“
Sejarah Pemikiran dan Kosep Keimanan Serta Koreksi Islam Terhadapnya” Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Aqidah Dosen Pengampu Mata kuliah: Amirudin, M.Pd
Disusun Oleh: Cut Zahara Maulida (1201085007) Muhammad Utsman (1201085018) Supri Yanto (1201085025) (1201085025)
SEMESTER IV PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA JAKARTA 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah mengizinkan kami menyelesaikan tugas makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa tercurahkan kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman yang gelap gulita kepada zaman yang terang benderang ini. Terima kasih terucap kepada banyak pihak yang telah membantu penyelesaian tugas makalah yang berjudul “Sejarah Pemikiran dan Konsep Keimanan Serta Koreksi Islam Terhadapnya”. Ucapan terima kasih juga tercurah kepada dosen pengampau mata k uliah k uliah Aqidah, Amirudin, M.Pd yang telah memberikan tugas kepada kami sehingga kami dapat menambah wawasan dan memotivasi kami untuk terus belajar. Makalah ini jauh dari sempurna, justru kami sadar masih begitu banyak kesalahankesalahan yang terdapat dalam makalah ini. Ucapan maaf kami ucapkan atas kesalahankesalahan dalam makalah ini, kesempurnaan hanya milik-Nya yang Maha Sempurna, manusialah tempatnya kesalahan. Jakarta, 3 April 2014
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .......................................... ................................................................. ............................................. ............................................ ..........................ii ....ii Daftar Isi ............................................ .................................................................. ............................................ ............................................ ..................................iii ............iii BAB I Pendahuluan ............................................. .................................................................... ............................................. .....................................1 ...............1 1.1. Latar Belakang ................................................ ...................................................................... ............................................ ..............................1 ........1 1.2. Rumusan Masalah .............................................. ..................................................................... ............................................. ..........................1 ....1 1.3. Tujuan Penulisan .............................. .................................................... ............................................ ............................................. .......................2 2 1.4. Metode Penulisan .................................... .......................................................... ............................................. ......................................2 ...............2 BAB II Pembahasan .................................. ........................................................ ............................................. .............................................. ..........................3 ...3 2.1. Latar Belakang Perilaku Manusia Terhadap Agama ................................... ..........................................3 .......3 2.2. Perilaku Transendenitas ................................................. ....................................................................... .....................................6 ...............6 2.3. Koreksi Islam Terhadap Perkembangan Konsep Transendenitas .......................10 .......................10 BAB III Penutup ........................................... ................................................................. ............................................ ............................................. .......................14 14 3.1. Kesimpulan ............................................. .................................................................... ............................................. .....................................14 ...............14 3.2. Saran ............................................ ................................................................... ............................................. ............................................ ..........................14 ....14 Kepustakaan ........................................... ................................................................. ............................................ ............................................ ..............................16 ........16
iii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Kesadaran beragama merupakan akar dalam fitrah manusia. Bila kita selama lubuk hati manusia, dengan tiada mengingat berbagai bentuk agama, maka kita akan sampai kepada asal mula dari manakah pertanyaan tentang keagamaan itu bermula. Dibalik sistem agama itu dan kebersamaan dengan perbedaan diantara agama dengan agama lain maka dari suatu aturan sejarah yang tetap dan selalu menyelaraskan manusia dalam suatu tatanan tertentu dan cenderung mengejawankantah dalam bentuk keagamaan, gambaran tentang dimensi keagamaan ini dapat ditelusuri melalui bermacam sistem dan melalui berbgai pembahasan disitu sisi, hal itu dapat dilihat pada gerak akal fikiran manusia yang tiada henti mempertayakan dirinya tentang sumber dan asalusulnya, keinginan jiwanya keras untuk menentukan. Cara apa pun yang dipandang tentang manusia sebagai sumber dinamika yang terdalam maka seseorang senantiasa akan tiba pada suatu masalah dan cenderung untuk meleburkan dirinya, dunianya dan masyarakat kepada yang mutlak. Betapapun agama sebagaimana adanya dalam ilmu sejarah adalah suatu gejala yang sangat rumit dia mencakup sekelompok besar kepercayaan dan tata-cara yang sifatnya sangat berlainan coraknya. Percaya dan mengikuti kemauan apa yang disebut sebagai roh pepohonan dan sungai, penyembahan kuburan orang-orang yang sudah mati, sesaji bagi arwah nenek-moyang, serta upacara pemberian beberapa makananan dan mencegah beberapa macam makanan lainnya, demikian halnya pada keimanan kepada satu dan satusatunya Tuhan, menyembah berhala batu yang berbentuk binatang dan tumbuhan seperti halnya kebaktian kepada Tuhan sebagai roh gaib yang tidak terbayangkan, semuanya ini dan banyak lagi lainnya telah dinisbahkan sebagai kepercayaan dan upacara keagamaan. Kepercayaan ini berpusat pada satu kata, transendenitas. Suatu proses berpikir manusia yang menjadi awal kepercayaan atau agama manusia. 1.2. Rumusan Masalah
A. Latar belakang perilaku manusia terhadap agama 1
B. Perilaku transendenitas C. Koreksi Islam terhadap perkembangan konsep transendenitas 1.3. Tujuan
A. Mengidentifikasi latar belakang manusia beragama B. Mengidentifikasi konsep transendenitas C. Mengoreksi iman-iman yang berkembang selain tauhid 1.4. Metode Penulisan
Dalam menulis makalah ini, kami memakai metode analisis didukung kepustakaan yang memadai.
2
BAB II PEMBAHASAN 2.1. Latar Belakang Perilaku Manusia Terhadap Agama
A. Fitrah Manusia Dalam Beragama Dalam buku yang berjudul Perspekif Manusia dan Agama dikatakan bahwa setiap bicara tentang nabi, Ali ibn Abu Thalib menyebutkan mereka diutus untuk mengiatkan manusia kepada perjanjian yang telah diikat oleh fitrah mereka, yang kelak mereka akan dituntut untuk memenuhinya perjanjian itu dicatat dikertas dan diucapakan oleh lidah melainkan terukir dengan pena ciptaan Allah di permukaan kalbu dan lubuk fitrah manusia dan di atas permukaan lubuk hati nurani serta di dalam perasaan batiniah. Pernyataan bahwa manusia memiliki fitrah keagaman tersebut buat pertama kali ditegaskan dalam ajaran Islam. yakni bahwa agama adalah kebutuhan fitriah manusia. Sebelumnya belum mengenal kenyataan ini. Baru dimasa akhir – akhir – akhir akhir ini, muncul beberapa orang yang menyerukan dan mempopulerkan fitrah agama yang ada dalam manusia agar beragama, maka seruan tersebut memang amat sejalan dengan fitriah itu. Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama allah tetaplah atas fitrah Allah tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrah itu (QS. Ar – Ar – Rum : 30). Adanya potensi fitrah beragama yang terdapat pada manusia tersebut dapat pula dianalisis dari istilah Insan Insan yang digunakan Al-Qur ’an untuk menujukan manusia. Mengacu kepada informasi yang diberikan Al-Qur’an Al- Qur’an,, Musa Asy’ari sampai pada suatu kesimpulan, insan adalah insan adalah manusia yang menerima pelajaran dari Tuhan tentang apa yang tidak diketahui. Manusia insan secara kodrati sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna bentuknya dibandingkan dengan ciptaan Tuhan yang sempurna bentuknya dibandingkan dengan ciptaan Tuhan lainnya yang sudah dilengkapi dengan kemapuan mengenal dan memahami kebenaran dan kebaikan yang terpancar dari ciptaanya. Lebih lanjut Musa M usa Asy’ari mengatakan bahwa pengertian manusia disebut juga insan yang dalam Al-Qur’an Al-Qur’an dipakai untuk menunjukan
lapangan
kegiatan
manusia 3
amat
luas
adalah
terletak
pada 3
menggunakan akalnya dan mewujudkan pengetahuannya konseptual dalam kehidupan konkret. Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengelurakan keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka dan allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): bukankah aku itu Tuhanmu? mereka menjawab: betul (engkau Tuhan kami ) kami menjadi saksi (kami lakukan yang demikian itu) agar dihari kiamat kamu tidak mngatakan sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang orang yang lemah (keesan Tuhan) ( QS. Al- A’araf : 172 ). ). Berdasarkan informasi tersebut terlihat dengan jelas bahwa manusia secara fitriah merupakan akhlak yang memiliki kemampuan untuk beragama. Hal ini sedemikian sejalan dengan petunjuk nabi dalam satu hadistnya yang mengatakan bahwa setiap s etiap anak yang dilahirkan memiliki fitrah beragama Tauhid (Islam), ( Islam), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. Karena demikian pentingnya menumbuhkankembangkan dan memelihara potensi agama yang ada dalam diri manusia. Sebagaian hipotesis mengatakan bahwa agama adalah produk rasa takut. Seperti rasa manusia dari alam dari gelegar suara guruh yang menggetarkan dari luasnya lautan dan dari debunya ombak yang mengulung serta gejala – gejala alamiah lainnya. Sebagai akibat rasa takut ini terlintas agama dalam benak manusia. Lecterius seorang filosofi yunani yang pendapatnya dikutip ialah dewa ketakutan. Hipotesis yang lainnya adalah bahwa agama produk kebodohan. Sebagaian orang percaya bahwa faktor yang mewujudkan agama adalah kebodohan manusia sebab manusia, sesuai dengan wataknya selalu cenderung untuk mengetahui sebab-sebab dan hukum – hukum yang berlaku atas alam ini serta peristiwa – peristiwa yang terjadi didalamnya. Informasi lainnya yang menunjukan bahwa manusia memiliki potensi beragama dikemukan oleh Carld Gustave Jung. Jung percaya bahwa agama termasuk hal-hal yang memang sudah ada di dalamnya bahwa sadar secara fitri dan alami. Selanjutnya William James, seorang Filosof dan ilmuwan termuka dari amerika mengatakan bahwa kendatipun benar pernyataan bahwa hal-hal fasis dan material merupakan sumber tumbuhnya berbagi keingginan batin. Buktinya banyak perbuatan manusia tidak bersesuai dengan perhitungan material. Pada setiap 4
keadaaan dan perbuatan keagamaan, kita selalu dapat melihat berbagai bentuk seperti keagamaan, kita melihat ketulusan, kecintaan dan kerinduan. Bahwa doa merupakan gejala keagamaan yang paling agung bagi manusia karena pada saat itu jiwa manusia terbang melayang kepada Tuhan. Batin manusia ada seberkas sinar yang menunjukan kepada manusia yang menunjukan kepada manusia kesalahankesalahan dan penyimpangan – penyimpangan – penyimpangan penyimpangan yang kadang dilakukan. Sinar inilah yang menunjukan manusia, pada keadaan rohaninya merasa kebesaran keaguangan Tuhan. B. Kelemahan dan Kekurangan Manusia Faktor lainnya yang melatarbelakangi manusia memerlukan agama adalah karena disamping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan. Hal ini diungkapkan oleh kata al-nafs al-nafs menurut Quraish Shihab (terlepas dari kontoversi prespektif beliau), bahwa dalam pandangan Al-Qur ’an, nafs nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna yang berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh Al-Qur ’an dianjurkan untuk diberi perintah lebih besar. Demi nafs serta penyempurnaan ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya kefasikan dan ketakwaan. (QS. As-Syams: 7-8) Menurut Quraish Shihab bahwa kata mengilhamkan berarti potensi agar manusia melalui nafs nafs menangkap makna baik dan buruk serta dapat mendorong untuk melakukan kebaikan dan keburukan. Disini antara lain terlihat perbedaan pengertian kata ini menurut Al-Qur’an Al- Qur’an dengan dengan terminologi kaum sufi, yang oleh AlQusyairi dalam risalahnya dinyatakan bahwa nafs nafs dalam pengertian sufi adalah sesuatu yang melahirkan sifat yang tercela dan peri laku buruk. Selanjutnya Quraish Shihab mengatakan, walaupun Al-Qur ’an menegaskan bahwa nafs berpontensi nafs berpontensi positif dan negatif namun diperoleh bahwa pada hakikatnya potensi manusia lebih kuat dari pada negatifnya hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat daripada daya tarik kebaikan. Sifat – sifat yang cenderung kepada keburukan yang ada pada manusia itu antara lain berlaku zhalim (aniaya) dalam keadaan susah payah ( fikabad ) suka melampui batas (anid ( anid ) sombong (kubbar ( kubbar ) ingkar dan sebagainya karena manusia dituntut agar memelihara kesucian nafs dan nafs dan 5
tidak mengotorinya. Untuk menjaga kesucian nafs nafs ini manusia harus selalu mendekatkan diri pada Tuhan dengan bimbingan agama, dan di sinilah letaknya kebutuhan manusia terhadap agama. C. Tantangan Manusia Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia dalam kehidupan senantiasa menghadapi tantangan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan. Sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya – upaya – upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupa ingin memalingkan manusia dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluakan biaya, tenaga, dan pikiran yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan yang di dalamnya mengadung misi menjauhkan manusia Tuhan. Kita misalnya membaca ayat yang berbunyi. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan allah (QS Al-anfal, 8:36) Orang – Orang – orang orang kafir itu sengaja mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mereka gunakan agar orang mengikuti keinnginannya. Berbagai bentuk budaya, hiburan, obat-obat obat-obat terlarang dan lain sebagainya dibuat dengan sengaja untuk itu upaya mengatasi dan membentangi manusia adalah dengan mengajar mereka agar taat menjalankan agama. 2.2. Perilaku Transendenitas Transendenitas
Sebelum beranjak kepada pengertian iman, mesti dipahami dahulu secara seksama mengenai hal yang menyebabkan timbulnya keimanan atau kepercayaan terhadap Tuhan pada manusia. Sejak zaman kuno walaupun manusia tidak dengan tegas menyadari tanda-tanda konsep ketuhanan, namun manusia selalu melakukan ritual penyembahan sebagai manifestasi dari rasa berlindung terhadap alam dan mempercayai suatu yang lebih besar dari diri manusia tersebut. Suatu konsep yang mereka percayai mahabesar dan merupakan tempat berlindung manusia mempunyai sifat yang transendental dan abstraktif. Tidak seperti kebiasaan manusia pada umumnya yang mempercayai suatu konsep absolut 6
yang ada dihadapan nalar manusia. Manusia dapat mempercayai adanya gunung karena mereka dapat melihat gunung, mempercayai adanya panas karena mereka merasakan panas dan bersumber dari cahaya matahari yang mereka sadari. Lebih dari itu, konsep transendenitas adalah suatu logika yang kuno namun mendalam. Boleh disebut sebagai prestasi pertama manusia dalam proses berfikir secara mendalam. Konsep transenden inilah yang kemudian berkembang menjadi konsep keimanan terhadap Tuhan. A. Pergumulan Pikiran Terhadap Transendenitas Keimanan terhadap transendenitas bukanlah suatu hal mudah dicapai meski pun konsep tersebut merupakan konsep yang kuno. Para filsuf hingga para nabi dan rasul mengimani transendenitas sebagai sebuah konsep ketuhanan, zat yang tidak teridentifikasi namun memberikan sebuah kenyamanan spiritual. Peradaban manusia dalam sejarahnya telah memakan waktu yang amat lama dalam
memahami
dan
mengembangkan
konsep
keimanan
mereka
(transendenitas). Karen Amstrong mengidentifikasi bahwa Tuhan Aristoteles atau Platonius tak berwaktu dan tak bergeming, Dia tidak menaruh perhatian terhadap kejadian-kejadian duniawi, tidak mewahyukan diri-Nya dalam sejarah, tidak pernah menciptakan alam dan tidak mengadili hari kiamat. Kalimat tersebut mengidentifikasikan bahwa pada masa filsuf Yunani, mereka para filsuf juga menaruh perhatian terhadap konsep transenden yang nantinya mereka imani. Terlepas dari para filsuf Yunani, para nabi telah jauh mendapat pencerahan mereka dibidang transendenitas. Para nabi awalnya menyadari adanya zat yang mahaabstrak, mahabesar yang didahului oleh kesimpulan sangat sederhana dari lingkungan sosial mereka, yakni konsep transenden yang berorientasi kebendaan atau paganisme. Mereka para nabi menyadari ada cacat pada konsep paganisme, hingga mereka melawan arus berpikir lingkungannya dan mendapat kesimpulan tentang zat yang tak teridentifikasi bersifat mahaabstrak, mahabesar. Kesimpulan mereka tentang transenden diikat dengan wahyu yang datang kepada mereka dan menjadi tugas dan tanggungjawab yang harus diemban dalam mengembangkan konsep keimanan yang hakiki, Tauhid. Inilah salah satu metode para nabi dalam proses pencarian Tuhan. Metode ini juga yang dicapai dic apai oleh Nabi Ibrahim yang dikenal 7
sebagai bapaknya para nabi, begitu juga Nabi Dzulqarnain (1370 SM) yang menentang konsep ketuhanan terhadap matahari ( Amon) Amon) di Mesir. Konsep tauhid ini yang menjadi puncak dari pergumulan berpikir tentang konsep transendenitas yang dicapai hanya oleh manusia-manusia pilihan yang disebut nabi dan rasul. Keimanan terhadap tauhid mampu mematahkan segala teori tentang transendenitas karena di dalamnya tidak terdapat cacat. Menurut Amin Abdullah, konsepsi transendenitas yang semula bersifat absrak tersebut menjadi rumusan kepercayaan, dogma, dan keimanan yang beraneka ragam seperti yang kita jumpai sekarang ini (Amin Abdullah: 2005). Jika disusun secara sistematis, maka naluri dan fitrah manusia membawa manusia sendiri kearah transendenitas (teisme (teisme). ). Untuk lebih jauhnya konsep transendenitas yang membangun manusia kesudut spiritual tentang kepercayaan dan dogma atau agama. Pada akhirnya agama itulah yang menjawab kejanggalan manusia tentang fitrah dan naluri awal. B. Penerimaan dan Penolakan Terhadap Konsep Transendenitas Dalam perkembangan menuju keimanan tauhid, transendenitas sendiri bersifat ambivalen. Artinya terdapat penerimaan dan penolakan, hal ini terjadi dan mulai berkembang secara terpisah. Pada masa rasulullah atau kenabian, transenden diterima melalui konsep tauhid. Bahkan jauh sebelum itu telah tercipta kepercayaan-kepercayaan yang bersifat kebendaan. Penerimaan inilah yang akan berkembang menjadi agama di dunia, baik itu agama langit ( ahlul kitab) kitab) dengan pencapaian tauhidnya atau agama bumi ( paganisme ( paganisme)) yang mengimplementasikan konsep transenden kearah logika sederhana berupa penyembahan-penyembahan terhadap hal yang absolut (kebendaan). Namun dikemudian zaman terjadi koreksi dari rasionalitas yang menolak transendenitas. Penolakan terhadap iman (transenden) terjadi jelas sejak rasio manusia mulai berkembang. Manusia mulai menyadari akan “keagungan” dari rasionalitas yang telah membawa perubahan. Dilatarbelakangi pula oleh pesatnya perkembangan dari agama yang memunculkan perselisihan hingga perang. Sehingga secara tidak tidak sadar mereka telah “mentuhan “mentuhankan” kan” rasionalitas.
8
Padahal untuk memahami suatu yang bersifat abstrak, yang sebelumnya telah disadari manusia, serta merupakan sifat alamiah, naluri dan fitrah manusia, rasionalitas dapat membunuh konsep transenden dengan kesimpulan yang telah dicapai (tauhid). Hal ini dilakukan dengan meletakkan rasionalitas diatas segalanya. Dengan mengesampingkan kebenaran yang telah didapat melalui tauhid, manusia menolak transendenitas. Sehingga timbul suatu gagasan yang menjadi alasan mereka menolak transenden, salah satu yang paling ekstrim dalam “melogikakan transenden” datang dari Imam Mason Selami Isindag dalam bukunya Masonluktan Esinlenmeler yang berbicara mengenai hakikat materialisme: “Seluruh angkasa, atmosfer, bintang-bintang, alam, seluruh makhluk hidup dan tak hidup tersusun dari atom-atom. Manusia tidak lebih dari kumpulan atom-atom yang terbentuk secara spontan. Keseimbangan pada arus listrik di antara atom-atom memastikan kelangsungan hidup makhluk hidup. Ketika keseimbangan ini rusak (bukan listrik di dalam atom itu), kita mati, kembali ke bumi dan mengurai menjadi atom-atom. Artinya, kita berasal dari materi dan energi, dan kita akan kembali menjadi materi dan energi” .... “Sains positif memercayai bahwa tidak ada yang menjadi ada dari ketiadaan, dan tidak ada yang akan musnah. Jadi, dapat disimpulkan bahwa manusia tidak perlu bersyukur atau menurut kepada kekuatan apa pun. Alam semesta adalah sebuah totalitas energi tanpa awal dan akhir. Segala sesuatu lahir dari totalitas energi ini, berevolusi dan mati, tetapi tidak pernah benar-benar sirna.” sirna.” Konsepsi yang demikian dikenal sebagai pemahaman atheis (atheisme ( atheisme)) yang
lahir
sebagai
akibat
dari
sebab
yang
telah
ditimbulkan
oleh
ketidakrasionalan transenden. Namun disisi lain, jika diperhatikan mengenai rasio dan transenden yang seakan-akan bertentangan, justru terdapat keseimbangan di dalamnya. Sebagai contoh Nabi Ibrahim dalam proses pencarian Tuhan dan pemahaman transendenitas, beliau lebih dahulu berkecimpung dalam dunia logika dalam menafsirkan keadaan dan menjawab kondisi sosial yang saat itu kental dengan faham paganisme. Melalui logika beliau dapat menjawab dan menyadarkan akan 9
kesesatan lingkungannya, dengan logika pula beliau menemukan adanya suatu zat yang mahabesar. Kemudian Allah SWT memberi hidayah kepada beliau dan diangkatnya beliau menjadi nabi. Dalam proses ini, rasio digunakan sebagai “batu loncatan” untuk memahami transendenitas seutuhnya. Artinya beliau tidak berhenti pada tingkatan rasionalitas. Rasionalitas tidak diletakkan diatas segalanya. 2.3. Koreksi Islam Terhadap Perkembangan Konsep Transendenitas
A. Iman dalam Islam Sebagai Pandangan Hidup Iman dalam Islam menjadi bagian yang sangat penting dalam mengenal Allah SWT. Iman merupakan implementasi transendenitas dalam Islam. Ketauhidan menjadi dogma utama iman dalam Islam. Yang mana telah diketahui bahwa tauhid merupakan puncak utama konsep transenden. Iman berfungsi sebagai pandangan hidup kaum muslim di dunia. Konsep ketauhidan tersebut dibawa oleh rasul terakhir Muhammad SAW yang pada dasarnya tidak berbeda dengan konsep tauhid dari nabi-nabi sebelumnya. Hanya peribadatan dan umat yang membedakan. Tauhid merupakan garis besar yang dibawa para nabi dan telah menjadi bukti bahwa konsep transenden yang hakiki adalah ketauhidan. Konsep ketauhidan tersebut berfungsi sebagai pandangan hidup (word view) view) sebagaimana telah dikemukakan oleh Hamid Fahmi Zarkasy dalam buku Pemikiran Muhammadiyah – Respon Terhadap Liberalisasi Islam, beliau menyadur penjelasan Al-Mawdudu: Yang dimaksud Islam Nazariyat (word view) view) pandangan hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan ( shahadah) shahadah) yang berimplikasi pada keseluruhan manusia di dunia. Sebab shahadah shahadah adalah pernyataan moral yang mendorong manusia untuk melaksanakannya dalam kehidupan secara menyeluruh. Dalam sistematika proses pencarian Tuhan (transendenitas) yang telah dibahas di atas, ketauhidan menjadi jalan yang lurus yang telah melewati dua persimpangan ambivalen. Pesimpangan pertama terletak pada penyimpangan dogma tauhid yang menghasilkan agama-agama yang Rasulullah sebut dengan Ahlul Kitab Kitab (Yahudi dan Nashrani). Kemudian persimpangan kedua terletak 10
pada koreksi transendenitas kembali oleh kaum atheis. Dari dua persimpangan tersebut Islam dengan dogmanya telah bertahan dari serangan-serangan penolakkan konsep tauhid. Hal ini menghasilkan kesimpulan bahwa konsep tauhid yang dibawa oleh Islam menunjukan kesempurnaan iman yang hakiki. Iman yang hakiki inilah yang menjadi pandangan hidup umat Islam. B. Koreksi Terhadap Konsep Paganisme Islam sangat menentang keras konsep penyembahan berhala (paganisme) meskipun itu merupakan bentuk penerimaan terhadap transendenitas. Car a kaum pagan menafsirkan konsep transendenitas adalah dengan mematerikan Tuhan dan menyembahnya. Metode tersebut justru telah meniadakan hukum sebelumnya dari transenden dimana abstraktif menjadi sifat utama sehingga tidak dapat digambarkan oleh manusia. Kaum pagan dalam kepercayaannya menggunakan logika yang sangat sederhana, hanya berlandaskan kepada naluri dan fitrah manusia yang ingin berlindung dan menyembah. Kemudian karena tidak mampu untuk mencapai tingkatan abstraktif, mereka “membuat sendiri” Tuhan mereka sebagai implementasi dari perilaku transenden. Sehingga mereka beriman kepada benda yang mereka buat atau mereka yakini. Disinilah titik kelemahan kaum pagan. Sementara Islam menganggap bahwa wujud dari Tuhan itu tidak mutlak, manusia hanya perlu mempercayai dan menyembah karena berpikir tentang wujud Tuhan bukan merupakan koridor berpikir manusia. C. Koreksi Terhadap Trinitas Salah satu penyimpangan tauhid adalah trinitas. Trinitas merupakan dogma utama kaum Nashrani yang mempercayai adanya tiga Tuhan dalam satu yakni Tuhan Bapa (Allah), Tuhan Anak (Yesus) dan Ruhul Kudus (Jibril). Dalam perkembangannya, jelas bahwa konsep tersebut berawal dari konsep tauhid yang dibawa oleh para nabi. Konsep trinitas timbul akibat distorsi seorang Yahudi terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Isa (Yesus) yang bernama Paulus. Paulus menciptakan dogma tersebut demi membunuh konsep tauhid yang dibawa oleh Nabi Isa. Pada 11
akhirnya konsep trinitas disahkan sebagai dogma utama Nashrani pada Konsili Nicea. Kelemahan konsep trinitas terdapat pada masing-masing wujud dan sifat dari peran tokoh trinitas. Dikatakan bahwa Allah, Yesus dan Ruhul Kudus merupakan satu kesatuan. Konsep tersebut agaknya tidak ingin mengingkari tauhid, namun dengan mengawinkan konsep tauhid dengan politheisme secara mutlak telah meniadakan ketauhidan tersebut. Sehingga ayat-ayat tauhid yang tertera pada Alkitab (kitab kaum Nashrani) menjadi bias maknanya. Islam mengkategorikan mereka termasuk kedalam kaum Ahlul Kitab, Kitab, bukan saja karena mereka me reka dalam sejarahnya diturunkan ditur unkan kitab sebagai pedoman, p edoman, namun juga karena mereka adalah salah satu bagian dari kaum Bani Israil. Di lain pihak, mereka juga dapat dikategorikan ke dalam orang-orang musyrik sesuai dengan firman Allah: Maka ketahuilah bahwasannya tiada ilah melainkan Allah, dan mohonlah ampunan terhadap dosa-dosamu (QS. dosa-dosamu (QS. Muhammad: 19) Dengan
mengingkari
dogma
utama,
yakni
tauhid
mereka
dapat
dikategorikan sebagai kaum musyrik, sementara Allah berfirman: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. An-Nisa :48). D. Koreksi Terhadap Konsep Atheisme Atheisme merupakan konsep yang lahir dari penolakkan terhadap transendenitas seperti yang dikatakan sebelumnya. Dengan mengoreksi konsep transenden melalui rasio, mereka telah meniadakan ketuhanan. Mereka beranggapan bahwa alam ini tidak diciptakan, namun ada dengan sendirinya sesuai hukum alam. Corliss Lamont, seorang atheis dan juga pakar humanisme terkemuka memaparkan: … bahwa materi-energi materi -energi dan bukan pikiran yang merupakan bahan pembentuk alam semesta, dan bahwa entitas supernatural sama sekali tidak ada. Ketidaknyataan supernatural ini pada tingkat manusia berarti 12
bahwa manusia tidak memiliki jiwa supernatural dan abadi; dan pada tingkat alam semesta sebagai keseluruhan, bahwa kosmos kita tidak memiliki Tuhan yang supernatural dan abadi. Pernyataan Corliss Lamont begitu rasional jika berbicara konsep kepercayaan. Namun seperti yang telah dibahas bahwasannya proses tertinggi dari pandangan transendenitas bukanlah sebuah penolakkan terhadap Tuhan. Namun justru rasio dijadikan sebuah jembatan antara naluri, kenyataan dengan ketauhidan. Sementara Syaikh Atif Al-Zayn mengartikan mabda’ (peribadatan) sebagai aqidah fikriyyah fikriyyah (kepercayaan yang rasional) yang berdasarkan pada akal. Sebab setiap muslim wajib beriman kepada hakikat wujud Allah, kenabian Muhammad SAW, dan kepada Al-Qur’an Al- Qur’an dengan akal. Iman kepada hal-hal hal -hal ghaib itu berdasarkan cara penginderaan yang diteguhkan oleh akal sehingga tidak dapat dipungkiri lagi. Iman kepada Islam sebagai Din Din yang diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dengan diri dan lainnya.
13
BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan
Jika berbicara mengenai sejarah konsep keimanan, maka akan terpusat pada transendenitas yang telah banyak dibahas. Karena transendenitas merupakan bagian penting perkembangan konsep-konsep keimanan yang pernah dikenal. Tentunya dari konsep-konsep keimanan tersebut hanya satu yang benar dan memuncaki pencapaian proses transenden, ialah tauhid yang menjadi landasan utama ajaran Islam. Transendenitas merupakan suatu proses berpikir dari keniscayaan naluri fitriah manusia. Kemudian perkembangannya mengalami proses yang amat panjang sehingga menghasilkan agama-agama yang ada di bumi. Meskipun begitu, jangan menganggap atheisme
bukan merupakan dari
bagian
transenden, justru atheis menempati tempat khusus padanya, dimana koreksi pada dogma-dogma agama kembali lagi kearah transendenitas sehingga mereka menolaknya. Dari beberapa ajaran tentang transenden, iman kepada tauhid atau keesaan Allah yang paling semurna pada prosesnya. Hal ini dikarenakan adanya keseimbangan antara sisi rasio (logika) dengan spiritualitas (abstrak). Rasio menjadi jembatan mengenal transenden, dalam iman Islam pula diajarkan untuk mengenal Allah melalui logika. Sehingga dengan demikian, konsep transenden selain dogma tauhid telah gugur dengan sendirinya melalui proses yang panjang. 3.2. Saran
Dalam perjalanan memperjuangkan tauhid dipastikan mendapat banyak serangan dari iman lainnya. Untuk menjawab hal tersebut, diperlukan logika yang
tinggi
sehingga
rasionalitas-rasionalitas
yang
menjadi
argumen
perlawanan dapat mudah diterima. Islamlah yang paling sempurna konsep keimanannya, sehingga hampir tidak ada yang keraguan pada umat muslim untuk melawan doktrin keimanan Islam.
14
14
Ilmu yang dalam juga sangat dibutuhkan untuk memperteguh keimanan umat muslim terhadap ketauhidan. Karena jika tanpa ilmu, tauhid tidak akan dapat dijelaskan, di atas telah disampaikan bahwa tauhid adalah puncak berpikir seseorang tentang “rasionalitas transenden”, maka jika tanpa ilmu, iman yang diaplikasikannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
15
KEPUSTAKAAN A. Buku
Abdullah, Amin. 2005. Pendidikan Agama Era Multikutural-Multireligius Multikutural-Multireligius..
Jakarta: PSAP Muhammadiyah
Maarif, Ahmad Syafii. 2004. Mencari Autentisitas Autentisit as dalam Kegalauan. Kegalauan. Jakarta:
PSAP Muhammadiyah
Syamsuddin, Dien. 2005. Pemikiran Muhammadiyah: Respon Terhadap
Liberalisasi Islam. Islam. Surakarta: Muhammadiyah University Press B. E-Book
Yahya, Harun. Ancaman Harun. Ancaman Global Freemansonry. Freemansonry. E-Book.
16