SEMANTIK MARAH DALAM BAHASA INDONESIA
DEBBIE PRATIWI
110701017
[email protected]
abstrak
Penelitian ini menganalisis mengenai Verba emosi marah dengan menggunakan kajian bahasa Indonesia. Menyangkut menetukan subkategori verba emosi marah, perangkat yang digunakan yaitu makna asali dari teori Metabahsa Semantik Alami digunakan sebagai alat analitis. Hasil penelilitian ini bahasa Indonesia dicirikan sebagai 'X merasa sesuatu yang buruk bukan karena X mengiginkannya'.
Kata kunci : Verba emosi marah bahasa Indonesia Metabahasa Semantik Alami.
1. PENDAHULUAN
Bahasa yang diwujudkan dalam kata-kata adalah representasi realitas. Tiap budaya memiliki cara yang berbeda dalam kata-kata (Izutsu,1993). Adanya kekhasan budaya dalam memberi label pada realitas ini juga terjadi pada kata-kata emosi, misalnya kata marah dalam bahasa Indonesia memiliki banyak jenis yang menggantung pada konteksnya. Contoh dalam bahasa Indonesia adalah kata kesal, murka, sebal, jengkel, dongkol, geram, berang, ambek, kalap, muak, sewot, palak. Kata-kata tersebut dalam artian sesungguhnya memiliki makna yang sama, yang membedakannya adalah penggunaan dalam setiap peristiwa yang terjadi. Sebagai penjelasan kita dapat ambil dua buah kata sebagai contoh dalam membandingkan setiap kata yang menggambarkan perasaan sedih. Misalnya kata kesal dan murka. Dalam makna umum keduanya memiliki artian yang sama, yaitu menggambarkan perasaan marah. Namun jika ditinjau dari konteks penggunaannya jelas berbeda. Kata kesal biasanya digunakan dalam situasi dimana seseorang merasa tidak baik setelah sesuatu terjadi padanya. Sedangkan murka biasanya digunakan dalam situasi dimana seseorang merasa tidak baik saat terjadi sesuatu padanya. Yang membedakannya adalah aspek waktu.
Berkaitan dengan analisis komponen makna, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti :
Pembeda makna
Hubungan antarkomponen makna
Langkah analisis komponen makna
Dalam artikel yang saya kaji mengenai semantik kata marah dalam bahasa Indonesia, akan menjelaskan sesuai point point diatas berdasarkan acuan teori-teori ahli semantik.
2. KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KONSEP
Metabahasa Semantik Alami (MSA) diakui sebagai pendekatan kajian semantik yang dianggap mampu memberi hasil analisis makna yang memadai karena dengan teknik eksplikasi dapat menghasilkan analisis makna suatu bahasa yang mendekati postulat ilmu semantik yang menyatakan bahwa satu bentuk untuk satu makna dan satu makna untuk satu bentuk, dengan kata lain satu butir leksikon mampu mewahanai satu makna atau satu makna diungkapkan dengan satu butir leksikon agar tidak terkesan bahwa pemerian makna yang berputar terhadap satu leksikon (Sudipa, 2012: 1).
Teori Metabahasa Semantik Alamai (MSA) dirancang untuk mengeksplikasi semua makna, baik makna leksikal, makna ilokusi maupun makna gramatikal. Dalam teori ini, eksplikasi makna dibingkai dalam sebuah metabahasa yang bersumber dari bahasa alamiah yang pada umumnya bisa dipahami oleh semua penutur asli (Wierzbicka, 1996: 10 dan band. Mulyadi, 1998: 34). Asumsi dasar teori ini bertalian dengan prinsip semiotik yang menyatakan bahwa analisis makna akan menjadi diskret dan tuntas, dalam arti bahwa kompleks apapun dapat dijelaskan tanpa harus berputar-putar dan tanpa residu dalam kombinasi makna diskret yang lain (Goddard, 1996: 24; Wierzbicka, 1996: 10; Sutjiati Beratha, 1997: 10, Mulyadi, 1998: 35).
Dalam teori MSA terdapat sejumlah konsep teoritis penting, yakni: makna asali, Polesmi, Aloleksi, Pilihan valensi, dan sintaksi MSA. Fokus yang saya ambil dalam kajian ini adalah mengenai makna asali emosi dasar.
Makna asali adalah perangkat makna yang tidak dapat berubah karena diwarisi manusia sejak lahir (Goddard, 1996: 2; Mulyadi, 1998: 35). Makna ini merupakan refleksi dari pikiran manusia yang mendasar. Makna asali mencakup ranah bahasa yang luas secara tipologis maupun secara genetis.
Dalam perkembangannya, Wierzbicka memperkenalkan Sintaksis MSA yang merupakan perluasan dari sistim makna asali, menyatakan bahwa makna memiliki struktur yang sangat kompleks dan tidak hanya dibentuk dari elemen sederhana, seperti: seseorang, ingin, dantahu, tetapi juga dari komponen berstruktur kompleks. Sintaksis MSA terdiri atas kombinasi butir-butir leksikon makna asali universal yang membentuk proposisi sederhana sesuai dengan perangkat morfosintaksis. Misalnya : ingin akan memiliki kaidah universal tertentu dalam konteks: Saya ingin melakukan ini (Wierzbicka, 1996: 19).
2.2 LANDASAN TEORI
Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai semantic emosi kata sedih dalam bahasa Minangkabau. Seperti yang kita ketahui semantic adalah ilmu dalam mengkaji makna, maka disini akan dibahas bagaimana emosi sedih itu terjadi dan apa penyebabnya serta akan dibahas juga akibat dari munculnya emosi atau perasaan marah dalam diri seseorang.
Dalam penelitian ini diterapkan teori Metabahasa Semantik Alami (MSA). Teori yang dipelopori oleh Anna Wierzbicka (1991, 1992, 1996a, b, c) ini dianggap mampu mengungkapkan nuansa semantis di antara anggota-anggota verba emosi statif. Eksplikasi maknanya tampaknya mudah dipahami oleh banyak orang, khususnya penutur jati dari bahasa yang dibicarakan, sebab eksplikasinya dibingkai dalam sebuah metabahasa yang bersumber dari bahasa alamiah. Teori MSA, dengan demikian, sangat cocok untuk aplikasi praktis.
Teori MSA memiliki empat prinsip dasar untuk menghindari terjadinya kekaburan dan keberputaran dalam analisis makna. Pertama, definisi sebuah kata atau sebuah ekspresi diterangkan dengan bahasa alamiah. Ciri ancangan ini diwujudkan dalam Prinsip Bahasa Alamiah yang menyatakan bahwa makna asali dan sintaksis dasarnya adalah perangkat minimal bahasa alamiah (Goddard, 1994: 3). Kedua, konsep-konsep manusia bersifat hierarkis. Ini berarti bahwa selain ada konsep-konsep yang rumit, ada juga konsep-konsep yang sederhana dan secara intuitif mudah dimengerti.
Prinsip ketiga ialah bahwa makna asali digunakan sebagai metabahasa universal, artinya konsep-konsep ini dileksikalkan pada bahasa alamiah. Konsep leksikalisasi dalam teori ini mempunyai pengertian yang luas sebab konsep-konsep primitif tidak hanya disandi pada kata-kata atau morfem, tetapi disandi juga pada morfem terikat dan frase. Keempat, teori MSA menganjurkan "prinsip isomorfis" dari makna asali yang berbasis pada leksikon dan sintaksis. Prinsip ini berasumsi bahwa kendatipun ada perbedaan 'resonansi' antara dua eksponen yang berbeda pada makna asali yang sama dari dua bahasa yang berbeda, kedua eksponen ini bersesuaian secara semantis.
2.3 TINJAUAN PUSTAKA
Dalam teori ini, eksplikasi makna dibingkai dalam sebuah metabahasa yang bersumber dari bahasa alamiah yang pada umumnya bisa dipahami oleh semua penutur asli (Wierzbicka, 1996: 10 dan band. Mulyadi, 1998: 34). Asumsi dasar teori ini bertalian dengan prinsip semiotik yang menyatakan bahwa analisis makna akan menjadi diskret dan tuntas, dalam arti bahwa kompleks apapun dapat dijelaskan tanpa harus berputar-putar dan tanpa residu dalam kombinasi makna diskret yang lain (Goddard, 1996: 24; Wierzbicka, 1996: 10; Sutjiati Beratha, 1997: 10, Mulyadi, 1998: 35). Kosakata emosi adalah label label verba yang digunakan untuk menggambarkan mengekspresikan status emosi yang dialami oleh penutur (Ortony dan clore, dalam morgan dan Heisse ).
Kategori semantis didasarkan pada pengalaman hidup seseorang dengan oranglain dalam lingkungan masyarakatnya. Seperti yangtelah dijelaskan pada bagian arval tulisan ini tiap budaya memiliki kata-kata untuk semua kelompok benda maupun perbuatan yang dianggap signifikan pada budaya tersebut. Demikian juga halnya dengan emosi. Emosi memiliki pengelompokan kategori semantis yang mestinya merupakan kategori universal, meskipun anggota (member) dari setiap kelompok bisa berbeda dari saru budayake budaya lainnya karena adanya kekhasan budaya
Oatly dan Jenkis (dalam strongman, 1996 ) melihat pentingnya dimensi dimensi penilaian dalam memunculkan emosi individu dengan menambahkan aedanya aspek yang turut terlibat, yaitu tujuan yang hendak dicapai individu. Kata emosi dapat dikelompokan menjadi dua yaitu emosi yang berhubungan yang baik (emosi positif ) dan emosi yang berhubungan dengan yang buruk . Emosi yang positik dapat dikelompokan menjadi gembira , senang, riang , dan bangga . Emosi yang negative dapat dikelompokan menjadi sedih , marah , takut , malu , kecewa (Wijongkoko,1997)
3. METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini teknik yang digunakan untuk mengkaji semantik emosi ini dilakukan beberapa metode. Pendahuluan dalam kajian ini kita dapat terlebih dahulu mengumpulkan beberapa data atau sumber untuk melakukan kajian makna yang terdapat dari kata marah dalam bahasa Indonesia dengan cara mencari komponen maknanya berdasarkan sumber Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kemudian dapat kita telusuri hasil yang didapat dengan beberapa teori dalam mengkaji struktur emosi semantik yang telah dijabarkan oleh beberapa ahli.
Setelah proses pengumpulan data, selanjutnya melakukan pengelompokan data. Fungsi dari pengelompokkan data adalah memudahkan kita dalam menganalisis atau memparafrasekan data yang sudah ada menjadi lebih praktis.
Langkah berikutnya yang perlu dilakukan adalah analisis data yang telah diperoleh dengan landasan teori yang ada. Dengan berpedomankan teori para ahli, kajian akan lebih terarah pada sasarannya.
Langkah akhir dari metode penelitian adalah menyajikan hasil yang diperoleh kedalam pembahasan. Menyajikan hasil data dengan memuat teori yang ada dari para ahli.
Teori yang digunakan dalam kajian ini adalah teori Metabahasa Semantik Alami (MSA). Teori MSA bermula sebagai metode analisis leksikal yang berbasis pada paraphrase reduktif, maksudnya adalah makna kata-kata kompleks dieksplesikan dengan kata-kata yang lebih sederhana, yang lebih mudah dimengerti. Penggunaan metode paraphrase reduktif bertujuan menghindari analisis makna yang berputar-putar dan kabur.
PEMBAHASAN
Dalam analisis ini akan menggunakan teori Metabahasa Semantik Alami (MSA). Dan Sejalan dengan ekspresi dasar peristiwanya, verba emosi terdiri atas dua kategori utama: statif dan aktif.Perbedaan keduanya didasarkan pada sejumlah gagasan semantis, seperti kendali, pengetahuan, kesengajaan, tindakan, dan perkataan.Dalam teori MSA, kelima gagasan itu direalisasikan melalui berbagai kombinasi dari elemen PIKIR, TAHU, INGIN, LAKU, dan KATA.Dengan menggunakan kontras bineri, pemetaan elemen semantis itu pada verba emosi diringkas pada tabel berikut.
Sebagai pemahaman akan mengkaji terlebih dahulu apa itu emosi menurut beberapa ahli :
Goleman, 2002 : Dorongan untuk bertindak senang-tertawa sedih-menangis.
Chaplin, 2005 : Reaksi kompleks yang berkaitan dengan kegiatan dan perubahan secara mendalam yang diikuti perasaan kuat atau keadaan afektif.
AbinS. M, 2005 : Suatu suasana yang kompleks (A complex feeling state) dan getaran jiwa (A Strid Up State) yang menyertai atau mucul sebelum dan sesudahnya terjadinya perilaku.
Franken, 1993 : Hasil interaksi manusia dalam mengadaptasi lingkungannya dan tampak jelas dalam ekspresi wajah.
Dalam artikel ini akan dibahas mengenai semantik Marah dalam bahasa Indonesia. Kategorisasi dan penjelasan mengenai makna asali wajib dilakukan sebelum meparafrasekan masing-masing kosa kata yang termasuk kedalam kategori sedih.Wierzbicka (1996:9) mengatakan bahwa kunci untuk berbicara tentang makna dengan teliti dan mendalam terletak pada gagasan 'makna asali'. Dalam bahasa Indonesia emosi marah memiliki beberapa relasi makna yang sama sama mengacu pada makna 'marah'. Kata –kata yang memiliki relasi makna yang mengacu pada emosi marah adalah :
1. Kesal
2. Murka
3. Sebal
4. Jengkel
5. Dongkol
6. Geram
7. Berang
8. Ambek
9. Kalap
10. Muak
11. Sewot
12. Palak
Dari daftar kata yang berelasi maknanya dengan marah diatas, dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok kata saja, sesuai padanan makna dan faktor pembentukannya. Pengelompokkan kata dilakukan untuk mempermudah memparafrasenya sehingga lebih sedikit cakupannya dan lebih jelas analisisnya.
Kelompok kata A = Murka, berang, kalap
Kelompok kata B = Dongkol, Kesal, Sebal, Jengkel
Kelompok kata C = Geram, palak,
Kelompok kata D = Muak, ambek, sewot
Pada dasarnya, emosi marah hanya satu saja. Kata yang lain seperti jengkel, ambek, kalap, kesal murka dll, adalah kata-kata yang menyertainya. Atau dapat disebut pula relasi maknanya. Kata marah memiliki pengertian yang cakupannya cukup luas, mulai dari emosi marah yang disebabkan oleh adanya faktor eksternal seperti X mengalami kejadian yang buruk karena Y, kejadian yang sama sekali tidak ia duga akan terjadi dan tidak ia inginkan terjadi. Sehingga, X merasa tidak senang kepada Y dan merasakan sesuatu yang buruk pada Y. Sampai pada emosi marah yang disebabkan oleh faktor internal seperti mengenang kembali kejadian buruk yang pernah terjadi yang membuatnya tidak senang.
Emosi marah ini dapat dbagi dalam dua kategori, yaitu kategori dengan identitas tinggi seperti marah, murka, berang dan kalap. Dan kategori identutas rendah seperti, kesal, muak, dongkol, jengkel dan sebal. Verba emosi mengacu pada emosi diluar kendali pengalam, ketidakmampuan pengalam dalam mengendalikan sebuah emosi dapat dirumuskan sebagai berikut :
'aku tidak dapat berpikir sekarang'
'aku tidak tau apa yang dapat aku lakukan' dan
'aku tidak menginginkan ini terjadi'
Marah
X memiliki rasa marah (pada Y)=
Kadang-kadang seseorang berpikir seperti ini (tentang Y):
Y telah melakukan sesuatu yang buruk
Y tahu aku tidak ingin Y melakukan sesuatu seperti ini
Aku merasakan sesuatu yang buruk karena itu
Aku ingin Y tahu ini, bukan karena aku mengatakan apapun tentang ini
Karena ini, orang ini merasakan sesuatu yang buruk
X merasakan seperti ini
Pada parafrase kata emosi marah diatas, terdapat kata 'telah' yang menyatakan bentuk lampau dari suatu kejadian. Karena yang terjadi tidak sesuai dengan harapan, maka X merasa tidak senang pada Y. X ingin Y mengetahui bahwa X akan melakukan sesuatu karena ini. Komponen yang mencakup parafrase diatas adalah masalah waktu. Marah tidak hanya dibatasi oleh kejadian pada masa lampau, akan tetapi marah juga dapat terjadi dimasa sekarang maupun yang akan datang. Dimasa depan, emosi marah akan berubah karena beberapa komponen dan sebagai akibat dari emosi yang tidak pernah mereda yaitu menjadi kata dendam.
Dendam dapat kita parafrasekan sebagai berikut :
X merasa sesuatu yang buruk terjadi karena Y
Maka X ingin Y tahu bahwa ia tidak merasa baik
X ingin melakukan sesuatu pada Y, bukan sekarang
X tidak ingin Y tahu bahwa ia akan melakukan sesuatu pada Y dimasa depan
Kata akan dalam kalimat terakhir jelas menggambarkan bentuk waktu masa depan yang ingin dilakukan X sebagai pengalam terhadap Y sebagai pelaku.
Contoh ilustrasi untuk kata marah seperti
Kakak marah kepada temannya yang telah menyakiti hatinya
Kakak ingin melalukan sesuatu pada temannya nanti, agar ia merasa puas
Murka
X memiliki perasaan murka pada Y
Kadang-kadang X berpikir seperti :
Y telah melakukan sesuatu yang buruk
Y tahu X tidak ingin Y melakukan sesuatu seperti ini
X merasakan sesuatu yang buruk karena itu
X ingin Y tahu bahwa X tidak suka Y melakukan ini
Karena ini, orang ini merasakan sesuatu yang buruk
Karena ini, X ingin melakukan sesuatu pada Y
X merasakan seperti ini
Pada parafrase diatas, yaitu parafrase mengenai kata atau emosi murka sebagai relasi dari emosi marah. Namun, dalam konteks pembentukannya, kata murka memiliki identitas yang paling tinggi dari relasi-relasi marah yang lainnya. Murka, amuk, berang, kalap adalah satu deretan kata yang memiliki identitas yang tertinggi dari marah. Karena, pada kata murka, perasaan marah yang dirasakan oleh X begitu memacunya untuk melakukan sesuatu yang buruk pada Y. Emosi ini terjadi untuk masa sekarang atau yang sedang terjadi karena luapan emosi yang tidak tertahan oleh X, maka X ingin secepatnya melakukan sesuatu pada Y, agar Y tahu bahwa X tidak suka Y melakukan itu.
Contoh kalimat ilustrasi untuk kata murka adalah :
Raja itu murka terhadap para Selirnya
Raja ingin memberikan perhitungan kepada para selirnya, agar para selirnya tahu bahwa Raja tidak ingin selir-selirnya melakukannya lagi.
Dongkol
X dongkol kepada Y
Karena itu, kadang-kadang X berpikir seperti:
Y melakukan sesuatu yang buruk
X tidak ingin Y melakukan ini
Y tahu X tidak ingin Y melakukan ini
X tidak ingin Y tahu bahwa X merasa sesuatu yang buruk
Dalam konteks diatas kata 'tidak ingin' menjadi pembeda dengan kata marah dan murka. Ini disebabkan oleh identitas kata dongkol ada pada level paling rendah dalam relasi kata emosi marah. Dongkol hanya dirasakan dalam hati oleh seseorang, tidak ada akibat tindakan buruk yang dilakukan oleh pengalam kepada pelaku dalam konteks ini. Pengalam juga tidak ingin pelaku tahu bahwa ia merasakan sesuatu yang buruk karenanya. Relasi emosi marah yang memiliki identitas rendah termasuk kata dongkol, kesal, sebal, dan jengkel.
Contoh kalimat ilustrasi untuk kata dongkol sebagai berikut:
Aku dongkol sekali pada teman sebangku ku
Dan aku tidak ingin dia tahu
Geram
Relasi kata marah selanjutnya adalah kata geram. Ketika X merasa geram terhadap Y, X berpikir sesuatu seperti pada parafrase berikut ini:
Y melakukan sesuatu
X tidak ingin Y melakukan ini
X merasa sesuatu yang buruk terhadap Y
Y tidak tahu X merasa sesuatu yang buruk
X tidak ingin melakukan sesuatu pada Y karena ini
X menahan diri untuk melakukan sesuatu kepada Y
Karena itu X merasakan ini
Berdasarkan parafrase diatas, terlihat perbedaannya ditinjau dari kata 'menahan diri'. X tidak ingin melakukan suatu yang buruk pada Y karena emosinya atas perbuatan Y. X sedang mengontrol emosinya terhadap Y. Sebenarnya, identitas dan komponen pembangun kata geram tidak jauh beda dengan kata dongkol dan relasinya, yang mebedakannya hanya tingkat luapan emosinya. Kata dongkol lebih tinggi tingkatnya daripada kata geram seperti yang telah dijelaskan dalam parafrase diatas.
Contoh kalimat ilustrasi untuk kata geram seperti berikut:
Rina geram terhadap saudara kembarnya yang memakai barangnya sesuka hati
Saudara kembarnya tidak tahu bahwa Rina tidak menyukai ia melakukan itu
Muak
Relasi kata emosi marah yang terakhir adalah muak.
X merasa muak pada Y
Karena itu, X berpikir seperti ini
Y melakukan sesuatu yang buruk pada X
Y tahu bahwa X tidak ingin Y melakukan ini
Y terus melakukan ini
X merasa jenuh terhadap Y karena ini
Karena itulah X merasakan ini
Kata muak lebih spesifik lagi perbedaannya pada relasi emosi dasar marah yang lainnya. Pembedanya adalah X merasa jenuh Y melakukan sesuatu yang buruk terus-menerus. X tidak ingin lagi melihat kelakuan Y yang melakukan hal yang buruk terus menerus. Maka X merasa muak terhadap Y. Emosi ini terjadi pada masa lampau. Kata muak memiliki relasi yang setara komponennya, seperti kata ambek.
Seluruh kelompok kata yang mencakup relasi makna emosi dasar marah telah dianalisis dengan mengujinya melalu parafrase diatas. Untuk itu jelas sudah kita ketahui bahwa kata marah memang memiliki relasi kata yang terkait, namun, dalam setiap kata terdapat perbadaan komponen baik komponen akibat dan komponen waktu. Dalam ilmu semantik, ini perlu dilakukan secara lebih rinci untuk menuai pemahaman mengenai kajian makna pada kata marah . karena dalam melakukan analisis komponen untuk semantik marah, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu pembeda makna, hubungan antarkomponen makna, dan langkah analisis komponen makna.
KESEIMPULAN
Verba komponen emosi dasar marah dapat batasi dengan ciri 'X merasakan sesuatu bukan karena X menginginkannya'. Dalam konteks ini otomatis mencakup tentang 'sesuatu yang buruk terjadi' dan diaplikasikan pada beberapa kata yang berkaitan dengan komponen verba emosi itu. Maka, 'X merasakan sesuatu karena suatu yang buruk terjadi'.
SARAN
Kajian yang dilakukan pada artikel ini didasarkan oleh teori MSA (Metabahasa Semantik Alami). Menyangkut juga dalam menetukan subkategori verba emosi marah, perangkat yang digunakan yaitu makna asali dari teori Metabahsa Semantik Alami digunakan sebagai alat analitis.
DAFTAR PUSTAKA
Goddard, C. 1998. "Semantic Analysis". The Sematic of Emotion, 86-110.
Wierzbicka, A. (1995). Emotion and Facial Expression: A Semantic Perspective. Journal
Culture & Psychology, 1, 227-258.
Mulyadi, 1998."Struktur Emosi Statif dalam Bahasa Melayu Asahan" Tesis S2, Linguistik Denpasar.
Widhiarso,W. 2010."Struktur Semantik Emosi dalam Bahasa Indonesia".Jurnal & Psikologi. Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta.
Mogan, L.J. 1995. The Definition of a Problem: Emotion Theory in the Nineties. Retrived March, 20, 2004.
Morgan, R & Heisse, H. 1998. Sructure of Emotions. Social Psychology Quarterly, 51, 19-31.
Oatley, K, & Jenkins, J. M. 1992. Human Emotions: Funclion and dysfunction. Annual Review of Psychology, 43, 55-85.