UAS MATA KULIAH ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERENCANAAN SOSIAL
SINERGI PERAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT UNTUK PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DI INDONESIA
Disusun oleh:
Rolan Parulian Sihombing
NPM: 1406592632
Program Magister Ilmu Kesejahteraan Sosial
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia
Tahun 2014
Latar Belakang Situasional
Satu dekade terakhir ini, angka kekerasan terhadap perempuan (KtP), cenderung meningkat. Dalam Lembar Fakta Catatan Tahunan yang dirilis setiap tahun oleh Komnas Perempuan, tercatat ada sebanyak 3169 kasus KtP pada tahun 2001. Angka ini pun kemudian melonjak drastis menjadi sebanyak 279.760 kasus KtP pada sepanjang tahun 2013. Dari jumlah tersebut, 96% diantaranya merupakan kekerasan dalam rumah tangga dan juga kekerasan dalam masa pacaran. Namun ironisnya, tingginya angka kekerasan yang terlapor tersebut tidak diimbangi dengan ketersediaan lembaga layanan bagi korban.
Lembaga-lembaga layanan bagi korban yang terdata oleh Komnas Perempuan, pada tahun 2010 sudah terdapat 20 unit Women Crisis Center (WCC), 20 Pusat Krisis Terpadu (PKT) di rumah sakit umum daerah, 43 Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) di RS Bhayangkara, 305 unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), 231 unit Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan 29 unit RPTC di 23 propinsi. Lembaga-lembaga layanan yang ada itu masih sangat jauh dari ideal secara jumlah jika dibandingkan dengan jumlah KtP. Lebih celakanya lagi pada umumnya lembaga-lembaga ini mempunyai persoalan yang sama, yaitu ketiadaan anggaran untuk operasional lembaga. Keterbatasan anggaran operasional lembaga ini juga semakin diperparah dikarenakan terbatasnya fasilitas, sumber daya manusia, dan perangkat pendukung lainnya.
Di tengah kebutuhan yang mendesak untuk mengatasi karut-marut kekerasan terhadap perempuan, Pemerintah pada tahun 2012 justru mengeluarkan kebijakan yang tidak menunjukkan kepeduliannya terhadap KtP, yaitu dengan melakukan pemotongan anggaran untuk Komnas Perempuan, yang mencapai hampir 85 persen. Dalam R-APBN 2013, program khusus perlindungan perempuan hanya tersedia Rp 10,6 milyar dan itupun sebagian besar (Rp 6,3 milyar) akan digunakan untuk menutupi biaya kantor Komnas Perempuan. Otomatis hanya sedikit sekali dari sisa anggaran tersebut yang bisa dipakai Komnas Perempuan untuk melaksanakan program penanganan kasus, pendokumentasian/pendataan kasus, pendampingan korban selama proses hukum, dan pemulihan korban.
Persoalan dasar
Jika mengacu kepada persoalan dasar mengapa karut-marut persoalan di atas terjadi, tentu saja jawabannya adalah karena adanya bias gender dalam pemahaman mengenai KtP di antara para pembuat kebijakan di Indonesia, yang masih didominasi oleh laki-laki. Akibat bias gender inilah, maka KtP dianggap sebagai kasus di ranah pribadi yang penanganannya acapkali dianjurkan agar diselesaikan secara internal keluarga saja. Sehingga anggaran khusus untuk penanganan KtP, tidak termasuk pencegahan KtP, tidak dirasa perlu untuk dimasukkan dalam pos belanja Negara.
Senada dengan itu, di dalam pers rilis Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), dinyatakan minimnya anggaran untuk Komnas Perempuan dilatarbelakangi oleh bias gender yang muncul dari budaya patriarkhi yang menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki. Patriarki berasal dari kata patri-arkat, berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral dari segala-galanya. Jadi budaya Patriarki adalah budaya yang dibangun di atas dasar struktur dominasi dan sub ordinasi yang mengharuskan suatu hirarki dimana laki-laki dan pandangan laki-laki menjadi suatu norma.
Mansour Fakih juga menyatakan budaya patriarki sudah pasti menjadi penyebab bias gender. Gender berbeda dengan istilah seks. Seks merujuk pada perbedaan jenis kelamin yang secara biologis melekat pada diri perempuan dan laki-laki. Sedangkan Gender adalah sebuah bentuk perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang lebih bersifat perilaku (behavioral differences) yang dikonstruksi secara sosial dan kultural dan berlangsung dalam sebuah proses yang panjang. Jadi, gender merupakan bentukan sosial, maka penempatannya selalu berubah dari waktu ke waktu dan tidak bersifat universal, artinya antara masyarakat yang satu dengan yang lain mempunyai pengertian yang berbeda-beda dalam memahami gender (2001: 71-72).
Bias gender inilah yang kemudian dapat memicu pelbagai manifestasi ketidakadilan terhadap perempuan, secara khusus terhadap perempuan yang mengalami KtP, termasuk juga ketidakadilan secara anggaran Secara ligitatif, penanganan kasus sering tidak berpihak pada korban, Korban acapkali dianggap sebagai pihak yang mengundang terjadinya peristiwa kekerasan, khususnya dalam kasus perkosaan. Secara akses layanan, korban seringkali juga harus membayar biaya visum, padahal seharusnya Negara-lah yang harus membayar. Secara penerimaan sosial setelah KtP dinyatakan selesai secara hukum, korban acapkali juga mendapat cibiran dan tak jarang dijauhi masyarakat serta diteror oleh pelaku dan keluarganya.
Di level nasional, ketidakadilan ini pun dapat terlihat jelas dari kecilnya prosentase anggaran untuk melaksanakan pelbagai program-program peningkatan kesejahteraan perempuan, program-program yang bersifat pemberdayaan perempuan dan anak, pelayanan sosial, dan juga tentunya, program khusus perlindungan perempuan selalu mendapatkan prosentase kecil.
Solusi Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan
Secara konstitusi, Pemerintah sebenarnya sudah mengeluarkan UU No. 23 tahun 2004 tentang KDRT. Undang-undang ini memperluas definisi KRDT dan korban potensi kekerasan dalam rumah tangga, mengkriminalisasi pelecehan seksual untuk pertama kalinya di Indonesia, dan mengakui hak-hak korban yang meliputi: (a) perlindungan korban oleh polisi, peradilan, pengadilan, pengacara dan lembaga sosial; (b) pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis korban; (c) hak terjaganya kerahasiaan korban; (d) dukungan oleh pekerja sosial dan tersedianya bantuan hukum untuk setiap tahap pemeriksaan; dan (5) pelayanan konseling.
Selain itu, Pemerintah juga telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial dan Kepala Kepolisian Negara RI (Oktober 2002) mengenai Pelayanan Terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan. SKB ini bertujuan untuk menciptakan mekanisme dan standar pelayanan korban kekerasan yang bermutu dan berpihak pada korban. SKB ini juga mengatur tentang sarana dan prasarana bagi pelayanan korban kekerasan yang meliputi pelayanan terpadu korban kekerasan menggunakan sarana yang tersedia di Pusat Pelayanan Terpadu di Rumah Sakit Umum milik Pemerintah Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota serta Rumah Sakit Kepolisian Pusat, Rumah sakit Bhayangkara, Tingkat II, III, dan IV; serta kelengkapan sarana dan prasarana Pusat Pelayanan terpadu disesuaikan dengan standar yang berlaku dengan memperhatikan prinsip kemudahan, kenyamanan, dan keselamatan.
Namun sebuah aturan hanya akan menjadi tulisan di atas kertas jika tidak diturunkan hingga ke tahapan operasional kepada para duty bearer dan beneficiaries di tingkat daerah. Karena sejatinya kekerasan terhadap perempuan merupakan fakta yang dihadapi semua daerah. Dengan kewajiban dan kewenangan yang dimilikinya, Pemerintah di daerah dapat melakukan upaya-upaya penghapusan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan, seperti :
Membuat kebijakan-kebijakan daerah yang mendorong upaya-upaya penghapusan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan, dengan cara menetapkan kebijakan anggaran yang berperspektif gender sehingga visi dan persoalan perempuan juga diperhitungkan dalam semua kebijakan pembangunan pemerintah daerah, dan mengembangkan standar-standar pelayanan yang memadai menurut kebutuhan di tingkat lokal tanpa harus menunggu aturan-aturan yang ditetapkan secara nasional, serta menyiapkan perangkat pelaksanaannya.
Melakukan advokasi kebijakan di tingkat daerah untuk menghapuskan kekerasan terhadap Perempuan. Advokasi kebijakan adalah serangkaian tindakan untuk turut serta menentukan tujuan, isi, dan formulasi sebuah kebijakan untuk mengatasi masalah tertentu. Advokasi ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kekuasaan/kewenangan badan/ instansi/sektor pemberdayaan perempuan di daerah dan memasukkan mereka dalam struktur pengambilan keputusan yang strategis. Hal ini akan membantu kepala daerah merumuskan kebijakan-kebijakan yang berperspektif gender, terutama dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Selain itu bisa juga dengan upaya meningkatkan alokasi anggaran bagi dinas pelaksana teknis maupun bagian dalam sekretariat pemerintahan daerah yang relevan agar dapat mengimplementasikan program gender secara lebih efektif.
Salah satu keberhasilan nyata dalam hal ini adalah terbitnya Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur yang merupakan terjemahan dari UU No. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (P-KDRT) dan UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Tujuan Perda ini adalah memberikan perlindungan dan pelayanan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan yang berbasis gender dan kepentingan terbaik bagi anak yang terjadi di ranah domestik maupun publik. Gubernur Jawa Timur memerintahkan agar setiap pemerintah daerah kabupaten/kota di Jawa Timur memiliki sebuah Perda yang bertujuan untuk melindungi korban kekerasan terhadap perempuan dengan asas penghormatan terhadap korban, keadilan dan kesetaraan gender, non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi korban, dan penghormatan terhadap hak-hak anak dan perempuan. Salah satu pasal dalam Perda tersebut merumuskan beberapa kewajiban Pemda Propinsi Jawa Timur diantaranya menjamin terselenggaranya lembaga pelayanan terpadu untuk korban, memfasilitasi pembentukan lembaga-lembaga layanan, dan menyediakan dana untuk perlindungan perempuan melalui APBD, serta menunjuk pejabat untuk melaksanakan.
Selain perubahan kebijakan di tingkat pusat dan daerah, solusi lain adalah mendorong masyarakat untuk berperan penting dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, baik secara perseorangan maupun organisasi, misalnya ormas, LSM, organisasi sosial atau organisasi profesi. Peran tersebut antara lain:
Memberikan bantuan bagi perempuan korban kekerasan. UU P-KDRT Nomor 23 Tahun 2004 (pasal 15) menyebutkan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya KDRT wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan pada korban, memberikan pertolongan darurat, dan membantu proses pengajuan permohonan dan penetapan perlindungan.
Melibatkan diri secara aktif dalam upaya penanggulangan kekerasan terhadap perempuan, yaitu sebagai mediator yang akan merujuk korban dengan service provider, sebagai fasilitator yang mengedukasi masyarakat mengenai hak-hak mereka, dan sebagai konselor yang dapat befungsi dalam membangun kepercayaan diri para penyintas.
Mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan kebijakan daerah yang mendukung pemenuhan hak-hak perempuan. Masyarakat memiliki hak sebagai penyusun peraturan (legal drafter). Dalam banyak kasus, rancangan peraturan daerah (Raperda) yang disusun oleh masarakat (bottom up) lebih kritis karena kedekatan masyarakat terhadap persoalan yang akan diatasi.
Salah satu best practice dari keterlibatan masyarakat dalam upaya penanganan, pencegahan dan penghapusan KtP adalah apa yang terjadi di Propinsi Bengkulu. Didorong oleh fakta makin maraknya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di Bengkulu, Pemerintah Daerah Bengkulu menjalin kerjasama dengan berbagai kelompok masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanganannya. Pemerintah Daerah membentuk Tim Pelayanan Terpadu Lintas Institusi untuk Penanganan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, baik di tingkat kabupaten kota maupun propinsi.
Di tingkat kabupaten kota, anggota tim ini terdiri dari aparat kecamatan dan kelurahan, yang kemudian membuat pos-pos pengaduan di masing-masing kelurahan. Tim ini dibentuk melalui Surat Keputusan Walikota Bengkulu. Pemerintah melibatkan Cahaya Perempuan WCC Bengkulu dalam peningkatan kapasitas anggota tim.
Di tingkat propinsi dibentuk jaringan kerja yang terdiri dari berbagai institusi penyedia layanan dari berbagai disiplin (medis, hukum, psikososial) dan profesi. Jaringan kerja ini mendapat pengesahan melalui Surat Keputusan Gubernur No.751 tertanggal 10 Desember 2003. Jaringan kerja ini terdiri dari Tim Pencegahan serta Tim Kerja Pendidikan dan Advokasi yang terdiri dari unsur pemerintah daerah, dinas kesehatan, dinas kesejahteraan sosial, kepolisian, WCC dan organisasi perempuan, LBH, lembaga psikologi, serta instansi pendukung lainnya. Untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, saat ini telah dibangun pusat krisis berbasis rumah sakit di RSU M. Yunus dan RS Jitra Bhayangkara (RS Kepolisian).
Alternatif Solusi Penggalangan Dana Masyarakat Untuk Penaganan KtP
Uraian di atas bisa menjadi memberi energi tambahan untuk penanganan dan penghentian KtP di Indonesia. Tetapi tentu masih banyak pekerjaan rumah yang tersisa yang tetap harus ditanggulangi, seperti pendanaan operasional Woman Crisis Center (WCC) yang seringkali dalam prakteknya bisa dibilang sangat minim. Dalam kerangka inilah, Komnas Perempuan harus melakukan upaya penyatuan gerakan solidaritas antar warga (citizenship movement) yang bertujuan untuk menumbuhkan solidaritas antar warga dan mengajak warga negara untuk ambil bagian dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan lewat bantuan dana operasional untuk WCC yang sangat membutuhkan. Saat ini bersama dengan beberapa LSM, Komnas Perempuan meluncurkan program Pundi Perempuan.
Setiap tahunnya Pundi Perempuan membuka dua kali kesempatan bagi WCC untuk mengajukan proposal untuk kemudian diseleksi oleh dan tim review . Hingga saat ini kapasitas Pundi Perempuan baru dapat menutupi 10% dari jumlah proposal yang masuk. Dana ini digunakan untuk: (1) mendukung biaya operasional Rumah Aman atau Women Crisis Center (WCC), mulai dari menerima pengaduan, menyediakan tempat berlindung dan melakukan pendampingan kasus; (2) kegiatan komunitas korban untuk pemulihan dan pemberdayaan ekonomi; dan (3) dukungan dana mendesak bagi biaya perawatan kesehatan perempuan pembela HAM. Kegiatan-kegiatan penggalangan dana publik yang sudah dilakukan selama ini adalah lewat pelbagai kegiatan pameran kesenian, pemutaran dan diskusi film, pemodalan dan pendampingan gerai komunitas, dan pelbagai kegiatan dalam inisiasi forum lingkar belajar fundraising.
Kesimpulan
Di tengah makin maraknya KtP di Indonesia dalam satu dasawarsa ini, sudah barang tentu dibutuhkan sinergi antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Komnas Perempuan, Ormas, LSM serta masyarakat secara menyeluruh. Khususnya dalam menjaminnya pemenuhan hak-hak korban untuk mendapatkan akses layanan penanganan KtP yang sudah diatur dan dijamin secara konstitusi. Karena sejatinya seluruh proses penanganan KtP dan pemberian layanan kepada para korban KtP, haruslah dibiayai Negara. Sehingga ke depan di tiap daerah tidak lagi ditemukan Dinas PPA yang kebingungan dalam penyerapan dana APBD.
Meski demikian karena kerja penanganan korban KtP tidaklah mudah dan murah, tetap diperlukan sebuah bentuk kepedulian masyarakat, secara khusus lewat bantuan dana, sehingga unit operasional terkecil dalam penanganan KtP seperti Woman Crisis Center, dapat secara kontinyu melakukan tupoksinya sehingga pada akhirnya Kekerasan terhadap Perempuan bisa dihentikan di Indonesia.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. 2000. Indikator Kesejahteraan Rakyat Propinsi DKI Jakarta. BPS. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2011. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. BPS. Jakarta.
Fakih, Mansour. 2001. Analisis Gender & Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Indonesia Untuk Kemanusiaan. 2012. Bangun Keswadayaan. http://www.ysik.org. 18 Desember 2014 (17:43).
Komnas Perempuan. 2010. Tak hanya di Rumah, Pengalaman Perempuan akan kekerasan di Pusaran Relasi Kekuasaan yang Timpang. Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2009. 7 Maret 2010. Jakarta.
________________. 2011. Teror Dan Kekerasan Terhadap Perempuan, Hilangnya Kendali Negara.7 Maret 2011. Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2010. Jakarta.
________________. 2014. Kegentingan Kekerasan Seksual Lemahnya Upaya Penanganan Negara. 7 Maret 2014. Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2013. Jakarta.
Sucipto, Yeni. 2012. RAPBN 2013: Terabaikannya Hak Perempuan dan Anak Atas Anggaran. http://seknasfitra.org/pressrelease/rapbn-2013-terabaikannnya-hak-perempuan-dan-anak-atas-anggaran/. 19 Desember 2014 (13:42).
Surat Keputusan Bersama antara Menteri Sosial RI no. 75/Huk/2002, Menteri Kesehatan no. 1329/Menkes/SKB/X/2002, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan no.14/Men.PP/Dep.V/X/2002 dan Kepala Kepolisian Negara no. B/3048/X/2002/tentang Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 22 September 2004. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95. Jakarta.
Wijaksana, MB dan Jaorana Amiruddin. 2005. Mendorong Inisiatif Lokal Menghapuskan Kekerasan terhadap Perempuan di Era Otonomi Daerah. Publikasi Komnas Perempuan. Jakarta.
Komnas Perempuan didirikan pada bulan Oktober 1999 melalui Keputusan Presiden No. 181 dengan maksud untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak-hak perempuan, mempromosikan hak-hak korban untuk mendapatkan pelayanan pemulihan dan rehabilitasi, dan advokasi kebijakan yang lebih efektif untuk menangani kekerasan terhadap perempuan. Komnas Perempuan bekerja erat dengan 367 organisasi berbasis masyarakat di seluruh Indonesia, wilayah Asia Pasifik dan jaringan internasional untuk mengembangkan langkah-langkah nasional untuk memerangi segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Komnas Perempuan merupakan satu-satunya institusi yang terus mengumpulkan data secara nasional tentang kekerasan terhadap perempuan.
Dikarenakan Komnas Perempuan berada di bawah arahan dan kewenangan Komnas HAM, maka implikasinya adalah keterbatasan wewenang dan kemampuan Komnas Perempuan dalam memberikan usulan anggaran dan mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Prosentasi yang kecil itu pun sayangnya sering dikonversi hanya sebagai kegiatan pengarusutamaan jender di setiap kementerian/lembaga. Kasus yang sama juga dialami dalam isu perlindungan anak. Dari anggaran sebesar Rp 234,7 milyar di KPP dan PA, sebagian besar habis digunakan di internal KPPA dan PA saja untuk harmonisasi kebijakan perlindungan anak. Sehingga KPAI juga harus mengalami nasib yang sama seperti Komnas Perempuan, tidak mampu bergerak karena ketiadaan anggaran.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam Iingkup rumah tangga. (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Pasal 1).