 April 2013 jo. Putusan PN Semarang No. 15/Pid.GR/2012/PN.Smrg tertanggal 14 Januari 2013, dimana saat itu seorang kasir di sebuah karaoke di Semarang dituduh memperkerjakan anak di bawah umur dan kemudian ditahan selama 13 bulan di dalam penjara. Selanjutnya,
terdapat
juga
perkara
dengan
nomor
register
10/Pid.Prap/2014/PN.Jkt.Ut tertanggal 15 September 2014 yakni seorang buruh yang dituduh terlibat dalam kasus pembunuhan berencana hanya berdasarkan keterangan seorang pelaku lainnya sehingga harus menjalani penyiksaan dan mendekam di dalam tahanan selama 251 hari sampai pada akhirnya Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis bebas (vrijspraak ) kepadanya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) PP Pelaksanaan KUHAP, tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu tiga bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap. Tetapi, sangat disayangkan bahwa Pasal 9 PP Pelaksanaan KUHAP hanya mengatur batas maksimal ganti kerugian sebagai berikut: (1) Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan serendah-rendahnya berjumlah Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 1.000.000,(satu juta rupiah); (2) Apabila penangkapan, penahanan dan tindakan lain sebagaimana dimaksud Pasal 95 KUHAP mengakibatkan yang bersangkutan sakit atau cacat sehingga
tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati, besarnya ganti kerugian berjumlah setinggi-tingginya Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah). Hal yang menjadi masalah adalah, nominal senilai satu juta rupiah tentu saja t idak dapat diaplikasikan lagi pada zaman sekarang. Terdapat analogi yakni pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyelesaian Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan Jumlah Denda dalam KUHP (Selanjutnya disebut sebagai Perma 2/2012), dimana Mahkamah Agung mempunyai pendapat bahwa nilai kerugian yang terdapat pada KUHP harus diatur kembali mengikuti perkembangan zaman yang dalam hal ini mengikuti perkembangan harga emas yang terus naik semenjak ditetapkannya KUHP sampai dengan sekarang. Logika yang sama seharusnya dapat ditetapkan mengenai perkara ganti kerugian, nilai kerugian sebesar maksimal satu juta rupiah harusnya dapat direvisi kembali mengingat nilai tersebut sudah tidak relevan lagi untuk dipertahankan. Polemik selanjutnya berlanjut pada hakim yang pada prakteknya melihat bahwa ketentuan Pasal 9 PP Pelaksanaan KUHAP tersebut haruslah dipedomani sehingga hakim hanya berfungsi sebagai “tahanan” undang-undang serta tidak dapat memutus lebih daripada yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Sebagai contoh pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 10/Pid.Prap/2014/PN.Jkt.Ut tertanggal 15 September 2014 misalnya, hakim mengambil sikap normatif sesuai dengan ketentuan undang-undang dan hanya mengabulkan ganti kerugian sebesar satu juta rupiah kendati permohonan ganti kerugian yang dimohonkan oleh pemohon jauh melebihi nilai yang dikabulkan. Dalam perkara yang berbeda terdapat perkara yang pada putusan ganti kerugian melalui mekanisme praperadilan dimana hakim pada Pengadilan Tinggi Semarang yang mengadili perkara praperadilan pada putusan No. 49/Pid/2013/PT.SMG tertanggal 15 April 2013 berani keluar dari Pasal 9 PP Pelaksanaan KUHAP dan memutus ganti
kerugian bagi korban salah tangkap yang telah dipenjara selama 13 bulan serta mengabulkan nominal ganti kerugian sebesar lima juta rupiah, dalam hal ini nilai ganti kerugian juga lebih kecil dari yang diajukan oleh pemohon. Melihat dari beberapa alasan diatas, peraturan mengenai ganti rugi terhadap pihak yang telah terjadi salah tangkap perlu dilakukan revisi. Hal tersebut dikarenakan pengaturan mengenai ganti rugi tersebut tidak r elevan untuk diterapkan dan perlu untuk dilakukan pembaharuan hukum. Hal selanjutnya peraturan mengenai ganti rugi menimbulkan kekaburan norma dalam hal ini dapat dibuktikan dengan penafsiran yang dilakukan oleh Hakim dalam mengambil keputusan mengenai jumlah ganti rugi terhadap korban salah tangkap. Berangkat dari hal-hal yang telah tertulis di atas maka, menarik kiranya untuk melakukan dilakukannya penelitian yuridis dengan judul “Analisis Yuridis Pengaturan Jumlah Nominal Ganti Rugi Terhadap Korban Salah Tangkap” 2.
RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dari penelitian yang akan dikaji adalah sebagai beri kut: 1. Bagaimana proses pengajuan ganti rugi terhadap korban salah tangkap? 2. Apakah relevan jika nominal ganti rugi yang terdapat dalam PP Pelaksanaan KUHAP dibandingkan dengan Perma No.2 Tahun 2012?
3.
TUJUAN PENELITIAN
Berdasar dari permasalahan di atas, maka terdapat tujuan penelitian yakni sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan memahami pemberlakuan hukum aborsi bagi perempuan korban pemerkosaan dintinjau dari UU Perlindungan Anak. 2. Untuk mengetahui dan memahami akibat hukum yang ditimbulkan dari pertentangan antara UU Perlindungn Anak dengan PP Kesehatan Reproduksi. 4.
MANFAAT PENELITIAN
a. Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini berharap dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu hukum khususnya mengenai hal yang menyangkut dengan pemberlakuan hukum aborsi bagi perempuan korban pemerkosaan dintinjau dari UU Perlindungan Anak. b. Manfaat Praktis 1) Bagi Pemerintah Pemerintah dalam hal ini adalah sebagai permbuat regulasi mengenai PP kesehatan reproduksi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil yang selanjutnya digunakan oleh Pemerintah sebagai kritik dan masukan mengenai pemberlakuan hukum PP Kesehatan Reproduksi mengenai aborsi bagi perempuan korban pemerkosaan dintinjau dari UU Perlindungan Anak.
2) Bagi KPAI Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para komisioner KPAI yang berkaitan dengan permasalahan hukum terhadap
pelegalan aborsi korban perkosaan yang terdapa dalam Pasal 31 ayat (2) PP Kesehatan Reproduksi. 3) Bagi masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi mas ukan bagi masyarakat khalayak sehingga dapat mencegah terjadinya tindak pidana perkosaan, dimana nantinya juga menekan dari angka aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan tersebut.