RINGKASAN
TRANSISI POLITIK MENUJU DEMOKRASI 1.
Dari Dari Ototar Ototaria iani nism sme e ke Demokr Demokras asi: i: Kemun Kemuncu cula lan n Nega Negara ra-n -neg egar ara a Demokrasi Baru Negara-negara yang masa lalunya bersifat otoriter atau totaliter semenjak tahun 1970-an telah muncul dan berubah menjadi negara-negara demokrasi baru. Para pemimpin pemimpin negara demokrasi demokrasi baru tersebut tersebut mempuny mempunyai ai harapan harapan yang penuh atas masa depan mereka, dalam mendefinisikan visi atas masa depan tersebut kepada penduduknya ternyata harus melalui suatu rekonsiliasi dengan dengan warisan warisan masa masa lalu mereka mereka yang berupa berupa pelanggara pelanggaran-pel n-pelangg anggaran aran HAM HAM
ting tingga gala lan n
rezi rezim m
otor otorit iter er
sebe sebelu lum mnya. nya.
Mesk Meskip ipin in
tiap tiap-t -tia iap p
nega negara ra
mempunyai mekanisme yang berbeda untuk berhubungan dengan masa lalu masing-masing. Menurut Samuel P. Huntington, dalam dua atau tiga dekade terakhir ini, kita kita meli meliha hatt terja terjadi di revo revolu lusi si polit politik ik yang yang luar luar bias biasa a dima dimana na tran transi sisi si dari dari otoritarianisme menuju demokrasi telah terjadi di lebih dari 40 negara. Rezim otorit otoritari ariani anism sme e telah telah beruba berubah h secar secara a signif signifika ikan. n. Dalam Dalam bebera beberapa pa kasus, kasus, termasuk di berbagai rezim militer, kelompok reformis menguat di dalam rezim otoriter dan mengambil inisiatif untuk mendorong transisi. Dalam kasus lainnya transisi ini muncul dari negosiasi antara pemerintah dan kelompok oposisi. Dan ada yang lahir dari digusur atau ambruknya rezim otoritarian. Dalam kasus yang yang sang sangat at sedi sediki kit, t, ada ada inter interve vens nsii amer amerik ika a serik serikat at dala dalam m menj menjat atuh uhka kan n kediktatoran dan menggantikannya dengan rezim yang dipilih rakyat.
Dalam pandangan pandangan anthony anthony Giddens, Giddens, dalam semua upaya pembaruan pembaruan politik, pertanyaan mengenai siapa subyek atau pelaku politik muncul dengan sendir sendiriny inya. a. Partai Partai-pa -parta rtaii demokr demokrasi asi sosia sosiall pada pada awalny awalnya a muncu muncull sebaga sebagaii geraka gerakan-g n-gera erakan kan sosial sosial pada pada akhir akhir abad abad kesem kesembil bilan an belas belas dan awal awal abad abad kedua puluh. Pada saat ini, selain mengalami krisis ideologis, mereka juga dikepung oleh gerakan-gerakan sosial baru, dan – sebagaimana partai-partai lainnya – terperangkap dalam situasi dimana politik mengalami devaluasi dan pemerintah tampakya kehilangan kekuatan. Neoliberalisme melancarkan ritik berkep berkepanj anjan angan gan menge mengenai nai peran peran pemeri pemerinta ntah h dalam dalam kehidu kehidupan pan sosial sosial dan ekonomi,
kriti itik
yang
tampaknya
menggemakan
kecenderun rungan-
kecend kecenderu erunga ngan n dalam dalam dunia dunia nyata. nyata. Sudah Sudah saatn saatnya ya para para demokr demokrat at sosial sosial meluncurkan serangan balik atas pandangan-pandangan seperti itu, yang tidak bertahan lama jika dikaji dengan seksama. Dala Dalam m
pers perspe pekt ktif if duni dunia a
kont kontem empo pore rerr
saat saat ini, ini, menu menuru rutt
Gidd Gidden ens, s,
keberadaan pemerintah adalah untuk: •
Menyediak Menyediakan an sarana sarana untuk perwakilan perwakilan kepenting kepentingan-ke an-kepentin pentingan gan yang beragam;
•
Menawarka Menawarkan n sebuah sebuah forum untuk rekonsilia rekonsiliasi si kepenting kepentingan-ke an-kepentin pentingan gan yang saling bersaing ini;
•
Menciptakan dan melindungi ruang publik yang terbuka, dimana debat bebas mengenai isu-isu kebijakan bisa terus dilanjutkan;
•
Menyediak Menyediakan an beragam beragam hal untuk untuk memenuh memenuhii kebutuhan kebutuhan warga negara, negara, termasuk bentuk-bentuk keamanan dan kesejahteraan kolektif;
•
Mengatur pasar menurut kepentingan publik, dan menjaga persaingan pasar ketika monopoli mengancam;
•
Menjaga keamanan sosial melalui kontrol sarana kekerasan dan melalui penetapan kebijakan;
•
Mendukung
perkembangan
sumber
daya manusia
melalui
peran
utamanya dalam sistem pendidikan; •
Menopang sistem hukum yang efektif;
•
Memainkan peran ekonomis secara langsung, sebagai pemberi kerja dalam intervensi makro maupun mikro-ekonomi, plus penyediaan infrastruktur;
•
Membudayakan masyarakat-pemerintah merefleksikan nilai dan norma yang berlaku secara luas, tetapi juga bisa membantu membentuk nilai dan norma tersebut, dalam sistem pendidikan dan sistem-sistem lainnya;
•
Mendorong aliansi regional dan transnasional, serta meraih sasaran global. Jika tidak didera oleh krisis ekonomi dan moneter, John Naisbitt telah
memprediksikan adanya 8 (delapan) kecenderungan besar yang akan membawa asia ke arah commonwealth of nations, yang bentuknya sebagai berikut : 1.
From nations-states to network.
2.
From traditions to options.
3.
From export-led to consumer driven.
4.
From government-controlled to market-driven.
5.
From farms to supercities.
6.
From labor-intensive industry to high technology.
7.
From male dominance to the emergence of women.
8.
From west to east.
Deraan krisi ekonomi di seluruh negara Asia beberapa waktu lalu, bahkan pengaruhnya masih terasa di Indonesia, telah menyebabkan proses menuju Delapan kecenderungan besar tersebut menjadi agak menjadi terhambat atau bahkan sama sekali belum terwujud. Kecenderungan yang keempat telah menimbulkan diskursus tentang memudarnya batas-batas negara, sehingga cenderung membentuk bangsa tanpa negara yang menurut Gibernau akan menghadapi tiga dilema : 1.
How to deal with internal diversity;
2.
How to avoid violence as a strategy to achieve further autonomy and re cognition; and
3.
How to avoid the creation of an expensive bureaucratic machine adding a further layer of government to an already saturated political structure. Rezim-rezim otoritarian tidak dapat disamakan antara satu sama lain.
Tidak ada rezim otoritarian yang bisa dianggap monolitik, dan juga tidak ada kekuatan-kekuatan lainnya yang memperjuangkan demokrasi yang dpat dianggap seperti itu. Menurut Franz Magnis-Suseno, totaliterisme adalah ilmu politik untuk menyebut suatu gejala paling mengejutkan dalam sejarah umat manusia, suatu gejala yang secara mendadak mencuat dalam bagian pertama abad ke-20 yang baru lalu: negara totaliter. Negara totaliter adalah suatu sistem politik yang secara menyeluruh mengontrol, menguasai, dan memobilisasi segala segi kehidupan masyarakat. Hakekat totaliterisme dilukiskan oleh george Orwell dalam bukunya Animal Farm. Penguasa totaliter tidak hanya mau memimpin tanpa gangguan dari bawah; ia tidak hanya mau memiliki mmonopoli kekuasaan. Ia justru mau
secara aktif menentukan bagaimana masyarakat hidup dan mati; bagaimana mereka bangun dan tidur, makan, belajar dan bekerja. Ia juga mau mengontrol apa yang mereka pikirkan; dan siapa yang tidak ikut, akan dihancurkan. Faktor-faktor internasional, secara langsung atau ti dak langsung, mungkin mengkondisi dan mempengaruhi jalannya transisi, namun para partisipan utama dan pengaruh-pengaruh dominan tetap berasal dari dalam negeri. Pentingnya peran individu-indovidu dalam proses historis yang kompleks. Pentingnya ketetapan waktu, kerumitan dari proses-proses interaktif yang dilaksanakan dalam periode-periode yang panjang menunjukkan berbagai cara bagaimana transisi-transisi menghasilkan kejutan-kejutan, dan beberapa ironi dan paradoks yang dihasilkannya. 2.
Reposisi Hubungan Sipil-Militer Indonesia setelah sidang tahunan MPR pada bulan Agustus 2002 yang lalu telah memutuskan struktur MPR yang baru. Dengan struktur yang baru inni, peransosial politik TNI dan Polri untuk menjadi anggota DPR dan MPR melalui pengangkatan telah berakhir. Menurut Aribowo, penarikan militer dari gelanggang politik memang terus berlangsung di sejumlah negara Dunia Ketiga. Namun, apakah perkembangan itu akan mengarah pada militer yang profesional sebagaimana terjadi di Barat, tidak mudah dijawab. Dalam konteks transisi menuju demokrasi di Indonesia, diperlukan reposisi hubungan sipil-militer dalam arti yang menyeluruh, dan tidak hanya terbatas pada bidang politik saja.
3.
Perumusan Kebijakan Baru Untuk Menyelesaikan Hubungan dengan Rezim Sebelumnya
Tuntutan untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan akan hilang secara sederhana; jika luka-luka di masyarakat bersifat segar dan kejahatan-kejahatan bersifat luar biasa, perlupaan bukanlah merupakan suatu pilihan. Kasus Chile, pemerintah telah memilih sarana yang berbeda untuk berhubungan dengan masa lalunya, misalnya, dengan membuka kebenaran dari pelanggaran-pelanggaran HAM dan dorongan terhadap suatu pengakuan publik akan kejahatan-kejahatan dan bahkan suatu permintaan maaf terhadap para korban.
Komisi-komisi
kebenaran
digunakan sebagai
salah satu
mekanisme simbolis untuk memutuskan hubbungan dengan masa lalu. Kadangkala timbul suatu penyederhanaan konsepsi bahwa “kebenaran” lebih baik untuk keadilan dan bahwa laporan dari komisi-komisi kebenaran merupakan alternatif yang lebih baik bagi tuntutan-tuntutan pidana sejenis terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM. Yang pasti, tidak ada jaminan bahwa pengadilan-pengadilan merupakan sarana yang terbaik untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM, ataupun bahwa mereka merupakan suatu sarana yang tepat untuk seluruh keadaan. Karenanya, seseorang harus mengasumsikan untuk kepentingan suatu pendapat bahwa segala tuntutan untuk kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh para diktator sebelumnya harus dilakukan di bawah kondisi-kondisi legitimasi yang ketat, dan didasarkan pada penghormatan terhadap aturan-aturan hukum. Perlu adanya suatu argumen dari perspektif politik, hukum, dan moral yang kuat yang dibuat bagi peran pengadilan-pengadilan pidana dalam menetapkan landasan bagi suatu tatanan demokrasi yang sungguh-sungguh direnovasi. 4.
Demiliterisasi Tidak Hanya Berkaitan dengan Militer
Harold Crouch, seorang pengamat militer dari Australia, menyatakan bahwa kondisi baru yang mengarah ke arah demokratisasi di Indonesia telah memaksa TNI untuk mengubah doktrin fundamentalnya, termasuk Dwifungsi , selama ini dijadikan landasan untuk melegitimasikan kekuasaan politiknya. Kelompok reformis TNI berpendapat bahwa TNI tidak memliki pilihan lain kecuali menyesuaikan diri dengan kondisi baru tersebut. Berdasarkan hal itu, mereka kemudian memformulasikan apa yang mereka sebut sebagai “Paradigma Baru” sebagai pedoman bagi aktivitas-aktivitas politik TNI. Dalam formatnya yang orisinil, “Paradigma Baru” menyarankan agar militer tetap berperan dalam mempengaruhi perkembangan politik, tetapi tidak lagi memiliki aspirasi untuk mendominasi pemerintahan. Militer tetap akan melanjutkan
upaya-upaya
untuk
memberikan
pengaruh
politik,
namun
pengaruhnya harus secara tidak langsung, tidak bersifat langsung. Dan militer harus berbagi kekuasaan dengan kelompok sipil. Menurut Crouch, langkah-langkah yang dimaksud meliputi: (1) Reduction in military representation in the legislatures; (2) Elimination of “kekaryaan” (secondment of military officers to civilian position); (3) Political “neutrality”; (4) Separation of police from the military; (5) Defence orientation. C.
Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik
1.
Kasus Pembunuhan Steven Biko di Afrika Selatan
Steven Biko ditahan pada 18 Agustus 1977 dan meninggal pada 12 September 1977 di rumah sakit penjara Pretoria, dengan mulut penuh bekas pukulan dan berbusa. Dua pulu tahun kemudian, lima orang dari kelompok polisi yang membunuh Biko mengajukan permohonan pengampunan (amnesty) kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan. 2.
Makna Keadilan dalam Proses Rekonsiliasi Menurut Bronkhorst, jika masyarakat ditanya apakah para pelaku kejahatan serius atau pelanggaran HAM berat seharusnya dihukum, maka 99 persen akan menjawab “ya”. Itulah sebabnya mengapa banyak negara memiliki peraturan-peraturan hukum pidana. Dan tentu saja yang lebih nyata adalah bahwa sebenarnya hukum internasional sudah mengandung beberapa peraturan khusus yang berkaitan dengan upaya penuntutan dan pemberian hukuman. Ada persetujuan yang meluas di kalangan para ahli dan organisasiorganisasi Ham bahwa kewajiban untuk melakukan penuntutan secara alamiah didasarkan pada putusan-putusan yang ada dalam hukum i nternasional.
3.
Perspektif Hukum Internasional Dalam praktek perbedaan pendapat mengenai pelaksanaan HAM secara samar-samar terus berlangsung. Ada yang bersikap “outward looking” dan ada yang bersikap “inward looking”. Di Indonesia ada sebagaian masyarakat yang bersikap “outward looking” berpendapat bahwa semua ketentuan dari badan-badan internasional bersifat mengikat dan harus dilaksanakan. Kelompok yang bersikap “inward looking” berpendirian bahwa keputusankeputusan internasional memang perlu dihormati dan dilaksanakan, sebab
konsep “kedaulatan negara” yang selama ini dianut oleh masyarakat luas, telah sedikit banyak digerogoti oleh berkembangnya peran PBB dan fenomena globalisasi, terutama globalisasi ekonomi. Akan tetapi diyakini pula bahwa di negeri-negeri yang lemah ekonominya, disamping memenuhi hak-hak politik, fokus utama perlu ditujukan pada pelaksanaan hak asasi pembangunan. Hal itu krusial untuk terselenggaranya suatu pemerintahan yang berfungsi dan efektif. Sebab itulah uyang merupakan prasyarat untuk berdirinya suatu negara demokrasi yang terkonsolidasi. D.
Pengalaman Beberapa Negara
1.
Beberapa Negara Amerika Latin a.
Beberapa Karakteristik Transisi politik di Amerika Latin dan Eropa Selatan Faktor-faktor internasional lebih menguntungkan transisi politik yang terjadi di negara-negara Eropa Selatan. O’Donnell mencatat adanya heteroginitas yang lebih tinggi di Amerika Latin daripada di Eropa Selatan: tidak semua kasus di Amerika Latinyang memenuhi kategori otoriterisme birokratis sebelum memulai masing-masing transisi politik.
b.
Beberapa Rezim “Otoriterisme Birokratis” atau “Tradisional” Situasi rezim di beberapa negara Amerika Latin pra transisi politik sebagai “otoriterisme birokratis”. Ada pula yang menyebutnya “tradisional” mereka
memiliki
unsusr-unsur
patrimonialis,
bahkan
sultanis.
Ini
merupakan rezim yang paling rentan terhadap transformasi revolusioner. Rezim otoriter yang sebelumnya diganti oleh suatu rezim yang demokratis,
yang
benar-benar
berbeda
dengan
pemerintahan
sebelumnya. Senyatanya, rezim baru tersebut dapat dideskripsikan sebagai suatu demokrasi yang “mudah Hancur” atau suatu demokrasi yang “sulit”. Lebih jauh, kehadiran elemen-elemen tertentu dari kontinuitas dapat meningkatkan spekulasi tentang apakah perubahan dalam rezim tersebut telah lengkap atau tidak. c.
Peru Sebagai Suatu Negara Otoriterisme “Populis” Menurut Cotler, Peru termasuk dalam ‘keluarga” populis rezim. Di satu sisi, peran kelembagaan, seperti yang dipertentangkan dengan peran personal, yang dijalankan angkatan bersenjatanya memadai untuk memisahkan kasus Peru dari bentuk tradisional kediktatoran militer. Di sisi lain, rezim militer yang populis di Peru berlawanan dalam beberapa aspek penting dengan rezim birokratik otoriter.
d.
Perbedaan dengan Rezim Birokratik Otoriter perbedaan rezim populis Peru dengan Rezim birokratik otoriter adalah : ←
-
orientasi anti oligarkis dalam kebijakan rezim Peru; niatnya
untuk secara memperluas industri dan peran ekonomi negara di sebuah negeri yang tak seberapa maju dalam segi-segi tersebut; dan ketiadaan hasrat untuk menyingkirkan secara paksa sektor rakyat, melainkan untuk menggiatkan dan merangkum secara politis berbagai golongan di sektor ini. ←
-
represi politik muncul, yang tingkat dan intensitasnya tidak
membawa perubahan penting sehubungan dengan pola-pola yang ada sebelumnya. e.
Beberapa Kasus Lainnya
Ada kesimpulan yang kurang relevan jika diterapkan untuk masyarakat yang memiliki stratifikasi yang tidak begitu terdiferensiasi, atau juga yang dicirikan oleh praktek-praktek patrimonialis yang meluas dan ketiadaan perekonomian kapitalis. 2.
Beberapa Negara Non-Amerika Latin a.
Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Yunani Peranan para hakim dalam proses kembar transisi menuju demokrasi dan konsolidasi di Yunani sangat menarik untuk dieksplorasi secara sistematis. Keterlibatan
kalangan
Yudisial
dalam
rezim
baru
untuk
menyelesaikan soal keabsahan dari pendahulunya yang otoriter harus dipahami dalam konteks politik umum yang telah dijelaskan di muka. Tradisi yudisial Yunani terletak di dalam tradisi dominan hukum sipil di masyarakat Kontinental, sebagaimana diperlawankan dengan tradisi masyarakat Anglo-Saxon. Kenyataan ini telah memberikan pendalaman implikasi tentang peranan tempat, status sosial, dan pendidikan dari para hakim yang ditunjuk. Para hakim di Yunani ditetapkan untuk melakukan langkah sebagai sesuatu yang hanya berkedudukan sebagai “oprator dari suatu mesin yang didesain oleh para ilmuwan dan dibangun oleh para pembuat undang-undang”. b.
Konsepsi “Jalan tengah” di Jerman dan Cekoslovakia Baik
jerman
maupun Cekoslovakia
telah
mengalami
tingkat
kebebasan dan akses kepada arsip rezim masa lalunya. Dengan demikian resolusi-resolusi yang dialkukan di kedua negara tersebut
bersifat kompromistis, yang bersifat jalan tengah, yakni tidak terjadi perusakan terhadap arsip masa lalunya, namun juga tidak tidak dapat dilakukan akses sepenuhnya terhadap arsip tersebut. c.
Perspektif Beberapa Negara Lain Dalam perspektif negara-negara Eropa Tengah, para penyusun kebijakan Jerman dapat menikmati suatu kondisi unik dari unifikasi nasional untuk membimbing mereka dengan pengalaman 40 tahun menerapkan konsepsi negara hukumnya. Republik Federal
Jerman telah
menawarkan suatu rekaman
keadilan transisional yang tampaknya akan tetap tidak ada bandingannya dalam era pasca komunis
KEADILAN TRANSISIONAL
A.
Pengantar
1.
Pemutusan Kaitan dengan Masa Lalu, Pencairan Jalan Baru a.
Menghukum Masa Lalu, atau Membiarkan Kaitan dengannya Tetap Eksis Beberapa bangsa telah bereaksi terhadap masa lalunya yang kacau dengan cara menutup mata mereka secara kolektif. Beberapa
negara
lainnya
telah
mendapati
kesulitan
untuk
memelihara amnesia historisnya di hadapan korban-korban yang terusmenerus berjatuhan. b.
Pencarian Kebenaran, Rekonsiliasi, dan Keadilan
Menurut Dan Bronkhorst, dalam konteks keadilan dalam masa transisi terdapat beberapa kata yang merupakan bagian dari parameterparameter untuk menganalisis masalah-masalahyang berkaitan dengan keadilan transisional : Pertama, adalah kata kebenaran. Kedua, adalah kata rekonsilisasi, dengan alasan bahwa setiap masyarakat yang menjadi korban tindakan represif harus dipulihkan dari pengalaman masa lampaunya, dan mencapai kesepakatan mengenai syarat-syarat penyelesaian substansial dari konflik dan kekacauan tersebut. Ketiga, adalah kata keadilan, meskipun peran keadilan dalam proses transisi, dan prioritas yang diberikannya, berbeda-beda anatara satu bangsa dengan bangsa yang lain.
2.
Empat Permasalahan Utama : Politik Memori a.
Empat Permasalahan Utama 1.
Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap komitmen suatu rezim baru terhadap aturan-aturan hukum yang dilahirkannya?
2.
Tindakan-tindakan
hukum
apakah
yang
memiliki
signifikansi
transformatif? 3.
Apakah – jika ada – terdapat kaitan antara pertanggungjawaban suatu negara terhadap masa lalunya yang represif dan prospeknya untuk membentuk suatu tata pemerintahan yang liberal?
4.
Hukum
apakah
liberalisasi?
yang
potensial
sebagai
pengantar
ke
arah
b.
Beberapa
Sanksi
Terhadap
Kejahatan
Ham
Berat:
Putusan
Pengadilan Nuremberg Hampir keseluruhan dakwaan yang diajukan terbukti di persidangan, sehingga sekitar 19 orang terdakwa diputuskan harus menjalani hukuman, walaupun ada 1 orang – yaitu Bormann – yang dijatuhi hukuman secara in absentia karena tidak diketahui keberadaannya. Sementara juga terdapat 3 orang – Funk, von Papen, dan Fritzsche – yang dibebaskan karena dinilai tidak terbukti bersalah. c.
Politik Memori Dalam bahasa Alexandra Barahona de Brito, Carmen GonzalesEnriquez,
dan
Paloma
Aguilar,
keempat
permasalahan
utama
sebagaimana tersebut di atas disebut sebagai the politics of memory. Salah satu di antara permasalahan-permasalahan politik dan etika yang dihadapi selama masa transisi politik dari rezim otoriter atau totaliter ke rezim demokratis adalah bagaimana untuk menghadapi berbagai hal yang berkaitan dengan represi masa lalu. 3.
Beberapa Wacana tentang “Transitology” dan “Consolidology” a.
Tentang Terminologi “Transitology” dan “Consodology” Transitology menurut Schmitter adalah: This neo- and, perhaps, pseudo-science would explain, and, hopefully, guide the way from an autocratic to a democratic regime. Consodology menurut Schmitter adalah: Consodology has no such obvious
a
patron
saint.
It
reflects
a
much
more
consistent
preoccupationamong students of politics with the conditions underlying regime stability.
b.
Kemungkinan Kontradiksi antara Kedua Subdisiplin Schmitter melihat adanya kemungkinan terjadinya kontradiksi di antara tahapan-tahapan dari proses perubahan rezim dan ilmu-ilmu semu yang mencoba untuk menjelaskan hal tersebut. Terdapat suatu kondisi yang memungkinkan yang hampir kondusif menakhodai ketidakpastian dari transisi yang dapat berubah ke arah kondisi-kondisi yang mengikat yang dapat membuat konsolidasi menjadi semakin sulit.
c.
Sebelas refleksi Schmitter tentang “Considology” (1)
Refleksi Pertama, demokrasi bukan merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindarkan, dan dia dapat dicabut atau diubah.
(2)
Refleksi Kedua, transisi dari pemerintahan otokratis atau rezim otoriter dapat membawa hasil yang berbeda-beda.
(3)
Refleksi Ketiga, Bukanlah demokrasi yang dikonsolidasikan, namun satu atau tipe yang lain dari demokrasi.
(4)
Refleksi Keempat, tipe demokrasi akan tergantung secara signifikan (namun tidak eksklusif) pada model transisi dari otokrasi.
(5)
Refleksi Kelima, setiap tipe demokrasi memiliki jalannya masingmasing yang berbeda untuk mengkonsolidasi dirinya sendiri – khusunya iramanya dan urut-urutannya sendiri.
(6)
Refleksi Keenam, demokrasi merupakan satu-satunya bentuk yang sah dari dominasi politik.
(7)
Refleksi Ketujuh, peranan yang dimainkan oleh berbagai institusi perantara ini – partai-partai politik, perkumpulan-perkumpulan
kepentingan dan gerakan-gerakan sosial – telah mengalami perubahan yang tidak dapat ditarik kembali. (8)
Refleksi Kedelapan, transisi-transisi menuju demokrasi jarang terjadi dalam isolasi struktur sosio-ekonomi dan nilai-nilai budaya.
(9)
Refleksi kesembilan, tidak ada suatu jalan demokratis untuk memutuskan apakah yang seharusnya menjadi unit politis yang efektif.
(10) Refleksi Kesepuluh, demokrasi-demokrasi cenderung untuk muncul
dalam gelombang-gelombang. (11) Refleksi Kesebelas, merupakan sesuatu yang mungkin untuk
berpindah dari berbagai tipe otokrasi ke berbagai tipe demokrasi tanpa mengindahkan seperlunya prakondisi-prakondisi atau syaratsyarat bahwa ilmu politik telah lama dipertimbangkan sebagai hal yang sangat dibutuhkan untuk suatu tugas yang sedemikian besar dan sulit. B.
Konteks Internasional pada Waktu Transisi
1.
Internasionalisasi Permasalahan Penyelesaian masalah keadilan transisional telah meningkat menjadi suatu sumber yang saling mempengaruhi antara pemerintahan-pemerintahan baru yang menggantikan dan mereka-mereka yang berada di luar negeri.
2.
Hukum Internasional dan Keadilan Retroaktif
Dalam periode perubahan politik, hukum internasional menawarkan suatu konstruktif alternatif dari hukum yang, walaupun terdapat suatu perubahan politik yang substansial, tetap berlangsung dan kekal. 3.
Keadilan Retrospektif di Belgia, Perancia, dan Belanda Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para elit politik merupakan suatu fungsi dari kondisi-kondisi yang menjadi jalan ke arah demokratisasi. Tak ada satupun solusi ajaib untuk berhubungan dengan masa lalu yang represif.
4.
UU Lustrasi Cekoslovakia Pada tanggal 4 Oktober 1991, cekoslovakia memberlakukan Law on Lustration. UU ini mendapatkan kritisisme yang signifikan dari dalam maupun luar negeri. UU tersebut dipandang telah melanggar Pasal III dari konvensi ILO tentang diskriminasi di tempat kerja. Pada bulan Nopember 1992, MK Cekoslovakia menyatakan tidak sah pasal-pasal yang berkaitan dengan conscious collaborators, namun tetap membelakukan pasal-pasal lainnya.
5.
Akibat yang Lebih Signifikan dan empat Skenario Pascakomunis a.
Skenario Pertama Adalah apa yang disebut sebagai “becoming like the west”. Suatu negara pascakomunis secara gradual bertranformasi menjadi suatu negara demokratis pluralis yang stabil.
b.
Skenario Kedua Suatu pembedaan harus dibuat antara kelompok populis, nasionalis, militer, dan bahkan versi-versi – dengan asumsi adanya kemungkinan kembalinya ke sistem komunis lama.
c.
Skenario Ketiga Secara esensial tidak mengarah kepada transisi jangka panjang, dimana pemerintah berubah dengan frekuensi yang abnormal, dan tetap berupaya untuk mengubah arah.
d.
Skenario Keempat Skenario yang tidak dapat atau tidak seharusnya dideskripsikan; ia tidak dapat diprediksi, sejak ia tidak dapat disesuaikan dengan kategorikategori yang eksis sebelumnya.
C.
Keadilan dalam Masa Transisi Politik
1.
Pandangan Kelompok Realis versus Kelompok Idealis Dalam perdebatan tentang hubungan hukum dan keadilan dengan liberalisasi, terdapat 2 (dua) pandangan yang saling berhadapan yang saling berhadapan, yakni pandangan kelompok realis versus kelompok idealis, dalam kaitannya dengan kenyataan bahwa hukum harus menunjang pembangunan demokrasi. Pandangan tersebut sebagai berikut : apakah perubahan politik dianggap penting untuk mendahului penegakan aturan-aturan hukum, atau sebaliknya, beberapa langkah hukum justru harus dilakukan mendahului perubahan politik.
2. Hukum Hanyalah Suatu Produk dari Perubahan politik Transisi yang liberal terjadi terdiri dari suatu urutan dimana perubahan politik harus dilakukan terlebih dahulu. Respon-respon transisional dari suatu negara dijelaskan secara luas dalam konteks desakan-desakan politik dan kelembagaan. Keadilan yang dicari dalam masa ini hanya dapat dijelaskan
dengan cara yang terbaik dalam konteks penyeimbangan kekuasaan. Hukum hanyalah suatu produk dari perubahan politik. Keadilan tarnsisional mungkin merupakan suatu isu yang vital bagi sebagian negara, namun bagi beberapa negara yang lain, hal itu tidak demikian. 3.
Tergantung pada Hubungan antara Hukum dan Politik Menurut Mahfud, dalam realitanya, ternyata hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya. Poltik seringkali melakukan melakukan intervensi terhadap pembuatan dan pelaksanaan hukum.
D.
Dilema Penerapan Aturan Hukum
1.
Dasar Hukum Membawa Rezim Masa lalu ke Pengadilan Menurut Teitel, dalam periode transformasi politik, masalah legalitas adalah berbeda dengan masalah dalam teori hukum sebagaimana ia muncul dalam demokrasi-demokrasi yang mantap dalam waktu-waktu yang normal. Terdapat suatu penyusunan dari pertanyaan-pertanyaan inti tentang legitimasi dari rezim baru, termasuk kondisi dan peranan dan pengadilan transisional. Pilihan terhadap prinsip-prinsip ajudikasi mengimplikasikan suatu pertanyaan yang terkait dengan dimana, sebagai suatu masalah institusional, pekerjaan transformasi seharusnya diletakkan: pada pengadilan atau badan pembuat uu (parlemen)
2.
Perdebatan Hukum tentang Penyelenggaraan Persidangan terhadap Para Mantan Kolaborator Nazi Diselenggarakannya persidangan Nuremberg – yang kemudian diikuti dengan proses penghukuman yang dilakukan terhadap para terdakwanya yang
pada intinya menyatakan bahwa aturan hukum mengandung arti bahwa ia juga memutuskan hubungan dengan rezim hukum Nazi; karenanya, para mantan kolaborator Nazi harus diadili dengan dasar hukum yang baru lebih diterapkan untuk menyelesaikan kasus ini.
TANGGAPAN
Proses transisi politik di Indonesia dimulai pada tahun 1998 dengan munculnya gerakan reformasi yang dimotori oleh para mahasiswa. Gerakan tersebut ditunjang juga dengan melemahnya kondisi ekonomi Indonesia akibat krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1997. Gerakan ini menganggap banyak terjadi ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Menurut Jimly Ashidiqie, Semua peristiwa yang mendorong munculnya gerakan kebebasan dan kemerdekaan selalu mempunyai ciri-ciri hubungan kekuasaan yang menindas dan tidak adil, baik dalam struktur hubungan antara satu bangsa dengan bangsa yang
lain maupun dalam hubungan
antara satu
pemerintahan dengan rakyatnya. Dalam wacana perjuangan untuk kemerdekaan dan hak asasi manusia pada awal sampai pertengahan abad ke-20 yang menonjol adalah perjuangan mondial bangsa-bangsa terjajah menghadapi bangsa-bangsa penjajah. Karena itu, rakyat di semua negara yang terjajah secara mudah terbangkitkan semangatnya untuk secara bersama-sama menyatu dalam gerakan solidaritas perjuangan anti penjajahan.1 Sukses atau gagalnya suatu transisi demokrasi menurut M. Akil Mochtar, SH. MH., sangat tergantung pada empat faktor kunci yaitu (1) komposisi elite politik, (2) desain institusi politik, (3) kultur politik atau perubahan sikap terhadap politik dikalangan elite dan non-elite, dan (4) peran masyarakat madani (civil society).2
1
Jimly Asshiddiqie, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: 2005, hal. 10-11.
2
M. Akil Mochtar, SH. MH., Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: 2005, hal.4.
Menurut M. Akil Mochtar, SH. MH. dalam rangka upaya membangun demokrasi di Indonesia maka diperlukan adanya 8 faktor pendukung sebagai berikut:3 1) Keterbukaan sistem politik 2) Budaya politik partisipatif egalitarian 3) Kepemimpinan politik yang berorientasi kerakyatan 4) Rakyat yang terdidik, cerdas dan peduli 5) Partai politik yang tumbuh dari bawah 6) Penghargaan terhadap hukum 7) Masyarakat Madani yang tanggap dan bertanggung jawab 8) Dukungan dari pihak asing dan pemihakan pada golongan mayoritas Setelah reformasi berjalan, keinginan militer untuk berkecimpung dalam dunia politik masih sangat besar. Padahal gerakan reformasi secara politik telah mengariskan kehidupan sosial politik Indonesia setelah mundurnya Soeharto, harus bebas dari segala bentuk cengkeraman militer. Makna yang terkandung dalam semangat itu adalah konsolidasi demokrasi harus memungkinkan terjadinya pembenahan-pembenahan institusi kenegaraan demi mengupayakan pewujudan tatanan politik yang demokratis. Prasyarat utama untuk mewujudkan konsolidasi demokrasi itu adalah menghapus seluruh pranata militer yang dikenal sebagai asas Dwifungsi ABRI dan struktur teritorial militer. Secara resmi, alasan untuk menghapus kedua hal itu tertuang dalam TAP MPR Nomor VI tahun 2000 tentang Pemisahan Institusi TNI dan Polri yang 3
Ibid, hal. 4.
menyatakan bahwa: “peran sosial politik dalam Dwi-fungsi ABRI menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi TNI dan POLRI yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.” Kristalisasi gagasan reformasi militer, sebagaimana tertuang dalam TAP MPR diatas, yang menjadi agenda utama dari gerakan demokratisasi di tahun 1998, dan kemudian disuarakan oleh masyarakat luas terutama kalangan mahasiswa, akademisi dan kelompok pro-demokrasi seperti lembaga swadaya masyarakat. Alasan kuat untuk sesegera mungkin menghapus peranan sosial politik militer yang disebut sebagai dwi-fungsi ABRI itu adalah ABRI telah menjadikan perannya berdwifungsi itu sebagai senjata utama untuk mematikan segala bentuk kehidupan yang demokratis. Dalam posisi seperti itu, ABRI (TNI AD) menjadi satu-satunya institusi politik yang berkuasa dan dapat mengatur sendiri seluruh kehidupan masyarakat. Menurut Robert P Clark, Intervensi angkatan bersenjata dalam politik suatu negara diakibatkan situasi-situasi seperti ini:4 1.
Jatuhnya prestise
pemerintah
atau
partai
politik
yang
memegang
pemerintahan, menyebabkan rezim yang bersangkutan semakin banyak menggunakan paksaan untuk memelihara ketertiban dan untuk menekankan perlunya persatuan nasional dalam menghadapi krisis, yang selanjutnya menyebabkan penindasan terhadap perbedaan pendapat; 2.
Perpecahan antara atau diantara pemimpin-pemimpin politik, menimbulkan keragu-raguan pada komandan-komandan militer apakah rezim sipil masih mampu untuk memerintah secara kolektif;
4
Robert P Clark, Menguak Kekuasaan dan Politik Di Dunia Ketiga, (Jakarta:
Penerbit Erlangga,1989) hal 155-156.
3.
Kecilnya kemungkinan terjadinya intervensi dari luar oleh negara yang besar atau oleh negara-negara tetangga dalam hal perebutan kekuasaan;
4.
Pengaruh buruk dari perebutan kekuasaan oleh militer di negara-negara tetangga; Lebih jauh mengenai fungsi militer dalam negara demokratis bisa kita pelajari
dari prinsip-prinsp yang ditawarkan Mayor Jenderal (Purnawirawan) Dr. Dietrich Genschel. Prinsip-prinsip dimaksud, adalah sebagai berikut: 5 1.
Militer
merupakan
bagian
dari
kekuasaan
eksekutif
suatu
tatakelola
pemerintahan. Dengan demikian, militer merupakan elemen pemisahan kekuasaan dalam sistem politik yang demokratis, yang ditandai dengan pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. 2.
Militer berada di bawah kepemimpinan politik yang telah disahkan secara demokratis, dengan jabatan menteri pertahanan dipegang oleh sipil.
3.
Militer mengikuti pedoman politik yang digariskan.
4.
Militer patuh dan tunduk pada hukum.
5.
Militer dibatasi oleh tugas-tugas yang telah ditetapkan oleh konstitusi; secara reguler menjaga keamanan eksternal negara (dari serangan atau ancaman dari luar) dan menjaga pertahanan negara. Dalam kasus-kasus tertentu dengan situasi dan batas-batas tertentu yang digariskan secara jelas. (Militer dapat dilibatkan) dalam upaya-upaya untuk menjaga keamanan internal negara dibawah komando polisi.
6.
Militer bersifat netral dalam politik.
7.
Militer tidak dibenarkan memiliki akses untuk memperoleh dukungan-dukungan keuangan diluar anggaran pendapatan dan belanja negara.
5
Dietrich Genschel dalam Kontras, Politik Militer dalam Transisi demokrasi di Indonesia, Jakarta: 2003, hal. 20-22
8.
Militer dikendalikan oleh parlemen, kepemimpinan politik, kekuasaan kehakiman, dan masyarakat sipil secara umum.
9.
Militer memiliki tanggung jawab yang jelas berdasarkan keahlian profesional yang dimilikinya dan dengan itu, memiliki harkat dan martabatnya.
Untuk menunjang prinsip-prinsip sebagaimana diutarakan di atas diperlukan prasyarat: 1.
Kerangka konstitusi ; menetapkan nilai-nilai sosial (martabat manusia dan hak asasi manusia) dan pemerintah yang berdasarkan pada hukum, menetapkan pemisahan
kekuasaan
(kekuasaan
legislatif,
eksekutif,
yudikatif),
mendefinisikan peran dan tugas militer; 2.
Parlemen yang berfungsi ; (dipilih melalui) pemilihan secara bebas, (bersifat) multi partai, (dan memiliki) substruktur-substruktur yang perlu (seperti panitia anggaran, panitia pertahanan, ombudsman parlemen);
3.
Pemerintahan sipil; dengan rantai komando (politik) yang jelas. Presiden, Menteri Pertahanan dan dengan menempatkan Kepala Pertahanan dibawah Menteri Pertahanan – di Jerman mata rantai Komando ini mulai dari Presiden ke Perdana Menteri, dan seterusnya;
4.
Kekuasan kehakiman yang mandiri ; tanpa pengadilan pengadilan khusus yang berada di luar tanggungjawabnya (seperti pengadilan militer);
5.
Organisasi militer ; yang terstruktur, terdidik, dan terpimpin sedemikian rupa sehingga tidak mencampuri atau membahayakan masyarakat sipil, tetapi dengan tetap mempertahankan efektivitas militer yang tinggi;
6.
Masyarakat sipil yang matang; yang bersatu di bawah ketentuan-ketentuan dasar konstitusi dan mengambil sikap pluralistik tetapi toleran dalam kehidupan bermasyarakat, yang pada gilirannya memerlukan;
7.
Publik terdidik ; yang bersedia berpartisipasi dalam kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat, mampu menyeimbangkan kebebasan individual dan kemandirian dengan komitmen terhadap kebaikan bersama
(termasuk
pertahanan), serta media yang bebas dan beragam; 8.
Elit militer dan elite politik yang kompeten
9.
Pemegang jabatan pada kantor-kantor publik (baik sipil maupun militer) yang memiliki kepercayaan diri, bersedia memenuhi kewajiban, memikul tanggung jawab, dan menerima pembatasan-pembatasan (maksudnya; pegawai negeri tidak perlu takut pada militer. Sebaliknya, personil militer hendaknya memenuhi kewajiban-kewajiban mereka dengan bangga dalam batasan-batasan hukum yang diberikan).
Sementara
beberapa hal
pokok
yang perlu
ditempatkan dibawah
politik/parlemen adalah: 1. Hubungan sipil dan militer—integrasi militer ke dalam masyarakat; 2. Kerangka hukum, kesejahteraan sosial dan keamanan; 3. Gaya kepemimpinan, pelatihan dan pendidikan; 4. Kesiapan tempur.
kendali