BAB I PENDAHULUAN Masalah kurang gizi di Indonesia merupakan suatu permasalahan dimana tubuh kekurangan suatu unsur kimia yang diperlukan untuk melakukan akitvitas, memelihara dan meningkatkan kesehatan tubuh yang unsur atau zat tersebut terdapat didalam makanan yang sekarang banyak terjadi di Indonesia. Karena faktor ekonomi juga mengakibatkan masalah kurang gizi sehingga menimbulkan berbagai gangguan kesehatan dan berbagai penyakit berbahaya lainnya. Apalagi Indonesia saat ini telah menyandang peringkat ke lima negara kurang gizi sedunia.1 Sejauh ini permasalahan gizi di Indonesia ada dua jenis. Pertama, masalah gizi makro dimana disimpulkan dalam bentuk gizi kurang atau gizi lebih. Masalah gizi makro lebih ditekankan pada kekurangan konsumsi makanan yang mengandung karbohidrat dan protein yang mengakibatkan komplikasi terhadap kesehatan dan yang kedua masalah gizi mikro yang berupa kekurangan gizi. Zat gizi yang dikelompokkan dalam masalah gizi mikro seperti kekurangan vitamin, mineral, air yang merupakan zat gizi pembangun dan sumber aktivitas sel-sel tubuh.1 Golongan yang rawan terhadap masalah kurang gizi di Indoneisa seperti balita, anakanak, ibu hamil dan ibu menyusui. Anak-anak yang kekurangan gizi akan mengalami berbagai gangguan seperti dalam hal pertumbuhan fisik, mental, dan intelektual yang mengkibatkan meningkatnya angka kematian dan berkurangnya kemampuan belajar, serta daya imun tubuh terhadap berbagai penyakit dan produktivitas bekerja. Kekurangan gizi pada ibu hamil dan menyusui berdampak buruk seperti catat pada janin karena pertumbuhan janin tidak sempurna bahkan kematian pada ibu dan anak, serta anak yang dilahirkan rentan teradap penyakit.1 Masalah kurang gizi di Indonesia harus segera ditanggulangi dengan pendekatan khusus seperti memberikan edukasi tentang pengetahuan akan gizi kepada orang tua sehingga dapat membudidayakan bahan pangan bergizi seta dapat mengolahnya dengan baik tanpa merusak kandungan gizi pada pangan dan saat memberi makan pangan tersebut pada anak sehinnga dapat memenuhi gizi sehari-hari anak. Selain itu juga memberikan edukasi gizi pangan sehat tetapi kembali kepada kesadaran pada masyarakat itu sendiri dalam meningkatkan kesejateraan dan generasi muda yang sehat.1
Sebanyak 1918 anak di Nusa Tenggara Timur menderita gizi buruk selama JanuariMei 2015. Tercata 11 anak berusia di bawah lima tahun meninggal akibat gizi buruk. Selain itu, masih ada 21.134 anak balita yang mengalami kekurangan gizi.2 Kepala seksi Perbaikan Gizi Masyarakat Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Timur mengatakan, penderita gizi buruk dialami keluarga miskin yang meninggal di wilayah terpencil dan pedalaman. Mereka sulit dijangkau kendaraan bermotor karena ketiadaan jalan. Pemahaman ibu terhadap gizipun sangat rendah. Kondisi ini diperparah dengan kemarau panjang tahun 2014 sehingga banyak petani gagal panen. Akibatnya, terjadi krisis pangan sehingga menyebabkan gizi kurang. Kondisi gizi kurang ini mengakibatkan penurunan kecerdasan. 2
BAB II MARASMUS KWASHIOKOR
Definisi Marasmus-Kwashiokor adalah salah satu kondisi dari kurang gizi berat yang gejala klinisnya merupakan gabungan dari marasmus, yaitu kondisi yang disebabkan oleh kurangnya asupan energi, dan kwashiokor, yaitu kondisi yang disebabkan oleh kurangnya asupan protein sehingga gejalanya disertai edema.3 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kekurangan gizi sebagai “ketidakseimbangan seluler antara asupan nutrisi, energi dan kebutuhan tubuh untuk menjamin pertumbuhan, pemeliharaan dan fungsi-fungsi khusus.” Malnutrisi protein-energi (KEP) berlaku untuk sekelompok gangguan yang berhubungan seperti marasmus, kwashiokor, dan marasmus-kwashiokor. Istilah marasmus berasal dari kata Yunani “marasmos”, yang berarti layu atau kurang tenaga. Marasmus berhubungan dengan asupa yang tidak memadai protein dan kalori dan ditandai oleh kekurusan. Istilah kwashiokor ini diambil dari bahasa Ga dari Ghana dan berarti “penyakit dari penyapihan.” Williams pertama kali menggunakan istilah pada tahun 1933, dan mengacu pada asupan protein yang tidak memadai dengan asupan kalori dan energi yang wajar. Edema adalah karakteristik dari kwashiokor namun tidak ada dalam marasmus.4 Studi menunjukkan bahwa marasmus merupakan respon adaptif/ penyesuaian terhadap kelaparan, sedangkan kwashiokor merupakan respon maladaptive terhadap kelaparan. Anak-anak mungkin datang dengan gambaran beragam antara marasmus dan kwashiokor. Ada juga yang dapat datang dalam bentuk yang lebih ringan dari malnutrisi. Untuk alasan ini Jelliffe menyarankan istilah malnutrisi protein-kalori (energi) untuk menyatukan istilah dari keduanya.4 Etiologi Penyakit KEP merupakan penyakit lingkungan. Oleh karena itu ada beberapa faktor yang bersama-sama menjadi penyebab timbulnya penyakit tersebut, antara lain faktor diet, faktor sosial, kepadatan penduduk, infeksi, kemiskinan, dan lain-lain.5
1. Peranan Diet Menurut konsep klasik, diet yang mengandung cukup energi tetapi kurang protein akan menyebabkan anak menjadi penderita kwashiokor, sedangkan diet kurang energi walaupun zat-zat gizi esensialnya seimbang akan menyebabkan anak menjadi penderita marasmus. Tetapi dalam penelitian yang dilakukan oleh Gopalan dan Narasnya (1971) terlihat bahwa dengan diet yang kurang lebih sama, pada beberapa anak timbul gejala-gejala kwashiokor, sedangkan pada beberapa anak yang lain timbul gejala-gejala marasmus. Mereka membuat kesimpulan bahwa diet bukan merupakan faktor yang penting, tetapi ada faktor lain yang masih harus dicari untuk dapat menjelaskan timbulnya gejala tersebut.5 2. Peranan Faktor Sosial Pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu yang sudah turun-temurun dapat mempengaruhi terjadinya penyakit KEP. Adakalanya pantangan tersebut didasarkan pada keagamaan, tetapi ada pula yang merupakan tradisi yang turuntemurun. Jika pantangan ini didasarkan pada keagamaan, maka akan sulit diubah. Tetapi jika pantangan tersebut berlangsung karena kebiasaan, maka dengan pendidikan gizi yang baik dan dilakukan terus-menerus hal tersebut masih dapat diatasi. Faktor-faktor sosial lain yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit KEP adalah 5: a) Perceraian yang sering terjadi antara wanita yang sudah mempunyai banyak anak dengan suaminya yang merupakan pencari nafkah tunggal b) Pada pria dengan penghasilan kecil mempunyai banyak istri dan anak sehingga dengan pendapatan yang kecil ia tidak dapat memberi cukup makan pada anggota keluarganya yang besar tersebut c) Para ibu mencari nafkah tambahan pada waktu-waktu tertentu, sehingga anakanak terpaksa ditinggalkan di rumah sehingga jatuh sakit dan mereka tidak mendapat perhatian dan pengobatan semestinya d) Para ibu yang setelah melahirkan menerima pekerjaan tetap sehingga harus meninggalkan bayinya dari pagi sampai sore. Dengan demikian, bayi tersebut
tidak mendapat ASI. Sedangkan pemberian pengganti ASI maupun makanan tambahan tidak dilakukan dengan semestinya. 3. Peranan kepadatan penduduk Dalam World Food Conference di Roma (1974) telah dikemukakan bahwa meningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi dengan bertambahnya persediaan bahan makanan setempat yang memadai merupakan sebab utama krisis pangan. Sedangkan kemiskinan penduduk merupakan akibat lanjutannya. Ditekankan pula perlunya bahan makanan yang bergizi baik, di samping kuantitasnya.5 McLaren (1982) memperkirakan bahwa marasmus terdapat dalam jumlah yang banyak, jika di suatu daerah terlalu padat penduduknya dengan keadaan hygiene yang buruk, misalnya di kota-kota dengan kemungkinan pertambahan penduduk yang sangat cepat, sedangkan kwashiokor akan terdapat dalam jumlah yang banyak di desadesa dengan penduduk yang mempunyai kebiasaan untuk memberi makanan tambahan berupa tepung, terutama pada anak-anak yang tidak atau tidak cukup mendapat ASI.5 4. Peranan infeksi Adanya interaksi antara malnutrisi dan infeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Malnutrisi ringan sekalipun mempunyai pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Hubungan ini sinergis, sebab malnutrisi disertai infeksi pada umumnya mempunyai konsekuensi yang lebih besar.5 5. Peranan kemiskinan Penyakit KEP merupakan masalah negara-negara miskin. Pentingnya kemiskinan ditekankan dalam laporan Oda Advisory Committee on Protein pada tahun 1974. Dianggap bahwa kemiskinan merupakan dasar penyakit KEP.5 Patofisiologi Pada marasmus keadaan yang mencolok ialah pertumbuhan yang kurang atau terhenti disertai atrofi otot dan menghilangnya lemak di bawah kulit. Untuk kelangsungan hidup jaringan, tubuh memerlukan energi yang dapat dipenuhi oleh makanan yang diberikan sehingga harus didapat dari tubuh sendiri sehingga cadangan protein digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut.5
Pada kwashiokor, gangguan metabolik dan perubahan sel menyebabkan edema dan perlemakan hati. Kelainan ini merupakan gejala yang mencolok. Pada penderita defisiensi protein tidak terjadi katabolisme yang sangat berlebihan karena persediaan energi dapat dipenuhi oleh jumlah kalori yang cukup dalam dietnya. Namun kekurangan protein dalam dietnya akan menimbulkan kekurangan berbagai asam amino esensial yang dibutuhkan untuk sintesis. Oleh karena dalam diet terdapat cukup karbohidrat maka produksi insulin akan meningkat dan sebagian asam amino dalam serum yang jumlahnya sudah kurang tersebut akan disalurkan ke otot. Berkurangnya asam amino dalam serum merupakan penyebab kurangnya pembentukan albumin oleh hepar sehingga kemudian timbul edema. 5 Epidemiologi Pada 2010-2012, FAO memperkirakan sekitar 870 juta orang dari 7,1 miliar penduduk dunia atau 1 dari delapan orang penduduk dunia menderita gizi buruk. Sebagian besar (sebanyak 852 juta) diantaranya tinggal di negara-negara berkembang.6 Anak-anak merupakan penderita gizi buruk terbesar di seluruh dunia. Dilihat dari segi wilayah, lebih dari 70 persen kasus gizi buruk pada anak didominasi Asia, sedangkan 26 persen di Amerika Latian serta Karibia.6 Di Indonesia, perkembangan gizi buruk menurut Riskesdas pada 2013, terdapat 19,6 persen kasus balita kekurangan gizi dan jumlah tersebut terdiri dari 5,7 persen balita dengan gizi buruk.6
Gejala klinik Pada marasmus, penderita tampak sangat kurus, wajah seperti orangtua, cengeng, rewel, kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada, perut cekung, iga gambang dan sering disertai penyakit infeksi (umumnya kronis berulang) serta diare kronik atau konstipasi.6
Gambar 1. Manifestasi klinis marasmus Pada kwashiokor lebih banyak terdapat pada usia dua hingga tiga tahun yang sering terjadi pada anak yang terlambat menyapih sehingga komposisi gizi makanan tidak seimbang terutama dalam hal protein. Biasanya tampak edema umumnya di seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki (dorsum pedis) yang jika ditekan melekuk, tidak sakit dan lunak, wajah yang membulat dan sembab, pandangan mata sayu, rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung,mudah dicabut tanpa rasa sakit, rontok, perubahan status mental, apatis dan rewel, pembesaran hati, otot mengecil (hipotropi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk, kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas (crazy pavement dermatosis) dan sering disertai penyakit infeksi akut serta anemia dan diare.7
Gambar 2. Manifestasi klinis anak dengan kwashiorkor Pada marasmus-kwashiokor, gejala klinisnya merupakan gabungan antara marasmus dan kwashiokor yang disertai oleh edema, dengan BB/U <60% baku Median WHO NCHS. Gambaran yang utama ialah kwashiokor edema dengan atau tanpa lesi kulit, pengecilan otot, dan pengurangan lemak bawah kulit seperti pada marasmus. Jika edema dapat hilang pada awal pengobatan, penampakan penderita akan menyerupai marasmus. Gambaran marasmus dan kwashiokor muncul secara bersamaan dan didominasi oleh kekurangan protein yang parah.7
Gambar 3. Manifestasi klinis Marasmus-Kwashiorkor Pemeriksaan Penunjang WHO merekomendasikan pemeriksaan seperti : gula darah, hemoglobin, pemeriksaan urin dan kultur urin, serum albumin, HIV tes dan elektrolit.7 Pemeriksaan hemoglobin diperlukan untuk menentukan adanya anemia karena penderita Kwashiokor sering disertai anemia yang disebabkan berkurangnya jumlah eritropoetin dalam sumsung tulang akibat defisit protein, besi, defisiensi aktor hati, kerusakan hati, defisiensi vitamin b kompleks.7 Perlunya pemeriksaan albumin serum dikarenakan pada Kwashiokor ditemukan kadar albumin serum yang rendah disamping kadar globulin yang normal atau sedikit meninggi.7 Diagnosis Yang dimaksud dengan gizi buruk adalah terdapatnya edema pada kedua kaki atau adanya severe wasing (BB/TB < 70% atau <-3SD), atau ada gejala klinis gizi buruk (kwahiokor, marasmus, dan marasmus-kwashiokor). Walaupun kondisi klinis pada kwashiokor, marasmus, dan marasmus kwashiokor berbeda tetapi tatalaksananya sama.7 Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila: 1) BB/TB <-3SD atau <70% dari median (marasmus)
2) Edema pada kedua punggung kaku sampai seluruh tubuh (kwashiokor : BB/TB > -3SD atau marasmus-kwashiokor : BB/TB <-3SD) Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis berupa anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan lemak di bawah kulit terutama pada kedua bahu, lengan, pantat dan paha, tulang iga terlihat jelas, dengan atau tanpa adanya edema.7 Anak-anak dengan BB/U <60% belum tentu gizi buruk, karena mungkin anak tersebut pendek, sehingga tidak terlihat sangat kurus. Anak seperti itu tidak membutuhkan perawatan di rumah sakit, kecuali jika ditemukan penyakit lain yang berat.7 Pada setiap anak dengan gizi buruk perlu dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis terdiri dari anamnesis awal dan anamnesis lanjutan. 7 1) Anamnesis awal (untuk kedaruratan)
Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah dan diare (encer/darah/lendir)
Kapan terakhir berkemih
Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin
Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami dehidrasi dan/atau syok, serta harus diatasi segera. 9 2) Anamnesis lanjutan Dilakukan untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya (dilakukan setelah kedaruratan ditangani), yaitu:
Diet (pola makan)/ kebiasaan makan sebelum sakit
Riwayat pemberian ASI
Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir
Hilangnya nafsu makan
Kontak dengan pasien campak atau tuberkulosis paru
Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
Batuk kronik
Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung
Berat badan lahir
Riwayat tumbuh kembang : duduk, berdiri, bicara, dan lain-lain
Riwayat imunisasi
Apakah ditimbang setiap bulan
Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang sosial anak)
Diketahui atau tersangka infeksi HIV
Penatalaksanaan Prinsip pengobatan Kwashiokor ialan memberikan makanan yang mengandung banyak protein bernilai hayati tinggi, banyak kalori, cukup cairan, cukup vitamin dan mineral, masing-masing dalam bentuk yang mudah dicerna dan diserap. Oleh karena toleransi akan makanan dari penderita pada hari pertama pengobatan masih rendah, hendaknya makanan jangan diberikan sekaligus terlalu banyak, tetapi dinaikkan hari demi hari. Hasil yang paling baik diperoleh dengan pemberian makanan yang mengandung protein 3-4 gr/kgBB/hari dan 160-175mg/kgBB/hari.3 Pendekatan pelaksanaan pada umumnya terdiri dari 3 fase. Fase pertama adalah fase stabilisasi. Pada fase ini jika ada dehidrasi harus dikoreksi dan diperlukan antibiotik untuk mengontrol infeksinya. Di fase ini karena susah untuk mengukur derajat dehidrasinya maka oral rehidrasi lebih diutamakan. Fase kedua tetap diteruskan antibiotiknya dan disertai diet untuk meningkatkan energi dan proteinnya 75 kal/kg dan 1 gr/kg/24 jam. Untuk protein yang dikombinasikan juga dengan penggunaan elektrolit, trace minerals dan vitamin. Di fase ketiga edema yang biasanya terlihat sudah menghilang dan infeksi sudah terkontrol sehingga dapat diberikan terapi diet protein sampai 150 kcal/kg/24 jam dan 4gr/kg/24 jam protein.3 Prognosis Prognosis pada penyakit ini buruk karena banyak menyebabkan kematian dari penderitanya akibat infeksi yang menyertai penyakit tersebut, tetapi prognosisnya dapat dikatakan baik apabila malnutrisi ditangani secara tepat dan cepat. Kematian dapat dihindarkan apabila dehidrasi berat dan penyakit infeksi kronis lain seperti tuberkulosis atau hepatitis yang menyebabkan terjadinya sirosis hepatis dapat dihindari. Pada anak yang mendapatkan malnutrisi pada usia yang lebih dewasa. Hal ini berbanding terbalik dengan psikomotor anak yang mendapat penanganan malnutrisi lebih cepat menurut umurnya, anak yang lebih muda saat mendapat perbaikan keadaan gizinya akan cenderung mendapatkan kesembuhan psikomotornya lebih sempurna dibandingkan dengan anak yang lebih tua, sekalipun telah mendapatkan penanganan yang sama. Hanya saja pertumbuhan dan
perkembangan anak yang pernah mengalami kondisi marasmus in cenderung lebih lambat, terutama terlihat jelas dalam hal pertumbuhan tinggi badan anak dan pertambahanan berat anak, walaupun jika dilihat secara ratio berat dan tinggi anak berada dalam batas yang normal.3,4
Penanggulangan gizi buruk di Indonesia Banyak factor yang mempengaruhi gizi buruk ini seperti tingkat pendidikan kemiskinan, ketersediaan pangan, transportasi, adat istiadat, dan lain sebgainya. Masalah gizi buruk apabila tidak ditangani dengan serius maka akan berdampak buruk terhadap kelanjutan generasi di Indonesia. Dengan adanya perubahan cara pandang masyarakat akan lebih baik dalam mendukung perbaikan masalah gizi buruk di Indonesia maka perlu ditinjau pada objek yang menjadi permasalahan gizi buruk ini agar dapat mencapai jalan keluar secara optimal dan efektif. Masalah kurang gizi di Indonesia dpat diselesaikan dengan adanya keselarasan kebijakan pemerintah pusat maupun daerah. Di samping peran pemerintah dalam pengawasan dan pendanaan, peran daerah juga penting dalam melaksanakan program gizi dan pangan. Pemerintah Republik Indonesia dalam menangani masalah kurang gizi di Indonesia melalui pemanfaatan Posyandu, meningkatkan partisipasi masyarakat memantau pertumbuhan dan kebutuhan gizi anak balita, meningkatkat kemampuan petugas-petugas kesehatan, meningkatkan keluarga sadar akan gizi serta memberi supplement makanan tambahan, MP ASI dan pemberian vitamin A, membuat kerjasama lintas sektoral dan kemitraan serta melanjutkan kembali Sistem Kewaspadaan Dini Gizi Buruk. Selain itu dalam mengatasi masalah gizi buruk di Indonesia perlu dilakukan intervensi dalam cakupan investasi di bidang kesehatan, pendidikan dan social terutama bagi kelompok yang beresiko tinggi terkena gizi buruk. Ada beberapa intervensi yang dapat dilakukan pada ibu dan anak seperti intervensi terhadap perilaku pemberian ASI eksklusif, pemberian makanan pendamping (MP-ASI), perilaku hidup bersih dan sehat serta pemantauan berat badan secara teratur, pemberian supplement mikro tambahan dalam hal asupan vitamin A, pil FE, garam beryodium, pemulihan terhadap gizi anak dalam keluarga yang kurang gizi, pemberian makanan tambahan pada ibu hamil. Sementara itu program Direktorat Bina Gizi Masyarakat pada Kementrian Kesehatan telah mengeluarkan suplemen taburia yang mengandung viatamin A, B, D, serta unsure seng yodium dan zat besi yang dapat meningkatkan nafsu makan pada balita dan mencegah anemia pada balita mencakup wilayah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, NTB, NTT, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan.
BAB III Rangkuman dan Saran Rangkuman Keadaan gizi dapat dipengaruhi oleh keadaan fisiologis dan juga keadaan ekonomi, sosial, politik dan budaya. Pada saat ini selain dampak dari krisis ekonomi juga faktor transportasi yang belum memadai sehingga mempengaruhi status kesehatan pada umumnya dan status gizi pada khususnya. Keadaan gizi meliputi proses penyediaan dan penggunaan gizi untuk pertumbuhan, perkembangan, pemeliharaan dan aktifitas. Kurang gizi dapat terjadi dari beberapa akibat yaitu ketidakseimbangan asupan zat-zat gizi, faktor penyakit pencernaan, absorpsi dan penyakit infeksi. Saran Perlu dibuat program perbaikan gizi yang diarahkan pada kelompok wanita usia subur, pria atau wanita dewasa, bayi dengan berat lahir rendah, ibu hamil, ibu menyusui, ibu yang mempunyai balita dan anak usia sekolah. Dari adanya program perbaikan gizi ini diharapkan meningkatnya keadaan gizi masyarakat dan meningkatnya konsumsi energi dan protein pada balita. Masalah transportasi yang juga menjadi masalah sehingga kurang terjangkaunya daerah-daerah pelosok dari tenaga kesehatan. Untuk itu ini bukanlah merupakan tanggung jawab dari dinas kesehatan saja tetapi juga merupakan tanggung jawab pemerintah, agar lebih memperhatikan daerah-daerah terpencil.
DAFTAR PUSTAKA
1
2 3 4 5 6
7 8
Masalah gizi pada anak. Diunduh tanggal 14 Juni 2015 dari : http://www.technologyindonesia.com/component/content/article/45-gizi/501-masalah-gizi-pada-anak-perlupenanganan-dini . 1918 Anak Menderita Gizi Buruk di NTT. Koran KOMPAS tanggal 23 Juni 2015. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stenton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.18th Edition. United States of America : Sunders Elsevier Inc.2007. Hal : 229-232. Pudjiadi Solihin. Penyakit KEP (kurang Energi dan Protein) dari Ilmu Gizi Klinis pada Anak. Edisi keempat. Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia. Jakarta. 2005 : 95-137. Emedicine. Protein Energy Malnutrition. Diunduh pada tanggal 14 Juni 2015 dari : http://emedicine.medscape.com/article/1104623-overview#a0101 “1 dari 8 penduduk dunia mengalami gizi buruk” diunduh tanggal 22 Juni 2015 dari http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/01/1-dari-8-penduduk-dunia-mengalami-giziburuk Kurang energi protein. Diunduh tanggal 16 Juni 2015 dari http://www.indonesianpublichealth.com/2013/01/kurang-energi-protein-kep.html Indonesian Nutrition Network. Pedoman Tata Laksana KEP pada Anak di Rumah Sakit Kabupaten/Kota. Diunduh tanggal 16 Juni 2015 dari : http://gizi.depkes.go.id/pedomangizi/pd-kep-kab-kota.shtml