PITIRIASIS ALBA
I.
PENDAHULUAN Pitiriasis alba merupakan kelainan kulit yang sering terjadi pada anak yang bermanifestasi sebagai lesi hipopigmentasi dengan skuama halus. 1 Bercak biasanya multiple 4-20 dengan diameter antara ½ - 2 cm. Pada anakanak lokasi kelainan pada muka (50-60%). Penyakit ini dapat terjadi pada semua jenis kulit. Atopi, xerosis, paparan sinar matahari, kelembapan kulit, kebersihan kulit, dan defisiensi mineral adalah faktor resiko yang potensial. 2 Penyakit ini 30-40% terjadi pada anak usia 3-16 tahun. 3 Pitiriasis alba pertama kali ditemukan oleh Gilbert tahun 1860 dan digolongkan
sebagai
penyakit
bersisik
pada
saat
ini
pitiriasis
alba
digolongkan sebagai bentuk inflamasi dermatosis dan mempunyai beberapa nama yang berbeda dengan melihat aspek klinis pada lesi. Nama-nama yang sering digunakan adalah seperti pityriasis alba faciei dan pityriasis alba simplex.4
Tidak ada penyebab yang spesifik untuk pitiriasis alba. Namun, beberapa penelitian menjelaskan bahwa setidaknya beberapa penyebab untuk pitiriasis alba. 4
II. EPIDEMIOLOGI Pitiriasis alba merupakan kelainan kulit yang cukup sering terjadi pada anak-anak dan remaja. 5 Pada sebuah penelitian pada 9.955 anak sekolah dengan usia 6-16 tahun yang tinggal di daerah tropis, didapatkan prevalensi pitiriasis alba adalah 9,9%. 6,7 Menurut sumber lain penyakit ini 30-40% terjadi pada anak usia 3-16 tahun. 3 Prevalensi wanita yang mengalami penyakit ini 1
lebih tinggi dibanding dengan laki-laki. Pitiriasis alba sering terjadi pada anak usia 3-16 tahun yang 90% terjadi pada anak dibawah usia 12 tahun, namun terkadang dapat timbul pada orang dewasa. 5
III. ETIOPATOGENESIS Menurut pendapat beberapa ahli diduga adanya infeksi Streptococcus sp, tetapi belum dapat dibuktikan. Atas dasar riwayat penyakit dan distribusi
lesi diduga impetigo dapat merupakan faktor pencetus. Pitiriasis alba juga merupakan manifestasi dermatitis non spesifik, yang belum diketahui penyebabnya. 3 Beberapa kemungkinan penyebab pitiriasis alba; pertama, ada peningkatan insiden pada orang yang sering mandi, menyimpulkan bahwa penghilangan defensin epidermal normal dan zat pelindung alami lainnya dari permukaan kulit, membuat orang lebih rentan terhadap pitiriasis alba. Tentu saja, peradangan kulit dapat mempengaruhi fungsi sel pigmen. Kedua, fotosensitifitas juga mungkin memainkan peran dalam insidensi terjadinya pitiriasis alba. Puncak insidensi dari pitiriasis alba bertepatan dengan usia ketika anak-anak mulai melakukan kegiatan yang lebih sering diluar ruangan. Dengan demikian, melanosit tampaknya lebih sensitif pada penderita. Hipopigmentasi juga dapat dijelaskan karena kerusakan melanosit dan penghambatan tirosinase oleh asam azelic (inhibitor kompetitif tirosinase) dan metabolit tryptophan yang diproduksi oleh jamur, yaitu Malassezia furfur . Propionibacterium acnes bakteri, yang hidup di rambut folikel, telah dianggap
sebagai produsen dari kemungkin hipotetis faktor depigmentasi. 8 Pada sebuah penelitian yang terdiri dari 9 orang dengan pitiriasis alba didapatkan densitas dari melanosit fungsional berkurang pada daerah yang terinfeksi tanpa adanya perubahan aktivitas sitoplasmik. Melanosom terlihat lebih sedikit dan lebih kecil, tetapi distribusi pada keratinosit normal. Penyaluran melanosom ke keratinosit secara umum tidak terganggu. 2
Hipopigmentasi terjadi terutama akibat jumlah melanosit aktif yang berkurang dan penurunan jumlah dan ukuran melanosom pada kulit yang terinfeksi.
1
Secara klinis, pitiriasis alba biasanya dimulai sebagai makula merah muda dengan tepi tinggi. Setelah beberapa minggu, hal tersebut memudar, meninggalkan hipopigmentasi, yaitu sebuah tempat dengan skala putih bubuk. Kebanyakan lesi muncul di wajah tetapi juga dapat memenuhi ekstremitas atas dan kadang-kadang ekstremitas bawah. Di sisi lain, dapat muncul sebagai sisik hiperpigmentasi kebiruan dengan patch dikelilingi oleh rim hipopigmentasi variabel lebar pada hampir semua pasien. 9 Penyakit ini juga dapat digolongkan sebagai kelainan kulit yang timbul setelah inflamasi, diduga karena inflamasi dapat menyebabkan gangguan sel pigmen. Bakteri Propionibacterium acnes yang hidup dalam folikel rambut, dianggap mampu memproduksi faktor depigmentasi secara teoritis. Pada anak-anak dengan jerawat komedo atau popular, Propionibacterium acnes memproduksi sejumlah faktor virulen bioaktif yang merupakan agen inflamasi dan imunomodulatornya. Sejumlah enzim ekstraseluler dan metabolit secara langsung dapat merusak jaringan host , termasuk melanosit. 10
IV. GAMBARAN KLINIS Lesi berbentuk bulat, oval, atau plakat yang tidak teratur. Warna merah muda atau sesuai warna kulit dengan skuama halus. Setelah eritema menghilang, lesi yang dijumpai hanya depigmentasi dengan skuama halus. Lesi juga dapat dijumpai di ekstremitas dan badan. Lesi umumnya menetap, terlihat sebagai leukoderma setelah skuama menghilang. 3 Hipopigmentasi pada
pitiriasis
alba
tidak
komplit
yang
bertolak
belakang
dengan
hipopigmentasi pada vitiligo. 11 Penyakit ini bermanifestasi sebagai plak multipel simetris 0,5 – 4 cm, biasanya di wajah, terutama di pipi. 11 3
Gambar I - Tampak lesi hipopigmentasi multipel pada daerah wajah st
S u m b e r : B u s a m K J . P i t y r i as i s A l b a . De r m a t o p a t h o l o g y . 1 ed. USA: Elsev ier; 2010.
Pitiriasis alba yang luas ( extensive PA), lebih sering terlihat pada orang dewasa, dengan ciri-ciri klasik yang sama, terdistribusi lebih luas yang seringkali melibatkan ekstremitas bawah dalam pola yang simetris. Ketiadaan fase inflamasi yang mendahului dan ketiadaan spongiosis membedakan dari bentuk yang klasik. Terdapat hipotesis tumpang tindih dari bentuk khusus ini dengan hipomelanosia makular yang progresif, yang terutama terjadi pada wanita dewasa muda, dengan bercak tanpa sisik, hipopigmentasi, terjadi berulang, melibatkan punggung, khususnya setelah musim panas. 10 Pitiriasis alba yang terpigmentasi dianggap sebagai varian dari pitiriasis alba yang klasik dengan infeksi dermatofit superfisial yang hampir selalu mengenai wajah. Secara klinis dicirikan oleh hiperpigmentasi kebirubiruan yang dikelilingi oleh daerah hipopigmentasi bersisik. Area yang terpigmentasi menunjukkan deposit melanin dalam dermis. Sepertiga dari pasien secara bersamaan mengalami pitiriasis alba klasik. 10
4
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan adalah pemeriksaan histopatologi dari biopsi kulit. Pemeriksaan histopatologi dari biopsi kulit tidak banyak membantu karena tidak patognomonik untuk menegakkan diagnosis, sebagian besar hasilnya adalah dermatitis non-spesifik ringan kronik dengan penurunan produksi melanin. 1 Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan adanya: - Ireguler atau penurunan pigmen melanin dari stratum basale secara signifikan. 5 - Tidak ada perbedaan jumlah melanosit yang berarti antara lesi dengan kulit normal. 5 - Penurunan jumlah melanosit aktif dan penurunan jumlah dan ukuran melanosom pada kulit yang terinfeksi. 5
Gambar II – Hasil pemeriksaan patologi anatomi tampak penebalan stratum korneum. Sumber: Crowe MA. Pediatric P. Alba. Medscape. 2013. Available from: th http://emedicine.medscape.com/article/910770-overview#a0101. Accessed at July 14 2014. 5
Hasil
pemeriksaan
struktur
ultra
menemukan
bahwa
selain
pengurangan pigmen pada lesi kulit, tidak terdapat terdapat perbedaan pada melanosit antara kulit yang memiliki lesi dan normal pada pasien yang sama, walaupun penemuan ini masih diperdebatkan. Perubahan degeneratif berupa menurunnya jumlah melanosit dan berkurangnya jumlah dan ukuran melanosom keratinosit juga ditemukan melalui mikroskop cahaya dan elektron pada lesi. Secara keseluruhan kelainan ini dianggap diakibatkan oleh penurunan melanin. 12
VI.
DIAGNOSIS Diagnosis pitiriasis alba dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Biasanya terjadi pada anakanak yang berusia 3-16 tahun. 12 Penilaian immunoexpression jaringan untuk dermal dendrocyte yang ditandai dengan faktor XIIIa di kulit, dapat
menunjukkan perbedaan lesi pada pitiriasis alba yang signifikan secara statistik dalam kaitannya dengan dermatitis atopi. Hal ini menunjukkan bahwa pitiriasis alba dan dermatitis atopi adalah bentuk-bentuk klinis yang berbeda dalam spektrum atopi penyakit, dimana radiasi sinar matahari memainkan peran kunci dalam modulasi perkembangan penyakit kearah inflamasi. 13
VII.
DIAGNOSIS BANDING Pitiriasis alba merupakan penyakit kulit yang bisa didiagnosis dengan gambaran klinis dan jarang memerlukan konfirmasi tes laboratorium. Gejala klinis utama dari pitiriasis alba adalah hipopigmentasi. Pitiriasis alba dapat didiagnosis banding dengan pitiriasis versikolor dan vitiligo. 12
6
Tabel I – Berbagai penyebab hipopigmentasi. Kongenital
Albinisme
Didapat (A c q u i r e d )
Vitiligo
Fenilketonuria
Sutton’s halo naevi
Sklerosis tuberose
Lepra tipe tuberkoloid
Nevi hipokromik
Pitiriasis (tinea) versikolor
Pitiriasis alba
Liken sklerosus dan atrofikus
Hipopigmentasi setelah peradangan st
S u m b e r : B u s a m K J . P . A l b a . De r m a t o p a t h o l o g y . 1 ed. USA: Elsev ier; 2010.
1. Pitiriasis versikolor Pitiriasis versikolor adalah infeksi jamur superfisial pada stratum korneum yang disebabkan oleh jamur Malassezia furfur yang pertama kali ditemukan pada tahun 1846 . Penelitian terbaru menunjukan bahwa mayoritas pitiriasis versikolor disebabkan oleh Malassezia globosa.14
7
Gambar II - Tampak makula hipopigmentasi pada daerah toraks dan abdomen Sumb er: Paltiel M. Tinea Versico lor. Adult and Pediatric Dermatology . Available f r o m : h t t p : / /w w w . ad u l t a n d p e d i at r i c d e r m a t o l o g y .c o m / t in e a v er s i c o l o r . p h p . A c c e s s e d a t th
J u l y 1 4 2014.
Makula secara tipikal sering terjadi pada punggung bagian atas dan dada tetapi juga dapat terjadi pada lengan atas, leher dan wajah . Pemeriksaan dengan lampu Wood akan menunjukkan adanya fluoresensi berwarna kuning keemasan pada daerah yang berskuama. Pemeriksaan KOH dari skuama penderita ini mengandung hifa dan bentuk jamur. 14,15 Dari gambaran klinis, sisik yang tipis dan distribusi lesi biasanya mengarahkan diagnosis. Diagnosis banding meliputi bentuk hipopigmentasi terlokalisir, khususnya kondisi kulit yang setelah mengalami inflamasi. 10 Pitiriasis versikolor juga berbatas tegas dan biasanya bersisik. Pemeriksaan potassium hydroxide (KOH) dari kerokan skuama harus didapatkan jika
timbul keraguan. Pada vitiligo, bercaknya lebih putih, dengan batas yang lebih jelas dan selalu tidak disertai sisik. 16
8
2. Vitiligo Vitiligo adalah gangguan autoimun progresif dapatan dengan gambaran klinis makula berwarna putih. Penyakit ini memiliki lokasi lesi pada tempattempat yang tidak biasa pada pitiriasis alba. 5 Wajah adalah lokasi yang sangat umum untuk vitiligo tetapi distribusinya biasanya paling sering di sekitar mata atau mulut. 3,11
Gambar III - Tampak makula hipopigmentasi berbatas tegas pada wajah Sumb er: Crowe MA. Pediatric Pityriasis Alb a. Medscape. 2013. Available from : http: //emedicine.medsc ape.com /article/910770-overview#a0101. A c c e s s e d a t th J u l y 1 4 2013.
Hipopigmentasi yang jelas terkadang salah didiagnosis dengan vitiligo. Pada vitiligo, bercaknya lebih putih, dengan batas yang lebih jelas dan selalu tidak disertai sisik. Pada anak yang lebih besar dan dewasa, lesi pada trunkus, sepanjang fase eritematosa, mungkin salah didiagnosis dengan psoriasis tetapi distribusi dan sisik yang relatif ringan dapat menyingkirkan diagnosis ini. Mycosis fungoides, walaupun relatif jarang, dapat menirukan lesi pityriasis alba. Kondisi ini sulit dibedakan secara histologis, sehingga tindak lanjut dan biopsi ulangan kadang diperlukan. 12 Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pitiriasis alba dapat berubah menjadi vitiligo; pertama kerentanan genetik pada keluarga yang 9
positif vitiligo (31.25%). Kedua, persentase yang tinggi (43.75%) dari penderita pitiriasis alba yang berlanjut menjadi vitiligo dan hubungan yang kuat antara pitiriasis alba dan fenomena Koebner (34,35%). 17 Tabel II - Perbandingan Diagnosis Banding Pitiriasis Alba. Pitiriasis Versicolor
3-16 tahun
Segala usia
Pipi (simetris)
Punggung, dada
Atopi, paparan sinar
Atopi, paparan sinar
Genetik, penyakit
matahari, kelembapan
matahari, kelembapan
autoimun
kulit, kebersihan
kulit, kebersihan
Usia Predileksi Faktor resiko
Vitiligo
Pitiriasis Alba
10-30 tahun Sekitar mata dan mulut
Makula Klinis
hipopigmentasi multipel,skuama
Makula hipopigmentasi Makula hipopigmentasi
berbatas tegas
halus, simetris Pemeriksaan penunjang
KOH
KOH
Biopsi kulit
Biopsi kulit
Lampu Wood Biopsi kulit
th
Sumb er: Soepardiman L. Pitiriasis Alba. Ilmu Peny akit Kulit dan Kelamin . 5 ed. Jakart a: Balai Penerb it FK UI; 2007. p. 333-334 .
VIII. PENATALAKSANAAN Umumnya mengecewakan. Skuama dapat dikurangi dengan krim emolien. Dapat dicoba dengan preparat ter, misalnya likuor karbonas detergens 3-5% dalam krim atau salap, setelah dioleskan harus banyak terkena matahari. 3 Pengurangan segala bentuk faktor resiko dengan edukasi pasien untuk memperbaiki perawatan dan kebersihan kulit, penggunaan lubrikan dan emolien, terapi kortikosteroid topikal pada inflamasi, terapi baru dengan obat anti inflamasi topikal seperti penghambat calcineurin memegang peranan 10
penting dalam mendorong remisi ataupun resolusi. 2 Telah diteliti bahwa tacrolimus adalah pengobatan yang efektif untuk pitiriasis alba. Didukung
oleh beberapa penelitian yang mengatakan bahwa penyebab utama pitiriasis alba adalah faktor inflamasi. 18 Hindari hal-hal yang menjadi faktor resiko seperti pajanan matahari dan mandi berlebihan dan menggunakan air panas, serta cukupi kebutuhan nutrisi. Jika faktor pencetusnya adalah
eczema ringan, terapi dengan
kortikosteroid lemah seperti hidrokortison 0.5% atau 1%, atau krim yang mengandung penghambat calcineurin seperti tacrolimus dan pimecrolimus, juga sering diresepkan. Sisik dapat dikurangi dengan krim emollient lunak dan untuk lesi kronik pada trunkus pasta tar ringan mungkin berguna. Bagaimanapun, abnormalitas pigmentasi membutuhkan waktu berbulanbulan untuk mengalami perbaikan. Syndets (synthetic balanced detergents ) dapat digunakan untuk mencuci muka karena kurang bersifat iritatif dibandingkan sabun alkali. Pelembab dapat digunakan dua kali sehari, dan setelah
mencuci
wajah.
Tanning
tidak
membantu,
malah
semakin
menonjolkan perbedaan bila terlalu sering dilakukan. 16 Pitiriasis alba memiliki prognosis yang baik. Depigmentasi yang terjadi tidak permanen dan biasanya sembuh spontan dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun. Durasi gejala berbeda pada setiap individu. Pengobatan dapat mempersingkat durasi lesi sampai beberapa minggu.
IX.
19
KOMPLIKASI Kulit yang terkena pitiriasis alba dapat terbakar saat terkena sinar matahari. Menggunakan tabir surya dan pelindung sinar matahari lain dapat membantu mencegah kulit terbakar. 19
11
X.
PROGNOSIS Pitiriasis alba merupakan penyakit yang tidak menimbulkan mortalitas. Pada umumnya penyakit ini menghilang menjelang usia pubertas dan dapat berjalan kronis. 19
XI.
KESIMPULAN Pitiriasis alba merupakan penyakit kulit yang tidak menular, ditandai dengan makula atau bercak dengan hipopigmentasi dan sisik tipis. Penyakit ini lebih banyak mengenai anak dan remaja, tanpa kecenderungan terhadap ras dan jenis kelamin tertentu. Etiologi dan patogenesisnya belum jelas, diduga berkaitan dengan riwayat atopi, paska inflamasi kulit, pajanan sinar matahari, kebiasaan mandi, maupun nutrisi. Proses hipopigmentasi diduga terkait dengan gangguan pada sel pigmen kulit. 20 Diagnosis
dapat
ditegakkan
melalui
anamnesis
faktor
resiko,
pemeriksaan fisik dan penunjang untuk menyingkirkan diagnosis banding. Distribusi lesi, pemeriksaan lampu Wood dan riwayat inflamasi sebelumnya merupakan hal yang penting dalam mempersempit diagnosis banding. 20 Beberapa penelitian telah menemukan hubungan antara kejadian pitiriasis alba dengan jumlah paparan sinar matahari, kurangnya tabir surya yang
digunakan, serta frekuensi mandi. Membatasi faktor-faktor tersebut
dapat membantu penurunan kejadian dan meringankan gejala. Emolien dan kortikosteroid topikal ringan juga dapat membantu dalam mengobati pitiriasis alba dan mungkin memiliki efek terbatas dalam mempercepat proses repigmentasi. 20
12
DAFTAR PUSTAKA 1.
Zaynoun ST, Aftimos BG, Tenekjian KK, et al. Extensive pityriasis alba: a histological histochemical and ultrastructural study. Br J Dermatol . Jan 1993;108(1):83-90.
2.
Jadotte YT, Janniger CK. Pityriasis alba revisited: perspectives on an enigmatic disorder of childhood. New Jersey Medical School. 2011 Feb. Available
from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21416771.
Accessed at July 15 th 2014. 3.
Soepardiman L. Pitiriasis Alba. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5 th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. p. 333-334.
4.
Levine N, Levin CC. Dermatology Therapy A to Z Essential. New York: Springer; 2004. p. 462.
5.
Crowe MA. Pediatric Pityriasis Alba. Medscape. 2013. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/910770-overview#a0101. Accessed at July 14 th 2014.
6.
Bechelli LM, Haddad N, Pimenta WP, et al. Epidemiological survey of skin diseases in schoolchildren living in the Purus Valley (Acre State, Amazonia, Brazil). Dermatologica . 1991;163(1):78-93. Accessed at July 14th 2014.
7.
Sori T, Nath AK, Thappa DM, Jaisankar TJ. Hypopigmentary disorders in children in South India. Indian J Dermatol . Sep-Oct 2011;56(5):546-9. Accessed at July 14 th 2014.
8.
Burkhart CG, Burkhart CN. Pityriasis Alba: A Condition with Possibly Multiple Etiologies. In: The Open Dermatology Journal. North Carolina;
2009. 9.
Al-Shahwan MA. Pigmenting Pityriasis Alba. In: Journal of the Saudi Society of Dermatology and Dermatologic Surgery . Riyadh; 2012.
10.
Lapeere H, et.al. Hypomelanoses and Hypermelanoses . In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. 13
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7 th ed. New York:
McGraw-Hill Companies, Inc; 2008, vol: 1. p. 623-624. 11.
Busam KJ. Pityriasis Alba . In: Dermatopathology . 1 st ed. USA: Elsevier; 2010.
12.
Holden CA and Jones BJ.
Eczema, Lichenification, Prurigo and
Erythroderma. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 7 th ed. Massachusetts: Blackwell;
2004. p. 737-738. 13.
Carneiro FRO, Mendes MD et all. Tissue immunostaining for factor XIIIa in dermal dendrocytes of pityriasis alba skin lesions. In: Journal of Medicine. Brazil; 2014.
14.
Paltiel M. Tinea Versicolor. Adult and Pediatric Dermatology. Available from: http://www.adultandpediatricdermatology.com/tineaversicolor.php. Accessed at July 15 th 2014.
15.
Burkhart CG. Tinea Vesicolor. Medscape. 2012. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1091575-overview. Accessed at July 14th 2014.
16.
Wellew R, Hunter J, Savin J, Dahl M, editors. Racially Pigmented Skin. In: Clinical Dermatology . 4th ed. Massachusetts: Blackwell; 2003. p.207.
17.
Sharquie KE, Noaimi AA et all. Pityriasis Alba Versus Vitiligo . In: Journal of the Saudi Society of Dermatology and Dermatologic Surgery .
Baghdad; 2013. 18.
Cruz
BM,
Alvarez
BT
et
all.
Double-Blind,
Placebo-Controlled,
Randomized Study Comparing 0.0003% Calcitriol with 0.1% Tacrolimus Ointments for the Treatment of Endemic Pityriasis Alba. In: Journal of Medicine. Mexico; 2012.
19.
Berman Kevin. Pityriasis Alba. Medline Plus. 2013. Available from: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001463.htm . Accssed at July 20th 2014.
14
20.
Lin RL, Janniger CK. Pityriasis Alba. In: Pediatric Dermatology. Volume 76. Newark: New Jersey Medical School; 2005. p. 21-24.
15