BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Situs memiliki berbagai pengertian yang berbeda karena selain dibidang computer dan internet, di dalam dunia sejarah juga terdapat istilah situs. maka kata situs dalam dunia sejarah berhubungan dengan tempat atau area atau wilayah. Menurut William Haviland (dalam Warsito 2012 : 25) mengatakan bahwa “tempat“tempattempat dimana ditemukan peninggalan-peninggalan arkeologi di kediaman makhluk manusia pada Zaman dahulu dikenal dengan nama situs. Situs biasanya ditentukan berdasarkan survey survey suatu daerah.” Ahli erkeologi mempelajari peninggalanpeninggalan peninggalan yang berupa benda untuk menggambarkan dan menerangkan prilaku manusia. Jadi situs sejarah adalah tempat dimana terdapat informasi tentang peninggalan-peninggalan bersejarah. Di Negara Indonesia telah banyak ditemukan situs sejarah yang tersebar di seluruh wilayah nusantara. Benda-benda peninggalan yang memiliki nilai sejarah tinggi sudah sepatutnya untuk dilestarikan. Daerah yang dijadikan sebagai tempat perlindungan benda bersejarah yaitu daerah yang dinobatkan sebagai kota pusaka. Di Indonesia,daerah yang termasuk dalam kota pusaka yakni Palembang, Bogor,
dapat menarik wisatawan lokal maupun mancanegara.
1.2 Rumusan Masalah 1.
Bagaimana bentuk situs-situs sejarah yang berada di dalam Benteng Keraton Buton beserta letaknya di dalam Benteng Keraton Buton?
2.
Bagaimana akses menuju situs-situs bersejarah di dalam Benteng Keraton Buton?
3.
Bagaimana bentuk hubungan (link (link ) antar situs-situs sejarah di dalam Benteng Keraton Buton?
1.3 Tujuan 1.
Mengetahui bentuk situs-situs sejarah yang berada di dalam Benteng Keraton Buton beserta letaknya di dalam Benteng Keraton Buton.
2.
Mengetahui akses menuju situs-situs bersejarah di dalam Benteng Keraton Buton
3.
Mengetahui bentuk hubungan (link (link ) antar situs-situs sejarah di dalam Benteng Keraton Buton?
1.4 Manfaat 1.
Dapat dijadikan kajian untuk mengetahui benda peninggalan masa lampau.
dapat menarik wisatawan lokal maupun mancanegara.
1.2 Rumusan Masalah 1.
Bagaimana bentuk situs-situs sejarah yang berada di dalam Benteng Keraton Buton beserta letaknya di dalam Benteng Keraton Buton?
2.
Bagaimana akses menuju situs-situs bersejarah di dalam Benteng Keraton Buton?
3.
Bagaimana bentuk hubungan (link (link ) antar situs-situs sejarah di dalam Benteng Keraton Buton?
1.3 Tujuan 1.
Mengetahui bentuk situs-situs sejarah yang berada di dalam Benteng Keraton Buton beserta letaknya di dalam Benteng Keraton Buton.
2.
Mengetahui akses menuju situs-situs bersejarah di dalam Benteng Keraton Buton
3.
Mengetahui bentuk hubungan (link (link ) antar situs-situs sejarah di dalam Benteng Keraton Buton?
1.4 Manfaat 1.
Dapat dijadikan kajian untuk mengetahui benda peninggalan masa lampau.
BAB II STUDI LITERATUR 2.1 Situs Sejarah
1.
Pengertian Situs Sejarah Situs memiliki berbagai pengertian yang berbeda karena s elain dibidang
computer dan internet, di dalam dunia sejarah juga terdapat istilah situs. Bila dalam dunia computer dan internet situs merupakan sebuah website, sebuah alamat yang bisa kita kunjungi dan berisi informasi tertentu tentang pemilik website, maka kata situs dalam dunia sejarah berhubungan dengan tempat atau area atau wilayah. Menurut William Haviland (dalam Warsito 2012 : 25) mengatakan bahwa “tempat-tempat “tempat-tempat dimana ditemukan peninggalan-peninggalan arkeologi di kediaman makhluk manusia pada Zaman dahulu dikenal dengan nama situs. Situs biasanya ditentukan berdasarkan survey suatu daerah.”
Lebih lanjut William Haviland (dalam Warsito 2012 : 25) juga mengatakan bahwa “artefak adalah sisa-sisa sisa-sisa alat bekas suatu kebudayaan zaman prehistori yang di gali dari dalam lapisan bumi. Artefak ialah objek yang dibentuk atau diubah oleh
termasuk pengertian sejarah. Pengertian sejarah sebagai peristiwa ini menyangkut makna dasar dari istilah sejarah. Dengan demikian makna dasar sejarah adalah peristiwa, kejadian, aktivitas manusia yang terjadi pada masa lampau. Menurut R.G Collingwood (dalam Daliman 2012 : 2) mengatakan “sejarah sebagai kisah atau rerum gestarum (kisah dari peristiwa yang telah terjadi). Sejarah sebagai kisah adalah sejarah dalam pengertian subjektif. Sejarah sebagai kisah adalah rekaan hasil rekonstruksi manusia.” Serupa dengan Bertens (dalam Daliman 2012 : 2) mengatakan bahwa “sejarah sebagai kisah ini sebagai sejarah yang dicatat atau sejarah yang tersurat.” Dalam pengertian sejarah di atas, ada batasan yang menjadi pedoman tentang makna sejarah. Bahwa sejarah adalah sebuah peristiwa yang pernah terjadi dimasa lalu, dimana rangkaian peristiwa tersebut disusun berdasarkan urutan waktu, proses kejadian serta disertai keterangan tempat dimana sebuah kejadian terjadi. Hal inilah yang menjadi sebuah pembeda antara pengertian dari sejarah dan kisah fiksi. Sebab, kisah sejarah merupakan sebuah kondisi nyata yang sudah pernah dialami oleh seseorang dimasa lalu pada suatu waktu. Sementara, fiksi hanyalah sebuah kisah yang berisi imajinasi dari seorang penulisnya. Dan kisah yang ada didalam fiksi bisa jadi bukan merupakan kisah nyata. Kisah sejarah ini bisa menjadi penghias dari kisah
yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal, dan diartikan sebagai segala hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan beberapa pendapat para ahli mengenai kebudayaan diantaranya: a.
Edward B. Taylor Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adapt istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.
b.
R. Linton Kebudayaan adalah konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku, yang unsur pembentukanya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu.
c.
W.H. Kelly dan C. Klockhohn Kebudayaan adalah pola hidup yang tercipta dalam sejarah, yang eksplisit, implisit, rasional, irasional, dan nonrasional, yang terdapat pada setiap waktu sebagai pedoman yang potensial bagi tingkah laku manusia.
4)
William H. Haviland
didalam
hidup
dan
penghidupannya
guna
mencapai
keselamatan
dan
kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
Menurut Koentjaraningrat ada tujuh unsur kebudayaan universal, yaitu: a. Sistem religi b. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial c. Sistem pengetahuan d. Bahasa e. Kesenian f. Sistem mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi g. Sistem peralatan hidup atau teknologi
Menurut J.J. Hoenigman (dalam Wiranata, 2011 : 103) bila dikelompokan secara wujudnya kebudayaan dibedakan menjadi tiga,yaitu: a.
Gagasan (Wujud ideal) Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau halhal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.
Setiap kelompok masyarakat memiliki ciri dan keunikan budaya nya sendiri. Ciri dan keunikan yang berbeda ini merupakan identitas bagi suatu kelompok masyarakat yang membedakanya dengan masyarakat lainya. Di lain hal, perbedaan kebudayan yang ada pada setiap kelompok masyarakat bukan lah menjadi suatu pemisah bagi suatu kelompok masyarakat dengan masyarakat lainya untuk saling berinteraksi dan membaur tanpa harus meninggalkan nilai-nilai kebudayaan yang masing-masing mereka miliki. Seiring perkembangan zaman dan semakin pesatnya perkembangan teknologi secara perlahan tantpa disadari bentuk-bentuk kebudayaan lama mulai ditinggali
pada suatu kebisaan, kepercayaan, simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan perilaku dan tanggapan atas apa yang terjadi atau sedang terjadi. Nilai-nilai budaya akan tampak pada symbol-simbol, slogan, moto, visi misi, sesuatu yang Nampak sebagai acuan pokok suatu lingkungan atau organisasi. Suatu nilai apabila sudah membudaya pada diri seseorang, maka nilai itu akan dijadikan sebagai pedoman atau petunjuk didalam bertingkah laku. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya budaya gotong-royong, budaya malas, dan lain-lain. Jadi secara universal, nilai itu merupakan sebagai pendorong bagi seseorang dalam mencapai tujuan tertentu. Menurut Thodorson (dalam Warsito 2012 : 98) mengemukakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang abstrak, yang dijadikan pedoman serta prinsip-prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku. Ketertarikan orang atau kelompok terhadap nilai menurut Theodorson relative sangat kuat bahkan bersifat emosional. Oleh sebab itu, nilai dapat dilihat sebagai tujuan kehidupa n manusia itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan nilai budaya itu sendiri menurut beberapa ahli yakni Koentjaraningrat (dalam Warsito 2012 : 99) adalah nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat
keseimbangan. Nilai tersebut dikonsepsikan sebagai nilai buda ya.” Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat dikatakan bahwa setiap individu dalam melaksanakan aktivitas sosialnya selalu berdasarkan serta berpedoman pada nilai-nilai atau sistem nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat itu sendiri. Artinya nilai-nilai itu sangat banyak mempengaruhi tindakan dan perilaku manusia, baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut. Nilai budaya adalah suatu bentuk konsepsi umum yang dijadikan pedoman atau petunjuk didalam bertingkah laku baik secara individual, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut.
Masyarakat terbentuk melalui sejarah yang panjang, perjalanan berliku, tapak demi tapak, trial and error. Pada titik-titik tertentu terdapat peninggalan-peninggalan yang eksis atau terekan sampai sekarang yang kemudian menjadi warisan budaya. Warisan budaya, menurut Davidson (1991:2) diartikan sebagai ‘produk atau hasil budaya fisik dari tradisitradisi yang berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa lalu yang menjadi elemen po kok dalam jatidiri suatu kelompok atau bangsa’. Jadi warisan budaya merupakan hasil budaya fisik (tangible) dan nilai
Negara Australia dan Amerika yang warisan budayanya menjadi milik penduduk asli secara eksklusif sehingga penduduk asli mempunyai hak untuk melarang setiap kegiatan pemanfaatan yang akan berdampak buruk pada warisan budaya mereka (Frankel, 1984). Warisan budaya fisik (tangible heritage) sering diklasifikasikan menjadi warisan budaya tidak bergerak (immovable heritage) dan warisan budaya bergerak (movable heritage). Warisan budaya tidak bergerak biasanya berada di tempat terbuka dan terdiri dari: situs, tempat-tempat bersejarah, bentang alam darat maupun air, bangunan kuno dan/atau bersejarah, patung-patung pahlawan (Galla, 2001: 8). Warisan budaya bergerak biasanya berada di dalam ruangan dan terdiri dari: benda warisan budaya, karya seni, arsip, dokumen, dan foto, karya tulis cetak, audiovisual berupa kaset, video, dan film (Galla, 2001: 10). Pasal 1 the World Heritage Convention membagi warisan budaya fisik menjadi 3 kategori, yaitu monumen, kelompok bangunan, dan situs (World Heritage Unit, 1995: 45). Yang dimaksud dengan monument adalah hasil karya arsitektur, patung dan lukisan yang monumental, elemen atau struktur tinggalan arkeologis, prasasti, gua tempat tinggal, dan kombinasi fitur-fitur tersebut yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, budaya dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan kelompok bangunan
ilmu Arkeologi yang berupaya mengungkapkan kehidupan manusia di masa lalu melalui benda-benda yang ditinggalkannya. Ini berbeda dengan disiplin ilmu Sejarah yang berupaya mengungkapkan kehidupan manusia di masa lalu melalui bukti-bukti tertulis yang ditinggalkannya. e. Pelestarian budaya lokal Beragam wujud warisan budaya lokal memberi kita kesempatan untuk mempelajari kearifan lokal dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi di masa lalu. Masalahnya kearifan local tersebut seringkali diabaikan, dianggap tidak ada relevansinya dengan masa sekarang apalagi masa depan. Dampaknya adalah banyak warisan budaya yang lapuk dimakan usia, terlantar, terabaikan bahkan dilecehkan keberadaannya. Padahal banyak bangsa yang kurang kuat sejarahnya justru mencaricari jatidirinya dari tinggalan sejarah dan warisan budayanya yang sedikit jumlahnya. Kita sendiri, bangsa Indonesia, yang kaya dengan warisan budaya justru mengabaikan asset yang tidak ternilai tersebut. Sungguh kondisi yang kontradiktif. Kita sebagai bangsa dengan jejak perjalanan sejarah yang panjang sehingga kaya dengan keanekaragaman budaya lokal seharusnya mati-matian melestarikan warisan budaya yang sampai kepada kita. Melestarikan tidak berarti membuat sesuatu menjadi awet dan tidak mungkin punah. Melestarikan berarti memelihara untuk waktu yang
masyarakat. Pelestarian harus diperjuangkan oleh masyarakat luas (Hadiwinoto, 2002: 30). Singkat kata pelestarian akan dapat sustainable jika berbasis pada kekuatan dalam, kekuatan lokal, kekuatan swadaya. Karenanya sangat diperlukan penggerak, pemerhati, pecinta dan pendukung dari berbagai lapisan masyarakat. Untuk itu perlu ditumbuhkembangkan motivasi yang kuat untuk ikut tergerak berpartisipasi melaksanakan pelestarian, antara lain: 1)
Motivasi untuk menjaga, mempertahankan dan mewariskan warisan budaya yang diwarisinya dari generasi sebelumnya;
2)
Motivasi untuk meningkatkan pengetahuan dan kecintaan generasi penerus bangsa terhadap nilai-nilai sejarah kepribadian ba ngsa dari masa ke masa melalui pewarisan khasanah budaya dan nilai-nilai budaya secara nyata yang dapat dilihat, dikenang dan dihayati;
3)
Motivasi untuk menjamin terwujudnya keragaman atau variasi lingkungan budaya;
4)
Motivasi ekonomi yang percaya bahwa nilai budaya local akan meningkat bila terpelihara dengan baik sehingga memiliki nilai komersial untuk meningkatkan kesejahteraan pengampunya; dan
menunjang pemenuhan kebutuhan bagi para anggota pendukung kebudayaan. Kebudayaan harus dapat menjamin kelestarian kehidupan biologis, memelihara ketertiban, serta memberiran motivasi kepada pendukungnya agar dapat terus bertahan hidup dan melakukan kegiatan untuk kelangsungan hidu p. Tidak ada kebudayaan yang bersifat statis. Setiap individu dan setiap generasi melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan semua desain kehidupan sesuai dengan kepribadian mereka dan sesuai dengan tuntutan zamannya. Terkadang diperlukan banyak penyesuaian dan banyak tradisi masa lampau yang ditinggalkan karena tidak sesuai dengan tuntutan zaman baru. Generasi baru tidak hanya mawariskan suatu edisi kebudayaan baru, melainkan suatu versi kebudayaan yang direvisi. Kebudayaan pun mengalami perubahan. Perubahan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, perubahan yang disebabkan oleh perubahan dalam lingkungan alam misalnya, perubahan iklim, kekurangan bahan makanan, atau berkurangnya jumlah penduduk. Semua ini memaksa orang untuk beradaptasi. Mereka tidak dapat mempertahankan cara hidup yang lama, tetapi harus menyesuaikan diri terhadap situasi yang baru. Kedua, perubahan disebutkan oleh adanya kontak dengan suatu kelompok masyarakat yang memiliki norma-norma dan teknologi yang berbeda. Kontak budaya
penciptaan mesin uap, satelit,dan sebagainya. Keempat, perubahan yang terjadi karena suatu masyarakat atau suatu bangsa mengadopsi beberapa elemen kebudayaan material yang telah dikembangkan bangsa lain ditempat lain. Pengadopsian elemen-elemen yang bersangkutan dimungkinkan oleh apa yang disebut difusi, yakni proses persebaran unsure-unsur kebudayaan dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain melalui difusi, misalnya teknologi computer yang dikembangkan oleh bangsa barat diadopsi oleh berbagai bangsa didunia. Gejala ini menunjukkan adanya interdependensi erat antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lainnya. Pengadopsian semacam ini membawa perubahan-perubahan sosial secara mendasar, karena elemen kebudayaan material semacam computer, mobil, televisi dan lainnya itu bisa mengubah seluruh sistem organisasi sosial. Kelima, perubahan yang terjadi karena suatu bangsa memodifikasi cara hidupnya dengan mengadopsi suatu pengetahuan atau kepercayaan baru, atau karena perubahan dalam pandangan hidup dan konsepsinya tentang realitas. Perubahan ini biasanya berkaitan dengan munculnya pemikiran atau konsep baru dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan dan agama. Kebudayaan dan peradaban bangsa-bangsa modern dibentuk langsung olej ilmu modern. Begitu pula munculnya suatu agama membawa
Robert H. Lowie (dalam Rafael Raga Maran 2007 : 26) kebudayaan adalah segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat mencakup kepercayaan, adatistiadat, norma-norma, kebiasaan merupakan keahlian yang diperoleh bukan karena kreativitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang didapat melalui pendidikan formal atau informal. Clyde Kluckhohn (dalam Rafael Raga Maran 2007 : 26) mendefinisikan “kebudayaan sebagai total dari cara hidup suatu bangsa, warisan sosial yang diperoleh individu dari grupnya.” Gillin (dalam Rafael Raga Maran 2007 : 26) beranggapan bahwa “kebudayaan terdiri dari kebiasaan-kebiasaan yang berpola dan secara fungsional saling bertautan dengan individu tertentu yang berbentuk grup-grup atau kategori sosial tertentu.” Keesing (dalam Rafael Raga Maran 2007 : 26) mengemukakan kebudayaan adalah “totalitas pengetahuan manusia, pengalaman yang terakumulasi dan yang ditransmisikan secara sosial” atau singkatnya “kebudayaan adalah tingkah laku yang diperoleh melalui proses sosialisasi.” Koentjaraningrat (dalam Rafael Raga Maran 2007 : 26) “kebudayaan adalah keseluruhan system gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.”
merupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir orang-orang yang hidup bermasyarakat yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Cipta bisa berbentuk teori murni dan bisa juga telah tersusun sehingga dapat langsung diamalkan oleh masyarakat. Rasa dan cinta dinamakan pula sebagai kebudayaan Rohaniah. Semua karya, rasa, dan cipta semua dikuasai oleh karya orang-orang yang menentukan kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan sebagian besar atau seluruh masyarakat. Dari definisi yang dijabarkan oleh para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian kebudayaan yang mana akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi system idea tau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan juga dapat digambarkan untuk melukiskan cara khas manusia beradaptasi dengan lingkungannya, yakni cara manusia manusia membangun alam guna memenuhi keinginan-keinginan serta tujuan-tujuan dalam kehidupannya.
Mencakup segala bentuk kegiatan upacara adat yang terdapat pada masyarakat lokal de daerah wisata budaya. b) Kesenian Aradisional Mencakup segala bentuk kesenian asli dari budaya masyrakat setempat, dapat berupa seni tari, musik, kerajinan tangan. c) Benda-Benda peninggalan sejarah Dapat berupa patung arca, rumah adat, peralatan sehari-hari, pakaian, peralatan kesenian dan lain sebagainya. d) Sitim Religi Mencakup sistim kepercayaan norma-norma yang berlaku di dalam suatu kebudayaan tertentu.
Selain untuk sekedar menikmati atraksi dan keunikan dari kegiatan wisatanya, Pengembangan suatu objek wisata budaya merupakan salah satu bentuk pendidikan budaya yang bertujuan untu melestarikan budaya dengan cara mengenalkan kepada masyarakat mengenai suatu kebudayaan sehingga dapat dipahami dan dicintai masyarakat. Sehingga kelansungan dari keberadaan suatu budaya akan dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Kelestarian nilai-nilai kebudayaan sangatlah berperan penting dalam menjaga tatanan kehidupan masyarakat pada satu daerah dimana budaya tersebut berkembang. Bahkan upaya pelestarian budaya ini menjadi salah satu program penting pemerintah dalam penyelenggaraan tatanan sosial pada masyarakat. Melalui program-program kerjanya, pemerintah terus berupaya menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga dan melestarikan nilai-nilai kebudayaan. Hal ini terbukti dengan adanya peraturan dan undang-undang yang dikeluarkan pemerintah mengenai kebijakan upaya pelestarian kebudayaan. Adapun peraturan dan undang-undang tersebut diantaranya yaitu: a)
Peratuaran Pemerintah No 10 Tahun 1993 Tentang Pelaksanaa UU No 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya
b)
Peraturan Bersama Mentri Dalam Negri Dan Mentri Kebudayaan Dan Pariwisata No 42 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelestarian Budaya
c)
Undan-undang Republik Indonesia No 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya
h.
Cara Pandang Terhadap Kebudayaan
a)
Kebudayaan sebagai perdadaban Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan "budaya" yang dikembangkan di
"berkelas", elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah "berkebudayaan". Orang yang menggunakan kata "kebudayaan" dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang
yang
memiliki
kebiasaan
yang
berbeda
dengan
mereka
yang
"berkebudayaan" disebut sebagai orang yang "tidak berkebudayaan"; bukan sebagai orang "dari kebudayaan yang lain." Orang yang "tidak berkebudayaan" dikatakan lebih "alam," dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran "manusia alami" (human nature) Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu — berkebudayaan dan tidak berkebudayaan — dapat menekan interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan
yang merusak dan "tidak alami" yang
mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar manusia. Dalam hal ini, musik tradisional
(yang
diciptakan
oleh
masyarakat
kelas
pekerja)
dianggap
peduli terhadap gerakan nasionalisme — seperti misalnya perjuangan nasionalis untuk menyatukan Jerman, dan perjuangan nasionalis dari etnis minoritas melawan Kekaisaran Austria-Hongaria — mengembangkan sebuah gagasan kebudayaan dalam "sudut pandang umum". Pemikiran ini menganggap suatu budaya dengan budaya lainnya memiliki perbedaan dan kekhasan masing-masing. Karenanya, budaya tidak dapat diperbandingkan. Meskipun begitu, gagasan ini masih mengakui adanya pemisahan antara "berkebudayaan" dengan "tidak berkebudayaan" atau kebudayaan "primitif." Pada akhir abad ke-19, para ahli antropologi telah memakai kata kebudayaan dengan definisi yang lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap manusia tumbuh dan berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah tercipta kebudayaan. Pada tahun 50-an, subkebudayaan — kelompok dengan perilaku yang sedikit berbeda dari kebudayaan induknya — mulai dijadikan subyek penelitian oleh para ahli sosiologi. Pada abad ini pula, terjadi popularisasi ide kebudayaan perusahaan - perbedaan dan bakat dalam konteks pekerja organisasi atau tempat bekerja. 2)
Kebudayaan sebagai mekanisme stabilisasi Teori-teori yang ada saat ini menganggap bahwa (suatu) kebudayaan adalah
tergantung pada seberapa besar perbedaan kebudayaan induk dengan kebudayaan minoritas, seberapa banyak imigran yang datang, watak dari penduduk asli, keefektifan dan keintensifan komunikasi antar budaya, dan tipe pemerintahan yang berkuasa. o
Monokulturalisme: Pemerintah mengusahakan terjadinya asimilasi kebudayaan sehingga masyarakat yang berbeda kebudayaan menjadi satu dan saling bekerja sama.
o
Leitkultur (kebudayaan inti): Sebuah model yang dikembangkan oleh Bassam Tibi di Jerman. Dalam Leitkultur, kelompok minoritas dapat menjaga dan mengembangkan kebudayaannya sendiri, tanpa bertentangan dengan kebudayaan induk yang ada dalam masyarakat asli.
o
Melting Pot: Kebudayaan imigran/asing berbaur dan bergabung dengan kebudayaan asli tanpa campur tangan pemerintah.
o
Multikulturalisme: Sebuah kebijakan yang mengharuskan imigran dan kelompok minoritas untuk menjaga kebudayaan mereka masing- masing dan berinteraksi secara damai dengan kebudayaan induk.
j.
Wujud Kebudayaan Selain unsur kebudayaan, masalah lain yang juga penting dalam kebudayaan
kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku – buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut b) Aktivitas (tindakan) Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas – aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola – pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari – hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan. c) Artefak (karya) Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal – hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.
16
Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.
generasi ke generasi, misalnya dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional. Kebudayaan
sebagai
karya
manusia
memiliki
system
nilai.
Menurut
C.Kluckhohn (1961:38) dalam karyanya Variations in Value Orientation, system nilai budaya dalam semua kebudayaan yang ada di dunia sebenarnya berkisar pada lima masalah pokok dalam kehidupan manusia, yaitu : 1)
Hakikat dari hidup manusia (manusia dan hidup, disingkat MH)
2)
Hakikat dari karya manusia (manusia dan karya, disingkat MK)
3)
Hakikat kedudukan manusia dalam ruang waktu (manusia dan waktu, disingkat MW)
4)
Hakikat hubungan manusia dengan sesamanya (manusia dan manusia, disingkat MM).
BAB III PEMBAHASAN 3.1 Gambaran Umum
1.
Letak Geografis dan Batas Wilyah Kota Pulau Buton mempunyai luas 4.408 km². Pada pulau tersebut terdapat 2
kabupaten dan 1 kota, salah satunya adalah Kota Baubau. Kota Baubau memperoleh status kota pada tanggal 21 Juni 2001. Kota Bau-Bau secara geogerafis terletak di bagian Selatan Propinsi Sulawesi Tenggara yang berupa wilayah kepulauan. Kota 0
0
Bau-Bau berada di Pulau Buton terletak dibagian katulistiwa di antara 5 21’ - 5 30’ 0
0
Lintang Selatan dan di antara 122 30’ – 122 45’ Bujur Timur. Batas wilayah Kota Baubau adalah sebagai berikut : a. Bagian Utara berbatasan dengan Kecamatan Kapuntori (Kabupaten Buton). b. Bagian Timur berbatasan dengan Kecamatan Pasarwajo (Kabupaten Buton). c. Bagian Selatan berbatasan dengan Kecamatan Batauga (Kabupaten Buton). d. Bagian Barat berbatasan dengan Selat Buton.
3. Topografi dan Hidrologi Kondisi topografi Daerah Kota Baubau pada umumnya memiliki permukaan yang bergunung, bergelombang dan berbukit-bukit. Di antara gunung dan bukit – bukit terbentang dataran yang merupakan daerah – daerah potensial untuk mengembangkan sektor pertanian. Kota Baubau memiliki pula sungai yang besar yaitu sungai Baubau yang membatasi Kecamatan Wolio dengan Kecamatan Murhum dan Kecamatan Batupoaro. Sungai tersebut umumnya memiliki potensi yang dapat dijadikan sebagai sumber tenaga irigasi dan kebutuhan rumah tangga.
4.
Batas Administrasi Di Kota Baubau terdapat 8 kecamatan yaitu Betoambari, Murhum, Batupoaro,
Wolio, Kokalukuna, Sorawolio, Bungi, dan Lea-Lea.
5.
Letak Kelurahan Melai Kelurahan Melai terletak di Kecamatan Murhum yang berada di pusat Kota Bau-
Bau. Kelurahan Melai berada di perbukitan dengan topografi berbukitbukit yang dikelilingi oleh benteng peninggalan Kesultanan Buton. Lokasi benteng berjarak sekitar 3 kilometer dari pantai. Luas wilayah Kelurahan Melai 0,37 Km2 terbagi atas tiga RW yaitu, RW.1 Lingkungan Baluwu, RW.2 lingkungan Peropa dan RW.3 lingkungan Dete. Dua dari wilayah RW ini merupakan awal terbentuknya permukiman berada yaitu dilingkungan Baluwu dan lingkungan Peropa, dengan batas-batas wilayah: a. Bagian Utara berbatasan dengan Kelurahan Lamangga dan Kelurahan Wajo. b. Bagian Timur berbatasan dengan Kelurahan Bukit Wolio Indah. c. Bagian Selatan berbatasan dengan Kelurahan Baadia. d. Bagian Barat berbatasan dengan Kelurahan Baadia.
3.2 Isu Permasalahan
Kurangnya penanda keberadaan situs sejarah.
Peta mengenai keberadaan situs sejarah tidak menggunakan skala yang sesuai.
Kurangnya signage menuju situs-situs sejarah dalam Benteng Keraton Buton.
yang berada di sekeliling Benteng Keraton. Terdapat duabelas lawa pada Benteng Keraton. Angka duabelas, menurut keyakinan masyarakat setempat, mewakili jumlah lubang pada tubuh manusia, sehingga Benteng Keraton diibaratkan sebagai tubuh manusia. Keduabelas lawa, memiliki masing-masing nama sesuai dengan nama atau gelar orang yang mengawasinya. Dalam penyebutan lawa yang dirangkai dengan namanya, kata lawa diimbuhi akhiran na menjadi lawana . Akhiran na, dalam Bahasa Buton berfungsi sebagai pengganti kata milik “nya”. Setiap kata lawa pada Benteng Keraton memiliki bentuk yang berbeda-beda. Tapi, secara umum dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu lawa dengan konstruksi batu dan lawa dengan konstruksi batu dipadukan konstruksi kayu, semacam gazebo diatasnya yang berfungsi sebagai menara pengamat.
1. Lawana Rakia
2. Lawana Lanto
Sumber: Dokumentasi Survei Benteng Keraton, 2016
Pada masa Kesultanan Buton, Lawana Lanto merupakan pintu utama Benteng Keraton untuk menerima tamu-tamu resmi. Di tempat ini juga, sarana Jurubahasa kesultanan bertugas untuk mengawasi kapal yang masuk ke Buton. Panaroma Kota Bau-Bau dan Gunung Kabaena yang cantik dapat terlihat dengan jelas dari Lawa ini.
3. Lawana Labunta Lawana ini merupakan pintu penghubung antara Kampung Labunta dengan Benteng Keraton.
Lianna Latondu atau Liawalangke sewaktu melarikan diri dari kejaran pasukan kerajaan Gowa. Pada arah keluar dari pintu ini terdapat jalan setapak menuju Lianna La tondu atau biasa disebut juga oleh masyarakat setempat dengan nama goa Aru Palaka.
5. Lawana Waborobo
Sumber: Dokumentasi Survei Benteng Keraton, 2016
Nama lain dari Lawana Waborobo adalah Lawana Uwe Polanto, disebut demikian karena menjadi pintu akses menuju Kali Polanto atau kali Bau Bau. Dibandingkan dengan pintu lainnya dalam benteng, bentuk dari lawa ini adalah yang paling indah, memiliki lebih banyak detail melengkung dan menyerupai sebuah mahkota kerajaan.
7. Lawana Kalau
Sumber: Dokumentasi Survei Benteng Keraton, 2016
Lawana ini merupakan pintu akses untuk menuju Kali Bau Bau dan Mata Air Kampenalo/ Ouwe Kampenalo.
8. Lawana Wajo/ Bariya
9. Lawana Burukene/ Tanailandu
Sumber: Dokumentasi Survei Benteng Keraton, 2016
Lawa ini juga dikenal dengan nama Lawana Tanailandu. Lawa ini menghubungkan Benteng Keraton dengan Kampung Baadia. Kampung Baadia adalah perkampungan yang dibuka oleh Sultan Muhammad Idrus, Sultan Buton ke-29. Lawana Burukene diperlebar pada masa Sultan ke-37 yang bernama Sultan Muh. Hamidi. Pelebaran ini dilakukan agar dapat dilalui mobil atau jenis kendaraan roda empat.
10. Lawana Melai/ Baau Lawana Melai/ Baau berada di kampung yang dahulu disebut Kampung Melai. Sebagian material pada Pintu Melai ini kayu.
Lantongau hampir sama dengan Lawana Labunta yaitu memiliki lengkungan yang menyerupai mahkota kerajaan.
12. Lawana Gundu-Gundu Lawana Gundu-Gundu merupakan pintu menuju ke Kampung Pimpi dan Lipu. Pada bagian atas dari pintu ini terdapat bangunan kayu yang menjadi tempat pengawasan bagi penjaga pintu untuk mengawasi daerah di sekitarnya. Saat ini, kondisi Lawana Gundu-Gundu sudah rusak.
2) Baluara Kata Baluara berasal dari bahasa portugis yaitu baluer yang berarti bastiori. Baluara dibangun sebelum Benteng Keraton didirikan pada tahun 1613 pada masa pemerintahan La Elangi (Sultan Dayanu Iksanuddin) Sultan ke-4, bersamaan dengan pembangunan Godo (gudang). Dari enam belas baluara pada Benteng Keraton, dua di antaranya memiliki Godo yang terletak di atas baluara tersebut. Masing-masing Godo tersebut berfungsi sebagai tempat penyimpanan peluru dan mesiu. Setiap baluara memilki bentuk yang berbeda-beda, disesuaikan dengan kondisi lahan dan tempatnya. Nama-nama baluara dinamai sesuai dengan nama kampung tempat
Baluarana Gama memilki arti baluara di kampung Gama. Hal ini dikarenakan Baluarana Gama terletak di sekitar daerah atau kampung yang bernama Kampung Gama.
2. Baluarana Litao Baluarana Litao disebut juga Baluarana Waolima, karena letaknya berada di Kampung Waolima. Kondisi fisik baluara ini sebagian besar rusak dan beberapa bagian sudah runtuh.
3. Baluarana Barangkatopa
Sumber: Dokumentasi Survei Benteng Keraton, 2016
4. Baluarana Wandailolo
Sumber: Dokumentasi Survei Benteng Keraton, 2016
Baluarana Wandailolo letaknya berdekatan dengan Lawana Labunta.
5. Baluarana Baluwu
6. Baluarana Dete
Sumber: Dokumentasi Survei Benteng Keraton, 2016
Pada saat-saat tertentu yang biasanya menjelang sore hari, seringkali terlihat kawasan Monyet Buton ( Macaca ochreata brunnescens). Dalam bahasa local, disebut Andoke. Kawasan monyet ini dapat kita jumpai berkeliaran di sekitar tempat ini. Panorama yang dapat dinikmati dari baluara ini juga sangat indah.
7. Baluarana Kalau
8. Baluarana Godona Oba
Sumber: Dokumentasi Survei Benteng Keraton, 2016
Di atas bastion ini, dahulu terdapat bangunan yang disebut Godona Oba yang berarti gudang penyimpanan mesiu. Pada tahun 1982 bangunan ini runtuh.
9. Baluarana Wajo/ Bariya
10. Baluarana Tanailandu
Sumber: Dokumentasi Survei Benteng Keraton, 2016
Baluarana Tanailandu adalah salah satu baluara yang berada di bagian Selatan Benteng Keraton. Baluara Tanailandu sampai saat ini telah dilakukan sampai saat ini telah dilakukan beberapa kali pemugaran.
11. Baluarana Melai/ Baau
13. Baluarana Lantongau
Sumber: Dokumentasi Survei Benteng Keraton, 2016
Kampung yang berada di luar baluara ini adalah Kampung Sambali karena itulah disebut juga Baluarana Sambali.
14. Baluarana Gundu-Gundu Baluarana Gundu-Gundu dibangun di atas bukit yang disebut Bukit Wantiro. Dari baluara ini dapat dinikmati panaroma Kota Bau Bau yang indah dari posisi ketinggian yang cukup tinggi. Kondisi fisik baluara ini runtuh dan sebagian kondisi fisiknya telah rusak.
Baluara ini berada di bagian Utara Benteng Keraton. Lokasi baluara ini di sekitar kampung yang dulunya bernama Kampung Siompu. Oleh karena itu baluara ini diberi nama Baluara Siompu.
16. Baluarana Rakia
Sumber: Dokumentasi Survei Benteng Keraton, 2016
Baluara ini berada di sebelah gerbang utama Benteng Keraton. Letak baluara ini di sekitar Kampung Rakia, oleh karena itu disebut Baluarana Rakia.
3) Batu-batu Pelantikan 1. Batu Peropa
Pelantikan atau penobatan sultan diadakan di Batu Popaua. Batu ini dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat pertama kalinya I Waa Kaa Kaa raja pertama Buton menginjakkan kakinya di Tanah Wolio dahulu kala.
3. Batu Pertirtaan
Sumber: Dokumentasi Survei Benteng Keraton, 2016
kamali. Saat ini, di dalam Benteng Keraton yang tersisa hanya 2 kamali, yaitu Kamali Bata dan Kamali Kara. 1. Kamali Bata
Sumber: Dokumentasi Survei Benteng Keraton, 2016
Kamali Bata didirikan pada masa Sultan Umar, Sultan Buton ke-32 (1886-1804). Kamali dipugat sebanyak tiga kali. Sayangnya, setelah dilakukan pemugaran bentuk asli Kamali Bata tidak terlihat lagi.
2. Kamali kara
5) Masjid Agung Keraton
Sumber: Dokumentasi Survei Benteng Keraton, 2016
Masjid ini dibangun pada tahu 1712 pada masa pemerintahan Sakiyuddin Durul Alam/ La Ngkariyri (Sultan Buton ke-19). Mesjid yang berukuran 20,6 x 19,40 m ini merupakan bangunan pusat kegiatan lembaga kesultanan di bidang keagamaan dan para perangkatnya berstatus sebagai aparat kesultanan. Di masjid ini pada hari Jumat, para perangkat masjid memakai pakaian adat. Pemugaran masjid ini telah dilakukan sebanyak 4 kali. Pemugaran pertama dilakukan pada tahun 1929. Atap masjid untuk pertama kalinya diganti dari daun nipah menjadi seng, dan lantainya disemen. Pemugaran kedua dilakukan pada tahun 1978, pemugaran ketiga pada tahun 1986, dan terakhir pada tahun 2002.
Didirikan bersamaan dengan Masjid Agung Keraton. Tinggi tiang ini 21 m dan terbuat dari kayu jati. Pada tahun 1870-an pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Isa Kaimuddin tiang bendera ini disambar petir sehingga mengalami kerusakan, namun kemudian diperbaiki. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Salihi Kaimuddin tiang bendera ini digunakan kembali untuk mengibarkan bendera Kesultanan Buton yang disebut “Tombi Longa-longa” yang berarti “bendera warnawarni”.
7) Jangkar
Sumber: Dokumentasi Survei Benteng Keraton, 2016
8) Baruga
Sumber: Dokumentasi Survei Benteng Keraton, 2016
Baruga atau biasa juga disebut “Galampa Syara” atau “Balai Musyawarah”. Tempat ini biasa digunakan untuk pertemuan maupun pesta-pesta adat yang dilakukan oleh masyarakat Benteng Keraton maupun Pemerintah Kota Bau-Bau. Baruga ini sudah ada sejak jaman kesultanan, tapi bangunan yang ada sekarang adalah hasil renovasi berulang-ulang.
9) Liana Latoundu (Gua Arupalaka) Gua ini merupakan ceruk kecil bentukan Alam setinggi 1,5 M di jadikan tempat persembunyian Latoundu (Arupalaka) Raja Bone yang berpengaruh di tanah Bugis
10) Makam-makam Sultan 1. Makam Sultan Nararuddin Makam La Ibi, Sultan ke-17 (1709-1711) Sultan Nasraruddin adalah gelar kesultanan La Ibi. Diriwayatkan, la Ibi sebenarnya merasa berat untuk menerima jabatan sultan. La Ibi terpaksa menerima jabatan tersebut karena demi kehormatan dari kaumnya yaitu aliran bangsawan Tanailandu. La Ibi menerima jabatan tersebut yang selanjutnya diserahkan kepada salah seorang di antara kaumnya yang merasa mampu untuk menjalankan jabatan sultan.
yang bernama kolaki (Husein), dan belum pulihnya hubungan persahabatan antara Buton dan VOC/Belanda. Namun, La Jampi dapat mengatasi masalah-masalah yang dihadapi satu persatu. Hal tersebut termasuk penyelesaian masalsah keamanan dan ketentraman di Muna dan kembali pulihnya hubungan antara Buton dengan pihak VOC ditandai dengan diperbaharuinya perjanjian persahabatan 25 Juni 1667 yang dikenal dengan Perjanjian Speelman Simbata. La Jampi mengundurkan diri pada bulan April 1788 dalam usia sekitar 100 tahun. Sesduah pemberhentiannya, beliau diangkat menjadi Raja Agama dan kemudian dikenal dengan nama Oputa Lakina Agama Mancuana artinya Sultan Raja Agama Tua.
La Tumparasi, Sultan ke-2 (1545-1552) La Tumparasi bergelar Sultan Kaimuddin. Beliau adalah putra pertama dari Murhum (Sultan Buton pertama). Pada akhir masa jabatanya sebagai Sultan, beliau diberi gelar “Mosabuna I Boleka” atau “Boleka” yang berarti “yang dimaksudkan kemudian berdiam di Boleka”.
La Tangkaraja, Sultan ke-11 (1669-1680) Gelar kesultanan La Tangkaraja adalah Sultan Kaimuddin. Beliau
3. Makam Murhum (1491-1537) Lakilaponto yang lebih dikenal dengan nama Murhum adalah Raja ke VI/ Raja terakhir dan Sultan I. Pada masa pemerintahannya pada tahun 948 H atau 1511 M, islam masuk ke Buton. Ajaran ini dibawa oleh Abdul Wahid yang berkebangsaan Arab yang datang dari Gujarat sebagai peda gang melalui Johor Tanah Semenanjung. Berubahnya nama dari Kerajaan Buton menjadi Kesutanan ditandai dengan masuknya Murhum sebagai penganut Islam. Jabatannya sebagai Raja diganti dan disesuaikan dengan jabatan dalam Islam yaitu “Sultan”. Di bawah pemerintahan Sultan Murhum seluruh kerajaan secara resmi masuk Islam, dan sejak saat itu gelar raja diganti dengan Sultan. Gelar kesultanan Murhum adalah Sultan Kaimuddin. Murhum dikenal juga dengan nama “Halu Oleo” yang berarti “8 hari” dalam am bahasa Muna. Nama ini diberikan karena Murhum mampu menyelesaikan perselisihan yang pecah menjadi perang saudara antara Konawe dan Mekongga dalam waktu 8 hari.
keberadaannya oleh pemerintah dan masyarakat setempat. Makam itu bernama, Makam Karaeng Tunipassulu, Raja Gowa ke XIII. Tidak seperti makam-makam raja Gowa-Tallo di Makassar yang terkesan terbangun megah dan menunjukkan kewibaannya sebagai seorang Raja, Makam Karaeng Tunipassulu di Bau-Bau ini awalnya hanya berhias batu tua sebagai nisan, lalu terhampar begitu saja bersamaan dengan kuburan-kuburan tua lainnya di dalam benteng.
Sumber: Dokumentasi Survei Benteng Keraton, 2016
Sumber: Dokumentasi Survei Benteng Keraton, 2016
BAB IV ANALISIS Benteng Keraton Buton memiliki potensi cagar budaya yang cukup besar untuk menjadi kawasan cagar budaya nasional. Khususnya jika dilihat dari nilai sejarah, situs peninggalan benda kuno yang terdapat di dalam keraton buton memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan benteng lainnya. Situ peninggalan sejarahyang terdapat di keratpn buton yaitu lawa, bastion, masjid, makam, jangkar, tiang bendera, batu pelantikan, dan kamali. Berdasarkan peninggalan-peninggala tersebut dapat menunjukkan kepada masyarakat bagaimana kondisi budaya, sosial, dan kehidupan masyarakat Benteng Keraton Buton. Untuk membangun potensi besar dari situs ini, maka perlu mengkajinya dari sistem informasi dan ak sesibilitas. Di dalam pelestarian benda peninggalan sejarah yang sustainable, diperlukan sistem informasi yang jelas terhadap lokasi benda-benda peninggalan sejarah di dalam suatu kawasan, seperti komponen penanda dan peta lokasi. Hal ini didukung oleh Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1993 Pasal 6, keberadaan benda cagar budaya harus dilengkapi dengan dokumen berupa peta situsasi cagar budaya tersebut berada serta keterangan lainnya berhubungan dengan dokumen pendukung. Di kawasan Benteng Keraton Buton terdapat peta mengenai titik-titik lokasi benda
Pada peta di atas situs-situs peninggalan sejarah hanya ditampilkan beserta foto tanpa keterangan, hal ini menghambat wisatawan untuk mengakses informasi karena peta di atas
tidak langsung memaparkan adanya suatu situs sehingga membuat
pengguna sulit memahami peta tersebut. Pemeliharaan situs peninggalan sejarah di Benteng Keraton Buton masih kurang optimal. Hal ini dikarenakan penanda (signage) untuk situs peninggalan sejarah kini sudah mulai usang dan mengalami kerusakan, selain itu masih terdapat situs sejarah yang tidak memiliki signage seperti makam para sultan dan bastion. Permasalahan ini tentunya akan mengurangi nilai estetika dan sejarah terhadap benda peninggalan sejarah di keraton buton. Penanda yang terdapat di Benteng Keraton Buton kurang jelas untuk dibaca oleh para wisatawan yang berkunjung, sehingga membuat keterbatasan informasi mengenai situs sejarah tersebut. Berikut merupakan contoh penanda situs sejarah yang terdapat di Benteng Keraton Buton:
mengunjungi semua situs bersejarah yang terdapat di Keraton Buton dengan berjalan kaki. Selain itu informasi yang didapatkan melalui peta juga kurang mengenai jalur akses menuju situs sejarah masih kurang jelas, pengunjung akan kebingungan dalam menentukan situs sejarah yang akan terlebih dahulu dikunjungi dengan situs sejarah lainnya. Terutama gerbang, makam sultan dan bastion yang banyak terdapat di Benteng Keraton Buton serta memiliki nilai sejarah tersendiri.
BAB V OUTPUT
Keluaran atau ouput dari tugas mengenai situs-situs sejarah dalam Benteng Keraton Buton ini berupa peta mengenai: 1.
Letak situs-situs bersejarah dalam Benteng Keraton Buton.
2.
Peta mapping yang berisi informasi mengenai situs-situs bersejarah dalam Benteng Keraton Buton
3.
Peta jaringan jalan dan sirkulasi menuju situs-situs bersejarah dalam Benteng Keraton Buton.
4.
Peta link yang menghubungkan situs-situs bersejarah dalam Benteng Keraton Buton.
1. Peta letak situs-situs bersejarah dalam Benteng Keraton Buton
Sumber: Digitasi Kelompok 11 2016 54
2.
Peta mapping mengenai situs-situs bersejarah dalam Benteng Keraton Buton
Sumber: Digitasi Kelompk 11 2016 55
3.
Peta jaringan jalan dan sirkulasi menuju situs-situs bersejarah dalam Benteng Keraton Buton.
Sumber: Digitasi Kelompok 11 2016 56
4.
Peta link yang menghubungkan situs-situs bersejarah dalam Benteng Keraton Buton.
Sumber: Digitasi Kelompok 11 2016 57
Daftar Pustaka http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/wpcontent/uploads/sites/37/2014/11/Budaya_Lokal.pdf Budaya Lokal Sebagai Warisan Budaya dan Upaya Pelestariannya Oleh : Agus Dono Karmadi 18 April 216 Pukul 21.58 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/46677/4/Chapter%20II.pdf 18 April 2016 Pukul 22.05 Harahap, YN. KEbudayaan Kalimantan Selatan....http://e journal.uajy.ac.id/2374/3/2TA12077.pdf. . Diakses pada 20 April 2016. Universitas Sumatera Utara.. Tinjauan Umum Budaya Tak Berwujud. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19646/3/Chapter%20II.pdf. Diakses pada 20 April 2016.
LAMPIRAN
Peta manual hasil survei Sumber: Survei langsung 2016
59
60