1 I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Trauma mata adalah salah satu penyebab kerusakan pada mata. Trauma mata dapat menyebabkan kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf mata, dan rongga orbita. Kerusakan tersebut akan mengakibatkan gangguan fungsi penglihatan (Ilyas & Sri, 2014). Trauma mata menjadi salah satu penyebab tersering yang menyebabkan kebutaan unilateral. Kerusakan ini akan memberikan penyulit yang mengganggu fungsi mata sebagai indra penglihatan. Dewasa muda, terutama laki-laki, merupakan kelompok yang paling sering mengalami trauma mata. Penyebabnya dapat bermacam-macam, di antaranya kecelakaan di rumah, kekerasan, ledakan, cedera olahraga, dan kecelakaan lalu lintas (Witcher & Paul, 2009). Trauma mata merupakan salah satu penyebab terjadinya hifema traumatik. Hifema adalah adanya darah di daerah bilik depan mata. Hal ini terjadi akibat trauma tumpul pada mata mat a yang menyobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Hifema primer terjadi segera sesudah trauma, sedangkan hifema sekunder terjadi lima sampai tujuh hari sesudah trauma terjadi. Hifema sekunder biasanya terjadi akibat gangguan mekanisme pembekuan atau penyembuhan luka sehingga mempunyai prognosis yang lebih buruk dibandingkan hifema primer (Ilyas & Sri, 2014). B. Tujuan
1.
Tujuan Umum Mengetahui perjalanan penyakit dan penatalaksanaan hifema traumatika.
2. Tujuan Khusus Untuk menyelesaikan tugas referat dari kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
2 II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi
1. Bola Mata Mata adalah suatu struktur sferis berisi cairan yang dibungkus oleh tiga lapisan. Dari luar ke dalam, lapisan – lapisan lapisan tersebut adalah (1) sklera/kornea, (2) koroid/badan siliaris/iris, dan (3) retina. Sebagian besar mata dilapisi oleh jaringan ikat yang protektif dan kuat di sebelah luar, sklera, yang membentuk bagian putih mata.
Gambar 2.1 Anatomi Bola Mata
Bola mata terbenam dalam corpus adiposum orbitae, namun terpisah darinya oleh selubung fascia bola mata. Bola mata terdiri atas tiga lapisan dari luar ke dalam, yaitu: a. Tunica Fibrosum Tunica fibrosa terdiri atas bagian posterior yang opaque atau sklera dan bagian anterior yang transparan atau kornea. Sklera merupakan jaringan ikat padat fibrosa dan tampak putih. Daerah ini relatif r elatif lemah dan dapat menonjol ke dalam
3 bola mata oleh perbesaran cavum subarachnoidea yang mengelilingi nervus opticus. Jika tekanan intraokular meningkat, lamina fibrosa akan menonjol ke luar yang menyebabkan discus menjadi cekung bila dilihat melalui oftalmoskop. Sklera juga ditembus oleh n. ciliaris dan pembuluh balik yang terkait yaitu vv.vorticosae. Sklera langsung tersambung dengan kornea di depannya pada batas limbus. Kornea yang transparan, mempunyai fungsi utama merefraksikan cahaya yang masuk ke mata. Tersusun atas lapisan-lapisan berikut ini dari luar ke dalam sama dengan: (1) epitel kornea (epithelium anterius) yang bersambung dengan epitel konjungtiva. (2) substansia propria, terdiri atas jaringan ikat transparan. (3) lamina limitans posterior dan (4) endothel (epithelium posterius) yang berhubungan dengan aqueous humour. b. Tunica vasculosum Dari belakang ke depan disusun oleh (1) choroidea (terdiri atas lapis luar berpigmen dan lapis dalam yang sangat vaskular) (2) corpus ciliare (ke belakang bersambung dengan choroidea dan ke anterior terletak di belakang tepi perifer iris) terdiri atas corona ciliaris, procesus ciliaris dan musculus ciliaris (3) iris (adalah diafragma berpigmen yang tipis dan kontraktil dengan lubang di pusatnya yaitu pupil) iris membagi ruang diantara lensa dan kornea menjadi bilik mata depan dan bilik mata belakang, serat-serat otot iris bersifat involunter dan terdiri atas serat-serat sirkuler dan radier. Bilik mata depan terletak antara persambungan kornea perifer dengan iris. Pada bagian ini, terdapat jalinan trabekula yang dasarnya mengarah ke badan siliar. Bagian dalam ja linan ini yang menghadap ke bilik mata depan dikenal sebagai jalinan uvea. Bagian luar jalinan ini yang terletak dekat
4 kanalis schlemm dikenal sebagai jalinan korneoskleral. Seratserat longitudinal otot siliaris menyisip ke dalam jalinan trabekula tersebut. Kanal schlemn merupakan kapiler yang dimodifikasi yang mengelilingi kornea. Dindingnya terdiri dari satu lapisan sel. Pada dinding sebelah dalam terdapat lubang – lubang sebesar 2 U, sehingga terdapat hubungan langsung antara trabekula dan kanal schlemn. Dari kanal schlemn, keluar saluran kolektor, 20 – 30 buah, yang menuju ke pleksus vena di dalam jaringan sclera dan episkelera dan vena siliaris anterior di badan siliar. c. Tunica nervosum Retina terdiri atas pars pigmentosa luar dan pars nervosa di dalamnya. Permukaan luarnya melekat pada choroidea dan permukaan dalamnya berkontak dengan corpus vitreum. Tiga perempat posterior retina merupakan organ reseptornya. Ujung anterior membentuk cincin berombak, yaitu ora serrata, di tempat inilah jaringan syaraf berakhir. Bagian anterior retina bersifat non-reseptif dan hanya terdiri atas sel-sel pigmen dengan lapisan epitel silindris di bawahnya. Bagian anterior retina ini menutupi procesus ciliaris dan bagian belakang iris. 2. Iris Iris merupakan bagian di sepanjang traktus uvea. Iris terdiri dari pembuluh darah dan jaringan ikat. Selain itu, terdapat melanosit dan sel pigmen yang berperan dalam khas warnanya. Mobilitas dari iris memungkinkan pupil untuk merubah ukuran. Diafragma iris membagi bagian anterior menjadi bilik anterior dan bilik posterior (Book, 2008).
5
Gambar 2.2 Anatomi Bilik Mata Depan dan Jaringan Sekitar
Gambar 2.3 Vaskularisasi pada Segmen Anterior
a. Stroma Stroma iris terdiri dari sel pigmen (melanosit) dan sel non pigmen, kolagen fibril, dan matrix yang mengandung asam hyaluronic. Aqueous humor mengalir secara bebas melalui stroma disepanjang pinggir anterior iris. Struktur keseluruhan dari stroma
6 iris tetap sama pada semua warna. Perbedaan warna terkait dengan jumlah pigmen pada lapisan anterior dan stroma (Book, 2008). b. Pembuluh darah Pembuluh darah membentuk sebagian besar stroma iris. Sebagian besar membentuk jalur radial, yang muncul dari arteri sirkulus mayor dan melewati bagian tengah pupil. Di bagian paling tebal dari iris, anastomosis trjadi antara iris dan venauntuk membentuk lingkaran vaskular kecil dan iris, yang sering tidak lengkap. Arteri sirkulus mayor terletak pada bagian apex dari korpus siliaris, bukan iris. Pada manusia, di bagian pinggir lapisan anterior secara normal avaskular. Diameter dari kapiler relatif luas. Endotelium nonfenestrated dan dikelilingi oleh bagian basal membran. Intimanya tidak memiliki lamina yang elastis. Serabut saraf sensorik mielin dan nonmielin, vasomotor, dan fungsi muskular di sepanjang stroma (Khan, 2007).
Gambar 2.4 Peredaran darah dari Arteri sirkulus mayor dari iris
7 3. Korpus Siliaris Korpus siliaris memiliki lebar 6-7 dan memiliki dua bagian, yaitu: pars plana dan pars plicata. Pars plana relatif avaskular, memiliki pigmen yang halus, lebarnya 4 mm dan memanjang dari ora serata ke prosesus siliaris. Pendekatan paling aman pada bedah ke rongga vitreus adalah melalui pars plana, berlokasi 3-4 mm dari limbus kornea. Pars plikata kaya vaskulatisasi dan terdiri dari sekitar 70 lipatan radial, atau prosesus siliaris (Ilyas, 2009). Pleksus kaliper setiap prosesus siliaris disuplai oleh arteriol ketika mereka melewati anterior dan posteriir arteri sirkulus mayor; setiap pleksus dialirkan oleh 1 atau 2 venula besar yang terletak di puncak setiap prosesus. Tonus sfingter dalam otot polos arteri mempengaruhi tekanan hidrostatik kapiler atau secara langsung mengalirkan aliran ke vena koroid, dengan melewati pleksus (Ilyas, 2009).
Gambar 2.5 Vaskularisasi pada Bola Mata
Korpus siliaris dilapisi oleh dua sel epitel, epitel non pigmen dan pigmen. Bagian dalam adalah epitel non pigmen yang berlokasi diantara aqueous humor pada bilik posterior dan epitel berpigmen. Permukaan basal dari epitel non pigmen yang berbatasan dengan bilik posterior
8 ditutupi oleh lamina basalis yang multilaminar. Lamina basalis dari epitel pigmen yang berhadapan dengan stroma iris, lebih tebal dan homogen dibandingkan dengan epitel non pigmen (Khan, 2007). Epitel pigmen secara relatif di sepanjang korpus siliaris. Sel kuboid ditandai oleh multiple basal, nukleus yang luas, mitokondria, retikulum endoplasma yang luas, dan banyak melanosom. Epitel non pigmen cenderung menjadi kuboid di bagian pars plana tetapi kolumnar di bagian pars plikata. Epitel non pigmen juga memiliki multiple basal, mitokondria yang berlimpah, dan nukleus yang luas. Retikulum endoplasma dan kompleks golgi pada sel ini penting untuk pembentukan aqueous humor. Terkadang terdapat melanosom, terutama dibagian anterior, di dekat iris (Khan, 2007). Bagian uvea dari korpus siliaris terdiri dari kapiler besar yang fenestrated, kolagen fibril dan fibroblas. Arteri utama yang menyuplai korpus siliaris berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri siliaris posterior longum yang bergabung membentuk pleksus arteri yang berlapis-lapis,
terdiri
dai
pleksus
episklera
superfisial,
pleksus
intramuskular, dan arteri sirkulus mayor yang secara salah dihubungkan ke iris, namun sebenarnya terletak di posterior ke sudut bilik pada korpus siliaris. Vena mayor mengalir secara posterior di sepanjang sistem vortex, meskipun beberapa aliran juga terhadi melalui vena intrasklera dan vena episklera menuju bagian limbus (Ilyas, 2009). B. Definisi
Hifema merupakan adanya darah di dalam bilik mata depan (Ghairabeh et al., 2013). Hifema terjadi akibat trauma tumpul yang menyobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan bercampur dengan humor aqueous. Darah yang terkumpul di bilik mata depan biasanya terlihat dengan mata telanjang. Walaupun darah yang terdapat di bilik mata depan sedikit, keadaan tersebut dapat menurunkan penglihatan. Jika pasien diposisikan duduk, hifema akan terlihat di bilik mata depan bagian bawah dan dapat memenuhi seluruh bilik mata depan (Ilyas, 2009).
9 C. Epidemiologi
Hifema traumatika terjadi pada segala usia dengan perbandingan angka kejadian dua per sepuluh ribu orang setiap tahunnya. Laki-laki mendominasi dengan rasio laki-laki terhadap perempuan 3:1. Cedera olahraga
menyumbang
sekitar
60%
penyebab
hifema
traumatika
(Ghairabeh et al., 2013). Sementara itu, American Academy Ophthalmology (2011) menemukan 33% dari trauma serius pada mata akan menyebabkan terjadinya hifema traumatika. D. Etiologi
Hifema biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada mata seperti terkena bola, batu, peluru senapan angin, kecelakaan lalu lintas, dan lainlain (Witcher & Paul, 2009). Berdasarkan penelitian Mowatt et al. (2010), penyebab hifema tersering berada di rumah (41%), sekolah (22%), tempat bermain anak (16%), tempat kerja (5%), dan sisanya tidak diketahui. E. Klasifikasi
Klasifikasi hifema dibagi menjadi dua, yakni sebagai berikut (Brandt & Haug, 2001). 1. Berdasarkan waktu terjadinya a. Hifema primer, timbul segera setelah trauma hingga hari ke-2. b. Hifema sekunder, timbul pada hari ke-2 sampai hari ke-5 setelah terjadi trauma. 2. Berdasarkan klinisnya a. Grade I
: darah mengisi kurang dari sepertiga COA
b. Grade II
: darah mengisi sepertiga hingga setengah COA
c. Grade III
: darah mengisi hampir total COA
d. Grade IV
: darah memenuhi seluruh COA
10
Gambar 2.6 Grading Hifema F. Patofisiologi
Trauma tumpul menyebabkan kompresi bola mata, disertai peregangan limbus, dan perubahan posisi dari iris atau lensa. Hal ini dapat meningkatkan tekanan intraokuler secara akut dan berhubungan dengan kerusakan jaringan pada sudut mata. Perdarahan biasanya terjadi karena adanya robekan pembuluh darah, antara lain arteri-arteri utama dan cabangcabang dari badan siliar, arteri koroidalis, dan vena-vena badan siliar (Book, 2008).
Gambar 2.7 Mekanisme Perdarahan akibat Trauma Tumpul Mata
Inflamasi yang parah pada iris, sel darah yang abnormal dan kanker mungkin juga bisa menyebabkan perdarahan pada COA. Trauma tumpul
11 dapat merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Gaya-gaya kontusif akan merobek pembuluh darah iris dan merusak sudut COA. Tetapi dapat juga terjadi secara spontan atau pada patologi vaskuler okuler. Darah ini dapat bergerak dalam ruang COA, mengotori permukaan dalam kornea (Stilger, 1999). Perdarahan pada bilik mata depan mengakibatkan teraktivasinya mekanisme hemostasis dan fibrinolisis. Peningkatan tekanan intraokular, spasme pembuluh darah, dan pembentukan fibrin merupakan mekanisme pembekuan darah yang akan menghentikan perdarahan. Bekuan darah ini dapat meluas dari bilik mata depan ke bilik mata belakang. Bekuan darah ini biasanya berlangsung hingga 4-7 hari. Hifema yang terjadi karena trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan oleh kerusakan jarin gan bagian dalam bola mata, misalnya terjadi robekan-robekan jaringan iris, korpus siliaris dan koroid. Jaringan tersebut mengandung banyak pembuluh darah, sehingga akan menimbulkan perdarahan. Selain trauma tumpul, hifema traumatic dapat disebabkan oleh trauma tembus dengan merusak secara langsung vaskularisasi okuli (Stilger, 1999). Perdarahan dapat terjadi segera sesudah trauma yang disebut perdarahan primer. Perdarahan primer dapat sedikit dapat pula banyak. Perdarahan sekunder biasanya timbul pada hari ke 5 setelah trauma. Perdarahannya biasanya lebih hebat daripada yang primer. Oleh karena itu seseorang dengan hifema harus dirawat sedikitnya 5 hari. Dikatakan perdarahan sekunder ini terjadi karena resorpsi daribekuan darah terjadi terlalu cepat sehingga pembuluh darah tak mendapat waktu yang cukup untuk regenerasi kembali (Khan, 2007). Penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari COA dalam bentuk sel darah merah melalui sudut COA menuju kanal schlem sedangkan sisanya akan diabsorbsi melalui permukaan iris. Penyerapan pada iris dipercepat dengan adanya enzim fibrinolitik di daerah ini. Sebagian hifema dikeluarkan setelah terurai dalam bentuk hemosiderin. Bila terdapat penumpukan dari hemosiderin ini, dapat masuk ke dalam lapisan kornea,
12 menyebabkan kornea menjadi bewarna kuning dan disebut hemosiderosis atau imbibisi kornea, yang hanya dapat ditolong dengan keratoplasti. Imbibisio kornea dapat dipercepat terjadinya oleh hifema yang penuh disertai glaucoma (Khan, 2007). Adanya darah pada bilik mata depan memiliki beberapa temuan klinis yang berhubungan. Resesi sudut mata dapat ditemukan setelah trauma tumpul mata. Hal ini menunjukkan terpisahnya serat longitudinal dan sirkular dari otot siliar. Resesi sudut mata dapat terjadi pada 85 % pasien hifema dan berkaitan dengan timbulnya glaukoma sekunder di kemudian hari. Iritis traumatik, dengan sel-sel radang pada bilik mata depan, dapat ditemukan pada pasien hifema. Pada keadaan ini, terjadi perubahan pigmen iris walaupun darah sudah dikeluarkan. Perubahan pada kornea dapat dijumpai mulai dari abrasi endotel kornea hingga ruptur limbus. Kelainan pupil seperti miosis dan midriasis dapat ditemukan pada 10 % kasus. Tanda lain yang dapat ditemukan adalah siklodialisis, iridodialisis, robekan pupil, subluksasi lensa, dan ruptur zonula zinn. Kelainan pada segmen posterior dapat meliputi perdarahan vitreus, jejas retina (edema, perdarahan, dan robekan), dan ruptur koroid. Atrofi papil dapat terjadi akibat peninggian tekanan intraokular ( American Academy Ophthalmology, 2011). G. Penegakkan Diagnosis
Adanya riwayat trauma, terutama trauma pada mata, dapat memastikan adanya hifema. Pada gambaran klinik ditemukan adanya perdarahan pada COA, kadang-kadang ditemukan gangguan visus. Ditemukan adanya tanda-tanda iritasi dari konjungtiva dan perikornea, fotofobia, penglihatan ganda, blefarospasme, edema palpebra, midriasis, dan sukar melihat dekat, kemungkinan disertai gangguan umum yaitu letargic, disorientasi atau somnolen. Pasien akan mengeluh nyeri pada mata disertai dengan mata berair. Terdapat penumpukan darah yang terlihat dengan mata telanjang bila jumlahnya cukup banyak. Bila pasien duduk, hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah COA, dan hifema dapat memenuhi seluruh
13 ruang COA. Otot sfingter pupil mengalami kelumpuhan, pupil tetap dilatas i (midriasis), dapat terjadi pewarnaan darah (blood staining ) pada kornea, anisokor pupil . Akibat langsung terjadinya hifema adalah penurunan visus karena darah mengganggu media refraksi. Darah yang mengisi kamera okuli ini secara langsung dapat mengakibatkan tekanan intraokuler meningkat akibat bertambahnya isi kamera anterior oleh darah. Kenaikan tekanan intraokuler ini disebut glaukoma sekunder. Glaukoma sekunder juga dapat terjadi akibat massa darah yang menyumbat jaringan trabekulum yang berfungsi membuang humor aqueous yang berada di kamera anterior. Selain itu akibat darah yang lama berada di kamera anterior akan mengakibatkan pewarnaan darah pada dinding kornea dan kerusakan jaringan kornea.
Gambar 2.8 Hifema yang Mengisi Setengah dari Bilik Mata Depan
Gambar 2.9 Hifema yang Mengisi Sepertiga dari Bilik Mata Depan
14 H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada kasus hifema traumatika, ialah (Bruce, 2005): 1. Pemeriksaan ketajaman penglihatan: menggunakan kartu mata Snellen; visus dapat menurun akibat kerusakan kornea, aqueous humor, iris dan retina. 2. Lapangan pandang: penurunan dapat disebabkan oleh patologi vaskuler okuler, glaukoma. 3. Pengukuran tonografi: mengkaji tekanan intra okuler. 4. Slit Lamp Biomicroscopy: untuk menentukan kedalaman COA dan iridocorneal contact, aqueous flare, dan synechia posterior. 5. Pemeriksaan oftalmoskopi: mengkaji struktur internal okuler. 6. Tes provokatif: digunakan untuk menentukan adanya glaukoma bila TIO normal atau meningkat ringan. I. Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan hifema traumatika secara umum, ialah (Bruce, 2005): 1. Menghentikan perdarahan. 2. Menghindari timbulnya perdarahan sekunder. 3. Mengevakuasi darah dari bilik depan bola mata. 4. Mengontrol glaukoma sekunder dan menghindari komplikasi yang lain. 5. Berusaha mengobati kelainan yang menyertainya. Penatalaksanaan
hifema
traumatika
dapat
dilakukan
secara
konservatif ataupun operatif (Khan, 2007). 1. Perawatan Konservatif a. Tirah baring Penderita ditidurkan dengan posisi terlentang dengan kepala ditinggikan sebesar 30-45o. Darah terkumpul di inferior bilik mata depan sehingga sehingga memfasilitasi pemeriksaan segmen posterior dan pemulihan fungsi penglihatan. Hal ini akan mengurangi tekanan darah pada pembuluh darah iris serta
15 memudahkan evaluasi jumlah perdarahan. Ada banyak pendapat dari banyak ahli mengenai tirah baring sebagai tindakan pertama yang harus dikerjakan bila menemui kasus hifema traumatik. Tirah baring mempercepat absorbsi dari hifema dan mengurangi timbulnya komplikasi perdarahan sekunder. b. Pelindung mata Digunakan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada mata untuk 5 hari pertama. Penggunaan pelindung mata dapat mengurangi pergerakan bola mata yang terkena hifema. c. Obat-obatan i.
Antifibrinolitik Asam aminokaproat oral (50 mg/kg setiap 4 jam sampai maksimum 30 gramhari selama lima hari) untuk menstabilkan
pembentukan
bekuan
darah
sehingga
menurunkan risiko perdarahan ulang. Asam traneksamat juga dapat diberikan dengan dosis maksimal 2 gram/hari selama lima hari. Pada anak, asam traneksamat dapat diberikan secara oral dengan dosis 25 mg/kg/hari. ii.
Steroid Steroid dapat mengurangi iritis dan spasme siliaris, meningkatkan pembentukan sekunder,
dan
kenyamanan bekuan,
pasien,
menurunkan
mencegah
menstabilisasi
angka
terjadinya
sinekia
perdarahan posterior.
Pemberian steroid tetes dilakukan dengan meneteskan prednisolone acetate 1% empat kali sehari. iii.
Sikloplegik Cyclopentolate 1% diberikan 1 tetes tiga kali sehari atau scopolamine 0,25% 1 tetes dua kali sehari atau atropine 1% 1 tetes empat kali sehari selama lima hari bermanfaat dalam mengurangi rasa nyeri, mencegah terjadinya sinekia posterior yang dapat mengakibatkan disfungsi iris permanen.
16
2. Perawatan Operatif Perawatan cara ini akan dikerjakan bilamana ditemukan glaukoma sekunder, tanda imbibisi kornea atau hemosiderosis cornea. Dan tidak ada pengurangan dari tingginya hifema dengan perawatan non-operasi selama 3 - 5 hari. Untuk mencegah atrofi papil saraf optik dilakukan pembedahan bila tekanan bola mata maksimal > 50 mmHg selama 5 hari atau tekanan bola mata maksimal > 35 mmHg selama 7 hari. Untuk mencegah imbibisi kornea dilakukan pembedahan bila tekanan bola mata rata-rata > 25 mmHg selama 6 hari atau bila ditemukan tandatanda imbibisi kornea (Kuhn, 2002). Tindakan operatif dilakukan untuk mencegah terjadinya sinekia anterior perifer bila hifema total bertahan selama 5 hari atau hifema difus bertahan selama 9 hari. Indikasi dilakukan tindakan operatif pada hifema traumatika adalah (Kuhn, 2002): a. Empat hari setelah onset hifema total b. Microscopic corneal bloodstaining (setiap waktu) c. Total dengan dengan Tekanan Intra Okular 50 mmHg atau lebih selama 4 hari untuk mencegah atrofi optik d. Hifema total atau hifema yang mengisi lebih dari ¾ COA selama 6 hari dengan tekanan 25 mmHg untuk mencegah corneal bloodstaining e. Hifema mengisi lebih dari ½ COA yang menetap lebih dari 8-9 hari untuk mencegah peripheral anterior synechiae. f.
Pada pasien dengan sickle cell disease dengan hifema berapapun ukurannya dengan tekanan Intra ocular lebih dari 35 mmHg lebih dari 24 jam. Jika Tekanan Inta Ocular menetap tinggi 50 mmHg atau lebih selama 4 hari, segera l akukan tindakan operatif. Tindakan operasi yang dikerjakan adalah (Kuhn, 2002):
a. Parasentesis
17 Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan cairan/darah dari bilik depan bola mata
dengan
teknik membuat insisi kornea 2 mm dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan permukaan iris. Biasanya bila dilakukan penekanan pada bibir luka maka koagulum dari bilik mata depan akan keluar. Bila darah tidak keluar seluruhnya maka bilik mata depan dibilas dengan garam fisiologis. Biasanya luka insisi kornea pada parasentesis tidak perlu dijahut. Parasentese dilakukan bila TIO tidak turun dengan diamox atau jika darah masih tetap terdapat dalam COA pada hari 5-9. b. Melakukan irigasi di bilik depan bola mata dengan larutan fisiologik. c. Dengan cara seperti melakukan ekstraksi katarak dengan membuka korneoscleranya sebesar 1200 J. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan pada traumatik hifema adalah perdarahan sekunder, glaukoma sekunder dan hemosiderosis di samping komplikasi dari traumanya sendiri berupa dislokasi dari lensa, ablatio retina, katarak dan iridodialysis. Besarnya komplikasi juga sangat tergantung pada tingginya hifema (Oldham, 2012). 1. Perdarahan sekunder Komplikasi ini sering terjadi pada hari ke 3 sampai ke 6, sedangkan insidensinya sangat bervariasi, antara 10 - 40%. Perdarahan sekunder ini timbul karena iritasi pada iris akibat traumanya, atau merupakan lanjutan dari perdarahan primernya. Perdarahan sekunder biasanya lebih hebat daripada yang primer. Terjadi pada 1/3 pasien, biasanya antara 2-5 hari setelah trauma inisial dan selalu bervariasi sebelum 7 hari post-trauma. 2. Glaukoma sekunder Timbulnya glaukoma sekunder pada hifema traumatik disebabkan oleh tersumbatnya trabecular meshwork oleh gumpalan darah. Adanya darah dalam COA dapat menghambat aliran cairan bilik mata oleh karena
18 darah menutupi sudut COA dan trabekula sehingga terjadinya glaukoma. Glaukoma sekunder dapat pula terjadi akibat kontusi badan siliar sehingga terjadi gangguan pengaliran cairan mata. 3. Hemosiderosis kornea Pada penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari COA dalam bentuk sel darah merah melalui sudut COA menuju kanal Schlemm sedangkan sisanya akan diabsorbsi melalui permukaan iris. Penyerapan pada iris dipercepat dengan adanya enzim fibrinolitik di daerah ini.Sebagian
hifema
dikeluarkan
setelah
terurai
dalam
bentuk
hemosiderin. Bila terdapat penumpukan dari hemosiderin ini, dapat masuk ke dalam lapisan kornea, menyebabkan kornea menjadi bewarna kuning dan disebut hemosiderosis atau imbibisio kornea, yang hanya dapat ditolong dengan keratoplasti. Imbibisio kornea dapat dipercepat terjadinya oleh hifema yang penuh disertai glaukoma. Hemosiderosis ini akan timbul bila ada perdarahan sekunder disertai kenaikan tekanan intraokuler. Gangguan visus karenahemosiderosis tidak selalu permanen, tetapi kadang-kadang dapat kembali jernih dalam waktu yang lama (2 tahun). Insidensinya ± 10%.3 Zat besi di dalam bola mata dapat menimbulkan siderosis bulbi yang bila didiamkan akan dapat menimbulkan ftisis bulbi dan kebutaan. 4. Sinekia Posterior Sinekia
posterior
bisa
timbul
pada
pasien
traumatik
hifema.Komplikasi ini akibat dari iritis atau iridocyclitis. Komplikasi ini jarang pada pasien yang mendapat terapi medikamentosa dan lebih sering terjadi pada pada pasien dengan evakuasi bedah pada hifema. Peripheral anterior synechiae anterior terjadi pada pasien dengan hifema pada COA dalam waktu yang lama, biasanya 9 hari atau lebih. Patogenesis dari sinekia anterior perifer berhubungan dengan iritis yang lama akibat trauma atau dari darah pada COA. Bekuan darah pada sudut COA kemudian bisa menyebabkan trabecular meshwork fibrosis yang menyebabkan sudut bilik mata tertutup.
19
K. Prognosis
Prognosis tergantung pada banyaknya darah yang tertimbun pada kamera okuli anterior. Hifema dengan darah yang sedikit dan tanpa disertai glaukoma, prognosisnya baik karena darah akan diserap kembali dan hilang sempurna dalam beberapa hari. Hifema yang telah mengalami glaukoma, prognosisnya bergantung
pada
seberapa
besar
glaukoma
tersebut
menimbulkan defek pada ketajaman penglihatan. Bila tajam penglihatan telah mencapai 1/60 atau lebih rendah maka prognosis penderita adalah buruk karena dapat menyebabkan kebutaan.
20
III.
KESIMPULAN
Hifema merupakan keadaan adanya darah di dalam bilik mata depan, yaitu daerah di antara kornea dan iris yang dapat terjadi akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan bercampur dengan humor aqueus yang jernih. Hifema biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada mata seperti terkena bola, batu, peluru senapan angin, dan lain-lain. Selain itu, hifema juga dapat terjadi karena kesalahan prosedur operasi mata. Keadaan lain yang dapat menyebabkan hifema namun jarang terjadi adalah adanya tumor matadan kelainan pembuluh darah. Penegakan diagnosis hifema berdsarkan adanya riwayat trauma, terutama mengenai matanya dapat memastikan adanya hifema. Pada gambaran klinik ditemukan adanya perdarahan pada COA, kadang-kadang ditemukan gangguan visus. Ditemukan adanya tanda-tanda iritasi dari konjungtiva dan perikornea, fotofobia, penglihatan ganda, blefarospasme, edema palpebra, midriasis, dan sukar melihat dekat, kemungkinan disertai gangguan umum yaitu letargic, disorientasi atau somnolen. Penatalaksanaan hifema pada prinsipnya dibagi dalam 2 golongan besar yaitu perawatan dengan cara konservatif/tanpa operasi, dan perawatan yang disertai dengan tindakan operasi. Tindakan ini bertujuan untuk menghentikan perdarahan, menghindarkan timbulnya perdarahan sekunder, mengeliminasi darah dari bilik depan bola mata dengan mempercepat absorbsi, mengontrol glaukoma sekunder dan menghindari komplikasi yang lain, dan berusaha mengobati kelainan yang menyertainya.
21
DAFTAR PUSTAKA
American Academy Ophthalmology. 2011. Traumatic Hyphema. Clinical Aspects of Toxic and Traumatic Injuries. Session 8.367-369 Book, BP, Van der woerdt A, Wilkie DA. 2008. Journal of Veterinary Emergency and Critial Care. 18(4):383-387.
Brandt, M.T. and Haug, R.H., 2001. Traumatic hyphema: a comprehensive review. Journal of Oral and Maxillofacial Surgery, 59(12), pp.1462-1470. Bruce, James. 2005. Lecture Notes Oftalmologi. Ed 9. Surabaya: Erlangga Medical Series. Gharaibeh, A., Savage, H.I., Scherer, R.W., Goldberg, M.F. and Lindsley, K., 2013. Medical interventions for traumatic hyphema. The Cochrane Library. Ilyas, Sidarta dan Sri Rahayu Yulianti. 2014. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: FKUI. Khan, BS, Hussain I, Nawaz A. 2007. Management of Traumatic Hyphema with Raised Intraocular Pressure. Kuhn, F, Pieramici DJ. 2002. Ocular Trauma Principles and Practice. New York. Thieme New York. Mowatt, L. and Chambers, C., 2010. Ocular morbidity of traumatic hyphema in a Jamaican hospital. European journal of ophthalmology, 20(3), p.584. Oldham
GW, 2012. Hyphema. Diakses http://eyewiki.aao.org/Hyphema
pada
1
Mei
2017
di
Stilger VG, Jeromy M, Robinson TW. 1999. Traumatic Hyphema in an Intercollegiate Baseball Player: A Case Report. Di unduh di http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1322870/pdf/jathtrain000 05-0039.pdf pada tanggal 1 Mei 2016 Witcher, John dan Paul Riordan. 2009. Vaughan & Asbury, Oftalmologi Umum . Jakarta: EGC.